Anda di halaman 1dari 25

MAKALAH

IMPETIGO ATAU SULETEN PADA BAYI

MATA KULIAH HUMANIORA


Dosen pengampu :
DR.Wayan Aryawati,M.Kes

DISUSUN OLEH KELOMPOK 10

1. GUSTI AYU PUTU DEWI AGUSTINA 21340033P


2. NI NYOMAN WIDHIARI 21340049P
3. NI WAYAN WIDIARSANI 21340051P
4. NUNUK KARTIKA 21340053P
5. RENI SAPRIANINGSIH 21340058P
6. ROSI ERMAWATI 21340062P
7. SAGUNG DWI RAI MARTINI 21340064P

PRODI KEBIDANAN DIV KONVERSI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MALAHAYATI
TH.2021/2022

i
KATA PENGANTAR

Rasa syukur kami haturkan kepada Allah SWT, berkat rahmat


dan hidayah-Nya kami dapat menyusun makalah ini dengan optimal
dan dapat selesai secara tepat waktu. Makalah kami beri judul
“IMPETIGO ATAU SULETEN PADA BAYI” .
Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk
memenuhi tugas kami dari Ibu DR.Wayan Aryawati,M.Kespada
mata kuliah Humaniora. Selain itu, makalah ini juga bertujuan
untuk menambah wawasan tentang Impetigo atau Suleten pada bayi
bagi para pembaca dan juga bagi penulis.
Kami selaku penulis tidak lupa untuk menyampaikan rasa
terima kasih kepada Ibu DR.Wayan Aryawati,M.Kes selaku dosen
kami yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat menambah
pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang kami
tekuni. Tidak lupa untuk rekan mahasiswa lainnya yang telah ikut
mendukung penyusunan makalah ini,kami juga mengucapkan
terima kasih.
Terakhir, kami menyadari bahwa makalah ini masih belum
sempurna secara keseluruhan. Maka dari itu kami sangat terbuka
terhadap kritik dan saran yang bersifat membangun. Agar
kemampuan kami dapat bertambah dan pada tugas berikutnya bisa
menulis makalah dengan lebih baik lagi. Semoga makalah ini
bermanfaat bagi kami dan para pembaca.

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL……………………………………………....... i
KATA PENGANTAR………………………………….....……....... ii
DAFTAR ISI……………………………………………….….….... iii
BAB I PENDAHULUAN

A. Latar belakang masalah…………………………………......... 1


B. Rumusan masalah………………………………………...... 1
C. Tujuan………………………………………….…................. 2
D. Manfaat ………………………………………….….............. 3

BAB II ISI

A. CARA PANDANG MASYARAKAT TENTANG


SULETEN................................................…….....…….................... 4

B. TINJAUAN

PUSTAKA…………………………………………..……... 6
C. TERAPI PENGOBATAN…………………………..
…………….... 14
D. TINDAKAN PECGAHAN DAN PENULARAN……………… 16

BAB III PENUTUP

1. Kesimpulan……………………………………………..….. 19
2. Saran………………………………………………….…..... 20

DAFTAR PUSTAKA................................................................ 21

iii
BAB I
LATAR BELAKANG

A. Latar Belakang

Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa sansekerta yaitu


Buddhayah yang merupakan bentuk jamak dari buddhi ( budi atau akal)
diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia.
Menurut Koentjaraningrat : kebudayaan adalah seluruh kelakuan dan hasil
kelakuan manusia yang teratur oleh tata kelakuan yang harus didapatkannya
dengan cara belajar dan yang semuanya tersusun dalam kehidupan masyarakat.
Manusia dinilai makhluk yang berbudaya jika manusia tersebut
memiliki akal dan pikiran yang selalu aktual dalam mengisi
kehidupannyadengan tidak lelah mencari ilmu pengetahuan apapun untuk
mengembangkan kepribadiannya. Budaya yang dikembangkan oleh manusia
akan berimplikasi pada lingkungan tempat kebudayaan itu berkembang. Suatu
budaya memancarkan satu ciri khas dari masyarakatnya yang tampak dari laur.
Dengan menganalisa pengaruh akibat budaya terhadap lingkungannya
seseorang dapat mengetahui mengapa disebuah lingkungan tertentu akan
berbeda kebiasaannyadengan lingkungan lainnya dan kaan menghasilkan
kebudayaan yang berbeda pula. Misalnya cara masyaraat memandang konsep
sehat dan sakit dan persepsi masyarakat tentang penyebab terjadinya penykit
disutu nasyarakat akan erbeda-beda tergantung dari kebudayaan yang ada
dalam masyarakat tersebut. Contoh lain, sosial budaya memepengaruhi
kesehatan adalah pandangan suatu masyarakat terhadap tindakan yang mereka
lakukan ketika mereka mengalami skit, ini akan sangat dipengaruhi oleh
budaya, tradisi dan kepercayaan yang ada dan tumbuh daam masyarakat
tersebut.
Menurut kepercayaan orang Jawa, pakaian bayi atau balita itu gak
boleh dibuang apalagi dibakar, karena mereka yakin bahwa masih ada sinergi
antara pakaian dengan si anak. Akibatnya, saat pakaian dibakar, kulit si anak
akan ikut terbakar atau melepuh. Penyakit kulit ini biasa disebut Suleten atau
Suluten. Menerut mitos orangtua dahulu, Suleten ini disebabkan oleh kotoran

1
bayi atau bisa juga berupa bekas popok maupun pakaian anak yang dibuang
kurang hati-hati, hingga bercampur dengan sampah dan kemudian dibakar.
Karena kotoran bayi tersebut ikut terbakar, maka ini akan berimbas pada kulit
bayi yaitu menjadi seperti melepuh dan juga bisa berbentuk kudis maupun
kurap. Namun itu adalah mitos yang belum bisa dibuktikan dan dijelaskan
secara logika.

