Anda di halaman 1dari 34

MAKALAH

KEPERAWATAN ANAK II

“ASUHAN KEPERAWATAN ANAK DENGAN ATRESIA ANI”

DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 8
KEPERAWATAN 5A

1. Qorri Hartanto 1914201031


2. Riska Syofia Delmi 1914201036
3. Silfira Rosella 1914201040

DOSEN PENGAMPU
Ns. Rischa Hamdanesti,M.Kep

PROGRAM STUDI KEPERAWATAN


STIKES ALIFAH PADANG
TA 2020-2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan atas ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena telah
melimpahkan rahmat serta karunia-Nya, baik berupa kesempatan maupun pengetahuan
sehingga makalah “Asuhan Keperawatan Anak Dengan Atresia Ani” ini dapat kami
selesaikan dalam bentuk maupun isinya dengan sebaik-baiknya.

Terima kasih kami ucapkan kepada ibu Ns. Rischa Hamdanesti,M.Kep karena atas
bimbingan serta saran dari ibuklah kami dapat menyusun makalah ini sehingga dapat
dibaca serta dipahami isinya. kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini jauh
dari sempurna ,baik dari segi penyusunan yang masih kurang teratur ,pembahasan yang
kurang sesuai dengan materi, ataupun penulisannya yang kurang tepat atau kesalahan saat
mengetik kata demi kata ,karena pengalaman kami yang masih kurang .

Demikianlah yang dapat kami sampaikan , kami berharap semoga makalah ini bisa
menambah pengetahuan para pembaca. Namun terlepas dari itu dimohonkan kepada ibuk
dan teman-teman yang membaca makalah ini agar memberikan kritik dan saran yang
membangun agar kedepannya, bisa diperbaiki menjadi lebih baik, kepada ibuk dosen yang
terhormat dimohon bimbingannya lebih lanjut , terutama bimbingan terhadap penyusunan
makalah dan dalam mata kuliah keperawatan anak II.

Padang, 20 September 2021

Kelompok 8

i
DAFTAR ISI

Kata Pengantar......................................................................................................2

Daftar Isi.................................................................................................................3

Bab I : Pendahuluan

1.1 Latar Belakang..................................................................................................4


1.2 Tujuan Penulisan..............................................................................................5
a. Tujuan Umum.............................................................................................
b. Tujuan Khusus............................................................................................

1.3 Manfaat Penulisan............................................................................................

Bab II : Tinjauan Pustaka : Konsep Hyperemesis Gravidarum.......................


A. Defenisi Atresia Ani....................................................................................
B. Etiologi Atresia Ani.....................................................................................
C. Anatomi dan Fisiologi.................................................................................
D. Patofisologi..................................................................................................
E. WOC............................................................................................................
F. Manifestasi Klinis........................................................................................
G. Komplikasi...................................................................................................
H. Penatalaksanaan...........................................................................................

ii
I. Pemeriksaan Diagnostik..............................................................................
Bab III : Asuhan Keperawatan Anak Dengan Atresia Ani................................
3.1 Pengkajian........................................................................................................

A. Indetitas.....................................................................................................
B. Riwayat Kesehatan (RKS, RKD,RKK).....................................................
C. Pemeriksaan Fisik (Head to Toe)..............................................................
D. Aktivitas Kebutuhan Sehari-Hari..............................................................
E. Pemeriksaan Penunjang.............................................................................
F. Terapi Pengobatan.....................................................................................
G. Analisa Data..............................................................................................
3.2 Diagnosa (SDKI)..............................................................................................
3.3 Intervensi (SIKI-SLKI).....................................................................................
3.4 Implementasi.....................................................................................................
3.5 Evaluasi.............................................................................................................

Bab IV : Penutup

4.1 Kesimpulan .....................................................................................................35

4.2 Saran................................................................................................................35

Daftar Pustaka ......................................................................................................36

iii
iv
v
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG
Atresia ani adalah kelainan congenital dimana lubang anus tertutup secara abnormal.
Atresia ani atau anus imperforate memiliki anus tampak rata, cekung ke dalam, atau kadang
berbentuk anus tetapi lubang anus yang ada tidak terbentuk secara sempurna sehingga lubang
tersebut tidak terhubung dengan saluran rectum. Rectum yang tidak terhubung dengan anus
maka feses tidak dapat dikeluarkan dari dalam tubuh secara normal. Tidak adanya lubang
anus ini karena terjadi gangguan pemisahan kloaka pada saat kehamilan.
Indonesia memiliki angka kejadian atresia ani sangat tinggi yaitu 90%. Masyarakat
pada daerah perkotaan sangat erat kaitannya dengan kepadatan penduduk dan lingkungan
yang kumuh. Lingkungan yang kumuh dapat menjadi factor pendukung terjadinya atresia
ani. Tingkat pendidikan dan pengetahuan yang rendah dan pola nutrisi yang kurang baik
memungkinkan bahwa keluarga dengan ibu hamil kurang memperoleh informasi mengenai
kesehatan, pertumbuhan dan perkembangan bayi dalam kandungan. Lingkungan yang
terpapar dengan zat zat racun seperti asap rokok, alcohol dan nikotin dapat mempengaruhi
perkembangan janin. Atresia ani merupakan suatu penyakit yang terjadi karena factor
genetic, lingkungan dan atau keduanya. Kelainan ini harus segera ditangani, jika tidak maka
akan terjadi komplikasi seperti obstruksi intestinal, konstipasi dan inkontinensia feses.
Atresia ani dapat mengakibatkan asidosis hiperkloremia, infeksi saluran kemih yang
bisa berkepanjangan, kerusakan uretra (akibat prosedur bedah), komplikasi jangka panjang
yaitu eversi mukosa anal, stenosis (akibat konstriksi jaringan perut dianastomosis), masalah
atau k elambatan yang berhubungan dengan toilet training, inkontinensia (akibat stenosis
awal atau impaksi), prolaps mukosa anorektal dan fistula (karena ketegangan diare
pembedahan dan infeksi). Masalah tersebut dapat diatasi dengan peran aktif petugas
kesehatan baik berupa promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif. Hal ini dilakukan dengan
pendidikan kesehatan, pencegahan, pengobatan sesuai program dan memotivasi klien agar
cepat pulih sehingga dapat meningkatkan derajat kesehatan secara optimal.

1.2 TUJUAN PENULISAN


a. TUJUAN UMUM

1
Tujuan umum dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah
keperawatan anak II sehingga dapat memahami konsep atresia ani dan asuhan
keperawatan anak pada atresia ani.
b. TUJUAN KHUSUS
1. Untuk mengetahui definisi atresia ani.
2. Untuk mengetahui etiologi atresia ani.
3. Untuk mengetahui anatomi dan fisiologi atresia ani.
4. Untuk mengetahui patofisiologi atresia ani.
5. Untuk mengetahui WOC atresia ani.
6. Untuk mengetahui manifestasi klinis atresia ani.
7. Untuk mengetahi komplikasi pada atresia ani.
8. Untuk mengetahui penatalaksanaan atresia ani.
9. Untuk mengetahui pemeriksaan diadgnostik pada atresia ani.
10. Untuk mengetahui asuhan keperawatan pada klien atresia ani.

