PENURUNAN KESADARAN
Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang, kami
panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah,
dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ilmiah tentang
penurunan kesadaran.
Makalah ilmiah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari
berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini.Untuk itu kami
menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam
pembuatan makalah ini.
Terlepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari
segi susunan kalimat maupun tata bahasanya.Oleh karena itu, dengan tangan terbuka kami
menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah ilmiah ini.
Akhir kata kami berharap semoga makalah Pleno 4 ini dapat membantu para pembaca untuk
mudah memahami Pleno 4 modul 5.3 Penurunan Kesadaran.
DAFTAR ISI
i
KATA PENGANTAR......................................................................................................................i
BAB I...............................................................................................................................................1
PENDAHULUAN...........................................................................................................................1
STEP 1. Clarifying Unfamillar Terms.........................................................................................1
STEP 2. Problem Defenition........................................................................................................2
STEP 3. Brainstorming................................................................................................................2
STEP 4. Analyzing the Problem...................................................................................................3
STEP 5. Learning Objective........................................................................................................3
STEP 6. Self Study.......................................................................................................................4
STEP 7. Reporting.......................................................................................................................4
BAB II.............................................................................................................................................5
ISI....................................................................................................................................................5
2.1 Diagnosis Banding Penuruna Kesadaran Berdasarkan Sistem Organ...................................5
2.2 Diagnosis Banding Penurunan Kesadaran Metabolik............................................................7
2.3 Diabetes melitus...................................................................................................................15
A. Klasifikasi.......................................................................................................................15
B. Patofisiologi....................................................................................................................16
2.4 Komplikasi Diabetes Melitus Akut......................................................................................19
2.5 Komplikasi Diabetes Melitus Kronik..................................................................................24
2.6 Pemeriksaan Penunjang Hiperglikemia...............................................................................24
2.7 prinsip Tatalaksana Hiperglikemia, KAD, Ulkus Diabetikum............................................34
BAB III..........................................................................................................................................56
PENUTUP.....................................................................................................................................56
3.1 Kesimpulan..........................................................................................................................56
3.2 Saran.....................................................................................................................................56
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................................57
ii
iii
BAB I
PENDAHULUAN
Skenario 4
Penurunan Kesadaran
Laki-laki 50 tahun di bawa ke UGD dalam keadaan penurunan kesadaran sejak 1 jam
yang lalu. Pasien adalah penderita kencing manis sejak 15 tahun dan dua bulan terakhir tidak
mau minum obatlagi. Pemeriksaan TTV: TD 80/palpasi, Nadi cepat dan lemah, RR Kussmaul.
Pemeriksaan fisik ditemukan ulkus di telapak kaki kanan.Pemeriksaan penunjang GDS 400 mg
%.Dokter meminta pemeriksaan AGD.
Suatu pemeriksaan gula darah yang dilakukan setiap waktu tanpa harus
memperhatikan makanan terakhir yang dimakan.
3. Respirasi kusmaull
Keyword:
- Penurunan kesadaran
1
- Ulkus di telapak kaki
- GDS: 400 mg
- AGD
- RR kusmaull
STEP 3.Brainstorming
2
STEP 4.Analyzing the Problem
3
7. Prinsip penatalaksanaan hiperglikemia, KAD, ulkus diabetikum
STEP 7. Reporting
4
BAB II
ISI
2.1.1 Ginjal
Adapun kelainan dari organ ginjal yang dapat menyebabkan penurunan kesadaran pada
seseorang adalah ensefalopathy uremikum.
A.Ensefalopaty Uremikum
Diabetik nefropati terjadi akibat interaksi dari faktor hemodinamik dan metabolik. Faktor
dinamik yang berkontribusi, antara lain peningkatan tekanan sistemik dan intraregulator, juga
aktivasi jalur hormon vasoaktif termasuk diantaranya sistem renin angiotensin dan endothelin.
Akumulasi dari advanced glycation end products (AGEs) merupakan jalur metabolik yang juga
berperan dalam patogenesis diabetik nefropati. Kedua jalur ini akan menuju pada peningkatan
permeabilitas albumin diginjal dan akumulasi extracellular matrix sehingga terjadi proteinuria,
glomerulosklerosis, dan akhirnya fibrosis tubulointestinal. Uremik ensefalopati terjadi pada
pasien dengan gagal ginjal akut maupun kronik, terutama bila creatinine clearance (CrCl) berada
di bawah 15 ml/menit yang didasari oleh penurunan eksitabilitas dan dapat menyebabkan
penurunan kesadaran. Ensefalopati uremik ini adalah diagnosis eksklusi setelah etiologi
sruktural, vaskular, infeksi, toksik, dan metabolik sudah di investigasi.
2.1.2 Hepar
A. Hipertensi portal
Beberapa konsekuensi penyakit hati, terutama sirosis, paling baik dipahami berdasarkan
beberapa yang kita ketahui tentang aliran darah hati. Yang paling penting dari segi klinis adalah
adanya kapiler venosa portal yang bertekanan rendah pada keadaan normal seluruh parenkim hati
dan pembagian zona fungsional aliran darah portal.
5
Jika proses patologis (mis: fibrosis) menyebabkan peningkatan tekanan vena intra hepatik yang
normalnya rendah, darah akan mengalir balik dan sebagian akan rute alternatif untuk kembali ke
sirkulasi sistemis dengan memintasi hati. Karena itu darah dari saluran cerna, pada hakikatnya
kurang tersaring secara efisien oleh hati sebelum memasuki sirkulasi sistemis. Konsekuensi pirau
portal ke sistemik ini adalah hilangnya fungsi protektif dan pembersihan hati, kelainan
fungsional dalam homeostatis, garam dan air, dan peningkatan besar risiko pendarahan saluran
cerna akibat melebarnya pembuluh darah yang membawa darah memintas hati (varises
esofagus).
Bahkan tanpa penyakit intrinsik pada parenkim hati, pirau darah portal ke sistemik dapat
menyebabkan atau ikut berperan menimbulkan ensefalopati (gangguan status mental akibat tidak
tersaringnya racun oleh saluran cerna), pendarahan saluran cerna (akibat varises esofagus), dan
mal absorbsi lemak dan vitamin larut lemak (akibat hilangnya resirkulasi enterohepatik empedu),
serta koagulopati yang menyertainya.
2.1.3 Jantung
A. Infark Miokard
Adapan kelainan jantung yang dapat menyebakan penurunan kesadaran adalah aritmia
atau gangguan irama jantung. Aritmia adalah variasi-variasi di luar irama normal jantung atau
irama abnormal jantung. Jejas iskemik adalah penyebab tersering irama jantung, normalnya 50-
100 denyut/menit. Infrak miokard terjadi karenakerusakan langsung atau dilatasi rongga-rongga
jantung sehingga terjadinya ketidakstabilan irama jantung (aritmia). Aritmia dapat bermanifestasi
sebagai takikardi (denyut jantung cepat), bradikardi (denyut jantung lambat). Biasanya pasien
mungkin saja tidak mengetahui kelainan irama jantung, atau dapat merasakan adanya “jantung
berpacu” atau palpitasi, hilangnya curah jantung yang adekuat akibat aritmia yang menetap dapat
mengakibatkan rasa seperti melayang/lightheadedness (hampir sinkop), hilang kesadaran
(sinkop), atau kematian mendadak.
6
1.Ketoasidosis Diabetikum
Ketoasidosis diabetic (KAD) adalah fenomena unik pada setiap orang pengidap diabetes akibat
defisiensi insulin absolut atau relatif dan peningkatan hormon kontra regulator yang
mengakibatkan lopolisis berlebihan dengan akibat terbentuknya benda-benda keton dengan
segala konsekuensinya.
