Anda di halaman 1dari 69

MAKALAH

PENURUNAN KESADARAN

Almamira Oktarama (1811201004)


Lenisha Tantia (1811201020)
Nada Nadifa (1811201026)
Siska Andriani R (1811201039)
Suci Prima Ananda (1811201042)
Yudiawati (1811201052)
Viola Anggraini asrizal (1811201049)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN & ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ABDURRAB
2020/2021
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang, kami
panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah,
dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ilmiah tentang
penurunan kesadaran.
   
Makalah ilmiah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari
berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini.Untuk itu kami
menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam
pembuatan makalah ini.

    Terlepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari
segi susunan kalimat maupun tata bahasanya.Oleh karena itu, dengan tangan terbuka kami
menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah ilmiah ini.

    Akhir kata kami berharap semoga makalah Pleno 4 ini dapat membantu para pembaca untuk
mudah memahami Pleno 4 modul 5.3 Penurunan Kesadaran.

Pekanbaru, 11 Februari 2021


Penulis

DAFTAR ISI

i
KATA PENGANTAR......................................................................................................................i
BAB I...............................................................................................................................................1
PENDAHULUAN...........................................................................................................................1
STEP 1. Clarifying Unfamillar Terms.........................................................................................1
STEP 2. Problem Defenition........................................................................................................2
STEP 3. Brainstorming................................................................................................................2
STEP 4. Analyzing the Problem...................................................................................................3
STEP 5. Learning Objective........................................................................................................3
STEP 6. Self Study.......................................................................................................................4
STEP 7. Reporting.......................................................................................................................4
BAB II.............................................................................................................................................5
ISI....................................................................................................................................................5
2.1 Diagnosis Banding Penuruna Kesadaran Berdasarkan Sistem Organ...................................5
2.2 Diagnosis Banding Penurunan Kesadaran Metabolik............................................................7
2.3 Diabetes melitus...................................................................................................................15
A. Klasifikasi.......................................................................................................................15
B. Patofisiologi....................................................................................................................16
2.4 Komplikasi Diabetes Melitus Akut......................................................................................19
2.5 Komplikasi Diabetes Melitus Kronik..................................................................................24
2.6 Pemeriksaan Penunjang Hiperglikemia...............................................................................24
2.7 prinsip Tatalaksana Hiperglikemia, KAD, Ulkus Diabetikum............................................34
BAB III..........................................................................................................................................56
PENUTUP.....................................................................................................................................56
3.1 Kesimpulan..........................................................................................................................56
3.2 Saran.....................................................................................................................................56
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................................57

ii
iii
BAB I

PENDAHULUAN

Skenario 4

Penurunan Kesadaran

Laki-laki 50 tahun di bawa ke UGD dalam keadaan penurunan kesadaran sejak 1 jam
yang lalu. Pasien adalah penderita kencing manis sejak 15 tahun dan dua bulan terakhir tidak
mau minum obatlagi. Pemeriksaan TTV: TD 80/palpasi, Nadi cepat dan lemah, RR Kussmaul.
Pemeriksaan fisik ditemukan ulkus di telapak kaki kanan.Pemeriksaan penunjang GDS 400 mg
%.Dokter meminta pemeriksaan AGD.

STEP 1.Clarifying Unfamillar Terms


1. AGD

Pemeriksaan analisis gas darah melalui arteri untuk mengetahui keseimbangan ph


saturasi O2 dan bikarbonat.

2. Gula darah sewaktu

Suatu pemeriksaan gula darah yang dilakukan setiap waktu tanpa harus
memperhatikan makanan terakhir yang dimakan.

3. Respirasi kusmaull

Pernapasan yang sangat dalam dan berat.

Keyword:

- Penurunan kesadaran

- Riwayat kencing manis

1
- Ulkus di telapak kaki

- GDS: 400 mg

- AGD

- RR kusmaull

STEP 2.Problem Defenition


1. Bagaimana tatalaksana awal pada pasien penurunan kesadaran pada kasus?
2. Apa diagnosis dan diagnosis banding dari kasus?
3. Mengapa dokter meminta pemeriksaan AGD?
4. Apa saja pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan dan bagaimana interpretasi?
5. Apa hubungan kencing manis dengan penurunan kesadaran?
6. Bagaimana penanganan ulkus di kaki pasien?
7. Apa saja faktor resiko dari kasus?
8. Bagaimana interprestasi dari pemeriksaan TTV pada kasus?
9. Apa saja kemungkinan yang membuat pasien tidak mau minum obat?
10. Apa hubungan ulkus di telapak kaki dengan kencing manis?
11. Apa saja komplikasi akut dan kronis dari kasus?
12. Bagaimana tatalaksana dari hiperglikemi?
13. Bagaimana cara mengedukasi pasien yang sudah mengalami komplikasi?

STEP 3.Brainstorming

2
STEP 4.Analyzing the Problem

STEP 5.Learning Objective


Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan tentang :
1. Diagnosis banding penurunan kesadaran berdasarkan sistem organ : intrakranial, ginjal,
hepar, jantung, dan kelainan metabolik
2. Diagnosis banding penurunan kesadaran berdasarkan metabolik : Hipoglikemia,
gangguan elektrolit, koma diabetikum
3. Diabetes melitus
a. Klasifikasi
b. Patofisioloogi
c. Tatalaksana
4. Komplikasi diabetes melitus akut : hipoglikemia dan hiperglikemia
5. Komplikasi diabetes melitus kronik : mikrovaskular dan makrovaskular
6. Pemeriksaan penunjang hiperglikemia

3
7. Prinsip penatalaksanaan hiperglikemia, KAD, ulkus diabetikum

STEP 6.Self Study

STEP 7. Reporting

4
BAB II

ISI

2.1 Diagnosis Banding Penuruna Kesadaran Berdasarkan Sistem Organ


Diagnosis Banding Penurunan Kesadaran Berdasarkan Sistem Organ

2.1.1 Ginjal

Adapun kelainan dari organ ginjal yang dapat menyebabkan penurunan kesadaran pada
seseorang adalah ensefalopathy uremikum.

A.Ensefalopaty Uremikum

Diabetik nefropati terjadi akibat interaksi dari faktor hemodinamik dan metabolik. Faktor
dinamik yang berkontribusi, antara lain peningkatan tekanan sistemik dan intraregulator, juga
aktivasi jalur hormon vasoaktif termasuk diantaranya sistem renin angiotensin dan endothelin.
Akumulasi dari advanced glycation end products (AGEs) merupakan jalur metabolik yang juga
berperan dalam patogenesis diabetik nefropati. Kedua jalur ini akan menuju pada peningkatan
permeabilitas albumin diginjal dan akumulasi extracellular matrix sehingga terjadi proteinuria,
glomerulosklerosis, dan akhirnya fibrosis tubulointestinal. Uremik ensefalopati terjadi pada
pasien dengan gagal ginjal akut maupun kronik, terutama bila creatinine clearance (CrCl) berada
di bawah 15 ml/menit yang didasari oleh penurunan eksitabilitas dan dapat menyebabkan
penurunan kesadaran. Ensefalopati uremik ini adalah diagnosis eksklusi setelah etiologi
sruktural, vaskular, infeksi, toksik, dan metabolik sudah di investigasi.

2.1.2 Hepar

A. Hipertensi portal

Beberapa konsekuensi penyakit hati, terutama sirosis, paling baik dipahami berdasarkan
beberapa yang kita ketahui tentang aliran darah hati. Yang paling penting dari segi klinis adalah
adanya kapiler venosa portal yang bertekanan rendah pada keadaan normal seluruh parenkim hati
dan pembagian zona fungsional aliran darah portal.

5
Jika proses patologis (mis: fibrosis) menyebabkan peningkatan tekanan vena intra hepatik yang
normalnya rendah, darah akan mengalir balik dan sebagian akan rute alternatif untuk kembali ke
sirkulasi sistemis dengan memintasi hati. Karena itu darah dari saluran cerna, pada hakikatnya
kurang tersaring secara efisien oleh hati sebelum memasuki sirkulasi sistemis. Konsekuensi pirau
portal ke sistemik ini adalah hilangnya fungsi protektif dan pembersihan hati, kelainan
fungsional dalam homeostatis, garam dan air, dan peningkatan besar risiko pendarahan saluran
cerna akibat melebarnya pembuluh darah yang membawa darah memintas hati (varises
esofagus).

Bahkan tanpa penyakit intrinsik pada parenkim hati, pirau darah portal ke sistemik dapat
menyebabkan atau ikut berperan menimbulkan ensefalopati (gangguan status mental akibat tidak
tersaringnya racun oleh saluran cerna), pendarahan saluran cerna (akibat varises esofagus), dan
mal absorbsi lemak dan vitamin larut lemak (akibat hilangnya resirkulasi enterohepatik empedu),
serta koagulopati yang menyertainya.

2.1.3 Jantung

A. Infark Miokard

Adapan kelainan jantung yang dapat menyebakan penurunan kesadaran adalah aritmia
atau gangguan irama jantung. Aritmia adalah variasi-variasi di luar irama normal jantung atau
irama abnormal jantung. Jejas iskemik adalah penyebab tersering irama jantung, normalnya 50-
100 denyut/menit. Infrak miokard terjadi karenakerusakan langsung atau dilatasi rongga-rongga
jantung sehingga terjadinya ketidakstabilan irama jantung (aritmia). Aritmia dapat bermanifestasi
sebagai takikardi (denyut jantung cepat), bradikardi (denyut jantung lambat). Biasanya pasien
mungkin saja tidak mengetahui kelainan irama jantung, atau dapat merasakan adanya “jantung
berpacu” atau palpitasi, hilangnya curah jantung yang adekuat akibat aritmia yang menetap dapat
mengakibatkan rasa seperti melayang/lightheadedness (hampir sinkop), hilang kesadaran
(sinkop), atau kematian mendadak.

2.1.4 Kelainan Metabolik

Kelainan/gangguan metabolik yang dapat menyebabkan penurunan kesadaran pada sesorang


adalah ketoasidosi diabetikum yang dibahas di bawah ini.

6
1.Ketoasidosis Diabetikum

Ketoasidosis diabetic (KAD) adalah fenomena unik pada setiap orang pengidap diabetes akibat
defisiensi insulin absolut atau relatif dan peningkatan hormon kontra regulator yang
mengakibatkan lopolisis berlebihan dengan akibat terbentuknya benda-benda keton dengan
segala konsekuensinya.

Perjalan penyakit merupakan kombinasi dari defisiensi insulin absolut atau relatif dan
peningkatan kadar hormon kontra regulator (glukagon, katekolamin, kortisol, hormon
pertumbuhan, dan somatostatia) akan mengakibatkan akselerasi kondisi katabolik dan inflamasi
berat dengan akibat peningkatan produksi glukosa oleh hati dan ginjal (via glikogenolisis dan
glukoneogenesis) dan gangguan utilisasi glukosa di perifer yang berakibat hiperglikemia dan
hiperosmolaritas. Defisiensi insulin dan peningkatan hormon kontra regulator terutama epinefrin
juga mengaktivasi hormon lipase sensitif pada jaringan lemak yang mengakibatkan peningkatan
lipolisis. Peningkatan lipolisis dan ketogenesis akan memicu ketonemia dan asidosis metabolik.
Populasi benda keton utama terdiri dari 3 - beta hidroksibutirat, asetoasetat, dan aseton. Sekitar
75 - 85 % benda keton terutama adalah 3-beta hidroksibutirat, sementara aseton sendiri
sebenarnya tidak terlalu penting. Walaupun sudah dibentuk banyak benda keton untuk sumber
energi, sel - sel tubuh tetap masih lapar dan terus membentuk glukosa. Hiperglikemia dan
hiperketonemia mengakibatkan diuresis osmotik, dehidrasi, dan kehilangan elektrolit. Perubahan
tersebut akan memicu lebih lanjut hormon stres sehingga akan terjadi perburukan hiperglikemia
dan hiperketonemia. Jika lingkaran setan tersebut tidak diinterupsi dengan pemberian insulin dan
cairan, maka akan terjadi dehidrasi berat dan asidosis metabolik yang fatal. Ketoasidosis akan
diperburuk oleh asidosis laktat akibat perfusi jaringan yang buruk.

Defisiensi insulin relatif terjadi akibat konsentrasi hormon kontra regulator yang meningkat
sebagai respon terhadap kondisi stres seperti sepsis, trauma, penyakit gastrointestinal yang berat,
infark miokard akut, stroke, dan lain - lain. Dengan adanya kondisi stres metabolik tertentu,
keberadaan insulin yang biasanya cukup untuk menekan lipolisis menjadi tidak cukup secara
relatif karena dibutuhkan lebih banyak insulin untuk metabolisme dan untuk menekan lipolisis

7
2.1.5 Intrakranial

Formasi retikuler berperan penting dalam menentukan tingkat kesadaran. RAS adalah jalur
polysynaptic kompleks yang berasal dari batang otak (formasi retikuler) dan hipotalamus dengan
proyeksi ke intalaminar dan nukleus retikular thalamus yang akan memproyeksi kembali secara
menyeluruh dan tidak spesifik pada area luas dari korteks termasuk frontal, parietal, temporal,
dan oksipital. Jaras kolateral kedalamnyatidak hanyadari traktus sensoris, tetapi juga dari traktus
trigeminal, pendengaran, penglihatan, dan penciuman. (Ganong, 2016) Kelainan yang mengenai
lintasan RAS tersebut berada diantara medulla, pons, mesencephalon menuju ke subthalamus,
hipothalamus, thalamus dan akan menimbulkan penurunan derajat kesadaran. (Wijdicks, 2010)
Gambar 1. Gambaran ascending reticular activating system (ARAS) pada batang otak
(brainstem) memperlihatkan proyeksi pada thalamus dan korteks serebral (Ganong, 2016)
Kesadaran ditentukan oleh interaksi kontinu antara fungsi korteks serebri (kualitas) dengan
Ascending Reticular Activating System (ARAS) (kuantitas) yang terletak mulai dari pertengahan
bagian atas pons.ARAS menerima serabut-serabut saraf kolateraldarijaras-
jarassensorisdanmelalui thalamic relay nuclei dipancarkan secara difus ke kedua korteks serebri.
ARAS bertindak sebagai suatu tombol off-on, untuk menjaga korteks serebri tetap sadar (awake)
(Wijdicks, 2010). Respon gangguan kesadaran pada kelainan di ARAS ini merupakan kelainan
yang berpengaruh kepada sistem arousal yaitu respon primitif yang merupakan manifestasi
rangkaian inti-inti di batang otak dan serabutserabut saraf pada susunan saraf. Korteks serebri
merupakan bagian yang terbesar dari susunansarafpusatdimanakeduakorteksini
berperandalamkesadaranakandiriterhadap lingkungan atau input-input rangsangan sensoris
(awareness). Neurotransmiter yang berperan pada ARAS antara lain neurotransmiter kolinergik,
monoaminergik dan Gamma Aminobutyric Acid (GABA).