1.3 MANFAAT PENULISAN


Manfaat dari penulisan makalah ini adalah dengan membaca makalah ini mahasiswa dan
pembaca makalah ini dapat memahami tentang konsep atresia ani dan juga asuhan
keperawatan anak dengan atresia ani sehingga dapat diimplemetasikan dalam tindakan
keperawatan saat mahasiswa melaksanakan kegiatan prekinik dan bertugas dirumah sakit
terutama diruangan anak.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
KONSEP ATRESIA ANI
A. Defenisi Atresia Ani
Atresia ani disebut juga anorektal anomali atau imperforata anus. Merupakan kelainan
kongenital dimana terjadi perkembangan abnormal pada anorektal di saluran gastrointestinal.
Atresia ani atau anus imperforata adalah malformasi congenital dimana rectum tidak
mempunyai lubang ke luar (Wong,2004). Pada Atresia ani bentuk anus tampak rata, cekung
ke dalam, kadan berbentuk seperti anus tetapi tidak ada lubang atau lubang abnormal
sehingga tidak terhubung dengan rectum. Atresia ani terjadi karena gangguan pemisahan
kloaka pada saat kehamilan.
Atresia ani merupakan kelainan bawaan (kongenital), tidak adanya lubang atau saluran
anus (Wong, D. L, 2003).Atresia ani adalah kelainan kongenital yang dikenal sebagai anus
imperforate meliputi anus, rectum atau keduanya (Betz, C. L and Sowden, L. A,
2002).Atresia ani adalah tidak lengkapnya perkembangan embrionik pada distal anus atau
tertutupnya anus secara abnormal (Suriadi & Yuliani, R, 2001).Dari beberapa uraian di atas
dapat disimpulkan bahwa atresia ani adalah suatu kelainan bawaan dimana tidak terdapatnya
lubang atau saluran anus.

B. Etiologi
Penyebab dari atresia ani masih belum diketahui pasti. Pada beberapa penelitian, atresia
ani dapat disebabkan oleh kelainan genetic maupun factor lingkungan yang terpapar oleh zat-
zat beracun, lingkungan yang kumuh dan pola nutrisi bayi selama dalam kandungan.
Atresia ani dapat disebabkan oleh beberapa factor, yaitu :
1. Putusnya saluran pencernaan atas dengan daerah dubur, sehingga bayi lahir
tanpa lubang dubur.
2. Adanya kegagalan pembentukan septum urorektal secara sempurna karena
gangguan pertumbuhan, fusi, atau pembentukan anus dari tonjolan embrionik.
3. Gangguan organogenesis dalam kandungan dimana terjadi kegagalan
pertumbuhan saat bayi dalam kandungan berusia 12 minggu atau 3 bulan.
4. Kelainan bawaan yang diturunkan dari orang tua. Jika kedua orang tua menjadi
carier maka 25%-30% menjadi peluang untuk terjadinya atresia ani, kemudian
adanya kelainan sindrom genetic, kromosom yang tidak normal dan kelainan
congenital lainnya juga dapat beresiko menderita atresia ani.
3
5. Terjadinya gangguan pemisahan kloaka menjadi rektum dan sinus urogenital,
biasanya karena gangguan perkembangan septum urogenital pada minggu ke-5
sampai ke-7 pada usia kehamilan.

C. Anatomi dan Fisiologi


Anatomi
Anus adalah komponen akhir darisaluran pencernaan, dan langsung berlanjut
daridubur. Anus melewatidasar panggul. Anus dikelilingi oleh otot. bagian atas dan bawah
anus dikelilingi olehsfingter anal internaldaneksternal, dua cincin berotot yang mengontrol
buang air besar. Sfingter anal terdiri atas otot polos dan otot lurik yang membentuk saluran
anal. Otot polos sfingter anal interna adalah intrinsik pada dinding usus, menempati 2/3
bagian distal saluran anal, sebagian besar terletak distal dari linea dentata, otot tersebut
merupakan penebalan muskulus sirkular yang diperkuat oleh muskulus longitudinal di bagian
luarnya. Sfingter anal externa merupakan lingkaran otot memanjang mengelilingi katup anal
(anal valves) sampai orifisium anal, tersangga di antara muskulus perineum superfisial dan
anococcygeal raphe. Di samping otot-otot sfingter terdapat otot-otot dasar panggul yang
terletak pada pintu keluar rongga pelvis berupa otot-otot levator anal yang terdiri dari otot
pubokoksigeus, ileokoksigeus, dan puborektal.
Anus dikelilingi panjangnya dengan lipatan yang disebut katup anal, yang bertemu
pada garis yang dikenal sebagaigaris pektinat. Ini merupakan titik transisi antara
hindgutdanektodermdalam embrio. Di bawah titik ini, mukosa anus internal menjadi kulit.
Garis pektinat juga merupakan pembagian antara anus internal dan eksternal.
Anus menerima darah dariarteri rektum inferiordan persarafan darisarafrektal inferior,
yang bercabang darisaraf pudendal.
Gambar anatomi anus

4
Fisiologi anus
Anus merupakan bagian akhir dari sistem pencernaan manusia yang merupakan tempat
di keluarkannya feses dari tubuh. Feses yang tidak di perlukan di buang melalui proses
defekasi. Bagian-bagian anus dan fungsinya:
a. Anal Canal
Anal Canal (Kanalis Anal) merupakan sebuah saluran dengan panjang sekitar 4
cm yang dikelilingi oleh sfingter anus. Bagian atasnya dilapisi oleh mukosa
glandular rektal. Fungsi Kanal ini merupakan sebagai penghubung antara
rektum dengan bagian luar tubuh.
b. Rektum
Rektum sebenarnya merupakan organ yang berbeda dengan anus. Rektum
merupakan ruangan dengan panjang sekitar 12 - 15 cm yang terletak setelah
kolon (usus besar). Fungsi rektum adalah untuk menampung feses sementara,
ketika rektum sudah penuh, maka dinding rektum akan memberikan impuls
(rangsangan) ke otak sehingga timbul keinginan untuk buang air besar
(defekasi)
c. Sfingter Anal Internal
Sfingter anal internal merupakan jaringan otot polos yang mengelilingi 2,5 cm
bagian kalis anal. Sfingter anal internal mempunyai ketebalan sekitar 5 mm,
karena disusun oleh serat otot polos, maka kerja dari sfingter ini berlangsung
secara tidak sadar dan tidak dapat dikontrol. Fungsi dari sfingter anal interlan
adalah untuk mengatur pengeluaran feses saat buang air besar agar feses tidak
kembali masuk ke usus.
d. Sfingter Anal Eksternal
Sfingter anal eksternal merupakan jaringan otot rangka (lurik) berbentuk elips
yang melekat pada dinding anus. Panjangnya sekitar 8 - 10 cm. Fungsi dari
sfingter anal eksternal adalah untuk membuka dan menutup kanalis anal. Karena
disusun oleh otot rangka (lurik) maka kerja dari sfingter ini adalah secara sadar.
Otot inilah yang membuat kita bisa menahan proses defekasi (Buang Air Besar)
untuk sementara.

5
e. Pectinate Line
Pectinate Line merupakan garis yang berfungsi sebagai garis pembagi antara
dua pertiga (atas) dengan bagian sepertiga (bawah) anus. Fungsi dari Pectinate
line termasuk penting karena bagian yang dipisahkan olehnya membuanya
struktur dan fungsi yang berbeda.
f. Kolom Anal
Kolom Anal atau yang juga sering disebut dengan Kolom Morgagni adalah
beberapa lipatan membran mukosa dan serat otot. Nama Morgagni’s diambil
dari penemunya yaitu Giovanni Battista Morgagni. Fungsi dari kolom anal
adalah sebagai pembatas dinding anus.