Perjalan penyakit merupakan kombinasi dari defisiensi insulin absolut atau relatif dan
peningkatan kadar hormon kontra regulator (glukagon, katekolamin, kortisol, hormon
pertumbuhan, dan somatostatia) akan mengakibatkan akselerasi kondisi katabolik dan inflamasi
berat dengan akibat peningkatan produksi glukosa oleh hati dan ginjal (via glikogenolisis dan
glukoneogenesis) dan gangguan utilisasi glukosa di perifer yang berakibat hiperglikemia dan
hiperosmolaritas. Defisiensi insulin dan peningkatan hormon kontra regulator terutama epinefrin
juga mengaktivasi hormon lipase sensitif pada jaringan lemak yang mengakibatkan peningkatan
lipolisis. Peningkatan lipolisis dan ketogenesis akan memicu ketonemia dan asidosis metabolik.
Populasi benda keton utama terdiri dari 3 - beta hidroksibutirat, asetoasetat, dan aseton. Sekitar
75 - 85 % benda keton terutama adalah 3-beta hidroksibutirat, sementara aseton sendiri
sebenarnya tidak terlalu penting. Walaupun sudah dibentuk banyak benda keton untuk sumber
energi, sel - sel tubuh tetap masih lapar dan terus membentuk glukosa. Hiperglikemia dan
hiperketonemia mengakibatkan diuresis osmotik, dehidrasi, dan kehilangan elektrolit. Perubahan
tersebut akan memicu lebih lanjut hormon stres sehingga akan terjadi perburukan hiperglikemia
dan hiperketonemia. Jika lingkaran setan tersebut tidak diinterupsi dengan pemberian insulin dan
cairan, maka akan terjadi dehidrasi berat dan asidosis metabolik yang fatal. Ketoasidosis akan
diperburuk oleh asidosis laktat akibat perfusi jaringan yang buruk.
Defisiensi insulin relatif terjadi akibat konsentrasi hormon kontra regulator yang meningkat
sebagai respon terhadap kondisi stres seperti sepsis, trauma, penyakit gastrointestinal yang berat,
infark miokard akut, stroke, dan lain - lain. Dengan adanya kondisi stres metabolik tertentu,
keberadaan insulin yang biasanya cukup untuk menekan lipolisis menjadi tidak cukup secara
relatif karena dibutuhkan lebih banyak insulin untuk metabolisme dan untuk menekan lipolisis
7
2.1.5 Intrakranial
Formasi retikuler berperan penting dalam menentukan tingkat kesadaran. RAS adalah jalur
polysynaptic kompleks yang berasal dari batang otak (formasi retikuler) dan hipotalamus dengan
proyeksi ke intalaminar dan nukleus retikular thalamus yang akan memproyeksi kembali secara
menyeluruh dan tidak spesifik pada area luas dari korteks termasuk frontal, parietal, temporal,
dan oksipital. Jaras kolateral kedalamnyatidak hanyadari traktus sensoris, tetapi juga dari traktus
trigeminal, pendengaran, penglihatan, dan penciuman. (Ganong, 2016) Kelainan yang mengenai
lintasan RAS tersebut berada diantara medulla, pons, mesencephalon menuju ke subthalamus,
hipothalamus, thalamus dan akan menimbulkan penurunan derajat kesadaran. (Wijdicks, 2010)
Gambar 1. Gambaran ascending reticular activating system (ARAS) pada batang otak
(brainstem) memperlihatkan proyeksi pada thalamus dan korteks serebral (Ganong, 2016)
Kesadaran ditentukan oleh interaksi kontinu antara fungsi korteks serebri (kualitas) dengan
Ascending Reticular Activating System (ARAS) (kuantitas) yang terletak mulai dari pertengahan
bagian atas pons.ARAS menerima serabut-serabut saraf kolateraldarijaras-
jarassensorisdanmelalui thalamic relay nuclei dipancarkan secara difus ke kedua korteks serebri.
ARAS bertindak sebagai suatu tombol off-on, untuk menjaga korteks serebri tetap sadar (awake)
(Wijdicks, 2010). Respon gangguan kesadaran pada kelainan di ARAS ini merupakan kelainan
yang berpengaruh kepada sistem arousal yaitu respon primitif yang merupakan manifestasi
rangkaian inti-inti di batang otak dan serabutserabut saraf pada susunan saraf. Korteks serebri
merupakan bagian yang terbesar dari susunansarafpusatdimanakeduakorteksini
berperandalamkesadaranakandiriterhadap lingkungan atau input-input rangsangan sensoris
(awareness). Neurotransmiter yang berperan pada ARAS antara lain neurotransmiter kolinergik,
monoaminergik dan Gamma Aminobutyric Acid (GABA).
Koma dapat disebabkan oleh penyakit yang menyerang bagian otak secara fokal maupun
seluruh otak secara difus. Penyebab koma secara umum diklasifikasikan dalam intrakranial dan
ekstrakranial (tabel 1). Selain itu, Koma juga dapat disebabkan oleh penyebab traumatik dan
non-traumatik. Penyebab traumatik yang sering terjadi adalah kecelakaan lalu lintas, kekerasan
fisik, dan jatuh. Penyebab non-traumatik yang dapat membuat seseorang jatuh dalam keadaan
koma antara lain gangguan metabolik, intoksikasi obat, hipoksia global, iskemia global, stroke
8
iskemik, perdarahan intraserebral, perdarahan subaraknoid, tumor otak, kondisi inflamasi, infeksi
sistem saraf pusat seperti meningitis, ensefalitis dan abses serta
gangguanpsikogenik.Keadaankomadapatberlanjutmenjadikematianbatangotakjikatidakadaperbai
kan keadaan klinis.
Diffuse :
9
Sebagian pasien dengan diabetes dapat menunjukkan gejala glukosa darah rendah tetapi
menujukkan glukosa darah normal. Di lain pihak, tidak semua pasien diabetes mengalami gejala
hipoglikemia meskipun pada pemeriksaan kadar glukosa darahnya rendah. Penurunan kesadaran
yang terjadi pada penyandang diabetes harus selalu dipikirkan kemungkinan disebabkan oleh
penggunaan sulfonilurea dan insulin. Hipoglikemia akibat sulfonilurea dapat berlangsung lama,
sehingga harus diawasi sampai seluruh obat diekskresi dan waktu kerja obat telah habis.
Pengawasan glukosa darah pasien harus dilakukan 24-72 jam, terutama pada pasien dengan
gagal ginjal kronik atau yang mendapatkan terapi dengan OHO kerja panjang. Hipoglikemia
pada usia lanjut merupakan suatu hal yang harus dihindari, mengingat dampaknya yang fatal atau
terjadinya kemunduran mental bermakna pada pasien. Perbaikan kesadaran pada DM usia lanjut
sering lebih lambat dan memerlukan pengawasan yang lebih lama[ CITATION aru15 \l 1033 ].
Tanda Gejala
Rasa lapar, berkeringat, Pucat, takikardia, widened
Autonomik gelisah, paresthesia, palpitasi, pulse pressure
tremulousness
Lemah, lesu, dizzines, Cortical-blindness,
confussion, pusing, perubahan hipotermia, kejang, koma
Neuroglikopenik sikap, gangguan kognitif,
koma, pandangan kabur,
diplopia
Hipoglikemia ringan : pasien tidak membutuhkan bantuan orang lain untuk pemberian
glukosa per-oral
Hipoglikemia berat : pasien membutuhkan bantuan orang lain untuk pemberian glukosa
intravena, glukagon, atau resusitasi lainnya.
10
Gangguan elektrolit
a. Natrium
Natrium berperan dalam menentukan status volume air dalam tubuh.
Keseimbangan natrium yang terjadi dalam tubuh diatur oleh dua mekanisme yaitu
pengatur:
1. Hiponatremia
11
terjadi hanya ringan seperti lemas atau mengantuk. Kelompok ini disebut
juga sebagai hiponatremia asimptomatik.
Gejala Klinis
Beratnya gejala klinis hiponatremia tergantung pada rendahnya kadar natrium dan
cepatnya penurunan kadar natrium serum tersebut. Hiponatremia kronik ringan bisa saja
tidak bergejala. Kadar natrium serum < 125 mEq/L dapat menimbulkan letargi,
kelelahan, anoreksia, mual, dan kram otot. Dengan memburuknya hiponatremia, gejala-
gejala susunan saraf pusat mengemuka dan bervariasi dari kebingungan hingga koma dan
kejang. Terdapat risiko kematian bila kadar natrium serum < 110 mEq/L.