Secara medis, Suleten ini dikenal dengan istilah Impetigo yaitu infeksi
kulit yang disebabkan oleh bakteri Staphylococcus (Staph) dan Streptococcus
(Strep). Dan dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti: Kebersihan (higiene dan
sanitasi) kurang, Musim panas dengan banyak debu dan Keadaan dimana anak
kurang gizi dan anemia.

Berdasarkan latarbelakang diatas, penulis tertarik untuk menulis makalah


yang berkaitan dengan Imepetigo atau suletan pada bayi dan
pengobatannya.

B. Rumusan masalah
1. Bagaimana pandangan masyarakat mengenai penyakit suleten?
2. Apakah yang dimaksud suletan secara medis?
3. Metode pengobatan seperti apa yang di gunakan masyarakat untuk
mengobati suleten?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pandangan masyarakat mengenai penyakit Suleten
2. Untuk mengetahui penyakit Suletan secara medis
3. Untuk mengetahui pengobatan Suleten secara medis dan herbal pada
bayi dan balita

2
D. Manfaat
a. Manfaat Teoretis
Manfaat penelitian secara teori adalah untuk menambah pengetahuan dan
wawasan tentang budaya suku bangsa, dan sebagai bahan referensi dalam
pembelajaran sastra dan budaya yang berkenaan dengan folklor pada tradiri
lisan cerita rakyat suku bangsa di Indonesia.
b. Manfaat Praktis
1. Bagi pembaca makalah ini dapat dimanfaatkan sebagai salah satu cara
untuk mengenalkan budaya tradisi lisan atau cerita rakyat kepada
masyarakat lain di Indonesia.
2. Bagi pembaca penelitian ini dapat digunakan sebagai sarana pelestaraian
dan pemertahanan budaya asli yang dimiliki oleh masyarakat.

3
BAB II

ISI

A. PANDANGAN MASYARAKAT TENTANG SULETEN

Sebagai orang tua tentu kita akan merasa panic ketika menemukan bayi
dan balita kita terdapat bintik bintik merah atau bias juga berupa bentolan
berisi cairan kuning jernih seperti lepuhan pada kulitnya. Bintik-bintik ini
terkadang muncul pada bagian tubuh tertentu atau bias juga menyebar hampir
seluruh tubuh sama halnya seperti Herpes atau Cacar. Ternyata orang jawa
sering menyebutnya dengan Suleten ( Impetigo).

Menurut kepercayaan orang Jawa, pakaian bayi atau balita itu gak
boleh dibuang apalagi dibakar, karena mereka yakin bahwa masih ada sinergi
antara pakaian dengan si anak. Akibatnya, saat pakaian dibakar, kulit si anak
akan ikut terbakar atau melepuh. Penyakit kulit ini biasa disebut Suleten atau
Suluten. Mengobatinya, mudah saja, cukup dengan memarut kunyit lalu
menggorengnya, hasil gorengannya dibalurkan ke badan anak yang melepuh.
Gak perlu ke dokter dan gak perlu perawatan apa-apa lagi.

Adalagi yang aneh terkait pakaian bayi. Tidak boleh dibakar, nanti
kulit bayi akan kemerahan seperti melepuh kena api. Orang Jawa menyebutnya
suleten. Sulet, dengan -e seperti dalam kata sumber, artinya memang
‘menyulut’. Maksudnya iritasi pada kulit bayi mirip disundut dengan api
karena orang tuanya menyulut api membakar pakaian bayi. Di zaman sekarang,
ketika popok sekali pakai sudah umum dipakai, mitos ini mengakibatkan
popok sekali pakai menjadi tambahan sampah harian. Kalau seharusnya bisa
dibakar, akhirnya dibuang ke sungai dan saluran air.

Suleten itu adalah kepercayaan local (Jawa) bahwa semua pakaian


yang dipakai bayi akan menyatu dengan jiwanya. Popok termasuk di dalamnya.

4
Jika popok dibuang, dan ujung-ujungnya dibakar, jiwa bayi dapat merasakan
panas popok tersebut. Solusinya, agar pantat bayi tetap “dingin”, orang tua
membuang popok bekas pakai keperairan, terutama kesungai. Jika dibuang
ketempat sampah, bayi dipercaya lebih sering menangis karena merasa
'popoknya terbakar'.

Kebanyakan orang zaman dahulu selalu menyuruh anak anaknya untuk


membuang kotoran bayi di sungai dan kali, kenapa karena menurut mitos yang
beredar dimasyarakat bila kotoran bayi tidak dihanyutkan kedalam sungai atau
kali akan menimbulkan suletan pada bayi. Ada juga masyarakat yang percaya
bahwa membakar kotoran bayipun akan menyebabkan suletan. Faktanya
kondisi ini tentu sangat memprihatinkan karena popok bayi mengandung
banyak senyawa kimia yang berbahaya. Popok bayi menyebabkan pencemaran
lingkungan dan baru bisa terurai setelah 500 tahun. Selama ini, orang
mempercayai bahwa suleten yang diderita bayi karena popok bayi dibakar.
Padahal suleten ini akibat dari kandungan di dalam popok yang sudah
bercampur dengan kencing bayi. Oleh karena itu sebisa mungkin kita harus
bisa memberikan pengetahuan kepada masyarakat bahwa kebiasaan membuang
sampah kesungai atau kali tidak lah bagus, terutama untuk lingkungan. Dalam
rangka mengurangi pembuangan sampah popok bekas pakai diapers perlu
menghilangkan mitos Suleten yang hidup dalam masyarakat.
Penghilangkan mitos dalam mindset masyarakat tidaklah mudah maka
pendekatan pemerintah perlu melakukan pendekatan Kultural bukan
Struktural. Sementara untuk pesan yang disampikan harus dipisahkan
dengan pesan pesan penyadaran pembuangan sampah lainya. Pesan tentang
penyadaran tidak membuang sampah diapers harus dilakukan secara khusus,
karena masyarakat terikat mitos.