ETIOLOGI KESADARAN MENURUN

Koma dapat disebabkan oleh penyakit yang menyerang bagian otak secara fokal maupun
seluruh otak secara difus. Penyebab koma secara umum diklasifikasikan dalam intrakranial dan
ekstrakranial (tabel 1). Selain itu, Koma juga dapat disebabkan oleh penyebab traumatik dan
non-traumatik. Penyebab traumatik yang sering terjadi adalah kecelakaan lalu lintas, kekerasan
fisik, dan jatuh. Penyebab non-traumatik yang dapat membuat seseorang jatuh dalam keadaan
koma antara lain gangguan metabolik, intoksikasi obat, hipoksia global, iskemia global, stroke

8
iskemik, perdarahan intraserebral, perdarahan subaraknoid, tumor otak, kondisi inflamasi, infeksi
sistem saraf pusat seperti meningitis, ensefalitis dan abses serta
gangguanpsikogenik.Keadaankomadapatberlanjutmenjadikematianbatangotakjikatidakadaperbai
kan keadaan klinis.

Tabel 1. Etiologi Penurunan Kesadaran (Howlett, 2012) Site/aetiology Disorder Intracranial


Focal : - stroke( infarct, ICH, SAH )

- infections( brain abscess )

-Trauma haematoma (ICH, EDH, SDH)

-Tumours( primary or secondary )

Diffuse :

- infections ( HIV, meningitis, malaria, encephalitis)

- seizures( post ictal/status epilepticus )

-Trauma traumatic( brain injury )

Extracranial hypoxia cardiac, respiratory, renal, shock, anaemia metabolic/toxic hyper-


hypoglycaemia, organ failure, hyponatraemia overdose, opiates, alcohol hypertension
encephalopathy, eclampsia

2.2 Diagnosis Banding Penurunan Kesadaran Metabolik


Hipoglikemia (perkeni 2019)

Hipoglikemia ditandai dengan menurunnya kadar glukosa darah <70 mg/dL.


Hipoglikemia adalah penurunan konsentrasi glukosa serum dengan atau tanpa adanya gejala-
gejala sistem autonom, seperti adanya whipple’s triad:[ CITATION aru15 \l 1033 ]

 Terdapat gejala-gejala hipoglikemia


 Kadar glukosa darah yang rendah
 Gejala berkurang dengan pengobatan

9
Sebagian pasien dengan diabetes dapat menunjukkan gejala glukosa darah rendah tetapi
menujukkan glukosa darah normal. Di lain pihak, tidak semua pasien diabetes mengalami gejala
hipoglikemia meskipun pada pemeriksaan kadar glukosa darahnya rendah. Penurunan kesadaran
yang terjadi pada penyandang diabetes harus selalu dipikirkan kemungkinan disebabkan oleh
penggunaan sulfonilurea dan insulin. Hipoglikemia akibat sulfonilurea dapat berlangsung lama,
sehingga harus diawasi sampai seluruh obat diekskresi dan waktu kerja obat telah habis.
Pengawasan glukosa darah pasien harus dilakukan 24-72 jam, terutama pada pasien dengan
gagal ginjal kronik atau yang mendapatkan terapi dengan OHO kerja panjang. Hipoglikemia
pada usia lanjut merupakan suatu hal yang harus dihindari, mengingat dampaknya yang fatal atau
terjadinya kemunduran mental bermakna pada pasien. Perbaikan kesadaran pada DM usia lanjut
sering lebih lambat dan memerlukan pengawasan yang lebih lama[ CITATION aru15 \l 1033 ].

Tanda dan gejala hipoglikemia pada orang dewasa

Tanda Gejala
Rasa lapar, berkeringat, Pucat, takikardia, widened
Autonomik gelisah, paresthesia, palpitasi, pulse pressure
tremulousness
Lemah, lesu, dizzines, Cortical-blindness,
confussion, pusing, perubahan hipotermia, kejang, koma
Neuroglikopenik sikap, gangguan kognitif,
koma, pandangan kabur,
diplopia

Hipoglikemia dapat diklasifikasikan kedalam beberapa bagian terkait dengan derajat


keparahannya, yaitu:

 Hipoglikemia ringan : pasien tidak membutuhkan bantuan orang lain untuk pemberian
glukosa per-oral
 Hipoglikemia berat : pasien membutuhkan bantuan orang lain untuk pemberian glukosa
intravena, glukagon, atau resusitasi lainnya.

10
Gangguan elektrolit

a. Natrium
Natrium berperan dalam menentukan status volume air dalam tubuh.
Keseimbangan natrium yang terjadi dalam tubuh diatur oleh dua mekanisme yaitu
pengatur:

 Kadar natrium yang sudah tetap pada batas tertentu (Set-Point)


 Keseimbangan antara natrium yang masuk dan yang keluar (Steady-State)
Nilai rujukan kadar natrium pada: (6)
- serum bayi : 134-150 mmol/L
- serum anak dan dewasa : 135-145 mmol/L
- urine anak dan dewasa : 40-220 mmol/24 jam
- cairan serebrospinal : 136-150 mmol/L
- feses : kurang dari 10 mmol/hari

1. Hiponatremia

Hiponatremi didefinisikan sebagai natrium serum <135 meq/L.


Hiponatremia terjadi bila :
a) Jumlah asupan air melebihi kemampuan ekskresi, b)  Ketidakmampuan
menekan sekresi ADH misalnya pada kehilangan cairan melalui saluran cerna
atau gagal jantung atau sirosis hati atau pada SIADH (syndrome of inappropriate
ADHsecretion).

Menurut waktu terjadinya hiponatremia, maka hiponatremia dapat dibagi dalam :

 Hiponatremia kronik, disebut kronik bila kejadian hiponatremia


berlangsung lambat yaitu lebih dari 48 Jam. Pada keadaan ini tidak terjadi
gejala yang berat seperti penurunan kesadaran atau kejang, gejala yang

11
terjadi hanya ringan seperti lemas atau mengantuk. Kelompok ini disebut
juga sebagai hiponatremia asimptomatik.

 Hiponatremia akut, disebut akut bila kejadian hiponatremia berlangsung


cepat yaitu kurang dari 48 jam. Pada keadaan ini akan terjadi gejala yang
berat seperti penurunan kesadaran dan kejang. Hal ini terjadi akibat adanya
edema sel otak karena air dari ekstrasel masuk ke intrasel yang
osmolalitasnya lebih tinggi. Kelompok ini disebut juga sebagai
hiponatremia simptomatik atau hiponatremia berat.

Gejala Klinis

Beratnya gejala klinis hiponatremia tergantung pada rendahnya kadar natrium dan
cepatnya penurunan kadar natrium serum tersebut. Hiponatremia kronik ringan bisa saja
tidak bergejala. Kadar natrium serum < 125 mEq/L dapat menimbulkan letargi,
kelelahan, anoreksia, mual, dan kram otot. Dengan memburuknya hiponatremia, gejala-
gejala susunan saraf pusat mengemuka dan bervariasi dari kebingungan hingga koma dan
kejang. Terdapat risiko kematian bila kadar natrium serum < 110 mEq/L.

2. Hipernatremia
Hipernatremi adalah keadaan dimana kadar natrium dalam darah lebih dari
145mEq/L. Respons fisiologis hipernatremia adalah meningkatnya pengeluaran ADH
dari hipotalamus sehingga ekskresi urin berkurang oleh karena saluran air (AQP2) di
bagian apikal duktus koligentes bertambah sehingga osmolalitas urin meningkat.
Hipernatremia terjadi bila : 

 Adanya defisit cairan tubuh akibat ekskresi air melebihi ekskresi natrium.
Misalnya pada pengeluaran air melalui 'insensible water loss' atau keringat;
osmotik diare akibat pemberian laktulose atau sorbitol; diabetes insipidus
sentral maupun nefrogenik; diuresis osmotik akibat glukosa atau manitol;

12
gangguan pusat rasa haus di hipotalamus akibat tumor atau gangguan
vaskular sehingga pengeluaran air melalui 'insensible water loss' atau
keringat tidak direspon dengan keinginan minum.

 Penambahan natrium yang melebihi jumlah cairan dalam tubuh misalnya


koreksi bikarbonat berlebihan pada asidosis metabolik. Pada keadaan ini tidak
terjadi deplesi volume sehingga natrium yang berlebihan akan diekskresikan
dalam urin menyebabkan kadar Na dalam urin lebih dari 100 meq/L.

 Masuknya air tanpa elektrolit ke dalam sel. Misalnya pada latihan olahraga
yang berat, asam laktat dalam sel meningkat sehingga osmolalitas sel juga
meningkat dan air dari ekstrasel akan masuk ke intrasel. Biasanya kadar
natrium akan kembali normal dalam waktu 5-15 menit setelah istirahat.

Gejala klinis yang ditimbulkan pada keadan peningkatan natrium plasma secara
akut hingga di atas 158 meq/L. Gejala yang ditimbulkan akibat mengecilnya volume otak
oleh karena air keluar dari dalam sel. Pengecilan volume ini menimbulkan robekan pada
vena menyebabkan perdarahan lokal di otak dan perdarahan subaraknoid. Gejala dimulai
dari letargi, lemas, twitching, kejang dan akhirnya koma. Kenaikan akut di atas 180
meq/L dapat menimbulkan kematian.

b. Kalium
Kalium merupakan kation yang memiliki jumlah yang sangat besar dalam tubuh
dan terbanyak berada di intrasel. Kalium berfungsi dalam sintesis protein, kontraksi otot,
konduksi saraf, pengeluaran hormon, transpor cairan, perkembangan janin. Nilai rujukan
kalium serum pada: (4,7)

 serum bayi : 3,6-5,8 mmol/L


 serum anak : 3,5-5,5 mmo/L
 serum dewasa : 3,5-5,3 mmol/L
 urine anak : 17-57 mmol/24 jam

13
 urine dewasa : 40-80 mmol/24 jam
 cairan lambung : 10 mmol/L

1. Hipokalemia
Disebut hipokalemia bila kadar kalium dalam plasma kurang dari 3,5 meq/L.
Hipokalemia merupakan kejadian yang sering ditemukan dalam klinik. Penyebab
hipokalemia dapat dibagi sebagai berikut 1). Asupan kalium yang kurang. 2)
Pengeluaran kalium yang berlebihan melalui saluran cerna atau ginjal atau keringat.
3) Kalium masuk ke dalam sel (translokasi).
Pengeluaran kalium yang berlebihan dari saluran cerna antara lain muntah,
selang nasogastrik, diare atau pemakaian pencahar. Akibat muntah atau selang
nasogastrik, terjadi alkalosis metabolik sehingga banyak bikarbonat yang difiltrasi
glomerulus tidak direabsorpsi oleh tubulus. Bikarbonat yang berlebih di lumen
tubulus akan mengikat kalium di duktus koligentes. Adanya hiperaldosteron
sekunder dari hipovolemia akibat muntah akan meningkatkan ekskresi kalium
melalui saluran kalium di duktus koligentes. Kesemuanya ini akan meningkatkan
ekskresi kalium melalui urin dan terjadi hipokalemi.
Kalium masuk ke dalam sel dapat terjadi pada alkalosis ekstrasel, pemberian
insulin, peningkatan aktivitas beta adrenergik (pemakaian p2-agonis), paralisis
periodik hipokalemik, hipotermia.
Pada asupan kalium yang kurang, orang tua yang hanya makan roti panggang
dan teh, peminum alkohol yang berat sehingga jarang makan dan tidak makan
dengan baik, atau pada pasien sakit berat yang tidak dapat makan dan minum dengan
baik melalui mulut atau disertai oleh masalah lain misalnya pada pemberian diuretik
atau pemberian diet rendah kalori pada program menurunkan berat badan dapat
menyebabkan hipokalemia.

Gejala Klinis
Berupa : kelemahan pada otot, perasaan lelah, nyeri otot, 'restless legs
syndrome' merupakan gejala pada otot yang  timbul pada kadar kalium kurang dari 3

14
meq/L. Penurunan yang lebih berat dapat menimbulkan kelumpuhan atau
rabdomiolisis.
Efek hipokalemia pada ginjal berupa timbulnya vakuolisasi pada tubulus
proksimal dan distal. Juga terjadi gangguan pemekatan urin sehingga menimbulkan
poliuria dan polidipsia. Hipokalemia juga akan meningkatkan produksi NH4 dan
produksi bikarbonat di tubulus proksimal yang akan Menimbulkan alkalosis
metabolik. Meningkatnya NH4 (amonia) dapat mencetuskan koma pada pasien
dengan gangguan fungsi hati.

2. Hiperkalemia
Disebut hiperkalemia bila kadar kalium dalam plasma lebih dari 5 meq/L.
Dalam keadaan normal jarang terjadi hiperkalemia oleh karena adanya mekanisme
adaptasi oleh tubuh.
Penyebab hiperkalemia dapat disebabkan oleh: 1. Keluarnya kalium dari
intrasel ke ekstrasel. 2. Berkurangnya ekskresi kalium melalui ginjal. Kalium keluar
dari sel dapat terjadi pada keadaan asidosis metabolik bukan oleh asidosis organik
(ketoasidosis, asidosis laktat), defisiensi insulin, katabolisme jaringan meningkat,
pemakaian obat penghambat-p adrenergik, pseudo hiperkalemia akibat pengambilan
contoh darah di laboratorium yang mengakibatkan sel darah merah lisis dan pada
latihan olahraga. Berkurangnya ekskresi kalium melalui ginjal terjadi pada keadaan
hipoaldosteronisme gagal ginjal, deplesi volume sirkulasi efektif, pemakaian
siklosporin.
Dalam gejala klinis, hiperkalemia ini dapat meningkatkan kepekaan membran sel
sehingga dengan sedikit perubahan depolarisasi, potensial aksi lebih mudah terjadi.
Dalam klinik ditemukan gejala akibat gangguan konduksi listrik jantung, kelemahan otot
sampai dengan paralisis sehingga pasien merasa sesak napas. Gejala ini timbul pada
kadar K > 7 meq/L atau kenaikan yang terjadi dalam waktu cepat. Dalam keadaan
asidosis metabolik dan hipokalsemi, mempermudah timbulnya gejala klinik hiperkalemia.

15
c. Fosfor
Homeostatis normal mempertahankan kosentrasi serum fosfat antara 2,5 - 4,5 mg/dL.
Sekitar 50-65% fosfor dalam usus diabsorbsi secara aktif bergabung dengan natrium
terutama di daerah yeyunum melalui kotransporter Na-P (NaPi2b) yang identik dengan
NaPi2a di tubulus ginjal. Absorbsi bergantung pada gradien natrium antara mukosa usus dan
bagian basolateral sel usus oleh pompa NaKATPase. Adanya fosfor dalam usus akan
membantu absorbsi kalsium, akan tetapi absorbsi fosfor dihambat oleh asupan kalsium yang
tinggi. Absorbsi fosfor juga dihambat oleh antasid aluminium hidroksida. Vitamin-D3
menstimulasi absorbsi fosfor dalam usus.

1. Hipofosfatemia 
Hipofosfatemia adalah kadar serum fosfat < 4,5 mg/dL. Ada tiga hal yang
dapat menyebabkan berkurangnya kadar fosfor dalam darah antara lain: (4)

 Pertama, redistribusi fosfor dari ekstrasel ke dalam sel. Meningkatnya


sekresi insulin khususnya pada realimentasi. Pemberian insulin atau
glukosa pada orang dengan keadaan kekurangan fosfor misalnya
ketoasidosis diabetik, hiperglikemi nonketotik, pada keadaan malnutrisi,
pasien dengan realimentasi. Alkalosis respiratorik akut,  dimana pada
keadaan ini, CO dari dalam sel akan keluar dari sel sehingga menstimulasi
2

aktivitas fosfofruktokinase yang kemudian meningkatkan glikolisis.