2. Hipernatremia
Hipernatremi adalah keadaan dimana kadar natrium dalam darah lebih dari
145mEq/L. Respons fisiologis hipernatremia adalah meningkatnya pengeluaran ADH
dari hipotalamus sehingga ekskresi urin berkurang oleh karena saluran air (AQP2) di
bagian apikal duktus koligentes bertambah sehingga osmolalitas urin meningkat.
Hipernatremia terjadi bila :
Adanya defisit cairan tubuh akibat ekskresi air melebihi ekskresi natrium.
Misalnya pada pengeluaran air melalui 'insensible water loss' atau keringat;
osmotik diare akibat pemberian laktulose atau sorbitol; diabetes insipidus
sentral maupun nefrogenik; diuresis osmotik akibat glukosa atau manitol;
12
gangguan pusat rasa haus di hipotalamus akibat tumor atau gangguan
vaskular sehingga pengeluaran air melalui 'insensible water loss' atau
keringat tidak direspon dengan keinginan minum.
Masuknya air tanpa elektrolit ke dalam sel. Misalnya pada latihan olahraga
yang berat, asam laktat dalam sel meningkat sehingga osmolalitas sel juga
meningkat dan air dari ekstrasel akan masuk ke intrasel. Biasanya kadar
natrium akan kembali normal dalam waktu 5-15 menit setelah istirahat.
Gejala klinis yang ditimbulkan pada keadan peningkatan natrium plasma secara
akut hingga di atas 158 meq/L. Gejala yang ditimbulkan akibat mengecilnya volume otak
oleh karena air keluar dari dalam sel. Pengecilan volume ini menimbulkan robekan pada
vena menyebabkan perdarahan lokal di otak dan perdarahan subaraknoid. Gejala dimulai
dari letargi, lemas, twitching, kejang dan akhirnya koma. Kenaikan akut di atas 180
meq/L dapat menimbulkan kematian.
b. Kalium
Kalium merupakan kation yang memiliki jumlah yang sangat besar dalam tubuh
dan terbanyak berada di intrasel. Kalium berfungsi dalam sintesis protein, kontraksi otot,
konduksi saraf, pengeluaran hormon, transpor cairan, perkembangan janin. Nilai rujukan
kalium serum pada: (4,7)
13
urine dewasa : 40-80 mmol/24 jam
cairan lambung : 10 mmol/L
1. Hipokalemia
Disebut hipokalemia bila kadar kalium dalam plasma kurang dari 3,5 meq/L.
Hipokalemia merupakan kejadian yang sering ditemukan dalam klinik. Penyebab
hipokalemia dapat dibagi sebagai berikut 1). Asupan kalium yang kurang. 2)
Pengeluaran kalium yang berlebihan melalui saluran cerna atau ginjal atau keringat.
3) Kalium masuk ke dalam sel (translokasi).
Pengeluaran kalium yang berlebihan dari saluran cerna antara lain muntah,
selang nasogastrik, diare atau pemakaian pencahar. Akibat muntah atau selang
nasogastrik, terjadi alkalosis metabolik sehingga banyak bikarbonat yang difiltrasi
glomerulus tidak direabsorpsi oleh tubulus. Bikarbonat yang berlebih di lumen
tubulus akan mengikat kalium di duktus koligentes. Adanya hiperaldosteron
sekunder dari hipovolemia akibat muntah akan meningkatkan ekskresi kalium
melalui saluran kalium di duktus koligentes. Kesemuanya ini akan meningkatkan
ekskresi kalium melalui urin dan terjadi hipokalemi.
Kalium masuk ke dalam sel dapat terjadi pada alkalosis ekstrasel, pemberian
insulin, peningkatan aktivitas beta adrenergik (pemakaian p2-agonis), paralisis
periodik hipokalemik, hipotermia.
Pada asupan kalium yang kurang, orang tua yang hanya makan roti panggang
dan teh, peminum alkohol yang berat sehingga jarang makan dan tidak makan
dengan baik, atau pada pasien sakit berat yang tidak dapat makan dan minum dengan
baik melalui mulut atau disertai oleh masalah lain misalnya pada pemberian diuretik
atau pemberian diet rendah kalori pada program menurunkan berat badan dapat
menyebabkan hipokalemia.
Gejala Klinis
Berupa : kelemahan pada otot, perasaan lelah, nyeri otot, 'restless legs
syndrome' merupakan gejala pada otot yang timbul pada kadar kalium kurang dari 3
14
meq/L. Penurunan yang lebih berat dapat menimbulkan kelumpuhan atau
rabdomiolisis.
Efek hipokalemia pada ginjal berupa timbulnya vakuolisasi pada tubulus
proksimal dan distal. Juga terjadi gangguan pemekatan urin sehingga menimbulkan
poliuria dan polidipsia. Hipokalemia juga akan meningkatkan produksi NH4 dan
produksi bikarbonat di tubulus proksimal yang akan Menimbulkan alkalosis
metabolik. Meningkatnya NH4 (amonia) dapat mencetuskan koma pada pasien
dengan gangguan fungsi hati.
2. Hiperkalemia
Disebut hiperkalemia bila kadar kalium dalam plasma lebih dari 5 meq/L.
Dalam keadaan normal jarang terjadi hiperkalemia oleh karena adanya mekanisme
adaptasi oleh tubuh.
Penyebab hiperkalemia dapat disebabkan oleh: 1. Keluarnya kalium dari
intrasel ke ekstrasel. 2. Berkurangnya ekskresi kalium melalui ginjal. Kalium keluar
dari sel dapat terjadi pada keadaan asidosis metabolik bukan oleh asidosis organik
(ketoasidosis, asidosis laktat), defisiensi insulin, katabolisme jaringan meningkat,
pemakaian obat penghambat-p adrenergik, pseudo hiperkalemia akibat pengambilan
contoh darah di laboratorium yang mengakibatkan sel darah merah lisis dan pada
latihan olahraga. Berkurangnya ekskresi kalium melalui ginjal terjadi pada keadaan
hipoaldosteronisme gagal ginjal, deplesi volume sirkulasi efektif, pemakaian
siklosporin.
Dalam gejala klinis, hiperkalemia ini dapat meningkatkan kepekaan membran sel
sehingga dengan sedikit perubahan depolarisasi, potensial aksi lebih mudah terjadi.
Dalam klinik ditemukan gejala akibat gangguan konduksi listrik jantung, kelemahan otot
sampai dengan paralisis sehingga pasien merasa sesak napas. Gejala ini timbul pada
kadar K > 7 meq/L atau kenaikan yang terjadi dalam waktu cepat. Dalam keadaan
asidosis metabolik dan hipokalsemi, mempermudah timbulnya gejala klinik hiperkalemia.
15
c. Fosfor
Homeostatis normal mempertahankan kosentrasi serum fosfat antara 2,5 - 4,5 mg/dL.
Sekitar 50-65% fosfor dalam usus diabsorbsi secara aktif bergabung dengan natrium
terutama di daerah yeyunum melalui kotransporter Na-P (NaPi2b) yang identik dengan
NaPi2a di tubulus ginjal. Absorbsi bergantung pada gradien natrium antara mukosa usus dan
bagian basolateral sel usus oleh pompa NaKATPase. Adanya fosfor dalam usus akan
membantu absorbsi kalsium, akan tetapi absorbsi fosfor dihambat oleh asupan kalsium yang
tinggi. Absorbsi fosfor juga dihambat oleh antasid aluminium hidroksida. Vitamin-D3
menstimulasi absorbsi fosfor dalam usus.
