Anda di halaman 1dari 55

BLOK ILMU KESEHATAN MASYARAKAT LAPORAN PBL

Kamis, 22 Maret 2023

“Muntah Berak Mendadak”

Disusun Oleh :

Kelompok 15

Tutor :

Dr. dr. Bertha Jean Que, Sp.S., M.Kes.

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS PATTIMURA

AMBON

2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan ke hadiran Tuhan Yang Maha Esa, karena
berkat dan rahmat-Nya, kami dapat menyelesaikan laporan ini tepat waktu.
Laporan ini memuat hasil diskusi kami selama tutorial 1 dan tutorial 2 Problem
Based Learning (PBL) pada skenario ketiga Blok Ilmu Kesehatan Masyarakat.
Skenario yang kami bahas kali ini yaitu “Muntah Berak Mendadak”. Laporan
ini tidak mungkin dapat terselesaikan tanpa bantuan dan dukungan dari berbagai
pihak. Oleh sebab itu, pada kesempatan ini kami ingin menyampaikan terima
kasih kepada:

1. Dr. dr. Bertha Jean Que A. Sp.S., M.Kes. selaku tutor yang telah
meluangkan waktu untuk mendampingi kami selama diskusi PBL
berlangsung.
2. dr. Ritha Tahitu, M.Kes dan dr. Lidya B.E Saptenno, M.Sc selaku
penanggung jawab Blok Ilmu Kesehatan Masyarakat.
3. Semua pihak yang telah membantu yang tidak dapat kami sebutkan satu
per satu.

Akhir kata, kami menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari
kesempurnaan. Oleh sebab itu, kritik dan saran yang membangun sangat kami
perlukan untuk penyusunan laporan selanjutnya. Kamipun berharap semoga
laporan ini dapat dipahami dan bermanfaat bagi pembaca sekalian. Terima kasih.

Ambon, 22 Maret 2023

Kelompok 15

ii
NAMA ANGGOTA KELOMPOK

Ketua : Fahilla Rizki Mesfer 2021-83-167

Sekretaris 1 : Maya Ningsi 2021-83-169

Sekretaris 2 : Angel Grathia Risteruw 2021-83-163

Anggota :

1. Krisna Claudia Faturey 2019-83-149


2. Tarisha Noer Hurulaini 2021-83-161
3. Silta Noerrifah Supriatna 2021-83-162
4. Grace Lestari Kilmanun 2021-83-164
5. Cut Maryam Kamelia Matdoan 2021-83-165
6. Arryan Ikhlil Nuzhmy 2021-83-166
7. Ummu Kalsum Mahulauw 2021-83-170
8. Juliana Jeujanan 2021-83-171
9. Riskayana Wael 2021-83-172

iii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................ ii


NAMA ANGGOTA KELOMPOK .................................................................. iii
DAFTAR ISI ..................................................................................................... iv
DAFTAR GAMBAR.......................................................................................... v
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................... 1
1.1 Skenario ......................................................................................................... 1
1.2 Step 1: Identifikasi kata sukar dan kalimat kunci ........................................ 2
1.3 Step 2: Identifikasi masalah ........................................................................... 2
1.4 Step 3: Hipotesis sementara ........................................................................... 2
1.5 Step 4: Klarifikasi dan Mind Mapping ........................................................... 4
1.6 Step 5: Learning objective ............................................................................. 5
1.7 Step 6: Belajar Mandiri ................................................................................. 6
1.8 Step 7: Presentasi Hasil Belajar Mandiri ...................................................... 6
BAB II PEMBAHASAN .................................................................................... 7
2.1 Epidemiologi dari Muntaber ......................................................................... 7
2.2 Faktor Resiko Dari Muntaber ..................................................................... 10
2.3 Syarat dan Program Kesling ....................................................................... 12
2.4 Upaya Preventif, Promotif, Kuratif dan Rehabilitatif ................................ 21
2.5 Peran puskesmas .......................................................................................... 23
2.6 Kandungan Gizi Untuk Mengatasi Mutaber Sesuai Dengan Skenario ...... 25
2.7 Dalam Ruang Lingkup dan Pembuangan Sampah Terkait Skenario ........ 27
2.8 Penyakit-Penyakit Yang Berhubungan Dengan Kekurangan Gizi,
Kelompok Rentan Gizi dan Pengukuran Status Gizi Masyarakat ........................ 29
BAB III PENUTUP .......................................................................................... 43
3.1 Kesimpulan ................................................................................................... 43
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 45

iv
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Prevalensi Diare pada Lansia di Indonesia ......................................... 3


Gambar 2. Distribusi Frekuensi Usia Anak yang mengalami Diare ..................... 3
Gambar 3. Menimbang berat badan balita dengan dacin ...................................42
Gambar 4. Mengukur panjang badan ................................................................43
Gambar 5. Mengukur tinggi lutut......................................................................45

v
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Skenario
“Muntah Berak Mendadak”

Dalam tiga hari terakhir, Puskesmas A telah menerima 12 balita dan 4


penderita dewasa yang menderita muntah berak. Padahal biasanya Puskesmas
A paling banyak menerima 2 penderita diare per harinya. Tujuh balita di
antaranya telah dirujuk ek RSUD Kabupaten karena mengalami dehidrasi
berat, sedangkan 3 penderita dewasa dipulangkan setelah diobservasi
semalam karena telah menunjukkan perbaikan. Seluruh penderita di atas
berasal dari 3 desa yang berdekatan. Menurut laporan kepala Puskesmas A ke
Kepala Camat dan Kepala Dinas Kesehatan, ketiga desa tersebut terletak di
tepi sungai.
Petugas Puskesmas yang berkunjung ke rumah-rumah penduduk di 3
desa tersebut menemukan banyak anak yang juga menderita muntah berak,
namun tidak separah anak-anak yang dibawa ke Puskesmas. Oleh petugas
Puskesmas anak-anak ini diberi oralit dan kepada orang tuanya dijelaskan
cara memberikan oralit dan cairan lain per oral serta pemberian makanan
untuk anaknya. Bila gejala tidak berkurang, mereka dianjurkan untuk control
ke Puskesmas A.
Wilayah kerja Puskesmas A meliputi 7 desa dengan 1275 penduduk. Tiga
desa terletak di tepi sungai, sedangkan empat desa lainnya terletak di dataran
yang lebih tinggi. Di seluruh desa belum ada MCK yang memenuhi syarat
Kesehatan. Sungai merupakan satu-satunya sumber air bagi penduduk yang
tinggal di tiga desa di tepi sungai, sedangkan desa yang terletak di dartan
menggunakan sumur gali sebagai satu-satunya sumber air.

1
1.2 Step 1: Identifikasi kata sukar dan kalimat kunci
A. Identifikasi Kata Sukar
1. MCK : Tempat mandi, cuci, dan kakus/tempat buang air . Sarana atau
fasilitas umum yang digunakan bersama oleh beberapa keluarga di
suatu pemukiman, dimana pemukiman ini dihuni oleh masyarakat
dengan tingkat ekonomi rendah.
2. Oralit : Larutan gula garam yang formulasikan khusus yang digunakan
untuk menggantikan cairan dan mineral tubuh yang hilang karna
dehidrasi atau diare.

B. Identifikasi Kalimat Kunci


1. Dalam tiga hari terakhir, Puskesmas A telah menerima 12 balita dan 4
penderita dewasa yang menderita muntah berak
2. Seluruh penderita di atas berasal dari 3 desa yang berdekatan
3. Puskesmas anak-anak ini diberi oralit dan kepada orang tuanya
dijelaskan cara memberikan oralit dan cairan lain per oral serta
pemberian makanan untuk anaknya
4. Di seluruh desa belum ada MCK yang memenuhi syarat Kesehatan
5. Sungai merupakan satu-satunya sumber air bagi penduduk yang
tinggal di tiga desa di tepi sungai

1.3 Step 2: Identifikasi masalah

1. Apakah ada keterkaitan gaya hidup dengan kejadian muntaber ?


2. Apa saja upaya pencegahan muntaber ?
3. Bagaimana peran puskesmas dalam menangani kasus ini ?

1.4 Step 3: Hipotesis sementara

1. Ya Ada, karena penduduk pada 3 desa tersebut melakukan kegiatan BAB


disungai, Nah penduduk juga mengambil air disungai untuk dipakai sehari

2
hari, kemudian bisa juga karena kebersihan perorangan dan lingkungan
yang kurang dijaga sehingga dapat menyebabkan terjadinya Muntaber.
Jadi, faktor perilaku. Jadi dapat dikatakan sungai yang dijadikan sebagai
tempat konsumsi tercemar dan tidak diolah dengan baik, sehingga dapat
mengakibatkan masyarakat setempat terjangkit diare . Jika seseorang
bertempat tinggal disuatu lingkungan yang mungkin banyak adanya
sampah-sampah maka seseorang tersebut bisa terkontaminasi dari
lingkungan di sekitarnya .
2. Upaya untuk mencegah muntaber antara lain menjaga kebersihan
lingkungan terutama sumber air yang dikonsumsi harus bersih kemudian
makanan yang dikonsumsi harus bersih dan matang biasakan untuk
mencuci tangan sebelum makan dan sesudah buang air besar dan buang air
kecil.
Perilaku sehat: pemberian ASI dan MPASI sesuai usia, gunakan air yang
benar-benar higenis, mencuci tangan. Lingkungan: pengolahan sampah
dengan baik, sarana pembuangan limbah, dan ketersediaan air bersih .
Mencuci tangan tujuh langkah, perhatikan untuk gunakan air mengalir, hal
lain yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya diare yaitu gunakan
jamban saat membuang tinjah, jangan buang kotoran ke sumber air.
Seperti pada di skenario sumber airnya sungai jadi jangan dikotori
sungainya, perlu juga masyarakat untuk mengambil air menggunakan
gayung agar sumber air tidak tercemar. Dan mengenai pengolahan sampah,
minimal jarak sumber air dengan pembuangan kotoran itu 10 meter .
Edukasi: edukasi masyarakat terutama anak-anak untuk menjaga
kebersihan serta kesehatanya dalam aktifitas sehari-hari kemudian
mengajarkan untuk anak tidak mengkomsusi makanan yang sudah basi
atau kotor.
3. Peran puskesmas dalam menangani kasus muntah berak yaitu dengan
penyuluhan Kesehatan pemberian informasi tentang diare dan penanganan
terjadinya diare dilakukan melalui penyuluhan yang bertujuan untuk
memberdayakan masyarakat sehingga mampu untuk mengatasi masalah

3
kesehatannya sendiri. Dengan kata lain dengan adanya penyuluhan
tersebut diharapkan dapat membawa akibat terhadap perubahan perilaku
kesehatan dari sasaran sehingga mengurangi kasus diare. Media yang
digunakan dalam melakukan penyuluhan adalah media seperti poster,
leaflet dan lembar balik penyuluhan. Penyuluhan diare sebaiknya
menggunakan media yang lengkap dan organisasi masyarakat juga terlibat
dalam melakukan penyuluhan.
Selain itu, melakukan penyehatan lingkungan yaitu salah satunya jangan
buang air besar (BAB) sembarangan seperti di sungai dan kebun. Hal
tersebut tentunya berkaitan dengan kepemilikan jamban dan merupakan
salah satu faktor terjadinya penyakit diare. Berdasarkan penelitian
Kamaruddin menunjukkan bahwa faktor lingkungan yaitu ketersediaan
jamban, sumber air bersih, tempat pembuangan sampah dan hygiene
perorangan ada hubungan kejadian diare. Hal ini sesuai dengan skeanrio
bahwa di seluruh desa tersebut belum ada MCK yang memnuhi syarat
Kesehatan. Untuk itu, Dalam rangka menyukseskan pembangunan
nasional, khususnya di bidang kesehatan, bentuk pelayanan kesehatan
diarahkan pada prinsip bahwa masyarakat bukanlah sebagai objek tetapi
merupakan subjek dari pembangunan itu sendiri. Pada hakikatnya,
kesehatan dipolakan mengikut sertakan masyarakat secara aktif dan
bertanggung jawab.

