Anda di halaman 1dari 34

MAKALAH

MATA KULIAH KEPERAWATAN GAWAT DARURAT

“KEJANG”

Disusun Oleh :

1. Mulyono Putra Wibawa (1711035)


2. Septi Putri Kamelia (1711046)
3. Sindi Surya Ningrum (1711047)

PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN

AKADEMI KEPERAWATAN ADI HUSADA

TAHUN 2019
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur bagi Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan hikmat serta hidayah-Nya terutama hikmat kesempatan dan kesehatan
sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah “KEJANG” pada mata kuliah
Keperawatan Gawat Darurat. Adapun tujuan dari penulis makalah ini adalah
sebagai salah satu metode pembelajaran bagi mahasiswa-mahasiswi Akademi
Keperawatan Adi Husada Surabaya.
Ucapan terima kasih tidak lupa penulis sampaikan kepada semua pihak
yang telah membantu sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas Karya Tulis
Ilmiah ini, diantaranya :
1. Caturia Sasti S, S.Kep.Ns.,M.Kep
2. Teman – teman yang telah membantu dan bekerjasama sehingga tersusun
makalah ini.
Penyusun menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih banyak
terdapat kekurangan, oleh karenanya saran dan kritik yang membangun sangat kami
harapkan agar selanjutnya Makalah ini menjadi lebih baik lagi.
Demikian akhir kata dari penulis, semoga makalah ilmiah ini bermanfaat
bagi semua pihak dan pembelajaran budaya khususnya dalam segi teoritis sehingga
dapat membuka wawasan ilmu serta akan menghasilkan yang lebih baik di masa
yang akan datang.

Surabaya, Juli 2019

Penulis
KATA PENGANTAR ....................................................................................................... 2
BAB I .................................................................................................................................. 5
PENDAHULUAN ............................................................................................................. 5
1.1 LATAR BELAKANG ........................................................................................ 5
1.2 TUJUAN ............................................................................................................. 6
1. Tujuan Umum ..................................................................................................... 6
2. Tujuan Khusus .................................................................................................... 6
BAB II ................................................................................................................................ 7
TINJAUAN TEORI .......................................................................................................... 7
2.1 Konsep Penyakit ................................................................................................. 7
A. Definisi ................................................................................................................ 7
B. Etiologi ................................................................................................................ 7
C. Patofisiologi ........................................................................................................ 8
D. Pathway ............................................................................................................. 10
E. Klasifikasi Kejang ............................................................................................. 11
F. Manifestasi Klinis ............................................................................................. 11
G. Penatalaksanaan ................................................................................................ 14
H. Pemeriksaan Penunjang .................................................................................... 15
I. Komplikasi ........................................................................................................ 17
2.2 Konsep Asuhan Keperawatan ........................................................................... 18
A. PENGKAJIAN .................................................................................................. 18
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN ...................................................................... 19
C. INTERVENSI ................................................................................................... 19
D. IMPLEMENTASI ............................................................................................. 24
E. EVALUASI....................................................................................................... 24
BAB III............................................................................................................................. 25
TINJAUAN KASUS........................................................................................................ 25
3.1 Contoh Kasus .................................................................................................... 25
A. PENGKAJIAN .................................................................................................. 25
B. Pemeriksaan Diagnostik.................................................................................... 26
C. Analisa Data ...................................................................................................... 27
D. DIAGNOSA KEPERAWATAN ...................................................................... 28
E. INTERVENSI ................................................................................................... 29
F. IMPLEMENTASI ............................................................................................. 31
G. EVALUASI....................................................................................................... 32
BAB IV ............................................................................................................................. 33
PENUTUP........................................................................................................................ 33
4.1 KESIMPULAN ................................................................................................. 33
4.2 SARAN ............................................................................................................. 33
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................................... 34
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Kejang merupakan suatu perubahan fungsi pada otak secara mendadak dan
sangat singkat atau sementara yang dapat disebabkan oleh aktivitas otak yang
abnormal serta adanya pelepasan listrik serebral yang sangat berlebihan. Terjadinya
kejang dapat disebabkan oleh malformasi otak congenital, faktor genetis atau
adanya penyakit seperti meningitis, ensefalitis serta demam yang tinggi atau dapat
dikenal dengan istilah kejang demam, gangguan metabolisme, trauma, dan lain
sebagainya. Apabila kejangnya bersifat kronis dapat dikatakan sebagai epilepsi
yang terjadi secara berulang-ulang dengan sendirinya. (Hidayat, 2006).

Kejang merupakan gejala yang timbul dari efek langsung atau tidak
langsung dari penyakit sistem saraf pusat ( SSP ). Obat – obat yang digunakan untuk
terapi berbagai penyakit vaskuler yang dapat mempengaruhi ambang kejang dan
memyebabkan kejang , selain itu penyakit dapat pula mendasari angka kejadian
kejang pada pasien stress. Kejang didefiniskan sebagai perubahan sementara dalam
keadaan atau tanda – tanda lain atau gejala yang dapat disebabkan oleh disfungsi
otak. disfungsi otak tersebut dapat disertai dengan motorik, sensorik dan gangguan
otonom tergantung paad daerah otak yang terlibat baik organ itu sendiri atau pun
penyebaran ke organ yang lain.

Kejang dapat disebabkan oleh berbagai keadaan yaitu, epilepsi, kejang


demam, hipoglikemia, hipoksia, hipotensi, tumor otak, meningitis,
ketidakseimbangan elektrolit, dan overdosis obat. Meskipun penyebab dari kejang
beragam namun pada fase awal tidak perlu untuk melabelnya masuk pada kelompok
mana, karena manajemen jalan nafas dan penghentian kejang adalah prioritas awal
pada pasien dengan kejang aktif.

Salah satu bentuk kejang yang sering dijumpai pada anak adalah kejang
demam. Kejang demam adalah kejang disertai demam ( suhu ≥ 100.4 ° F atau
38°C), tanpa infeksi sistem saraf, yang terjadi pada bayi dan anak-anak 6 sampai
60 bulan. Kejang demam terjadi pada 2% sampai 5% dari semua anak-anak, dengan
demikian menjadi bentuk yang paling umum terjadi. Pada tahun 1976, Nelson dan
Ellenberg, menggunakan data dari National Collaborative Perinatal Project dan
ditetapkan bahwa kejang demam diklasifikasikan sebagai simpleks atau kompleks.
Kejang demam simpleks didefinisikan sebagai kejang yang terjadi setelah demam,
yang berlangsung selama kurang dari 15 menit dan tidak berulang dalam waktu 24
jam. Kejang demam kompleks didefinisikan sebagai kejang fokal, berlangsung
lebih dari 15 menit, dan atau berulang dalam waktu 24 jam.

