Anda di halaman 1dari 50

SISTEM NEUROPSIKIATRI LAPORAN PBL

Sabtu, 18 September 2021

“Skenario 3”

Disusun Oleh :

KELOMPOK X

Tutor :

Dr. dr. Bertha Jean Que, Sp.S., M.Kes

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS PATTIMURA
AMBON
2021
DAFTAR NAMA ANGGOTA KELOMPOK PENYUSUN

Ketua : Della Agustin 2019-83-078

Sekretaris 1 : Stephany Theresia Wattimena 2019-83-083

Sekretaris 2 : Elisa Melinia Perangin-angin 2019-83-084

Anggota :

1. Glory Pupella 2018-83-099

2. Iqbal Alaudilah Harahap 2019-83-074


3. Fatimah Azzahra 2019-83-075

4. Yohannes 2019-83-076
5. Glaselaria Angelin Oeijano 2019-83-077

6. Zechaniah Marciela Maelissa 2019-83-080


7. Andrea Samantha Mahazayaka 2019-83-081

8. Ruth Magdalena Lumbantobing 2019-83-082


9. Nisel Wilandyo Tala 2019-83-087

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur senantiasa kami ucapkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, Karena
berkat dan rahmat-Nya, kami dapat menyelesaikan laporan ini tepat waktu.
Laporan ini memuat hasil diskusi kami selama tutorial 1 dan tutorial 2 Problem
Based Learning (PBL) pada skenario ketiga Blok Sistem Neuropsikiatri. Laporan ini
tidak mungkin dapat terselesaikan tanpa bantuan dan dukungan dari berbagai pihak.
Oleh sebab itu, pada kesempatan ini kami ingin menyampaikan terima kasih kepada:
1. Dr. dr. Bertha Jean Que, Sp.S., M.Kes selaku tutor yang telah
mendampingi kami selama diskusi PBL berlangsung.
2. dr. Laura B. S. Huwae, Sp.S., M.Kes dan dr. Melita A. Ayuba
selakuPenanggung Jawab Sistem Neuropsikiatri.
3. Semua pihak yang telah membantu yang tidak dapat kami sebutkan satu
per satu.
Akhir kata, kami menyadari bahwa pembuatan laporan ini masih jauh dari
kesempurnaan. Oleh sebab itu, kritik dan saran yang membangun sangat kami
perlukan untuk perbaikan laporan kami selanjutnya.

Ambon, 18 September 2021

Kelompok X

ii
DAFTAR ISI

DAFTAR NAMA ANGGOTA KELOMPOK PENYUSUN .................................. i

KATA PENGANTAR ............................................................................................. ii

DAFTAR ISI .......................................................................................................... iii

DAFTAR GAMBAR.............................................................................................. iv

BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1

1.1 Permasalahan .............................................................................................. 1

1.2 Seven Jumps ............................................................................................... 1

1.2.1 Step I: Identifikasi Kata Sukar dan Kalimat Kunci.............................. 1

1.2.2 Step II: Identifikasi Masalah............................................................... 2

1.2.3 Step III: Hipotesis Sementara ............................................................. 2

1.2.4 Step IV: Klarifikasi Masalah dan Mind Mapping.................................7

1.2.5 Step V: Learning Objective ................................................................ 8

1.2.6 Step VI: Belajar Mandiri .................................................................... 8

1.2.7 Step VII: Presentasi Hasil Belajar Mandiri ......................................... 8

BAB II PEMBAHASAN ......................................................................................... 9

2.1 Etiologi dan Faktor Risiko Meningoensefalitis ............................................ 9

2.2 Patomekanisme Meningoensefalitis ........................................................... 14

2.3 Alur Diagnosis Meningoensefalitis ............................................................ 16

2.4 Diagnosis Banding Sesuai Skenario........................................................... 23

2.5 Tatalaksana Meningoensefalitis ................................................................. 36

BAB III PENUTUP ............................................................................................... 43

3.1 Kesimpulan ............................................................................................... 43

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................ 44

iii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.1 Mind Mapping...................................................................................... 7

Gambar 2.1 Glasgow Coma Scale ......................................................................... 18

Gambar 2.2 Kernick Sign dan Brudzinski’s Neck Sign ........................................... 20

Gambar 2.3 Pungsi Lumbal ................................................................................... 21

Gambar 2.4 Analisis CSF ...................................................................................... 22

Gambar 2.5 Meningitis Piogenik Akut .................................................................. 26

Gambar 2.6 Diagnosis Meningitis Kronik .............................................................. 27

Gambar 2.7 Perbandingan Karakter CSS pada Jenis Meningitis yang Berbeda...... 29

Gambar 2.8 Abses Serebral di Substansi Putih Lobus Frontal ............................... 30

Gambar 2.9 Malformasi Arterivenosa ................................................................... 36

Gambar 2.10 Terapi Antimikroba Empirik pada Meningitis Bacterial Akut .......... 38

iv
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Permasalahan
Anakku tidak sadar

Seorang penderita laki-laki umur 20tahun, dibawa oleh orang tuanya ke ugd rumah sakit
karena tidak sadarkan diri, sebelumnya penderita mengalami batuk dan demam. Batuk
berdarah disangkal oleh ibu penderita. Dua hari sebelm masuk rumah sakit penderita
tidak dapat buang air kecil (BAK). Penderita kejang seluruh tubuh lalu tidak sadar. Tanda
meningeal positif.

1.2 Seven Jumps


1.2.1 Step I : Identifikasi kata sukar dan kalimat kunci
1.2.1.1 Identifikasi kata sukar
1. Meningeal : Tanda meningeal adalah pemeriksaan fisik yang digunakan
untuk mengidentifikasi tanda iritasi selaput meninges. selaput
meninges terdiri dari 3 lapisan yang membungkus otak dan medulla
spinalis, yaitu duramater, arachnoid mater, piamater.
2. Kejang : Gangguan aktivitas listrik diotak yang ditandai dengan
gerakan tubuh yang tidak terkendali dan hilangnya kesadaran pada
seseorang. Kejang adalah kontraksi otot yang tidak sengaja, tidak
berbahaya dan sementara tapi dapat menimbulkan rasa sakit. Kejang
adalah suatu gejala yang timbul akibat efek langsung maupun tidak
langsung dari penyakit sistem saraf pusat/disfungsi otak.
1.2.1.2 Identifikasi kalimat kunci
1. Seorang penderita laki-laki umur 20tahun, dibawa oleh orang tuanya ke
ugd rumah sakit karena tidak sadarkan diri
2. Sebelumnya penderita mengalami batuk dan demam
3. Dua hari sebelm masuk rumah sakit penderita tidak dapat buang air
kecil (BAK)

1
2

4. Penderita kejang seluruh tubuh lalu tidak sadar


5. Tanda meningeal positif
1.2.2 Step II : Identifikasi Masalah
1. Apakah ada hubungan antara demam dan kejang yang dialami oleh pasien?
2. Apakah makna klinis dari batuk dan demam dengan keadaan pasien sesuai
skenario?
3. Apa saja pemeriksaan tanda-tanda meningeal ?
4. Bagaimana penanganan awal jika seseorang mengalami kejang ?
5. Apakah ada hubungan kejang dengan penurunan kesadaran pada pasien
tersebut ?
6. Bagaimana mekanisme sehingga dapat terjadi kejang pada pasien tersebut?
7. Mengapa pasien tidak dapat buang air kecil dan apa hubungannya dengan
kondisi yang dialami pasien ?
8. Apakah ada pengaruh usia dengan gejala atau apa yang dialami pasien?
1.2.3 Step III : Hipotesis Sementara
1. Ada hubungan antara demam dan kejang. Demam menandakan adanya
peradangan atau infeksi bakteri/patogen lainnya, yang membuat timbulnya
respon inflamasi dari tubuh kita. Dari skenario dikatakan tanda meningeal
positif, kemungkinan pasien mengalami meningitis yang merupakan terjadinya
peradangan pada meninges. Peradangan ini paling banyak disebabkan karena
infeksi bakteri dan menyebabkan terganggunya sistem regulasi menyebabkan
hipotalamus meningkatkan suhu tubuh sehingga demam, sehingga pasien
mengalami menggigil, dan juga mengganggu metabolisme otak dan membuat
terjadinya gangguan keseimbangan membran sel saraf. Hal ini membuat
terganggunya difusi ion K dan Na, ketika terjadinya gangguan menimbulkan
potensial aksi di sel-sel saraf otak dan mengakibatkan kejang.
2. Demam merupakan mekanisme pertahanan tubuh dalam melawan infeksi
dalam tubuh kita. Dimana dihasilkan makrofag yang berperan. Demam dan
batuk berkaitan dengan terjadinya infeksi pada selaput meninges, yang ditandai
juga dengan tanda meningeal yang positif. Meningitis disebabkan oleh infeksi
bakteri (bakteri TB, S. Pneumoniae, dll) yang mnybbkn infeksi ascendens ke
3

meninges. Infeksi dari paru-paru, bakteri buat kolonisasi dan menyebbakan


infeksi ascendens, dan lewat hematogen juga sehingga timbul demam juga.
Kolonisasi dari nasofaring, bisa infeksi lewat hematogen atau lewat defek
cribriform plate atau fraktur basis kranii dan bisa menyebabkan infeksi ke
selaput meninges.
3. Pemeriksaan tanda rangsang meningeal dilakukan untuk menilai adakah
peradangan pada meninges. Pemeriksaan ini terdiri dari 4 tanda yang dinilai,
yaitu :
Pemeriksaan kaku kuduk dilakukan dengan cara menempatkan tangan
pemeriksa dibawah kepala pasien yang sedang berbaring lalu kepala
difleksikan dan diusahakan agar dagu mencapai dada, kaku kuduk dinilai
positif apabila terdapat tahanan atau dagu tidak mencapai dada.
Lasegue sign, dilakukan dengan cara pasien diminta untuk berbaring lurus
lalu satu tungkainya diangkat lurus dan difleksikan pada persendian
panggul, dimana dinilai positif jika sebelum mencapai sudut 70° sudah
didapati rasa sakit dan tahanan.
Kernig sign, dilakukan dengan memfleksikan salah satu paha pasien pada
persendian panggul hingga membuat sudut 90°, lalu tungkai bawah sisi
yang sama diekstensikan pada persendian lutut hingga membuat sudut 135°
atau lebih. Dinilai positif jika terdapat tahanan sebelum mencapai sudut
135° atau terdapat rasa nyeri.
Brudzinski I (brudzinki neck sign), tangan pemeriksa ditempatkan dibawah
kepala pasien yang sedang berbaring, lalu fleksikan kepala sejauh mungkin
sampai dagu mencapai dada, dan tangan lainnya ditempatkan di dada
pasien untuk mencegah badan pasien terangkat. Nilai positif jika terjadi
fleksi involunter pada kedua tungkai.
Brudzinski II, posisi pasien berbaring lalu satu tungkai difleksikan pada
persendian panggul dengan tungkai lainnya dalam keadaan ekstensi. Positif
jika pada tungkai yang ekstensi ikut terfleksi pada sendi panggul dan lutut.
Brudzinski III, Menekan os.zygomaticum, positif jika flexi involunter pada
ekstremitas superior
4