Aktivitas ini banyak menggunakan fosfor. (4)

 Kedua, absorbsi melalui usus berkurang seperti pada : asupan fosfor


rendah, menggunakan antasid yang mengandung aluminium atau
magnesium dan diare kronik, steatorrea. (4)

 Ketiga, ekskresi melalui urin meningkat seperti pada: hiperparatiroidisme


primer atau sekunder, defisiensi vitamin-D atau resisten terhadap vitamin-
D primary renal phosphate wasting dan sindrom Fanconi. (4)

16
Gejala yang ditimbulkan akibat hipofosfatemia baru timbul pada saat
kadar fosfor darah kurang dari 2 mg/dl dan gejala berat seperti rabdomiolisis baru
timbul bila kadar fosfor kurang dari 1 mg/dl. (4)

 Hiperkalsiuri, dimana hipofosfatemi yang lama akan menghambat reabsorpsi


kalsium dan magnesium dalam tubulus terhambat. Di samping itu terjadi
resorbsi kalsium tulang yang dimediasi oleh peningkatan kalsitriol akibat
induksi oleh hipofosfatemi.
 Ensefalopati metabolik, timbul gejala parestesi, berianjut kearah gejala
delirium, kejang dan koma. Gejala ini timbul akibat iskemi jaringan.
 Gejala gangguan otot skeletal dan otot polos
 Kerusakan fungsi sel darah merah
 Gangguan fungsi sel darah putih
 Gangguan fungsi trombosit

Pendekatan diagnostik hipofosfatemi dapat dilakukan dengan mengukur


ekskresi fosfor dalam urin 24 jam atau menghitung Ekskresi Fraksional Fosfor
(EFF) dalam urin sewaktu.

2. Hiperfosfatemia
Ekskresi fosfor melalui urin sangat efisien, dengan sedikit saja kenaikan
fosfor darah, ekskresi melalui urin akan meningkat. Hiperfosfatemi disebabkan
oleh terutama disebabkan oleh ketidakmampuan ginjal dalam ekskresi fosfor:
 Jumlah fosfor yang meningkat tinggi dalam darah pada sindrom lisis
tumor, rabdomiolisis, asidosis laktat, ketoasidosis, pemberian fosfor
berlebihan.
 Gangguan fungsi ginjal, akut atau kronik.
 Reabsorpsi fosforyang meningkat melalui tubulus pada hipoparatiroid,
akromegali, pemberian bifosfonat, familial tumoral calcinosis.
 Pseudohiperfosfatemi pada hiperglobulinemi (mieloma multipel),
hiperlipidemia, hemolisis, hiperbilirubinemia.

17
d. Magnesium 

Kadar normal magnesium yaitu 1,70 – 2,3 mg/dL. Peningkatan atau penurunan kadar
magnesium dalam darah berturutan akan meningkatkan atau menurunkan ekskresi
magnesium melalui ginjal. Penambahan volume cairan ekstrasel yang akut dan kronik akan
meningkatkan ekskresi magnesium melalui ginjal. Pemberian diuretik seperti manitol,
asetazolamid, tiasid, furosemid dan asam etakrinik akan meningkatkan ekskresi magnesium
dengan menghambat reabsorpsi di tubulus. Tidak ada hormon yang diketahui dapat
mempengaruhi keseimbangan magnesium dalam tubuh kita. Hiperkalsemia akan
meningkatkan ekskresi magnesium dalam urin. Ekskresi magnesium mempunyai pola
diurnal.

1. Hipermagnesemia 
Dikatakan hipermagnesemia bila kadar serum magnesium > 2,3 mg/dl.
Hipermagnesemia dapat terjadi pada keadaan gangguan fungsi ginjal. Pada pasien
gagal ginjal terminal, kadar magnesium serum adalah 2-3 meq/L (2,4-3,6 mg/dl).
Pemberian antasid yang mengandung magnesium pada pasien gangguan fungsi ginjal
dapat menimbulkan gejala hipermagnesemia. Pemberian magnesium berlebihan
melebihi kemampuan ekskresi ginjal atau pemberian MgS04 sebagai laksan dengan
cara melalui oral maupun suppositoria dapat menimbulkan hipermagnesemi.
Pemberian laksan ini pada pasien gagal ginjal dapat bersifat fatal.
Kadar magnesium plasma sebesar 4,8-7,2 mg/dl, menimbulkan gejala nausea,
flushing, sakit kepala, letargi, ngantuk dan penurunan refiek tendon. Kadar
magnesium plasma sebesar 7,2-12 mg/dl, menimbulkan gejala somnolen,
hipokalsemi, refiek tendon hilang, hipotensi, bradikardia, perubahan EKG. Kadar
magnesium plasma sebesar lebih dari 12 mg/dl, menimbulkan gejala kelumpuhan
otot, kelumpuhan pernapasan, blok jantung komplit, henti jantung. Seluruh gejala ini
ditimbulkan oleh karena gangguan neuromuskular, kardiovaskular dan efek

18
magnesium sebagai penghambat saluran kalsium (calcium-channel blocker) dan
menurunkan sekresi hormon paratiroid yang berakibat hipokalsemia.

Koma Hepatikum
Hati merupakan salah satu organ yang sangat berperan penting dalam mengatur
metabolisme tubuh, yaitu pada proses anabolisme atau sintesis bahan-bahan yang penting seperti
sintesis protein, pembentukan glukosa serta proses katabolisme yaitu dengan melakukan
detoksikasi bahan-bahan seperti amonia, berbagai jenis hormon, obat obatan, dan sebagainya.
Selain itu hati Juga berperan sebagai penyimpan bahan-bahan seperti glikogen dan vitamin serta
memelihara keseimbangan aliran darah splanknikus.

Adanya kerusakan hati akan mengganggu fungsifungsi tersebut sehingga dapat


menyebabkan terjadinya gangguan sistem saraf otak akibat zat-zat yang bersifat toksik. Keadaan
klinis gangguan sistem saraf otak pada penyakit hati tersebut merupakan gangguan
neuropsikiatrik yang disebut sebagai koma hepatik atau ensefalopati hepatik.

Perjalanan klinis koma hepatik dapat subklinis, apabila tidak begitu nyata gambaran
klinisnya dan hanya dapat diketahui dengan cara-cara tertentu. Angka kekerapan (prevalensi)
ensefalopati subklinis berkisar antara 30% sampai 88% pada pasien sirosis hati.

Koma Diabetik
(Sudoyo, aru W. Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid II edisi VI. jakarta: interna publishing,
2014)

Salah satu penurunan kesadaran pada diabetes melitus adalah ketoasidosis diabetikum
atau disingkat dengan (KAD). 

KAD adalah fenomena unik pada seorang pengidap diabetes akibat defisiensi insulin
absolut atau relatif dan peningkatan hormon kontra regulator, yang mengakibatkan lipolisis
berlebihan dengan akibat terbentuknya bendabenda keton dengan segala konsekuensinya. KAD

19
perlu dikenali dan dikelola segera karena jika terlambat maka akan meningkatkan morbiditas dan
mortalitas dengan perawatan yang mahal.

Gejala dan tanda ketoasidosis dapat dikelompokan menjadi dua : akibat hiperglikemia
dan akibat ketosis.

Defisiensi insulin menyebabkan berkurangnya penggunaan glukosa oleh jaringan tepi dan
bertambahnya glukoneogenesis dihati, keduanya menyebabkan hiperglikemia.Defisiensi insulin
menyebabkan bertambahnya kadar glukagon dan perubahan rasio ini menimbulkan peningkatan
lipolisis dijaringan lemak serta ketogenesis di hati. Lipolisis terjadi karena defisiensi insulin
merangsang kegiatan lipase di jaringan lemak dengan akibat bertambahnya pasokan asam lemak
bebas ke hati. Di dalam mitokondria hati enzim karnitil asil transferase I terangsang untuk
mengubah asam lemak bebas ini menjadi benda keton, sehingga mengoksidasinya CO2  atau
menimbunnya menjadi trigliserida. Proses ketosis ini menghasilkan asam betahidroksibutirat dan
asam asetoasetat, yang menyebabkan asidosis. Aseton tidak berperan dalam kejadian ini,
walaupun penting untuk diagnosis ketoasidosis. Defisiensi insulin yang menyebabkan
ketoasidosis, pada manusia ternyata defisiensi relatif, karena pada waktu bersamaan juga terjadi
penambhan hormon stres yang kerjanya berlawanan dengan insulin.

Manifestasi klinis
Ditemukan pada pasien dengan keluhan poliuria, polidipsi, rasa lelah, kram otot, mual muntah,
dan nyeri perut. Pada keadaan yang berat dapat ditemukan keadaan penurunan kesadaran sampai
koma. Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan tanda-tanda dehidrasi, nafas Kussmaul jika
asidosis berat, takikardi, hipotensi atau syok, flushing, penurunan berat badan, dan tentunya
adalah tanda dari masing-masing penyakit penyerta.

2.3 Diabetes melitus

A. Klasifikasi

20
B. Patofisiologi
Diabetes melitus merupakan penyakit yang disebabkan oleh adanya kekurangan isulin
secara relatif maupun absolut. Defisiensi insulin dapat terjadi melalui 3 jalur, yaitu:

a. Rusaknya sel-sel beta pankreas karena pegaruh dari luar ( virus, zat kimia, dll)
b. Desensitasi atau penurunan reseptor glukosa pada kelenjar pankreas
c. Desensitasi atau kerusakan reseptor inuslin di jaringan perifer.
Diabetes tipe 1 adalah penyakit di mana tubuh tidak menghasilkan cukup insulin untuk
mengontrol kadar gula darah. Diabetes tipe 1 sebelumnya disebut diabetes tergantung insulin.
( Fatimah Noor R. 2015)

Schwartz pada tahun 2016 menyampaikan, bahwa tidak hanya otot, liver dan sel beta
pankreas saja yang berperan sentral dalam patogenesis penderita DM tipe-2 tetapi terdapat organ
lain yang berperan yang disebutnya sebagai the egregious eleven. [ CITATION Soe19 \l 1033 ]

21
Secara garis besar patogenesis DM tipe-2 disebabkan oleh sebelas hal (egregious eleven)
1. Kegagalan sel beta pancreas: Pada saat diagnosis DM tipe-2 ditegakkan, fungsi sel
beta sudah sangat berkurang. [ CITATION Soe19 \l 1033 ]
2. Difungsi sel Alpha Pancreas: Sel α pancreas merupakan organ ke-6 yang berperan
dalam hiperglikemia dan sudah diketahui sejak 1970. Sel α berfungsi dalam sintesis
glukagon yang dalam keadaan puasa kadarnya di dalam plasma akan meningkat.
Peningkatan ini menyebabkan HGP dalam keadaan basal meningkat secara signifikan
dibanding individu yang normal. [ CITATION Soe19 \l 1033 ]
3. Sel lemak: Sel lemak yang resisten terhadap efek antilipolisis dari insulin,
menyebabkan peningkatan proses lipolysis dan kadar asam lemak bebas (FFA=Free
Fatty Acid) dalam plasma. Penigkatan FFA akan merangsang proses
glukoneogenesis, dan mencetuskan resistensi insulin di liver dan otot. FFA juga akan
mengganggu sekresi insulin. Gangguan yang disebabkan oleh FFA ini disebut sebagai
lipotoxocity. [ CITATION Soe19 \l 1033 ]
4. Otot: Pada penderita DM tipe-2 didapatkan gangguan kinerja insulin yang multiple di
intramioselular, akibat gangguan fosforilasi tirosin sehingga timbul gangguan
transport glukosa dalam sel otot, penurunan sintesis glikogen, dan penurunan oksidasi
glukosa. [ CITATION Soe19 \l 1033 ]

22
5. Hepar : Pada penderita DM tipe-2 terjadi resistensi insulin yang berat dan memicu
gluconeogenesis sehingga produksi glukosa dalam keadaan basal oleh liver
(HGP=hepatic glucose production) meningkat. [ CITATION Soe19 \l 1033 ]
6. Otak: Insulin merupakan penekan nafsu makan yang kuat. Pada individu yang obes
baik yang DM maupun non-DM, didapatkan hiperinsulinemia yang merupakan
mekanisme kompensasi dari resistensi insulin. Pada golongan ini asupan makanan
justru meningkat akibat adanya resistensi insulin yang juga terjadi di otak. [ CITATION
Soe19 \l 1033 ]
7. Kolon/microbiota :perubahan komposisi microbiota pada kolon berkontribusi dalam
keadaan hiperglikemia. Microbiota usus terbukti berhubungan dengan DM tipe1, DM
tipe 1, dan obesitas sehingga menjelaskan bahwa hanya sebagian individu berat badan
berlebih akan berkembang. [ CITATION Soe19 \l 1033 ]
8. Usus halus: Glukosa yang ditelan memicu respon insulin jauh lebih besar dibanding
kalau diberikan secara intravena. Efek yang dikenal sebagai efek incretin ini
diperankan oleh 2 hormon GLP-1 (glucagon-like polypeptide-1) dan GIP (glucose-
dependent insulinotrophic polypeptide atau disebut juga gastric inhibitory
polypeptide). Pada penderita DM tipe-2 didapatkan defisiensi GLP-1 dan resisten
terhadap GIP. Disamping hal tersebut incretin segera dipecah oleh keberadaan ensim
DPP-4, sehingga hanya bekerja dalam beberapa menit. Obat yang bekerja
menghambat kinerja DPP-4 adalah kelompok DPP-4 inhibitor. Saluran pencernaan
juga mempunyai peran dalam penyerapan karbohidrat melalui kinerja ensim alfa-
glukosidase yang memecah polisakarida menjadi monosakarida yang kemudian
diserap oleh usus dan berakibat meningkatkan glukosa darah setelah makan.
[ CITATION Soe19 \l 1033 ]
9. Ginjal: Ginjal merupakan organ yang diketahui berperan dalam pathogenesis DM
tipe-2. Ginjal memfiltrasi sekitar 163 gram glukosa sehari. Sembilan puluh persen
dari glukosa terfiltrasi ini akan diserap kembali melalui peran SGLT-2 (Sodium
Glucose co- Transporter) pada bagian convulated tubulus proksimal. Sedang 10%
sisanya akan di absorbsi melalui peran SGLT-1 pada tubulus desenden dan asenden,
sehingga akhirnya tidak ada glukosa dalam urine. Pada penderita DM terjadi
peningkatan ekspresi gen SGLT-2. Obat yang menghambat kinerja SGLT-2 ini akan

23
menghambat penyerapan kembali glukosa di tubulus ginjal sehingga glukosa akan
dikeluarkan lewat urine. [ CITATION Soe19 \l 1033 ]
10. Lambung :penurunan produksi amilin pada diabetes merupakan kosekuensi kerusakan
sel beta pancreas. Penurunan kadar amilin menyebabkan percepatan pengosongan
lambung dan peningkatan absorbs glukosa di usus halus, yang berhubungan dengan
peningkatan kadar glukosa postprandial. [ CITATION Soe19 \l 1033 ]
11. System imun :terdapat bukti bahwa sitokin menginduksi respon fase akut (disebut
inflamasi derajat rendah, merupakan bagian dari aktivasi system imun bawaan/innate)
yang berhubungan kuat dengan pathogenesis DM tipe 2 dan berkaitan dengan
komlikasi seperti dyslipidemia dan aterosklerosis. Inflamasi sistemik derajat rendah
berperan dalam induksi stress pada endoplasma akibat peningkatan kebutuhan
metabolism untuk insulin. DM tipe 2 ditandai dengan resistensi insulin perifer dan
penurunan produksi insulin, disertai dengan inflamasi kronik derajat rendah pada
jaringan perifer seperti adiposa, hepar dan otot. [ CITATION Soe19 \l 1033 ]