5
B. TINJAUAN PUSTAKA
1. Definisi Impetigo
Suleten (Impetigo) merupakan salah satu bentuk dari pioderma yang
menyerang lapisan epidermis berupa peradangan superfisialis yang
disebabkan oleh infeksi bakteri terutama streptococcus sp. Impetigo
terjadidalam bentuk nonbulosa (impetigo krustosa) dan bulosa.Streptokokus
beta hemolitik atau Streptococcus pyogenes biasanya menghasilkan impetigo
nonbulosa. Sedangkan Staphylococcus aureuskoa gulasepositif biasanya
menyebabkan impetigo bulosa. Impetigo dapat terjadi pada kulit yang sehat
atau kulit yang mengalami trauma sehingga merusak barier kulit (Gapila,
2013).

Infeksi bakterial kulit primer lebih dikenal dengan pioderma. Salah satu
bentuk dari pioderma ini adalah impetigo. Penyakit ini merupakan salah satu
penyakit yang dapat menyerang semua umur. Penyebabnya adalah kuman
pyococcus, terutama staphylococcus, streptococcus atau kombinasi keduanya
(Craft et al., 2008).

Impetigo merupakan infeksi bakteri kulit yang palingsering ditemukan dan


disebabkan oleh Streptococcus B. hemolyticusdan Staphylococcus aureus.
Infeksi ini sering berpindah antar manusia melalui kontak, terutama pada anak-
anak. Faktor predisposisi penyakit ini adalah suhu yang panas, lembab dan
higiene yang kurang baik. Impetigo dimulai sebagai sebagai vesikel purulen,
bila lesimenyebar makaakanmengalamierosidibagiandasarnyadanpada
permukaannya terbentuk krusta berwarna keemasan. Predileksi di muka,
yaknisekitar lubanghidungdanmulutkarenadianggapsebagaisumberinfeksidari
daerah tersebut (Sutisna, 2011).
Secara klinis impetigo didefinisikan sebagai penyakit infeksi kulit yang
menular pada daerah superfisial yaitu hanya pada bagian epidermis kulit, yang
menyebabkan terbentuknya lepuhan-lepuhan kecil berisi nanah (pustula)
seperti tersundut rokok/api. Di bagian Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin,

6
penyakit ini merupakan salah satu contoh pioderma yang sering dijumpai.
Terdapat dua jenis impetigo yaitu impetigo bulosa atau impetigo vesikobulosa
yang disebabkan oleh Staphylococcus aureus dan nonbulosa atau impetigo
krustosa yang disebabkan oleh Streptococcus pyogenes. Dasar infeksinya
adalah kurangnya hygiene dan terganggunya fungsi kulit (Craft et al., 2008).
Penyakit ini dapat berasal dari proses primer karena memang terjadi kerusakan
pada kulit yang intak (utuh) atau terjadi karena proses infeksi sekunder yang
disebabkan karena infeksi sebelumnya atau karena penyakit sistemik (Ratz,
2010).
Impetigo sering menyerang anak-anak terutama di tempat beriklim panas
dan lembap. Ditandai dengan lepuh-lepuh berisi cairan kekuningan dengan
dinding tegang, terkadang tampak hypopyon (Djuanda, 2011). Karena impetigo
terbatas hanya pada epidermis dan tidak mencapai bagian yang lebih dalam,
umumnya pasien hanya mengeluh gatal tanpa disertai nyeri. Pada awal
munculnya lesi pasien merasakan gatal yang merupakan tanda bahwa telah
terjadi infeksi oleh bakteri yang menimbulkan reaksi radang.
Beberapa cara bisa dilakukan untuk mencegah penularan adalah dengan
menghindari kontak terhadap cairan yang berasal dari lepuhan di kulit,
menghindari pemakaian bersama handuk, pakaian, dan barang-barang lainnya
dengan penderita, dan selalu mencuci tangan setelah mengobati lesi di kulit
(Maharani, 2015).

2. Etiologi Impetigo
Penyebab peyakit impetigo ini adalah Streptococcus pyogenes dan
Staphylococcus aureus, atau kombinasi keduanya (Craft et al.,2008). Kedua
bakteri tersebut diketahui dapat menyebabkan pembelahan dan menyebar luas
ke dalam jaringan melalui produksi beberapa bahan ekstraseluler. Beberapa
dari bahan tersebut adalah enzim dan yang lainnya berupa toksin. Toksin
tersebut menyerang protein yang membantu mengikat sel-sel kulit. Ketika
protein rusak, bakteri dengan cepat menyebar. Sementara enzim yang
dikeluarkan oleh bakteri tersebut akan merusak struktur kulit dan menimbulkan

7
rasa gatal yang menyebabkan terbentuknya lesi pada kulit (Hamzah &
Mahmudah, 2014).