1.5 Step 4: Klarifikasi dan Mind Mapping

a. Klarifikasi
-

4
b. Mind Mapping

1.6 Step 5: Learning objective


1. Mahasiswa mampu menjelaskan epidemiologi dari muntaber
2. Mahasiswa mampu menjelaskan faktor resiko dari muntaber
3. Mahasiswa mampu menjelaskan syarat dan program kesehatan lingkungan
4. Mahasiswa mampu menjelaskan upaya preventif, promotif, kuratif dan
rehabilitatif
5. Mahsiswa mampu menjelaskan bagaimana peran puskesmas terkait
skenario
6. Mahsiswa mampu menjelaskan kandungan gizi untuk mengatasi muntaber
sesuai dengan skenario
7. Mahasiswa mampu menjelaskan sanitasi lingkungan dalam ruang lingkup
dan pembuangan sampah terkait skenario
8. Mahasiswa mampu menjelaskan penyakit-penyakit yang berkaitan dengan
kekurangan gizi, kelompok rentan gizi, dan status gizi masyarakat.

5
1.7 Step 6: Belajar Mandiri
(Mahasiswa mencari jawaban dari Learning Objective yang sudah
ditentukan)

1.8 Step 7: Presentasi Hasil Belajar Mandiri


(Mahasiswa mempresentasikan jawaban dari hasil belajar mandiri pada
pertemuan kedua)

6
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Epidemiologi dari Muntaber


Diare adalah sebuah penyakit dimana penderita mengalami buang air besar yang
sering dan masih memiliki kandungan air berlebihan. Di seluruh dunia, sekitar 2,5
juta kasus kematian karena diare per tahun. Di Amerika Serikat, diare terkait
mortalitas tinggi pada lanjut usia. Satu studi data mortalitas nasional melaporkan
lebih dari 28.000 kematian akibat diare dalam waktu 9 tahun, 51% kematian terjadi
pada lanjut usia. Selain itu, diare masih merupakan penyebab kematian anak di
seluruh dunia, meskipun tatalaksana sudah maju. 1
Penyakit diare masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di negara
berkembang seperti di Indonesia, karena morbiditas dan mortalitas-nya yang masih
tinggi. Di Indonesia, diare merupakan penyebab kematian nomor dua pada balita. 1
Penyakit diare penyebab kedua kematian balita didunia. Hampir 1 dari 5
kematian anak sekitar 1,5 juta setiap tahunnya dikarenakan diare. Diare merupakan
penyebab kematian balita sebesar 40% diseluruh dunia setiap tahunnya. Diare adalah
pembunuh utama anak- anak, pada tahun 2015 sebanyak 9% dari semua kematian
anak balita diseluruh dunia. Ini berarti untuk lebih dari 1.400 anak-anak meninggal
setiap hari, atau sekitar 526.000 anak per tahun, meskipun ketersediaan pengobatan
efektif yang sederhana.1
Penyakit Diare merupakan penyakit endemis yang berpotensi menimbulkan
Kejadian Luar Biasa (KLB) dan masih menjadi penyumbang angka kematian di
Indonesia terutama pada balita. Hasil Riset Kesehatan Dasar tahun 2018
memperlihatkan prevalensi diare untuk semua kelompok umur sebesar 8 %, balita
sebesar 12,3 %, dan pada bayi sebesar 10,6%. Sementara pada Sample Registration
System tahun 2018, diare tetap menjadi salah satu penyebab utama kematian pada
neonatus sebesar 7% dan pada bayi usia 28 hari sebesar 6%. 1
Di Indonesia, prevalensi diare merupakan masalah kesehatan masyarakat
dengan kasus yang tinggi. Berdasarkan data Kemenkes RI prevalensi diare pada
tahun 2018 sebanyak 37,88% atau sekitar 1.516.438 kasus pada balita. Prevalensi
tersebut mengalami kenaikan pada tahun 2019 menjadi 40% atau sekitar 1.591.944
kasus pada balita (Ditjen P2P, Kemenkes RI, 2020). Selain itu, Riskesdas

7
melaporkan prevalensi diare lebih banyak terjadi pada kelompok balita yang terdiri
dari 11,4 % atau sekitar 47.764 kasus pada laki-laki dan 10,5% atau sekitar 45.855
kasus pada perempuan.1
Kejadian diare pada anak laki-laki hampir sama dengan anak perempuan.
Penyakit ini ditularkan secara fecal-oral melalui makanan dan minuman yang
tercemar. Di negara yang sedang berkembang, insiden yang tinggi dari penyakit
diare merupakan kombinasi dari sumber air yang tercemar, kekurangan protein dan
kalori yang menyebabkan turunnya daya tahan tubuh. 1
Diare sampai saat ini merupakan masalah kesehatan masyarakat di
negara berkembang seperti Indonesia, karena sering menimbulkan Kejadian
Luar Biasa (KLB) dan disertai dengan kematian yang tinggi, terutama di
Indonesia Bagian Barat. Indonesia merupakan salah satu negara berkembang
dengan angka kejadian diare masih tinggi hal ini dilihat dari angka morbiditas
dan mortalitasnya. Lima provinsi dengan insiden dan prevalensi diare
tertinggi adalah Papua (6,3% dan 14,7%), Sulawesi Selatan (5,2% dan
10,2%), Aceh (5,0% dan 9,3%), Sulawesi Barat (4,7% dan 10,1%) dan
Sulawesi Tengah (4,4% dan 8,8%).2
Faktor risiko diare antara lain jenis kelamin perempuan lebih berisiko
dari pada laki-laki karena perempuan lebih banyak terlibat dalam kegiatan
rumah tangga sehari-hari seperti memasak, selain itu pendidikan juga faktor
risiko semakin tinggi pendidikan maka pengetahuan akan meningkat.
Mencuci tangan juga merupakan faktor risiko mencuci tangan dapat
memutuskan rantai transmisi kuman patogen masuk kedalam tubuh sehingga
mencegah diare.2
Menurut Elsi faktor yang berkaitan dengan kejadian diare yaitu tidak
memadainya penyediaan air bersih, air tercemar oleh tinja, kekurangan sarana
kebersihan, pembuangan tinja yang tidak higienis, kebersihan perorangan dan
lingkungan yang jelek, serta penyimpanan makanan yang tidak semestinya. 2

8
Gambar 1. Prevalensi Diare pada Lansia di Indonesia
Sumber: Sumolang PP, Nurjana MA, Widjaja J. Analisis Air Minum dan Perilaku Higienis
dengan Kejadian Diare pada Lansia di Indonesia. Media Penelit dan Pengemb Kesehat.
2019;29(1):99–106.

Riskesdas 2013 berhasil mewawancarai sebanyak 138.515 lansia yang


berumur di atas 54 tahun. Dari jumlah tersebut 4,5% di antaranya pernah
didiagnosis diare oleh tenaga kesehatan (Gambar 1). 2

Gambar 2. Distribusi Frekuensi Usia Anak yang mengalami Diare


Sumber: Petrika Y, Agusanty SF. Balita Tidak Asi Eksklusif Berisiko Tinggi Mengalami
Diare. J Vokasi Kesehat. 2021;6(2):109.

Pada penelitian ini, balita yang mengalami diare lebih banyak berusia 7-
24 bulan yaitu 47,5% dan paling sedikit berusia 48-59 bulan (5%) (Gambar
1). Hal ini sejalan dengan penelitian Siziya et al (2013) menunjukkan anak
dengan usia 48-59 bulan memiliki prevalensi lebih rendah (25%) untuk

9
mengalami diare, sedangkan anak-anak berusia 6-24 bulan dan mereka yang
berusia 24-35 bulan memiliki 1,5 kali lipat dan 1,17 kali lipat prevalensi diare
yang lebih tinggi (Siziya, Muula, & Rudatsikira, 2013). Dengan demikian
dapat dikatakan bahwa semakin bertambah usia anak prevalensi kejadian
diare semakin menurun dan risiko lebih tinggi terutama pada anak dibawah
usia 3 tahun.3

2.2 Faktor Resiko Dari Muntaber


Faktor-faktor yang menjadi pemicu kejadian muntaber yakni;
a. Sarana pembuangan tinja
Sarana pembuangan tinja yang tidak memenuhi syarat kesehatan
bermakna secara statistik akan meningkatkan risiko terjadinya diare akut
pada anak sebesar 2,71 kali dibandingkan dengan keluarga yang
mempunyai kebiasaan membuang tinja yang memenuhi syarat kesehatan.
Sarana pembuangan tinja yang buruk tidak berhubungan dengan kejadian
diare akut pada balita. Kemungkinan lainnya septitank responden tidak
memenuhi syarat (tidak kedap air), peneliti tidak dapat memastikan apakah
memenuhi syarat karena lokasinya tertanam di dalam tanah. 4,5

b. Kualitas Bakteriologis Air Bersih


Penelitian menunjukkan bahwa secara statistik ada hubungan yang
bermakna antara total coliform yang tinggi dengan kejadian diare akut
pada balita. Tingkat kualitas total coliform (101 – 1000/ml) bakteri air
bersih berhubungan dengan terjadinya diare pada balita. Kandungan E.
coli (1000 E. coli/100 ml) berhubungan dengan peningkatan kasus diare,
ada hubungan yang positif antara kandungan E. coli dalam sampel air
bersih dengan diare dan disentri, walaupun hubungannya lemah dan risiko
penyakit diare tidak bertambah secara progresif dengan peningkatan
kandungan E. coli dalam air bersih. E. coli merupakan subgrup dari fecal
coliform.
Sebagian besar bakteri E. coli tidak berbahaya dan banyak ditemukan
dalam usus manusia dan hewan berdarah panas. Beberapa strain dapat