2.4 Komplikasi Diabetes Melitus Akut


2.4.1 . Hiperglikemi

A. Ketoasidosis Diabetik (KAD)

Ketoasidosis diabetik (KAD) adalah salah satu komplikasi akut diabetes yang sangat
berhubungan dengan kualitas edukasi yang diberikan kepada seorang pengidap diabetes melitus
(DM) tipe 2, sementara pada DM tipe 1, seringkali ketoasidosis merupakan pintu awal diagnosis.
Pemakaian insulin seringkali menjadi sebab DM tipe 1 jatuh pada keadaan KAD. Pada beberapa
pasien yang dianggap DM tipe 2, kadang-kadang tidak ditemukan pencetus yang jelas dan
setelah diberikan insulin dalam periode pendek keadaannya cepat membaik.
Kombinasi dari defisiensi insulin absolut atau relatif dan peningkatan kadar hormon
kontra regulator (glukagon, katekolamin, kortisol, hormon pertumbuhan, dan somatostatin) akan
mengakibatkan akselerasi kondisi katabolik dan inflamasi berat dengan akibat peningkatan
produksi glukosa oleh hati dan ginjal (via glikogenolisis dan glukoneogenesis) dan gangguan
utilisasi glukosa di perifer yang berakibat hiperglikemia dan hiperosmolaritas. Hanya insulin
yang dapat menginduksi transport glukosa kedalam sel, memberi signal untuk proses perubahan

24
glukosa menjadi glikogen, menghambat lipolisis pada sel lemak (menekan pembentukan asam
lemak bebas).
Defisiensi insulin dan peningkatan hormon kontraregulator terutama epinefrin juga
mengaktivasi hormone lipase sensitif pada jaringan lemak yang mengakibatkan peningkatan
lipolisis. Peningkatan lipolisis dan ketogenesis akan memicu ketonemia dan asidosis metabolik.
Populasi benda keton utama terdiri dari 3-beta hidroksibutirat,asetoasetat, dan aseton. Sekitar 75-
85% benda keton terutama adalah 3-beta hidroksibutirat, sementara aseton sendiri sebenarnya
tidak terlalu penting. Walaupun sudah dibentuk banyak benda keton untuk sumber energi, sel-sel
tubuh tetap masih lapar dan terus membentuk glukosa.
Hiperglikemia dan hiperketonemia mengakibatkan dieresis osmotik, dehidrasi, dan
kehilangan elektrolit. Perubahan tersebut akan memicu lebih lanjut hormon stres sehingga akan
terjadi perburukan hiperglikemia dan hiperketonemia. Jika lingkaran setan tersebut tidak
diinterupsi dengan pemberian insulin dan cairan, maka akan terjadi dehidrasi berat dan asidosis
metabolik yang fatal. Ketoasidosis akan diperburuk oleh asidosis laktat akibat perfusi jaringan
yang buruk.
Defisiensi insulin relatif terjadi akibat konsentrasi hormon kontra regulator yang
meningkat sebagai respon terhadap kondisi stres seperti sepsis, trauma, penyakit gastrointestinal
yang berat, infark miokard akut, stroke, dan Iain-Iain. Dengan adanya kondisi stres metabolik
tertentu, keberadaan insulin yang biasanya cukup untuk menekan lipolisis menjadi tidak cukup
secara relatif karena dibutuhkan lebih banyak insulin untuk metabolisme dan untuk menekan
lipolisis. Trias KAD yaitu,hiperglikemi,ketosis dan asidosis. Pada pemeriksaan fisik dapat
ditemukan tanda-tanda dehidrasi, nafas Kussmaul jika asidosis berat, takikardi, hipotensi atau
syok.

25
B. Hiperosmolar hiperglikemia nonketotik

Suatu keadaan dimana terjadi peningkatan kadar glukosa melebihi ambang ginjal untuk
reabsorpsi glukosa. Hal ini menyebabkan diuresis osmotic yang secara klinis bermanifestasi
sebagai polyuria, termasuk nokturia. Sindrom HHNK ditandai oleh hiperglikemia, hiperosmolar
tanpa disertai adanya ketosis. Gejala klinis utama adalah dehidrasi berat, hiperglikemia berat dan
seringkali disertai gangguan neurologis dengan atau tanpa adanya ketosis. HHNK biasanya
terjadi pada orang tua dengan DM, yang mempunyai penyakit penyerta yang mengakibatkan
menurunnya asupan makanan.
Faktor yang memulai timbulnya HHNK adalah dieresis glukosuria. Glikosuria
mengakibatkan kegagalan pada kemampuan ginjal dalam mengkonsentrasi urin, yang akan

26
semakin memperberat derajat kehilangan air. Pada keadaan normal, ginjal berfungsi
mengeliminasi glukosa di atas ambang batas tertentu. Namun demikian, penurunan volume
intravascular atau penyakit ginjal yang telah sebelumnya akan melajukan laju filtrasi glomerular,
menyebabkan konsentrasi glukosa meningkat. Hilangnya air yang lebih banyak dibanding
natrium menyebabkan keadaan hiperosmolar. Insulin yang tidak cukup untuk menurunkan
konsentrasi glukosa darah, terutama jika terdapat resistensi insulin.

Tidak tercukupinya kebutuhan insulin menybabkan timbulnya hiperglikemia. Penurunan


pemakaian glukosa oleh jaringan perifer termasuk oleh sel otot dan sel lemak, ketidakmampuan
menyimpan glukosa sebagai glikogen pada otot dan hati, dan stimulasi glucagon pada sel hati
pada sel hati untuk gluconeogenesis mengakibatkan semakin naiknya konsentrasi glukosa darah.
Pada keadaan dimana insulin tidak mencukupi, maka besarnya kenaikan konsentrasi glukosa
darah juga tergantung dari status hidrasi dan masukan karbohidrat oral.

Hiperglikemia mengakibatkan timbulnya diuresis osmotic, dan mengakibatkan menurunnya


cairan tubuh total. Dalam ruang vascular, dimana gluconeogenesis dan masukan makanan terus
menambah glukosa, kehilangan cairan akan semakin mengakibatkan hiperglikemia dan
hilangnya volume sirkulasi. Hiperglikemia dan peningkatan konsentrasi protein plasma yang
mengikuti hilangnya cairan intravascular menyebabkan keadaan hiperosmolar. Keadaaan
hyperosmolar ini memicu sekresi hormon anti diuretik. Keadaan hiperosmolar ini juga akan
memicu timbulnya rasa haus.

Adanya keadaan hiperglikemia dan hyperosmolar ini jika kehilangan cairan tidak
dikompensasi dengan masukan cairan oral maka akan timbul dehidrasi dan kemudian
hypovolemia. Hypovolemia akan mengakibatkan hipotensi dan nantinya akan menyebabkan
gangguan pada perfusi jaringan. Keadaan koma merupakan suatu stadium terakhir dari proses
hiperglikemik ini, dimana telah timbul gangguan elektrolit berat dalam kaitannya dengan
hipotensi.

2.4.1 Hipoglikemi

27
Hipoglikemi secara definisi didasarkan rendahnya kadar glukosa darah (GD) pada seseorang.
Regulasi GD yang normal diperlukan tubuh untuk memenuhi kebutuhan energi di jarigan. Pada
keadaan normal, terjadi keseimbangan antara proses absorbsi glukosa di saluran cerna,uptake
glukoa oleh jaringan, glikogenesis,glikogenolisis,glukoneogenesis,yang dipengaruhi oleh
hormon. Hipoglikemi terjadi ketika tubuh gagal mempertahankan kadar normal glukosa darah
(GD) oleh penyebab dari luar ataupun dalam tubuh. Keadaan ini disebabkan oleh
ketidakmampuan tubuh dalam mengatur regulasi glukosa melalui rangkaian beberapa proses
yang terjadi secara seimbang. Keseimbangan tersebut dipengaruhi oleh beberapa hormon yang
penting, diantaranya insulin, glukagon, epinefrin (adrenalin), kortisol, dan growth hormone. Pada
dasarnya, keluhan maupun gejala klinis hipoglikemi, terjadi oleh karena dua penyebab utama
yaitu terpacunya aktivasi system saraf otonom,terutama simpatis daan tidak adekuatnya suplai
glukosa ke jaringan serebral (neuroglikpenia). Pada tahap awal hipoglikemia, respon pertama
dari tubuh adalah peningkatan hormone adrenalin/epinefrin,sehingga menimbulkan gejala
neurogenik seperti:
- Gemetaran
- Kulit lembab dan pucat
- Rasa cemas
- Keringat berlebihan
- Rasa lapar
- Mudah rangsang
- Penglihatan kabur atau kembar
Gejala klinis biasanya muncul pada kadar glukosa darah (GD) <60 mg/dL, meskipun
pada orang tertentu sudah dirasakan di atas kadar tersebut (<70 mg/dL). Tapi pada umumnya
pada kadar GD <50 mg/dL, telah memberi dampak pada fungsi serebral. Pada tahap lanjut,
hipoglikemia akan memberikan gejala defisiensi glukosa pada j a r i n g a n serebral (gejala
neuroglikopenik) yakni:
- Sulit berpikir
- Bingung
- Sakit kepala
- Kejang-kejang
- Koma

28
2.5 Komplikasi Diabetes Melitus Kronik
Mikroangiopati

a. Stroke
Ada beberapa mekanisme yang memungkinkan di mana diabetes menyebabkan stroke.
Beberapa diantaranya termasuk disfungsi endotel vaskular, peningkatan kekakuan arteri,
peradangan sistemik dan penebalan membran basal kapiler. Fungsi endotel pembuluh darah
sangat penting untuk menjaga integritas struktural dan fungsional dinding pembuluh darah serta
kontrol vasomotor. Nitric oxide (NO) menjadi perantara vasodilatasi, dan penurunan
ketersediaannya dapat menyebabkan disfungsi endotel dan memicu kaskade aterosklerosis.
Sebagai contoh, vasodilatasi yang dimediasi-NO terganggu pada individu dengan diabetes,
mungkin karena peningkatan inaktivasi NO atau penurunan reaktivitas otot polos menjadi NO.
Orang dengan diabetes tipe II memiliki arteri yang lebih kaku dan elastisitas yang menurun
dibandingkan dengan subjek yang memiliki kadar glukosa normal. Diabetes tipe I lebih sering
dikaitkan dengan gangguan struktural dini dari arteri karotis umum, umumnya tercermin sebagai
peningkatan ketebalan intima-medial, dan dianggap sebagai tanda awal aterosklerosis [ CITATION
aru15 \l 1033 ].

Makroangiopati

a. Retinopati diabetik
Retinopati diabetik adalah merupakan komplikasi diabetes mellitus yang berpotensi
hilangnya penglihatan. Meskipun penyebab retinopati diabetik sampai saat ini belum diketahui
secara pasti, namun keadaan hipoglikemia yang berlangsung lama dianggap sebagai faktor risiko
utama. Ada tiga proses biokimiawi yang tejadi pada hiperglikemia yang diduga berkaitan dengan
timbulnya retinopati diabetik yaitu jalur poliol, glikasi non enzimatik dan pembentukan protein
kinase C [ CITATION aru15 \l 1033 ].

Pada jalur poliol, hiperglikemia yang berlangsung lama akan menyebabkan produksi
berlebihan serta akumulasi dari poliol, yaitu suatu senyawa gula dan alkohol, dalam jaringan
termasuk di lensa dan saraf optik. Salah satu sifat dari senyawa poliol ialah tidak dapat melewati
membrana basalis sehingga akan tertimbun dalam jumlah banyak didalam sel. Senyawa poliol

29
menyebabkan peningkatan tekanan osmotik sel dan menimbulkan gangguan morfologi maupun
fungsional sel [ CITATION aru15 \l 1033 ].

Protein kinase C (PKC) diketahui memiliki pengaruh terhadap permeabilitas vaskular,


kontratikilitas, sintesis membrana basalis dan proliferasi sel vaskular. Dalam kondisi
hiperglikemia, aktivitas PKC di retina dan sel endotel meningkat akibat peningkatan sintesis de
novo dari diasilgliserol, yaitu suatu regulator PKC, dari glukosa [ CITATION aru15 \l 1033 ].

b. Nefropati Diabetik

Nefropati diabetik didefinisikan sebagai sindrom klinik pada pasien diabetes melitus yang
ditandai dengan albuminuria menetap (>300 mg/24 jam atau >200 ig/menit) pada minimal dua
kali pemeriksaan dalam kurun waktu 3 sampai 6 bulan.

Sampai saat ini, hiperfiltrasi masih dianggap sebagai awal dari mekanisme patogenik
dalam laju kerusakan ginjal. Mekanisme terjadinya peningkatan laju filtrasi glomerulus pada
nefropati diabetik ini kemungkinan disebabkan oleh dilatasi arteriol aferen oleh efek yang
tergantung glukosa, yang diperantarai oleh hormon vasoaktif, IGF1, nitric oxide, prostaglandin
dan glukagon. Efek langsung dari hiperglikemia adalah rangsangan hipertrofi sel, sintesis matrik
ekstraselular, serta produksi TGF-β yang diperantarai oleh aktivasi protein kinase C (PKC) yang
termasuk dalam serine-threonin kinase yang memiliki fungsi pada vaskular seperti kontraktilitas,
aliran darah, proliferasi sel dan permeabilitas kapiler [ CITATION aru15 \l 1033 ].

c. Neuropati Diabetik

Neuropati diabetik adalah kerusakan pada saraf-saraf perifer (sensorimotor) sehingga


mengakibatkan baal / gaangguan sensori pada organ tubuh. Kelainan tersebut tampak beragam
secara klinis dan tergantung pada lokasi sel saraf yang terkena.

Pasien DM yang mengalami hiperglikemia dalam waktu yang lama akan mengakibatkan
aktivitas jalur poliol meningkat dimana glukosa akan diubah menjadi sorbitol dengan bantuan
enzim aldose reduktase. Sorbitol yang dibentuk akan diubah menjadi fruktosa dengan bantuan
enzim sorbitol dehirogenase. Penumpukan sorbitol dan fruktosa dalam sel saraf akan

30
menyebabkan keadaan hipertonik intraseluler sehingga mengakibatkan edema saraf. Peningkatan
sintesis sorbitol berakibat terhambatnya mioinositol masuk kedalam sel saraf. Penurunan
mioinositol dan akumulasi sorbitol akan menimbulkan stress osmotic yang akan merusak
mitokondria dan akan menstimulasi protein kinase C (PKC). Aktivitas PKC akan menekan
fungsi Na-K-ATP-asee, sehingga kadar Na intraseluler berlebihan, hal ini akan berakibat pada
terhambatnya mioinositol masuk ke dalam sel saraf sehingga transduksi sinyal pada saraf akan
terganngu. Hiperglikemia dalam jangka panjangpun akan mengakibatkan terbentuknya advance
glycosilation end products (AGEs). AGEs bersifat toksik dan merusak tidak hanya saraf tapi juga
semua protein tubuh. AGEs dan sorbitol yang terbentuk mengakibatkan sintesis dan fungsi nitric
oxide (NO) menurun, sehingga vasodilatasi berkurang dan akhirnya aliran darah ke saraf juga
menurun [ CITATION aru15 \l 1033 ].