Anak-anak yang mengalami kejang demam simpleks tidak terbukti


meningkat risiko kematiannya, hemiplegia, atau keterbelakangan mental. Sebuah
konsensus pada tahun 1980 dari National Institutes of Health menyimpulkan
bahwa kejang demam simpleks memiliki prognosis yang sangat baik.

1.2 TUJUAN

1. Tujuan Umum
Mahasiswa mampu memahami bagaimana asuhan keperawatan gawat
darurat pada pasien dengan kejang.

2. Tujuan Khusus
Setelah membaca makalah ini diharapkan :
a. Mampu memahami konsep kejang
b. Mampu melakukan pengkajian pada pasien kejang
c. Mampu menentukan diagnosa pada pasien dengan kejang
d. Mampu menentukan intervensi pada pasien kejang
e. Mampu menentukan implementasi pada pasien kejang
f. Mampu menentukan evaluasi pada pasien kejang
BAB II
TINJAUAN TEORI

2.1 Konsep Penyakit

A. Definisi
Kejang adalah kelainan sistem saraf pusat yang terjadi secara mendadak
dengan manifestasi klinik kehilangan koordinasi neuromotorik. Kejang
dapat diikuti kehilangan atau penurunan kesadaran dan terjadi berulang.
Kejang adalah akibat dari pembebasan listrik yang tidak terkontrol dari sel
saraf korteks serebral yang ditandai dengan serangan tiba – tiba,terjadi
gangguan kesadaran ringan, aktivitas motorik, dan atau gangguan fenomena
sensorik. (Doengoes, 2012)
Fase dari aktivitas kejang adalah fase prodromal, aura, iktal, dan posiktal :
a. Fase prodromal melputi perubahan alam perasaan atau tingkah laku
yang mungkin mengawali kejang beberapa jam atau beberapa hari.
b. Fase aura adalah awal dari munculnya aktivitas kejang dan mungkin
berupa gangguan pengelihatan,pendengaran atau rasa raba.
c. Fase iktal adalah fase dari aktivitas kejang,yang biasanya terjadi
gangguan muskulus skeletal.
d. Fase posiktal adalah periode waktu dari kekacauan mental atau
somnomel atau peka rangsang yang terjadi setelah kejang tersebut.
(Doengoes, 2012)

B. Etiologi
Kejang bisa timbul sekunder setelah terjadi gangguan serebral, gangguan
metabolik, dan pemberian obat. (Doengoes, 2012)
a. Obat-obatan (khususnya kejadian setelah overdosis)
- Alkohol : intoksikasi berat
- Amfetamin, antidepresan trisklik, fenotiazin
b. Ketidakseimbangan kimiawi
- Hiperkalemi
- Hipoglikemi
- Asidosis
c. Patologis otak : sebagai akibat dari cedera kepala, trauma, infeksi,
peningkatan tekanan intrakranial
d. Demam : biasanya terjadi pada usia anak-anak (balita)
e. Eklampsia : hipertensi pranatal / toksemia saat kehamilan
f. Idiopatik : tidak diketahui penyebabnya

C. Patofisiologi
Kejang bisa di akibatkan oleh Obat-obatan (khususnya kejadian setelah
overdosis), Infeksi ekstrakranial (Gangguan metabolik) yang meliputi :
hipoglikemia, hipokalsemia, hipomagnesia, gangguan elektrolit (Na dan K)
,Patologis otak : sebagai akibat dari cedera kepala, trauma, infeksi,
peningkatan tekanan intrakranial, Demam : biasanya terjadi pada usia anak-
anak (balita), Eklampsia : hipertensi pranatal / toksemia saat kehamilan,
Idiopatik : tidak diketahui penyebabnya dan peningkatan tekanan
intrakranial yang menyebabkan gangguan keseimbangan membran sel
neuron dan terjadi difusi ion kalium maupun natrium melalui membran,
akibatnya terjadi lepas muatan listrik. Lepas muatan listrik ini sedemikian
besarnya sehingga dapat meluas keseluruh sel maupun kemembran
sekitamya dan dengan bantuan neurotransmitter mengakibatkan terjadinya
kejang.
Pada saat kejang, akan terjadi peningkatan kadar Na (natrium) dan
penurunan O2 (oksigen) yang mengakibatkan hipoksia atau kekurangan
oksigen yang mengakibatkan terjadinya peningkatan permeabilitas jaringan
kapiler. Peningkatan permeabilitas mengizinkan substansi pertahanan yang
ada dalam darah berpindah ke dinding pembuluh darah kapiler .
Peningkatan permeabilitas dapat mengizinkan cairan pindah dari darah ke
dalam jaringan dan merupakan respon edema (penumpukan cairan) dari
inflamasi. Sel neuron pada otak rusak akibat terjadinya peningkatan
permeabilitas jaringan kapiler sehingga muncul MK Perfusi Serebral
Tidak Efektif.
Ketika terjadi kejang, terjadi letupan abnormal pada sinyal listrik yang
dikeluarkan oleh neuron, gangguan tersebut akhirnya mengacaukan
fungsi reticular activating system dan menyebabkan penurunan kesadaran.
Pada saat terjadi penurunan kesadaran, refleks menelan juga akan menurun
sehingga muncul MK Risiko Aspirasi. Kejang mengakibatkan kerusakan
sel otak sehingga menyebabkan gerakan mulut dan lidah tidak terkontrol,
lalu lidah jatuh kebelakang dan menutup jalan nafas sehingga muncul MK.
Bersihan Jalan Nafas Tidak Efektif. Bersihan jalan nafas tidak efektif
menyebabkan spasme (kekakuan & penyempitan) pada jalan nafas sehingga
muncul MK Pola Nafas Tidak Efektif.
Sel-sel otak manusia, yang disebut sebagai sel neuron, mengeluarkan sinyal
listrik dan berkomunikasi sesama sel menggunakan neurotransmitter kimia.
Ketika terjadi kejang, terjadi letupan abnormal pada sinyal listrik yang
dikeluarkan oleh neuron, dan menyebabkan terjadinya gerakan atau perilaku
yang abnormal sehingga muncul MK Risiko Cedera. Akibat infeksi
ekstrakranial mengakibatkan suhu tubuh meningkat terjadi evaporasi atau
keringat meningkat dan menyebabkan gangguan pemenuhan kebutuhan
cairan sehingga terjadi dehidrasi dan muncul MK Hipovolemia.
D. Pathway