10
menyebabkan sakit. Keberadaan E. coli dalam sampel air bersih
mengindikasikan adanya pencemaran yang berasal dari feses. 4,5

c. Perebusan Air Minum


Merebus atau memasak air minum adalah cara yang sudah lama dan
digunakan banyak orang untuk membunuh kuman dalam air minum. Jika
dilakukan secara tepat merebus air minum dapat membunuh atau
menonaktifkan semua bentuk kuman termasuk spora bakteri dan cysta
protozoa yang resisten terhadap bahan kimia dan jenis virus yang sangat
kecil yang lolos dari proses penyaringan. Suatu penelitian di Kenya
menunjukkan bahwa memasak air minum sampai 70oC dapat
meningkatkan jumlah rumah tangga yang air minumnya bebas coliform.
Merebus adalah cara yang tepat untuk membuat air aman untuk diminum
dan membunuh kuman penyakit seperti Giardia Lamblia dan
Cryptosporidium yang biasanya terdapat dalam sungai atau danau. Jika
tidak diolah dengan baik Giardia dapat menyebabkan diare, fatigue dan
cramp. Cryptosporidium sangat resisten terhadap desinfektan dan
menyebabkan diare, mual dan kram pada perut. 4,5

d. Nutrisi
Faktor terpenting yang berkontribusi terhadap gastroenteritis bayi
adalah status gizi mereka. Kecukupan gizi dapat sebagian ditentukan oleh
metode pemberian makan yang digunakan, tetapi juga berinteraksi secara
sinergis dengan episode diare. Malnutrisi secara independen meningkatkan
risiko morbiditas dengan mengurangi penyerapan nutrisi, menurunkan
kekebalan alami tubuh melalui perubahan integritas permukaan tubuh,
mengurangi kemampuan untuk memperbaiki epitel, dan mengurangi
sekresi asam lambung.4,5

11
e. Faktor lingkungan
Lingkungan perumahan merupakan lingkungan yang cukup padat
karena terdapat banyak rumah tetangga yang cukup berdempetan. Akses
rumah pasien berupa gang yang dikiri kanannya diapit rumah tetangga dan
lebar gangnya dapat dilalui 2 motor kurang lebih sejauh 2 meter dari jalan
utama. Gang tersebut tidak berisi selokan, sehingga terdapat beberapa
genangan air pada gang. Keadaan ini akan sangat memudahkan penularan
penyakit infeksi yang menggunakan lingkungan seperti air dan udara
ataupun binatang sebagai perantara penularan penyakit. 6
Adanya lahan kosong yang sering difungsikan sebagai tempat
penampungan sampah sementara dan tempat pembakaran sampah
plastik. Selain dijadikan tempat menanmpung sampah semenara
untuk dibakar, limbah rumah tangga seperti air bekas mencuci
pakaian, air kamar mandi dan air bekas cucian di dapur dibuang ke lahan
kosong sebelah rumah tersebut.6
Selain dari lingkungan sekitar tempat tinggal pasien,
kebersihan lingkungan rumah juga masih kurang baik. Tata peletakan
barang- barang juga terlihat kurang rapi terkesan cukup berantakan. Letak
ruang kerja, tempat penyablonan, kamar mandi dan tempat menaruh
makanan letaknya saling berdekatan. Pintu kamar mandi juga dikatakan
sering pada posisi terbuka. Tata letak yang saling berdekatan ini
memberikan peluang apabila terdapat binatang perantara infeksi bisa
dengan mudah melalui tempat-tempat yang saling
berdekatan tersebut, ditambah lagi dengan kondisi bahwa pintu kamar
mandi yang sering terbuka meningkatkan risiko perpindahan kuman dari
kamar mandi ke lingkungan sekitar melalui binatang perantara. 6

2.3 Syarat dan Program Kesling


Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2014 tentang Kesehatan
Lingkungan menjelaskan pengertian kesehatan lingkungan yang merupakan
upaya pencegahan penyakit dan/atau gangguan kesehatan dari faktor risiko

12
lingkungan untuk mewujudkan kualitas lingkungan yang sehat baik dari
aspek fisik, kimia, biologi, maupun sosial. Sehingga kegiatan penyehatan
lingkungan harus meliputi semua aspek tersebut melalui upaya penyehatan,
pengamanan dan pengendalian.7

Berdasarkan Peraturan Pemerintah RI Nomor 66 tahun 2014 tentang


Kesehatan Lingkungan untuk mencapai tujuan nasional diselenggarakan
upaya pembangunan yang berkesinambungan yang merupakan suatu
rangkaian pembangunan yang menyeluruh, terarah dan terpadu, termasuk di
antaranya pembangunan kesehatan.7

a. Penyediaan air bersih Air

Merupakan salah satu bahan pokok yng mutlak dibutuhkan oleh


manusia sepanjang masa, baik langsung maupun tidak langsung. Sarana
air bersih adalah ketersediaan air bersih di lingkungan tempat umum
dengan kualitas dilihat dari parameter fisik yaitu sarana air bersih tidak
berbau, tidak berasa, dan tidak berwarna, jarak dari sumber pencemar
minimal 10 meter, tersedia air bersih yang cukup untuk memenuhi
kebutuhan sehari-hari (kepmenkes no.1429, 2006). Air bersih adalah air
yang layak dikonsumsi oleh manusia setelah dilakukan pengolahan dan
memiliki kualitas minimal sebagaimana yang dimaksud dalam
permenkes ri no. 416 tahun 1990, baik dari segi fisik, kimiawis,
mikrobiologis, dan radioaktif.7

Syarat Kualitas Air Bersih Peraturan Menteri Kesehatan RI


No.416/Menkes/PER/IX/1990 bahwa air bersih yang memenuhi syarat
sebagai berikut:7

1. Syarat kualitas
a. Syarat fisik: bersih, jernih, tidak berbau, tidak berasa, dan tidak
berwarna, suhu udara lebih dari 30C dan dan TDS 500 mg/L

13
b. Syarat kimia: tidak mengandung zat-zat yang berbahaya bagi
kesehatan seperti racun, serta tidak mineral dan zat organik yang
jumlahnya tinggi dari ketentuan
c. Syarat biologis: tidak mengandung organisme patogen
2. Syarat kuantitas
Pada daerah pedesaan untuk hidup secara sehat cukup dengan
memperoleh 60 liter/hari/orang, sedangkan daerah perkotaan 100- 150
liter/hari/orang.

b. Pemeriksaan Tempat Pengolahan Makanan (TPM)

Makanan dan Minuman merupakan kebutuhan pokok bagi manusia


untuk menlanjutkan kehidupan. Makanan yang dibutuhkan tentunya
harus bernilai gizi baik. Selain nilai gizi, hal lain juga harus diperhatikan
seperti cara mengolah makanan, kebersihan penjamah makanan dan cara
makanan disajikan. Berbagai pilihan makanan dan minuman tersedia
diberbagai tempat dengan kualitas yang bervariasi. 7
Tempat pengelolaan makanan dan minuman mempunyai potensi
yang cukup besar untuk menimbulkan gangguan kesehatan atau penyakit
bahkan keracunan akibat dari makanan dan minuman yang
dihasilkannya.7
1. Lokasi
Lokasi TPM harus jauh dan terhindar dari pencemaran yang
diakibatkan antara lain oleh bahan pencemar seperti banjir, udara
(debu, asap, serbuk, bau), bahan padat (sampah, serangga, tikus) dan
sebagainya. Bangunan harus dibuat dengan cara yang terlindung dari
sumber pencemar seperti tempat pembuangan sampah umum, WC
umum, pengolahan limbah dan sumber pencemar lainnya yang diduga
dapat mencemari hasil produksi makanan.

14
2. Konstruksi
Konstruksi bangunan TPM harus kuat, aman dan terpelihara
sehingga mencegah terjadinya kecelakaan dan pencemaran.Konstruksi
tidak boleh retak, lapuk, tidak utuh, kumuh atau mudah terjadi
kebakaran.Selain kuat konstruksi juga harus selalu dalam keadaan
bersih secara fisik dan bebas dari barang-barang sisa atau bekas yang
ditempatkan secara tidak teratur.
3. Ruangan Pengolahan Makanan
Luas ruangan dapur pengolahan makanan harus cukup untuk
orang bekerja dengan mudah dan efisien, mencegah kemungkinan
kontaminasi makanan dan memudahkan pembersihan.Ruang
pengolahan makanan tidak boleh berhubungan langsung dengan
jamban dan kamar mandi, dan dibatasi dengan ruangan antara.
4. Fasilitas pencucian peralatan dan bahan makanan
Terbuat dari bahan yang kuat, tidak berkarat dan mudah
dibersihkan.Pencucian peralatan harus menggunakan bahan
pembersih/deterjen.
5. Tempat sampah
Tempat sampah untuk menampung sampah sementara dibuat dari
bahan yang kuat, kedap air dan tidak mudah berkarat.Mempunyai
tutup dan memakai kantong plastik khusus untuk sisa-sisa bahan
makanan dan makanan jadi yang cepat membusuk.

c. Pemeriksaan Tempat-Tempat Umum (TTU)

Tempat-tempat umum adalah suatu tempat dimana orang banyak


berkumpul untuk melakukan kegiatan baik secara tertentu maupun secara
terus menerus.7
Kegiatan pemantauan TTU ini dilaksanakan agar TTU yang
adamemenuhi syarat kesehatan terutama tersedianya sarana sanitasi dasar
seperti air bersih, jamban sehat, tempat pembuangan sampah serta

15
memenuhi syarat dari segi kebersihan, pencahayaan, kebisingan,
kelembapan.7
Kriteria utama minimal :7
1. Media air yaitu Parameter biologi : e – coliform Parameter fisik :
bau, warna, kekeruhan, rasa
2. Media udara yaitu :
3. Pencahayaan : Ruang tamu > 60 lux Lampu tidur > 5 lux Lampu
baca > 100 lux Ruang relax > 30 lux
4. Kelembaban : 40-70%
5. Laju ventilasi udara : 0,15-0,25 m/detik
6. Tingkatan kebisingan tidak melebihi persyaratan (kamar tidur < 40
dBA, Kantor < 75 dBA, dapur < 80 dBA Ruang pertunjukan <
kuman di permukaan padat : kurang 700 CFU/m3.

d. Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM)


STBM adalah sebuah pendekatan untuk memperbaiki kesehatan
lingkungan masyarakat, mengubah perilaku higienis dan saniter melalui
pemberdayaan masyarakat dengan cara pemicuan (Permenkes RI, 2014).
STBM meliputi lima indikator kesehatan lingkungan (pilar): (Kemenkes
RI, 2015).8
1. Stop BAB sembarangan
2. Cuci tangan pakai sabun
3. Pengelolaan air minum rumah tangga
4. Hiegene sampah atau pengamanan sampah
5. Pengolahan limbah cair rumah tangga
Ada 5 pilar STBM yaitu:
1. Stop BAB sembarangan, masyarakat diajak untuk tidak buang air
besar sembarangan seperti di sungai, di hutan ataupun di sembarangan
tempat yang bisa berakibat menjadi tempat perkembangbiakan
serangga atau binatang penular penyakit

16
2. Cuci tangan pakai sabun, dengan mencuci tangan pakai sabun ini dapat
menurunkan risiko penyakit menular dan mengeliminir penyakit
3. Pengelolaan air minum rumah tangga, air jernih belum tentu bebas dari
kuman dan masyarakat diajak untuk memasak air sebelum dikonsumsi
4. Hiegene sampah atau pengamanan sampah, dengan 3R yaitu reduce
(mengurangi segala sesuatu yang mengakibatkan sampah), reuse
(menggunakan kembali sampah yang masih dapat digunakan untuk
fungsi yang sama ataupun fungsi lain), da yang terakhir recycle
(mengolah kembali sampah menjadi barang yang baru atau daur
ulang)
5. Pengolahan limbah cair rumah tangga, seperti limbah di jamban yang
mencakup air seni dan tinja, dan limbah non jamban seperti air bekas
cucian dan sejenisnya.8

e. Pemeriksaan Kualitas Air Limbah

Air limbah adalah sisa air yang digunakan dalam industri atau rumah
tangga yang dapat mengandung zat tersuspensi dan zat terlarut. Air
limbah adalah air yang dikeluarkan oleh industri akibat proses produksi
dan pada umumnya sulit diolah karena biasanya mengandung beberapa
zat seperti: pelarut organik zat padat terlarut, suspended solid, minyak
dan logam berat.8

Tolak ukur :
1. Tidak mengakibatkan kontaminasi terhadap sumber-sumber air
minum.
2. Tidak mengakibatkan pencemaran air permukaan.
3. Tidak menimbulkan pencemaran pada flora dan fauna yang hidup di
air di dalam penggunaannya sehari-hari.
4. Tidak dihinggapi oleh vektor atau serangga yang menyebabkan
penyakit.
5. Tidak terbuka dan harus tertutup.