Adapaun pada faktor vascular, Hiperglikemia persisten merangsang produksi radikal


bebas oksidatif. Radikal bebas ini mengakibatkan kerusakan endotel vaskuler dan menetralisir
NO yang berefek menghalangi vasodilatasi mikrovaskuler.

Kaki Diabetes
Kaki diabetes merupakan salah satu komplikasi kronik DM yang paling ditakuti. Hasil
pengelolaan kaki diabetes sering mengecewakan baik bagi dokter pengelola maupun penyandang
DM dan keluarganya. Sering kaki diabetes berakhir dengan kecacatan dan kematian [ CITATION
aru15 \l 1033 ].

a. Patofisiologi Kaki diabetes


Terjadinya masalah kaki diawali adanya hiperglikemia pada penyandang DM yang
menyebabkan kelainan neuropati dan kelainan pada pembuluh darah. Neuropati, baik neuropati
sensorik maupun motorik dan autonomic akan mengakibatkan berbagai perubahan pada kulit dan
otot, yang kemudian menyebabkan terjadinya perubahan distribusi tekanan pada telapak kaki dan
selanjutnya akan mempermudah terjadinya ulkus. Adanya kerentanan terhadap infeksi
menyebabkan infeksi mudah merebak menjadi infeksi yang luas. Faktor aliran darah yang
kurang juga akan lebih lanjut menambah rumitnya pengelolaan kaki diabetes [ CITATION aru15 \l
1033 ].

31
Gambar patofisiologi terjadinya ulkus pada kaki diabetik

b. Klasifikasi Kaki Diabetes


Ada berbagai macam klasifikasi kaki diabetes, mulai dari yang sederhana seperti
klasifikasi Edmonds dari King's College Hospital London, Klasifikasi Liverpool yang sedikit
lebih ruwet, sampai klasifikasi Wagner yang lebih terkait dengan pengelolaan kaki diabetes, dan
juga klasifikasi Texas yang lebih kompleks tetapi juga lebih mengacu kepada pengelolaan kaki
diabetes. Suatu klasifikasi mutakhir dianjurkan oleh International Working Group on Diabetic
Foot Adanya klasifikasi kaki diabetes yang dapat diterima semua pihak akan mempermudah para
peneliti dalam membandingkan hasil penelitian dari berbagai tempat di muka bumi. Dengan
klasifikasi Pedis akan dapat ditentukan kelainan apa yang lebih dominan, vaskular, infeksi atau
neuropatik, sehingga arah pengelolaan pun dapat tertuju dengan lebih baik. Misalnya suatu ulkus
gangren dengan critical limb ischemia (P3) tentu lebih memerlukan tindakan untuk
mengevaluasi dan memperbaiki keadaan vaskularnya dahulu. Sebaliknya kalau faktor infeksi
menonjol, tentu pemberian antibiotik harus adekuat. Demikian juga kalau faktor mekanik yang
dominan (insensitive foot, S2), tentu koreksi untuk mengurangi tekanan plantar harus
diutamakan. Suatu klasifikasi lain yang juga sangat praktis dan sangat erat dengan dengan

32
pengelolaan adalah klasifikasi yang berdasar pada perjalanan alamiah kaki diabetes. (Edmonds
2004-2005):
• Stage 1 : Normal Foot
• Stage 2 : High Risk Foot
• Stage 3 : Ulcerated Foot
• Stage 4 : Infected Foot
• Stage 5 : Necrotic Foot
• Stage 6 : Unsolvable Foot
 Untuk stage 1 dan 2, peran pencegahan primer sangat penting, dan semuanya dapat
dikerjakan pada pelayanan kesehatan primer, baik oleh podiatrist/chiropodist maupun
oleh dokter umum/dokter keluarga.
 Untuk stage 3 dan 4 kebanyakan sudah memerlukan perawatan di tingkat pelayanan
kesehatan yang lebih memadai umumnya sudah memerlukan pelayanan spesialistik.
 Untuk stage 5, apalagi stage 6, jelas merupakan kasus rawat inap, dan jelas sekali
memerlukan suatu kerja sama tim yang sangat erat, di mana harus ada dokter bedah,
utamanya dokter ahli bedah vaskular/ahli bedah plastic dan rekonstruksi [ CITATION
aru15 \l 1033 ].

33
2.6 Pemeriksaan Penunjang Hiperglikemia
A. Pemeriksaan Gula Darah Sewaktu
Diagnosis DM harus didasarkan atas pemeriksaan konsentrasi glukosa darah. Dalam
menentukan diagnosis DM harus diperhatikan asal bahan darah yang diambil dan cara
pemeriksaan yang dipakai. Untuk diagnosis, pemeriksaan yang dianjurkan adalah pemeriksaan
glukosa dengan cara enzimatik dengan bahan darah plasma vena. Untuk memastikan diagnosis
DM, pemeriksaan glukosa darah seyogyanya dilakukan di laboratorium klinik yang terpercaya
(yang melakukan program pemantauan kendali mutu secara teratur). Walaupun demikian sesuai
dengan kondisi setempat dapat juga dipakai bahan darah utuh (whole blood), vena ataupun
kapiler dengan memperhatikan angka-angka kriteria diagnostik yang berbeda sesuai pembakuan
oleh WHO. Untuk pemantauan hasil pengobatan dapat diperiksa glukosa darah kapiler [ CITATION
aru15 \l 1033 ].

Ada perbedaan antara uji diagnostik DM dan pemeriksaan penyaring. Uji diagnostik DM
dilakukan pada mereka yang menunjukkan gejala/tanda DM, sedangkan pemeriksaan penyaring
bertujuan untuk mengidentifikasi mereka yang tidak bergejala, yang mempunyai risiko DM.
(Serangkaian uji diagnostik akan dilakukan kemudian pada mereka yang hasil pemeriksaan
penyaringnya positif, untuk memastikan diagnosis definitif. PERKENI membagi alur diagnosis
DM menjadi dua bagian besar berdasarkan ada tidaknya gejala khas DM. Gejala khas DM terdiri
dari poliuria, polidipsia, polifagia dan berat badan menurun tanpa sebab yang jelas, sedangkan
gejala tidak khas DM diantaranya lemas, kesemutan, luka yang sulit sembuh, gatal, mata kabur,
disfungsi ereksi (pria) dan pruritus vulva (wanita). Apabila ditemukan gejala khas DM,
pemeriksaan glukosa darah abnormal satu kali saja sudah cukup untuk menegakkan diagnosis,
namun apabila tidak ditemukan gejala khas DM, maka diperlukan dua kali pemeriksaan glukosa
darah abnormal. Diagnosis DM juga dapat ditegakkan melalui cara pada tabel 1 [ CITATION
aru15 \l 1033 ].

34
Tabel 1. Kriteria Diagnosis DM
1. Gejala klasik DM + glukosa plasma sewaktu >200 mg/dL (11,1
mmol/L)
Glukosa plasma sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada
suatu hari tanpa memperhatikan waktu makan terakhir
2. Atau
Gejala klasik DM + glukosa plasma puasa > 126 mg/dl (7,0 mmol/L)
Puasa diartikan pasien tidak mendapatkan kalori tambahan
sedikitnya 8 jam
3. Glukosa plasma 2 jam pada TTGO >200 mg/dL (11,1 mmol/L)
TTGO dilakukan dengan standar WHO, menggunakan beban glukosa
yang setara dengan 75 gram glukosa anhidrus yang dilarutkan
kedalam air

Cara pelaksanaan TTGO (WHO 1994):

 tiga hari sebelum pemeriksaan tetap makan seperti kebiasaan sehari-hari (dengan
karbohidrat yang cukup) dan tetap melakukan kegiatan jasmani seperti biasa
 berpuasa paling sedikit 8 jam (mulai malam hari) sebelum pemeriksaan, minum air
putih tanpa gula tetap diperbolehkan

35
 diperiksa konsentrasi glukosa darah puasa diberikan glukosa 75 gram (orang
dewasa) atau 1,75 gram/kgBB (anak-anak), dilarutkan dalam air 250 mL dan
diminum dalam waktu 5 menit
 berpuasa kembali sampai pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan 2 jam
setelah minum larutan glukosa selesai
 diperiksa glukosa darah 2 (dua) jam sesudah beban glukosa
 selama proses pemeriksaan subyek yang diperiksa tetap istirahat dan tidak merokok

Hasil pemeriksaan glukosa darah 2 jam pasca pembebanan dibagi menjadi 3 yaitu:

 <140 mg/dL = normal


 140-<200 mg/dL = toleransi glukosa terganggu
 >200 mg/dL = diabetes

Gambar1. langkah diagnostik DM, TGT dan TTGO(4

Pemeriksaan screaning (penyaring) dikerjakan pada semua individu dewasa dengan


Indeks Massa Tubuh (IMT) >25 kg/m2 dengan faktor risiko lain sebagai berikut: [ CITATION aru15
\l 1033 ]

1 Aktivitas fisik kurang


2 Riwayat keluarga mengidap dm pada turunan pertama (first degree relative)
3 Masuk kelompok etnik risiko tinggi (african american, latino, native american, asian
american, pacific islander)

36
4 Wanita dengan riwaayat melahirkan bayi dengan berat >4000 gram atau riwayat
diabetes melitus gestasional (dmg)
5 Hipertensi (tekanan darah > 140/90 mmhg atau sedang dalam terapi obat anti
hipertensi)
6 Kolesterol hdl <35 mg/dl dan atau trigliserida >250 mg/dl
7 Wanita dengan sindrom polikistik ovarium
8 Riwayat toleransi glukosa terganggu (TGT) atau glukosa darah puasa terganggu
(GDPT)
9 Keadaan lain yang berhubungan dengan resistansi insulin (obesitas)
10 Riwayat penyakit kardiovaskular
Pada penapisan dapat dilakukan pemeriksaan glukosa darah puasa atau sewaktu atau
TTGO. Untuk kelompok risiko tinggi yang hasil pemeriksaan penyaringnya negatif, pemeriksaan
penyaring ulangan dilakukan tiap tahun; sedangkan bagi mereka yang berusia >45 tahun tanpa
faktor risiko, pemeriksaan penyaring dapat dilakukan setiap 3 tahun atau lebih cepat tergantung
dari klinis masing-masing pasien. Pemeriksaan penyaring yang khusus ditujukan untuk DM pada
penduduk umumnya (mass screening) tidak dianjurkan karena di samping biaya yang mahal,
rencana tindak lanjut bagi mereka yang positif belum ada. Bagi mereka yang mendapat
kesempatan untuk pemeriksaan penyaring bersama penyakit lain (general check-up) adanya
pemeriksaan penyaring untuk DM dalam rangkaian pemeriksaan tersebut sangat dianjurkan.
[ CITATION Soe19 \l 1033 ]
Pemeriksaan penyaring berguna untuk menjaring pasien DM, toleransi glukosa
terganggu (TGT) dan glukosa darah puasa terganggu (GDPT), sehingga dapat ditentukan
langkah yang tepat untuk mereka. Pasien dengan TGT dan GDPT merupakan tahapan sementara
menuju DM. Setelah 5-10 tahun kemudian 1/3 kelompok TGT akan berkembang menjadi DM,
1/3 tetap TGT dan 1/3 lainnya kembali normal. Adanya TGT sering berkaitan dengan resistensi
insulin. Pada kelompok TGT ini risiko terjadinya aterosklerosis lebih tinggi dibandingkan
kelompok normal. TGT sering berkaitan dengan penyakit kardiovaskular, hipertensi dan
dislipidemia. Peran aktif para pengelola kesehatan sangat diperlukan agar deteksi DM dapat
ditegakkan sedini mungkin dan pencegahan primer dan sekunder dapat segera
diterapkan[ CITATION Soe19 \l 1033 ].

37
Gambar.2 Langkah-langkah diagnostik DM dan toleransi glukosa terganggu

Pemeriksaan penyaring dapat dilakukan melalui pemeriksaan konsentrasi glukosa darah


sewaktu atau konsentrasi glukosa darah puasa, kemudian dapat diikuti dengan tes tolerasi
glukosa oral (TTGO) standar[ CITATION aru15 \l 1033 ].

Tabel 2. Interpretasi GDP dan GDS

Tabel 3. Interpretasi TTGO

38
B. Pemeriksaan HbA1C

Tes hemoglobin terglikolisasi, yang disebut juga sebagai glikohemoglobin, atau


hemoglobin glikosilasi (disingkat sebagai HbA1C), merupakan cara yang digunakan untuk
menilai efek perubahan terapi 8-12 minggu sebelumnya. Untuk menilai hasil terapi dan rencana
perubahan terapi, HbA1C diperiksa setiap 3 bulan, atau tiap bulan pada keadaan HbA1C yang
sangat tinggi (>10%). Pada pasien yang telah mencapai sasaran terapi disertai kendali glikemik
yang stabil HbA1C diperiksa paling sedikit 2 kali dalam 1 tahun[ CITATION Soe19 \l 1033 ].

Rentang referensi untuk kadar HbA1C adalah sebagai berikut :


 Dewasa atau anak-anak, tanpa diabetes : 4-5,9%
 Kontrol diabetes yang baik : <7%
 Kontrol diabetes yang buruk : >9%
Batas keputusan untuk orang dewasa yang tidak hamil, menurut American Diabetes
Association, adalah sebagai berikut [ CITATION Soe19 \l 1033 ]:
 Kriteria diagnostik untuk diabetes adalah kadar HbA1C lebih besar atau sama dengan
6,5% unit NGSP
 Untuk pasien dengan DM, tujuan terapi adalah tingkat dibawah 7,0% secara umum
 Sasaran kurang dari 6,5% mungkin sesuai untuk beberapa pasien yang dapat
mencapai ini tanpa episode signifikan hipoglikemia (misalnya orang yang baru
didiagnosis dengan diabetes, orang dengan diabetes yang dikelola dengan diet dan
olahraga saja)
American Diabetes Association mulai mempromosikan penggunaan HbA1C sebagai tes
diagnostik pilihan untuk diabetes militus. Di antara kelebihannya dibandingkan niilai glukosa

39
puasa (atau nilai glukosa 2 jam selama tes toleransi glukosa oral) adalah bahwa sampel dapat
diambil kapan saja dan tidak memerlukan penangan khusus (sedangkan glikolisis yang sedang
berlangsung dapat menurunkan nilai glukosa secara salah).

C. Pemeriksaan Analisis Gas Darah

Analisa gas darah (AGD) adalah prosedur pemeriksaan medis yang bertujuan untuk
mengukur jumlah oksigen dan karbon dioksida dalam darah.AGD juga dapat digunakan untuk
menentukan tingkat keasaman atau pH darah.Dengan melakukan pemeriksaan ini, selain untuk
menentukan penyakit,
dokterjugabisamemantauhasilperawatanyangsebelumnyaditerapkankepada pasien. Untuk
tujuan ini, pemeriksaan AGD sering digunakan bersama dengan tes lain, seperti tes glukosa
darah untuk memeriksa kadar gula darah. Sampel darah kemudian akan dianalisa oleh mesin
portabel atau mesin yang ada di laboratorium. Sampel darah harus dianalisis dalam waktu
10 menit dari waktu pengambilan untuk memastikan hasil tes yang akurat [ CITATION Suk16 \l
1033 ].