1. Hipofosfatemia
Hipofosfatemia adalah kadar serum fosfat < 4,5 mg/dL. Ada tiga hal yang
dapat menyebabkan berkurangnya kadar fosfor dalam darah antara lain: (4)
16
Gejala yang ditimbulkan akibat hipofosfatemia baru timbul pada saat
kadar fosfor darah kurang dari 2 mg/dl dan gejala berat seperti rabdomiolisis baru
timbul bila kadar fosfor kurang dari 1 mg/dl. (4)
2. Hiperfosfatemia
Ekskresi fosfor melalui urin sangat efisien, dengan sedikit saja kenaikan
fosfor darah, ekskresi melalui urin akan meningkat. Hiperfosfatemi disebabkan
oleh terutama disebabkan oleh ketidakmampuan ginjal dalam ekskresi fosfor:
Jumlah fosfor yang meningkat tinggi dalam darah pada sindrom lisis
tumor, rabdomiolisis, asidosis laktat, ketoasidosis, pemberian fosfor
berlebihan.
Gangguan fungsi ginjal, akut atau kronik.
Reabsorpsi fosforyang meningkat melalui tubulus pada hipoparatiroid,
akromegali, pemberian bifosfonat, familial tumoral calcinosis.
Pseudohiperfosfatemi pada hiperglobulinemi (mieloma multipel),
hiperlipidemia, hemolisis, hiperbilirubinemia.
17
d. Magnesium
Kadar normal magnesium yaitu 1,70 – 2,3 mg/dL. Peningkatan atau penurunan kadar
magnesium dalam darah berturutan akan meningkatkan atau menurunkan ekskresi
magnesium melalui ginjal. Penambahan volume cairan ekstrasel yang akut dan kronik akan
meningkatkan ekskresi magnesium melalui ginjal. Pemberian diuretik seperti manitol,
asetazolamid, tiasid, furosemid dan asam etakrinik akan meningkatkan ekskresi magnesium
dengan menghambat reabsorpsi di tubulus. Tidak ada hormon yang diketahui dapat
mempengaruhi keseimbangan magnesium dalam tubuh kita. Hiperkalsemia akan
meningkatkan ekskresi magnesium dalam urin. Ekskresi magnesium mempunyai pola
diurnal.
1. Hipermagnesemia
Dikatakan hipermagnesemia bila kadar serum magnesium > 2,3 mg/dl.
Hipermagnesemia dapat terjadi pada keadaan gangguan fungsi ginjal. Pada pasien
gagal ginjal terminal, kadar magnesium serum adalah 2-3 meq/L (2,4-3,6 mg/dl).
Pemberian antasid yang mengandung magnesium pada pasien gangguan fungsi ginjal
dapat menimbulkan gejala hipermagnesemia. Pemberian magnesium berlebihan
melebihi kemampuan ekskresi ginjal atau pemberian MgS04 sebagai laksan dengan
cara melalui oral maupun suppositoria dapat menimbulkan hipermagnesemi.
Pemberian laksan ini pada pasien gagal ginjal dapat bersifat fatal.
Kadar magnesium plasma sebesar 4,8-7,2 mg/dl, menimbulkan gejala nausea,
flushing, sakit kepala, letargi, ngantuk dan penurunan refiek tendon. Kadar
magnesium plasma sebesar 7,2-12 mg/dl, menimbulkan gejala somnolen,
hipokalsemi, refiek tendon hilang, hipotensi, bradikardia, perubahan EKG. Kadar
magnesium plasma sebesar lebih dari 12 mg/dl, menimbulkan gejala kelumpuhan
otot, kelumpuhan pernapasan, blok jantung komplit, henti jantung. Seluruh gejala ini
ditimbulkan oleh karena gangguan neuromuskular, kardiovaskular dan efek
18
magnesium sebagai penghambat saluran kalsium (calcium-channel blocker) dan
menurunkan sekresi hormon paratiroid yang berakibat hipokalsemia.
Koma Hepatikum
Hati merupakan salah satu organ yang sangat berperan penting dalam mengatur
metabolisme tubuh, yaitu pada proses anabolisme atau sintesis bahan-bahan yang penting seperti
sintesis protein, pembentukan glukosa serta proses katabolisme yaitu dengan melakukan
detoksikasi bahan-bahan seperti amonia, berbagai jenis hormon, obat obatan, dan sebagainya.
Selain itu hati Juga berperan sebagai penyimpan bahan-bahan seperti glikogen dan vitamin serta
memelihara keseimbangan aliran darah splanknikus.
Perjalanan klinis koma hepatik dapat subklinis, apabila tidak begitu nyata gambaran
klinisnya dan hanya dapat diketahui dengan cara-cara tertentu. Angka kekerapan (prevalensi)
ensefalopati subklinis berkisar antara 30% sampai 88% pada pasien sirosis hati.
Koma Diabetik
(Sudoyo, aru W. Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid II edisi VI. jakarta: interna publishing,
2014)
Salah satu penurunan kesadaran pada diabetes melitus adalah ketoasidosis diabetikum
atau disingkat dengan (KAD).
KAD adalah fenomena unik pada seorang pengidap diabetes akibat defisiensi insulin
absolut atau relatif dan peningkatan hormon kontra regulator, yang mengakibatkan lipolisis
berlebihan dengan akibat terbentuknya bendabenda keton dengan segala konsekuensinya. KAD
19
perlu dikenali dan dikelola segera karena jika terlambat maka akan meningkatkan morbiditas dan
mortalitas dengan perawatan yang mahal.
Gejala dan tanda ketoasidosis dapat dikelompokan menjadi dua : akibat hiperglikemia
dan akibat ketosis.
Defisiensi insulin menyebabkan berkurangnya penggunaan glukosa oleh jaringan tepi dan
bertambahnya glukoneogenesis dihati, keduanya menyebabkan hiperglikemia.Defisiensi insulin
menyebabkan bertambahnya kadar glukagon dan perubahan rasio ini menimbulkan peningkatan
lipolisis dijaringan lemak serta ketogenesis di hati. Lipolisis terjadi karena defisiensi insulin
merangsang kegiatan lipase di jaringan lemak dengan akibat bertambahnya pasokan asam lemak
bebas ke hati. Di dalam mitokondria hati enzim karnitil asil transferase I terangsang untuk
mengubah asam lemak bebas ini menjadi benda keton, sehingga mengoksidasinya CO2 atau
menimbunnya menjadi trigliserida. Proses ketosis ini menghasilkan asam betahidroksibutirat dan
asam asetoasetat, yang menyebabkan asidosis. Aseton tidak berperan dalam kejadian ini,
walaupun penting untuk diagnosis ketoasidosis. Defisiensi insulin yang menyebabkan
ketoasidosis, pada manusia ternyata defisiensi relatif, karena pada waktu bersamaan juga terjadi
penambhan hormon stres yang kerjanya berlawanan dengan insulin.
Manifestasi klinis
Ditemukan pada pasien dengan keluhan poliuria, polidipsi, rasa lelah, kram otot, mual muntah,
dan nyeri perut. Pada keadaan yang berat dapat ditemukan keadaan penurunan kesadaran sampai
koma. Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan tanda-tanda dehidrasi, nafas Kussmaul jika
asidosis berat, takikardi, hipotensi atau syok, flushing, penurunan berat badan, dan tentunya
adalah tanda dari masing-masing penyakit penyerta.
A. Klasifikasi
20
B. Patofisiologi
Diabetes melitus merupakan penyakit yang disebabkan oleh adanya kekurangan isulin
secara relatif maupun absolut. Defisiensi insulin dapat terjadi melalui 3 jalur, yaitu:
a. Rusaknya sel-sel beta pankreas karena pegaruh dari luar ( virus, zat kimia, dll)
b. Desensitasi atau penurunan reseptor glukosa pada kelenjar pankreas
c. Desensitasi atau kerusakan reseptor inuslin di jaringan perifer.
Diabetes tipe 1 adalah penyakit di mana tubuh tidak menghasilkan cukup insulin untuk
mengontrol kadar gula darah. Diabetes tipe 1 sebelumnya disebut diabetes tergantung insulin.