Brudzinski IV, Menekan symphisis.os pubis, positif jika flexi involunter


pada ekstremitas inferior
4. Hal-hal yang dilakukan dalam menangani kejang : memperhatikan Airway,
Breathing, Circulation, suhu tubuh. Pasien diletakan dengan posisi semiprond
dan kepala miring ke samping, kemudian ganjal mulut dengan sendok agar
mencegah pasien mengigit lidah. Tatalaksana awal dapat dilakukan pemberian
antibiotik harus segera dimulai sambil menunggu hasil tes diagnostik dan
nantinya dapat diubah setelah ada temuan laboratorik. Pilihan antibiotik
empirik pada pasien di skenario berdasarkan epidemiologi lokal, usia pasien,
dan adanya penyakit yang mendasari atau faktor risiko penyerta. Antibiotik
empirik bisa diganti dengan antibiotik yang lebih spesifik jika hasil kultur
sudah ada. Durasi terapi antibiotik bergantung pada bakteri penyebab,
keparahan penyakit, dan jenis antibiotik yang digunakan. Antibiotik harus
segera diberikan bila ada syok sepsis. Jika terjadi syok sepsis, pasien harus
diterapi dengan cairan dan mungkin memerlukan dukungan obat inotropik. Jika
terjadi peningkatan tekanan intrakranial, pertimbangkan pemberian manitol.
Penanganan awal, menjauhkan pasien dari tempat yang ada benda-benda tajam,
posisikan pasien ditempat yang aman. Longgarkan pakaian pasien, jika pasien
sementara kejang jangan diberikan minum pada pasien. berikan beberapa
pengobatan awal : diazepam bolus dan venitoin. Perlu perhatikan 6B :
Breath/fungsi pernapasan, Blood/tekanan darah dan kadar gula darah,
Brain/penurunan kesadarannya, Bowel/ fungsi saluran cerna, Bladder/fungsi
saluran kemih, Bone and Body skin/perhatikan adanya luka atau lecet pada
tubuh pasien. Penanganan awal pada pasien kejang adalah jangan takut, jangan
panik, utamakan keselamatan dan bertindak tenang. Pindahkan barang-barang
berbahaya yang ada di dekat pasien. Jangan masukkan apapun ke mulut pasien,
bila pasien muntah atau mengeluarkan banyak liur, miringkan kepala pasien ke
salah satu sisi. Tetap disamping pasien sambil mengobservasi kondisi kejang,
perhatikan keadaan kesadaran, warna wajah, posisi mata, pergerakan keempat
anggota gerak, dan suhu tubuh, waktu saat kejang mulai dan berakhir, serta
lamanya kejang. Bila setelah kejang berakhir tidak ada keluhan atau
5

kelemahan, maka pasien dapat dikatakan telah pulih. Tetapi jika kejang
berlangsung selama 2-3 menit, kejang yang diikuti kejang berikutnya tanpa
ada fase sadar diantaranya, atau pasien terluka saat terjadinya kejang, segera
cari pertolongan medis/rumah sakit.
5. Tidak ada hubungan kejang dan penurunan kesadaran secara langsung, tetapi
penyebabnya itu sama dikarenakan adanya peningkatan intrakranial. Efek
inflamasi salah satunya adanya tumor dari kriteria inflamasi atau pembesaran
selaput otak sehingga terjadi peningkatan TIK dan gangguan perfusi jaringan.
Gangguan perfusi jaringan bisa menyebabkan difusi ion Na dan K sehingga
terjadi depolarisasi sel neuron. Depolarisasi sel neuron menyebabkan potensial
aksi, jika hal ini terjadi terus-menerus maka akan terjadi gangguan kelistrikan
di otak sehingga menyebabkan kejang. Selain itu, ganggaun perfusi jaringan
akan menyebabkan suplai sel darah berkurang dan mekanisme tubuh akan
merespon hal tersebut sehingga terjadi penurunan kesadaran dikarenakan sel
neuron yang kekurangan bahan untuk menghasilkan energi. Keduanya bukan
berhubungan namun memiliki penyebab yang sama. Tumor yang dimaksud
tadi adalah antara edema maupun purulen atau eksudat yang dihasilkan oleh
patogen yang menginvasi. Inilah yang membuat TIK meningkat dan menekan
otak baik bagian sensorik maupun motorik dan menghambat perfusi parenkim
juga sehingga penurunan kesadaran terjadi. Patogen juga dapat menyebar ke
daerah hipotalamus melalui baik hematogenik maupun kontinuitatum dari
meninges maupun serebri, inilah yang menyebabkan hipertermi.
6. Mekanisme terjadinya kejang pada pasien berkaitan dengan demam yang
terjadi akibat infeksi membuat pengurasan ATP sangat banyak (karena semua
sel-sel berusaha melawan patogen yang ada), sehingga terjadi hipoxia dan
hipoglikemia. Padahal oksigen dan glukosa sangat dibutuhkan sebagai nutrisi
otak. Karena hipoksia dan hipoglikemi menimbulkan terjadi gangguan fungsi
pada kanal ion Na dan K sehingga Na yang ad di luar sel msuk ke dalam sel
dan terjadi depolarisasi. Depolarisasi menyebabkan permeabilitas membran
meningkat sehingga Na masuk makin banyak, terjadi depolarisasi terus dan
tidak seimbang dengan hiperpolarisasi. Akibatnya neurotransmitter yang keluar
6

semakin banyak dan terjadi kejang. Pasien mengalami demam berpengaruh


dalam terjadinya kejang. Saat terjadinya demam/kenaikan suhu 1derjat
meningkatkan metabolisme basal 10-15%, yang berarti kebutuhan oksigen juga
meningkat dan membuat terganggunya keseimbangan membran sel neuron, dan
terjadinya difusi K dan Na dan menyebabkan terjadinya lepas muatan listrik
yang semakin besar ke seluruh membran sel disekitarnya. Dengan bantuan
neurotransmitter dapat terjadinya kejang. Kejang terjadi karena terjadi
peningkatan aktivitas neurotransmitter.
7. Kondisi pada pasien disebut Neurogenic bladder atau kandung kemih
neurogenik adalah kondisi hilangnya kontrol kandung kemih akibat gangguan
pada otak, tulang belakang, atau saraf. Kerusakan pada saraf dapat membuat
kandung kemih menjadi terlalu aktif atau justru kurang aktif. Proses keluarnya
urine dikendalikan oleh otak. Ketika kandung kemih mulai penuh, otak akan
menghantarkan sinyal menuju saraf kandung kemih agar otot-otot di
sekelilingnya berkontraksi. Kontraksi otot kandung kemih menyebabkan
keluarnya urine. Nah. pada skenario, pasien mengalami masalah pada
persarafan kandung kemih. Penyebab tidak BAK, bisa terjadi karena adanya
infeksi saluran kemig. Patogen penyebab ISK ini yang kemudian juga dapat
menyebabkan infeksi di selaput otak dan menyebabkan gangguan seperti yang
sudah tertera di skenario.
8. Pengaruh usia dengan gejala secara langsung terdapat hubungannya. Salah satu
faktor risiko terjadinya meningitis adalah usia muda. Bisa juga karena
penyebaran antar manusia, dikarenakan pasien usia muda yang masih produktif
dan beraktivitas bisa saja terinfeksi. Jadi kalau umur 20 tahun harusnya sudah
maksimal pertahanan tubuhnya walaupun memang pada dasarnya infeksi
sering sekali menyerang usia muda karena sistem pertahanan tubuh yang belum
siap secara penuh menghadapi berbagai patogen. Pada pasien dengan usia 20
tahun perlu digali lebih dalam apakah si pasien merupakan seseorang dengan
imunokompeten atau immunocompromised. Jika pasien imunokompeten ada
beberapa bakteri yang dapat melewati sawar darah otak, namun jika
7

immunocompromised sangat mendukung terjadinya infeksi meningitis pada


pasien.
1.2.4 Step IV : Klarifikasi Masalah Dan Mind Mapping

Klarifikasi Masalah :-
Mind mapping :

Gambar 1.1 Mind Mapping


8

1.2.5 Step V : Learning Objective


1. Mahasiswa/i mampu menjelaskan tentang etiologi dan faktor risiko
meningoenseflitis
2. Mahasiswa/i mampu menjelaskan tentang patomekanisme menigoensefalitis
3. Mahasiswa/i mampu menjelaskan tentang alur diagnosis menigoensefalitis
4. Mahasiswa/i mampu menjelaskan tentang diagnosis banding
meningoensefalitis
5. Mahasiswa/i mampu menjelaskan tentang tatalaksana meningoensefalitis
1.2.6 Step VI: Belajar Mandiri
(mencari jawaban dari learning objective yang sudah ditentukan)

1.2.7 Step VII: Presentasi Hasil Belajar Mandiri


(mempresentasikan jawaban dari hasil belajar mandiri)
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Etiologi dan Faktor Risiko Meningoensefalitis