Serum pH menggambarkan keseimbangan asam basa dalam tubuh.Sumber ion


hidrogen dalam tubuh meliputi asam volatil dan campuran asam seperti asam laktat dan
asam keton.[ CITATION Suk16 \l 1033 ]

 Nilai normal pHserum:7.35 -7.45

 Umumnya nilai pH akan menurun dalam keadaan asidemia peningkatan


pembentukan asam, dengan dua sebab asidosis metabolik atau asidosis
respiratorik.
 Umumnya nilai pH meningkat dalam keadaan alkalemia kehilangan asam
dengan dua sebab alkalosis metabolik atau alkalosis respiratorik.

PaCO2 menggambarkan tekanan yang dihasilkan oleh CO2 kyang terlarut


dalam plasma.Dapat digunakan untuk menetukan efektifitas ventilasi dan keadaan asam basa
dalam darah.

 Nilai Normal : 35 - 45 mmHg


 Penurunan nilai PaCO2 dapat terjadi pada keadaan asidosis metabolik,

40
contohnya gagal ginjal, syok, dan ketoasidosis metabolik

Dalam plasma normal, 95% dari total CO2 terdapat sebagai ion bikarbonat, 5%
sebagai larutan gas CO2 terlarut dan asam karbonat.Kandungan CO2 plasma terutama
adalah bikarbonat, suatu larutan yang bersifat basa dan diatur oleh ginjal [ CITATION Suk16 \l
1033 ].

 Nilai Normal Karbon Dioksida (CO2) : 22 - 32 mEq/L


 Penurunan kadar CO2 dapat terjadi pada gagal ginjal akut, diabetik asidosis
dan hiperventilasi

D. Pemeriksaan Keton Pada Urine

Istilah benda keton terdiri dari 3 senyawa yaitu asetoasetat, aseton dan beta
hidroksibutirat.Diantara 3 senyawa tersebut yang pertama kali dibentuk oleh hati adalah
asetoasetat.Normalnya benda keton tidak terdapat di dalam tubuh sebagai produk akhir dari
metabolisme karbohidrat dan asam lemak karena produk akhir dari metabolisme asam lemak
adalah karbondioksida dan air. Di dalam tubuh penderita yang mengalami gangguan
karbohidrat seperti diabetes mellitus, ketersediaan karbohidrat menjadi terbatas karena kadar
insulin yang rendah sehingga terjadi peningkatan glukosa yang melebihi ambang batas.
Peningkatan glukosa ini, akan mempengaruhi metabolisme lemak yang bekerja sebagai
pengganti metabolisme karbohidrat dalam pembentukan energi.[ CITATION ris15 \l 1033 ]

Lemak akan dihidrolisis, menghasilkan asam lemak dan gliserol kemudian


dikatabolisme dengan melepas 2 atom karbon menghasilkan asetil KoA. Penumpukan asam
lemak yang terus menerus akan mengakibatkan terjadinya penumpukan asam aseto asetat
didalam tubuh. Asam aseto asetat dapat terkonversi menjadi aseton dan adanya
karbondioksida akan membentuk asam beta hidroksibutirat, ketiga senyawa tersebut disebut
benda keton. Hal ini menyebabkan siklus Krebs bekerja lebih maksimal karena sebagian
besar asetil koA mengalami peningkatan, maka mitokondria mulai mengaktifkan
ketogenesis.Ketogenesis terjadi akibat ketosis yang memanjang sehingga menyebabkan
terjadinya gangguan tubuh seperti ketonemia dan ketonuria.[ CITATION ris15 \l 1033 ]

Penentuan keton urin telah menggunakan metode dipstick yang lebih cepat dan

41
mudah seiring berkembangnya zaman. Uji dipstick dilakukan dengan cara mencelupkan
strip reagen/dipstick pada urin segar dan ditunggu selama 15 detik, lalu diamati terjadinya
perubahan warna pada strip reagen dan, jika strip berwarna merah anggur/ungu maka hasil
ketonuria positif, sebaliknya jika tidak terjadi perubahan warna pada strip maka hasil
ketonuria negatif. Uji ketonuria dengan strip reagen lebih sensitif terhadap asam asetoasetat
daripada aseton karena sifat aseton yang mudah menguap.[ CITATION ris15 \l 1033 ]

E. Pemeriksaan Osmolaritas Serum Efektif

Seseorang dikatakan hiponatremia, bila konsentrasi natrium plasma dalam tubuhnya


turun lebih dari beberapa miliekuivalen dibawah nilai normal (135-145 mEq/L) dan
hipernatremia bila konsentrasi natrium plasma meningkat di atas
normal.Pseudohiponatremia ditemukan ketika ada pengukuran natrium rendah karena lipid
yang berlebihan atau protein dalam plasma, atau karena hiperglikemia (dimana pergerakan
air bebas terjadi ke dalam ruang ekstraseluker dalam menanggapi akumulasi
glukosa.Pseudohiponatremia dapat dijumpai pada penurunan fraksi plasma, yaitu pada
kondisi hiperlipidemia, hiperkolesterolemia, hiperproteinemia dan hiperglikemia serta
kelebihan pemberian manitol dan glisin.Nilai normal osmolaritas serum efektif adalah
275 – 290 mOsm/L.[CITATION joyi6 \l 1033 ]

Pemeriksaan dapat dilakukan pada sampel whole blood, plasma, serum, urine,
keringat, feses, dan cairan tubuh. Pemeriksaan pada whole blood biasanya dilakukan
bersama dengan pemeriksaan pH dan gas darah dan harus segera diperiksa (kurang dari 1
jam). Sampel serum, plasma atau urine dapat disimpan pada refrigerator dalam tabung

42
tertutup pada suhu 20C - 80C dan dihangatkan kembali pada suhu ruangan (150C -300C)
sebelum diperiksa.Sampel feses harus cair, disaring dan diputar (sentrifugasi) sebelum
dilakukan pemeriksaan[ CITATION joyi6 \l 1033 ].

F. Pemeriksaan Anion Gap

Tes anion gap adalah pemeriksaan ion (partikel bermuatan listrik) dalam darah. Hasil
tes akan di lihat dari kadar elektrolit dan tes darah lainnya karena di dalam darah
mengandung natrium, klotida dan bikarbonat yang mengandung partikel bermuatan listrik.
Anion gap pada metabolik sangat membantu dalam menemukan etiologi dari ketoasidosis
metabolik.Nilai normal anion gap adalah 12±2 mEq/L. Anion gap akan meningkat ketika
konsentrasi bikarbonat menurun relatif terhadap natrium dan klorida karena overproduksi
asam (ketoasidosis, asidosis laktat), gangguan sekresi asam (gagal ginjal kronik), dan lisis
sel, sedangkan asidosis dengan anion gap yang normal terjadi karena kehilangan bikarbonat
dari gastrointestinal (contohnya diare)[ CITATION aru15 \l 1033 ].

43
2.7 Prinsip Tatalaksana Hiperglikemia, KAD, Ulkus Diabetikum
2.7.1 Hiperglikemi

Tujuan penatalaksanaan secara umum adalah meningkatkan kualitas hidup penyandang


diabetes. Tujuan penatalaksanaan meliputi :(Perkeni, 2015)

1. Tujuan jangka pendek: menghilangkan keluhan DM, memperbaiki kualitas hidup, dan
mengurangi risiko komplikasi akut.
2. Tujuan jangka panjang: mencegah dan menghambat progresivitas penyulit
mikroangiopati dan makroangiopati.
3. Tujuan akhir pengelolaan adalah turunnya morbiditas dan mortalitas DM.Untuk
mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan pengendalian glukosa darah, tekanan darah,
berat badan, dan profil lipid, melalui pengelolaan pasien secara komprehensif.

Langkah-langkah Penatalaksanaan Umum

Perlu dilakukan evaluasi medis yang lengkap pada pertemuan pertama, yang meliputi: (9)

1. Riwayat Penyakit
2. Pemeriksaan fisik
3. Evaluasi labolatorium
4. Penapisan koplikasi

Langkah- langkah penatalaksanaan khusus

1. Edukasi
Edukasi dengn tujuan proosi hidup sehat, perlu selalu dilakukan sebagai bagian dari
upaya pencagahan dan merupakan bagian yang sangat penting dari pengelolaan DM
secara holistik. (Perkeni, 2015)
2. Terapi nutrisi medis (TNM)
TNM merupakan bagian penting dari penatalaksanaan DMT2 secara komprensif kunci
keberhasilannya adalah keterlibatan secara menyeluruh dari anggota tim (dokter, ahli
gizi, petugas kesehatan yang lain serta pasien dan keluarganya). Guna mencapai sasaran

44
terapi TNM sebaiknya diberikan sesuai dengan kebutuhan setiap penyandang DM
(Perkeni, 2015).
Prinsip pengaturan makan pada penyandang DM hampir sama dengan anjuran
makan untuk masyarakat umum, yaitu makanan yang seimbang dan sesuai dengan
kebutuhan kalori dan zat gizi masing-masing individu. Penyandang DM perlu diberikan
penekanan mengenai pentingnya keteraturan jadwal makan, jenis dan jumlah kandungan
kalori, terutama pada merekan yangm enggunakan obat yang meningkatkan sekresi
insulin atau terapi insulin itu sendiri (Perkeni, 2015).

A. Komposisi Makanan yang Dianjurkan terdiri dari (Perkeni, 2015).


o Karbohidrat
o Karbohidrat yang dianjurkan sebesar 45-65% total asupan energi.
Terutama karbohidrat yang berserat tinggi.
o lemak
o Asupan lemak dianjurkan sekitar 2025% kebutuhan kalori, dan tidak
diperkenankan melebihi 30% total asupan energi.
o Komposisi yang dianjurkan:
 Lemak jenuh < 7 % kebutuhan kalori.
 Lemak tidak jenuh ganda < 10 %.
 Selebihnya dari lemak tidak jenuh tunggal.
o Protein
o Kebutuhan protein sekitar 10 – 20 % total asupan energi
o Natrium
o anjuran asupan natrium untuk penyandang DM sama dengan orang sehat
yaitu <2300 mg perhari
o Serat
o Anjuran konsumsi serat adalah 20 – 30 gram/hari yang berasal dari
sumber makanan
o Pemanis alternatif

45
o Pemanis alternatif aman digunakan sepanjang tidak melebihi batas
normal
B. Kebutuhan kalori
Ada beberapa cara untuk menentukan jumlah kalori yang dibutuhkan penyandang
DM, antara lain dengan memperhitungkan kebutuhan kalori basal yang besarnya 25-
30 kal/kgBB ideal. Jumlah kebutuhan tersebut ditambah atau dikurangi bergantung
pada beberapa faktor yaitu: jenis kelamin, umur, aktivitas, berat badan, dan lain-lain
(Perkeni, 2015).
Faktor-faktor yang menentukan kebutuhan kalori antara lain:
o Jenis kelamin
Kebutuhan kalori basal perhari untuk prempuan sebesar 25 kal/kgBB sedangkan
untuk pria sebesar 30 kal/kgBB.
o Umur
o Pasien >40 th, kebutuhan kalori dikurangi 5% untuk setiap dekade antara 40 dan
59 th
o Pasien usia diantara 60 dan 69 th dikurangi 10%
o Pasien usia >70 th dikurangi 20%
o Aktifitas fisik atau pekerjaan
o Kebutuhan kalori dapat ditambah sesuai dengan intensitas aktifitas fisik
o Penambahan sejumlah 10% dari kebutuhan basal diberikan pada keadaan
istirahat
o Penambahan sejumlah 20% pada pasien aktifitas ringan :
 Pegawai kantor
 Guru
 Ibu rumah tangga
o Penambahan sejumlah 40% pada aktifitas berat : petani, buruh, atlet, militer
dalam keadaan latihan
o Penambahan sejumlah 50% pada aktifitas sangat berat seperti : tukang becak dan
tukang gali
o Stres metabolik

46
o Penambahan 10%- 30% tergantung berat stres metabolik ( sepsis, operasi,
trauma)
o Berat badan
o Penyandang DM yang gemuk, kebutuhan kalori dikurangi 20 -30% tergantung
kepada tingkat kegemukan
o Penyandang DM kurus, kebutuhan kalori ditambah sekitar 20-30% sesuai
dengan kebutuhan untuk mrningkatkan BB.
o Jumlah kalori yang diberikan paling sedikit 1000-1200 kal per hari untuk wanita
dan 1200-1600 kal per hari untuk pria.

3. Jasmani

Latihan jasmani merupakan salah satu pilar dalam pengelolaan DMT2 apabila
tidak disertai adanya nefropati. Kegiatan jasmani sehari-hari dan latihan jasmani
dilakukan secara teratur sebanya 3-5 kali perminggu selama sekitar 30-45 menit,
dengan total 150 menit perminggu. Jeda antar latihan tidak lebih dari 2 hari berturut-
turu dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan glukosa darah sebelum latihan jasmani
(Perkeni, 2015).

4. Terapi farmakologi

Terapi farmakologi diberikan bersama dengan pengaturan makan dan latihana


jasmani (gaya hidup sehat ). Terapi farmakologis terdiri dari obat oral dan bentuk
suntikan (Perkeni, 2015).