3. Patofisiologi Impetigo
Impetigo krustosa atau non bulosa merupakan jenis impetigo yang paling
sering dijumpai dan hampir 70% terjadi pada anak-anak dibawah usia 15 tahun
dengan infeksi Staphylococcus aureus dan Streptococcus β Hemolyticus Grup
A (GABHS) atau yang biasa dikenal dengan nama Streptococcus pyogenes.
Telah dilaporkan bahwa sebanyak 50-60% kasus disebabkan Staphylococcus
aureus yang merupakan patogen utama penyebab impetigo krustosa. Namun
pada kenyataanya, hampir 20-45% kasus disebabkan oleh kombinasi antara
keduanya. Bakteri Staphylococcus aureus memproduksi racun bakteriotoksin
pada streptococcus. Racun inilah yang menjadi alasan mengapa hanya
Staphylococcus aureus yang terisolasi pada lesi walaupun penyebabnya adalah
Streptococcus pyogenes. Jika seorang individu mengadakan kontak dengan
penderita impetigo, maka individu dengan kulit normal dapat terkontaminasi
oleh bakteri ini. Pada kulit yang terkolonisasi oleh bakteri ini, maka pada luka
kecil seperti lecet atau tergigit serangga akan timbul lesi antara 1-2 minggu
(Andryani dkk, 2013).
Streptococcus pyogenes dapat ditemukan pada tenggorokan dan hidung
pada beberapa individu sekitar 2-3 minggu setelah timbulnya lesi, meskipun
tidak ada gejala faringitis streptococcal. Hal ini dikarenakan adanya perbedaan
rantai pada bakterinya. Biasanya impetigo disebabkan oleh rantai D,
sedangkan faringitis disebabkan rantai A, B, dan C.

4. Jenis Impetigo
a. Impetigo Krustosa
Impetigo Krustosa merupakan bentuk pioderma yang paling sederhana.
Menyerang epidermis, gambaran yang dominan ialah krusta yang khas,
berwarna kuning kecoklatan seperti madu yang berlapis-lapis. Penyebab
paling sering disebabkan oleh grup streptococcus yang menyerang terutama
pada anak-anak. Faktor- faktor yang mempengaruhi timbulnya penyakit

8
adalah musim panas atau cuaca panas yang lembab, kebersihan yang kurang
dan higiene yang buruk, bisa juga disebabkan oleh anemia dan malnutrisi.
Keluhan utama adalah rasa gatal, lesi awal berupa makula eritematosa
berukuran 1-2 mm, segera berubah menjadi vesikel atau bula. Karena
dinding vesikel tipis, mudah pecah dan mengeluarkan secret seropurulen
kuning kecoklatan. Selanjutnya mengeringdan membentuk krusta berlapis-
lapis. Krusta mudah dilepaskan, di bawah krusta terdapat daerah erosif yang
mengeluarkan secret sehingga krusta kembali menebal. Predileksi sering
ditemukan pada wajah atau ekstremitas setelah trauma. Patogenesis dimana
kulit yang intak resisten terhadap kolonisasi atau impetigenisasi,
kemungkinan tidak adanya reseptor fibronektin untuk asam teichoic
moieties pada Staphyloccocus aureus dan streptococcus yang menyebabkan
lesi. Pemeriksaan Fisik dilihat dari lokalisasi yaitu daerah yang terpajan,
terutama wajah (sekitar hidung dan mulut), tangan, leher, dan ekstremitas.
Dilihat dari Efloresensi/sifat-sifatnya terdapat makula eritematosa miliar
sampai lentikular, difus, pustul miliar sampai lenticular, krusta kuning
kecoklatan, berlapis-lapis, mudah diangkat. Gambaran histopatologi berupa
peradangan superfisial folikel pilosebasea bagian atas, terbentuk bula atau
vesikopustula subkornea yang berisi kokus serta debris berupa leukosit dan
sel epidermis. Pada lapisan dermis didapatkan reaksi peradangan ringan
berupa dilatasi pembuluh darah, edema dan infiltrasi PMN. Pemeriksaan
pembantu/laboratorium menggunakan biakan bakteriologis eksudat lesi;
biakan secret dalam media agar darah, dilanjutkan dengan tes resistensi.
Penatalaksanaan dengan menjaga kebersihan kulit dengan mandi pakai
sabun 2 kali sehari. Jika krusta banyak, dikeluarkan dengan mencuci dengan
H2O2 dalam air, lalu diberi salep antibiotik seperti kloramfenikol 2%,
teramisin 3%, dan mupirosin. Jikalesi banyak dan disertai gejala konstitusi
(demam, dll), berikan antibiotik sistemik misalnya penisilin, kloksasilin,
atau sefalosporin. Prognosis baik, namun, dapat timbul komplikasi sistemik
seperti glomerulonefritis, dan lain-lain (Craft, 2008).
b. Impetigo Bulosa