( Fatimah Noor R. 2015)
Schwartz pada tahun 2016 menyampaikan, bahwa tidak hanya otot, liver dan sel beta
pankreas saja yang berperan sentral dalam patogenesis penderita DM tipe-2 tetapi terdapat organ
lain yang berperan yang disebutnya sebagai the egregious eleven. [ CITATION Soe19 \l 1033 ]
21
Secara garis besar patogenesis DM tipe-2 disebabkan oleh sebelas hal (egregious eleven)
1. Kegagalan sel beta pancreas: Pada saat diagnosis DM tipe-2 ditegakkan, fungsi sel
beta sudah sangat berkurang. [ CITATION Soe19 \l 1033 ]
2. Difungsi sel Alpha Pancreas: Sel α pancreas merupakan organ ke-6 yang berperan
dalam hiperglikemia dan sudah diketahui sejak 1970. Sel α berfungsi dalam sintesis
glukagon yang dalam keadaan puasa kadarnya di dalam plasma akan meningkat.
Peningkatan ini menyebabkan HGP dalam keadaan basal meningkat secara signifikan
dibanding individu yang normal. [ CITATION Soe19 \l 1033 ]
3. Sel lemak: Sel lemak yang resisten terhadap efek antilipolisis dari insulin,
menyebabkan peningkatan proses lipolysis dan kadar asam lemak bebas (FFA=Free
Fatty Acid) dalam plasma. Penigkatan FFA akan merangsang proses
glukoneogenesis, dan mencetuskan resistensi insulin di liver dan otot. FFA juga akan
mengganggu sekresi insulin. Gangguan yang disebabkan oleh FFA ini disebut sebagai
lipotoxocity. [ CITATION Soe19 \l 1033 ]
4. Otot: Pada penderita DM tipe-2 didapatkan gangguan kinerja insulin yang multiple di
intramioselular, akibat gangguan fosforilasi tirosin sehingga timbul gangguan
transport glukosa dalam sel otot, penurunan sintesis glikogen, dan penurunan oksidasi
glukosa. [ CITATION Soe19 \l 1033 ]
22
5. Hepar : Pada penderita DM tipe-2 terjadi resistensi insulin yang berat dan memicu
gluconeogenesis sehingga produksi glukosa dalam keadaan basal oleh liver
(HGP=hepatic glucose production) meningkat. [ CITATION Soe19 \l 1033 ]
6. Otak: Insulin merupakan penekan nafsu makan yang kuat. Pada individu yang obes
baik yang DM maupun non-DM, didapatkan hiperinsulinemia yang merupakan
mekanisme kompensasi dari resistensi insulin. Pada golongan ini asupan makanan
justru meningkat akibat adanya resistensi insulin yang juga terjadi di otak. [ CITATION
Soe19 \l 1033 ]
7. Kolon/microbiota :perubahan komposisi microbiota pada kolon berkontribusi dalam
keadaan hiperglikemia. Microbiota usus terbukti berhubungan dengan DM tipe1, DM
tipe 1, dan obesitas sehingga menjelaskan bahwa hanya sebagian individu berat badan
berlebih akan berkembang. [ CITATION Soe19 \l 1033 ]
8. Usus halus: Glukosa yang ditelan memicu respon insulin jauh lebih besar dibanding
kalau diberikan secara intravena. Efek yang dikenal sebagai efek incretin ini
diperankan oleh 2 hormon GLP-1 (glucagon-like polypeptide-1) dan GIP (glucose-
dependent insulinotrophic polypeptide atau disebut juga gastric inhibitory
polypeptide). Pada penderita DM tipe-2 didapatkan defisiensi GLP-1 dan resisten
terhadap GIP. Disamping hal tersebut incretin segera dipecah oleh keberadaan ensim
DPP-4, sehingga hanya bekerja dalam beberapa menit. Obat yang bekerja
menghambat kinerja DPP-4 adalah kelompok DPP-4 inhibitor. Saluran pencernaan
juga mempunyai peran dalam penyerapan karbohidrat melalui kinerja ensim alfa-
glukosidase yang memecah polisakarida menjadi monosakarida yang kemudian
diserap oleh usus dan berakibat meningkatkan glukosa darah setelah makan.
[ CITATION Soe19 \l 1033 ]
9. Ginjal: Ginjal merupakan organ yang diketahui berperan dalam pathogenesis DM
tipe-2. Ginjal memfiltrasi sekitar 163 gram glukosa sehari. Sembilan puluh persen
dari glukosa terfiltrasi ini akan diserap kembali melalui peran SGLT-2 (Sodium
Glucose co- Transporter) pada bagian convulated tubulus proksimal. Sedang 10%
sisanya akan di absorbsi melalui peran SGLT-1 pada tubulus desenden dan asenden,
sehingga akhirnya tidak ada glukosa dalam urine. Pada penderita DM terjadi
peningkatan ekspresi gen SGLT-2. Obat yang menghambat kinerja SGLT-2 ini akan
23
menghambat penyerapan kembali glukosa di tubulus ginjal sehingga glukosa akan
dikeluarkan lewat urine. [ CITATION Soe19 \l 1033 ]
10. Lambung :penurunan produksi amilin pada diabetes merupakan kosekuensi kerusakan
sel beta pancreas. Penurunan kadar amilin menyebabkan percepatan pengosongan
lambung dan peningkatan absorbs glukosa di usus halus, yang berhubungan dengan
peningkatan kadar glukosa postprandial. [ CITATION Soe19 \l 1033 ]
11. System imun :terdapat bukti bahwa sitokin menginduksi respon fase akut (disebut
inflamasi derajat rendah, merupakan bagian dari aktivasi system imun bawaan/innate)
yang berhubungan kuat dengan pathogenesis DM tipe 2 dan berkaitan dengan
komlikasi seperti dyslipidemia dan aterosklerosis. Inflamasi sistemik derajat rendah
berperan dalam induksi stress pada endoplasma akibat peningkatan kebutuhan
metabolism untuk insulin. DM tipe 2 ditandai dengan resistensi insulin perifer dan
penurunan produksi insulin, disertai dengan inflamasi kronik derajat rendah pada
jaringan perifer seperti adiposa, hepar dan otot. [ CITATION Soe19 \l 1033 ]
Ketoasidosis diabetik (KAD) adalah salah satu komplikasi akut diabetes yang sangat
berhubungan dengan kualitas edukasi yang diberikan kepada seorang pengidap diabetes melitus
(DM) tipe 2, sementara pada DM tipe 1, seringkali ketoasidosis merupakan pintu awal diagnosis.
Pemakaian insulin seringkali menjadi sebab DM tipe 1 jatuh pada keadaan KAD. Pada beberapa
pasien yang dianggap DM tipe 2, kadang-kadang tidak ditemukan pencetus yang jelas dan
setelah diberikan insulin dalam periode pendek keadaannya cepat membaik.
Kombinasi dari defisiensi insulin absolut atau relatif dan peningkatan kadar hormon
kontra regulator (glukagon, katekolamin, kortisol, hormon pertumbuhan, dan somatostatin) akan
mengakibatkan akselerasi kondisi katabolik dan inflamasi berat dengan akibat peningkatan
produksi glukosa oleh hati dan ginjal (via glikogenolisis dan glukoneogenesis) dan gangguan
utilisasi glukosa di perifer yang berakibat hiperglikemia dan hiperosmolaritas. Hanya insulin
yang dapat menginduksi transport glukosa kedalam sel, memberi signal untuk proses perubahan
24
glukosa menjadi glikogen, menghambat lipolisis pada sel lemak (menekan pembentukan asam
lemak bebas).
Defisiensi insulin dan peningkatan hormon kontraregulator terutama epinefrin juga
mengaktivasi hormone lipase sensitif pada jaringan lemak yang mengakibatkan peningkatan
lipolisis. Peningkatan lipolisis dan ketogenesis akan memicu ketonemia dan asidosis metabolik.