1. Obat anti hiperglikemia oral


Berdasarkan kerjanya dibagi menjadi 5 golongan (Perkeni, 2015).
a) Pemacu sekresi insulin
 Sulfoniluria
Meningkatkan sekresi insulin oleh sel beta pangkreas. Efek samping utama adalah
hipoglikemia dan peningkatan berat badan, hati-hati menggunakan sulfonilurea pada
pasien dengan resiko tinggi hipolikemia (orang tua, gangguan faal hati, dan ginjal).
 Glinid

47
Terdiri dari 2 macam obat yaitu repaglinid (derivat asam benzoat) dan nateglinid
(derivat fenilalanin), obat ini dapat mengatasi hiperglikemia post prandial. Efek
samping yang mungkin tejadi adalah hipoglikemia.
b) Peningkatan terhadap sensitifitas tehadap insulin
 Metformin
Metformin mempunyai efek utama mengurangi produksi glukosa hati
(glukoneogenesis), dan memperbaiki ambilan glukosa di jaringan perifer. Metformin
tidak boleh diberikan pada beberapa keadaan : adanya gangguan hati berat, gangguan
fungsi ginjal serta pasien-pasien yang dengan kecendrungan hipoksemia (misalnya
penyakit seresbrovaskuler, sepsis, PPOK, gagal jantung. Efek samping yang mungkin
berupa gangguan saluran pencernaan seperti halnya gejala dispepsia.
 Tiazolidindion (TZD)
Tiazolindidion merupakan agonis dari peroxisome proliferator activated receptor
Gamma ( PPAR-gamma), sesuatu reseptor inti yang terdapat di sel otot, lemak, dan hati.
Golongan ini mempunyai efek menurunkan resistensi insulin dengan meningkatkan
jumlah protein pengangkut glukosa, sehingga meningkatkan ambiln glukosa di jaringan
perifer. Obat ini di kontraindikasikan pada pasien gagal jantung karena akan
memperberat edem / retensi cairan. Hati-hati pada ganguan faal hati dan jika diberikan
lakukan pemeriksaan faal hati secara berkala.
c) Penghambatan absorpsi glukosa di saluran pencernaan
 Penghambat Alfa Glukoside
Obat ini bekerja denganmemperlambat absorbsi glukosa dalam usus halus, sehinga
memiliki efek menurunkan kadar glukosa darah sesudah makan. Obat ini tidak
digunakan dalam keadaan : gangguan faal hati yang berat, irritable bowel syndrome .
Efek samping yang mungkin terjadi berupa bloating (penumoukan gas dalam usus)n
sehingga sering menimbulkan flatus.
d) Penghambat SGLT-IV (Dipeptidyl peptidase-IV)
Obat golongan ini menghambat kerja emzim DPP-IV sehingga GLP-1 (Glucose likr
peptide -1) tetap dalam konsentrapi yang tinggi dalam bentuk aktif.
e) Penghambat SGLT-2 (Sodium Glucose Cotransporter 2)

48
Menghambat penyerapan kembali glukosa di tubuli distal ginjal dengan cara
menghambat kinerja transporter glukosa SGLT-2. Obat yang termasuk golongan ini
antara lain: Canagliflozin, Empagliflozin, Dapagliflozin, Ipragliflozin. Dapagliflozin
baru saja mendapat approvable letter dari Badan POM RI pada bulan Mei 2015.
Tabel 2 : Profil obat antihiperglikemia oral yang tersedia di Indonesia (Perkeni, 2015)

Penurunan
Golongan Obat Cara Kerja Efek Samping
HbA1c
Sulfonilurea ↑ sekresi insulin BB ↑ 1–2%
Hipoglikemia
Glinid ↑sekresi insulin BB ↑ 0,5-1,5%
Hipoglikemia

Metformin Menekan produksi glukosa Dispepsia, diare, 1-2%


hati & menambah sensitifitas asidosis laktat
insulin

Penghambat Menghambat absorbsi Flatulen,tinja 0,5-0,8%


alfa-glukosidase glukosa lembek lembek

Tiazolidindion Menambah sensitifitas Edema 0,5-1,4%


terhadap insulin
Penghambat ↑ sekresi insulin menghambat Sebah, muntah 0,5-0,8%
DPP-IV sekresi glukagon
Penghambat Menghambat penyerapan Dehidrasi, 0,8-1,0%
SGLT-2 kembali glukosa di tubuli infeksi saluran
distal ginjal kemih

49
2. Obat anti hiperglikemia suntik
Termasuk antihiperglikemia suntik, yaitu: insulin, agonis GLP-1 dan kombinasi
insulin dan agonis GLP-.(Perkeni, 2015)
a) Insulin
Insulin diperlukan pada keadaan :
 HbA1c > 90% dengan kondisi dekompensasi metabolik
 Penuruna BB yang cepat
 Hiperglikemia berat yang disertai ketosis
 Krisis hiperglikemia
 Gagal dengan kombinasi OHO dosis optimal
 Stres berat (stroke, operasi besar, IM)
 Kehamilan dengan DM/ Diabetes melitus gestasional yang tidak terkendali dengan
perencanaan makan
 Gangguan fungsi ginjal dan fungsi hati yang berat
 Kontraindikasi dan alergi terhadap OHO
 Kondisi perioperatif sesuai dengan indikasi

Jenis dan lama kerja insulin terbagi menjadi 5 jenis (Perkeni, 2015)
 Insulin kerja cepat (rapid- acting insulin)
 Insulin kerja pendek ( short- acting insulin)
 Insulin kerja menengah (intermediate-acting insulin)

50
 Insulin kerja panjang (long-acting insulin)
 Insulin kerja ultra panjang (ultra long-acting insulin)
 Insulin campuran tetap, kerja pendek dengan menengah dan dengan kekrja cepat dengan
menengah (premixed insulin)

Efek samping terapi insulin (Perkeni, 2015).


 Hipoglikemia
 Reaksi alergi terhadap insulin
b) Agonis GLP-1/Incretid mimetic
Pengobatan dengan dasar peningkatan GLP-1 merupakan pendekatan baru untuk
pengobatan DM. Agonis GLP-1 dapat bekerja pada sel-beta sehingga terjadi penigkatan
pelepasan insulin, mempunyai efek menurunkan berat badan, menghambat pelepasan
glukagon, dan menghambat nafsu makan. Salahsatu obat golongan GLP-1 (liraglutid)
telah beradar keindonesia sejak aril 2015, tiap pen berisi 18 mg dalam 3ml. Dosias awal
0.6 mg perhari yang dapat di naikkan ke 1.2 mg setelah satu minggu untuk mendapatkan
efek glikemik yang di harapkan. Dosis dapat dinaikkan sampai dengan 1.8 mg. Dosisi
harin yang lebih dari 1.8 mg tidak direkomendasikan (Perkeni, 2015).
Tabel 3 (Perkeni, 2015).
Farmakokinetik Insulin Eksogen Berdasarkan Waktu Kerja (Time Course of Action)

Awitan Puncak Lama


Jenis Insulin Kemasan
(Onset) Efek Kerja

Insulian analog kerja cepat

Insulin lispro (humalog)


Insulin aspart 5-15 Pen/cartridgepen,
1-2 jam 4-6 jam
(novorapid) Insulin mnt vial pen
glulisin (apidra)

Insulin manusia kerja pendek = insulin reguler

30-60 Vial, pen /


Humulin R actrapid 2-4 jam 6-8 jam
mnt cartridge

Insulin mausia kerja menengah

51
Humulin N insulatard 1,5-4 Vial, pen /
4-10 jam 8-12 jam
insuman basal jam cartridge

Insulin analog kerja panjang

Insulin glargine (lantus) Hampir


insulin determir 1-3 jam tampa 12-24 jam Pen
(levermir) Lantus 300 puncak

Insulin analog kerja ultra panjang


Hampir
30-60 Sampai 48 Degludec
Degludec (tresiba) tanpa
mnt jam (tresiba)
puncak

Insulin manusia campuran


70/30 humulin (70%
NPH, 30% reguler) 70/30 30-6-
3-12 jam
mixtard (70% NPH, 30% mnt
reguler)

Insulin analog campuran


75,25 humalogmix (75%
protaminlipspro ,25%
lipspro) 70/30 novomix 12-30
1-4 jam
(70% protamineaspart , mnt
30% aspart) 50/50
premix

NPH: Neutral Protamine Hagedorn; NPL: Neutral Protamine Lispro. Nama obat
disesuaikan dengan yang tersedia di Indonesia (Perkeni, 2015)

3. Terapi kombinasi
Terapi kombinasi obat antihiperglikemia oral, baik secara terpisah ataupun fixed dose
combination, harus menggunakan dua macam obat dengan mekanisme kerja yang
berbeda. Pada keadaan tertentu apabila sasaran kadar glukosa darah belum tercapai
52
dengan kombinasi dua macam obat, dapat diberikan kombinasi dua obat
antihiperglikemia dengan insulin. Pada pasien yang disertai dengan alasan klinis dimana
insulin tidak memungkinkan untuk dipakai, terapi dapat diberikan kombinasi tiga obat
antihiperglikemia oral. Kombinasi obat antihiperglikemia oral dengan insulin dimulai
dengan pemberian insulin basal (insulin kerja menengah atau insulin kerja
panjang). Insulin kerja menengah harus diberikan jam 10 malam menjelang tidur,
sedangkan insulin kerja panjang dapat diberikan sejak sore sampai sebelum tidur.
Pendekatanterapi tersebut pada umumnya dapat mencapai kendali glukosa darah yang
baik dengan dosis insulin yang cukup kecil. Dosis awal insulin basal untuk kombinasi
adalah 6-10 unit (Perkeni, 2015).

Kombinasi 2macam obat, yang terdiri dari obat yang diberikan pada lini pertama
di tambah dengan obat lain yang mempunyai mekanisme kerja yang berbeda. Bila
dengan 2 kombinasi obat tidak mencapai target kendali, maka diberikan kombinasi 3
macam obat dengan pilihan sebagai berikut (Perkeni, 2015)

i. Metformin + SU + TZD atau DPP-4i atau SGLT-2i atau SGLP-1RA atau,


insulin basal
ii. Metformin + TZD + SU atau DPP-4i atau SGLT-2i atau GLP-1 RA atau insulin
basal
iii. Metformin + DPP-4i + SU atau TZD atau SGLT-2i atau insulin basal
iv. Metformin + SGLT-2i + SU atau TDZ atau DPP-4i atau insulin basal
v. Metformin + insulin basal + TZD atau DPP-4i atau SGLT-2i, atau GLP-1 RA.

2.7.2 Ketoasidosis Metabolik

Kesuksesan pengelolaan KAD membutuhkan koreksi terhadap dehidrasi,


hiperglikemia, gangguan elektrolit, komorbiditas, dan monitoring selama perawatan.
Karena Spektrum klinis sangat beragam maka tidak semua kasus KAD harus dirawat di
ICU, hanya saja karena kasus yang ringan sekalipun membutuhkan monitor yang
intensif, maka sebaiknya minimal perawatan adalah di ruangan yang bisa dilakukan
monitor intensif [ CITATION aru15 \l 1033 ].

53
Terapi cairan ditujukan untuk ekspansi cairan intraselular, intravaskular,
interstisial, dan restorasi perfusi ginjal. Jika tidak ada masaiah kardiak atau penyakit
ginjal kronik berat, cairan salin isotonik (NaCl 0.9%) diberikan dengan dosis 15-20
cc/kg BB/jam pertama atau satu sampai satu setengah liter pada jam pertama. Tindak
lanjut cairan pada jam-jam berikutnya tergantung pada keadaan hemodinamik, status
hidrasi, elektrolit, dan produksi urin. Penggantian cairan dapat dilakukan sampai dengan
24 jam, dan penggantian cairan sangat mempengaruhi pencapaian target gula darah,
hilangnya benda keton, dan perbaikan asidosis [ CITATION aru15 \l 1033 ].

54
a. Insulin

Insulin merupakan farmakoterapi kausatif utama KAD. Pemberian insulin


intravena kontinyu lebih disukai karena waktu paruhnya pendek dan mudah dititrasi.
Dari beberapa studi prospektif dengan randomisasi didapatkan bahwa pemberian
insulin regular dosis rendah intravena merupakan cara yang efektif dan terpilih. Jika
dosis insulin intravena yang diberikan sekitar 0,11,15 unit/jam maka sebenarnya
tidak diperlukan insulin bolus ( priming dose) di awal. Dengan pemberian insulin
intravena dosis rendah diharapkan terjadi penurunan glukosa plasma dengan
kecepatan 50-100 mg/dl setiap jam sampai glukosa turun ke sekitar 200 mg/dl, lalu
kecepatan insulin diturunkan menjadi 0,02-0,05 unit/kgBB/jam. Jika glukosa sudah
berada di sekitar 150-200 mg/dl maka pemberian infus dekstrose dianjurkan untuk
mcncegah hipoglikemia [ CITATION aru15 \l 1033 ].

b. Kalium

Sejatinya pasien KAD akan mengalami hiperkalemia melalui mekanisme


asidemia, defisiensi insulin, dan hipertonisitas. Jika saat masuk kalium pasien
normal atau rendah, maka sesungguhnya terdapat defisiensi kalium yang berat di
tubuh pasien sehingga butuh pemberian kalium yang adekuat karena terapi insulin
akan menurunkan kalium lebih ianjut. Monitor jantung perlu dilakukan pada
keadaan tersebut agar jangan terjadi aritmia. Untuk mencegah hipokalemia maka
pemberian kalium sudah dimulai manakala kadar kalium di sekitar batas atas nilai
normal [ CITATION aru15 \l 1033 ].

c. Bikarbonat

Jika asidosis memang murni karena KAD, maka koreksi bikarbonat tidak
direkomendasikan diberikan rutin, kecuali jika pH darah kurang dari 6,9. Hanya saja
pada keadaan dengan gangguan fungsi ginjal yang signifikan, seringkali sulit
membedakan apakah asidosisnya karena KAD atau karena gagal ginjalnya. Efek
buruk dari koreksi bikarbonat yang tidak pada tempatnya adalah meningkatnya
risiko hipokalemia, menurunnya asupan oksigen jaringan, edema serebri, dan
asidosis susunan saraf pusat paradoksal [ CITATION aru15 \l 1033 ].

55
d. Fosfat

Meskipun terjadi hipopasfatemia pada KAD, serum fosfat sering ditemukan


daIam keadaan normal atau meningkat saat awal. Kadar fosfat akan turun dengan
pemberian insulin. Dari beberapa studi tidak ditemukan manfaat yang nyata
pemberian fosfat pada KAD, bahkan pemberian fosfat yang berlebihan akan
mencetuskan hipokalsemia berat. Pada keadaan konsentrasi serum fosfat kurang dari
1 mg/dl dan disertai dengan disfungsi kardiak, anemia, atau depresi nafas akibat
kelemahan otot, maka koreksi fosfat menjadi pertimbangan penting [ CITATION
aru15 \l 1033 ].

e. Transisi Ke insulin Subkutan


Setelah krisis hiperglikemia teratasi dengan pemberian insulin intravena dosis
rendah, maka langkah selanjutnya adalah memastikan bahwa KAD sudah memasuki
fase resolusi dengan kriteria gula darah kurang dari 200 mg/ dl dan dua dari keadaan
berikut: serum bikarbonat lebih atau sama dengan 15 mEq/I, pH vena >7,3, dan
anion gap hitung kurang atau sama dengan 12 mEq/l [ CITATION aru15 \l 1033 ].

Agar tidak terjadi hiperglikemia atau KAD berulang maka sebaiknya penghentian
insulin intravena dilakukan 2 jam setelah suntikan subkutan pertama. Asupan nutrisi
merupakan pertimbangan penting saat transisi ke subkutan, jika pasien masih puasa
karena sesuatu hal atau asupan masih sangat kurang maka lebih baik insulin
intravena diteruskan [ CITATION aru15 \l 1033 ].

Jika pasien sudah terkontrol regimen insulin tertentu sebelum mengalami KAD,
maka pemberian insulin dapat diberikan ke regimen awal dengan tetap
mempertimbang kan kebutuhan insulin pada keadaan terakhir. Pada pasien yang
belum pernah mendapat insulin maka pemberian injeksi subkutan terbagi Iebih
dianjurkan. Jika kebutuhan insulin masih tinggi maka regimen basal bolus akan
lebih menyerupai insulin fisiologis dengan risiko hipoglikemia yang lebih rendah
[ CITATION aru15 \l 1033 ].