Obat obatan (alkohol), Patologis otak :


sebagai akibat dari cedera kepala,
trauma, infeksi, peningkatan tekanan
intrakranial, eklampsia, idiopatik Infeksi ekstrakranial Suhu ↑

Hipertermia

Gangguan keseimbangan membran sel neuron


Evaporasi/Keringat ↑

Difusi Na dan K berlebih


Gangguan pemenuhan
Risiko cairan
Depolarisasi membran dan lepas
Cedera muatan listrik berlebih
Dehidrasi

Gerakan atau perilaku Kejang


yang abnormal. Hipovolemia

Na↑, O2↓ Kesadaran ↓ Terjadi Kerusakan


Sel Otak

Hipoksia Reflek menelan ↓ Gerakan mulut dan


lidah tidak terkontrol

Risiko
Permeabilitas Lidah jatuh kebelakang
Aspirasi
kapiler dan menutup jalan nafas

Bersihan Jalan Nafas


Sel neuron otak
Tidak Efektif
rusak

Spasme jalan nafas


Perfusi Serebral
Tidak Efektif
Pola Nafas
Tidak Efektif
E. Klasifikasi Kejang
Klasifikasi yang sekarang dipergunakan secara luas adalah klasifikasi oleh
International League Against Epilepsy (ILAE) 1981 yang terdiri dari 3
kategori utama yaitu kejang parsial, kejang umum dan kejang yang tak
terklasifikasi.
Klasifikasi Kejang International League Against Epilepsy (ILAE), 1981:
a. Kejang parsial
1) Parsial sederhana
2) Parsial kompleks
3) Parsial yang diikuti kejang umum sekunder
b. Kejang umum
1) Absence (petit mal)
2) Tonik-klonik (grand mal)
3) Tonik
4) Atonik
5) Klonik
6) Mioklonik
c. Kejang yang tak terklasifikasi (Dodson & Pellock, 2008)

F. Manifestasi Klinis
a. Kejang parsial (fokal/lokal)
Kejang ini terjadi pada salah satu atau lebih lokasi yang spesifik pada
otak. Dalam beberapa kasus, kejang parsial dapat menyebar luas di otak.
Kejang ini terkadang disebabkan terjadinya trauma spesifik, namun
dalam banyak kasus penyebabnya tidak dapat diketahui (idiopatik).
1) Kejang parsial sederhana
Dalam kasus kejang parsial sederhana (Jacksonian epilepsy), pasien
tidak mengalami kehilangan kesadaran, namun dapat mengalami
kebingungan, jerking movement, atau kelainan mental dan
emosional.
Manifestasi klinis dari kejang parsial sederhana ini yaitu klonik
(repetitif, gerakan kepala dan leher menengok ke salah satu sisi).
Beberapa pasien dapat pula terjadi gejala somatosensorik berupa
aura, halusinasi, atau perasaan kuat pada indra penciuman dan
perasa. Setelah kejang, pasien biasanya mengalami kelemahan pada
otot tertentu. Umumnya kejang terjadi selama 90 detik.
2) Kejang parsial kompleks
Sekitar 80% dari kejang ini berasal dari temporal lobe, bagian otak
yang berdekatan dengan telinga. Gangguan pada bagian tersebut
dapat mengakibatkan penurunan kesadaran atau dapat terjadi
perubahan tingkah laku misalnya automatisme. Pasien
kemungkinan mengalami kehilangan kesadaran secara singkat dan
tatapan kosong. Kejang ini seringkali diawali dengan aura. Episode
serangan biasanya tidak lebih dari 2 menit. Sakit kepala yang
berdenyut kemungkinan terjadi pada kejang tipe ini.
3) Kejang parsial di ikuti kejang umum sekunder
Kejang fokal dapat berkembang menjadi tonik klonik dengan
kehilangan kesadaran dan kejang (tonik) otot seluruh badan diikuti
periode kontraksi otot bertukar dengan relaksasi (klonik).
Seringkali sulit dibedakan dengan kejang umum. Hal ini karena
kejang parsial dengan generalisata sekunder mempunyai onset fokal
yang seringkali tak teramati. Onset fokal kejang diidentifikasi
melalui analisis riwayat kejang dan EEG secara cermat (Kasper
dkk., 2008).
b. Kejang umum
Kejang umum dapat terjadi karena gangguan sel saraf yang terjadi pada
daerah otak yang lebih luas daripada yang terjadi pada kejang parsial.
Oleh karena itu, kejang ini memiliki efek yang lebih serius pada pasien.
1) Kejang absence (petit mal)
Kejang ini ditandai dengan hilangnya kesadaran yang berlangsung
sangat singkat sekitar 3-30 detik. Jenis yang jarang dijumpai dan
umumnya hanya terjadi pada masa anak-anak atau awal remaja.
Sekitar 15-20% anak-anak menderita kejang tipe ini. Penderita tiba-
tiba melotot atau matanya berkedip-kedip dengan kepala terkulai.
Kejang ini kemungkinan tidak disadari oleh orang di sekitarnya.
Petit mal terkadang sulit dibedakan dengan kejang parsial sederhana
atau kompleks, atau bahkan dengan gangguan attention deficit.
Selain itu terdapat jenis kejang atypical absence seizure, yang
mempunyai perbedaan dengan tipe absence. Sebagai contoh atipikal
mempunyai jangka waktu gangguan kesadaran yang lebih panjang,
serangan terjadi tidak dengan tiba-tiba, dan serangan kejang terjadi
diikuti dengan tanda gejala motorik yang jelas. Kejang ini
diperantarai oleh ketidaknormalan yang menyebar dan multifokal
pada struktur otak. Kadangkala di ikuti dengan gejala keterlambatan
mental. Kejang tipe ini kurang efektif dikendalikan dengan
antiepilepsi dibandingkan tipe kejang absence tipikal.
2) Kejang tonik-klonik (Grand mal)
Tipe ini merupakan bentuk kejang yang paling banyak terjadi. Fase
awal dari terjadinya kejang biasanya berupa kehilangan kesadaran
disusul dengan gejala motorik secara bilateral, dapat berupa
ekstensi tonik beberapa menit disusul gerakan klonik yang sinkron
dari otot - otot yang berkontraksi, menyebabkan pasien tiba-tiba
terjatuh dan terbaring kaku sekitar 10-30 detik. Beberapa pasien
mengalami pertanda atau aura sebelum kejang. Kebanyakan
mengalami kehilangan kesadaran tanpa tanda apapun. Dapat juga
terjadi sianosis, keluar air liur, inkontinensi urin dan atau menggigit
lidah. Segera sesudah kejang berhenti pasien tertidur. Kejang ini
biasanya terjadi sekitar 2-3 menit.
3) Kejang atonik
Serangan tipe atonik ini jarang terjadi. Pasien dapat tiba-tiba
mengalami kehilangan kekuatan otot yang mengakibatkan pasien
terjatuh, namun dapat segera pulih kembali. Terkadang terjadi pada
salah satu bagian tubuh, misalnya mengendurnya rahang dan kepala
yang terkulai.
4) Kejang mioklonik
Kejang tipe ini ditandai oleh kontraksi otot-otot tubuh secara cepat,
bilateral, dan terkadang hanya terjadi pada bagian otot-otot tertentu.
Biasa terjadi pada pagi hari setelah bangun tidur, pasien mengalami
hentakan yang terjadi secara tiba-tiba.
5) Simply tonic atau clonic seizures
Kejang kemungkinan terjadi secara tonik atau klonik saja. Pada
kejang tonik, otot berkontraksi dan gangguan kesadaran terjadi
sekitar 10 detik, tetapi kejang ini tidak berkembang menjadi klonik
atau jerking phase. Kasus kejang klonik yang jarang ditemukan,
terutama terjadi pada anak-anak, yang mengalami spasme otot
tetapi bukan kekakuan tonik.
c. Kejang yang tak terklasifikasikan
Serangan kejang ini merupakan jenis serangan yang tidak didukung oleh
data yang cukup atau lengkap. Jenis ini termasuk serangan kejang yang
sering terjadi pada neonatus. Hal ini kemungkinan disebabkan adanya
perbedaan fungsi dan hubungan saraf pada sistem saraf pusat di bayi dan
dewasa.