17
6. Tidak menimbulkan bau dan aroma tidak sedap

f. Pengendalian Vector
Puskesmas Kecamatan Tanah Abang menjalani kegiatan
pengendalian vektor berupa pemberantasan sarang nyamuk (PSN) dengan
3M plus, fogging focus, pemeriksaan jentik berkala (PJB), dan
penyelidikan epidemiologi (PE). Penyelidikan epidemiologi adalah
kegiatan pencarian penderita/tersangka DBD lainnya dan pemeriksaan
jentik nyamuk penular DBD dirumah penderita, dalam radius
sekurangkurangnya 100 meter, serta tempat-tempat umum yang
diperkirakan menjadi sumber penularan penyakit lebih lanjut (Depkes RI,
2006).8

Fogging
Pengasapan (fogging) adalah penyemprotan dengan cara
mencampurkan minyak dengan insektisida kemudian dipanaskan
sehingga menjadi semacam kabut asap yang sangat halus.
Tolak Ukur Fogging akan dilakukan jika ditemukan angka bebas
jentik di wilayah tersebut kurang dari 95 persen dan telah terjadi
penularan penyakit DBD dari satu orang ke orang lain. 8

Pemeriksaan Jentik Berkala (PJB)


PJB merupakan pemeriksaan tempat-tempat perkembangbiakan
nyamuk Aedes aegypti yang dilakukan secara teratur oleh petugas
kesehatan atau petugas Jumantik Pemeriksaan Jentik Berkala merupakan
bagian dari PSN PJB dilakukan setiap tiga bulan dirumah dan tempat –
tempat umum.8
Tujuan Kegiatan Pemeriksaan Jentik berkala (PJB) ini dilakukan
bertujuan mengetahui besarnya resiko populasi di suatu wilayah terhadap
kemungkinan terkena penyakit DBD.8

18
g. Kesehatan Lingkungan Permukiman

Pembahasan tentang pemukiman di Indonesia, didasarkan pada


Undang-undang Republik Indonesia No. 1 Tahun 2011 tentang
Perumahan dan Kawasan Pemukiman. Di dalam Undang-undang
tersebut, Permukiman didefinisikan sebagai bagian dari lingkungan
hunian yang lebih dari satu satuan perumahan, yang mempunyai
prasarana, sarana, utilitas umum, serta mempunyai penunjang kegiatan
fungsi lain di kawasan perkotaan atau kawasan perdesaan (UU RI No.1
Tahun 2011). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa
Pemukiman adalah bagian kota wilayah yang khusus digunakan untuk
tempat tinggal penduduk. Sedangkan pemukiman adalah proses, cara
yang ditempuh (Ebta Setiawan, 2021). Sehingga dapat dikatakan bahwa,
syarat permukiman yaitu :8

1. Adanya Kawasan/wilayah tertentu


2. Adanya beberapa rumah tinggal
3. Adanya sarana/prasarana fasilitas umum (tempat pembuangan
sampah, saluran air limbah, penyediaan air bersih, sarana olah
raga/bermain, sarana Pendidikan, sarana pelayanan Kesehatan dan
lainnya yang menunjang masyarakat)

Untuk kata Kesehatan Lingkungan, dapat merujuk Peraturan


Pemerintah RI Nomor 66 Tahun 2014, yang menyatakan bahwa
Kesehatan Lingkungan adalah upaya pencegahan penyakit dan/atau
gangguan kesehatan dari faktor risiko lingkungan untuk mewujudkan
kualitas lingkungan yang sehat baik dari aspek fisik, kimia, biologi,
maupun social (Peraturan Pemerintah RI, 2014). Upaya pencegah
penyakit, biasa dikenal dengan istilah upaya preventif. Termasuk upaya
preventif yaitu penyediaan sumber air bersih, cuci tangan pakai sabun
dengan air mengalir, asupan makanan bergizi, dan lainnya yang bertujuan
untuk meningkatkan kekebalan tubuh atau mengurangi faktor resiko
terhadap terpapar penyakit.8

19
Khusus yang tinggal di pemukiman di daerah sungai
Berdasarkan Peraturan Pemerintah No 35 Tahun 1991 Tentang
Sungai Pasal 26, bahwa mendirikan, mengubah atau membongkar
bangunan-bangunan di dalam atau melintas sungai hanya dapat dilakukan
setelah memperoleh ijin dari pejabat yang berwenang. Pendirian
bangunan di wilayah bantaran sungai pada dasarnya diizinkan, tentunya
harus memiliki izin serta memperhatikan aspek kelestarian dan
kebersihan lingkungan sungai.8
Maka warga dilarang mencemari lingkungan sungai, seperti yang
tertera pada pasal 27 PP No. 35 Tahun 1991, yaitu dilarang membuang
benda-benda/bahan-bahan padat dan/atau cair ataupun yang berupa
limbah ke dalam maupun di sekitar sungai yang diperkirakan atau patut
diduga akan menimbulkan pencemaran atau menurunkan kualitas air.
Dinas kesehatan setempat menyatakan bahwa adanya program khusus
mengenai rumah sehat, yang seharusnya pelaksanaannya terutama
dilakukan oleh petugas puskesmas. Namun dari dinas kesehatan juga
melakukan kunjungan dalam rangka program penyehatan lingkungan
rumah.8
Berdasarkan keterangan dari petugas dinas kesehatan yang menjadi
informan bahwa program penyehatan lingkungan yang dilaksanakan oleh
dinas kesehatan dengan tenaga pelaksananya berupa penyuluhan
mengenai rumah sehat. Serta dilakukan pembinaan kepada warga yang
dinilai kondisi rumahnya kurang/tidak sehat. Sedangkan untuk program
yang berupa pembangunan fisik, seperti perbaikan rumah dan
pembangunan jamban sehat, dinas kesehatan menyatakan program
tersebut tidak lagi menjadi kewenangan mereka melainkan merupakan
bagian dari program dinas PU. Aktivitas masyarakat di bantaran sungai
yang jika tidak diawasi maka berpotensi menimbulkan pencemaran
sungai. PP No 35 Tahun 1991 secara jelas telah mengatur dan melarang
pembuangan sampah ke sungai. Selain itu permasalahan visual pada

20
kawasan bantaran sungai sebenarnya dapat diselesaikan melalui solusi
terkait dengan lingkungan, visual, perilaku warga serta regulasi. 8

2.4 Upaya Preventif, Promotif, Kuratif dan Rehabilitatif


1. Promotif
Upaya promotif atau peningkatan kesehatan yang perlu dilakukan
yaitu dengan melakukan penyuluhan atau sosialisasi yang bertujuan untuk
memberdayakan masyarakat agar dapat mengatasi masalah kesehatan yang
ada dilingkungannya, dimana dengan penyuluhan atau sosialisasi itu
sendiri pemberian informasi terkait muntaber, penanganan awal terkait
muntaber bisa di sampaikan secara langsung kepada masyarakat. Untuk
sasaran penyuluhan bisa disampaikan lewat posyandu dan sekolah. Media
dan sarana juga sangat penting untuk mendukung kegiatan penyuluhan,
yaitu dapat berupa poster, leaflet atau selebaran yang dapat digunakan
untuk menarik perhatian dari masyarakat agar dapat mendengar serta
memperhatikan penyampaian informasi yang diberikan lewat penyuluhan
atau sosialisasi.9

2. Preventif
Upaya preventif bertujuan untuk mencegah terjadinya penyakit dan
gangguan Kesehatan individu, keluarga, kelompok dan masyarakat.
Pencegahan terhadap muntaber itu sendiri yaitu dengan mengkonsumsi
atau menggunakan air yang bersih, karena air yang terkontaminasi bisa
jadi penyebab terjadinya penularan penyakit, kemudian jika ingin
mengkonsumsi air maka sebaiknya air tersebut dimasak hingga matang.
Dan Mencuci tangan dengan baik dan benar dengan air yang mengalir
serta menggunakan sabun, untuk mencuci tangan sendiri dilakukan saat
sebelum dan sesudah menyediakan makanan, sebelum dan sesudah makan,
setelah menggunakan toilet (BAB/BAK) serta setelah buang sampah.
Kemudian menggunakan jamban atau MCK yang bersih dan layak, serta
menjaga kebersihan lingkungan di sekitar tempat tinggal.9

21
3. Kuratif
kuratif adalah suatu kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan
pengobatan yang ditujukan untuk penyembuhan penyakit, pengurangan
penderitaan akibat penyakit, pengendalian penyakit, atau pengendalian
kecacatan agar kualitas penderita dapat terjaga seoptimal mungkin. Tujuan
dari tindakan kuratif ini adalah untuk mencegah suatu penyakit agar tidak
menjadi lebih parah. Dan untuk sasarannya sendiri adalah orang-orang
yang telah menderita suatu penyakit tersebut.9
Rehidrasi Pemberian cairan pada kondisi tanpa dehidrasi adalah
pemberian larutan oralit dengan osmolaritas rendah. Oralit untuk pasien
diare tanpa dehidrasi diberikan sebanyak 10 ml/kgbb tiap BAB. Rehidrasi
pada pasien dengan dehidrasi ringan-sedang dapat diberikan sesuai dengan
berat badan penderita. Selanjutnya pemberian Parenteral Kasus muntaber
dengan dehidrasi berat dengan atau tanpa tanda-tanda syok, diperlukan
rehidrasi tambahan dengan cairan parenteral. 10
Selanjutnya Konsumsi probiotik dan prebiotic, Probiotik dapat
ditemui pada produk makanan, seperti yoghurt serta beberapa suplemen
dalam bentuk minuman, kapsul, atau bubuk. Sedangkan prebiotik dapat
ditemui dalam gandum, kacang kedelai, serta sayur dan buah, seperti
bawang putih, bawang bombai, daun bawang, asparagus, dan pisang.11

4. Rehabilitatif
Rehabilitasi merupakan tindakan untuk mengembalikan penderita
muntaber kedalam keadaan semula dari fisik, sosial dan mental serta
mampu melakukan kehidupannya kembali. Tindakan tersebut dapat
dilakukan melalui terapi fisik, bimbingan konseling serta latihan
keterampilan untuk penanganan, Usaha yang dapat dilakukan yaitu :12
1. mengkonsumsi makanan bergizi,
2. menjaga keseimbangan cairan
3. selalu menjaga kebersihan lingkungan.

