Anda di halaman 1dari 38

BLOK SISTEM ENDOKRIN LAPORAN PBL

Senin, 27 November 2023

“Krisis Hiperglikemia”

Disusun Oleh:
Kelompok 15

Tutor:
dr. Vebiyanti Tentua, M.Sc.,Sp.P

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS PATTIMURA

AMBON

2023
DAFTAR ANGGOTA KELOMPOK 15

Ketua : Albert Litamahuputty 2021-83-041


Sekretaris 1 : Megumi Isabelle Padilla Malle 2021-83-035
Sekretaris 2 : Dian Anjelina 2021-83-050

Anggota : Eggi Nurmala Dewi 2020-83-087


Atanasius Arjuna Indra Prasta 2021-83-048
Mohammad Jordan Arrafi'ansyah 2021-83-055
Norhasanah 2021-83-060
Rekalnis Peliphus Yansel Iwamony 2021-83-079
Diva Laraswati Mauiza Mailuhu 2021-83-104
Alika Sheryl Dewanti 2021-83-108
Christiana Manuella Violynn Tuamelly 2021-83-152
Silvia Salwa Zakaria 2021-83-177
Riska Nyailima Wamnebo 2021-83-194

i
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur patut dipersembahkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa
karena atas berkat dan rahmat Nya, maka laporan PBL skenario dua ini dapat
diselesaikan dengan baik. Untuk itu, terimakasih kami ucapkan kepada:

1. dr. Vebiyanti Tentua, M.Sc.,Sp.P selaku tutor yang telah membimbing


selama diskusi dengan metode PBL berlangsung.
2. Semua pihak yang telah berpartisipasi dalam diskusi maupun pembuatan
laporan ini yang tidak dapat kami sebutkan satu persatu.

Bagai gading yang tak retak, begitu juga penulisan makalah ini masih jauh
dari sempurna. Untuk itu, segala saran dan masukan sangat diperlukan. Demikianlah
laporan ini dibuat sehingga dapat bermanfaat bagi pembaca dan memperoleh nilai
yang baik pada blok sistem endokrin.

Ambon, 27 November 2023

Kelompok 15

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................................ii
DAFTAR ISI...............................................................................................................iii
DAFTAR GAMBAR...................................................................................................v
DAFTAR TABEL.......................................................................................................vi
BAB I PENDAHULUAN............................................................................................1
1.1 Skenario..........................................................................................................1
1.2 Step I: Identifikasi Kata Sukar dan Kalimat Kunci.........................................1
1.3 Step II: Identifikasi Masalah...........................................................................2
1.4 Step III: Hipotesis Sementara..........................................................................3
1.5 Step IV: Klarifikasi Masalah dan Mindmapping............................................4
a. Klarifikasik Masalah: .....................................................................................4
b. Mindmapping..................................................................................................4
1.6 Step V: Learning Objective............................................................................6
1.7 Step VI: Belajar Mandiri.................................................................................6
BAB II PEMBAHASAN.............................................................................................7
2.1 Menjelaskan definisi Diabetes Melitus dan krisis hiperglikemia...................7
2.2 Menjelaskan perbedaan KAD dan HHS.........................................................8
2.3 Etiologi Pencetus dari Krisis Hiperglikemia...................................................9
2.4 Menjelaskan patofisiologi krisis hiperglikemia............................................11
2.4.1 Patofisiologi umum krisis hiperglikemia....................................................11
2.4.2 Mekanisme Penurunan Kesadaran pada Pasien..........................................12
2.4.3 Mekanisme Terdapat Lemas pada Pasien...................................................14
2.4.3 Mekanisme Terdapat Lemas pada Pasien...................................................15
2.5 Menjelaskan Alur Penegakan Diagnostik Diabetes Melitus dan Krisis
Hiperglikemia..........................................................................................................15
2.6 Menjelaskan Hasil Pemeriksaan Laboratorium Pada Pasien.............................20

iii
2.7 Menjelaskan Tatalaksana Krisis Hiperglikemis KAD dan HHS.......................22
2.8 Menjelaskan Komplikasi Krisis Hiperglikemia.................................................27
BAB III PENUTUP...................................................................................................29
3.1 Kesimpulan.......................................................................................................29
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................30

iv
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1: Etiologi Pencetus Krisis Hiperglikemia …………………………16


Gambar 2.2: Etiologi Pencetus Status Hiperosmolar Hiperglikemik………….17
Gambar 2.3 Kriteria Diagnosis…………………………………………………22
Gambar 2.4 Kadar Tes Laboratorium Darah untuk Diagnosis Diabetes
dan Prediabetes…………………………………………………………………..23
Gambar 2.5 Cara Pelaksanaan TTGO (WHO, 1994)…………………...………23
Gambar 2.6: Protokol penatalaksanaan pasien KAD……….………….……….32
Gambar 2.7: Protokol penatalaksanaan pasien dewasa dengan HHS…….…….32

v
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1: Klasifikasi Diabetes Melitus……………………………………..13

Tabel 2.2: Perbandingan KAD dengan SHH…………………………………15

vi
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Skenario
Seorang laki-laki usia 63 tahun datang ke IGD RS Bhayangkara Ambon
dengan dikatakan penurunan kesadaran 1 hari ini, awalnya pasien dikatakan lemas
sejak 1 minggu SMRS. Pasien mengatakan lemas sehingga susah untuk berjalan.
Lemas memberat 2 hari terakhir karena tidak makan dengan baik karena pasien
mengaku tidak nafsu makan. Pasien mengatakan hanya berbaring saja agar tidak
jatuh. Pasien juga mengeluhkan mulut kering dan mata terasa panas. Demam (+),
Diare disangkal. Makan dan minum baik, BAB dan BAK juga baik. Pasien
mempunyai riwayat penyakit gula darah tapi tidak rutin kontrol dan minum obat
dengan teratur. Riwayat hipertensi disangkal. Pasien mempunyai kebiasaan merokok
1-2 batang per hari. Riwayat penyakit keluarga tidak ada.
Pemeriksaan fisik di dapatkan keadaan umum pasien tampak sakit berat,
somnolent, status gizi normal, TTV dalam batas normal. Pemeriksaan fisik ditemukan
perut datar, nyeri tekan pada suprapubik, perkusi abdomen timpani (+). Pemeriksaan
laboratorium di dapatkan Hb 11,4 g.dl, leukosit 18.6 rb/μl, GDS 953 mg/dl, ureum
145 mg/dl, creatinin 2,8 mg.dl. Pemeriksaan elektrolit didapatkan Na 125,0 mmol/L,
K 2,28 mmol/L, Cl 91,0 mmol/L. Pemeriksaan EKG dan USG abdomen dalam batas
normal. AGD pH 7.34. Urinalisa Leukosit +3. Keton +.