Meningoensefalitis dikenal juga dengan nama ensefalomeningitis,
serebromeningitis dan meningocerebritis. Meningoensefalitis merupakan
gabungan dari Meningitis dan Enselofalitis. Meningitis merupakan inflamasi
atau peradangan yang terjadi di meningens, yakni selaput yang melapisi otak
dan sumsum tulang belakang, sedangkan Ensefalitis adalah proses
peradangan yang terjadi di jaringan parenkim otak yang berhubungan
dengan adanya disfungsi otak atau neurofisiologi. Jadi, Meningoensefalitis
adalah peradangan pada selaput meningen (selaput yang melapisi otak dan
sumsum tulang belakang) dan pada jaringan otak.1
2.1.1 Etiologi Meningoensefalitis
Meningoensefalitis dapat disebabkan oleh patogen sepeti virus,
bakteri, jamur dan parasit. Selain itu bisa juga disebabkan oleh
penyakit dan pengobatan terrentu. 1
A. Virus
Meningoensefalitis virus paling sering terjadi pada anak-anak,
remaja dan dewasa muda. Dari kelompok virus Enterovirus, 85% di
antaranya menjadi penyebab meningitis. Infeksinya ini lebih sering
terjadi saat musim panas dan musim gugur. Jenis-jenis virusnya
adalah: 1,2
a. Coxsackievirus A
b. Coxsackievirus B
c. Echoviruses
Selain itu, meningitis virus juga bisa disebabkan oleh virus yang
menjadi penyebab utama penyakit:

9
10

a. Herpes simplex virus penyebab herpes oral dan kelamin


b. Varicella zoster penyebab cacar air
c. HIV
B. Bakteri
Jenis ini dapat menimbulkan dampak kesehatan serius bahkan
bisa mengancam nyawa. Selain itu, penyakit sering kali disertai
dengan penyakit serius lain seperti sepsis yang dapat menyebabkan
kerusakan jaringan, gagal organ, dan kematian. Biasanya gejala
muncul dalam 3 sampai 7 hari setelah terinfeksi. Ada beberapa jenis
bakteri yang dapat menyebabkan meningitis.1,2
Beberapa penyebab utama dari bakterial meningitis adalah:
a. Streptococcus pneumoniae juga disebut dengan Pneumococcus
b. Neisseria meningitidis juga dikenal dengan Meningococcus
c. Haemophilus influenzae atau Hib
d. Streptococcus suis penyebab meningitis babi Meningitis babi
e. Listeria monocytogenes
f. Group B Streptococcus
g. E. coli
Tidak semua bakteri yang menyebabkan meningitis ditularkan
dari satu orang ke orang lain. Anda juga dapat terkena bacterial
meningitis setelah mengonsumsi makanan tertentu yang
mengandung bakteri.1
C. Jamur
Dibandingkan meningitis virus dan bakteri, meningitis yang
disebabkan oleh jamur lebih jarang terjadi. Orang-orang yang
memiliki sistem kekebalan tubuh yang lemah seperti penderita
HIV/AIDS dan kanker sangat berisiko terjangkit meningitis jenis ini
Penyakit ini dapat muncul ketika seseorang menghirup spora dari
11

jamur yang kemudian menyebabkan peradangan di selaput otak


atau saraf tulang belakang. Akan tetapi, penderita meningitis jamur
tidak dapat menularkan jamur penyebab meningitis ini kepada
orang lain.1,2
Menurut CDC, beberapa jenis jamur yang paling umum
menyebabkan meningitis adalah:
a. Cryptococcus: terdapat di tanah, kayu yang melapuk, dan
kotoran burung.
b. Blastomyces: bisa ditemukan di lingkungan yang banyak
terdapat kotoran burung.
c. Histoplasma: tinggal di tanah atau permukaan lembab, kayu
dan daun yang melapuk.
d. Coccidioides: tinggal di permukaan tanah dan lingkungan yang
kering.
e. Jamur yang tinggal di jaringan kulit manusia seperti Candida
juga dapat menyebabkan infeksi di selaput meninges. Meskipun
begitu, jamur kulit juga bisa tinggal di dalam tubuh tanpa
menyebabkan gangguan apapun.
D. Parasit
Infeksi parasit yang menyebabkan meningitis lebih langka dari
yang disebabkan infeksi virus atau bakteri. Parasit penyebab radang
selaput otak bisa ditemukan dalam tanah, kotoran, hewan, dan
daging hewan yang terkontaminasi. 1,2
Ada tiga parasit utama yang menjadi penyebab radang selaput
otak yaitu:
a. Angiostrongylus cantonensis
b. Baylisascaris procyonis
c. Gnathostoma spinigerum
12

Sama halnya akibat infeksi jamur, peradangan selaput otak


akibat parasit tidak menular dari orang ke orang. Parasit penyebab
meningitis biasanya masuk ke tubuh manusia melalui kontak
dengan binatang yang terinfeksi atau daging binatang terinfeksi
yang dimakan manusia. Rakun termasuk binatang yang paling
sering terinfeksi parasit penyebab radang selaput otak. 1,2
E. Penyebab non-infeksi
Infeksi patogen bukanlah satu-satunya penyebab dari meningitis.
Radang selaput otak juga dapat disebabkan oleh pengobatan dan
penyakit tertentu. Jenis meningitis non-infeksi ini tidak dapat
ditularkan, tapi tetap perlu diwaspadai. Kondisi yang dapat
menyebabkan radang selaput otak di antaranya adalah: 1,2
a. Konsumsi obat-obatan kimia. Penggunaan beberapa jenis
antibiotik obat antiradang (NSAID) dapat menimbulkan komplikasi
seperti peradangan pada selaput otak. Komplikasi yang sama juga
bisa diakibatkan oleh pengobatan kanker.
b. Penyakit autoimun. Sejumlah temuan menunjukkan keterkaitan
antara penyakit lupus dan sarkoidosis terhadap meningitis. Pada
kondisi ini, diketahui terjadi peradangan di selaput meninges, tapi
tidak ditemukan organisme penyebab infeksi.
c. Kanker. Sel kanker sekalipun tidak berasal dari sistem saraf
pusat dapat berpindah dan menyebabkan peradangan di selaput otak
dan sumsum tulang belakang.
d. Sipilis dan HIV. Infeksi penyebab penyakit menular seksual
seperti sifilis dan HIV dapat menyerang selaput meninges.
e. Tuberkulosis. Meningitis tuberkulosis terjadi saat infeksi
bakteri penyebab tuberkulosis telah menyerang selaput pelindung
otak dan sumsum tulang belakang.
13

f. Cedera kepala, terjadi fraktur pada tengkorak


g. Operasi otak

2.1.2 Faktor Risiko Meningoensefalitis


Beberapa hal dapat membuat seseorang lebih rentan untuk
terjangkit meningitis baik yang disebabkan oleh infeksi maupun
faktor lain. Anda perlu lebih waspada jika memiliki faktor risiko
penyebab meningitis seperti:2,3
A. Usia
Semua orang dari setiap usia memang bisa terjangkit
meningoensefalitis. Kebanyakan kasus dari meningoensefalitis.
virus terjadi pada anak-anak di bawah 5 tahun. Meningitis yang
disebabkan oleh bakteri umum terjadi pada orang di bawah 20
tahun.
B. Tidak divaksinasi
Risiko meningkat pada orang yang tidak mendapatkan
vaksin meningitis baik untuk anak-anak maupun dewasa yang
direkomendasikan.
C. Berpergian
Pergi ke wilayah yang memiliki kasus infeksi meningitis
yang tinggi ataupun ke negara yang belum pernah dikunjungi
sebelumnya akan meningkatkan risiko.
D. Lingkungan
Penyakit meningitis akan lebih mudah tersebar cepat dan
luas.ketika orang-orang tinggal dengan jarak berdekatan.
Berada di ruang yang sempit dan kecil, dan terisolasi dapat
meningkatkan risiko paparan penyakit meningitis, seperti
asrama, penjara, tempat penitipan anak, dan boarding school.
E. Sistem imun yang rentan
14

AIDS, kecanduan alkohol, diabetes, penggunaan obat


imunosupresan dan faktor lain yang mempengaruhi sistem
imun dapat membuat seseorang lebih rentan terhadap
meningitis. Prosedur pengobatan tertentu juga meningkatkan
risiko. Oleh karena itu, pasien yang akan melakukan
pengangkatan atau transplantasi organ seperti limpa harus
melakukan vaksinasi guna meminimalisasi risiko.
F. Berenang di air yang terkontaminasi
Penyebab meningitis yang tidak boleh diremehkan ialah
berenang di perairan yang sudah terkontaminasi amuba
bernama Naeglaria fowleri. Biasanya, amuba ini dapat hidup di
perairan hangat, namun bukan laut.

2.2 Patomekanisme Meningoensefalitis

Meningitis adalah suatu penyakit yang terjadi karena peradangan atau


infeksi pada sistem selaput pelindung otak dan sumsum tulang belakang.
Meningitis dan meningoensafalitis infeksiosa dapat disebabkan oleh
berbagai agen seperti bakteri, mikobakteria, jamur, dan virus. 4

Bakteri yang menyebabkan meningitis ditularkan dari orang ke orang


melalui tetesan sekret pernapasan atau tenggorokan dari pembawa. Kontak
dekat dan berkepanjangan seperti berciuman, bersin atau batuk pada
seseorang, atau tinggal berdekatan dengan orang yang terinfeksi,
memudahkan penyebaran penyakit. Masa inkubasi rata-rata adalah 4 hari
tetapi dapat berkisar antara 2 dan 10 hari.5
Neisseria meningitidis hanya menginfeksi manusia. Bakteri dapat
dibawa di tenggorokan dan kadang-kadang dapat membanjiri pertahanan
tubuh yang memungkinkan infeksi menyebar melalui aliran darah ke otak.
Sebagian besar populasi (antara 5 dan 10%) membawa Neisseria
15

meningitidis di tenggorokan mereka pada waktu tertentu. 5


Kriptokokal meningitis adalah infeksi jamur yang disebabkan oleh
jamur berkapsul genus Cryptococcus yaitu Cryptococcus neoformans yang
mengenai sistem saraf pusat dengan gejala meningitis dan
meningoensefalitis. Penyakit ini muncul sebagai kasus sporadis yang
tersebar di seluruh dunia, merupakan infeksi oportunistik terutama terjadi
pada individu immunocompromised (umumnya pada penderita HIV/AIDS),
tetapi kasus dapat juga terjadi pada individu yang imunokompeten. 6
Infeksi berawal dari inhalasi sel ragi kecil atau basidiospora yang
memicu terjadinya kolonisasi pada saluran nafas dan kemudian diikuti oleh
infeksi. Makrofag pada paru-paru sangat penting dalam sistem kontrol
terhadap inokulasi jamur.6
Makrofag dan sel dendritik berperan penting dalam respons terhadap
infeksi Cryptococcus. Sel ini berperan dalam pengenalan terhadap jamur,
dalam fagositosis, presentasi antigen, dan aktivasi respons pada pejamu,
serta meningkatkan efektivitas opsonisasi fagositosis terhadap jamur. Pada
sel dendritik reseptor mannose berperan penting untuk pengenalan jamur dan
presentasi antigen terhadap sel T, sel ini bereaksi dengan C. neoformans dan
mengekspresikannya ke limfosit kemudian bermigrasi ke jaringan limfoid.
Makrofag memberikan respons terhadap C. neoformans dengan melepaskan
sitokin proinflamasi yaitu IL-1. Sekresi IL-1 mengatur proliferasi dan
aktivasi limfosit T yang penting dalam memediasi pembersihan paru.6