22
2.5 Peran puskesmas

Permenkes 43 tahun 2019 tentang Puskesmas menyebutkan bahwa


Puskesmas adalah fasilitas pelayanan kesehatan (Faskes). Fasilitas Pelayanan
Kesehatan adalah suatu tempat yang digunakan untuk menyelenggarakan
upaya pelayanan kesehatan, baik promotif, preventif, kuratif maupun
rehabilitatif yang dilakukan oleh pemerintah, pemerintah daerah dan/atau
masyarakat.13

a. Tugas dan tujuan Puskesmas

Tujuan Puskesmas Menurut Trihono, tujuan pembangunan kesehatan


yang diselenggarakan oleh puskesmas adalah mendukung tercapainya
tujuan pembangunan kesehatan nasional, yakni meningkatkan kesadaran,
kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang yang bertempat
tinggal di wilayah kerja puskesmas, agar terwujud derajat kesehatan yang
setinggi-tingginya dalam rangka mewujudkan Indonesia sehat.14
Tugas Puskesmas Puskesmas merupakan unit pelaksana teknis dinas
(UPTD) kesehatan kabupaten/kota yang bertanggung jawab
menyelenggarakan pembangunan kesehatan disuatu wilayah. Puskesmas
sebagai pusat pelayanan kesehatan strata pertama menyelenggarakan
kegiatan pelayanan kesehatan tingkat pertama secara menyeluruh,
terpadu, dan berkesinambungan, yang meliputi pelayanan kesehatan
perorang (private goods) dan pelayanan kesehatan masyarakat (public
goods).14

b. Fungsi Puskesmas

UKM (Upaya Kesehatan Masyarakat)


1. Melaksanakan kegiatan untuk memelihara dan meningkatkan
kesehatan serta mencegah dan menanggulangi timbulnya masalah
kesehatan yang berorientasi pada keluarga, kelompok, dan masyarakat
2. Melaksanakan kegiatan pendekatan keluarga

23
3. Melakukan kolaborasi dengan FKTP dan RS di wilayah kerjanya. 15

UKP (Upaya Kesehatan Perorangan)


1. Menyelenggarakan yankes untuk peningkatan, pencegahan,
penyembuhan penyakit dan memulihkan kesehatan perorangan
2. Melakukan koordinasi dan kolaborasi dengan fasyankes di wilayah
kerjanya.15

Dalam skenario terlihat bahwa puskesmas menjalankan program UKP


dengan berkeliling mencari warga yang mengalami muntaber untuk
diberikan oralit dan penyuluhan apabila kondisi memarah untuk segera di
bawa ke puskesmas untuk mendapat penanganan lanjutan.15
Sebelum terjadinya suatu penyakit pada masyarakat, petugas
Kesehatan di puskesmas wilayah sekitar akan lebih mengutamakan
Pelayanan preventif dan promotive. 15
Puskesmas mempunyai fungsi utama dalam mengedepankan upaya
promotif dan preventif, termasuk memberikan penjangkauan (outreach)
kepada masyarakat dalam pelayanan kesehatan sebagai langkah awal
meningkatkan upaya kesehatan.15
Promotif (peningkatan) adalah Berupaya meningkatkan pengetahuan
masyarakat tentang suatu penyakit sehingga meningkatkan motivasi
untuk mencegah terjadinya penyakit tersebut. Preventif (pencegahan)
adalah Upaya pencegahan terhadap suatu penyakit yang dapat
menurunkan derajat kesehatan masyarakat.16

Upaya yang dilakukan petugas puskesmas untuk Penyuluhan cegah


Muntaber yaitu:16
- Mengonsumsi makanan dan minuman yang bergizi, serta Memasak air
sebelum di konsumsi
- Menjaga Kebersihan lingkungan tempat tinggal
- Menggunakan air bersih untuk kegiatan sehari-hari

24
- Membiasakan diri mencuci tangan sebelum makan
- Menjaga kebersihan dapur dan peralatan makan.

2.6 Kandungan Gizi Untuk Mengatasi Mutaber Sesuai Dengan Skenario


Gizi berasal dari kata “ghidza” dalam bahasa Arab yang berarti
“makanan”. Gizi sangat berkaitan erat dengan kesehatan tubuh manusia
dengan menyediakan zat dari yang diperlukan sebagai energi yang
membangun dan memelihara jaringan tubuh, serta mengatur proses-proses
kehidupan dalam tubuh. Untuk itu berikut adalah beberapa kandungan zat
dari makanan maupun minumuman yang berguna untuk mengatasi kejadian
muntaber yang patofisiologinya hampir sama dengan diare. 17
a. Vitamin A
Vitamin a atau beta karoten merupakan zat anti infeksi yang
berperan sebagai antioksidan. Vitamin a sangat membantu dalam
meningkatkan kerja jaringan agar proses metabolisme berjalan normal.
Fungsi lainnya adalah membantu respon antibodi terhadap antigen
penyebab muntaber dan mencegah muntaber dengan upaya perbaikan
jaringan epitel intestinal yang rusak. Pada kasus muntaber, vitamin a
berperan penting dalam mencegah terjadinya inflamasi lanjut akibat
kerusakan dinding sel epitel. Orang dengan defisiensi vitamin A lebih
beresiko terhadap diare dan muntaber.18

b. Zink
Zink erupakan mineral penting bagi tubuh baik untuk proses
pertumbuhan maupun imunitas. Dalam hal ini, zink dibutuhkan terutama
bagi kulit dan mukosa saluran cerna dalam menjaga stabilitas membran
sel dan meningkatkan sistem imunitas. Lebih dari 300 enzim di tubuh
bergantung pada zink. Pada sistem imunitas zink membantu stimulasi
antibodi, sel T-limfosit dan aktivasi komplemen, sehingga menurunkan

25
durasi dan keparahan diare dan juga muntaber. Zink juga mampu
menurunkan volume dan frekuenzi tinja rata-rata 30%.19-21

c. Oligosakarida dari ASI


Pada ASI terdapat zat bioaktif yang bersifat protektif bagi bayi yang
mampu meningkatkan kemampuan sistem kekebalan tubuh bayi yang
belum matang. Adapun oligosakarida pada ASI dapat menimbulkan
suasana asam pada saluran cerna yang berfungsi sebagai pertahanan alami
tubuh pada saluran cerna dan membantu IgA untuk mengikat patogen,
sehingga dapat dicegah perlekatannya pada sel enterosit di mukosa usus,
dengan begitu dapat menghalangi reaksi imun berlebih yang dapat
menimbulkan muntaber dan diare akut maupun presisten. 17,22

d. Natrium
Seperti yang diketahui bersama bahwa natrium dalam tubuh
berfungsi mengikat air dan mencegah tubuh kehilangan elektrolit serta
cairan (dehidrasi). Natrium bisa didapatkan lewat oralit oral yang dapat
diserap dengan baik oleh usus penderita diare. Formula baru oralit dengan
osmolaritas lebih rendah yaitu 75 mEq/l dibanding sbelumnya 90 mEq/l
akan lebih mudah diserap karena prinsip osmolaritas yakni mengalir dari
tempat yang rendah ke yang tinggi. Oralit sangat efektif terutama karena
natriumnya dan juga kadnungan lain berefek pada berkurangnya volume
tinja dan muntah-muntah akibat retensi air.19

e. Flavonoid
Flavonoid memiliki aktivitasanti bakteri yaitu dengan cara
menghambat sintesis asam nukleat dari bakteri, menghambat fungsi
membran sel dan menghambat metabolisme energi. Flavonoid
menyebabkan penumpukan pada asam basa nukleat sehingga mencegah
pembentukan DNA dan RNA bakteri. Hasilnya DNA bakteri rusak dan
permeabilitas dinding selpun terganggu. Penghambatan metabolisme

26
energi dilakukan dengan menghambat penyaluran oksigen ke bakteri dan
enzim sitokorm C reduktase. Akhirnya bakteri perlahan mengurang dan
durasi muntaber menjadi berkurang. Dalam suatu penelitian flavonoid
banyak terkandung pada daun Moringa oelefera.23

2.7 Dalam Ruang Lingkup dan Pembuangan Sampah Terkait Skenario

Sanitasi menjadi perhatian penting, mengingat salah satu faktor


terjadinya muntaber itu sendiri adalah lingkungan, usaha pengendalian semua
faktor pada lingkungan diantaranya, pengelolaan jamban, pembuangan
sampah, penyediaan air bersih sampai pembuangan limbah sehingga tidak
menyebabkan penyakit atau merugikan perkembangan fisik,maupun
kelangsungan hidup.24
Muntaber dapat terjadi karena seseorang tidak memperhatikan
kebersihan lingkungan dan menganggap bahwa masalah kebersihan adalah
masalah sepele. Kebersihan lingkungan merupakan kondisi lingkungan yang
optimum sehingga dapat memberikan pengaruh positif terhadap status
kesehatan yang baik. Ruang lingkup kebersihan lingkungan diantaranya
adalah perumahan, pembuangan kotoran manusia, penyediaan air bersih,
pembuangan sampah, dan pembuangan air kotor (limbah).25
Faktor lingkungan yang dominan dalam penyebaran penyakit muntaber
yaitu pembuangan tinja dan sumber air minum. Pengelolaan tinja yang kurang
diperhatikan disertai dengan cepatnya pertambahan penduduk akan
mempercepat penyebaran penyakit yang ditularkan melalui tinja, merupakan
penyakit menular berbasis lingkungan. Pembuangan tinja yang sembarangan
juga akan menyebabkan penyebaran penyakit. Penyebaran penyakit yang
bersumber dari tinja dapat melalui berbagai macam cara,baik melalui air,
tangan, maupun tanah yang terkontaminasi oleh tinja dan ditularkan lewat
makanan dan minuman melalui vektor serangga (lalat dan kecoa).Selain itu,
halaman rumah yang becek karena buruknya saluran pembuangan air limbah
(SPAL) memudahkan penularan diare, terutama yang ditularkan oleh cacing

27
dan parasit. Membuang sampah sembarangan akan menjadi faktor risiko
timbulnya berbagai vector bibit penyakit sehingga ada hubungan yang
signifikan antara pembuangan sampah dengan kejadian diare pada anak.25

a. Penyediaan air bersih

Air dalam kehidupan, selain memberi dampak positif, juga


mempunyai dampak negative khususnya bagi kesehatan manusia karena
penyakit yang menyerang manusia dapat ditularkan dan menyebar secara
langsung maupun tidak langsung melalui air. Penyakit-penyakit yang
berhubungan dengan air dapat dibagi dalam kelompok-kelompok
berdasarkan cara penularannya. Salah satu contohnya yaitu Waterborn
Mechanism Di dalam mekanisme ini, kuman patogen dalam air yang dapat
menyebabkan penyakit pada manusia ditularkan kepada manusia melalui
mulut atau sistem pencernaan. Contoh penyakit yang ditularkan melalui
mekanisme ini antara lain kolera, tifoid, disentri basiler, diare, dan
lainnya.26

b. Pengelolaan Sampah

Yang dimaksud dengan pengelolaan sampah disini meliputi: 26


1. Tahap pengumpulan dan pengangkutan sampah.
2. Tahap pengolahan dan pemusnahan sampah.

Pemusnahan dan pengolahan sampah dapat dilakukan melalui


beberapa cara, antara lain:26
1. Ditanam (Sanitary landfill), yaitu pemusnahan sampah dengan
membuat lubang di tanah kemudian sampah dimasukkan dan ditimbun
dengan tanah.
2. Dibakar (Incineration), yaitu memusnahkan sampah dengan jalan
membakar di dalam tungku pembakaran khusus.
3. Dijadikan pupuk (composting), yaitu mengelola sampah menjadi
pupuk kompos, khususnya untuk sampah organic (daun-daunan, sisa
makanan, dan sampah lain yang mudah membusuk).