9
Impetigo bulosa adalah suatu bentuk impetigo dengan gejala utama berupa
bula berisi cairan kekuningan dengan dinding tegang, terkadang tampak
hipopion. Penyebab terutama disebabkan oleh staphylococcus, biasanya
menyerang anak-anak dan dewasa. Faktor- faktor yang mempengaruhi
timbulnya penyakit seperti pada daerah yang lebih banyak pada daerah
tropis dengan udara panas, musim panas, higiene yang kurang, keadaan
kurang gizi, dan pada lingkungan yang kotor dan berdebu akan lebih sering
dan lebih hebat. Gejala klinik berupa vesikel sampai bula yang timbul
mendadak pada kulit sehat, bervariasi mulai miliar hingga lentikular, dapat
bertahan 2- 3 hari. Berdinding tebal dan ada hipopion. Jika pecah
menimbulkan krusta yang coklat datar dan tipis. Pemeriksaan kulit dengan
melihat lokalisasi pada ketiak, dada, punggung, ekstremitas atas dan bawah.
Dari efloresensi/sifat-sifatnya akan tampak bula dengan dinding tebal dan
tipis, miliar hingga lentikular, kulit sekitarnya tak menunjukkan peradangan,
kadang-kadang tampak hipopion. Pada gambaran histopatologi epidermis,
tampak vesikel subkornea berisi sel-sel radang yaitu leukosit, pada dermis
tampak sebukan sel-selradang ringan dan pelebaran ujung-ujung pembuluh
darah. Pemeriksaan pembantu/laboratorium dengan preparat mikroskopik
langsung dari cairan bula untuk mencari staphylococcus. Dan melalui
biakan cairan bula dan uji resistensi. Penatalaksanaan dengan menjaga
kebersihan dan menghilangkan faktor-faktor predisposisi. Jika bula besar
dan banyak, sebaiknya dipecahkan, selanjutnya dibersihkan dengan
antiseptik (betadine) dan diberi salep antibiotik (kloramfenikol 2% atau
eritromisin 3%). Jika Pada dewasa dengan gejala ekstensif atau bula
diberikan diberikan antibiotik sistemik seperti amoksisilin + asam
klavulanat 25 mg/kg BB, cephalexin (40-50 mg/kg/hr), dicloxacin 250-500
mg 4 kali sehari, eritromisin 250-500 mg. Prognosis baik.

5. Gejala klinis
Gejala dari impetigo krustosa adalah awalnya berupa warna kemerahan pada
kulit (makula) atau papul yaitu penonjolan padat dengan diameter < 0,5 cm
berukuran 2-1 mm. Lesi papul segera menjadi vesikel atau pustul yaitu papula

10
yang berwarna keruh atau mengandung nanah yang mudah pecah dan menjadi
papul dengan keropeng atau koreng berwarna kulit madu dan lengket. Kira-kira
berukuran < 2 cm dengan kemerahan minimal atau tidak ada kemerahan sama
sekali disekitarnya. Lesi bisa muncul di kulit akibat trauma sebelumnya atau
bahkan di kulit yang normal sekaligus dan penyebarannya pun cepat. Lesi
berada disekitar mulut, hidung, dan daerah tubuh yang serong terbuka yaitu
tangan dan kaki. Jika tidak segera diobati, maka lesi akan menyebar terus
karena tindakan sendiri karena impetigo menyebar melalui kontak langsung
dengan daerah kulit yang terinfeksi (lesi). Kelenjar getah bening juga dapat
mengalami pembesaran dan terasa nyeri. Selain itu juga akan terjadi
pembengkakan dan tekanan darah yang tinggi dapat ditemukkan pada orang
dengan impetigo krustosa sebagai tanda glomerulonefritis akibat reaksi tubuh
terhadap infeksi oleh kuman penyebab impetigo (Maharani, 2015).

6. Diagnosis
a. Diagnosis ditegakan berdasarkan anamnesa dan gambaran klinis dari lesi.
Kultur dilakukan bila terdapat kegagalan pengobatan dengan terapi
standar. Biopsy jarang dilakukan. Biasanya diagnosa dari impetigo dapat
dilakukan tanpa adanya tes laboraturium. Namun demikian, apabila
diagnosis tersebut masih dipertanyakan, tes mikrobiologi pasti akan
sangat menolong.
b. Laboraturium rutin pada pemeriksaan darah rutin, lekositosit ringan
hanya ditemukan pada 50% kasus pasien dengan impetigo. Pemeriksaan
urinalisis perlu dilakukan untuk mengetahui apakah telah terjadi
Glomerulonefritis Akut Pasca Streptococcus (GNAPS), yang ditandai
dengan hematuria dan proteinuria.
c. Pemeriksaan imunologis pada impetigo yang disebabkan oleh
streptococcus dapat ditemukan peningkatan kadar anti
deoksiribonuklease (anti DNAse) B antibody.
d. Pemeriksaan mikrobiologis eksudat yang diambil dibagian bawah krusta
dan cairan yang berasal dari bulla dapat dikultur dan dilakukan tes
sensitivitas. Hasil kultur bisa memperlihatkan Streptococcus pyogenes,

11
Staphylococcus aureus atau keduanya. Tes sensitivitas antibiotik
dilakukan untuk mengisolasi Metisilin Resister Staphylococcus Aureus
(MRSA) serta membantu dalam pemberian antibiotik yang sesuai.
7. Komplikasi
GNAPS atau Glomerulonefritis Akut Pasca Streptococcus adalah suatu
peradangan glomerulus yang secara histopatologi menunjukkan proliferasi dam
Inflamasi glomeruli yang didahului oleh infeksi group A β-hemolytic
Streptococcus (GABHS) yang biasa dikenal dengan Streptococcus pyogenes
dan ditandai dengan gejala nefritik seperti hematuria, edema, hipertensi,
oliguria yang terjadi secara akut.
GNAPS lebih sering terjadi pada anak usia 6 sampai 15 tahun dan jarang
pada usia di bawah 2 tahun. GNAPS didahului oleh infeksi GABHS melalui
Infeksi Saluran Pernapasan Atas (ISPA) atau infeksi kulit (pioderma) dengan
periode laten 1-2 minggu pada ISPA atau 3 minggu pada pioderma. Penelitian
multisenter di negara Indonesia menunjukkan bahwa infeksi melalui ISPA
terdapat pada 45,8% kasus sedangkan melalui kulit sebesar 31,6%. Gejala
klinik GNAPS sangat bervariasi dari bentuk asimtomatik sampai gejala yang
khas. Bentuk asimtomatik lebih banyak dibandingkan dengan bentuk
simtomatik baik sporadik maupun epidemik. Bentuk asimtomatik diketahui
bila terdapat kelainan sedimen urin terutama hematuria mikroskopik yang
disertai riwayat kontak dengan penderita GNAPS simtomatik.
Seperti pada penyakit ginjal lainnya, GNAPS termasuk penyakit kompleks
imunologik. Beberapa bukti yang menunjukkan bahwa GNAPS termasuk
penyakit imunologik adalah:
1. Adanya periode laten antara infeksi streptokokus dan gejala klinik.
2. Kadar imunoglobulin G (IgG) menurun dalam darah.
3. Kadar komplemen C3 menurun dalam darah.
4. Adanya endapan IgG dan C3 pada glomerulus.
5. Titer antistreptolisin O (ASO) meninggi dalam darah.
Pada pemeriksaan hapusan tenggorok (throat swab) atau kulit (skin swab)
tidak selalu ditemukan GABHS. Hal ini mungkin terjadi karena penderita telah
mendapat antibiotik sebelum masuk rumah sakit. Juga lamanya periode laten