Imunitas yang dimediasi oleh sel memiliki peranan penting dalam


pertahanan terhadap Cryptococcus. Pada banyak kasus penyebaran
kriptokokosis terjadi pada keadaan defisiensi sel T CD4+ (HIV/AIDS),
imunitas dihubungkan dengan respons sel Th1 yang aktif menghancurkan C.
neoformans. Sel CD4+ dan CD8+ berperan pada jaringan yang terinfeksi.
Limfosit T CD4+ dan CD8+ secara langsung menghambat pertumbuhan
16

jamur melalui perlekatan terhadap permukaan sel Cryptococcus. Kurangnya


atau tidak adanya respons imun yang baik untuk menginaktifkan dan
menghancurkan organisme yang masuk menyebabkan perluasan dan
peningkatan kerusakan sel/jaringan akibat infeksi. 6

2.3 Alur Diagnosis Meningoensefalitis

Untuk menegakan suatu diagnosis perlu dilakukan anamnesis,


pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.
2.3.1 Anamnesis
Anamnesis adalah suatu komunikasi efektif antara dokter dan
pasien untuk menggali riwayat penyakit pasien yang menunjang 60% -
80 % diagnosis nantinya. Informasi-informasi yang akan didapat lewat
anamnesis adalah identitas pasien, keluhan utama, riwayat penyakit
sekarang, riwayat penyakit dahulu, riwayat penyakit dalam keluarga
dan riwayat sosial pasien. Berdasarkan skenario, anamnesis yang
dilakukan adalah alloanamnesis. Hal ini dikarenakan pasien dalam
kondisi tidak sadar, maka anamnesis dilakukan pada orang tua/wali
dari pasien (Alloanamnesis).7
Berdasarkan skenario, diketahui pasien seorang laki-laki, berusia
20 tahun. Datang dengan kondisi tidak sadarkan diri dan kejang
sebelumnya. Pasien juga memiliki riwayat demam dan batuk, serta
tidak dapat buang air kecil dua hari sebelumnya. Dari anamnesis,
didapatkan bahwa keluhan-keluhan yang pasien alami mengarah pada
manifestasi klinis meningitis dan ensefalitis. Pasien yang mengalami
demam, penurunan kesadaran dan kejang dicurigai atau dikatakan
sebagai suspek meningoencefalitis, namun diagnosis ini harus
ditegakan dengan melakukan pemeriksaan fisik dan penunjang berupa
pemeriksaan CSF (cerebrospinal fluid).8 Adapun beberapa manifestasi
17

klinis yang berkaitan dengan meningitis, ensefalitis dan


meningoencefalitis :8,9
a. Meningitis
Terdapat TRIAS meningitis, yaitu demam, sakit kepala dan
kaku leher. Selain itu ditemukan juga setidaknya dua dari empat
manifestasi klinis berikut, yaitu sakit kepala, demam, kaku leher
dan penurunan kesadaran.8
b. Ensfalitis
Terdapat TRIAS ensefalitis, yaitu demam, kejang dan
penurunan kesadaran. Selain itu ditemukan juga adanya sakit
kepala, mialgia, gangguan respiratori ringan dan adanya defisit
neurologi fokal.8
c. Meningoencefalitis

Adapun gejala-gejala meningoencefalitis, yaitu demam, sensitif


terhadap cahaya, sakit kepala, kaku leher, kebingungan, kesulitan
berpikir jernih, halusinasi, unusual behaviors, perubahan
kepribadian, kelelahan atau kantuk, kejang, defisit neurologi fokal,
ketidaksadaran.8,9
Jadi, jika ditemukan pasien yang mengalami gejala ringan, seperti
demam dan sakit kepala, maka dicurigai sebagai tanda awal meningitis.
Sedangkan, jika ditemukan pasien yang mengalami gejala berat, seperti
defisit neurologi fokal, kantuk yang terus-menerus dan kejang, maka ini
dapat dicurigai sebagai meningoensefalitis.8,9
2.3.2 Pemeriksaan Fisik
Berdasarkan keluhan-keluhan yang disampaikan pasien, hal
ini mengarah pada penyakit meningoensefalitis. Oleh karena itu, pada
pemeriksaan fisik akan dilakukan beberapa pemeriksaan
berikut:10,11,12
18

a. Pemeriksaan tanda-tanda vital : suhu tubuh, frekuensi pernapasan,


denyut nadi dan tekanan darah.10
b. Pemeriksaan kepala : melihat adakah tanda trauma, hematom di
kulit kepala, hematoma di sekitar mata, perdarahan di liang
telinga dan hidung.10
c. Pemeriksaan kulit : melihat adakah tanda trauma, stigmata
penyakit hati, bekas suntikan, perdarahan, dan sebagainya. 10
d. Pemeriksaan toraks, jantung, paru, abdomen dan ekstremitas. 10,11
e. Pemeriksaan Neurologis
Derajat kesadaran
Tingkat kesadaran dapat diukur secara kualitatif maupun
kuantitatif. Kualitatif dinyatakan sebagai compos mentis,
somnolen, stupor, dan koma. Sedangkan, kuantitaif dinilai
dengan menggunakan Glassgow Coma Scale (GCS).10,12

Gambar 2.1 Glasgow Coma Scale.12


Sumber : Netter’s Neurology. 2nd ed. Philadelphia: Elsevier; 2012. 197p.
19

Pemeriksaan motorik dan sensorik


Pemeriksaan tanda rangsang meningeal

Pemeriksaan tanda rangsang meningeal yang positif


mengindikasikan adanya peradangan pada menings.
Pemeriksaan ini terdiri dari :10,11
1. Kaku kuduk
Pasien dalam posisi berbaring, tangan pemeriksa
diletakan pada bawah kepala pasien. Kemudian kepala
ditekukan/fleksi sampai dagu mencapai dada. Jika
ditemukan adanya tahanan dan dagu tidak mencapai dada
maka kaku kuduknya positif. Pada pasien yg tidak sadar,
kaku kuduk menghilang atau berkurang, sehingga
pemeriksaan ini baiknya dilakukan saat pasien ekspirasi
untuk menghindari salah tafsir.10,11
2. Lasegue sign
Pasien berbaring dengan kedua tungkai diluruskan.
Kemudian satu tungkai diangkat lurus dan difleksikan pada
persendian panggulnya, sedangkan tungkai satunya dalam
keadaan lurus. Normalnya kita bisa melakukan ini sampai
sudut 70° sebelum timbul tahanan dan rasa sakit. Jika timbul
tahanan sebelum mencapai sudut 70° maka, lasegue sign
positif.10,11
3. Kernig sign
Pasien berbaring dengan salah satu tungkai difleksikkan
pahanya pada persendian panggul sampai sudut 90°. Setelah
itu baru tungkai bawahnya diekstensikan sampai sudut 135°.
Biia terdapat nyeri atau tahanan sebelum sudut tersebut
maka, kernig sign positif.10,11
20

Gambar 2. 2 Kernick sign dan Brudzinski’s neck sign.12


Sumber : Netter’s Neurology. 2nd ed. Philadelphia: Elsevier; 2012.
410p.

4. Brudzinski I atau Brudzinski’s neck sign


Pasien berbaring, tangan pemeriksa berada dibawah
kepala pasien dan tekukan kepala sampai dagu mencapai
dada. Tangan satunya diletakan di dada pasien untuk
mencegah pasien mengangkat badan. Brudzinski I positif,
jika tindakan ini membuat fleksi kedua tungkai.10,11
5. Brudzinski II atau Brudzinski/s contralateral leg sign
Pasien berbaring satu tungkai difleksikan pada
persendian panggul, dan satu lagi dalam keadaan ekstensi.
Jika tungkai ekstensi ikut fleksi maka brudzinski II positif.11
6. Brudzinski III
Penekanan pada kedua pipi atau tepat di bawah os.
zigomatikum . Tanda ini positif jika terjadi gerakan fleksi
reflektorik pada ekstremitas superior (lengan tangan
21

fleksi).11
7. Brudzinski IV
Penekanan pada simfisis pubis . Tanda ini positif jika
terjadi gerakan fleksi reflektorik pada ekstremitas inferior
(kaki).11
2.3.3 Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan Darah

Dilakukan pemeriksaan kadar hemoglobin, jumlah leukosit,


Laju Endap Darah (LED), kadar glukosa, kadar ureum, elektrolit
dan kultur darah untuk membantu mengevaluasi patogen
penyebab infeksi.8,11
Analisis CSF (cerebrospinal fluid)

Diagnosis pasti meningoencefalitis adalah analisis CSF


(cerebrospinal fluid) yang dilakukan dengan pungsi lumbal
untuk mengambil sampel CSFnya. Kemudian sampel CSF akan
diperiksa secara makroskopik, mikroskopik, kimia dan
hematologi.8,11

Gambar 2.3 Pungsi lumbal.12


Sumber : Netter’s Neurology. 2nd ed. Philadelphia: Elsevier; 2012. 409p.
22

Gambar 2.4 Analisis CSF.8


Sumber : Sapra H, Singhal V. Managing Meningo-encephalitis in Indian
ICU. Indian J Crit Care Med 2019;23(Suppl 2):S124–S128.

b. EEG (Electroencephalogram)