Klasifikasi
Menurut klasifikasi Wingspread (1984) dijelaskan bahwa, atresia ani dibagi 2 golongan
yang dikelompokkan menurut jenis kelamin.
a. Golongan I yaitu pada anak penderita berjenis kelamin laki-laki dibagi menjadi 4
kelainan yaitu
1. Kelainan pada fistelurin
2. Atresia rectum,
3. Perineum yang datar
4. Tidak adanya Fistel.
Namun jika ada fistelurin, tampak mekonium keluar dari orifisium eksternum
uretra, mungkin terdapat fistel ke uretra maupun ke vesika urinaria. Cara
menentukan letak fistelnya adalah dengan memasang kateter urin. Dan jika
kateter telah terpasang kemudian urin yang keluar jernih, itu pertanda bahwa
fistel terletak di uretra karena fistel tersebut tertutup kateter. Bila dengan kateter
urin mengandung mekonuim maka fistel ke vesika urinaria kemudian
pengeluaran feses tersebut tidak lancar, itu pertanda penderita memerlukan
kolostomi segera agar fases keluar dengan semestinya. Pada perempuan penderita
atresia rectum, tindakannya sama seperti laki-laki yaitu harus dibuat kolostomi
dan Jika fistel tidak ada dan udara > 1 cm dari kulit pada invertogram, maka perlu
segera dilakukan kolostomi juga.

6
b. Golongan II yaitu pada penderita berjenis kelamin laki-laki dibagi 4 kelainan yaitu
1. Kelainan pada fistel perineum
2. Membran anal
3. Stenosis anus
4. Fistel tidak ada
Fistel perineum yang ada pada laki-laki ini sama dengan pada wanita yaitu
lubangnya terdapat anterior dari letak anus yang normal. Sedangkan pada
membran anal, biasanya terlihat bayangan mekonium di bawah selaput. Saat
evakuasi feses sedang tidak ada sebaiknya dilakukan terapi definit secepat
mungkin. Pada stenosis anus, sama dengan perempuan yaitu tindakan
definitive harus dilakukan. Bila tidak ada fistel dan udara.

c. Golongan I pada perempuang dibagi 5 kelainan yaitu :


1. Kelainan kloaka
2. Fistel vagina
3. Fistel rektovestibular
4. Atresia rectum
5. Fistel tidak ada
6. Invertogram : udara >1 cm dari kulit
Pada fistel vagina, mekonium tampak keluar dari vagina. Evakuasi fecesnya
menjadi tidak lancar sehingga sebaiknya dilakukan kolostomi. Pada fistel vestibulum,
muara fistel terdapat di vulva. Umumnya evakuasi feses lancar selama penderita
hanya minum susu. Evakuasi mulai terhambat saat penderita mulai makan makanan
padat. Kolostomi dapat direncanakan bila penderita dalam keadaan optimal. Bila
terdapat kloaka maka tidak perlu ada pemisahan antara traktus urinarius, traktus
genetalis dan jalan cernanya. Evakuasi pengeluaran feses yang umumnya tidak
sempurna sehingga perlu segera dilakukan kolostomi. Pada atresia rectum, anus
tampak normal tetapi pada pemerikasaan dubur, jari tidak dapat masuk lebih dari 1-2
cm. Dan tidak ada evakuasi mekonium sehingga perlu juga segera dilakukan
kolostomi. Bila tidak ada fistel, dibuatin vertogram.

7
d. Golongan II pada perempuan dibagi 3 kelainan yaitu
1. Kelainan pada fistel perineum,
2. Stenosis anus
3. Fistel tidak ada
4. Invertogram : udara <1 cm dari kulit.
Lubang fistel perineum biasanya terdapat diantara vulva dan tempat letak anus
normal, tetapi tanda timah anus yang buntu menimbulkan obstipasi. Pada stenosis
anus, lubang anus terletak di tempat yang seharusnya, tetapi sangat sempit. Evakuasi
feses tidal lancar sehingga biasanya harus segera dilakukan terapi definitive. Bila
tidak ada fistel dan pada invertogram udara.

Selanjutnya klasifikasi atresia ani juga dibagi menjadi ada 4 yaitu :


1. Anal stenosis yaitu terjadinya penyempitan anus sehingga feses tidak dapat keluar
pada semestinya.
2. Membranosus atresia adalah terdapat membrane pada anus.
3. Anal agenesis yaitu penderita masih memiliki anus tetapi ada daging diantara rectum
dengan anus.
4. Rectal atresia adalah penderita yang tidak memiliki rektum.

Kemudian Kalsifikasi pasien penderita Atresia ani diklasifikasikan lebih lanjut


menjadi 3 sub kelompok anatomi yaitu :
1. Anomali rendah / infralevator : Pada anomaly rendah, rektum mempunyai jalur
desenden yang normal melalui otot puborektalis, terdapat sfingter internal dan
eksternal yang berkembang baik dengan fungsi normal dan tidak terdapat hubungan
dengan saluran genitourinarius.
2. Anomali intermediet : Pada anomaly intermediet, rektum berada pada atau di bawah
tingkat otot puborectalis, lesung anal dan sfingter eksternal berada pada posisi yang
normal.
3. Anomali tinggi / supralevator : Pada anomaly tinggi ujung rectum di atas otot
puborectalis dan sfingter internal tidak ada. Hal ini biasanya berhubungan dengan
fistula genitourinarius - retrouretral (pria) atau rectovagina (perempuan). Jarak antara
ujung buntu rectum sampai kulit perineum lebih dari 1 cm.

8
Gambaran malforasi anorektal pada Laki-Laki

Gambaran malforasi anorektal pada perempuan

D. Patofisiologi
Atresia ani terjadi dikarenakan kegagalan penurunan septum anorektal pada embrional.
Anus dan rektum berkembang dari embrionik bagian belakang. Kloaka yang merupakan
bakal genitourinaria dan struktur anorektal berkembang awalnya dari ujung ekor dari bagian
belakang. Penyempitan pada kanal anorektal menyebabkan terjadinya stenosis anal. Atresia
ani sendiri terjadi karena tidak ada kelengkapan migrasi dan perkembangan struktur kolon
antara 7 dan 10 minggu dalam perkembangan fetal. Kegagalan migrasi tersebut juga
diakibatkan karena kegagalan dalam agenesis sakral dan abnormalitas pada uretra dan vagina.
Di usus besar yang keluar hingga anus tidak terjadi pembukaan sehingga menyebabkan fekal
tidak dapat dikeluarkan sehingga intestinal mengalami obstruksi. Manifestasi klinis
diakibatkan adanya obstruksi dan adanya fistula. Obstruksi tersebut berakibat distensi
abdomen, sekuestrasi cairan, muntah dengan segala akibatnya.
Apabila urin mengalir melalui fistel menuju rektum, maka urin akan diabsorbsi
sehingga terjadi asidosis hiperkloremia, sebaliknya feses mengalir ke arah traktus urinarius
menyebabkan infeksi berulang. Pada keadaan ini biasanya akan terbentuk fistula antara
rektum dengan organ sekitarnya. Pada wanita 90% dengan fistula ke vagina (rektovagina)
atau perineum (rektovestibuler). Pada laki-laki biasanya letak tinggi, umumnya fistula
menuju ke vesika urinaria atau ke prostate. (rektovesika). Pada letak rendah fistula menuju ke
uretra (rektourethralis).