G. Penatalaksanaan
Penggolongan Triage Kasus ini adalah emergensi karena dapat mengancam
jiwa dan akan mati tanpa tindakan dalam 0 menit. Untuk itu maka kejang
termasuk dalam P1 (Urgent).
1. Pre Hospital :
a. Jauhkan penderita dari benda - benda berbahaya (gunting, pulpen,
kompor api, dan lain – lain).
b. Jangan pernah meninggalkan penderita.
c. Berikan alas lembut di bawah kepala agar hentakan saat kejang tidak
menimbulkan cedera kepala dan kendorkan pakaian ketat atau kerah
baju di lehernya agar pernapasan penderita lancar (jika ada).
d. Miringkan tubuh penderita ke salah satu sisi supaya cairan dari mulut
dapat mengalir keluar dengan lancar dan menjaga aliran udara atau
pernapasan.
e. Pada saat penderita mengalami kejang, jangan menahan gerakan
penderita. Biarkan gerakan penderita sampai kejang selesai.
f. Masukkan toungue spatel untuk menghindari lidah atau pipi tergigit
g. Jangan berusaha untuk membuka rahang yang terkatup, pada keadaan
spasme memasukkan sesuatu akan mengakibatkan cedera atau gigi
patah
h. Setelah kejang selesai, tetaplah menemani penderita. Jangan
meninggalkan penderita sebelum kesadarannya pulih total, kemudian
biarkan penderita beristirahat atau tidur.
2. Hospital
- Pemberian Diazepam, dengan dosis intravena 0,3 – 0,5 mg/kg
perlahan-lahan dengan kecepatan 12 mg/menit atau dalam waktu 35
menit, dengan dosis maksimal 20 mg.

Berikut ini table dosis diazepam yang di berikan :

Dosis IV (infuse) Dosis per rectal


Usia (0,2 mg/kg) ( 0.5 mg / kg )

< 1 tahun 1-2 mg 2.5 – 5 mg


1 – 5 tahun 3 mg 7.5 Mg
5-10 tahun 5 mg 10 mg
>10 tahun 5-10 mg 10 – 15 mg

- Jika kejang masih berlanjut diulang dengan cara dan dosis yang
sama dengan interval waktu 5 menit .
- Bila kejang belum berhenti, berikan fenitoin secara intravena
dengan dosis awal 20 mg/kg/kali dengan kecepatan 1 mg/kg/ menit
atau kurang dari 50 mg/menit. Bila kejang berhenti, dosis
selanjutnya 4 – 8 mg /kg/hari, dimulai 12 jam setelah dosis awal.
- Bila kejang belum berhenti, pasien dirawat diruang rawat intensif.
- Bila kejang telah berhenti, harus ditentukan apakah perlu
pengobatan profilaksis atau tidak tergantung jenis kejang dan faktor
risiko yang ada pada pasien tersebut. (Ismet, 2017)

H. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Laboratorium
Hiponatremia , hipoglikemia, hipomagnesia, uremia dan hepatik
ensefalopati dapat mencetuskan timbulnya serangan kejang. Pemeriksaan
serum elektrolit bersama dengan glukose, kalsium, magnesium, “ Blood
Urea Nitrogen” , kreatinin dan test fungsi hepar mungkin dapat
memberikan petunjuk yang sangat berguna. Pemeriksaan toksikologi serum
dan urin juga sebaiknya dilakukan bila dicurigai adanya “ drug abuse”
2. Pemeriksaan Elektroensefalografi (EEG)
Pemeriksaan penunjang yang paling sering dilakukan adalah
pemeriksaan Elektroensefalografi (EEG). Pemeriksaan EEG rutin
sebaiknya dilakukan perekaman pada waktu sadar dalam keadaan istirahat,
pada waktu tidur, dengan stimulasi fotik dan hiperventilasi. Pemeriksaam
EEG ini adalah pemeriksaan laboratorium yang penting untuk membantu
diagnosis epilepsi dengan beberapa alasan sebagai berikut. Pemeriksaan ini
merupakan alat diagnostik utama untuk mengevaluasi pasien dengan
serangan kejang yang jelas atau yang meragukan. Hasil pemeriksaan EEG
akan membantu dalam membuat diagnosis, mengklarifikasikan jenis
serangan kejang yang benar dan mengenali sindrom epilepsi.
3. Pemeriksaan Radiologi
Ct Scan (Computer Tomography Scan) kepala dan MRI (Magnetic
Resonance Imaging) kepala adalah untuk melihat apakah ada atau tidaknya
kelainan struktural diotak . CT Scan kepala ini dilakukan bila pada MRI ada
kontra indikasi namun demikian pemeriksaan MRI kepala ini merupakan
prosedur pencitraan otak pilihan untuk epilepsi dengan sensitivitas tinggi
dan lebih spesifik dibanding dengan CT Scan. Oleh karena dapat
mendeteksi lesi kecil diotak, sklerosis hipokampus, disgenesis kortikal,
tumor dan hemangioma kavernosa, maupun epilepsi refrakter yang sangat
mungkin dilakukan terapi pembedahan. Pemeriksaan MRI kepala ini
biasanya meliputi:T1 dan T2 weighted“ dengan minimal dua irisan yaitu
irisan axial, irisan coronal dan irisan saggital.
4. Pemeriksaan Neuropsikologi
Pemeriksaan ini mungkin dilakukan terhadap pasien epilepsi dengan
pertimbangan akan dilakukan terapi pembedahan. Pemeriksaan ini
khususnya memperhatikan apakah ada tidaknya penurunan fungsi kognitif,
demikian juga dengan pertimbangan bila ternyata diagnosisnya ada dugaan
serangan kejang yang bukan epilepsi.

I. Komplikasi
1. Kerusakan jaringan otak terjadi melalui mekanisme eksitotoksik neuron
saraf yang aktif sewaktu kejang melepaskan glutamat yang mengikat
resptor M Metyl D Asparate (MMDA) yang mengakibatkan ion kalsium
dapat masuk ke sel otak yang merusak sel neuoran secara irreversible.
2. Retardasi mental dapat terjadi karena defisit neurologis pada demam
neonatus.
3. Aspirasi Lidah jatuh kebelakang yang mengakibatkan obstruksi jalan
napas.
4. Asfiksia Keadaan dimana bayi saat lahir tidak dapat bernafas secra
spontan atau teratur.
2.2 Konsep Asuhan Keperawatan

A. PENGKAJIAN
1. Identitas Klien
Usia : penyakit kejang bisa menyerang segala usia
Pekerjaan : seseorang dengan pekerjaan yang sering menimbulkan stress
bisa memicu terjadinya kejang/ epilepsi.
Kebiasaan yang mempengaruhi : minum alkohol, overdosis.
2. Keluhan Utama
Pasien mengalami penurunan kesadaran secara tiba-tiba disertai mulut
berbuih.
3. Riwayat penyakit sekarang
Kejang, terjadi aura, dan penurunan kesadaran.
4. Riwayat penyakit tedahulu
Riwayat kesehatan dahulu. Merupakan data yang diperlukan untuk
mengetahui kondisi kesehatan klien sebelum menderita penyakit
sekarang. Kaji Adanya riwayat kejang, trauma kepala, epilepsi,
meningitis, stroke/ cva, tumor otak, Trauma lahir, Asphyxia
neonatorum, infeksi system saraf, gangguan metabolik.
5. Riwayat penyakit keluarga
Tanyakan kepada pasien atau keluarga apakah ada yang menderita
penyakit kejang/ epilepsi.
6. Pemeriksaan Fisik
a. B1 (Breathing)
RR biasanya meningkat (takipnea) atau dapat terjadi apnea, aspirasi
b. B2 (Blood)
Terjadi takikardia, cianosis
c. B3 (Brain)
Penurunan kesadaran
d. B4 (Bladder)
Oliguria atau dapat terjadi inkontinensia urine. Pada pemeriksaan
sistem kemih biasanya didapatkan berkurangnya volume output
urine, hal ini berhubungan dengan penurunan perfusi dan
penurunan curah jantung ke ginjal.
e. B5 (bowel)
Nafsu makan menurun, berat badan turun, inkontinensia alfi.
Pemenuhan nutrisi pada pasien epilepsi menurun karena anoreksia
dan adanya kejang.
f. B6 (bone)
Klien terlihat lemas, dapat terjadi tremor saat menggerakkan
anggota tubuh, mengeluh meriang. Pada fase akut saat kejang sering
didapatkan adanya penurunan kekuatan otot dan kelemahan fisik
secara umum sehingga mengganggu aktivitas perawatan diri

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul :

1. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan penyumbatan jalan nafas.


2. Bersihan jalan nafas tidak efektif b/d gerakan mulut dan lidah tidak
terkontrol
3. Risiko Cedera berhubungan dengan kejang
4. Perfusi Serebral Tidak Efektif berhubungan dengan tidak efektif
pertukaran O2 dan C02 dalam darah.
5. Hipertermia berhubungan dengan proses peradangan
6. Hipovolemia berhubungan dengan output berlebihan (dehidrasi)