Pemeriksaan ini dilakukan untuk melihat aktivitas gelombang


otak seseorang untuk mengidentifikasi gangguan fungsi otak tertentu.
EEG sangat dianjurkan pada setiap kasus dugaan ensefalitis akut. Ini
membantu dalam membedakan focal encephalitis (misalnya temporal
discharges pada ensefalitis HSV) dari generalized encephalopathy
(perlambatan bihemisfer difus).8

c. Pemeriksaan Radiologi

CT-Scan kepala

Pemeriksaan CT-Scan kepala membantu untuk


mengidentifikasi atau menyingkirkan pasien dengan kondisi-
kondisi tertentu yang tidak bisa untuk menjalai pungsi lumbal
dulu, seperti pasien yang memiliki risiko herniasi setelah pungsi
lumbal, pasien tumor otak dan lain sebagainya.8,11
Berdasarkan pedoman Infectious Diseases Society of America
(IDSA), menggambarkan kriteria untuk penggunaan CT kepala
sebelum LP pada orang dewasa dengan meningitis yang terdiri
23

dari :8
1. Keadaan immunocompromised, seperti HIV, pasien yang
menerima terapi imunosupresif, atau pasca transplantasi –
untuk menyingkirkan ensefalitis toksoplasma atau
limfoma.
2. Riwayat penyakit pada sistem saraf pusat, seperti mass
lession, stroke, atau infeksi fokal.
3. Kejang onset baru.
4. Temuan neurologis abnormal seperti papiledema, tingkat
kesadaran abnormal, dan defisit neurologis fokal.
MRI kepala

MRI kepala dilakukan untuk mendeteksi adanya dan


tingkat perubahan inflamasi pada meningen, serta identifikasi
komplikasi seperti hidrosefalus, edema serebral atau stroke.8

2.4 Diagnosis Banding Sesuai Skenario

Infeksi sistem saraf pusat (SSP) bervariasi dalam penyebab, presentasi,


dan prognosis. Infeksi SSP bersifat terisolasi oleh mekanisme perlindungan
dari SSP. Sawar darah otak adalah fitur utama pelindung SSP dan bekerja
untuk membatasi agar tidak ada patogen dan molekul besar dari aliran darah
yang masuk ke dalam cairan serebrospinal (CSF). Sawar darah otak (SDO)
terdiri dari jaringan khusus sel-sel endotel otak, perisit dan astrosit yang
mendukung kapiler otak. Tantangan khusus yang muncul sebagai akibat dari
mekanisme perlindungan ini adalah kesulitan mengidentifikasi ruang
neurovaskular spesifik di mana infeksi berada, baik itu meningen, ruang
epidural, atau parenkim otak itu sendiri. Agen infeksi yang awalnya
menyebabkan meningitis dapat dengan mudah berkembang menjadi
ensefalitis, juga dikenal sebagai meningoensefalitis. 13
24

2.4.1 Meningitis
Meninges adalah membran tiga lapis penutup yang terdiri dari
piamater, duramater, dan ruang arachnoid. Meningitis mengacu pada
peradangan leptomeninges dan CSS dalam ruang subarachnoid yang
ada antara piamater dan arachnoidmater. Penyebab pasti dari
peradangan dapat bervariasi. Inflamasi dapat menyebabkan edema
yang signifikan pada struktur sekitarnya dan terjadi peningkatan
intrakranial (TIK). Organisme seperti Escherichia coli dan Neisseria
meningitidis, bersifat piogenik dan dapat menyebabkan eksudat
supuratif kental yang menutupi batang otak dan menebalkan
leptomeninges. Meningitis adalah proses inflamasi yang mengenai
leptomengines di dalam area subarachnoid; jika infeksi menyebar ke
lapisan otak di bawahnya maka disebut meningoensefalitis. Kerusakan
jaringan saraf dapat merupakan akibat dari cedera langsung neuron
atau sel glia oleh agen infeksius atau racun mikroba, atau mungkin
akibat dari respons imun pejamu (host) bawaan lahir atau adaptif.
Agen infeksius dapat mencapai sistem saraf melalui beberapa jalan
masuk seperti :13
1. Penyebaran hematogen melalui suplai darah arteri adalah cara
masuk yang tersering, dan dapat juga terjadi penyebaran retrograd
melalui anastomosis antara pembuluh vena wajah dan sinus
venosus tulang tengkorak.
2. Implantasi langsung mikroorganisme hampir selalu terjadi akibat
masuknya benda asing melalui trauma. Pada kasus yang jarang
keadaan ini dapat terjadi iatrogenic, ketika mikroba terbawa jarum
punksi lumbal
3. Perluasan lokal dapat terjadi pada infeksi tengkorak atau tulang
belakang. Sumbernya yaitu udara sinus, paling sering mastoid atau
25

frontal, infeksi gigi, osteomyelitis kranial atau spinal, malformasi


kongenital, seperti meningomielokel.
4. Saraf perifer juga bisa menjadi jalan masuk untuk beberapa
patogen khususnya virus seperti virus rabies dan herpes zoster.
Pemeriksaan CSS sering berguna dalam membedakan berbagai
penyebab meningitis. Infeksi meningitis secara umum dibedakan
menjadi subtipe piogenik akut (biasanya bakteri), aseptik (biasnaya
virus), dan kronik (biasanya tuberkulosis, spirochaeta, atau
kriptokokus).13
a. Meningitis piogenik akut (meningitis bakteri)
Banyak bakteri dapat menyebabkan meningitis piogenk akut,
tetapi biasanya jenis bakteri penyebab berbeda sesuai dengan
umur pasien. Pada neonatus, bakteri yang biasa ditemukan adalah
Escherichia coli, dan Streptococcus grup B; pada usia remaja dan
dewasa muda, Neisseria meningitidis adalah patogen tersering;
dan pada individu yang lebih tua, Streptococcus pneumonia dan
Listeria monocytogenes merupakan bakteri penyebab yang lebih
sering. Pada semua kelompok usia, pasien sering menunjukkan
tanda-tanda infeksi sistemik dengan iritasi meningeal dan
gangguan neurologik, yaitu sakit kepala, fotofobia, iritabilitas,
kesadaran berkabut, dan kekakuan leher.15
Punksi lumbal menunjukkan peningkatan tekanan;
pemeriksaan CSS menunjukkan jumlah neutrofil yang banyak,
peningkatan protein, dan pengurangan kadar glukosa. Adanya
bakteri dapat terlihat dengan pemeriksaan apusan atau dapat
dikultur, kadang-kadang sudah muncul beberapa jam sebelum
munculnya neutrofil. Pada meningitis akut, eksudat terlihat jelas
diantara leptomeninges di permukaan otak, pembuluh darah
meningeal melebar dan jelas terlihat. Dari area dengan akumulasi
26

pus terbanyak, saluran pus dapat diikuti di sepanjang pembuluh


darah di permukaan otak. Ketika meningitis menjadi fulminant, sel
radang menginfiltrasi dinding vena leptomeninges dan dapat
menyebar ke substansi otak (serebritis fokal), atau inflamasi dapat
meluas ke ventrikel, dan menghasilkan ventrikulitis. Pada
pemeriksaan mikroskopik, neutrofil mengisi seluruh ruang
subarachnoid di area yang terkena parah atau dapat juga banyak
ditemukan di sekitar pembuluh darah leptomeninges pada kasus
yang lebih ringan. Meningitis bakterial dapat berhubungan dengan
abses di dalam otak.14

Gambar 2.5 Meningitis Piogenik Akut13


Sumber : Kumar V, Abbas A, Aster J. Robbins Basic Pathology. Ed.9. 2015.
825p

b. Meningitis aseptik (meningitis virus)


Meningitis aseptik adalah istilah klinis untuk penyakit dengan
gejala meningeal, demam, dan penurunan kesadaran pada onset
yang relatif akut. Gejala klinis lebih ringan daripada meningitis
piogenik. Berbeda dengan meningitis piogenik, pemeriksaan CSS
sering menunjukkan limfositosis, peningkatan sedang protein, dan
kadar glukosa normal. Penyakit ini biasanya sembuh sendiri (self-
limiting).13
27

c. Meningitis kronik
Beberapa patogen termasuk mycobacterium dan beberapa
spirochaeta berhubungan dengan meningitis kronik. Infeksi oleh
organisme ini dapat mengenai parenkim otak. Meningitis kronik
dibedakan secara klinis dari meningitis akut dan subakut dengan
titik waktu yang berubah-ubah lebih dari 4 minggu gejala klinis
dengan bukti pleositosis CSS.14

Gambar 2.6 Diagnosis Meningitis Kronik14


Sumber : Thakur KT, Wilson MR. Chronic Meningitis. Continuum (Minneap
Minn). 2018;24(5):1298-1326.

1) Meningitis tuberkulosa
Meningitis tuberkulosa biasanya bermanifestasi sebagai
tanda dan gejala umum seperti sakit kepala, malaise, kekacauan
menta, dan muntah. Ada peningkatan sedang selularitas CSS,
dengan sel MN atau campuran sel PMN dan MN, kadar protein
meningkat (sering mencolok) dan kadar glukosa biasanya
menurun atau bisa juga normal. Infeksi dengan mycobacterium
tuberculosis dapat menyebabkan massa intraparenkim yang
berbatas tegas (tuberkuloma) yang mungkin berhubungan
dengan meningitis.14
28

2) Infeksi spirochaeta
Neurosifilis, sifilis stadium tersier, terjadi pada 10% orang
dengan infeksi Treponema pallidum yang tidak diobati. Pasien
dengan infeksi HIV berisiko lebih besar terkena neurosifilis,
yang seringkali lebih agresif dan lebih berat. Infeksi dapat
menghasilkan meningitis kronik (neurosifilis
meningovaskular), biasanya mengenai basal otak, sering
disertai endarteritis obliteratif yang kaya akan sel plasma dan
limfosit. Infeksi spirochaeta dapat juga melibatkan parenkim
otak (neurosifilis paretik), menyebabkan berkurangnya neuron
dan proliferasi nyata sel mikroglia yang berbentuk batang.
Secara klinis, bentuk penyakit ini menyebabkan penurunan
progresif fungsi mental dan fisis yang membahayakan,
perubahan mood (termasuk waham kebesaran), dan pada
akhirnya demensia berat.14
Tabes dorsalis adalah bentuk lain dari neurosifilis, berasal
dari kerusakan saraf sensoris di akar dorsal yang menyebabkan
sensasi gangguan posisi sendi dan ataksia (ataksia lokomotor),
hilangnya sensasi nyeri, menyebabkan kerusakan kulit dan
sendi (sendi Charcot); gangguan sensoris lainnya, terutama
nyeri seperti tersengat listrik; dan tidak adanya refleks tendon
dalam neuroborreliosis menunjukkan keterlibatan sistem saraf
oleh spirochaeta Borrelia burgdorferi, patogen penyebab
penyakit Lyme.14
Neuroborreliosis, juga dikenal sebagai penyakit Lyme,
disebabkan oleh bakteri Borrelia burgdorferi, bakteri yang
disebut spirochaete dan ditularkan ke manusia melalui gigitan
kutu yang terinfeksi. Kutu menjadi terinfeksi ketika mereka
29

memakan burung atau mamalia yang membawa bakteri dalam


darah mereka. Tanda dan gejala neurologik sangat bervariasi,
seperti meningitis aseptik, kelumpuhan saraf fasial,
ensefalopati ringan, dan polineuropati.14