1.2 Step I: Identifikasi Kata Sukar dan Kalimat Kunci


A. Identifikasi Kata Sukar:
 AGD pH – Analisis gas darah, tes untuk mengukur O2, CO2, dan
kadar asam basa dalam darah. Tes utk melihat kemampuan paru-paru
utk mengirimkan O2 ke dalam darah atau mengeluarkan CO2 dari
darah

1
 GDS – Gula darah sewaktu, metode tes darah yg dapat dilakukan
setiap saat atau sepanjang hari utk memeriksa tingkatan gula darah
seseorang
 Somnolen – istilah medis yg digunakan utk menggambarkan tingkat
kesadaran seseorang yg lebih rendah dari normal, cenderung tertidur
atau mengantuk

B. Kalimat Kunci
 Lemas memberat 2 hari terakhir karena tidak makan dengan baik
karena pasien mengaku tidak nafsu makan
 mulut kering dan mata terasa panas
 Pasien mempunyai riwayat penyakit gula darah tapi tidak rutin kontrol
dan minum obat dengan teratur
 laki-laki usia 63 tahun datang ke IGD RS Bhayangkara Ambon dengan
dikatakan penurunan kesadaran 1 hari ini, awalnya pasien dikatakan
lemas sejak 1 minggu SMRS
 Pasien mempunyai kebiasaan merokok 1-2 batang per hari
 Pemeriksaan fisik ditemukan perut datar, nyeri tekan pada suprapubik,
perkusi abdomen timpani (+).
 Pemeriksaan laboratorium di dapatkan Hb 11,4 g.dl, leukosit 18.6
rb/μl, GDS 953 mg/dl, ureum 145 mg/dl, creatinin 2,8 mg.dl.
Pemeriksaan elektrolit didapatkan Na 125,0 mmol/L, K 2,28 mmol/L,
Cl 91,0 mmol/L. Pemeriksaan EKG dan USG abdomen dalam batas
normal. AGD pH 7.34. Urinalisa Leukosit +3. Keton +
 Riwayat penyakit keluarga tidak ada
 Pemeriksaan fisik di dapatkan keadaan umum pasien tampak sakit
berat, somnolent, status gizi normal, TTV dalam batas normal

1.3 Step II: Identifikasi Masalah


1. Apakah ada hubungan kebiasaan merokok pasien dgn keluhan yg dirasakan
oleh pasien?
2. Apakah faktor resiko sesuai skenario?
3. Apakah ada hubungan GDS pasien 953 mg/dl dgn kondisi pasien tidak nafsu
makan?

2
4. Apa yang menyebabkan pasien merasa lemas?
5. Komplikasi apa saja yang dapat timbul sesuai skenario?
6. Apakah yang menyebabkan penurunan kesadaran pasien tersebut?
7. Apa yang menyebabkan pasien merasa nyeri pada penekanan suprapubik?
8. Apakah diagnosis yang dapat ditegakkan dari skenario?
9. Apa yang bisa menjadi alasan pasien merasa lemas disaat status gizi dan TTV
pasien masih normal?
10. Apa tatalaksana awal yang dapat diberikan kepada pasien sesuai skenario?

1.4 Step III: Hipotesis Sementara


1. Merokok merupakan salah satu faktor risiko pada DM. Karena kandungan
Nikotin pada rokok dapat menurunkan penyerapan glukosa yang distimulasi
insulin dan mengurangi sensitivitas insulin pada otot.
2. Usia pasien 63 tahun dmna pasien sudah memasuki kategori lansia, ada
riwayat penyakit gula darah yang tidak terkontrol dan tidak teratur minum
obat. Hasil pem lab pun menunjukkan gula darah pasien yg tinggi. factor
resiko: pola makan, kurangnya beraktivitas, ketidakseimbangan elektrolit,
pasien berkebiasaan merokok 1-2 batang per hari. adanya factor genetic, pola
hidup yang buruk dengan kebiasaan merokok dan kurangnya berolahraga.
3. interpretasi hasil pemeriksaan lab: HB Normal  tidak ada indikasi anemia,
leukosit peningkatan  indikasi reaksi infeksi, GDS sangat tinggi  Riwayat
pasien yang memiliki DM tidak terkontrol dan tidak pernah minum obat,
ureum dan kreatinin mengalami peningkatan  indikasi gangguan pada
fungsi ginjal, natrium dan kalium rendah  kekurangan elektrolit, Gas darah
pH 7.34  asam yang berarti adanya asidosis, leukosit +3 di urin  adanya
infeksi, keton urin (+) ketoasidosis
4. peningkatan gula darah karena insulin yang berkurang yang tidak mengontrol
glukosa sehingga pasien bisa lemas akibat sel kekurangan glukosa
5. Retinopati diabetik dapat dicegah dengan control glikemik yang baik, setiap
penurunan HbA1C sebesar 1% dapat menurunkan resiko retinopati diabetic.
Lalu nefropatidiabetik: ditandai dengan adanya mikroalbuminuria
6. Gangguan kesadaran karena terjadinya sel pada otak yang menarik cairan
untuk menyeimbangkan konsenterasi akibat gula tidak bisa masuk ke dalam
sel sehingga menyebabkan terjadinya dehidrasi hingga gangguan kesadaran
7. nyeri penekanan suprapubic karena pada pasien DM rentan mengalami infeksi
saluran kemih terkhususnya DM tipe 2  gangguan system kekebalan tubuh

3
penurunan imunitas dan control metabolic dan pengosongan kandung kemih
tidak tuntas akibat neuropati otonom sehingga menyebabkan peningkatan
resiko ISK.
8. Krisis hiperglikemia terbagi menjadi 2, yaitu ketoasidosis diabetic dan
hiperglikemia hipersmolar status. Kasus pada scenario lebih mengarah pada
ketoasidosis diabetic dan DM tipe 1, yang disebabkan oleh kondisi autoimun.
krisis hiperglikemia: status hiperglikemi hyperosmolar karenaa berdasarkan
scenario, gula darah sewaktu pasien mencapai 953 mg/Dl (sudah lebih dari
600). Berdasarkan gejala yang ditemukan oleh pasien: mulut kering, mata
panas, lemas dan sulit berjalan. Analisis gas darah  menandakan badan keton
(+)
9. pasien lemas karena kekurangan insulin ditubuh sehingga protein di otot dan
jaringan yang lain diuraikan sehingga menyebabkan kelemahan otot  pasien
terasa lemas sampai sulit berjalan
10. edukasi kepada pasien untuk pola hidup sehat, melakukan pemantauan cek
gula darah, terapi nutrisi medis: memberi tahu pasien melakukan diet,
beraktivitas fisik seperti berolah raga, terapi farmakologis: obat antidiabetic.
Antihiperglikemi suntik, krisis hiperglikemik, hiperglikemik berat disertai
ketosis. dehidrasi dan penurunan elektrolit, bisa diberikan cairan IV saline
untuk menstabilkan keadaan umum pasien. Dan karena ada indikasi ISK, bisa
dipikirkan pemberian antibiotik.