Populasi benda keton utama terdiri dari 3-beta hidroksibutirat,asetoasetat, dan aseton. Sekitar 75-
85% benda keton terutama adalah 3-beta hidroksibutirat, sementara aseton sendiri sebenarnya
tidak terlalu penting. Walaupun sudah dibentuk banyak benda keton untuk sumber energi, sel-sel
tubuh tetap masih lapar dan terus membentuk glukosa.
Hiperglikemia dan hiperketonemia mengakibatkan dieresis osmotik, dehidrasi, dan
kehilangan elektrolit. Perubahan tersebut akan memicu lebih lanjut hormon stres sehingga akan
terjadi perburukan hiperglikemia dan hiperketonemia. Jika lingkaran setan tersebut tidak
diinterupsi dengan pemberian insulin dan cairan, maka akan terjadi dehidrasi berat dan asidosis
metabolik yang fatal. Ketoasidosis akan diperburuk oleh asidosis laktat akibat perfusi jaringan
yang buruk.
Defisiensi insulin relatif terjadi akibat konsentrasi hormon kontra regulator yang
meningkat sebagai respon terhadap kondisi stres seperti sepsis, trauma, penyakit gastrointestinal
yang berat, infark miokard akut, stroke, dan Iain-Iain. Dengan adanya kondisi stres metabolik
tertentu, keberadaan insulin yang biasanya cukup untuk menekan lipolisis menjadi tidak cukup
secara relatif karena dibutuhkan lebih banyak insulin untuk metabolisme dan untuk menekan
lipolisis. Trias KAD yaitu,hiperglikemi,ketosis dan asidosis. Pada pemeriksaan fisik dapat
ditemukan tanda-tanda dehidrasi, nafas Kussmaul jika asidosis berat, takikardi, hipotensi atau
syok.
25
B. Hiperosmolar hiperglikemia nonketotik
Suatu keadaan dimana terjadi peningkatan kadar glukosa melebihi ambang ginjal untuk
reabsorpsi glukosa. Hal ini menyebabkan diuresis osmotic yang secara klinis bermanifestasi
sebagai polyuria, termasuk nokturia. Sindrom HHNK ditandai oleh hiperglikemia, hiperosmolar
tanpa disertai adanya ketosis. Gejala klinis utama adalah dehidrasi berat, hiperglikemia berat dan
seringkali disertai gangguan neurologis dengan atau tanpa adanya ketosis. HHNK biasanya
terjadi pada orang tua dengan DM, yang mempunyai penyakit penyerta yang mengakibatkan
menurunnya asupan makanan.
Faktor yang memulai timbulnya HHNK adalah dieresis glukosuria. Glikosuria
mengakibatkan kegagalan pada kemampuan ginjal dalam mengkonsentrasi urin, yang akan
26
semakin memperberat derajat kehilangan air. Pada keadaan normal, ginjal berfungsi
mengeliminasi glukosa di atas ambang batas tertentu. Namun demikian, penurunan volume
intravascular atau penyakit ginjal yang telah sebelumnya akan melajukan laju filtrasi glomerular,
menyebabkan konsentrasi glukosa meningkat. Hilangnya air yang lebih banyak dibanding
natrium menyebabkan keadaan hiperosmolar. Insulin yang tidak cukup untuk menurunkan
konsentrasi glukosa darah, terutama jika terdapat resistensi insulin.
Adanya keadaan hiperglikemia dan hyperosmolar ini jika kehilangan cairan tidak
dikompensasi dengan masukan cairan oral maka akan timbul dehidrasi dan kemudian
hypovolemia. Hypovolemia akan mengakibatkan hipotensi dan nantinya akan menyebabkan
gangguan pada perfusi jaringan. Keadaan koma merupakan suatu stadium terakhir dari proses
hiperglikemik ini, dimana telah timbul gangguan elektrolit berat dalam kaitannya dengan
hipotensi.
2.4.1 Hipoglikemi
27
Hipoglikemi secara definisi didasarkan rendahnya kadar glukosa darah (GD) pada seseorang.
Regulasi GD yang normal diperlukan tubuh untuk memenuhi kebutuhan energi di jarigan. Pada
keadaan normal, terjadi keseimbangan antara proses absorbsi glukosa di saluran cerna,uptake
glukoa oleh jaringan, glikogenesis,glikogenolisis,glukoneogenesis,yang dipengaruhi oleh
hormon. Hipoglikemi terjadi ketika tubuh gagal mempertahankan kadar normal glukosa darah
(GD) oleh penyebab dari luar ataupun dalam tubuh. Keadaan ini disebabkan oleh
ketidakmampuan tubuh dalam mengatur regulasi glukosa melalui rangkaian beberapa proses
yang terjadi secara seimbang. Keseimbangan tersebut dipengaruhi oleh beberapa hormon yang
penting, diantaranya insulin, glukagon, epinefrin (adrenalin), kortisol, dan growth hormone. Pada
dasarnya, keluhan maupun gejala klinis hipoglikemi, terjadi oleh karena dua penyebab utama
yaitu terpacunya aktivasi system saraf otonom,terutama simpatis daan tidak adekuatnya suplai
glukosa ke jaringan serebral (neuroglikpenia). Pada tahap awal hipoglikemia, respon pertama
dari tubuh adalah peningkatan hormone adrenalin/epinefrin,sehingga menimbulkan gejala
neurogenik seperti:
- Gemetaran
- Kulit lembab dan pucat
- Rasa cemas
- Keringat berlebihan
- Rasa lapar
- Mudah rangsang
- Penglihatan kabur atau kembar
Gejala klinis biasanya muncul pada kadar glukosa darah (GD) <60 mg/dL, meskipun
pada orang tertentu sudah dirasakan di atas kadar tersebut (<70 mg/dL). Tapi pada umumnya
pada kadar GD <50 mg/dL, telah memberi dampak pada fungsi serebral. Pada tahap lanjut,
hipoglikemia akan memberikan gejala defisiensi glukosa pada j a r i n g a n serebral (gejala
neuroglikopenik) yakni:
- Sulit berpikir
- Bingung
- Sakit kepala
- Kejang-kejang
- Koma
28
2.5 Komplikasi Diabetes Melitus Kronik
Mikroangiopati
a. Stroke
Ada beberapa mekanisme yang memungkinkan di mana diabetes menyebabkan stroke.
Beberapa diantaranya termasuk disfungsi endotel vaskular, peningkatan kekakuan arteri,
peradangan sistemik dan penebalan membran basal kapiler. Fungsi endotel pembuluh darah
sangat penting untuk menjaga integritas struktural dan fungsional dinding pembuluh darah serta
kontrol vasomotor. Nitric oxide (NO) menjadi perantara vasodilatasi, dan penurunan
ketersediaannya dapat menyebabkan disfungsi endotel dan memicu kaskade aterosklerosis.
Sebagai contoh, vasodilatasi yang dimediasi-NO terganggu pada individu dengan diabetes,
mungkin karena peningkatan inaktivasi NO atau penurunan reaktivitas otot polos menjadi NO.
Orang dengan diabetes tipe II memiliki arteri yang lebih kaku dan elastisitas yang menurun
dibandingkan dengan subjek yang memiliki kadar glukosa normal. Diabetes tipe I lebih sering
dikaitkan dengan gangguan struktural dini dari arteri karotis umum, umumnya tercermin sebagai
peningkatan ketebalan intima-medial, dan dianggap sebagai tanda awal aterosklerosis [ CITATION
aru15 \l 1033 ].
Makroangiopati
a. Retinopati diabetik
Retinopati diabetik adalah merupakan komplikasi diabetes mellitus yang berpotensi
hilangnya penglihatan. Meskipun penyebab retinopati diabetik sampai saat ini belum diketahui
secara pasti, namun keadaan hipoglikemia yang berlangsung lama dianggap sebagai faktor risiko
utama. Ada tiga proses biokimiawi yang tejadi pada hiperglikemia yang diduga berkaitan dengan
timbulnya retinopati diabetik yaitu jalur poliol, glikasi non enzimatik dan pembentukan protein
kinase C [ CITATION aru15 \l 1033 ].