56
2.7.3 Hiperosmolaritas Hiperglikemi Nonketotik

Penatalaksanaannya serupa dengan KAD, hanya cairan yang diberikan adalah


cairan hipotonis (1/2N, 2A). Pemantauan konsentrasi glukosa darah harus lebih ketat,
dan pemberian insulin harus lebih cermat dan hati-hati. Respons penurunan
konsentrasi glukosa darah lebih baik. Walaupun demikian, angka kematian lebih
tinggi, karena lebih banyak terjadi pada usia lanjut, yang tentu saja lebih banyak
disertai kelainan organ-organ lainnya. Penatalaksanaan HHNK memerlukan
monitoring ketat terhadap kondisi pasien dan responsnya terhadap terapi yang
diberikan. Pasien-pasien tersebut harus dirawat, dan sebagian besar dari pasien-pasien
tersebut sebaiknya dirawat di ruang rawat intensif atau intermediate. Penatalaksanaan
HHNK meliputi lima pendekatan: 1). Rehidrasi intravena agresif; 2). Penggantian
elektrolit; 3). Pemberian insulin intravena; 4). Diagnosis dan manajemen faktor
pencetus dan penyakit penyerta; 5). Pencegahan [ CITATION aru15 \l 1033 ].

a. Cairan

Langkah pertama dan terpenting dalam penatalaksaan HHNK adalah


penggantian cairan yang agresif, dimana sebaiknya dimulai dengan
mempertimbangkan perkiraan defisit cairan (biasanya 100 sampai 200 mL per kg,
atau total rata-rata 9 L). Penggunaan cairan isotonik akan dapat menyebabkan
overload cairan dan cairan hipotonik mungkin dapat mengkoreksi defisit cairan
terlalu cepat dan potensial menyebabkan kematian dan lisis mielin difus.
Sehingga pada awalnya sebaiknya diberikan 1L normal saline per jam. Jika
pasiennya mengalami syok hipovolemik, mungkin dibutuhkan plasma expanders.
Jika pasien dalam keadaan syok kardiogenik, maka diperlukan monitor
hemodinamik [ CITATION aru15 \l 1033 ].

Pada orang dewasa, risiko edema serebri rendah sedangkan konsekuensi


dari terapi yang tidak memadai meliputi oklusi vaskular dan peningkatan
mortalitas [ CITATION aru15 \l 1033 ].

Pada awal terapi, konsentrasi glukosa darah akan menurun, bahkan


sebelum insulin diberikan, dan hal ini dapat menjadi indikator yang baik akan

57
cukupnya terapi cairan yang diberikan. Jika konsentrasi glukosa darah tidak bisa
diturunkan sebesar 75-100 mg per dl. perjam, hal ini biasanya menunjukkan
penggantian cairan yang kurang atau gangguan ginjal [ CITATION aru15 \l 1033 ].

b. Elektrolit

Kehilangan kalium tubuh total seringkali tidak diketahui pasti, karena


konsentrasi kalium dalam tubuh dapat normal atau tinggi. Konsentrasi kalium
yang sebenarnya akan terlihat ketika diberikan insulin, karena ini akan
mengakibatkan kalium serum masuk ke dalam sel. Konsentrasi elektrolit harus
dipantau terus-menerus dan irama jantung pasien juga harus dimonitor [ CITATION
aru15 \l 1033 ].

Jika konsentrasi kalium awal <3.3 mEq per L (3.3 mmol per L),
pemberian insulin ditunda dan diberikan kalium (2/3 kalium klorida dan 1/3
kalium fosfat sampai tercapai konsentrasi kalium setidaknya 3.3 mEq per L). Jika
konsentrasi kalium lebih besar dari 5.0 mEq per L (5.0 mmol per L), konsentrasi
kalium harus diturunkan sampai di bawah 5.0 mEq per L, namun sebaiknya
konsentrasi kalium ini perlu dimonitor tiap dua jam. Jika konsentrasi awal kalium
antara 3.3-5.0 mEq per L, maka 20-30mEq kalium harus diberikan dalam tiap liter
cairan intravena yang diberikan (2/3 kalium horida dan 1/3 kalium fosfat) untuk
mempertahankan konsentrasi kalium antara 4.0 mEq per L (4.0 mmol per L) dan
5.0 mEq per L [ CITATION aru15 \l 1033 ].

58
2.7.4 Kaki Diabetikum

Pengelolaan kaki diabetes dapat dibagi menjadi 2 kelompok besar, yaitu pencegahan
terjadinya kaki diabetes dan terjadinya ulkus (pencegahan primer sebelum terjadi perlukaan pada
kulit) dan pencegahan agar tidak terjadi kecacatan yang lebih parah (pencegahan sekunder dan
pengelolaan ulkus/gangren diabetik yang sudah terjadi) [ CITATION aru15 \l 1033 ].

a. Pencegahan Primer
Kiat-kiat Pencegahan Terjadinya Kaki Diabetes Penyuluhan mengenai terjadinya
kaki diabetes sangat penting untuk pencegahan kaki diabetes. Penyuluhan ini harus selalu
dilakukan pada setiap kesempatan pertemuan dengan penyandang DM, dan harus selalu
diingatkan kembali tanpa bosan. Anjuran ini berlaku untuk semua pihak terkait
pengelolaan DM, baik para ners, ahli gizi, ahli perawatan kaki, maupun dokter sebagai
dirigen pengelolaan. Khusus untuk dokter, sempatkan selalu melihat dan memeriksa kaki
penyandang DM sambil mengingatkan kembali mengenai cara pencegahan dan cara
perawatan kaki yang baik. Berbagai kejadian/ tindakan kecil yang tampak sepele dapat
mengakibatkan kejadian yang mungkin fatal. Periksalah selalu kaki pasien setelah
mereka melepaskan sepatu dan kausnya. Keadaan kaki penyandang diabetes digolongkan
berdasar risiko terjadinya dan risiko besarnya masalah yang mungkin timbul.
Penggolongan kaki diabetes berdasar risiko terjadinya masalah (Frykberg) [ CITATION
aru15 \l 1033 ].
1). Sensasi normal tanpa deformitas;
2). Sensasi normal dengan deformitas atau tekanan plantar tinggi;
3). Insensitivitas tanpa deformitas;
4). iskemia tanpa deformitas;
5). kombinasi/complicated:
(a) kombinasi insensitivitas, iskemia dan/atau deformitas,
(b) riwayat adanya tukak, deformitas Charcot.
Pengelolaan kaki diabetes terutama ditujukan untuk pencegahan terjadinya tukak,
disesuaikan dengan keadaan risiko kaki. Berbagai usaha pencegahan dilakukan sesuai
dengan tingkat besarnya risiko tersebut. Peran ahli rehabilitasi medis terutama dari segi
ortotik sangat besar pada usaha pencegahan terjadinya ulkus. Dengan memberikan alas

59
kaki yang baik, berbagai hal terkait terjadinya ulkus karena faktor mekanik akan dapat
dicegah. Penyuluhan diperlukan untuk semua kategori risiko tersebut: Untuk kaki yang
kurang merasa/insensitive (kategori 3 dan 5), alas kaki perlu diperhatikan benar, untuk
melindungi kaki yang insensitif tersebut. Kalau sudah ada deformitas (kategori risiko 2
dan 5), perlu perhatian khusus mengenai sepatu/alas kaki yang dipakai, untuk meratakan
penyebaran tekanan pada kaki. Untuk kasus dengan kategori risiko 4 (permasalahan
vaskular), latihan kaki perlu diperhatikan benar untuk memperbaiki vaskularisasi kaki.
Untuk ulkus yang complicated, tentu saja semua usaha dan dana seyogyanya perlu
dikerahkan untuk mencoba menyelamatkan kaki dan usaha ini masuk ke usaha
pencegahan sekunder yang akan dibahas lebih lanjut di bawah ini [ CITATION aru15 \l
1033 ].

b. Pencegahan Sekunder
Pengelolaan Holistik Ulkus/Gangren Diabetik Dalam pengelolaan kaki diabetes,
kerja sama multidisipliner sangat diperlukan. Berbagai hal yang harus ditangani dengan
baik agar diperoleh hasil pengelolaan yang maksimal dapat digolongkan sebagai berikut,
dan semuanya harus dikelola Bersama [ CITATION aru15 \l 1033 ].
• Mechanical control-pressure control
• Wound control
• Microbiological control-infection control
• Vascular control
• Metabolic control
• Educational control
Untuk pengelolaan ulkus/gangren diabetik yang optimal, berbagai hal di bawah
ini merupakan penjabaran lebih rinci dari keenam aspek tersebut pada tingkat pencegahan
sekunder dan tersier,yaitu pengelolaan optimal ulkus/gangren diabetic [ CITATION aru15 \l
1033 ].

 Kontrol metabolik
Keadaan umum pasien harus diperhatikan dan diperbaiki. Konsentrasi glukosa
darah diusahakan agar selalu senormal mungkin, untuk memperbaiki berbagai faktor

60
terkait hiperglikemia yang dapat menghambat penyembuhan luka. Umumnya
diperlukan insulin untuk menormalisasi konsentrasi glukosa darah. Status nutrisi
harus diperhatikan dan diperbaiki. Nutrisi yang baikjelas mennbantu kesembuhan
luka. Berbagai hal lain harus juga diperhatikan dan diperbaiki, seperti konsentrasi
albumin serum, konsentrasi Hb dan derajat oksigenisasi jaringan. Demikian juga
fungsi ginjalnya. Semua faktor tersebut tentu akan dapat menghambat kesembuhan
luka sekiranya tidak diperhatikan dan tidak diperbaiki [ CITATION aru15 \l 1033 ].

 Kontrol vascular
Keadaan vaskular yang buruk tentu akan menghambat kesembuhan luka.
Berbagai langkah diagnostik dan terapi dapat dikerjakan sesuai keadaan pasien
dan juga sesuai kondisi pasien. Umumnya kelainan pembuluh darah perifer dapat
dikenali melalui berbagai cara sederhana seperti: warna dan suhu kulit, perabaan
arteri Dorsalis Pedis dan arteri Tibialis Posterior serta ditambah pengukuran
tekanan darah [ CITATION aru15 \l 1033 ].

 Revaskularisasi
Jika kemungkinan kesembuhan luka rendah atau jikalau ada klaudikasio
intermiten yang hebat, tindakan revaskularisasi dapat dianjurkan. Sebelum
tindakan revaskularisasi diperlukan pemeriksaan arteriografi untuk mendapatkan
gambaran pembuluh darah yang lebih jelas, sehingga dokter ahli bedah vaskular
dapat lebih mudah melakukan rencana tindakan dan mengerjakannya. Untuk
oklusi yang panjang dianjurkan operasi bedah pintas terbuka. Untuk oklusi yang
pendek dapat dipikirkan untuk prosedur endovascular-PTCA. Pada keadaan
sumbatan akut dapat pula dilakukan trombo-arterektomi. Dengan berbagai teknik
bedah tersebut, vaskularisasi daerah distal dapat diperbaiki, sehingga hasil
pengelolaan ulkus diharapkan lebih baik. Paling tidak faktor vaskular sudah lebih
memadai, sehingga kesembuhan luka tinggal bergantung pada berbagai faktor lain
yang juga masih banyak jumlahnya [ CITATION aru15 \l 1033 ].

 Wound control

61
Perawatan luka sejak pertama kali pasien datang merupakan hal yang
harus dikerjakan dengan baik dan teliti. Evaluasi luka harus dikerjakan secermat
mungkin. Klasifikasi ulkus PEDIS dilakukan setelah debridemen yang adekuat.
Tindakan debridemen yang adekuat merupakan syarat mutlak yang harus
dikerjakan dahulu sebelum menilai dan mengklasikasikan luka. Debridement yang
baik dan adekuat tentu akan sangat membantu mengurangi jaringan nekrotik yang
harus dikeluarkan tubuh, dengan demikian tentu akan sangat mengurangi produksi
pus/cairan dari ulkus/gangrene [ CITATION aru15 \l 1033 ].

 Microbiological control
Umumnya didapatkan infeksi bakteri yang multipel, anaeob dan anerob.
Antibiotik yang dianjurkan harus selalu disesuaikan dengan hasil biakan kuman
dan resistensinya.Karena itu untuk lini pertama pemberian antibiotik harus
diberikan antibiotik dengan spektrum luas, mencakup kuman gram positif dan
negatif (seperti misalnya golongan sefalosporin), dikombinasikan dengan obat
yang bermanfaat terhadap kuman anaerob (seperti misalnya metronidazol)
[ CITATION aru15 \l 1033 ].

 Pressure control
Jika tetap dipakai untuk berjalan (berarti kaki dipakai untuk menahan berat
badan-weight bearing), luka yang selalu mendapat tekanan tidak akan sempat
menyembuh, apalagi kalau luka tersebut terletak di bagian plantar seperti luka
pada kaki Charcot. Peran jajaran rehabilitasi medis pada usaha pressure control ini
juga sangat mencolok. Berbagai cara untuk mencapai keadaan non weightbearing
dapat dilakukan antara lain dengan [ CITATION aru15 \l 1033 ].
-Removable cast walker
-Total contact casting
-Temporary shoes
-Felt padding
-Crutches

62
-Wheelchair
-Electric carts
-Craddled insoles

 Education control
Edukasi sangat penting untuk semua tahap pengelolaan kaki diabetes.
Dengan penyuluhan yang baik, penyandang DM dan ulkus/gangren diabetic
maupun keluarganya diharapkan akan dapat membantu dan mendukung berbagai
tindakan yang diperlukan untuk kesembuhan luka yang optimal [ CITATION aru15 \l
1033 ].

 Rehabilitasi
Merupakan program yang sangat penting yang harus dilaksanakan untuk
pengelolaan kaki diabetes. Bahkan sejak pencegahan terjadinya ulkus diabetik dan
kemudian segera setelah perawatan, keterlibatan ahli rehabilitasi medis sangat
diperlukan untuk mengurangi kecacatan yang mugkin timbul pada pasien.
Keterlibatan ahli rehabilitasi medis berlanjut sampai jauh sesudah amputasi, untuk
memberikan bantuan bagi para amputee menghindari terjadinya ulkus baru.
Pemakaian alas kaki/ sepatu khusus untuk mengurangi tekanan plantar akan
sangat membantu mencegah terjadinya ulkus baru. Ulkus yang terjadi berikut
memberikan prognosis yang jauh lebih buruk daripada ulkus yang pertama
[ CITATION aru15 \l 1033 ].

63
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Ada beberapa diagnosis banding untuk seseorang dapat mengalami penurunan kesadaran,
baik yang disebabkan oleh sistem organ seperti ginjal, hati, jantung dan sebagainya.Namun
penurunan kesadaran juga dapat disebabkan oleh kelainan metabolik seperti pada ketoasidosis
diabetikum. Selain itu, penurunan kesadaran dapat juga disebabkan oleh hipoglikemi atau
rendahnya kadar glukosa dalam darah yang dapat menggangu homestatis tubuh, kelaianan
elektrolit, koma hepatik dan koma diabetik juga dapat dijalaskan dalam penurunan
kesadaran.Diabetes melitus merupakan penyakit yang masih banyak dijumapi di Indonesia, baik
diabtes yang disebabkan oleh getik (DM tipe1) ataupun akibat resistensi insulin (DM tipe 2).

3.2 Saran
Saran sangat kami butuhkan demi kebaikan penulis dalam membuat karya tulis ilmiah
yang baik.

64
DAFTAR PUSTAKA

adit, Soebagijo. pedoman pengelolaan dan penecegahan diabetes melitus tipe 2 dewasa di
indonesia. jakarta: PB PERKENI, 2019.

kee, joyce le fever. pedoman pemeriksaan laboratorium & diagnostik edisi 6. jakarta: EGC,
2014.

riswanto. urinalisis. jakarta: pustaka ramedia, 2015.

Sidemen, Sukrana. analisis gas darah. bali: bagian anasthesia dan terapi intensif FK UNUD,
2016.

Sudoyo, aru W. Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid III edisi VI. jakarta: interna publishing,
2015.

Fatimah Noor R. 2015. Diabetes melitus Tipe 2. Penerbit. Medical faculty, University lampung.
Vol. 4 Nomor 5. Diakses tanggal 12 januari 2020.

PERKENI. Konsesnsus Pengendalian dan pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia.


Jakarta: PB PERKENI; 2015

65

Anda mungkin juga menyukai