1.5 Step IV: Klarifikasi Masalah dan Mindmapping

a. Klarifikasik Masalah: -
b. Mindmapping

4
Laki-Laki, 63 tahun

Datang ke IGD RS
Bhayangkara Ambon

Penyerta :
Riwayat Penyakit :
Penurunan Kesadaran Pasien merasa lemas karena
Riwayat Gula Darah selama 1 Hari tidak nafsu makan, mulut
tapi tidak rutin control kering, dan mata terasa panas,
dan minum obat Demam (+)
dengan teratur
Lab:
PF :
Riwayat Kebiasan : Hb 11,4 g/dL
TTV normal, status gizi normal,
Leukosit 18,6 ribu/uL
Merokok 1-2 pasien tampak sakit berat,
GDS 953 mg/dL
batang/hari somnolent, perut datar, nyeri
Ureum 145 mg/dL
tekan suprapubic, perkusi
Creatinin 2,8 mg/dL
abdomen timpani (+)
AGD pH 7,34
Urinalisa
- Leukosit +3
- Keton +

Elektrolit:

Na 125,0 mmol/L
K 2,28 mmol/L

Diagnosis Sementara :

Diabetes Melitus Tipe 2


dengan komplikasi HHS

Faktor Tatalaksana dan


Definisi Etiologi Patofisiologi Diagnosis
Risiko Edukasi
1.6 Step V: Learning Objective

1.7 Step VI: Belajar Mandiri

6
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Menjelaskan definisi Diabetes Melitus dan krisis hiperglikemia

Diabetes melitus merupakan sekumpulan penyakit metabolik yang ditandai


dengan kondisi hiperglikemia akibat kelainan kerja insulin atau kelainan sekresi
insulin ataupun keduanya.

Tabel 2.1: Klasifikasi Diabetes Melitus


Sumber: Wibisono S, Soetmadji DW, Pranoto A, Mardianto, Shahab A, et al.
Pedoman petunjuk praktis terapi insulin pada pasien diabetes melitus. Jakarta:
Perkeni; 2021.

7
Sementara itu, krisis hiperglikemia merupakan keadaan metabolic emergency
yang dihubungkan dengan diabetes tidak terkontrol yang secara signifikan
menyebabkan terjadinya kecacatan atau kematian. Bentuk krisis hiperglikemia:
1.KAD (Ketoasidosis Diabetik): keadaan yang ditandai dengan asidosis
metabolic dengan pembentukan badan keton yang berlebihan.
2.SHH (status hyperosmolar hiperglikemik) : hiperosmolaritas yang biasanya
lebih tinggi dari KAD murni.1

2.2 Menjelaskan perbedaan KAD dan HHS

Diagnostic pasti dari KAD yaitu adanya peningkatan total benda keton di dalam
sirkulasi darah dan urin. Pencetus dari KAD yaitu infeksi, menghentikan atau
mengurangi insulin, infark miokard, stroke akut, penkreatitis, obat-obatan. Keluhan
dari KAD yaitu polyuria, polidipsi, rasa lelah kram otot, mual muntah, nyeri perut.
Hasil pemeriksaan fisik pada KAD yaitu ditemukan tanda dehidrasi, nafas Kussmaul
didapatkan pada asidosis berat, takikardi, hipotensi sampai syok, flushing, dan berat
badang turun.

SHH biasanya terjadi pada orang tua usia di atas 60 tahun dengan diabetes
mellitus yang memiliki penyakit penyerta, kondisi tersebut menyebabkan asupan
makan turun dan diikuti dengan penurunan berat badan. Pasien dengan SHH biasanya
tidak memiliki riwayat diabetes mellitus atau diabetes mellitus tanpa insulin. Pencetus
dari SHH yaitu infeksi, pengobatan seperti mengkonsumsi obat diuretic biasanya
dapat memperberat keadaan, noncompliance terhadap pengobatan diabetes melitus,
compliance yang buruk juga bisa menyebabkan SHH, diabetes mellitus yang tidak
terdiagnosis, dan penyait penyerta. Keluhan dari SHH yaitu rasa lemah, gangguan
penglihatan, kaki kejang, mual muntah namun lebih jarang dibandingkan dengan
KAD, kadang datang dengan letargi, disorientasi, hemiparesis, kejang dan koma.
Koma terjadi jika osmolaritas serum >350 mOsm/kg. Hasil pemeriksaan fisik pada

8
SHH yaitu ditemukan tanda dehidrasi berat seperti turgor buruk, mata cekung,
mukosa pipi kering, ekstremitas teraba dingin, serta denyut nadi cepat namun lemah.
Selain itu ditemukan juga peningkatan suhu tubuh tapi tidak terlalu tinggi serta
distensi abdomen yang membaik setelah diberikan rehidrasi yang adekuat.2

KAD SHH
Variabel
Ringan Sedang Berat
Kadar Glukosa Plasma >250 >250 >250 >600
(mg/dL)
Kadar pH arteri 7,25-7,30 7,00-7,24 <7,00 >7,30
Kadar Bikarbonat Serum 15-18 10-14 <10 >15
(mEq/L)
Keton pada Urin atau Positif Positif Positif Sedikit/
Serum Negatif
Osmolaritas Serum Efektif Bervariasi Bervariasi Bervariasi >320
(mOsm/kg)
Anion gap >10 >12 >12 Bervariasi
Kesadaran Sadar Sadar, Stupor, Stupor,
Somnolen Koma Koma
Tabel 2.2: Perbandingan KAD dengan SHH
Sumber: Setiati A, Alwi I, Sudoyo AW, Simadibrata KM, Setiyohadi B, Syam AF.
Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid II. Edisi VI. Interna Publishing. 2014. 2375-85 p.

2.3 Etiologi Pencetus dari Krisis Hiperglikemia

Untuk dapat mengenal etiologi pencetus dari krisis hiperglikemia, terdapat “7I”
yang dapat diingat:
1. Insulin: Defisiensi/ Insufisiensi

9
2. Iatrogenic: Steroid, thiazide, dan obat-obat antipsikotik
3. Infection: Infeksi saluran kemih

4. Ischaemia: Usus besar, kaki


5. Infarction: Acute coronary syndrome (ACS), Stroke
6. Inflammation: Pankreatitis akut, kolesistitis
7. Intoxication: Alkohol, kokain 1,2
Gambar 2.1: Etiologi Pencetus Krisis Hiperglikemia
Sumber: Muneer M, Akbar I. Acute metabolic emergencies in diabetes: DKA, HHS
and EDKA. Advances in Experimental Medicine and Biology [Internet]. 2020;85–
114.
Etiologi paling banyak dari krisis hiperglikemia ialah infeksi. Pada ketoasidosis
diabetik (KAD), pencetus lainnya dapat berupa penghentian atau awitan baru insulin
yang menjadi sebab DM tipe 1 jatuh pada keadaan KAD, kemudian diikuti infark