Gambar 2.7 Perbandingan Karakter CSS pada Jenis Meningitis yang


Berbeda15
Sumber : Meisadona G, Soebroto AD, Estiasari R. Diagnosis dan
Tatalaksana Meningitis Bakterialis. CDK-224. 2015;42(1):15-19

2.4.2 Infeksi Parenkim


Semua patogen infeksius (virus hingga parasit) memiliki potensi
untuk menginfeksi otak, seringkalI dengan pola tertentu. Secara
umum, infeksi virus bersifat difus, infeksi bakteri (tidak berhubungan
dengan meningitis) bersifat lokal, sedangkan organisme lainnya
menghasilkan pola campuran. Pada orang dengan imunosupresi,
infeksi oleh agen apapun biasanya melibatkan area yang lebih luas.13
1. Abses otak
Abses otak hampir selalu disebabkan oleh infeksi bakteri.
Infeksi ini dapat berasal dari implantasi organisme langsung,
penyebaran lokal dari fokus-fokus sekitarnya (mastoiditis, sinusitis
paranasal), atau penyebaran hematogen (biasanya berasal dari
30

jantung, paru, tulang bagian distal, atau setelah ekstraksi gigi).


Kondisi yang menjadi predisposisi abses otak meliputi endokarditis
bakterial akut, yang menjadi tempat emboli septik dilepaskan dan
kemudian menyebabkan abses multipel; penyakit jantung sianotik,
terkait dengan aliran (shunt) dari kanan ke kiri dan hilangnya filtrasi
organisme oleh paru; serta infeksi paru kronik, seperti pada
bronkiektasis, yang berisi sumber-sumber mikroba yang dapat
menyebar secara hematogen.13

Gambar 2.8 Abses serebral di substansi putih lobus frontal13


Sumber : Kumar V, Abbas A, Aster J. Robbins Basic Pathology. Ed.9. 2015.
825p

Abses adalah lesi destruktif, yang menyebabkan pasien hampir


selalu mengalami defisit fokal yang progresif dan juga tanda umum
yang berkaitan dengan peningkatan tekanan intrakranial.
Pemeriksaan CSS menunjukkan kadar sel darah putih dan protein
biasanya tinggi, sedangkan kadar glukosa cenderung normal.
Peningkatan tekanan intrakranial dan herniasi progresif bisa fatal,
dan ruptur abses dapat menyebabkan ventrikulitis, meningitis, dan
trombosis sinus venosus.13
2. Ensefalitis virus
Ensefalitis virus adalah infeksi parenkim otak yang hampir
selalu berhubungan dengan inflamasi meningeal (sehingga
31

dinamakan meningoensefalitis). Virus yang berbeda jenisnya dapat


menunjukkan pola kerusakan yang bervariasi, gambaran histologis
yang paling khas adalah infiltrat sel MN (mononuclear) pada
parenkim dan perivaskular, nodul mikroglia, dan neurofagia.
Beberapa virus dapat juga membentuk badan inklusi yang khas.
Sistem saraf sangat rentan terhadap virus tertentu seperti virus
rabies dan virus polio. Beberapa virus menginfeksi jenis sel SSP
spesifik, sedangkan yang lainnya lebih sering mengenai daerah otak
tertentu (seperti lobus temporal medial, atau sistem limbic) yang
terletak sepanjang jalur masuknya virus. Infeksi virus intrauterine
dapat menyebabkan malformasi kongenital, seperti yang terjadi
pada rubella. Selain infeksi langsung sistem saraf, SSP juga dapat
dirusak oleh mekanisme imun setelah infeksi virus sistemik.13
a. Arbovirus
Arbovirus (arthropod-borne virus) adalah penyebab
penting terjadinya ensefalitis epidemik, khususnya di daerah
tropis, dan dapat menyebabkan morbiditas yang serius serta
mortalitas tinggi. Jenis yang paling sering ditemukan adalah
Eastern and Western equine encephalitis dan infeksi virus West
Nile. Pasien mengalami gejala neurologik umum, seperti
kejang, gelisah, delirium, dan stupor atau koma, dan juga tanda
fokal, seperti refleks asimetris dan kelumpuhan okular. CSS
biasanya tidak berwarna tetapi terdapat sedikit peningkatan
tekanan dan pleositosis neutrofilik awal yang dengan cepat
berubah menjadi limfositosis; kadar protein meningkat, tetapi
glukosa normal.13
b. Virus Herpes
Ensefalitis VHS-1 dapat terjadi pada segala kelompok
usia tetapi paling sering pada anak-anak dan dewasa muda.
32

Ensefalitis ini umumnya bermanifestasi sebagai perubahan


mood, daya ingat, dan perilaku, menggambarkan keterlibatan
lobus temporal dan frontal. Ensefalitis VHS berulang, kadang-
kadang berhubungan dengan penurunan mutasi yang
mengganggu hantaran sinyal Toll-like receptor (khususnya
TLR-3), yang mempunyai peran penting dalam pertahanan
antivirus. VHS-2 dapat juga menginfeksi sistem saraf, biasanya
dalam bentuk meningitis pada orang dewasa. Ensefalitis berat
yang luas sering terjadi pada neonatus yang lahir pervaginam
dari wanita dengan infeksi genital VHS primer aktif. 13
c. Cytomegalovirus
CMV menginfeksi sistem saraf pada janin dan orang-
orang dengan imunosupresi. Semua sel di dalam SSP (neuron,
sel glia, ependim, dan endotel) rentan terhadap infeksi. Infeksi
intrauterin menyebabkan nekrosis periventrikular, yang
kemudian menjadi mikrosefali dan klasifikasi periventrikular.
Ketika orang dewasa terinfeksi, CMV menghasilkan ensefalitis
subakut dengan regio yang paling berat terkena adalah regio
periventrikular. Lesi dapat hemoragik dan berisi sel dengan
inklusi virus.13
3. Ensefalitis fungal (jamur)
Infeksi jamur biasanya mneghasilkan granuloma atau abses
parenkim, sering berhubungan dengan meningitis. Beberapa infeksi
jamur tersering memiliki pola yang berbeda. Pada area yang
endemik, Histoplasma capsulatum, Coccidioidesimmitis, dan
Blastomyces dermatitidis juga dapat menginfeksi SSP, terutama
pada keadaan imunosupresi.13
a. Candida albicans biasanya menghasilkan mikroabses multipel,
dengan atau tanpa pembentukan granuloma
33

b. Mucormikosis adalah istilah yang digunakan untuk


mendeskripsikan infeksi rhinoserebral yang disebabkan oleh
beberapa jamur yang termasuk kelompok Mucorales. Umumnya,
jamur ini menginfeksi rongga hidung atau sinus pada pasien
diabetes dengan ketoasidosis. Infeksi dapat menyebar ke otak
melalui invasi vascular atau perluasan langsung lewat lempeng
cribriform.
c. Aspergilus fumigatus cenderung menyebabkan pola khusus
infark hemoragik septik luas karena predileksinya yang jelas
yaitu invasi dinding pembuluh darah dan akhirnya trombosis.
d. Cryptococcus neoformans dapat menyebabkan meningitis dan
meningoensefalitis, sering pada keadaan imunosupresi. Infeksi
dapat menjadi fulminan dan fatal dalam 2 minggu atau hanya
bersifat indolen, berkembang dalam beberapa bulan atau tahun.
CSS dapat menunjukkan sedikit sel tetapi protein meningkat dan
ragi mukoid berkapsul dapat dilihat dengan sediaan tinta India.
Perluasan ke dalam otak mengikuti pembuluh di dalam ruang
Virchow-Robin. Saat organisme berproliferasi, ruang ini
melebar, memberikan gambaran "gelembung sabun". Diagnosis
biasanya ditegakkan oleh tes positif antigen kriptokokal di CSS
atau darah.
2.4.3 Meningoensefalitis lain
1. Toksoplasmosis serebral
Infeksi serebral oleh protozoa toxoplasma gondii dapat
terjadi pada orang dewasa yang imunosupresi atau bayi baru lahir
yang mendapat infeksi melalui plasenta dari ibu dengan infeksi
aktif. Pada dewasa, gejala klinisnya subakut, berkembang dalam
1-2 minggu dan dapat fokal atau difus. Dikarenakan inflamasi dan
kerusakan sawar darah otak di tempat infeksi, studi CT scan dan
34