9
E. WOC

F. Manifestasi Klinis
a. Tidak ditemukan anus, kemungkinan juga ditemukan adanya fistula
b. Mekonium tidak keluar dalam 24 jam pertama setelah kelahiran bayi.
c. Bayi muntah-muntah pada umur 24-48 jam
d. Mekonium keluar melalui sebuah fistula atau anus yang letaknya salah.

10
e. Pengukuran suhu rektal pada bayi tidak dapat dilakukan.
f. Adanya tanda-tanda obstruksi usus (bila tidak ada fistula) dan distensi bertahap
g. Pada pemeriksaan rectal touche terdapat adanya membran anal.
h. Lebih dari 50% pasien dengan atresia ani mempunyai kelainan congenital lain.
i. Perut kembung 4-8 jam setelah lahir. (Betz. Ed 7. 2002)

G. Komplikasi
a. Asidosis hiperkloremia.
b. Kerusakan uretra (akibat prosedur bedah).
c. Masalah atau kelambatan yang berhubungan dengan toilet training.
d. Komplikasi jangka panjang yaitu :
a) eversi mukosa anal,
b) stenosis (akibat konstriksi jaringan perut dianastomosis).
c) Infeksi saluran kemih yang bisa berkepanjangan
d) Prolaps mukosa anorektal.
e) Inkontinensia (akibat stenosis awal atau impaksi)
f) Fistula (karena ketegangan abdomen, diare, pembedahan dan infeksi).
(Ngastiyah, 2005).
Factor factor yang dapat mempengaruhi terjadinya komplikasi pada atresia ani
adalah kegagalan menentukan letak kolostomi, persiapan operasi yang tidak
adekuat, keterbatasan pengetahuan anatomi, dan keterampilan operator yang
kurang serta perawatan post operasi yang buruk.

Prognosis :
Kelainan anorektal letak rendah biasanya dapat diperbaiki dengan pembedahan
melalui perineum dan prognosis baik untuk kontinensia fekal. Sedangkan beda dengan
kelainan anorektal letak tinggi diperbaiki dengan pembedahan sakroperineal atau
abdominoperineal. Adapun pada kelainan ini, sfingterani eksternus tidak memadai dan
tidak ada sfingter ani internus, maka kontinensia fekal tergantung fungsi otot
puborektalis (DeLorimer 1981 ; Iwai et al 1988). Ong dan Beasley (1990) mendapatkan
hasil penelitian klinis, dalam jangka panjang dari kelainan anorektal letak rendah yang
dilakukan operasi perineal lebih dari 90% penderita mencapai kontrol anorektal yang
secara sosial dapat diterima. Insidensi “soiling” pada penderita umur lebih 10 tahun lebih
rendah dibanding penderita yang lebih muda. Pada kelainan anorektal letak tinggi
11
hasilnya hanya 1/3 yang baik, 1/3 lagi dapat mengontrol kontinensia fekal. Pada wanita
hasilnya lebih baik daripada laki-laki karena pada wanita lesi seringkali intermediet.
Kebanyakan lesi supralevator dengan tindakan PSARP dapat dikerjakan melalui
perineum tanpa membuka abdomen (Smith, 1990). masalah-masalah kontinensia
biasanya terjadi pada beberapa penderita dengan kelainan anorektal letak tinggi terutama
ketika dilakukan pembedahan dibanding letak rendah.

H. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan atresia ani ini berbeda, tergantung pada letak ketinggian akhiran rectum
dan ada tidaknya fistula. Leape (1987) menganjurkan pada:
1. Atresia letak tinggi dan intermediet dilakukan sigmoid kolostomi atau TCD dahulu,
setelah 6 -12 bulan baru dikerjakan tindakan definitif (PSARP)
2. Atresia letak rendah dilakukan perineal anoplasti, dimana sebelumnya dilakukan tes
provokasi dengan stimulator otot untuk identifikasi batas otot sfingter ani ekternus
3. Bila terdapat fistula dilakukan cut back incicion yaitu tindakan pembedahan untuk
membuat lubang anus pada anus malformasi fistel rendah misalnya pada anocutan
fistel, anus vestibular yang tidak adekuat dan pada anus membranaseus
4. Pada stenosis ani cukup dilakukan dilatasi rutin

Pelaksanaan dalam tindakan atresia ani yaitu sebagai berikut:


a. Kolostomi
Kolostomi adalah suatu tindakan membuat lubang pada dinding abdomen
untuk mengeluarkan feses. Pembuatan lubang biasanya sementara atau permanen
dari usus besar atau colon iliaka. Saat ini tatalaksana atresia ani yang paling ideal
adalah divided descending colostomy karena kolostomi ini memungkinkan terjadinya
dekompresi yang adekuat, dan segmen kolon distal non-fungsional yang pendek
namun tidak mengganggu proses pull-through pada tahap terapi definitive.
Kolostomi pada sigmoid juga dianggap lebih menguntungkan dibanding dengan
kolostomi transversal, karena proses pembersihan kolon distal pada proses kolostomi
menjadi lebih mudah. Loop colostomy memungkinkan masuknya feses dari stoma
proksimal ke distal, dan dapat menyebabkan terjadinya infeksi, dilatasi rektal, dan
impaksi feses. Kolostomi pada rektosigmoid bagian bawah sering terjadi kesalahan
karena proses ini membuat segmen distal menjadi terlalu pendek dan sulit untuk
dimobilisasi pada proses pull through.
12
b. PSARP (Posterio Sagital Ano Rectal Plasty)
PSARP adalah suatu tindakan membelah muskulus sfingter eksternus dan
muskulus levator ani untuk memudahkan mobilisasi kantong rectum dan
pemotongan fistel. PSARP umumnya ditunda 9 sampai 12 bulan untuk memberi
waktu pelvis untuk membesar dan pada otot-otot untuk berkembang. Tindakan ini
juga memungkinkan bayi untuk menambah berat badannya dan bertambah baik
status nutrisinya.

c. Tutup kolostomi
Tindakan yang terakhir dari atresia ani. Biasanya beberapa hari setelah
operasi, anak akan mulai BAB melalui anus. Awalnya BAB akan sering tetapi
seminggu setelah operasi BAB berkurang frekuensinya dan agak padat.

d. Perawatan Postoperasi
Setelah menjalani operasi, dua minggu kemudian pasien menjalani anal
dilatasi dua kali setiap hari sampai ukuran busi sesuai dengan umur pasien dan saat
businasi terasa lancar dan tidak terasa sakit. Kemudian dilakukan tappering businasi
dengan menurunkan frekuensi sampai beberapa bulan, biasanya sekitar 6 bulan.
Orang tua pasien harus diikutsertakan dalam program ini karena orang tua yang
menjalankan dan orang yang paling dekat dengan anak.

I. Pemeriksaan Diagnostik
a. Pemeriksaan rectal digital dan visual adalah pemeriksaan diagnostik yang umum
dilakukan pada gangguan ini. Pemeriksaan fisik rectum kepatenan rectal dapat
dilakukan colok dubur dengan menggunakan selang atau jari.
b. Jika ada fistula, urin dapat diperiksa untuk memeriksa adanya sel-sel epitel
mekonium.
c. Pemeriksaan sinyal X lateral infeksi (teknik wangensteen-rice) dapat menunjukkan
adanya kumpulan udara dalam ujung rectum yang buntu pada mekonium yang
mencegah udara sampai keujung kantong rectal.
d. Ultrasound dapat digunakan untuk menentukan letak rectal kantong. Ultrasound
terhadap abdomen Digunakan untuk melihat fungsi organ internal terutama dalam
system pencernaan dan mencari adanya faktor reversible seperti obstruksi oleh
karena massa tumor.
13
e. Aspirasi jarum untuk mendeteksi kantong rectal dengan menusukan jarum tersebut
sampai melakukan aspirasi, jika mekonium tidak keluar pada saat jarum sudah
masuk 1,5 cm Derek tersebut dianggap defek tingkat tinggi.