C. INTERVENSI
Pola Nafas Tidak Efektif berhubungan dengan penyumbatan jalan nafas
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan 2 x 60 menit diharapkan pola nafas klien
efektif
Kriteria Hasil :
 RR normal 16-20 x/mnt
 Tidak ada otot bantu nafas
 Tidak ada pernafasan cuping hidung
Intervensi Rasional
1. Anjurkan klien untuk 1. Menurunkan resiko aspirasi atau
mengosongkan mulut dari masuknya benda asing ke faring
benda/zat tertentu/gigi palsu atau
alat lainnya jika fase aura terjadi
dan untuk menghindari rahang
mengatup jika kejang terjadi tanpa
ditandai gejala awal
2. Letakkan klien pada posisi miring, 2. Meningkatkan aliran (drainase)
permukaan datar, miringkan kepala secret, mencegah lidah jatuh
selama serangan kejang sehingga menyumbat jalan napas
3. Lepaskan pakaian pada daerah 3. Untuk memfasilitasi usaha
leher, dada, dan abdomen bernapas
4. Masukkan spatel lidah/ jalan napas 4. Mencegah tergigitnya lidah dan
buatan atau gulungan benda lunak memfasilitasi saat melakukan
sesuai indikasi penghisapan lender. Jalan napas
buatan mungkin diindikasikan
setelah meredanya aktivitas kejang
jika pasien tersebut tidak sadar dan
tidak dapat mempertahankan posisi
lidah yang aman
5. Berikan tambahan oksigen/ 5. Dapat menurunkan hipoksia
ventilasi manual sesuai kebutuhan serebral sebagai akibat dari
pada fase posiktal. sirkulasi yang menurun atau
oksigen sekunder terhadap spasme
vaskuler selama serangan kejang
6. Siapkan/ bantu melakukan intubasi 6. Munculnya apneu yang
jika ada indikasi berkepanjangan pada fase posiktal
membutuhkan
Bersihan Jalan Napas Tidak Efektif berhubungan dengan gerakan mulut
dan lidah tidak terkontrol
Tujuan : Setelah diberikan tindakan keperawatan selama 15 menit diharapkan
Jalan napas klien lancar/normal.
Kriteria hasil :
1. Menunjukkan batuk yang efektif.
2. Tidak ada ronchi
3. Klien nyaman.
Intervensi Rasional
1. Auskultasi suara nafas 1. Untuk mengetahui apakah ada
suara nafas tambahan
2. Letakkan klien pada posisi miring, 2. Meningkatkan aliran (drainase)
permukaan datar, miringkan kepala secret, mencegah lidah jatuh
selama serangan kejang sehingga menyumbat jalan napas
3. Lepaskan pakaian pada daerah 3. Untuk memfasilitasi usaha
leher, dada, dan abdomen bernapas
4. Masukkan spatel lidah/ jalan napas 4. Mencegah tergigitnya lidah dan
buatan atau gulungan benda lunak memfasilitasi saat melakukan
sesuai indikasi penghisapan lender. Jalan napas
buatan mungkin diindikasikan
setelah meredanya aktivitas kejang
jika pasien tersebut tidak sadar dan
tidak dapat mempertahankan posisi
lidah yang aman
5. Lakukan fisioterapi dada bila perlu 5. Untuk merontokkan sekret
6. Ajarkan pasien melakukan batuk 6. Untuk mengeluarkan sekret
efektif

Risiko Cedera berhubungan dengan Kejang


Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 5 menit diharapkan
resiko cedera tidak terjadi
Kriteria hasil : Faktor penyebab diketahui, mempertahankan aturan pengobatan,
meningkatkan keamanan lingkungan
Intervensi Rasional
1. Hindarkan pasien dari benda Tindakan ini dapat membantu
benda yang membahayakan menurunkan injuri

1. Gunakan alat pengaman dapat Dapat melindungi klien dari bahaya


melindungi klien dari bahaya injuri
injuri
2. Bila terjadi kejang, pasang Agar lidah tidak tergigit atau lidah
tongue spatel menutup jalan napas.

3. Kolaborasi pemberian obat anti Diharapkan dapat mempercepat proses


kejang penyembuhan dan juga dengan
memantau efek samping secara dini
jika timbul efek samping.

Perfusi Serebral Tidak Efektif berhubungan dengan tidak efektif


pertukaran O2 dan C02 dalam darah.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan 2 x 60 menit diharapkan perfusi jaringan
lebih efektif
Kriteria Hasil : akral tidak dingin, tidak terjadi sianosis pada jaringan perifer.
Intervensi Rasional
1. Atur posisi kepala dan leher untuk Untuk mempertahankan ABC dan
mendukung airway (jaw thrust). mencegah terjadi obstruksi jalan napas
Jangan memutar atau menarik leher
ke belakang (hiperekstensi),
mempertimbangkan pemasangan
intubasi nasofaring.
2. Atur suhu ruangan Untuk menurunkan keparahan dari
poikilothermy (dingin pada
ekstremitas)
3. Tinggikan ekstremitas bawah Meningkatkan aliran balik vena ke
jantung
4. Gunakan servikal collar, Stabilisasi tulang servikal
imobilisasi lateral kepala,
meletakkan papan di bawah tulang
belakang.

Hipertermia berhubungan dengan proses peradangan


Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 menit diharapkan
hipertermi tidak terjadi.
Kriteria Hasil:
- suhu tubuh normal (36OC – 37OC)
- Perfusi dingin
- Tugor kulit lembab
Intervensi Rasional
1. Beri kompres hangat Dapat membantu mengurangi demam
Pada axila dan lipatan paha
2. Beri dan anjurkan klien minum Semakin banyak minum akan dapat antu
sedikit tapi sering menurunkan demam
3. Anjurkan klien istirahat Istirahat yang baik akan dapat sedikit
membantu penyembuhan
4. Anjurkan klien untuk memakai Pakaianyangtipis akan memudahkan
pakaian tipis dan menyerap sirkulasi dalam dan luar tubuh
keringat
5. Ciptakan suasana yang nyaman Suhu ruangan harus diubah untuk
(atur ventilasi) mempertahankan suhu mendekati
normal
Hipovolemia berhubungan dengan output berlebihan (dehidrasi)
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 4 menit diharapkan
devisit voleme cairan tidak terjadi Kriteria Hasil : menunjukkan keseimbangan
cairan, tanda-tanda vital dalam batas normal
Intervensi Rasional
1. Observasi perubahan tanda-tanda peningkatan suhu atau memanjangnya
vital demam meningkatnya laju metabolic
dan kehilangan cairan melalui evaporasi
2. kaji turgor kelembapan Indikator langsung keadekuatan voleme
membrane mukosa ( bibir dan cairan meskipun membran mukosa
lidah ) mulut mungkin kering karena napas
mulut dan oksigen tambahan.
3. Catat laporan mual atau muntah adanya gejala ini menurunkan masukan
oral
4. Pantau masukan dan haluaran memberikan informasi tentang
keadekuatan volume cairan dan
kebutuhan pengganti
5. Anjurkan cairan sedikitnya 2500 pemenuhan kebutuhan dasar cairan,
ml/hari atau sesuai kondisi menurunkan risiko dehidrasi
individual.

D. IMPLEMENTASI
Sesuai dengan intervensi

E. EVALUASI
1. Melihat dan menilai kemampuan klien dalam mencapai tujuan
2. Menentukan apakah tujuan keperawatan telah tercapai atau belum
3. Mengkaji ulang penyebab jika tujuan asuhan keperawatan belum
tercapai.
BAB III
TINJAUAN KASUS

3.1 Contoh Kasus


Untuk menggambarkan gambaran nyata tentang pelaksanaan asuhan
keperawatan pada pasien dengan kejang, maka penulis menyajikan suatu
kasus dengan alur cerita pasien dengan diagnosa medis Tumor otak dirawat
diruang anggrek, pada jam 15.20 px mengalami kejang disertai sakit kepala
yang hebat, kejang terjadi selama kurang lebih 10 menit, kejang terjadi dua
kali dan pasien mengalami penurunan kesadaran.