MRI sering menunjukkan edema di sekitar lesi (disebut lesi cincin


menyangat). Pada bayi baru lahir yang terinfeksi dalam uterus,
infeksi dapat menyebabkan trias korioretinitis, hidrosefalus, dan
kalsifikasi intrakranial. Abnormalitas SSP paling berat terjadi
ketika infeksi terjadi pada masa kehamilan awal ketika tahap kritis
perkembangan otak sedang berlangsung. Lesi nekrosis
periventrikular menyebabkan kalsifikasi sekunder dan juga
inflamasi dan gliosis, yang dapat menjadi obstruksi akuaduktus
Sylvii dan hidrosefalus.13
2. Sistiserkosis
Sistiserkosis adalah konsekuensi dari infeksi stadium akhir
cacing pita Taenia solium. Jika larva yang tertelan meninggalkan
lumen traktus gastrointestinal, tempat mereka bisa tumbuh
menjadi cacing dewasa, mereka akan membentuk kista. Kista
dapat ditemukan di seluruh tubuh tetapi paling sering di dalam
otak dan ruang subarachnoid. Sistiserkosis biasanya
bermanifestasi sebagai lesi massa dan dapat menyebabkan kejang.
Gejala menjadi lebih berat ketika organisme dalam kista mati,
seperti yang terjadi setelah pengobatan. Organisme ditemukan di
dalam kista dengan selubung halus. Dinding tubuh dan kait dari
mulut paling jelas dilihat. Jika organisme dalam kista mati, dapat
muncul infiltrat radang yang hebat pada otak sekitarnya, sering
termasuk eosinofil, yang berhubungan dengan gliosis nyata.13
3. Amebiasis
Meningoensefalitis amebik bermanifestasi sebagai sindrom
klinis yang berbeda-beda, tergantung pada patogen penyebabnya.
Naegleria spp biasanya terdapat di air bersih hangat yang tidak
mengalir menyebabkan ensefalitis nekrotikans yang cepat dan
fatal. Berbeda dengan acanthamoeba yang menyebabkan
35

meningoensefalitis granulomatosa kronik.13


2.4.4 Perdarahan Subarachnoid
Perdarahan akut ditandai oleh ekstravasasi darah, yang mendesak
parenkim di dekatnya. Perdarahan spontan subarachnoid biasanya
disebabkan oleh abnormalitas struktur vaskular, seperti aneurisma atau
malformasi arteriovenosa (arteriovenous malformation). Secara klinis
penyebab paling sering perdarahan subaraknoid nontraumatik yang
signifikan adalah pecahnya aneurisma sakular (berry aneurysm).
Perdarahan ke dalam ruang subaraknoid juga dapat berasal dari
malformasi vaskular, trauma (biasanya terkait dengan tanda jejas lain),
pecahnya pembuluh darah intraserebral ke dalam sistem ventrikel,
gangguan hematologik, dan tumor. Ruptur dapat terjadi kapan pun,
tetapi pada sekitar sepertiga kasus berhubungan dengan peningkatan
tekanan intrakranial akut, seperti saat sedang mengedan atau orgasme
seksual.13
Darah dengan tekanan arterial dipaksa masuk ke dalam ruang
subarachnoid, dan pasien terserang sakit kepala mendadak yang sangat
menyiksa (secara klasik dideskripsikan sebagai "sakit kepala terparah
yang pernah dialami") dan penurunan kesadaran cepat. Meskipun
kadang-kadang terjadi sebagai kelainan kongenital, aneurisma tidak
menyebabkan gejala saat lahir tetapi dapat berkembang seiring waktu
karena defek yang mendasarinya di dalam pembuluh darah. Ada
peningkatan risiko aneurisma pada pasien dengan penyakit ginjal kistik
autosomal dominan, dan juga pada pasien dengan kelainan genetik
protein matriks ekstrasel.13
Dalam periode awal setelah perdarahan subarachnoid, ada
penambahan risiko jejas iskemik akibat vasospasme pembuluh darah
lainnya. Penyembuhan dan fibrosis meningeal yang menyertainya serta
jaringan parut kadang-kadang mengobstruksi aliran atau menghambat
36

resorpsi CSS menyebabkan timbulnya hidrosefalus. Sebagai tambahan


untuk aneurisma sakular, aneurisma aterosklerotik, mikotik, traumatik
dan pembedahan (dissecting aneurysms) juga terjadi intrakranial. Tiga
jenis terakhir (seperti aneurisma sakular) paling sering ditemukan
dalam sirkulasi anterior, sedangkan aneurisma aterosklerotik sering
berbentuk fusiform dan paling sering mengenai arteri basilar.
Aneurisma nonsakular biasanya bermanifestasi sebagai infark serebri
akibat oklusi vaskular bukan perdarahan subarachnoid. MAV dapat
mengenai pembuluh darah subaraknoid yang meluas ke parenkim otak
atau terjadi khusus di dalam otak. Pada pemeriksaan makroskopik,
MAV menyerupai jaring-jaring kusut vaskular yang mirip cacing.13

Gambar 2.9 Malformasi Arteriovenosa13


Sumber : Kumar V, Abbas A, Aster J. Robbins Basic Pathology. Ed.9. 2015. 819p

2.5 Tatalaksana Meningoensefalitis

Trias klasik demam, leher kaku dan perubahan sensorium terlihat pada
<50% dari semua pasien dengan meningitis. Sembilan puluh lima persen
pasien akan, bagaimanapun, memiliki dua dari empat gejala sakit kepala,
demam, leher kaku dan kesadaran yang berubah. Terjadinya kejang
menunjukkan iritasi kortikal pada pasien dengan infeksi SSP dan merupakan
prediktor independen kematian. Infark serebral multipel akibat vaskulitis
atau trombosis vena dapat menyebabkan edema serebral dan peningkatan
37

tekanan intrakranial (TIK). Banyak manifestasi meningoensefalitis dapat


mengarah pada organisme penyebab – ruam atau purpura pada meningitis
meningokokus; ataksia dan labirinitis pada meningitis Herpes. influenzae;
batuk, penurunan berat badan dan defisit saraf kranial pada TBM.
Komplikasi sistemik seperti syok septik, pneumonia dan koagulasi
intravaskular diseminata kadang-kadang dapat terlihat pada meningitis
bakterial yang rumit.16
Presentasi klinis ensefalitis virus meliputi demam, sakit kepala,
mialgia, dan infeksi pernapasan ringan. Perubahan mental, defisit neurologis
fokal dan kejang biasanya mengikuti. Ruam herpes dapat terlihat pada
ensefalitis herpes simpleks. Pada pasien immunocompromised dengan
keterlibatan batang otak, diplopia, disartria dan ataksia mungkin ada.
Ensefalitis herpes simpleks, yang memiliki predileksi pada lobus temporal
dan orbitofrontal, dapat muncul dengan perubahan kepribadian, kehilangan
ingatan, kebingungan, atau halusinasi penciuman. Neonatus dengan
meningitis dapat hadir dengan iritabilitas, hipotonia, penurunan makan,
muntah, lesu dan kejang.16
2.5.1 Manajemen Darurat
Pasien dengan gejala dan tanda yang mengarah ke
meningoensefalitis harus diprioritaskan untuk mengurangi angka
kematian dan kecacatan jangka panjang. ABC resusitasi harus diikuti.
Jalan napas pasien dinilai untuk kebutuhan intubasi, dan vital, yang
meliputi denyut jantung, tekanan darah, laju pernapasan, suhu,
saturasi oksigen, dan Glasgow Coma Scale (GCS) dicatat.
Pemeriksaan glukosa darah cepat diikuti dengan kanulasi intravena
untuk resusitasi cairan segera. Sampel darah diambil untuk
hemogram, profil koagulasi, tes fungsi ginjal dan hati, kadar laktat
serum, dan yang paling penting, kultur darah. Inotrop (vasopresor)
dapat digunakan untuk mendukung tekanan darah jika pasien tidak
38

menanggapi tantangan cairan.16


Pada pasien yang dicurigai meningitis bakterial, antibiotik
parenteral spektrum luas dengan penetrasi CSF yang baik dan aksi
bakterisida, perlu segera dimulai tanpa penundaan untuk pencitraan
atau pungsi lumbal (Tabel 1). Menunda pengobatan antibiotik yang
tepat bahkan beberapa jam telah dikaitkan dengan hasil yang lebih
buruk pada pasien dengan meningitis bakteri. Sefalosporin generasi
ketiga, seperti ceftriaxone (2g iv setiap 12 jam) dan vankomisin (1g
iv setiap 12 jam) adalah pilihan yang masuk akal untuk memulai.
Ampisilin 2g iv q4h dapat ditambahkan pada pasien lanjut usia dan
imunosupresi untuk menutupi Listeria. Pada infeksi nosokomial,
sefalosporin antipseudomonal (ceftazidime atau cefipime) atau
carbapenem (meropenem) harus dipertimbangkan untuk menutupi
bakteri gram negatif yang resisten, bersama dengan Vankomisin.
Sebuah suntikan cepat intravena (iv) deksametason 10 mg
mendahului inisiasi antibiotik. Jika herpes ensefalitis adalah salah
satu perbedaan pasien, terapi antivirus dengan asiklovir iv 10 mg/kg
dapat ditambahkan. Pada pasien immunocompromised dengan
dugaan meningitis jamur, amfoterisin-B liposomal 3-5 mg/kg iv
setiap hari dimulai.16

Gambar 2.10: Terapi Antimikroba Empirik pada Meningitis Bacterial Akut16


Sumber: Sapra H, Singhal V. Managing Meningoencephalitis in Indian ICU.
Indian J Crit Care Med. 2019 Jun;23(Suppl 2):S124-S128.
39

Penatalaksanaan meningitis bertahap adalah sebagai berikut –


langkah pertama, kortikosteroid; langkah kedua, antibiotik empiris;
langkah ketiga, pencitraan; langkah keempat, pungsi lumbal; dan
langkah kelima, pengelolaan komplikasi. 16
2.5.2 Manajemen Definitif
Pengobatan definitif meningoensefalitis tergantung pada
identifikasi dan sensitivitas antimikroba dari organisme penyebab;
menjaga efek massa yang dapat disebabkan oleh infeksi SSP melalui
tindakan antiedema; dan modulasi respon imun pejamu melalui
steroid untuk meminimalkan peradangan yang berlebihan saat
mengobati infeksi.16
1. Steroid
Pedoman saat ini merekomendasikan penggunaan
deksametason 10 mg iv setiap 6 jam (0,15 mg/kg pada anak-
anak) bersamaan dengan antibiotik pada semua pasien yang
dicurigai dengan meningitis bakteri akut. Mereka membantu
untuk membatalkan efek sitokin inflamasi yang dilepaskan
karena lisis bakteri oleh antibiotik. Sitokin inflamasi ini
bertanggung jawab atas sebagian besar komplikasi meningitis,
seperti kejang, gangguan pendengaran sensorineural, infark vena,
dan peningkatan TIK. Pengobatan dengan steroid tampaknya
menurunkan insiden komplikasi ini, terutama pada infeksi
Streptococcus pneumoniae, memberikan manfaat kelangsungan
hidup. Namun, mereka harus dihindari pada pasien yang
sebelumnya menggunakan antibiotik.16
Steroid juga direkomendasikan sebagai bagian dari terapi
standar pada meningitis tuberkulosis untuk mengurangi
peradangan dan edema serebral. Steroid diketahui dapat
menurunkan mortalitas, setidaknya dalam jangka pendek.
40