28
c. Penggunaan Jamban
Pembuangan kotoran atau tinja manusia perlu mendapat perhatian
yang penting karena pembuangan kotoran disembarang tempat atau tidak
pada tempatnya dapat menimbulkan gangguan terhadap kesehatan
manusia. Untuk itu sebelum menentukan letak pembuangan kotoran/tinja,
terlebih dahulu kita harus memperhatikan ada atau tidaknya sumber-
sumber air. Kita perlu mempertimbangkan jarak dari tempat pembuangan
kotoran ke sumber-sumber air terdekat. Pertimbangkan jarak yang harus
diambil antara tempat pembuangan kotoran dan sumber air, kita harus
memperhatikan bagaimana keadaan tanah, kemiringannya, permukaan air
tanah, pengaruh banjir pada musim hujan, dan sebagainya.(Mubarak dan
Nurul,2009). Bahaya terhadap kesehatan yang dapat ditimbulkan akibat
pembuangan kotoran secara tidak baik adalah pencemaran tanah,
pencemaran air, kontaminasi makanan, dan perkembangbiakan lalat.26

d. Penggunaan Saluran Pembuangan Air Limbah (SPAL)


Air limbah dapat mengandung bibit penyakit yang dapat
menimbulkan penyakit terutama penyakit bawaan air (waterborne disease)
seperti diare. Selain itu di dalam air limbah mungkin juga terdapat zat-zat
berbahaya dan beracun yang dapat menimbulkan gangguan kesehatan bagi
makhluk hidup yang mengkonsumsinya. Untuk itu air limbah harus di
buang pada suatu tempat atau saluran khusus agar tidak menimbulkan
gangguan kesehatan dan tidak menurunkan kualitas lingkungan.26

2.8 Penyakit-Penyakit Yang Berhubungan Dengan Kekurangan Gizi,


Kelompok Rentan Gizi dan Pengukuran Status Gizi Masyarakat

a. Penyakit-penyakit yang berkaitan dengan gizi buruk

Gizi buruk adalah keadaan kurang gizi tingkat berat pada anak
berdasarkan indeks berat badan menurut tinggi badan (BB/TB)

29
dan/atau ditemukan tanda-tanda klinis marasmus, kwashiorkor, dan
marasmus- kwasiorkor (Depkes RI, 2008).27
Gizi buruk bukan hanya dapat dialami oleh balita atau anak-
anak saja akan tetapi dapat juga dialami pada orang dewasa yang
sedang mengalami gangguan pada tubuhnya atau dalam beberapa
keadaan:

A. Balita
1. Marasmus
Salah satu bentuk kekurangan gizi yang paling sering
ditemui pada balita berusia 0-2 tahun yang tidak mendapatkan
cukup Air Susu Ibu (ASI). Penyebabnya antara lain karena
masukan makanan yang sangat kurang, infeksi, pembawaan
lahir, prematuritas, penyakit pada masa neonatus serta
kesehatan lingkungan.27
Ciri khasnya adalah hilangnya lemak subkutan dari
bokong dan perut serta aspek medial paha, lengan dan bahkan
wajah.Wajahnya terlihat tua sebelum waktunya.Pipi dan
pelipis berlubang karena kehilangan lemak total. Terdapat
pengecilan massa otot dan kulit kendur serta berkerut, dengan
hilangnya elastisitas. Rambut tipis dan mudah rontok. 27

2. Kwashiorkor
Penyakit ini dicirikan oleh trias gejala khas, yaitu: edema,
kelesuan dan kegagalan pertumbuhan. Kwashiorkor umumnya
berkembang antara usia 1-3 tahun yang kurang mendapatkan
asupan protein. Di India, tidak seperti di Afrika, sejumlah
besar kasus terjadi pada anak antara usia tiga hingga lima
tahun. Anak-anak ini biasanya apatis, lesu, lemah, mudah
marah, rewel dan tidak aktif.28
Anak yang mengalami Kwashiorkor sering kali
mengalami pembengkakan (edema) pada di seluruh tubuh

30
hingga tampak gemuk, wajah anak membulat dan sembab
(moon face), bengkak pada bagian punggung kaki bila bagian
punggung kakinya ditekan akan meninggalkan bekas seperti
lubang, otot mengecil dan menyebabkan lengan atas kurus
sehingga ukuran lingkar lengan atas (LLA)-nya kurang dari 14
cm, serta munculnya ruam yang berwarna merah muda pada
kulit kemudian berubah menjadi coklat kehitaman dan
mengelupas, tidak bernafsu makan atau kurang, rambutnya
menipis berwarna merah seperti rambut jagung dan mudah
dicabut tanpa menimbulkan rasa sakit, sering disertai infeksi,
anemia dan diare, perutyang membesar juga sering ditemukan
akibat dari timbunan cairan pada rongga perut salah salah
gejala kemungkinan menderita busung lapar.28

3. Hipoglikemia
Semua anak dengan gizi buruk berisiko hipoglikemia
(kadar gula darah < 3 mmol/L atau < 54 mg/dl) sehingga
setiap anak gizi buruk harus diberi makan atau larutan
glukosa/gula pasir 10% segera setelah masuk rumah sakit.
Pemberian makan yang sering sangat penting dilakukan pada
anak gizi buruk. Jika fasilitas setempat tidak memungkinkan
untuk memeriksa kadar gula darah, maka semua anak gizi
buruk harus dianggap menderita hipoglikemia dan segera
ditangani sesuai panduan.29

B. Dewasa
1. Kaheksia
Kaheksia didefinisikan sebagai kehilangan otot, ataupun
tanpa lipolysis, yang tidak dapat dipulihkan dengan dukungan
nutrisi konvensional.penyebabnya terjadinya disebabkan
karena beberapa faktor yaitu karena menurunnya asupan
nutrisi dan terjadi perubahan metabolisme di dalam tubuh.

31
Contohnya pada pasien kanker, karena terjadi penurunnya
asupan nutrisi akibat dari menurunnya asupan makanan per
oral (karena anoreksia, mual muntah, perubahan persepsi rasa
dan bau), efek lokal dari tumor (odinofagi, disfagi, obstruksi
gaster/intestinal, malabsorbsi, early satiety, faktor psikologis
(depresi, ansietas), dan efek samping terapi. 29

2. Anemia

Anemia secara umum didefinisikan sebagai


berkurangnya konsentrasi hemoglobin didalam
tubuh.Anemia bukan suatu keadaan spesifik, melainkan
dapat disebabkan oleh bermacam-macam reaksi patologis
dan fisiologis.Anemia ringan hingga sedang mungkin tidak
menimbulkan gejala objektif, namun dapat berlanjut ke
keadaan anemia berat dengan gejala-gejala keletihan,
takipnea, napas pendek saat beraktivitas, takikardia, dilatasi
jantung, dan gagal jantung. Contohnya Anemia defisiensi
besi(ADB), ADB adalah anemia yang disebabkan oleh
kekurangan zat besi yang dibutuhkan untuk sintesis
hemoglobin. Gejala utamanya adalah fatigue, nadi teraba
cepat, gejala dan tanda keadaan hiperdinamik (denyut nadi
kuat, jantung berdebar, dan roaring in the ears). Ada juga
anemia defisiensi asam folat dan vitamin B12 yang sering
terjadi pada ibu hamil. Pada anemia yang lebih berat, dapat
timbul letargi, konfusi, dan komplikasi yang mengancam
jiwa (gagal jantung, angina, aritmia dan/ atau infark
miokard).30

3. Gondok
Yodium adalah komponen esensial dalam asupan
makanan manusia, yang merupakan bagian dari hormone
tiroid yaitu tiroksin (T4) and triiodotironin (T3).Hormon

32
tersebut dibutuhkan untuk menjaga metabolism basal,
metabolism sel, dan kesatuan jaringan tubuh.Kekurangan
asupan yodium dapat menyebabkan penyakit gondok, yaitu
pembesaran kelenjar tiroid.Gondok endemic merupakan
hasil dari peningkatan kerja kelenjar tiroid oleh Thyroid
Stimulating Hormone (TSH) dalam memaksimalkan
penggunaan yodium yang tersedia, hal ini merupakan
penyesuaian terhadap kekurangan yodium. Gondok bukan
hanya dapat dialami oleh orang dewasa tapi dapat juga
dialami oleh bayi dan anak-anak, contohnya hormonetiroid
diperlukan dalam perkembangan sistem saraf janin dan
bayi.31

4. Beri-beri (Defisiensi Tiamin/Vit. B1)


Penyakit beri-beri disebabkan oleh diet kaya
karbohidrat rendah tiamin,misalnya beras giling atau
makanan yang sangat dimurnikan seperti gula pasir dan
tepung terigu berwarna putih yang digunakan sebagai
sumber makanan pokok. Gejala dini defisiensi tiamin berupa
neuropati perifer, keluhan mudah capai, dan anoreksia yang
menimbulkan edema dan degenerasi kardiovaskuler,
neurologis serta muskuler.32

5. Skorbut.
Defisiensi atau kekurangan asam askorbat
menyebabkan penyakit skorbut, penyakit ini berhubungan
dengan gangguan sintesis kolagen yang diperlihatkan dalam
bentuk perdarahan subkutan serta perdarahan lainnya ,
kelemahan otot, gusi yang bengkak dan menjadi lunak dan
tanggalnya gigi, penyakit skorbut dapat disembuhkan dengan
memakan buah dan sayur-sayuran yang segar. Cadangan

33
normal vitamin C cukup untuk 34 bulan sebelum tanda-tanda
penyakit skorbut.32

b. Kelompok Rentan Gizi

Balita, ibu hamil, dan lansia (lanjut usia) adalah 3 kelompok rentan
yang banyak terdapat di masyarakat.33
Asupan energi yang tidak mencukupi kebutuhan dapat
menyebabkan terjadinya ketidakseimbangan energi. Ketidakseimbangan
energi yang berkepanjangan dapat menyebabkan terjadinya kekurangan
energi kronis (KEK) serta berdampak pada berat badan seseorang.33
Energi makro berasal dari karbohidrat, protein dan lemak yang ada
pada makanan.Protein merupakan salah satu zat gizi makro yang
berfungsi sebagai zat pembangun, pemelihara sel dan jaringan tubuh
serta membantu dalam metabolisme sistem kekebalan tubuh seseorang.
Protein yang berasal dari makanan akan dicerna dan diubah menjadi
asam amino yang berfungsi sebagai prekursor dari neurotransmitter yang
berperan dalam perkembangan otak anak.Kekurangan protein dapat
menyebabkan infeksi dan kekurangan energi protein (KEP), yaitu kondisi
kekurangan energi dan protein pada balita dan anak-anak menyebabkan
gangguan pada perkembangan kognitif yang berdampak pada kecerdasan
otak anak.33
Lemak merupakan zat gizi makro yang berfungsi sebagai
penyumbang energi terbesar, melindungi organ dalam tubuh, melarutkan
vitamin dan mengatur suhu tubuh. Kekurangan lemak akan berdampak
pada kurangnya asupan kalori atau energi untuk proses aktivitas dan
metabolisme tubuh. Asupan lemak yang rendah disertaikurangnya energi
di dalam tubuh dapat menyebabkan perubahan pada massa, jaringan
tubuh dan gangguan penyerapan vitamin yang larut dalam lemak. 33
1. Balita