A. PENGKAJIAN
1. Identitas Klien
Nama : Ny. L
Umur : 56 Tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Tidak Ada
Tanggal MRS : 02 April 2014 ; 15:00
Nomor Registrasi : 133246
Diagnosa Medis : Tumor Otak
2. Keluhan Utama
Pasien tidak sadarkan diri .
3. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien mengalami kejang yang disertai sakit kepala yang hebat,
Menurut keluarga, saat kejang wajah pasien menoleh ke kiri, mata
melotot keatas diikuti kejang kaku seluruh tubuh, kejang berlangsung
selama kurang lebih 10 menit, pasien mengalami penurunan kesadaran.
4. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat Hipertensi, DM dan Tumor otak
5. Riwayat Penyakit Keluarga
Anggota keluarga tidak ada yang menderita kanker ataupun tumor otak
seperti klien.
6. Riwayat Psiko-sosial-spiritual
Klien tinggal bersama adik kandungnya dan juga iparnya.
7. PEMERIKSAAN FISIK
a. B1 (Breathing)
RR=35 x/menit, bentuk dada simestris, Ronchi (+), Wheezing (-),
saturasi 80% , pasien terpasang O2 NRB 10L/mnt.
b. B2 (Blood)
TD : 80/70mmHg, N : 120x/mnt, S : 37,5 C
c. B3 (Brain)
Kesadaran menurun
d. B4 (Bladder)
Klien menggunakan pempers
e. B5 (Bowel)
Pasien tidak mengalami anoreksia, peristaltik usus 27x/mnt.
f. B6 (Bone)
Klien bedrest dan hanya tidur terlentang, tidur malam selama 8 jam,
mengalami kelemahan fisik.
Skala kekuatan otot :
1 1 Ekstremitas kanan atas :1
1 1 Ekstremitas kanan bawah :1
Ekstremitas kiri atas :1
Ekstremitas kiri bawah :1

B. Pemeriksaan Diagnostik
Hasil AGD :
Pemeriksaan Hasil Nilai Normal
Ph 7,465 7,38-7,42
pCO2 38,90 mmHg 38-42 mmHg
O2 63,30 75-100 mmHg
CO2 29,20 38-42 mmHg
SaO2 98% 94-100%
HCO3 28,7 22-24 mEq/L
Hasil Pemeriksaan Laboratorium :

Pemeriksaan Hasil Pemeriksaan Rentang Normal


Laboratorium
Biokimia darah Albumin 2,86 3,5 - 5,5 gr/dl
GOT/AST 10µ/l Lk: < 35 Pr: < 31
GOT/ALT 7µ/l Lk: < 41 Pr: < 31
Kreatinin 0,25mg/dl Lk: 0,9-1,3 mg/dl
Pr: 0,6-1,1 mg/dl
Kalium 4,02mg/l 3,5 – 5 mEq/L
Natrium 138mg/l 135 – 145 mEq/L

Hasil pemeriksaan CT Scan :


Hasil CT Scan pasien menerangkan bahwa pasien mengalami tumor otak
pada intrakranial.
Hasil pemeriksaan MRI :
Massa primer cerebellum kanan, suspek maligna disertai komponen
nekrosis dengan hidrosefalus – suspect empty sella
Terapi

- Pemberian obat anti kejang / konvulsi : Pemberian diazepam intravena


dengan dosis 5 mg / kg
- Pemberian O2 : Oksigen masker NRB 10 L/mnt

C. Analisa Data
Data Etilogi Problem
Ds: Tidak terkaji kelemahan otot-otot Pola napas tidak efektif
Do: pernapasan dan
RR=35 x/menit, bentuk kegagalan fungsi
dada simestris, Ronchi napas.
(+), Wheezing (-),
saturasi 80% , pasien
terpasang O2 NRB
10L/mnt.

Ds: Serangan kejang dan Risiko cedera


Keluarga klien penurunan tingkat
mengatakan klien kesadaran.
mengalami kejang 2 kali
selama 10 menit.
Do:
- Pasien kejang
- Pasien mengalami
penurunan kesadaran
- TD : 80/70mmHg, N
: 120x/mnt, S : 37,5
C
Ds : tidak terkaji Penurunan kekuatan Gangguan Mobilitas
Do : otot Fisik
Klien bedrest dan hanya
tidur terlentang, tidur
malam selama 8 jam,
Klien mengalami
kelemahan fisik
Skala kekuatan otot :
1 1
1 1

D. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Pola napas tidak efektif b.d kelemahan otot-otot pernapasan dan kegagalan
fungsi napas.
2. Risiko cedera b.d Serangan kejang dan penurunan tingkat kesadaran.
3. Gangguan Mobilitas Fisik b.d penurunan kekuatan otot

E. INTERVENSI

Pola Nafas Tidak Efektif berhubungan dengan Penyumbatan jalan nafas


Tujuan : Setelah dilakukan tindakan 2 x 60 menit diharapkan pola nafas klien
efektif
Kriteria Hasil :
 RR normal 16-20 x/mnt
 Tidak ada otot bantu nafas
 Tidak ada pernafasan cuping hidung

Intervensi Rasional
Observasi
1. Kaji dan pantau pernapasan, Memantau ada atau tidak penyumbatan
reflek batuk dan sekresi. jalan napas.
2.
Mandiri
3. Masukkan spatel lidah/ jalan Mencegah tergigitnya lidah dan
napas buatan atau gulungan benda memfasilitasi saat melakukan
lunak sesuai indikasi penghisapan lender. Jalan napas buatan
mungkin diindikasikan setelah
meredanya aktivitas kejang jika pasien
tersebut tidak sadar dan tidak dapat
mempertahankan posisi lidah yang
aman
4. Siapkan/ bantu melakukan Munculnya apneu yang
intubasi jika ada indikasi berkepanjangan pada fase posiktal
membutuhkan
Edukasi
5. Anjurkan pakaian pada daerah Untuk memfasilitasi usaha bernapas
leher, dada, dan abdomen
Kolaborasi
6. Kolaborasi pemberian O2 / Dapat menurunkan hipoksia serebral
ventilasi manual sesuai kebutuhan sebagai akibat dari sirkulasi yang
pada fase posiktal. menurun atau oksigen sekunder
terhadap spasme vaskuler selama
serangan kejang