Deksametason dalam dosis 0,4 mg/kg iv pada orang dewasa


harus dilanjutkan selama 4 minggu, dan diturunkan secara
bertahap selama 2-4 minggu.16
Pada ensefalitis virus, steroid ajuvan direkomendasikan
untuk mengurangi edema serebral pada fase tertunda (hari ke-4
dan seterusnya), sehingga meningkatkan hasil secara substansial.
Namun, pada fase awal (hari 1-3), penggunaan steroid dapat
meningkatkan replikasi virus yang terbukti berbahaya, dan harus
dihindari.16
2.5.3 Terapi antimikroba
Setelah hasil sensitivitas kultur organisme etiologi tersedia,
antibiotik yang sedang berlangsung dimodifikasi. Perhatian khusus
adalah basil gram negatif yang resisten terhadap banyak obat seperti
Pseudomonas, Acinetobacter dan Klebsiella, yang sebagian besar
terlihat di rangkaian nosokomial dengan perangkat shunt yang
terinfeksi. Mikroorganisme ini sering resisten carbepenem, dan
memerlukan inisiasi colistin, antibiotik yang memiliki penetrasi CSF
yang buruk. Akibatnya, infeksi merespon buruk terhadap terapi
sistemik saja. Alternatif untuk ini adalah pemberian antibiotik
intratekal/ intraventrikular untuk mencapai eradikasi bakteri.
Kombinasi terapi colistin intravena ditambah intraventrikular dapat
meningkatkan hasil pada pasien dengan meningitis karena infeksi
yang resistan terhadap banyak obat. Dosis colistin intraventrikular
berkisar antara 5-20 mg larutan bebas pengawet setiap hari.
Antimikroba lain yang diberikan melalui rute intraventrikular
termasuk – vankomisin, amikasin, polimiksin B, dll. Pada pasien
dengan pirau yang terinfeksi, praktik terbaik adalah melepas,
mengganti, atau mengeksternalisasi perangkat keras yang terinfeksi
sebagaimana mestinya.16
41

Pada TBM, Infectious Diseases Society of America (IDSA) dan


American Thoracic Society merekomendasikan rejimen
antituberkular yang serupa dengan yang diikuti untuk TB
(isoniazid/rifampicin/pyrazinamide/ethambutol) diikuti dengan fase
lanjutan hingga 10 bulan dengan isoniazid dan rifampisin. Perhatian
dalam pengobatan TBM adalah peningkatan TB yang resistan
terhadap berbagai obat (MDR), resisten terhadap isoniazid dan
Rifampisin. Pedoman WHO menyatakan penggunaan setidaknya
lima obat yang efektif pada awalnya dalam pengobatan MDR TBM.
Ini termasuk fluoroquinolone dan agen lini kedua suntik seperti
amikasin, kapreomisin, kanamisin, ethionamide, cycloserine atau
linezolid, dengan pengobatan yang berlangsung selama 18-24
bulan.16
Sebagian besar kasus ensefalitis virus dapat sembuh sendiri
dan pengobatannya sebagian besar bersifat suportif. Ini termasuk
pengobatan simtomatik demam, sakit kepala, mual; perlindungan
jalan napas jika diperlukan; optimasi cairan dan elektrolit yang tepat;
dan pengelolaan komplikasi seperti peningkatan TIK dan kejang.
Terapi antivirus khusus untuk ensefalitis virus umumnya terbatas
pada penyakit yang disebabkan oleh virus herpes simpleks. Inisiasi
dini asiklovir 10 mg/kg iv setiap 8 jam pada pasien yang dicurigai
dengan ensefalitis HSV (dalam 2 hari setelah onset) mengurangi
kemungkinan kematian dan gejala sisa yang serius. Perawatan harus
dilanjutkan selama 14-21 hari. Selama pengobatan, hidrasi yang
memadai perlu dipertahankan, karena asiklovir diketahui
menyebabkan nefropati yang diinduksi kristal. Ensefalitis CMV,
sebagian besar terlihat pada penerima transplantasi, diobati dengan
kombinasi gansiklovir (5 mg/kg iv setiap 12 jam) dan foscarnet (60
mg/kg iv setiap 8 jam). Gansiklovir dan foskarnet memerlukan
42

pemantauan yang cermat untuk disfungsi ginjal, supresi sumsum


tulang dan kejang.16
Regimen pengobatan untuk meningitis jamur terdiri dari fase
induksi awal dengan amfoterisin (liposomal amfoterisin 3-5
mg/kg/hari) selama 2-6 minggu tergantung pada respon klinis, diikuti
oleh fase konsolidasi dengan flukonazol (400 mg/hari) hingga 8
minggu atau bahkan lebih lama. Flusitosin (100 mg/kg/hari per oral
dalam empat dosis terbagi) sering ditambahkan ke amfoterisin-B
selama fase induksi untuk pengobatan infeksi Cryptococcal, Candida
dan Aspergillus. Penggunaan amfoterisin-B intratekal dalam
hubungannya dengan amfoterisin sistemik dan flusitosin, pada infeksi
jamur SSP invasif yang belum merespon terapi sistemik atau mereka
yang kambuh, juga telah dilaporkan. Dosis untuk amfoterisin-B
intratekal berkisar antara 0,01-1,5 mg dan interval berkisar dari
harian hingga mingguan.18 Vorikonazol (6 mg/kg iv setiap 12 jam
untuk dua dosis, diikuti oleh 4 mg/kg setiap 12 jam) dapat menjadi
terapi yang menjanjikan dalam pengelolaan. infeksi jamur SSP yang
rentan, terutama aspergillosis invasif.16
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Berdasarkan skenario, penderita datang dengan keluhan demam, batuk, kejang


seluruh tubuh, sulit BAK dan tidak sadarkan diri. Meningoensefalitis yang disebabkan
oleh bakteri masuk melalui peredaran darah, penyebaran langsung, komplikasi luka
tembus, dan kelainan kardiopulmonal. Penyebaran melalui peredaran darah dalam
bentuk sepsis atau berasal dari inflamasi di area luar otak. Penyebaran langsung dapat
melalui tromboflebilitis, osteomielitis, infeksi telinga bagian tengah, dan sinus
paranasales.
Untuk menegakan diagnosis perlu melakukan anamnesis yang mendalam terkait
keluhan dan riwayat penyakit penderita. Setelah itu dilakukan peneriksaan fisik
neurologi untuk menilai fungsi motorik, sensorik, keseimbangan dan tingkat kesadaran
pasien. Perlu juga dilakukan pemeriksaan penunjang seperti pungsi lumbal, analisis
CSF, pemeriksaan laboratorium serta pemeriksaan pencitraan seperti Ct-scan, MRI dan
EEG. Berdasarkan pemeriksaan tersebut barulah dapat diambil diagnosisnya.
Dari skenario disebutkan bahwa tanda meningeal positif, oleh karen itu pendirita
dapat dikategorikan suspek meningioensepalitis dengan diagnosis banding meningitis
bakterialis, meningitis TB, dan ensefalitis.Penderita perlu mendapatkan terapi
medikamentosa dan non-medikamentosa serta diberikan edukasi seperti pentingnya
vaksin meningitis karena vaksin merupakan salah satu upaya yang sangat baik
dilakukan. Selain itu penderita juga perlu diberikan edukasi terkait booster imun system
dan menjalankan pola hidup bersih dan sehat.

43
DAFTAR PUSTAKA

1. Octavius GS, Raditya AB, Kimberly E, Suwandi J, Christy M, Juliansen A. Infeksi


Susunan Saraf Pusat pada Anak: Sebuah Studi Potong Lintang Deskriptif Selama Lima
Tahun. Sari Pediatr [Internet]. 2021;23(1):6. Available from:
https://saripediatri.org/index.php/sari-pediatri/article/view/1917
2. Kemenkes RI. Cover designed by dr.nasseer. Pandu Deteksi dan Respon Penyakit
MENINGITIS MENINGOKOKUS [Internet]. 2019;1–100. Available from:
https://infeksiemerging.kemkes.go.id/download/Ebook_PANDUAN_DETEKSI_RESP
ON_MM-signed.pdf
3. Novariani M, Herini ES, Patria SY. Faktor Risiko Sekuele Meningitis Bakterial pada
Anak. Sari Pediatr [Internet]. 2016;9(5):342. Available from:
https://www.researchgate.net/publication/312175279_Faktor_Risiko_Sekuele_Meningit
is_Bakterial_pada_Anak
4. Pangandaheng EASS, Mawuntu AHP, Karema W. Gambaran Tingkat Pengetahuan dan
Perilaku Masyarakat Tentang Penyakit Meningitis di Kelurahan Soataloara II
Kecamatan Tahuna Kabupaten Kepulauan Sangihe. J.eCl. 2017; 5(2): 114-5p.
5. Meningitis [Internet]. Who.int. 2021 [cited 10 September 2021]. Available from:
https://www.who.int/health-topics/meningitis#tab=tab_1
6. Efrida, Desiekawati. Kriptokokal meningitis: Aspek klinis dan diagnosis laboratorium.
J. Kesehatan Andalas. 2012; 1(1): 40-1p.
7. Bickley LS, Szilagyi PG. Bates’ guide to physical examination and history-taking. 11th
ed. Lippincott Williams & Wilkins; 2013. 55–77 p.
8. Sapra H, Singhal V. Managing Meningo-encephalitis in Indian ICU. Indian J Crit Care
Med 2019;23(Suppl 2):S124–S128.
9. Christiansen S, Metrus NR. An Overview of Meningoencephalitis : A Serious
Inflammation of the Brain and Meninges [Internet]. verywellhealth. 2021 [cited 2021
Sep 8]. Available from: https://www.verywellhealth.com/meningoencephalitis-5082300
10. Lumbangtobing SM. Neurologi Klinik. Jakarta: Badan penerbit FK UI; 2018.

44
45

11. Tursinawati Y, Tajally A, Arum K, Takdir N, Setiawan K. BUKU AJAR Sistem Syaraf.
Malang: Unimus Press; 2017. 9-20p.
12. Netter’s Neurology. 2nd ed. Philadelphia: Elsevier; 2012. 197, 409-410p.
13. Kumar V, Abbas A, Aster J. Robbins Basic Pathology. Ed.9. 2015. 817-9, 823-5p
14. Thakur KT, Wilson MR. Chronic Meningitis. Continuum (Minneap Minn).
2018;24(5):1298-1326.
15. Meisadona G, Soebroto AD, Estiasari R. Diagnosis dan Tatalaksana Meningitis
Bakterialis. CDK-224. 2015;42(1):15-19
16. Sapra H, Singhal V. Managing Meningoencephalitis in Indian ICU. Indian J Crit Care
Med. 2019 Jun;23(Suppl 2):S124-S128.

Anda mungkin juga menyukai