10
miokard, stroke akut, pankreatitis, dan obat-obatan. Namun, pada beberapa pasien
yang dianggap DM tipe 2, terkadang tidak ditemukan pencetus yang jelas dan
keadannya membaik setelah diberikan insulin dalam periode pendek atau bahkan
tidak membutuhkan medikasi sama sekali.4

Status hiperosmolar hiperglikemi (SHH) biasanya terjadi pada orang tua > 60 tahun
dengan penyakit DM dan memiliki penyakit penyerta yang berakibat penurunan
asupan makanan. Berikut ialah tabel deskripsi etiologi pencetus dari SHH.4

Gambar 2.2: Etiologi Pencetus Status Hiperosmolar Hiperglikemik


Sumber: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 6. Interna Publishing. 2014. 2382 p

2.4 Menjelaskan patofisiologi krisis hiperglikemia

2.4.1 Patofisiologi umum krisis hiperglikemia

11
Pada semua krisis hiperglikemik, hal yang mendasarinya adalah defisiensi
insulin, relatif ataupun absolut, pada keadaan resistensi insulin yang meningkat.
Kadar insulin tidak adekuat untuk mempertahankan kadar glukosa serum yang
normal dan untuk mensupres ketogenesis. Hiperglikemia sendiri selanjutnya dapat
melemahkan kapasitas sekresi insulin dan menambah berat resistensi insulin sehingga
membentuk lingkaran setan dimana hiperglikemia bertambah berat dan produksi
insulin makin kurang.5

Pada KAD dan SHH, disamping kurangnya insulin yang efektif dalam darah,
terjadi juga peningkatan hormon kontra insulin, seperti glukagon, katekholamin,
kortisol, dan hormon pertumbuhan. Hormon-hormon ini menyebabkan peningkatan
produksi glukosa oleh ginjal dan hepar dan gangguan utilisasi glukosa dijaringan,
yang mengakibatkan hyperglikemia dan perubahan osmolaritas extracellular.

Kombinasi kekurangan hormon insulin dan meningkatnya hormon


kontrainsulin pada KAD juga mengakibatkan penglepasan/release asam lemak bebas
dari jaringan adipose (lipolysis) ke dalam aliran darah dan oksidasi asam lemak hepar
menjadi benda keton (ß- hydroxybutyrate [ß-OHB] dan acetoacetate) tak terkendali,
sehingga mengakibatkan ketonemia dan asidosis metabolik.5

Pada sisi lain, SHH mungkin disebabkan oleh konsentrasi hormon insulin
plasma yang tidak cukup untuk membantu ambilan glukosa oleh jaringan yang
sensitif terhadap insulin, tetapi masih cukup adekuat ( dibuktikan dengan C-peptide)
untuk mencegah terjadinya lipolisis dan ketogenesis; akan tetapi bukti-bukti untuk
teori ini masih lemah. KAD dan SHH berkaitan dengan glikosuria, yang
menyebabkan diuresis osmotik, sehingga air, natrium, kalium, dan elektrolit lain
keluar.5

2.4.2 Mekanisme Penurunan Kesadaran pada Pasien

12
Penurunan kesadaran adalah suatu keadaan dimana terjadi penurunan kepekaan atau
tidak memiliki kepekaan terhadap diri sendiri, lingkungan, kebutuhannya, dan tingkat
respon terhadap stimulasi eksternal dan internal. Penyebab gangguan kesadaran
secara garis besar dibagi menjadi dua, yaitu oleh karena kelainan otak atau struktural
(intrakranial) dan nonstruktural atau sistemik (ekstrakranial). Kelainan sistemik
terdiri dari gangguan metabolisme, toksik, radang, gangguan elektrolit atau asam
basa, dan gangguan regulasi suhu. Penurunan kesadaran yang terjadi pada penderita
DM terjadi karena gangguan metabolisme yang menyebabkan hipoglikemia, KAD,
SHH, asidosis laktat, dan uremik ensefalopati.6

Penyebab dari penurunan kesadaran pada penderita DM, antara lain hipoglikemi,
asidosis (KAD dan asidosis laktat), hiperosmolaritas (SHH), dan uremik ensefalopati
(uremia karena gagal ginjal yang disebabkan oleh diabetik nefropati). Hipoglikemia
menyebabkan edema selular, sedangkan hiperosmolaritas menyebabkan sel
mengkerut. Kedua kondisi sel ini menyebabkan penurunan eksitabilitas sel-sel saraf
yang menyebabkan penurunan kesadaran. Selain dua kondisi tersebut, asidosis juga
mempengaruhi eksitabilitas sel yang dapat berlanjut pada penurunan kesadaran.
Patogenesis uremik ensefalopati menyebabkan penurunan kesadaran masih belum

13
jelas, namun diduga berhubungan dengan akumulasi zat-zat neurotoksik di dalam
darah.6

Dari skenario kemungkinan pasien mengalami SHH sehingga jika hiperosmolaritas


dan diuresis pada pasien terus berlanjut, maka hal ini akan menyebabkan terjadinya
hipovolemik dan pada akhirnya berkembang menjadi dehidrasi berat, penurunan laju
filtrasi glomerulus, dan perbukukan kondisi hiperglikemia sehingga terjadi
penyusutan sel karena kurangnya cairan dalam sel  penurunan eksitabilitas 
penurunan kesadaran.7

2.4.3 Mekanisme Terdapat Lemas pada Pasien

Gambaran klinis umum dari DKA dan HHS disebabkan oleh hiperglikemia
dan mencakup poliuria, polifagia, polidipsia, penurunan berat badan, kelemahan, dan
tanda-tanda fisik penurunan volume intravaskular, seperti mukosa bukal kering, bola
mata cekung, turgor kulit buruk, takikardia, hipotensi dan syok pada kasus yang
parah. Sebagai catatan, pasien dengan DKA euglisemik termasuk mereka yang
diobati dengan inhibitor SGLT-2, mungkin memiliki lebih sedikit polidipsia dan
poliuria dan mungkin awalnya menunjukkan gejala yang tidak spesifik seperti
kelelahan dan malaise.8
Diabetes adalah penyakit yang berhubungan dengan gaya hidup pasien.
Gangguan ini terjadi ketika tubuh dihasilkan dari banyak insulin, tetapi insulin tidak
dapat melakukan tugasnya. Fungsi pankreas adalah menghasilkan lebih banyak
insulin. Sementara glukosa darah meningkat yang membuatnya lebih tersedia untuk
pasien diabetes mellitus dengan obesitas. Selain itu, aktivitas pankreas berusaha lebih
keras dalam jangka waktu lama. Dengan demikian, sel-sel tubuh menjadi kebal
terhadap insulin. Ini berarti, pasien diabetes mellitus yang sebelum obesitas akan
mengalami gangguan metabolisme sehingga menyebabkan pasien diabetes melitus
berkurang menjadi berat badan normal atau kurang berat badan.9

14
Pola makan yang kurang baik itu tidak memperhatikan jumlah makan, jenis
makan dan jadwal makan yang ditetapkan, sehingga pola makan yang kurang baik
atau tidak teratur dan makan makanan yang sembarangan terkadang ada yang malas
makan menimbulkan mudah terserang penyakit.9
Malas makan bisa juga menyebabkan badan menjadi lemas karena asupan
karbohidrat tidak terpenuhi dengan baik.