Risiko cedera berhubungan dengan serangan kejang dan penurunan


tingkat kesadaran.
Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan 3x24jam tidak terjadi kejang.
Kriteria Hasil: aktivitas kejang tidak ada, keluarga klien mengetahui penyebab
kejang , S: 36,5°C - 37°C, TD= 120-110/60-80mmHg.
Intervensi Rasional
Observasi
Observasi tanda-tanda kejang Untuk dapat menentukan intervensi
dengan segera
Observasi TTV (suhu, nadi, tekanan Memantau perkembangan pengobatan
darah, RR) klien
Mandiri

Edukasi
Jelaskan pada klien dan keluarga Menambah pengetahuan klien dan
penyebab kejang keluarga
Kolaborasi:
Kolaborasi pemberian obat anti kejang
/ konvulsi Menanggulangi kejang berulang
Kolaborasi pemberian anti inflamasi Menurunkan panas yang menyebabkan
kejang
Gangguan Mobilitas Fisik b.d Penurunan kekuatan otot
Tujuan : setelah dilakukan asuhan keperawatan 3x24 jam diharapkan pasien
dapat tetap mempertahankan pergerakannya, dengan
Kriteria Hasil :
- Px bisa menggerakkan ekstremitas
- Skala otot 1-3
Intervensi Evaluasi
Observasi TTV Untuk memantau status kesehatan
pasien
Anjurkan pasien melakukan mobilisasi Untuk mencegah penekanan pada
(miring kanan miring kiri) daerah punggung
Ajarkan pasien ROM Untuk meningkatkan skala kekuatan
otot
Kolaborasi ke Ahli fisioterapi jika Untuk menentukan intervensi sesuai
diperlukan dengan keadaan pasien

F. IMPLEMENTASI

Tgl Jam No Implementasi Respon TTD


Dx perawat

2 April 15:30 2 Kolaborasi pemberian Pemberian diazepam


2014 obat anti kejang / terpasang selang infuse
konvulsi 0.2 mg / kg per infuse

15:40 1 Kolaborasi pemberian Pasien terpasang O2


O2 NRB 10L/mnt.
16:00 2 Mengobservasi TTV TD : 100/70mmHg, N :
(suhu, nadi, tekanan 110x/mnt, nadi reguler,
darah, RR) RR : 25x/menit

16:10 1 Mengkaji dan Pantau Bentuk dada simestris,


pernapasan, reflek batuk Ronchi (+), Wheezing (-
dan sekresi. ), saturasi 97%
17:00 3 Anjurkan pasien Pasien belum bisa
melakukan mobilisasi melakukan mobilisasi
(miring kanan miring mandiri
kiri)
G. EVALUASI
Tgl Jam Diagnosa Diagnosa
2 april 21:00 Pola Nafas Tidak Efektif S : Tidak terkaji
2014 berhubungan dengan O : Bentuk dada simestris,
penyumbatan jalan nafas Ronchi (+), Wheezing (-),
saturasi 98% , Pasien terpasang
O2 NRB 10L/mnt.
A : Tujuan tercapai sebagian
P : Intervensi dilanjutkan
Risiko cedera berhubungan S : Tidak terkaji
dengan serangan kejang dan O:
- Pemberian diazepam
penurunan tingkat
terpasang selang infuse 0.2
kesadaran. mg / kg per infuse
- Pasien mengalami
penurunan kesadaran
A : Tujuan tercapai sebagian
P : Intervensi dilanjutkan

Gangguan Mobilitas Fisik S : Tidak terkaji


b.d Penurunan kekuatan otot O : Pasien tidak bisa
melakukan mobilisasi mandiri
A : Tujuan belum tercapai
P : Intervensi dilanjutkan
BAB IV
PENUTUP

4.1 KESIMPULAN
Kejang merupakan sebuah perubahan perilaku yang bersifat sementara dan
tiba – tiba yang merupakan hasil dari aktivitas listrik yang abnormal didalam otak.
Jika gangguan aktivitas listrik ini terbatas pada area otak tertentu , maka dapat
menimbulkan kejang yang bersifat parsial, namun jika gangguan aktivitas listrik
terjadi di seluruh area otak maka dapat menimbulkan kejang yang bersifat umum.

Kejang dapat disebabkan oleh berbagai keadaan yaitu, kejang demam,


hipoglikemia, hipoksia, hipotensi, tumor otak, meningitis, ketidakseimbangan
elektrolit, dan overdosis obat. Pada fase awal kejang manajemen jalan nafas dan
penghentian kejang adalah prioritas awal pada pasien dengan kejang aktif.

Obat anti epilepsi adalah pengobatan utama untuk sebagian besar pasien, memiliki
empat tujuan: untuk menghilangkan kejang atau mengurangi frekuensi mereka ke
tingkat maksimum yang mungkin, untuk menghindari efek samping yang
berhubungan dengan pengobatan jangka panjang, dan untuk membantu pasien
dalam mempertahankan atau memulihkan kegiatan psikososial mereka , dan dalam
menjaga kestabilan kehidupan sehari –hari mereka.

4.2 SARAN
Setelah disusun makalah ini, diharapkan mahasiswa dan masyarakat
mengetahui apa itu penyakit kejang dan bagaiman asuhan keperawatannya, karena
melihat bahwa penyakit kejang adalah penyakit yang dipandang sebelah mata di
masyarakat sehingga berdampak buruk bagi penderitanya. Dengan mengetahui
tentang konsep keperawatn pada penyakit kejang, diharapkan dapat meningkatkan
kehidupan sosial bagi penderita.
DAFTAR PUSTAKA

Doengoes, M. E. (2012). RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN : PEDOMAN UNTUK


PERENCANAAN DAN PENDOKUMENTASIAN PERAWATAN PASIEN, Ed. 3. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Ismet. (2017). Kejang Demam. Jurnal Kesehatan Melayu, 41-44.

Rubenstein, D., Wayne, D., & Bradley, J. (2007). Lecture notes : Kedokteran Klinis. Jakarta:
Penerbit Erlangga.

Anda mungkin juga menyukai