Pemeriksaan radiologis dapat ditemukan


a. Udara dalam usus berhenti tiba-tiba yang menandakan obstruksi di daerah tersebut
b. Tidak ada bayangan udara dalam rongga pelvis pada bagian baru lahir dan gambaran
ini harus dipikirkan kemungkinan atresia reftil/anus impoefartus, pada bayi dengan
anus impoefartus. Udara berhenti tiba-tiba di daerah sigmoid, kolon/rectum.
c. Dibuat foto anterpisterior (AP) dan lateral. Bayi diangkat dengan kepala dibawah
dan kaki diatas pada anus benda bang radio-opak, sehingga pada foto daerah antara
benda radio-opak dengan dengan bayangan udara tertinggi dapat diukur.
d. Sinar X terhadap abdomen : dilakukan untuk menentukan kejelasan keseluruhan
bowel dan untuk mengetahui jarak pemanjangan kantung rectum dari sfingternya.
e. Ultrasound terhadap abdomen : digunakan untuk melihat fungsi organ internal
terutama dalam system pencernaan dan mencari adanya faktor reversible seperti
obstruksi oleh karena massa tumor.
f. CT Scan : digunakan untuk menentukan lesi
g. Pyelografi intra vena : digunakan untuk menilai pelviokalises dan ureter.
h. Pemeriksaan fisik rectum : kepatenan rectal dapat dilakukan colok dubur dengan
menggunakan selang atau jari.
i. Rontgenogram abdomen dan pelvis : juga bisa digunakan untuk mengkonfirmasi
adanya fistula yang berhubungan dengan traktus urinarius.

14
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
ASUHAN KEPERAWATAN ANAK PADA ATRESIA ANI
3.1 PENGKAJIAN
A. IDENTITAS
a. Nama : -
b. Demografi: lingkungan yang kumuh dan pemukiman yang padat dapat
mempengaruhi terjadinya atresia ani
c. Umur: 1 hari
d. Jenis Kelamin: laki-laki
e. Atresia ani lebih banyak ditemukan pada laki laki daripada perempuan
f. No. Reg: -
g. Tanggal Masuk RS: -
h. Diagnosa Medis: Atresia Ani

B. RIWAYAT KESEHATAN
a. Keluhan Utama : Pasien tidak memiliki anus sejak lahir
b. Riwayat Kesehatan Sekarang : Pasien mengalami muntah-muntah setelah 24-
48 jam pertama kelahiran, perut kembung dan membuncit, tidak bisa buang air
besar, meconium keluar dari vagina atau meconium terdapat dalam urin
c. Riwayat Kesehatan Dahulu : Kedua orang tua merupakan carier dari atresia
ani, adanya kelainan sindrom genetic, kromosom yang tidak normal dan
kelainan congenital lainnya. Riwayat penggunaan obat-obatan tanpa resep,
konsumsi jamu-jamuan, riwayat jatuh, trauma pada perut disangkal.
d. Riwayat Kesehatan Keluarga : Adanya riwayat keluarga yang juga memiliki
kelainan tidak memiliki anus sejak lahir.
e. Riwayat Kesehatan Lingkungan : umumnya kebersihan lingkungan tidak
mempengaruhi secara langsung kasus atresia ani ini. Hanya saja, lingkungan
yang kumuh dan padat tidak menutup kemungkinan menyebabkan awalan
terjadinya penyakit atresia ani pada janin yang masih didalam kandungan.

15
C. PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan Fisik Head to toe
1. Tanda-tanda vital
• Nadi : 110 X/menit.
• Respirasi : 32 X/menit.
• Suhu axila :37° Celsius.
2. Kepala
Kepala simetris, tidak ada luka/lesi, kulit kepala bersih, tidak ada benjolan/tumor,
tidak ada caput succedanium, tidak ada chepal hematom.
3. Mata
Simetris, tidak konjungtifistis, tidak ada perdarahan subkonjungtiva, tidak ikterus,
tidak nistagamus/ tidak episnatus, conjungtiva tampak agak pucat.
4. Hidung
Simetris, bersih, tidak ada luka, tidak ada secret, tidak ada pernafasan cuping hidung,
tidak ada pus dan lendir.
5. Mulut
Bibir simetris, tidak macrognatia, micrognatia, tidak macroglosus, tidak cheilochisis.
6. Telinga
Memiliki 2 telinga yang simetris dan matur tulang kartilago berbentuk sempurna
7. Leher
Tidak ada webbed neck.
8. Thorak
Bentuk dada simetris, silindris, tidak pigeon chest, tidak funnel shest, pernafasan
normal
9. Jantung
Tidak ada mur-mur, frekuensi jantung teratur
10. Abdomen
Inspeksi : datar, lemas, tampak stoma kesan vital, produksi feses positif.
Auskultasi : bising usus positif, normal
Palpasi : Tidak ada nyeri tekan, tidak teraba massa.
Perkusi : timpani
11. Genetalia
Terdapat lubang uretra, tidak ada epispandia pada penis tidak ada hipospandia pada
penis, tidak ada hernia sorotalis.
16
12. Anus
Tidak terdapat anus, anus nampak merah, usus melebar, kadang-kadang tampak ileus
obstruksi. Thermometer yang dimasukan kedalam anus tertahan oleh jaringan. Pada
auskultasi terdengar peristaltic.
13. Ektrimitas atas dan bawah
Simetris, tidak fraktur, jumlah jari lengkap, telapak tangan maupun kaki dan kukunya
tampak agak pucat.
14. Punggung
Tidak ada penonjolan spina gifid
15. Pemeriksaan Reflek
a. Suching +
b. Rooting +
c. Moro +
d. Grip +
e. Plantar +
Menurut Pena yang dikutipkan Faradilla untuk mendiagnosa menggunakan cara
sebagai berikut:
1. Bayi laki-laki dilakukan pemeriksaan perineum dan urin bila:
a) Jika Fistel perianal (+), bucket handle, anal stenosis atau anal membran
berarti atresia ini termasuk atresia letak rendah maka dilakukan
minimal Postero Sagital Anorektoplasti (PSARP) tanpa kolostomi.
b) Bila mekoneum (+) maka atresia letak tinggi dan dilakukan kolostomi
terlebih dahulu, setelah 8 minggu kemudian dilakukan tindakan
definitif. Apabila pemeriksaan diatas meragukan dilakukan
invertrogram. Bila akhiran rektum < 1 cm dari kulit maka disebut letak
rendah. Akhiran rektum > 1 cm disebut letak tinggi. Pada laki-laki
fistel dapat berupa rektovesikalis, rektouretralis dan rektoperinealis.
2. Pada bayi perempuan 90 % atresia ani disertai dengan fistel. Bila ditemukan
fistel perineal (+) maka dilakukan minimal PSARP tanpa kolostomi. Bila
fistel rektovaginal atau rektovestibuler dilakukan kolostomi terlebih dahulu.
Bila fistel (-) maka dilakukan invertrogram. Apabila akhiran < 1 cm dari
kulit dilakukan postero sagital anorektoplasti, apabila akhiran > 1 cm dari
kulit dilakukan kolostomi terlebih dahulu.