12
menyebabkan sukarnya ditemukan kuman streptococcus. Seperti telah
disebutkan sebelumnya, organisme tersering yang berhubungan dengan
GNAPS ialah Group A β-hemolytic Streptococci. Penyebaran penyakit ini
dapat melalui infeksi saluran napas atas (tonsillitis/faringitis) atau kulit
(pioderma), baik secara sporadik atau epidemiologik. Meskipun demikian tidak
semua GABHS menyebabkan penyakit ini, hanya 15% mengakibatkan
GNAPS.

NO MITOS SULETEN FAKTA SULETEN (IMPETIGO)


1 Pakaian bayi atau balita itu Timbulnya penyakit impetigo
tidak boleh dibuang apalagi biasanya pada daerah yang lebih
dibakar karena jiwa bayi sering pada daerah tropis dengan
dapat merasakan panas udara panas, musim panas, higiene
popok atau pakaian yang yang kurang, keadaan kurang gizi,
dibakar tersebut. dan pada lingkungan yang kotor dan
berdebu akan lebih sering dan lebih
hebat.
2 Kotoran bayi jika tidak Padahal suleten ini akibat dari
dihanyutkan kedalam sungai kandungan di dalam popok yang
atau kali akan menimbulkan sudah bercampur dengan kencing
suletan pada bayi bayi jika dipakai dalam waktu yang
lama.
Selain itu popok bayi yg dibuang
kesungai menyebabkan pencemaran
lingkungan dan baru bisa terurai
setelah 500 tahun.

13
C. TERAPI (PENGOBATAN)
a. Medis
Baik impetigo bulosa maupun impetigo krustosa, terapi atau
pengobatannya adalah dengan diberikan antibiotik. Antibiotik adalah suatu
zat yang diproduksi oleh atau berasal dari jamur, bakteri, dan organisme
tertentu lainnya, yang dapat menghambat atau merusak pertumbuhan
mikroorganisme. Antibiotik secara informal didefinisikan sebagai sub-
kelompok agen anti-infeksi yang berasal dari sumber-sumber bakteri dan
digunakan untuk mengobati infeksi yang berasal dari bakteri. Untuk kasus
impetigo bulosa jika terdapat sedikit krusta diobati dengan diberi antibiotik
topikal. Apabila terdapat banyak krusta maka diberikan juga antibiotik
sistemik. Sama halnya dengan impetigo bulosa, pengobatan impetigo
nonbulosa juga diberikan antibiotik topikal berupa salap atau cairan
antiseptik apabila hanya terdapat beberapa vesikel atau bula yang pecah.
Sedangkan pemberian antibiotik sistemik diberikan apabila terdapat banyak
vesikel atau bula yang pecah (Djuanda, 2011).
Penanganan kasus dibidang kulit memerlukan antibiotika topikal karena
obat tersebut memegang peranan penting. Antibiotika topikal adalah obat
yang paling sering diresepkan oleh spesialis kulit untuk infeksi superfisial
dengan area yang terbatas, seperti impetigo. Penggunaan bahan topikal
dapat mengurangi kebutuhan akan obat oral,efek samping pada saluran
pencernaan, problem kepatuhan, potensi terjadinya interaksi obat, sebagai
bahan profilaksis setelah tindakan bedah minor atau tindakan kosmetik
(dermabrasi, laser resurfacing) untuk mengurangi resiko infeksi setelah
operasi dan mempercepat penyembuhan luka (Schwartz, 2010)
Asam fusidat diberikan sebagai antibiotik topikal. Mekanisme kerjanya
yaitu menghambat sintesis protein. Salep atau krim asam fusidat 2% aktif
melawan bakteri gram positif. Untuk lebih efektifnya pemberian asam
fusidat diberikan bersamaan dengan mupirocin topikal. Pemberian antibiotik
sistemik seperti eritromisin pada penderita impetigo berguna untuk