2.4.3 Mekanisme Terdapat Lemas pada Pasien

c. Hubungan Demam dengan Kasus

Kondisi demam terjadi sebagian bagian dari reaksi imunitas tubuh yang
sedang melawan bakteri. Kadar glukosa yang tinggi pada organ tubuh membuat
bakteri lebih mudah berkembang biak. Pada scenario terjadi infeksi saluran kemih
yang menyebabkan peningkatan glukosa. Infeksi pada pasien diabetes sangat
berpengaruh terhadap pengendalian glukosa darah. Infeksi dapat memperburuk
kendali glukosa darah, dan kadar glukosa darah yang tinggi meningkatkan
kerentanan atau memperburuk infeksi. Kadar glukosa yang tidak terkendali perlu
segera diturunkan, antara lain dengan menggunakan insulin, dan setelah infeksi
teratasi dapat diberikan kembali pengobatan seperti semula.10

Kejadian infeksi lebih sering terjadi pada pasien dengan diabetes akibat
munculnya lingkungan hiperglikemik yang meningkatkan virulensi patogen,
menurunkan produksi interleukin, menyebabkan terjadinya disfungsi kemotaksis
dan aktifitas fagositik, serta kerusakan fungsi neutrofil, glukosuria, dan
dismotitilitas gastrointestinal dan saluran kemih. Sarana untuk pemeriksaan
penunjang harus lengkap seperti pemeriksaan kultur dan tes resistensi antibiotik.10

15
2.5 Menjelaskan Alur Penegakan Diagnostik Diabetes Melitus dan Krisis

Hiperglikemia

Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah dan HbA1c.
Pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa secara
enzimatik dengan bahan plasma darah vena. Pemantauan hasil pengobatan dapat
dilakukan dengan glukometer. Diagnosis tidak dapat ditegakkan atas dasar adanya
glukosuria. Berbagai keluhan dapat ditemukan pada pasien DM. Kecurigaan adanya
DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan seperti:11

1. Keluhan klasik DM: poliuria, polidipsia, polifagia dan penurunan berat badan
yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.11

2. Keluhan lain: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi ereksi
pada pria, serta pruritus vulva pada wanita.11

Gambar 2.3 Kriteria Diagnosis


Sumber: Soelistijo S. Pedoman Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus
Tipe 2 Dewasa di Indonesia 2021. Glob Initiat Asthma [Internet]. 2021;46.

16
Hasil pemeriksaan yang tidak memenuhi kriteria normal atau kriteria DM
digolongkan ke dalam kelompok prediabetes yang meliputi toleransi glukosa
terganggu (TGT) dan glukosa darah puasa terganggu (GDPT).11

1. Glukosa Darah Puasa Terganggu (GDPT): Hasil pemeriksaan glukosa plasma


puasa antara 100 ʹ 125 mg/dL dan pemeriksaan TTGO glukosa plasma 2-jam <
140 mg/dL.11

2. Toleransi Glukosa Terganggu (TGT): Hasil pemeriksaan glukosa plasma 2 -


jam setelah TTGO antara 140-199 mg/dL dan glukosa plasma puasa < 100
mg/dL.11

3. Bersama-sama didapatkan GDPT dan TGT.11

4. Diagnosis prediabetes dapat juga ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan


HbA1c yang menunjukkan angka 5,7-6,4%.11

Gambar 2.4 Kadar Tes Laboratorium Darah untuk Diagnosis Diabetes dan
Prediabetes.
Sumber: Soelistijo S. Pedoman Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes
Melitus Tipe 2 Dewasa di Indonesia 2021. Glob Initiat Asthma [Internet].
2021;46. Available from: www.ginasthma.org.

17
Gambar 2.5 Cara Pelaksanaan TTGO (WHO, 1994)
Sumber: Soelistijo S. Pedoman Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes
Melitus Tipe 2 Dewasa di Indonesia 2021. Glob Initiat Asthma [Internet].
2021;46. Available from: www.ginasthma.org.
Pemeriksaan penyaring dilakukan untuk menegakkan diagnosis DM tipe 2 dan
prediabetes pada kelompok risiko tinggi yang tidak menunjukkan gejala klasik DM
(B) yaitu:11

1. Kelompok dengan berat badan lebih (Indeks Massa Tubuh [IMT] ш 23 kg/m2)
yang disertai dengan satu atau lebih faktor risiko sebagai berikut:
a. Aktivitas fisik yang kurang.
b. First-degree relative DM (terdapat faktor keturunan DM dalam keluarga).
c. Kelompok ras/etnis tertentu.
d. Perempuan yang memiliki riwayat melahirkan bayi dengan BBL > 4 kg
atau mempunyai riwayat diabetes melitus gestasional (DMG).
e. Hipertensi (ш 140/90 mmHg atau sedang mendapat terapi untuk
hipertensi).
f. HDL < 35 mg/dL dan atau trigliserida > 250 mg/dL.
g. Wanita dengan sindrom polikistik ovarium. h. Riwayat prediabetes.
h. Obesitas berat, akantosis nigrikans.
i. Riwayat penyakit kardiovaskular.

18
2. Usia > 45 tahun tanpa faktor risiko di atas.
Catatan: Kelompok risiko tinggi dengan hasil pemeriksaan glukosa plasma
normal sebaiknya diulang setiap 3 tahun (E), kecuali pada kelompok
prediabetes pemeriksaan diulang tiap 1 tahun (E).11

Hyperosmolar Hyperglycaemic State (HHS)

Hyperosmolar Hyperglycaemic State (HHS) adalah komplikasi akut pada diabetes


melitus. Perubahan istilah HHS dari HONK (koma hiperosmolar non ketotik) terjadi
karena hiperglikemik hyperosmolar fakta bahwa beberapa pasien mungkin sangat
sakit tetapi tidak koma dan bisa terjadi ketotik ringan dan asidosis. Definisi tepat
HHS tidak ada tetapi ada fitur karakteristik yang membedakannya dari keadaan
hiperglikemia lain seperti ketoasidosis. Mendefinisikan HHS dengan osmolalitas saja
tidak tepat tanpa mempertimbangkan fitur klinis lainnya. Untuk SHH, manifestasi
klinis dapat terjadi dalam beberapa hari hingga beberapa minggu.12

Pasien dapat mengalami hal berikut:12

1. Poliuria

2. Polidipsia

3. Penurunan kesadaran yang progresif akibat osmolalitas darah yang sangat


tinggi.