Balita dengan tingkat asupan energi yang rendah


mempengaruhi pada fungsi dan struktural perkembangan otak serta

34
dapat mengakibatkan pertumbuhan dan perkembangan kognitif
yang terhambat.33
Penyakit infeksi yang sering diderita oleh balita adalah diare
dan gejala infeksi saluran pernafasan akut (ISPA).Diare yang
disertai dengan gejala mual dan muntah dapat meningkatkan
kehilangan cairan tubuh yang berdampak pada dehidrasi dan
penurunan berat badan seseorang. Sedangkan gejala ISPA yang
ditimbulkan dapat berupa batuk, sesak nafas dan demam sehingga
dapat menyebabkan balita kurang tidur dan menganggu aktivitas
sehari-hari.33
Balita dengan status gizi kurang memiliki tingkat kecukupan
asupan energi, protein dan lemak lebih rendah dibandingkan
dengan balita dengan status gizi baik.33

2. Ibu Hamil

Masalah yang sering terjadi pada ibu hamil yaitu tidak


menyadari adanya peningkatan kebutuhan gizi selama kehamilan.
Sebagai akibatnya, banyak ibu hamil memiliki gizi kurang seperti
Kurang Energi Kronik (KEK), anemia, dan gangguan akibat
kekurangan yodium.34

3. Lansia

Seseorang dengan asupan energi tidak cukup, berisiko 3,2 kali


lebih besar untuk mengalami kekurangan gizi dibandingkan dengan
subjek yang asupan energinya cukup (34). Peningkatan IMT subjek
dalam masa satu tahun pengamatan terjadi lebih besar pada subjek
yang memiliki rata-rata asupan energi lebih tinggi. Faktor
psikologis seperti depresi, kecemasan, dan demensia mempunyai
kontribusi yang besar dalam menentukan asupan makan dan zat
gizi lansia.35

35
c. Pengukuran Status Gizi
Menilai status gizi dapat dilakukan melalui beberapa metode
pengukuran, tergantung pada jenis kekurangan gizi. Hasil penilaian
status gizi dapat menggambarkan berbagai tingkat kekurangan gizi,
misalnya status gizi yang berhubungan dengan tingkat kesehatan, atau
berhubungan dengan penyakit tertentu. 36

1. Metode Antropometri
Dalam menilai status gizi dengan metode antropometri adalah
menjadikan ukuran tubuh manusia sebagai metode untuk
menentukan status gizi.Konsep dasar yang harus dipahami dalam
menggunakan antropometri untuk mengukur status gizi adalah
konsep dasar pertumbuhan.36
Mengapa antropometri digunakan sebagai indikator status gizi?
Terdapat beberapa alasan kenapa antropometri digunakan sebagai
indikator status gizi, yaitu:36

a Pertumbuhan seorang anak agar berlangsung baik memerlukan


asupan gizi yang seimbang antara kebutuhan gizi dengan asupan
gizinya.
b Gizi yang tidak seimbang akan mengakibatkan terjadinya
gangguan pertumbuhan, kekurangan zat gizi akan
mengakibatkan terhambatnya pertumbuhan, sebaliknya
kelebihan asupan gizi dapat mengakibatkan tumbuh berlebih
(gemuk) dan mengakibatkan timbulnya gangguan metabolisme
tubuh.
Oleh karena itu antropometri sebagai variabel status
pertumbuhan dapat digunakan sebagai indikator untuk menilai
status gizi.36

36
a Berat Badan
Berat badan menggambarkan jumlah protein, lemak, air, dan
mineral yang terdapat di dalam tubuh.Berat badan merupakan
komposit pengukuran ukuran total tubuh.Beberapa alasan mengapa
berat badan digunakan sebagai parameter antropometri.Alasan
tersebut di antaranya adalah perubahan berat badan mudah terlihat
dalam waktu singkat dan menggambarkan status gizi saat
ini.Pengukuran berat badan mudah dilakukan dan alat ukur untuk
menimbang berat badan mudah diperoleh.Pengukuran berat badan
memerlukan alat yang hasil ukurannya akurat.Beberapa jenis alat
timbang yang biasa digunakan untuk mengukur berat badan adalah
dacin untuk menimbang berat badan balita, timbangan detecto,
bathroom scale (timbangan kamar mandi), timbangan injak digital,
dan timbangan berat badan lainnya.37

Gambar 3. Menimbang berat badan balita dengan dacin


Sumber: Par’I HM, Wiyono S, Harjatmo TP. Penilaian status gizi. Jakarta:
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia; 2017.50.

b Tinggi Badan atau Panjang Badan

Tinggi badan atau panjang badan menggambarkan ukuran


pertumbuhan massa tulang yang terjadi akibat dari asupan gizi.
Oleh karena itu tinggi badan digunakan sebagai parameter

37
antropometri untuk menggambarkan pertumbuhan
linier.Pertambahan tinggi badan atau panjang terjadi dalam waktu
yang lama sehingga sering disebut akibat masalah gizi kronis.
Istilah tinggi badan digunakan untuk anak yang diukur dengan cara
berdiri, sedangkan panjang badan jika anak diukur dengan
berbaring (belum bisa berdiri). Anak berumur 0–2 tahun diukur
dengan ukuran panjang badan, sedangkan anak berumur lebih dari
2 tahun dengan menggunakan microtoise. 37

Gambar 4. Mengukur panjang badan


Sumber: Par HM, Wiyono S, Harjatmo TP. Penilaian status gizi. Jakarta:
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia; 2017. 52.

c Lingkar kepala
Lingkar kepala dapat digunakan sebagai pengukuran ukuran
pertumbuhan lingkar kepala dan pertumbuhan otak, walaupun tidak
sepenuhnya berkorelasi dengan volume otak.Pengukuran lingkar
kepala merupakan predikator terbaik dalam melihat
perkembangan syaraf anak dan pertumbuhan global otak dan
struktur internal. Menurut rujukan CDC 2000, bayi laki-laki yang
baru lahir ukuran ideal lingkar kepalanya adalah 36 cm, dan pada
usia 3 bulan menjadi 41 cm. Sedangkan pada bayi perempuan
ukuran ideal lingkar kepalanya adalah 35 cm, dan akan bertambah
menjadi 40 cm pada usia 3 bulan. Pada usia 4-6 bulan akan
bertambah 1 cm per bulan, dan pada usia 6- 12 bulan pertambahan

38
0,5 cm per bulan.37

d Lingkar Lengan Atas (LILA)


Lingkar lengan atas (LILA) merupakan gambaran keadaan
jaringan otot dan lapisan lemak bawah kulit.LILA mencerminkan
tumbuh kembang jaringan lemak dan otot yang tidak berpengaruh
oleh cairan tubuh.Ukuran LILA digunakan untuk skrining
kekurangan energi kronis yang digunakan untuk mendeteksi ibu
hamil dengan risiko melahirkan BBLR. Pengukuran LILA
ditujukan untuk mengetahui apakah ibu hamil atau wanita usia
subur (WUS) menderita kurang energi kronis (KEK). Ambang
batas LILA WUS dengan risiko KEK adalah 23.5 cm. Apabila
ukuran kurang dari 23.5 cm, artinya wanita tersebut mempunyai
risiko KEK, dan diperkirakan akan melahirkan berat bayi lahir
rendah (BBLR).37

e Tinggi Lutut
Ukuran tinggi lutut (knee height) berkorelasi dengan tinggi
badan. Pengukuran tinggi lutut bertujuan untuk mengestimasi
tinggi badan klien yang tidak dapat berdiri dengan tegak, misalnya
karena kelainan tulang belakang atau tidak dapat
berdiri.Pengukuran tinggi lutut dilakukan pada klien yang sudah
dewasa. Pengukuran tinggi lutut dilakukan dengan menggunakan
alat ukur caliper (kaliper). Pengukuran dilakukan pada lutut kiri
dengan posisi lutut yang diukur membentuk sudut siku-siku (90o).
Pengukuran tinggi lutut dapat dipakai pada klien dengan posisi
duduk atau dapat juga pada posisi tidur.38

39
Gambar 5. Mengukur tinggi lutut
Sumber: Par’I HM, Wiyono S, Harjatmo TP. Penilaian status gizi. Jakarta:
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia; 2017.56.

2. Metode Laboratorium
Penentuan status gizi dengan metode laboratorium adalah
salah satu metode yang dilakukan secara langsung pada tubuh
atau bagian tubuh.Tujuan penilaian status gizi ini adalah untuk
mengetahui tingkat ketersediaan zat gizi dalam tubuh sebagai
akibat dari asupan gizi dari makanan. Metode laboratorium
mencakup dua pengukuran yaitu uji biokimia dan uji fungsi fisik.
Uji biokimia adalah mengukur status gizi dengan menggunakan
peralatan laboratorium kimia. Tes biokimia mengukur zat gizi
dalam cairan tubuh atau jaringan tubuh atau ekskresi
urin.Misalnya mengukur status iodium dengan memeriksa urin,
mengukur status hemoglobin dengan pemeriksaan darah dan
lainnya. Tes fungsi fisik merupakan kelanjutan dari tes biokimia
atau tes fisik.Sebagai contoh tes penglihatan mata (buta senja)
sebagai gambaran kekurangan vitamin A atau kekurangan zink.38

3. Metode Klinis
Pemeriksaan fisik dan riwayat medis merupakan metode
klinis yang dapat digunakan untuk mendeteksi gejala dan tanda

40
yang berkaitan dengan kekurangan gizi.38
Pemeriksaan klinis adalah pemeriksaan yang dilakukan
untuk mengetahui ada tidaknya gangguan kesehatan termasuk
gangguan gizi yang dialami seseorang. Pemeriksaan klinis
dilakukan dengan beberapa cara, di antaranya melalui kegiatan
anamnesis, observasi, palpasi, perkusi, dan/atau auskultasi.38

4. Metode Pengukuran Konsumsi Pangan


Pengukuran konsumsi makanan sering juga disebut survei
konsumsi pangan, merupakan salah satu metode pengukuran
status gizi. Asupan makan yang kurang akan mengakibatkan status
gizi kurang. Sebaliknya, asupan makan yang lebih akan
mengakibatkan status gizi lebih. Tujuan umum dari pengukuran
konsumsi pangan adalah untuk mengetahui asupan gizi dan
makanan serta mengetahui kebiasaan dan pola makan, baik pada
individu, rumah tangga, maupun kelompok masyarakat. Tujuan
khusus pengukuran konsumsi pangan adalah:38

1. Menentukan tingkat kecukupan asupan gizi pada individu;


2. Menentukan tingkat asupan gizi individu hubungannya
denganpenyakit;
3. Mengetahui rata-rata asupan gizi pada kelompok masyarakat;
4. Menentukan proporsi masyarakat yang asupan gizinya
kurang.
Pengukuran konsumsi pangan dapat dilakukan dalam tiga
area, yaitu mengukur asupan gizi pada tingkat individu,
mengukur asupan gizi pada tingkat rumah tangga dan mengukur
konsumsi pangan pada suatu wilayah.38
Untuk metode penukurannya yakni sebagai berikut;38
1. Metode pengukuran konsumsi pangan individu Metode
pengukuran asupan gizi yang sering dipakai untuk
mengukurasupan gizi pada individu ialah metode recall 24

41
hour, estimated food record, penimbangan makanan (food
weighing), dietary history, dan frekuensi makanan (food
frequency).
2. Metode yang umum dipakai untuk mengukur konsumsi
pangan pada tingkat rumah tangga adalah metode jumlah
makanan (food account), pencatatan makanan rumah tangga
(household food record method), dan recall 24 hour rumah
tangga.
3. Menilai konsumsi pangan pada suatu wilayah dapat
dilakukan dengan 2 metode, yaitu metode neraca bahan
makanan dan dengan metode pola pangan harapan.