Pada jalur poliol, hiperglikemia yang berlangsung lama akan menyebabkan produksi
berlebihan serta akumulasi dari poliol, yaitu suatu senyawa gula dan alkohol, dalam jaringan
termasuk di lensa dan saraf optik. Salah satu sifat dari senyawa poliol ialah tidak dapat melewati
membrana basalis sehingga akan tertimbun dalam jumlah banyak didalam sel. Senyawa poliol
29
menyebabkan peningkatan tekanan osmotik sel dan menimbulkan gangguan morfologi maupun
fungsional sel [ CITATION aru15 \l 1033 ].
b. Nefropati Diabetik
Nefropati diabetik didefinisikan sebagai sindrom klinik pada pasien diabetes melitus yang
ditandai dengan albuminuria menetap (>300 mg/24 jam atau >200 ig/menit) pada minimal dua
kali pemeriksaan dalam kurun waktu 3 sampai 6 bulan.
Sampai saat ini, hiperfiltrasi masih dianggap sebagai awal dari mekanisme patogenik
dalam laju kerusakan ginjal. Mekanisme terjadinya peningkatan laju filtrasi glomerulus pada
nefropati diabetik ini kemungkinan disebabkan oleh dilatasi arteriol aferen oleh efek yang
tergantung glukosa, yang diperantarai oleh hormon vasoaktif, IGF1, nitric oxide, prostaglandin
dan glukagon. Efek langsung dari hiperglikemia adalah rangsangan hipertrofi sel, sintesis matrik
ekstraselular, serta produksi TGF-β yang diperantarai oleh aktivasi protein kinase C (PKC) yang
termasuk dalam serine-threonin kinase yang memiliki fungsi pada vaskular seperti kontraktilitas,
aliran darah, proliferasi sel dan permeabilitas kapiler [ CITATION aru15 \l 1033 ].
c. Neuropati Diabetik
Pasien DM yang mengalami hiperglikemia dalam waktu yang lama akan mengakibatkan
aktivitas jalur poliol meningkat dimana glukosa akan diubah menjadi sorbitol dengan bantuan
enzim aldose reduktase. Sorbitol yang dibentuk akan diubah menjadi fruktosa dengan bantuan
enzim sorbitol dehirogenase. Penumpukan sorbitol dan fruktosa dalam sel saraf akan
30
menyebabkan keadaan hipertonik intraseluler sehingga mengakibatkan edema saraf. Peningkatan
sintesis sorbitol berakibat terhambatnya mioinositol masuk kedalam sel saraf. Penurunan
mioinositol dan akumulasi sorbitol akan menimbulkan stress osmotic yang akan merusak
mitokondria dan akan menstimulasi protein kinase C (PKC). Aktivitas PKC akan menekan
fungsi Na-K-ATP-asee, sehingga kadar Na intraseluler berlebihan, hal ini akan berakibat pada
terhambatnya mioinositol masuk ke dalam sel saraf sehingga transduksi sinyal pada saraf akan
terganngu. Hiperglikemia dalam jangka panjangpun akan mengakibatkan terbentuknya advance
glycosilation end products (AGEs). AGEs bersifat toksik dan merusak tidak hanya saraf tapi juga
semua protein tubuh. AGEs dan sorbitol yang terbentuk mengakibatkan sintesis dan fungsi nitric
oxide (NO) menurun, sehingga vasodilatasi berkurang dan akhirnya aliran darah ke saraf juga
menurun [ CITATION aru15 \l 1033 ].
Kaki Diabetes
Kaki diabetes merupakan salah satu komplikasi kronik DM yang paling ditakuti. Hasil
pengelolaan kaki diabetes sering mengecewakan baik bagi dokter pengelola maupun penyandang
DM dan keluarganya. Sering kaki diabetes berakhir dengan kecacatan dan kematian [ CITATION
aru15 \l 1033 ].
31
Gambar patofisiologi terjadinya ulkus pada kaki diabetik
32
pengelolaan adalah klasifikasi yang berdasar pada perjalanan alamiah kaki diabetes. (Edmonds
2004-2005):
• Stage 1 : Normal Foot
• Stage 2 : High Risk Foot
• Stage 3 : Ulcerated Foot
• Stage 4 : Infected Foot
• Stage 5 : Necrotic Foot
• Stage 6 : Unsolvable Foot
Untuk stage 1 dan 2, peran pencegahan primer sangat penting, dan semuanya dapat
dikerjakan pada pelayanan kesehatan primer, baik oleh podiatrist/chiropodist maupun
oleh dokter umum/dokter keluarga.
Untuk stage 3 dan 4 kebanyakan sudah memerlukan perawatan di tingkat pelayanan
kesehatan yang lebih memadai umumnya sudah memerlukan pelayanan spesialistik.
Untuk stage 5, apalagi stage 6, jelas merupakan kasus rawat inap, dan jelas sekali
memerlukan suatu kerja sama tim yang sangat erat, di mana harus ada dokter bedah,
utamanya dokter ahli bedah vaskular/ahli bedah plastic dan rekonstruksi [ CITATION
aru15 \l 1033 ].
33
2.6 Pemeriksaan Penunjang Hiperglikemia
A. Pemeriksaan Gula Darah Sewaktu
Diagnosis DM harus didasarkan atas pemeriksaan konsentrasi glukosa darah. Dalam
menentukan diagnosis DM harus diperhatikan asal bahan darah yang diambil dan cara
pemeriksaan yang dipakai. Untuk diagnosis, pemeriksaan yang dianjurkan adalah pemeriksaan
glukosa dengan cara enzimatik dengan bahan darah plasma vena. Untuk memastikan diagnosis
DM, pemeriksaan glukosa darah seyogyanya dilakukan di laboratorium klinik yang terpercaya
(yang melakukan program pemantauan kendali mutu secara teratur). Walaupun demikian sesuai
dengan kondisi setempat dapat juga dipakai bahan darah utuh (whole blood), vena ataupun
kapiler dengan memperhatikan angka-angka kriteria diagnostik yang berbeda sesuai pembakuan
oleh WHO. Untuk pemantauan hasil pengobatan dapat diperiksa glukosa darah kapiler [ CITATION
aru15 \l 1033 ].
Ada perbedaan antara uji diagnostik DM dan pemeriksaan penyaring. Uji diagnostik DM
dilakukan pada mereka yang menunjukkan gejala/tanda DM, sedangkan pemeriksaan penyaring
bertujuan untuk mengidentifikasi mereka yang tidak bergejala, yang mempunyai risiko DM.
(Serangkaian uji diagnostik akan dilakukan kemudian pada mereka yang hasil pemeriksaan
penyaringnya positif, untuk memastikan diagnosis definitif. PERKENI membagi alur diagnosis
DM menjadi dua bagian besar berdasarkan ada tidaknya gejala khas DM. Gejala khas DM terdiri
dari poliuria, polidipsia, polifagia dan berat badan menurun tanpa sebab yang jelas, sedangkan
gejala tidak khas DM diantaranya lemas, kesemutan, luka yang sulit sembuh, gatal, mata kabur,
disfungsi ereksi (pria) dan pruritus vulva (wanita). Apabila ditemukan gejala khas DM,
pemeriksaan glukosa darah abnormal satu kali saja sudah cukup untuk menegakkan diagnosis,
namun apabila tidak ditemukan gejala khas DM, maka diperlukan dua kali pemeriksaan glukosa
darah abnormal. Diagnosis DM juga dapat ditegakkan melalui cara pada tabel 1 [ CITATION
aru15 \l 1033 ].