4. Nyeri perut juga jarang dialami oleh pasien SHH.

5. Dari pemeriksaan fisik didapatkan dehidrasi sangat berat, bau nafas keton tidak
ada, status mental sampai koma

Status Hiperglikemia Hiperosmolar (SHH) Pada keadaan ini terjadi peningkatan


glukosa darah sangat tinggi (>600 mg/dL), tanpa tanda dan gejala asidosis,
osmolaritas plasma sangat meningkat (>320 mOs/mL), plasma keton (+/-), anion gap
normal atau sedikit meningkat.1

19
Ketoasidosis Diabetik (KAD)

Ketoasidosis Diabetik (KAD) Komplikasi akut DM yang ditandai dengan


peningkatan kadar glukosa darah yang tinggi (300 - 600 mg/dL), disertai tanda dan
gejala asidosis dan plasma keton (+) kuat. Osmolaritas plasma meningkat (300 - 320
mOs/mL) dan peningkatan anion gap.11

Anamnesis manifestasi klinis dari KAD biasanya berlangsung dalam waktu singkat,
dalam kurun waktu kurang dari 24 jam.12

Poliuria,

1. polidipsia dan

2. penurunan berat badan dapat berlangsung selama beberapa hari, sebelum


terjadinya ketoasidosis,

3. muntah dan nyeri perut.

Nyeri perut yang menyerupai gejala akut abdomen, dilaporkan terjadi pada 40-75%
kasus KAD. Dalam suatu penelitian, didapatkan hasil bahwa kemunculan nyeri perut
dapat dikaitkan dengan kondisi asidosis metabolik, namun bukan karena
hiperglikemia atau dehidrasi. 12

2.6 Menjelaskan Hasil Pemeriksaan Laboratorium Pada Pasien

1. Hemoglobin (Hb) : 11,4 g/dL

a. Nilai rujukan Hb pada pria dewasa : 13,8-17,2 g/dL

b. Interpretasi : Di bawah batas normal. Pasien mengalami anemia ringan


(Hb 10.0-13.8 g/dL).

2. Leukosit : 18.6 ribu/μL

20
a. Nilai rujukan : 4.000-11.000/μL

b. Interpretasi : Jumlah leukosit yang meningkat mengindikasikan


infeksi.

3. Gula Darah Sewaktu (GDS) : 953 mg/dL

a. Nilai rujukan : 70-140 mg/dL

b. Interpretasi : Glukosa darah sewaktu pasien sangat tinggi


(hiperglikemia), tanda diabetes melitus.

4. Ureum : 145 mg/dL

a. Nilai rujukan Lansia (>60 tahun): 8-23 mg/dL

b. Interpretasi : Nilai ureum yang tinggi mengindikasikan masalah pada


fungsi ginjal. Kondisi yang dapat menyebabkan kadar ureum tinggi
dalam darah adalah dehidrasi dan infeksi saluran kemih.

5. Kreatinin : 2,8 mg/dL

a. Nilai rujukan : 0,8-1,3 mg/dL

b. Interpretasi : Nilai kreatinin pasien di atas rentang normal


mengindikasikan masalah pada fungsi ginjal. Kondisi yang dapat
menyebabkan kadar ureum tinggi dalam darah adalah dehidrasi dan
infeksi saluran kemih.

6. Elektrolit
a. Natrium (Na) : 125,0 mmol/L
Nilai rujukan : 136-145 mmol/L.
b. Kalium (K): 2,28 mmol/L
Nilai rujukan : 3,5-5,2 mmol/L
c. Klorida (Cl): 91,0 mmol/L

21
Nilai rujukan : 96-106 mmol/L
d. Interpretasi :
Hasil pemeriksaan elektrolit didapatkan kadar elektrolit rendah.
Ketidakseimbangan elektrolit dalam tubuh dapat disebabkan oleh
kondisi dehidrasi dan gangguan fungsi ginjal.
7. Analisis Gas Darah : pH 7,34
a. Nilai rujukan : pH 7,35-7,45
b. Interpretasi : nilai pH di bawah batas normal, pasien ini asidosis
ringan.
8. Urinalisa :
a. Leukosit 3+
Interpretasi : peningkatan leukosit di urin (leukosituria) yang
menindikasikan adanya infeksi. Infeksi yang dapat dihubungkan
dengan kondisi pasien, yaitu ISK.
b. Keton +
Interpretasi : keton + menindikasikan bahwa metabolisme lemak di
tubuh meningkat. Kondisi terkait dapat berupa Diabetes Melitus.13

2.7 Menjelaskan Tatalaksana Krisis Hiperglikemis KAD dan HHS

KETOASIDOSIS DIABETES (KAD)

1. Cairan
Untuk mengatasi dehidrasi digunakan larutan garam fisiologis. Berdasarkan
perkiraan hilangnya cairan pada KAD mencapai 100 ml per kg berat badan, maka
pada jam pertama diberikan 1 sampai 2 liter, jam kedua diberikan 1 liter dan
selanjutnya sesuai protokol. Ada dua keuntungan rehidrasi pada KAD: memperbaiki
perfusi jaringan dan menurunkan hormon kontraregulator insulin. Bila konsentrasi

22
glukosa kurang dari 200 mg% maka perlu diberikan larutan mengandung glukosa
(dekstrosa 5% atau 10%).

2. 3Insulin
Terapi Insulin harus segera dimulai sesaat setelah diagnosis KAD dan rehidrasi yang
memadai. Pemberian insulin akan menurunkan konsentrasi hormon glukagon,
sehingga dapat menekan produksi benda keton di hati, pelepasan asam lemak bebas
dari jaringan lemak, pelepasan asam amino dari jaringan otot dan meningkatkan
utilisasi glukosa oleh jaringan. Sampai tahun 1970-an penggunaan insulin umumnya
secara bolus melalui intravena, intramuskular, ataupun subkutan. Sejak pertengahn
tahun 1970-an protokol pengelolaan KAD dengan drip insulin intravena dosis
rendah mulai digunakan dan menjadi popular. (Soken et al, 1972).