42
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Indonesia merupakan salah satu negara berkembang dengan angka


kejadian diare dan muntaber masih tinggi hal ini dilihat dari angka morbiditas
dan mortalitasnya. Faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian muntaber pada
kasus ini yaitu sarana pembuangan tinja, kualitas bakteriologis air bersih,
perebusan air minum, asupan nutrisi dan faktor lingkungan. Lingkungan
memberi pengaruh besar terhadap resiko kejadian muntaber, sehingga
kesehatan lingkungan sangat penting untuk mencapai tujuan nasional. Maka
dari itu perlu diselenggarakan uapaya yang berkesinambungan yang
menyeluruh. Kegiatan tersebut adalah untuk terpenuhinya syarat kesheatan
lingkungan yang optimal bagi masyarakat dengan program penyediaan air
bersih, pemeriksaan tempat pengolahan makanan,sanitasi total berbasis
masyarakat Pemeriksaan kualitas air dan limbah, pengendalian vektor dan
kesehatan lingkungan pemukiman terkhususnya yang tinggal di pemukiman
padat dekat bantaran sungai.
Program pemerintah dalam pembangunan kesehatan menjadi tanggung
jawab bersama baik pemerintah, masyrakat maupun pusat pelayanan
kesehatan sebagai penyelenggara upaya pelayanan kesehatan. Puskesmas
dalam hal ini berfungsi untuk menyelenggarakan peayanan kesehatan baik
kelompok masyarakat maupun perorangan. Hal ini terwujud dari kegiatan
promotif, kuratif dan rehabilitatif oleh Puskesmas untuk menangani berbagai
permasalahan kesehatan ditengah masyarakat pada suatu wilayah kerjanya di
bawah naungan pemerintah.
Masalah kesehatan tentunya berkaitan erat dengan asupan gizi dan
status gizi masyarakat. Pada kasus muntaber di skenario beebrapa kandungan
gizi yang dapat mengatasi dan mengurangi resiko muntaber melalui makanan

43
yaitu vitamin a, zink, zat bioaktif ASI, natrium dan flavonoid. Beberpa
penyakit disebabkan oleh defisiensi zat gizi yaitu marasmus, kwasiorkor,
anemia, kaheksia, gondok dan beri-beri. Untuk itu Puskesmas dan masyarakat
perlu bekerja sama untuk melakukan pengukuran status gizi terutama pada
bayi dan anak-anak yang sedang dalam masa pertumbuhan serta kelompok
rentan lainnya yakni ibu hamil, dan lansia.

44
DAFTAR PUSTAKA

1. N. Paulino, J. Elvi P. Rika. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Kapuas


Kanan Hulu Kecamatan Sintang. (1); 2021.34-37p.
2. Sumolang PP, Nurjana MA, Widjaja J. Analisis Air Minum dan Perilaku
Higienis dengan Kejadian Diare pada Lansia di Indonesia. Media Penelit
dan Pengemb Kesehat. 2019;29(1):99–106p.
3. Petrika Y, Agusanty SF. Balita Tidak Asi Eksklusif Berisiko Tinggi
Mengalami Diare. J Vokasi Kesehat. 2021;6(2):109p.
4. Hannif, Mulyani NS, Kuscithawati S. Faktor resiko diare akut pada balita.
Yogyakarta. 2011 Maret. 1: 13-15p.
5. Utami N, Lutfiana N. Faktor-Faktor yang Memengaruhi Kejadian
Diare pada Anak. Lampung. 2016 Okt. 5: 102-4p
6. Wedayanti DPK. Gastroenteritis akut, Fakultas Kedokteran Universitas
Udayana/RSUP Sanglah ; 2017. 38-40p.
7. Sugiharto M. Pelaksanaan Program Kesehatan Lingkungan Puskesmas di
Kabupaten Tuban Provinsi Jawa Timur ( Analisis Lanjut Riset Fasilitas
Kesehatan Tahun 2011 ) ( Environmental Health Program Implementation
at Public Health Center ( PHC ) in Tuban District ) – East Jav. J Kesehat
Masy. 2019;17(1):17–25p.
8. Kusuma W, Air S. Hubungan Antara Sumber Air Dengan Kejadian Diare
Padawarga Kampung Baru Ngagelrejo Wonokromo Surabaya. J
Agromedicine Med Sci. 2019;5(3):124–9p.
9. Hariani R. Pelaksanaan Program Penanggulangan Diare Di Puskesmas
Matakali. Jurnal Kesehatan Masyarakat . 2019;5(1)p.
10. Rendang Indriyani DP, Putra IGNS. Penanganan terkini diare pada anak:
tinjauan pustaka. Intisari Sains Medis. 2020;11(2):928–32p.
11. Susilowati IT, Suwarni S. Pencegahan dan Penangulangan Penyakit Diare
dan Muntaber melalui Penyuluhan Perilaku Hidup Bersih serta
Pemanfaatan Bahan Herbal. 2022;3(2):55–64p.

45
12. Lukitaruna D, Hendrati LY, dkk. Gambaran Pelaksanaan Program
Pengendalian dan Pemberantasan COVID-19 di Wilayah Kerja Puskesmas
Keputih Surabaya 2020. Prev J Kesehat Masy.2022;13(1):131–43p.
13. Menteri Kesehatan RI, 2019. PERMENKES No. 43 Tahun 2014 Tentang
Pusat Kesehatan Masyarakat.
14. D. I., Kali, L. Pelaksanaan Fungsi Puskesmas (Pusat Kesehatan
Masyarakat) Dalam Meningkatkan Kualitas Pelayanan Kesehatan. vol, 5,
305-314p.
15. KESMAS UWIGAMA. Jurnal Kesehatan masyarakat (2020), 6(2) : 167-
178p.
16. Setiawan, H., Suhanda, S., dkk (2018). Promosi kesehatan pencegahan
hipertensi sejak dini. ABDIMAS: Jurnal Pengabdian Masyarakat. 1(2):
41-45p.
17. Anjari LTA, Zulaikha F. Hubungan Asupan Vitamin A dan Pemberian
ASI Ekslusif Terhadap ejadian Diare Pada Balita. Borneo Student
Research. 2022;3(2):1337–8p.
18. Bonowati L. Ilmu Gizi Dasar. Pratama FA, editor. Yogyakarta: CV Budi
Utama; 2019. 1p.
19. Depkes RI. Buku Saku Petugas Kesehatan Lintas Diare. Departemen
Kesehatan RI, Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit dan Penyehatan
Lingkungan. 2011. 16-22 p.
20. Kroner Z. Vitamins and Minerals. Greenwood. 2011. 334–5p.
21. Siswidiasari A, Astuti KW, dkk. Profil Terapi Obat Pada Pasien Rawat
Inap Dengan Diare Akut Pada Anak Di Rumah Sakit Umum Negara. J
Kim 8. 2014;8(2):186–7p.
22. P GOBD, Duarsa DP, dkk. Hubungan Pemberian Asi Eksklusif Terhadap
Kejadian Diare Pada Bayi Usia 6-12 Bulan Di Puskesmas Denpasar Barat
Ii. J Biomedik Jbm. 2019;12(1):74p.
23. Kusbijantoro YB, Naufizdihar NA, dkk. Potensi Ekstrak Moringa Oleifera
Untuk Mengatasi Gastroenteritis Bakteri. JIMKI J Ilm Mhs Kedokt
Indones. 2022;9(3):57–8p.
24. Ibad M, Kusyani A, dkk. Literature Review: Environmental Sanitation
Relations With Child Diarrhea: Literatur Review: Hubungan Sanitasi
Lingkungan Dengan Kejadian Diare Pada Anak. 2021 Jul. 21;6(1):16-23p.

46
25. Utami N, Luthfiana N. Faktor-Faktor yang Memengaruhi Kejadian Diare
pada Anak. Jurnal Majority. 2016;5(4):101–6p.
26. Suprapto S. Hubungan Sanitasi Lingkungan Dengan Kejadian Diare Pada
Lanjut Usia Di Kelurahan Barombong Kecamatan Tamalate Kota
Makassar. 21Dec.2017;6(2):51-8p.
27. Kementerian kesehatan RI. Situasi kesehatan anak balita di Indonesia.
indonesia: KemenKesRI; 2015. 2-3 p.
28. IDAI. Pedoman pelayanan medis ikatan dokter anak indonesia.
indonesia:IDAI;2009.184p.
29. Tim Adaptasi Indonesia. Pelayanan kesehatan anak di RS. Tim Adaptasi
Indonesia: editor. Jakarta: WHO Indonesia; 2008. 193, 197-218p.
30. Marischa S, Anggraini DI, Putri GT. Malnutrisi pada pasien kanker. 2017
November; 7(4): 107 p.
31. Amalia A, Tjiptaningrum A. Diagnosis dan tatalaksana anemia defisiensi
besi. Desember 2016; 5(5):166-7p.
32. Alioes Y. Majalah kedokteran andalas. Hubungan penyakit gondok dengan
kadar yodium dalam utin murid madrasah ibtidaiyah negeri (MIN) korong
gadang kecamatan Kuranji kota Padang. Juli-Desember 2010; 34(2): 184-
190p.
33. Triana V. Jurnal kesehatan masyarakat. Macam-macam vitamin dan
fungsinya dalam tubuh manusia. September 2006; 1(1): 47p.
34. Wulandari C, Setiyarini DW, Bariroh K, Laraswati, Azhari MF, Aziz RAI.
Upaya peningkatan status kesehatan kelompok rentan dengan pendekatan
pembelajaran dan pemberdayaan masyarakat. Jurnal pengabdian kepada
masyarakat:2019;5(2):167-87p.
35. Diniyyah SR, Nindya TS. Asupan energi, protein dan lemak dengan
kejadian gizi kurang pada balita usia 24-59 bulan di desa suci, gresik.
Amerta Nutr: 2017.341-50p.
36. Ernawati A. Masalah gizi pada ibu hamil. Jurnal litbang: 2017;13(1). 60-
9p.
37. Rohmawati N, Asdie AH, Susetyowati. Tingkat kecemasan, asupan

47
makan, dan status gizi pada lansia di kota yogyakarta. Jurnal gizi klinik
indonesia: 2015;12(2):19p.
38. Par HM, Wiyono S, Harjatmo TP. Penilaian status gizi. Jakarta:
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia; 2017. 45-60p.

48
49
50

Anda mungkin juga menyukai