14
menghambat sintesis protein bakteri pada ribosomnya dengan jalan
berikatan secara reversibel dengan ribosom subunit 50S. Sintesis protein
tersebut terhambat karena reaksi-reaksi translokasi aminoasil dan hambatan
pembentukan awal sehingga pemanjangan rantai peptide tidak berjalan
(Hamzah & Mahmudah, 2014).
Pemberian paracetamol digunakan sebagai anti nyeri karena paracetamol
menghambat kerja enzim cyclooksigenase (COX) pada sistem saraf pusat.
Kemampuan menghambat kinerja enzim COX ini yang dapat menurunkan
demam sekaligus mengurangi rasa sakit pada penderita impetigo (Hamzah
& Mahmudah, 2014).
b. Herbal
Impetigo atau suletan dapat diobati dengan menggunakan obat-obatan
herbal, antara lain:
1) Bawang Putih
Dikutip dari Healthline, sebuah studi tahun 2011 melaporkan bahwa
sifat antimikroba dan antijamur pada bawang putih dapat melawan
infeksi Staphylococcus dan Streptococcus, dua bakteri penyebab
impetigoyang paling umum. Cara yang dapat dilakukan yaitu dengan
memotong beberapa siung bawang putih menjadi kecil-kecil, lalu
tempelkan pada luka impetigo dengan hati-hati karena akan terasa
sedikit perih. Cara ini tidak boleh dilakukan pada anak yang usianya
masih sangat kecil karena berisiko memicu iritasi kulit.
2) Jahe
Jahe adalah salah satu rempah-rempah yang memiliki segudang
manfaat, salah satunya sebagai obat impetigo alami. Jahe memiliki sifat
antimikroba yang ampuh melawan infeksi bakteri Staphylococcus
penyebab impetigo. Caranya, potong-potong atau parut jahe terlebih
dahulu sebelum ditempelkan pada luka impetigo. Hal ini harus
dilakukan secara hati-hati karena rasanya akan sedikit
perih.Penggunaan jahe juga tidak dianjurkan untuk anak kecil, karena
bisa menyebabkan iritasi kulit.
3) Kunyit

15
Sifat antiradang dan antimikroba pada kunyit diketahui dapat melawan
bakteri penyebab impetigo. Bahkan, bahan alami ini dinilai lebih ampuh
meredakan gejala impetigo ketimbang rempah-rempah lainnya. Cara
yang dapat dilakukan yaitu dengan memotong kunyit menjadi beberapa
bagian, lalu tempelkan pada luka impetigo. Anda juga dapat membuat
pasta bubuk kunyit untuk dioleskan pada luka.
4) Lidah Buaya
Kombinasi lidah buaya dengan daun mimba (intaran) efektif melawan
infeksi Staphylococcus aureus penyebab impetigo. Hal ini dibuktikan
oleh penelitian yang diterbitkan pada Journal of Pharmacy and
Nutrition Sciences tahun 2015 silam. Lidah buaya juga bisa mengatasi
kekeringan dan gatal pada luka impetigo.Untuk memanfaatkannya,
oleskan getah (gel) lidah buaya langsung pada kulit atau gunakan gel
lain yang mengandung lidah buaya di dalamnya. Sensasi dinginnya
dapat membantu melembapkan kulit yang kering dan meredakan gatal
akibat impetigo.
5) Madu
Manfaat madu ternyata tidak hanya meningkatkan sistem imun tubuh,
tetapi juga menjadi obat impetigo alami. Hal ini disebabkan oleh zat
antimikroba pada madu yang dapat membunuh bakteri Staphylococcus
dan Streptococcuspenyebab impetigo. Oleskan beberapa tetes madu
manuka atau madu mentahpada luka impetigo dan biarkan selama 20
menit. Bilas dengan air hangat dan keringkan dengan hati-hati.
6) Minyak kayu putih
Minyak oles yang biasanya ada di rumah ini, ternyata juga bisa
digunakan untuk mengobati impetigo. Menurut studi tahun 2014 dan
2016, ekstrak eucalyptus yang ditemukan dalam minyak kayu putih
memiliki sifat anti mikroba terhadap Staphylococcus dan mampu
melawan Streptococcus pyogenes.
Minyak kayu putih hanya boleh digunakan secara topikal, yaitu dipakai
di bagian luar tubuh. Minyak esensial sudah terbukti beracun, jadi bisa
berbahaya bila diminum. Cara menggunakannya, encerkan beberapa

16
tetes minyak kayu putih dalam air (2-3 tetes per ons). Lalu, oleskan
campuran tersebut pada luka impetigo. Namun, hindari menggunakan
minyak kayu putih pada anak yang masih sangat kecil, karena bisa
menyebabkan dermatitis atau iritasi kulit. 

E. TINDAKAN PECGAHAN DAN PENULARAN


Pada prinsispnya tindakan pencegahan untuk impetigo adalah dengan
menjaga hygene pribadi seperti mencuci tangan segera menggunakan air
mengalir setelah kontak (terkena luka ) dengan penderita impetigo, menjaga
kebersihan kuku, tidak menggunakan pakaian yang telah digunakan oleh
penderita impetigo, desinfeksi semua peralatan yang mungkin menjadi media
penularan seperti pakaian, handuk, sprei, dan mainan (Hamzah & Mahmudah,
2014).
Ada beberapa upaya yang bisa dilakukan untuk mencegah suleten pada bayi:
a. Jaga kebersihan tangan bayi dengan saksama. Pastikan pula mereka mandi
dengan benar secara rutin dan teratur.
b. Berikan perhatian khusus pada luka kulit, seperti goresan, gigitan serangga,
dan lain sebagainya. Siapa pun di keluarga yang menderita impetigo harus
memotong kuku jarinya hingga pendek dan menutup luka dengan kain
kasa. 
c. Untuk mencegah impetigo menyebar di antara anggota keluarga, pastikan
setiap orang menggunakan pakaian, seprai, pisau cukur, sabun, dan handuk
masing-masing. 
d. Pisahkan seprai, handuk, dan pakaian penderita impetigo. Cuci dengan air
panas. 

Impetigo merupakan penyakit yang menular. Cara terbaik untuk


mencegah penularannya adalah dengan menjaga kebersihan dan lingkungan.
Beberapa langkah yang dapat dilakukan adalah:

a. Rajin mencuci tangan, terutama setelah beraktivitas di luar.


b. Menutup luka agar bakteri tidak masuk ke dalam tubuh.
c. Memotong dan selalu menjaga kebersihan kuku.