Cara ini dianjurkan oleh karena lebih mudah mengontrol dosis insulin,
menurunkan konsentrasi glukosa darah lebih lambat, efek insulin cepat menghilang,
masuknya kalium ke intrasel lebih lambat, komplikasi hipoglikemia dan hipokalemia
lebih sedikit. Butkeiwicz et a1 menganalisis data pengobatan KAD sebelum dan
sesudah tahun 1970 dan melaporkan bahwa pemberian insulin kontinu secara
intravena lebih jarang menyebabkan hipoglikemia dibandingkan cara bolus.
Sedangkan untuk hipokalemia tidak berbeda. Efek kerja insulin terjadi dalam
beberapa menit setelah insulin berikatan dengan reseptor. Kemudian reseptor yang
telah berikatan akan mengalami internalisasi dan insulin akan mengalami destmksi.
Dalam keadaan hormon kontraregulator masih tinggi dalam darah, dan untuk
mencegah terjadinya lipolisis dan ketogenesis, permberian insulin tidak boleh
dihentikan tiba-tiba dan perlu dilanjutkan beberapa jam setelah koreksi hiperglikemia
tercapai bersamaan dengan pemberian larutan menganndung glukosa untuk
mencegah hipoglikemia. Kesalahan yang sering terjadi ialah penghentian drip insulin
lebih awal sebelum klirens benda keton darah cukup adekuat tanpa konversi ke
insulin kerja panjang. Tujuan pemberian insulin di sini bukan hanya untuk mencapai

23
konsentrasi glukosa normal, tetapi untuk mengatasi keadaan ketonemia. Oleh
karena itu bila konsentrasi glukosa kurang dari 200 mg%, insulin diteruskan dan
untuk mencegah hipoglikemia diberi cairan mengandung glukosa sampai asupan
kalori oral pulih kembali. Di RS Dr. Cipto Mangunkusumo cara pengobatan KAD
dengan insulin dosis rendah kontinu intravena diperkenalkan sejak tahun 1980 dan
sampai sekarang sudah beberapa kali mengalami modifikasi. Perubahan terakhir
dikeluarkan sejak awal1997. Dengan cara itu, dilaporkan kejadian hipoglikernia 3,6-
7,1% dan kejadian hipokalemia 72%.

3. Kalium
Pada awal KAD biasanya konsentrasi ion K serum meningkat. Hiperkalemia yang
fatal sangat jarang dan bila te rjadi hams segera diatasi dengan pemberian bikarbonat.
Bila pada elektrokardiogram ditemukan gelombang T yang tinggi, pemberian cairan
dan insulin dapat segera mengatasi keadaan hiperkelamia tersebut. Yang perlu
menjadi perhatian adalah terjadinya hipokalemia yang dapat fatal selama
pengobatan KAD. Ion kalium terutama terdapat intraselular. Pada keadaan KAD, ion
Kbergerak ke lux sel dan selanjutnya dikeluarkan melalui urin. Total defisit K yang
terjadi selama KAD diperkirakan mencapai 3-5 mEq/kg BB. Selama terapi KAD ion
K kembali ke dalam sel. Untuk mengantisipasi masuknya ion K ke dalam sel serta
mempertahankan konsentrasi K serum dalam batas normal, perlu pemberian kalium.
Pada pasien tanpa gaga1 ginjal serta tidak ditemukannya gelombang T yang lancip
dan tinggi pada elektrokardiogram, pemberian kaliurn segera dimulai setelah jumlah
urin cukup adekuat.

4. Glukosa
Setelah rehidrasi awal2 jam pertama, biasanya konsentrasi glukosa darah akan turun.
Selanjutnya dengan pemberian insulin diharapkan terjadi penurunan konsentrasi
glukosa sekitar 60 mg%/jam. Bila konsentrasi glukosa mencapai < 200 mg% maka
dapat dimulai infis mengandung glukosa. Perlu ditekankan di sini bahwa tujuan terapi

24
KAD bukan untuk menormalkan konsentrasi glukosa tetapi untuk menekan
ketogenesis. dianjurkan pada KAD yang berat. Adapun alasan keberatan pemberian
bikarbonat adalah: 1. menurunkan pH intraselular akibat difusi C02 yang dilepas
bikarbonat, 2. efek negatif pada dissosiasi oksigen di jaringan, 3. hipertonis dan
kelebihan natrium, 4. meningkatkan insidens hipokalemia, 5. gangguan fungsi
serebral, dan 6. te rjadi alkaliemia bila bikarbonat terbentuk dari asam keto Saat ini
bikarbonat hanya diberikan bila pH kurang dari 7,l walaupun demikian komplikasi
asidosis laktat dan hiperkalemi yang mengancam tetap merupakan indikasi pemberian
bikarbonat.

Gambar 2.6: Protokol penatalaksanaan pasien dewasa dengan KAD


Sumber: Kitabchi AE, Umpierrez GE, Murphy MB, Kreisberg RA. Hyperglycemic
crises in adult patients with diabetes. Diabetes Care 2006; 29: 2739– 2748

25
Hyperosmolar Hyperglicemic State (HHS)

Gambar 2.7: Protokol penatalaksanaan pasien dewasa dengan HHS


Sumber: Kitabchi AE, Umpierrez GE, Murphy MB, Kreisberg RA. Hyperglycemic
crises in adult patients with diabetes. Diabetes Care 2006; 29: 2739– 2748
Prinsip penatalaksanaan HHS hampir sama dengan DKA, hanya cairan yang
digunakan bukan cairan istonis, melainkan hipotonis. Monitoring glukosa juga harus
lebih disiplin, begitu juga dengan pemberian insulin.

Prinsip terapi HHS adalah:

Rehidrasi Intravena Agresif

Penggantian elektrolit

Insulin Intravena

Manajemen komplikasi dan komorbid

Pencegahan

26
1. Terapi Cairan

Defisit cairan pada pasien HHS berkisar 100-200 mL/kgBB (rata-rata butuh 9L).
Hati-hati terhadap komplikasi edema cerebri dan overload cairan. Pada pasien yang
mengalami syok hipovolemik, pertimbangkan penggunaan plasma expanders. Jika
mengalami syok kardiogenik, jangan lupa melakukan monitor hemodinamik ketat.

2. Elektrolit

Target konsentrasi kalium adalah 4.0-5.0 mEq/L. Jika kadar kalium < 3.3 mEq/L
maka pemberian insulin dapat ditunda. Jika kadar kalium 3.3-5.0 mEq/L, maka
kombinasi kalium klorida: kalium fosfat (2:1) dapat diberikan dengan dosis 20-30
mEq setiap liter cairan intravena yang diberikan. Jika kadar kalium > 5.0 mEq/L,
maka kadar kalium harus diturunkan hingga dibawah 5.0 mEq/L dengan monitoring
setiap 2 jam.

3. Insulin

Pastikan cairan telah diberikan secara adekuat sebelum memulai memberikan insulin.

Hal yang penting dalam pemberian insulin adalah perlunya pemberian cairan yang
adekuat terlebih dahulu. Jika insulin diberikan sebelum pemberian cairan, maka
cairan akan berpindah ke intrasel dan berpotensi menyebabkan perburnkan hipotensi,
kolaps vaskular, atau kematian. Insulin inisiasi diberikan dengan bolus 0.15 U/kgBB
secara IV, diikuti dengan drip 0.1 U/kgBB per jam, dengan target glukosa 250-300
mg/dL. Laju penurunan glukosa darah diharapkan 50-70 mg/dL setiap jam, jika
belum mencapai angka tersebut maka dosis insulin dapat ditingkatkan. Jika kadar
gula darah sudah mencapai < 300 mg/dL, insulin tetap diberikan dengan diturunkan
dosis secara perlahan (sliding scale). Targetnya adalah kesadaran pasien yang
membaik dan osmolaritas serum yang teresolusi.