17
Leape (1987) yang dikutip oleh Faradilla menyatakan bila mekonium
didapatkan pada perineum, vestibulum atau fistel perianal maka kelainan
adalah letak rendah. Bila Pada pemeriksaan fistel (-) maka kelainan adalah
letak tinggi atau rendah. Pemeriksaan foto abdomen setelah 18-24 jam
setelah lahir agar usus terisi oleh udara, dengan cara Wangenstein Reis
yaitu kedua kaki dipegang posisi badan vertikal dengan kepala dibawah
atau knee chest position yaitu posisi sujud yang bertujuan agar udara
berkumpul didaerah paling distal. Bila terdapat fistula lakukan fistulografi
(Faradilla, 2009).
Pada pemeriksan klinis, pasien dengan atresia ani tidak selalu
menunjukkan gejala obstruksi saluran cerna. Pada pemeriksaan klinis harus
segera ditegakkan diagnosis setelah lahir dengan inspeksi daerah perianal
dan dengan memasukkan termometer melalui anus. (Levitt M, 2007)
Mekonium biasanya tidak terlihat pada perineum pada bayi dengan
fistula rektoperineal hingga 16-24 jam. Distensi abdomen tidak ditemukan
selama beberapa jam pertama setelah lahir dan mekonium harus dipaksa
keluar melalui fistula rektoperineal atau fistula urinarius. Hal ini
dikarenakan bagian distal rektum pada bayi tersebut dikelilingi struktur
otot-otot volunter yang menjaga rektum tetap kolaps dan kosong. Tekanan
intrabdominal harus cukup tinggi untuk menandingi tonus otot yang
mengelilingi rektum. Oleh karena itu, harus ditunggu selama 16-24 jam
untuk menentukan jenis atresia ani pada bayi untuk menentukan apakah
akan dilakukan colostomy atau anoplasty (Levitt M, 2007).
Inspeksi perianal sangat penting. Flat "bottom" atau flat perineum,
ditandai dengan tidak adanya garis anus dan anal dimple mengindikasikan
bahwa pasien memiliki otot-otot perineum yang sangat sedikit. Tanda ini
berhubungan dengan atresia ani letak tinggi dan harus dilakukan colostomy
(Levitt M, 2007).
Tanda pada perineum yang ditemukan pada pasien dengan atresia ani
letak rendah meliputi adanya mekonium pada perineum, "bucket-handle"
(skin tag yang terdapat pada anal dimple), dan adanya membran pada anus
(tempat keluarnya mekonium) (Levitt M, 2007).

18
16. AKTIVITAS SEHARI-HARI
a. Pola persepsi terhadap kesehatan
Pasien belum bisa mengungkapkan secara verbal/bahasa tentang apa yang
dirasakan dan apa yang diinginkan karena pasien merupakan bayi.
b. Pola aktifitas kesehatan/latihan
Pasien belum bisa melakukan aktifitas apapun secara mandiri karena masih
bayi.
c. Pola istirahat/tidur
Pasien merasakan nyeri sehingga mengganggu waktu istirahatnya. Diperoleh
dari keterangan ibu bayi atau keluarga yang lainnya, ketika saat jam istirahat,
pasien gelisah dan rewel.
d. Pola nutrisi metabolik
Pasien yang merupakan bayi hanya minum ASI atau susu kaleng, namun bisa
saja dimuntahkan kembali ketika perut terasa penuh, dan akibat terhambatnya
melakukan konstipasi.
e. Pola eliminasi
Pasien tidak dapat buang air besar, dalam urin ada mekonium yang seharusnya
dikeluarkan melalui anus.
f. Pola kognitif perseptual
Pasien belum mampu berkomunikasi, berespon, dan berorientasi dengan baik
pada orang lain dikarenakan masih bayi. Keluarga pasien pun belum terlalu
paham mengenai penyakit yang diderita pasien.
g. Pola konsep diri
1) Identitas diri : belum bisa terkaji
2) Ideal diri : belum bisa terkaji
3) Gambaran diri : belum bisa terkaji
4) Peran diri : belum bisa terkaji
5) Harga diri : belum bisa terkaji
h. Pola seksual Reproduksi
Pasien masih bayi dan belum menikah
i. Pola nilai dan kepercayaan
Belum bisa dikaji karena pasien belum mengerti tentang kepercayaan.

19
j. Pola peran hubungan
Belum bisa dikaji karena pasien belum mampu berinteraksi dengan orang lain
secara mandiri.
k. Pola koping
Belum bisa dikaji karena pasien masih bayi dan belum mampu berespon
terhadap adanya suatu masalah.

17. PEMERIKSAAN PENUNJANG


Pemeriksaan penunjang yang diketahui sebagai berikut:
1. Pemeriksaan rectal digital dan visual adalah pemeriksaan diagnostik yang
umum.
2. Pemeriksaan urin, jika ada fistula, urin dapat diperiksa untuk memeriksa
adanya sel-sel epitel mekonium.
3. Pemeriksaan sinyal X lateral infeksi (teknik wangensteen-rice) dapat
menunjukkan adanya gas dalam ujung rectum yang buntu pada mekonium
yang mencegah gas sampai keujung kantong rectal.
4. Ultrasound terhadap abdomen, dapat digunakan untuk menentukan letak
rectal kantong. Digunakan juga untuk melihat fungsi organ internal
terutama dalam sistem pencernaan dan mencari adanya faktor reversible
seperti obstruksi oleh karena massa tumor.
5. Aspirasi jarum untuk mendeteksi kantong rectal dengan menusukan jarum
tersebut sampai melakukan aspirasi, jika mekonium tidak keluar pada saat
jarum sudah masuk 1,5 cm Derek tersebut dianggap defek tingkat tinggi.
6. Pewarnaan radiopak dimasukkan kedalam traktus urinarius, misalnya suatu
sistrouretrogram mikturasi akan memperlihatkan hubungan rektrourinarius
dan kelainan urinarius.
7. CT Scan digunakan untuk menentukan lesi.

18. TERAPI PENGOBATAN


a. Obs TRNS
b. DC dan NGT
c. IVFD D5 seperempat DS 480 cc/hari
d. Injeksi Ciprofloxacin 2x75
e. Injeksi Paracetamol 3x30 mg
20
19. ANALISA DATA
MASALAH
NO. ANALISA DATA ETIOLOGI KEPERAWATAN