17
d. Tidak menyentuh atau menggaruk luka untuk menurunkan risiko
penyebaran infeksi.
e. Mencuci pakaian atau membersihkan benda yang telah digunakan, untuk
menghilangkan bakteri.
f. Hindari berbagi penggunaan peralatan makan, handuk, atau pakaian dengan
penderita impetigo.
g. Mengganti sprei, handuk, atau pakaian yang digunakan penderita setiap
hari, sampai luka tidak lagi menularkan infeksi.

18
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Impetigo merupakan infeksi bakteri kulit yang palingsering ditemukan dan
disebabkan oleh Streptococcus B. hemolyticusdan Staphylococcus aureus.
Infeksi ini sering berpindah antar manusia melalui kontak, terutama pada anak-
anak. Gejala dari impetigo krustosa adalah awalnya berupa warna kemerahan
pada kulit (makula) atau papul yaitu penonjolan padat dengan diameter < 0,5
cm berukuran 2-1 mm. Lesi papul segera menjadi vesikel atau pustul yaitu
papula yang berwarna keruh atau mengandung nanah yang mudah pecah dan
menjadi papul dengan keropeng atau koreng berwarna kulit madu dan lengket.
Suleten (Impetigo) memiliki masa inkubasi berkisar 4–10 hari atau lebih
lama. Penyakit ini umumnya di derita oleh anak–anak yang biasanya muncul
pada daerah di sekitar hidung dan mulut sikecil. Infeksi ini akan menyebar
lebih cepat pada saat cuaca panas dibandingkan dalam kondisi normal.

Pengobatan Suleten (Impetigo) dapat dilakukan dengan cara medis dan


herbal. Penggunaan antibiotic disarankan untuk pengobatan penyakit ini,
namun pengobatan herbal juga bisadilakukan dengan menggunakan jahe,
kunyit, lidah buaya dan bawang putih.

Sebagai seorang tenaga kesehatan, upaya kita menjelaskan kepada orang


tua yang mempunyai anak balita terkena suleten atau impetigo adalah dengan
KIE yang tepat dengan pendekatan sosio budaya agar orang tua paham akan
kondisi yng dialami anaknya. Tindakan pencegahan untuk Suleten ( impetigo)
adalah dengan menjaga hygene pribadi seperti mencuci tangan segera
menggunakan air mengalir setelah kontak (terkenaluka ) dengan penderita
impetigo, menjaga kebersihan kuku, tidak menggunakan pakaian yang telah
digunakan oleh penderita impetigo, desinfeksi semua peralatan yang mungkin
menjadi media penularan seperti pakaian, handuk, sprei, dan mainan.

19
B. Saran
Petugas kesehatan diharapkan dapat memberikan pendidikan kesehatan
mengenai Impetigo atau yang biasa dikenal dengan sebutan suletan, sehingga
masyarakat mengetahui dan memahami pengobatan yang harus diberikan serta
dapat melakukan tindakan pencegahan pada kasus tersebut. Masyarakat
diharapkan dapat berkontribusi dalam menjaga kesehatan keluarga terutama
bayinya, dan dapat menerapkan pengaplikasian obat herbal pada impetigo dan
berkontribusi dalam tindakan pencegahan kasus tersebut,serta memberikan
edukasi kepada masyarakat bahwa tidak semua mitos yang beredar
dimasyarakat itu benar.

20
DAFTAR PUSTAKA
Aprina & Neneng Siti Lathifah. (2019) Humaniora cetakan kedua. Bandar
Lampung: AURA:2013

Craft N, Lee PK, Zipoli MT, Weinberg AN. (2008). Pyodermas: superficial
cutaneus infections and pyodermas. In: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI,
Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, editors. Fitzpatrick’s dermatology in
general medicine. 7th ed. New York: McGraw Hill; 2008.
Djuanda. (2011) Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta : Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
Gapila. (2013). Psoriasis’ in Fitzpatrick's Dermatology in General Medicine,
eds., Goldsmith, L. A., Katz, S. I., Gilchrest, B. I., Paller, A. S., Leffell, D.
J. & Wolff, K., McGraw-Hill, New York

Hamzah & Mahmudah. (2014). Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin. edisi ke6.
Jakarta: FK UI;2010.
Maharani A. (2015). Penyakit Kulit. Terapi untuk Penyakit Kulit, Macam Nutrisi
untuk Kesehatan Kulit, Langkah Tepat Dalam Menanggulangi Penyakit
Kulit.
Pereira. (2014). Impetigo review. An Bras Dermatol. 2014;89(2).
Ratz. (2010). Drug Reactions’ in Dermatology, eds.,Bolognia, J. L., Jorizzo, J.
L.& Schaffer, J. V., Saunders, Philadelphia.

Schwartz SI, Shires GT, Spencer, Daly JM, Fischer JE, Galloway AC. 2010.
Principles of Surgery.

Sutisna. (2011). The Correlation between Individual and Environmental Hygiene


and Pioderma Incidence. UNISSULA. Vol. 3, No. 1, Januari - Juni 2011

https://hellosehat.com/penyakit-kulit/kulit-lainnya/obat-impetigo-alami-ampuh/
https://m.klikdokter.com/amp/3646042/terbukti-efektif-ini-cara-mengobati-
suleten-pada-bayi

21
https://www.halodoc.com/artikel/berbagai-obat-impetigo-dari-bahan-alami-yang-
ada-di-rumah
https://www.datdut.com/mitos-perawatan-bayi/amp/

22

Anda mungkin juga menyukai