Antibiotik dapat diberikan jika ada kecurigaan infeksi sebagai pencetus, mengingat
infeksi adalah 57% penyebab HHS. Pengendalian berbagai faktor pencetus penting
untuk dilakukan. Jangan lupa juga untuk senantiasa waspada pada komplikasi terapi:
oklusi vaskular, infark miokard, Disseminater Intravascular Coagulation (DIC), Acute
Respiratory Distress Syndrome (ARDS) dan edema cerebri.14

2.8 Menjelaskan Komplikasi Krisis Hiperglikemia

27
Komplikasi krisis hiperglikemia dapat terjadi akibat KAD/SHH dan
komplikasi akibat pengobatan:

Penyulit KAD dan SHH yang paling sering adalah hipoglikemia dalam kaitan
dengan pemberian insulni yang berlebihan, hipokalemia dalam kaitan dengan
pemberian insulin dan terapi asidosis dengan bikarbonat, dan hiperglikemia sekunder
akibat penghentian insulin intravena setelah perbaikan tanpa pemenuhan yang cukup
dengan insulin subkutan. Biasanya, pasien yang sembuh dari KAD menjadi
hyperkhloremi disebabkan oleh penggunaan larutan saline berlebihan untuk
penggantian cairan dan elektrolit dan asidosis metabolik non-anion gap yang
sementara dimana khlorida dari cairan intravena menggantikan anion yang hilang
dalam bentuk sodium dan garam-kalium selama diuresis osmotik. Kelainan biokimia
ini adalah sementara dan secara klinik tidak penting kecuali jika terjadi gagal ginjal
akut atau oliguria yang ekstrim.

Edema cerebral adalah suatu kejadian yang jarang tetapi merupakan


komplikasi KAD yang fatal, dan terjadi 0.7–1.0% pada anak-anak dengan DKA.
Umumnya terjadi pada anak-anak dengan DM yang baru didiagnosis, tetapi juga
dilaporkan pada anak-anak yang telah diketahui DM dan pada orang-orang umur
duapuluhan (1,2,6). Kasus yang fatal dari edema cerebral ini telah pula dilaporkan
pada SHH. Secara klinis, edema cerebral ditandai oleh perubahan tingkat kesadaran,
dengan el targi, dan sakit kepala. Gangguan neurologi mungkin terjadi secara cepat,
dengan kejang, inkontinensia, perubahan pupil, bradycardia, dan gagal nafas. Gejala
ini makin menghebat jika terjadi herniasi batang otak.15

28
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Berdasarkan skenario, laki-laki 63 tahun dengan keluhan penurunan

kesadaran, lemas, dan kesulitan berjalan selama 1 minggu. Pasien tidak memiliki

nafsu makan, hanya berbaring untuk menghindari jatuh, dan mengeluh mulut kering

serta mata terasa panas. Pasien memiliki riwayat penyakit gula darah tidak terkontrol.

Pemeriksaan fisik menunjukkan keadaan umum yang buruk, nyeri tekan pada

suprapubik, dan abdomen timpani. Hasil laboratorium menunjukkan GDS yang

sangat tinggi yakni 953 mg/dL, peningkatan ureum dan kreatinin, leukositosis, serta

keton dan leukosit + pada urinalisis. Elektrolit menunjukkan ketidakseimbangan. Dari

kondisi, riwayat, pemeriksaan fisik, serta hasil laboratorium dari pasien dicurigai

pasien menderita krisis hiperglikemia tipe SHH. Selanjutnya pasien perlu dilakukan

penanganan segera dengan memperbaiki keadaan umum pasien dengan pemberian

cairan dan pemberian insulin reguler. Komplikasi berupa dehidrasi berat, infark

miokard, stroke hingga kematian dapat terjadi jika tidak dilakukan penanganan

segera dan tepat.

29
DAFTAR PUSTAKA

1. Wibisono S, Soetmadji DW, Pranoto A, Mardianto, Shahab A, et al. Pedoman


petunjuk praktis terapi insulin pada pasien diabetes melitus. Jakarta: Perkeni; 2021.
2. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 6. Interna Publishing. 2014. 2376, 2382 p
3. Muneer M, Akbar I. Acute metabolic emergencies in diabetes: DKA, HHS and
EDKA. Advances in Experimental Medicine and Biology [Internet]. 2020;85–114.
4. Muneer M, Akbar I. Acute metabolic emergencies in diabetes: DKA, HHS and
EDKA. Advances in Experimental Medicine and Biology [Internet]. 2020;85–114.
5. Adi, P.R., 2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 6. Jakarta`: Interna
Publishing, p.1425.
6. Linggabudi IGBW, Salsabilla R, Fitroningtyas EA. Hyperosmolar Hyperglycemia
State (HHS). Jurnal Syntax Fusion. 2022;2(2):234-42p.
7. Huang I. Patofisiologi dan Diagnosis Penurunan Kesadaran pada Penderita
Diabetes Mellitus. Medicinus. 2016;5(2):48-54p.

8. Gosmanov AR, Gosmanova EO, Kitabchi AE. Krisis Hiperglikemik: Ketoasidosis


Diabetik dan Keadaan Hiperosmolar Hiperglikemik. [Diperbarui 2021 9
Mei]. Dalam: Feingold KR, Anawalt B, Blackman MR, dkk., editor. Endoteks
[Internet]. Dartmouth Selatan (MA): MDText.com, Inc.; 2000-. Tersedia dari:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK279052/.

9. Juripah J, Muzakkir M, Darmawan S. Hubungan Pola Makan Terhadap Kejadian


Diabetes Melitus Di Wilayah Kerja Puskesmas Kassi-Kassi Kota Makassar. J Ilm
Kesehat Diagnosis. 2019;14(3):247–52.

30
10. Soelistijo SA, et al. Pedoman pengelolaan dan pencegahan diabetes melitus tipe 2
dewasa di Indonesia. Jakarta:PERKENI;2021.

11. Soelistijo S. Pedoman Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2


Dewasa di Indonesia 2021. Glob Initiat Asthma [Internet]. 2021;46. Available from:
www.ginasthma.org.

12. Oktaliani R, Zamri A. Hyperosmolar Hyperglycemic State (HHS). JAMBI Med J


“Jurnal Kedokt dan Kesehatan.” 2019;7(1):50–5.

13. Fischbach FT, Dunning MB. A manual of laboratory and diagnostic tests. 9th ed.
Barbera P, et al, editors. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins. 2015. 93p.

14. Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam FK UI jilid III. Edisi VI. Jakarta:
InternaPublishing, 2015: 1906-1915p.

15. PAPDI PDSPD. Krisis Hiperglikemia. Penatalaksanaan Di Bid Ilmu Penyakit


Dalam Pandu Prakt Klin. 2015;(3):109–14.

31

Anda mungkin juga menyukai