1. DS : Defekasi kurang dari 2 kali Feses masuk ke Gangguan pola


seminggu, pengeluaran feses lama uretra. eliminasi
dan sulit. konstipasi
DO: feses keras, Peristaltik usus
menurun, distensi abdomen,
kelemahan umum, teraba masa
pada rektal.
2. DS : desakan berkemih, urin Trauma jaringan. Gangguan
menetes, sering buang air kecil, eliminasi urin
nokturia, mengompol, diuresis,
DO: distensi kandung kemih,
berkemih tidak tuntas, volume
residu urine meningkat.
3. DS : mengeluh nyeri, menangis Abnormalitas Nyeri akut
pada bayi. organ.
DO: tampak meringis, bersikap
protektif, gelisah, frekuensi nadi
meningkat, sulit tidur, tekanan
darah meningkat, pola nafas
berubah, nafsu makan berubah,
proses berfikir terganggu, menarik
diri, diaforesis.
4. DS : - Ketidakmampuan Gangguan
DO: berat badan menurun, mencerna Ketidakseimbanga
minimal 10% dibawah rentang makanan. n nutrisi kurang
ideal, bising usus hiperaktif, cepat dari kebutuhan
kenyang setelah makan, tubuh
kram/nyeri abdomen, nafsu makan
menurun, otot menelan lemah,
membran mukosa pucat, sariawan,
serum albumin turun, rambut
rontok berlebihan, diare.
5. DS : - Kolostomi Resiko kerusakan
DO: kerusakan jaringan dan/ata integritas kulit
lapisan kulit, nyeri, pendarahan
kemerahan, hermatoma.
6. DS : mengeluh tidak nyaman, Gejala terkait Gangguan rasa
sulit tidur, tidak mampu rileks, penyakit, vistel nyaman
mengeluh kedinginana/kepanasan, retrovaginal,
merasa gatal, mengeluh mual, dysuria, trauma
mengeluh lelah. jaringan post
DO: gelisah, menunjukkan gejala operasi
distress, tampak merintis atau
menangis, pola eliminasi berubah,
postur tubuh berubah, iritabilitas.

21
7. DS : - Perawatan tidak Risiko tinggi
DO: - adekuat, trauma infeksi
jaringan post
operasi.

8. DS : merasa bingung, merasa Pembedahan Ansietas


khawatir tanpa sebab, sulit dan mempunyai
berkonsentrasi. Mengeluh pusing, anak yang tidak
anoreksia, palpitasi, merasa tidak sempurna.
berdaya.
DO: tampak gelisah, tampak
tegang, sulit tidur, frekuensi nafas
meningkat, frekuensi nadi
meningkat, tekanan darah
meningkat, diaforesis, tremor,
muka tampak pucat, suara
bergetar, kontak mata buruk,
sering berkemih, berorientasi pada
masa lalu.

3.2 DIAGNOSA KEPERAWATAN


a. Gangguan pola eliminasi konstipasi berhubungan dengan abnormalitas organ.
b. Gangguan eliminasi urin berhubungan dengan feses masuk ke uretra.
c. Nyeri akut berhubungan dengan trauma jaringan.
d. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
ketidakmampuan mencerna makanan.
e. Resiko kerusakan integritas kulit berhubungan dengan kolostomi
f. Gangguan rasa nyaman berhubungan dengan gejala terkait penyakit, vistel
retrovaginal, dysuria, trauma jaringan post operasi.
g. Risiko tinggi infeksi berhubungan dengan perawatan tidak adekuat, trauma jaringan
post operasi.
h. Ansietas berhubungan dengan pembedahan dan mempunyai anak yang tidak
sempurna.

22
3.3 Intervensi dan Implemetasi
No. Diagnosa Tujuan dan Intervensi Implementasi
Kriteri Hasil
1. Gangguan Setelah dilakukan 1. Monitor tanda dan 1. Memonitor tanda
pola 3x24 jam pola gejala konstipasi dan gejala
eliminasi eliminasi pasien 2. Monitor feses: konstipasi
konstipasi cuku baik. frekuensi, 2. Memonitor feses:
b.d Kriteria Hasil: konsistensi dan frekuensi,
abnormalit Eliminasi volume konsistensi dan
as organ konstipasi bayi 3. Monitor bising usus volume
bisa, walau hanya 4. Monitor tanda dan 3. Memonitor bising
melalui anus gejala peritonitis(di usus
buatan usus) 4. Memonitor tanda
5. Pantau tanda dan dan gejala
gejala konstipasi peritonitis(di usus)
6. Jelaskan 5. Memantau tanda
rasionalisasi dari dan gejala
tindakan yang konstipasi
dilakukan kepada 6. Menjelaskan
keluarga pasien rasionalisasi dari
(bayi) tindakan yang
7. Dukung intake dilakukan kepada
cairan keluarga pasien
(bayi)
7. Mendukung intake
cairan
2. Nyeri akut Setelah dilakukan 1. Lakukan 1. Melakukan
b.d trauma perawatan 1x24 pengkajian nyeri pengkajian nyeri
jaringan jam nyeri pasien secara secara komprehensif,
berkurang Kriteria komprehensif, termasuk lokasi,
Hasil: Nyeri pada termasuk lokasi, karakteristik, durasi,
pasien(bayi) karakteristik, frekuensi,
berkurang pada durasi, frekuensi, kualitasnya
skala nyeri1 kualitasnya. 2. Mengobservas i
setelah dilakukan 2. Observasi reaksi reaksi nonverbal dari
penanganan nyeri nonverbal dari ketidaknyama nan
yang tepat serta ketidaknyamanan (misalnya: bayi
didampingi (misalnya: bayi menangis)
dengan menangis) 3. Mengontrol
lingkungan yang 3. Kontrol lingkungan yang
bersih lingkungan yang dapat mempengaruh
dapat i nyeri seperti suhu
mempengaruhi ruangan,
nyeri seperti suhu pencahayaan, dll
ruangan, 4. Memilih dan
pencahayaan,dll
4. Pilih dan lakukan
penanganan nyeri
3. Gangguan Setelah dilakukan 1. Dorong keluarga 1. Mendorong keluarga

23
rasa nyaman perawatan 1x24 untuk menemani untuk menemani
b.d gejala jam nyeri pasien (bayi) pasien (bayi)
terkait berkurang Kriteria
2. Jaga kebersihan 2. Menjaga kebersihan
penyakit, hasil: • Pasien daerah daerah penyakit/trau
vistel (bayi) tidak lagi penyakit/trauma , ma, pantau respon
retrovagin al, rewel karena pantau respon pasien pasien
dysuria, area/lokasi 3. Beri pendidikan 3. Beri pendidikan
trauma penyakit dan kesehatan pada kesehatan pada
jaringan post trauma bersih dan keluarga pasien keluarga pasien (bayi)
operasi selalu dipantau (bayi)
4. Ketidaksei Selama dilakukan1. Kolaborasi dengan 1. Melakukan kolaborasi
mbangan perawatan 2x24 ahli gizi untuk dengan ahli gizi untuk
nutrisi jam kebutuhan menentukan jumlah menentukan jumlah
kurang dari nutrisi pasien nutrisi yang nutrisi yang
kebutuhan tercukupi Kriteria dibutuhkan pasien dibutuhkan pasien
tubuh b.d Hasil: Nutrisi (bayi) (bayi)
ketidakma pasien sedikit 2. Monitor jumlah 2. Memonitor jumlah
mpuan demi sedikit nutrisi nutrisi
mencerna terpenuhi 3. Kaji kemampuan 3. Mengkaji kemampuan
makanan pasien untuk pasien untuk
mendapatkan nutrisi mendapatkan nutrisi
yang dibutuhkan yang dibutuhkan
Berikan informasi 4. Memberikan
tentang kebutuhan informasi tentang
nutrisi kepada kebutuhan nutrisi
keluarga pasien kepada keluarga
pasien
5 Resiko Selama dilakukan 1. Jaga kebersihan dan 1. Menjaga kebersihan
kerusakan perawatan selama pantau didaerah yang dan pantau didaerah
integritas 3x24 jam tidak di kolostomi pada yang di kolostomi pada
kulit b.d ada kerusakan pasien (bayi) pasien (bayi)
kolostomi jaringan pada 2. Oleskan lotion atau 2. Mengoleskan lotion
kulit. Criteria minyak/baby oil atau minyak/baby oil
hasil: pada daerah yang pada daerah yang
Tidak ada tanda- beresiko beresiko
tanda infeksi pada 3. Monitor status 3. Memonitor status
kulit nutrisi pasien nutrisi pasien
Ketebal an dan 4. Monitor tanda dan 4. Memonitor tanda dan
tekstur jaringan gejala infeksi pada gejala infeksi pada area
normal area insisi insisi
6. Resiko tinggi Setelah dilakukan 1. Jaga kebersihan 1. Menjaga kebersihan
infeksi b.d perawatan 3x24 lingkungan lingkungan
perawatan jam resiko tinggi 2. Pertahankan teknik 2. Mempertahank an
tidak infeksi pasien isolasi teknik isolasi
adekuat, berkurang Kriteria 3. Berikan terapi 3. Memberikan terapi
trauma Hasil: Resiko antibiotic bila perlu antibiotic bila perlu
jaringan post infeksi berkurang infection protection infection protection
operasi karena lingkungan 4. Monitor tanda dan 4. Memonitor tanda dan
yang bersih serta gejala infeksi gejala infeksi sistemik
penangan cepat sistemik dan local dan local

24
yang dilakukan. 5. Berikan perawatan 5. Memberikan perawatan
pada lokasi infeksi pada lokasi infeksi
6. Inspeksi kondisi luka 6. Melakukan inspeksi
7. Inspeksi kulit dan kondisi luka
membran mukosa 7. Melakukan inspeksi
terhadap kemerahan, kulit dan membran
panas, drainase mukosa terhadap
8. Dorong masukkan kemerahan, panas,
nutrisi yang cukup drainase
9. Ajarkan keluarga 8. Mendorong masukkan
pasien (bayi) tanda nutrisi yang cukup
dan gejala infeksi 9. Mengajarkan keluarga
pasien (bayi) tanda dan
gejala infeksi
7. Ansietas b.d Selama dilakukan 1. Gunakan pendekatan 1. Menggunakan
pembedah an perawatan 1x24 yang menenangkan pendekatan yang
dan jam ansietas 2. Jelaskan semua menenangkan
mempunya i keluarga pasien prosedur 2. Menjelaskan semua
anak yang teratasi Kriteria 3. Pahami prespektif prosedur
tidak Hasil: Keluarga keluarga pasien 3. Memahami prespektif
sempurna pasien sedikit terhadap situasi keluarga pasien
berkurang rasa stress terhadap situasi stress
cemas setelah 4. Bantu keluarga 4. Membantu keluarga
diberi penkes yang pasien mengenal pasien mengenal
berhubungan situasi yang situasi yang
dengan penyakit menimbulkan menimbulkan
sang anak kecemasan kecemasan
5. Dorong keluarga 5. Mendorong keluarga
pasien untuk pasien untuk
mengungkapkan mengungkapka n
perasaan, ketakutan, perasaan, ketakutan,
persepsi persepsi

3.4 Evaluasi
Evaluasi dalam asuhan keperawatan merupakan respon pasien terhadap intervensi
yang telah dilakukan. Evaluasi mengacu pada penilaian, tahapan, dan perbaikan. Penulis
menggunakan evaluasi SOAP dalam asuhan keperawatan atresia ani sebagai berikut :
S: subjectiv
O: objektif
A: assesment
P: plan
Berikut evaluasi dari 3 diagnosa yang kami ambil:

25
DX 1: Gangguan pola eliminasi konstipasi b.d abnormalitas organ
S: Bayi rewel ketika tidak dapat melakukan konstipasi
O: Keringat dingin, suhu tubuh tinggi, bising usus pekak
A: Masalah teratasi
P: Hentikan intervensi

DX 2: Gangguan rasa nyaman b.d gejala terkait penyakit, vistel retrovaginal, dysuria,
trauma jaringan post operasi
S: Bayi gelisah dan rewel
O: Kebersihan area penyakit/trauma belum terpenuhi, tidak ada keluarga yang
mendampingi saat itu
A: Masalah teratasi
P: Hentikan intervensi

DX 3: Nyeri akut b.d trauma jaringan


S: Bayi menangis ketika bergerak atau lokasi penyakit tersentuh
O : Skala nyeri bayi di angka 4
A : Masalah teratasi sebagian
P : Lanjutkan intervensi

26
BAB IV
PENUTUP

3.1. KESIMPULAN
Atresia ani merupakan kelainan bawaan (kongenital), tidak adanya lubang atau
saluran anus (Wong, D. L, 2003). Atresia ani adalah kelainan kongenital yang dikenal
sebagai anus imperforate meliputi anus, rectum atau keduanya (Betz, C. L and
Sowden, L. A, 2002). Etiologi secara pasti atresia ani belum diketahui, namun ada
sumber mengatakan kelainan bawaan anus disebabkan oleh gangguan pertumbuhan,
fusi, dan pembentukan anus dari tonjolan embriogenik. Atresia ani dapat disebabkan
oleh beberapa faktor, antara lain:
1. Putusnya saluran pencernaan dari atas dengan daerah dubur sehingga bayi
lahir tanpa lubang dubur.
2. Kegagalan pertumbuhan saat bayi dalam kandungan berusia 12 minggu atau
3 bulan.
3. Adanya gangguan atau berhentinya perkembangan embriologik didaerah
usus, rektum bagian distal serta traktus urogenitalis, yang terjadi antara
minggu keempat sampai keenam usia kehamilan.
4. Berkaitan dengan sindrom down.
5. Atresia ani adalah suatu kelainan bawaan

3.2. SARAN
Dengan adanya makalah ini diharapkan kita sebagai seorang perawat mampu
mendiagnosis secara dini mengenai penyakit hernia pada anak, sehingga kita mampu
memberikan asuhan keperawatan yang maksimal terhadap anak tersebut.Tentunya
dalam pembuatan makalah ini masih terdapat banyak kesalahan sehingga kritik dan
saran dari semua pihak sangat kami harapkan.

1
DAFTAR PUSTAKA

Betz, Cealy L. & Linda A. Sowden. 2002. Buku Saku Keperawatan Pediarik” Edisi ke-3.
Jakarta: EGC
Carpenito, Lynda Juall. 1997. Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi ke-6. Jakarta:
EGC
Sri Kurnianingsih (ed), Monica Ester (Alih bahasa). Pedoman Klinis Keperawatan
Pediatrik.. Edisi ke-4. Jakarta: EGC
Faradilla, dkk. 2009. Anastesi pada tindakan posterosagital anorektoplasti pada kasus
malforasi anorektal. Faculty of Medicine - University of Riau Pekanbaru. [serial online]
https://yayanakhyar.files.wordpress.com/2009/06/malformasi anorektal files of
drsmed.pdf
Hidayat, A. Alimul. 2008. Pengantar Ilmu Keperawatan Anak. Jakarta: Salemba Medika
[serial online] https://www.academia.edu/8685826/ASKEP PADA PASIEN ATRESIA
ANI[diakses pada tanggal 20 September 2021]
[serial online]
http://repository.unri.ac.id/xmlui/bitstream/handle/123456789/767/bab21.PDF?
sequence=6[diakses pada tanggal 20 September 2021]
[serial online]
http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/109/jtptunimus-gdl-heldanilag-5416-2-
babii.pdf[diakses pada tanggal 20 September 2021]
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/23480/3/Chapter%20II.pdf
[diakses pada tanggal 20 September 2021]

Anda mungkin juga menyukai