34
Tabel 1. Kriteria Diagnosis DM
1. Gejala klasik DM + glukosa plasma sewaktu >200 mg/dL (11,1
mmol/L)
Glukosa plasma sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada
suatu hari tanpa memperhatikan waktu makan terakhir
2. Atau
Gejala klasik DM + glukosa plasma puasa > 126 mg/dl (7,0 mmol/L)
Puasa diartikan pasien tidak mendapatkan kalori tambahan
sedikitnya 8 jam
3. Glukosa plasma 2 jam pada TTGO >200 mg/dL (11,1 mmol/L)
TTGO dilakukan dengan standar WHO, menggunakan beban glukosa
yang setara dengan 75 gram glukosa anhidrus yang dilarutkan
kedalam air
tiga hari sebelum pemeriksaan tetap makan seperti kebiasaan sehari-hari (dengan
karbohidrat yang cukup) dan tetap melakukan kegiatan jasmani seperti biasa
berpuasa paling sedikit 8 jam (mulai malam hari) sebelum pemeriksaan, minum air
putih tanpa gula tetap diperbolehkan
35
diperiksa konsentrasi glukosa darah puasa diberikan glukosa 75 gram (orang
dewasa) atau 1,75 gram/kgBB (anak-anak), dilarutkan dalam air 250 mL dan
diminum dalam waktu 5 menit
berpuasa kembali sampai pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan 2 jam
setelah minum larutan glukosa selesai
diperiksa glukosa darah 2 (dua) jam sesudah beban glukosa
selama proses pemeriksaan subyek yang diperiksa tetap istirahat dan tidak merokok
Hasil pemeriksaan glukosa darah 2 jam pasca pembebanan dibagi menjadi 3 yaitu:
36
4 Wanita dengan riwaayat melahirkan bayi dengan berat >4000 gram atau riwayat
diabetes melitus gestasional (dmg)
5 Hipertensi (tekanan darah > 140/90 mmhg atau sedang dalam terapi obat anti
hipertensi)
6 Kolesterol hdl <35 mg/dl dan atau trigliserida >250 mg/dl
7 Wanita dengan sindrom polikistik ovarium
8 Riwayat toleransi glukosa terganggu (TGT) atau glukosa darah puasa terganggu
(GDPT)
9 Keadaan lain yang berhubungan dengan resistansi insulin (obesitas)
10 Riwayat penyakit kardiovaskular
Pada penapisan dapat dilakukan pemeriksaan glukosa darah puasa atau sewaktu atau
TTGO. Untuk kelompok risiko tinggi yang hasil pemeriksaan penyaringnya negatif, pemeriksaan
penyaring ulangan dilakukan tiap tahun; sedangkan bagi mereka yang berusia >45 tahun tanpa
faktor risiko, pemeriksaan penyaring dapat dilakukan setiap 3 tahun atau lebih cepat tergantung
dari klinis masing-masing pasien. Pemeriksaan penyaring yang khusus ditujukan untuk DM pada
penduduk umumnya (mass screening) tidak dianjurkan karena di samping biaya yang mahal,
rencana tindak lanjut bagi mereka yang positif belum ada. Bagi mereka yang mendapat
kesempatan untuk pemeriksaan penyaring bersama penyakit lain (general check-up) adanya
pemeriksaan penyaring untuk DM dalam rangkaian pemeriksaan tersebut sangat dianjurkan.
[ CITATION Soe19 \l 1033 ]
Pemeriksaan penyaring berguna untuk menjaring pasien DM, toleransi glukosa
terganggu (TGT) dan glukosa darah puasa terganggu (GDPT), sehingga dapat ditentukan
langkah yang tepat untuk mereka. Pasien dengan TGT dan GDPT merupakan tahapan sementara
menuju DM. Setelah 5-10 tahun kemudian 1/3 kelompok TGT akan berkembang menjadi DM,
1/3 tetap TGT dan 1/3 lainnya kembali normal. Adanya TGT sering berkaitan dengan resistensi
insulin. Pada kelompok TGT ini risiko terjadinya aterosklerosis lebih tinggi dibandingkan
kelompok normal. TGT sering berkaitan dengan penyakit kardiovaskular, hipertensi dan
dislipidemia. Peran aktif para pengelola kesehatan sangat diperlukan agar deteksi DM dapat
ditegakkan sedini mungkin dan pencegahan primer dan sekunder dapat segera
diterapkan[ CITATION Soe19 \l 1033 ].
37
Gambar.2 Langkah-langkah diagnostik DM dan toleransi glukosa terganggu
38
B. Pemeriksaan HbA1C
39
puasa (atau nilai glukosa 2 jam selama tes toleransi glukosa oral) adalah bahwa sampel dapat
diambil kapan saja dan tidak memerlukan penangan khusus (sedangkan glikolisis yang sedang
berlangsung dapat menurunkan nilai glukosa secara salah).
Analisa gas darah (AGD) adalah prosedur pemeriksaan medis yang bertujuan untuk
mengukur jumlah oksigen dan karbon dioksida dalam darah.AGD juga dapat digunakan untuk
menentukan tingkat keasaman atau pH darah.Dengan melakukan pemeriksaan ini, selain untuk
menentukan penyakit,
dokterjugabisamemantauhasilperawatanyangsebelumnyaditerapkankepada pasien. Untuk
tujuan ini, pemeriksaan AGD sering digunakan bersama dengan tes lain, seperti tes glukosa
darah untuk memeriksa kadar gula darah. Sampel darah kemudian akan dianalisa oleh mesin
portabel atau mesin yang ada di laboratorium. Sampel darah harus dianalisis dalam waktu
10 menit dari waktu pengambilan untuk memastikan hasil tes yang akurat [ CITATION Suk16 \l
1033 ].
40
contohnya gagal ginjal, syok, dan ketoasidosis metabolik
Dalam plasma normal, 95% dari total CO2 terdapat sebagai ion bikarbonat, 5%
sebagai larutan gas CO2 terlarut dan asam karbonat.Kandungan CO2 plasma terutama
adalah bikarbonat, suatu larutan yang bersifat basa dan diatur oleh ginjal [ CITATION Suk16 \l
1033 ].
Istilah benda keton terdiri dari 3 senyawa yaitu asetoasetat, aseton dan beta
hidroksibutirat.Diantara 3 senyawa tersebut yang pertama kali dibentuk oleh hati adalah
asetoasetat.Normalnya benda keton tidak terdapat di dalam tubuh sebagai produk akhir dari
metabolisme karbohidrat dan asam lemak karena produk akhir dari metabolisme asam lemak
adalah karbondioksida dan air. Di dalam tubuh penderita yang mengalami gangguan
karbohidrat seperti diabetes mellitus, ketersediaan karbohidrat menjadi terbatas karena kadar
insulin yang rendah sehingga terjadi peningkatan glukosa yang melebihi ambang batas.
Peningkatan glukosa ini, akan mempengaruhi metabolisme lemak yang bekerja sebagai
pengganti metabolisme karbohidrat dalam pembentukan energi.[ CITATION ris15 \l 1033 ]
Penentuan keton urin telah menggunakan metode dipstick yang lebih cepat dan
41
mudah seiring berkembangnya zaman. Uji dipstick dilakukan dengan cara mencelupkan
strip reagen/dipstick pada urin segar dan ditunggu selama 15 detik, lalu diamati terjadinya
perubahan warna pada strip reagen dan, jika strip berwarna merah anggur/ungu maka hasil
ketonuria positif, sebaliknya jika tidak terjadi perubahan warna pada strip maka hasil
ketonuria negatif. Uji ketonuria dengan strip reagen lebih sensitif terhadap asam asetoasetat
daripada aseton karena sifat aseton yang mudah menguap.[ CITATION ris15 \l 1033 ]
Pemeriksaan dapat dilakukan pada sampel whole blood, plasma, serum, urine,
keringat, feses, dan cairan tubuh. Pemeriksaan pada whole blood biasanya dilakukan
bersama dengan pemeriksaan pH dan gas darah dan harus segera diperiksa (kurang dari 1
jam). Sampel serum, plasma atau urine dapat disimpan pada refrigerator dalam tabung
42
tertutup pada suhu 20C - 80C dan dihangatkan kembali pada suhu ruangan (150C -300C)
sebelum diperiksa.Sampel feses harus cair, disaring dan diputar (sentrifugasi) sebelum
dilakukan pemeriksaan[ CITATION joyi6 \l 1033 ].
Tes anion gap adalah pemeriksaan ion (partikel bermuatan listrik) dalam darah. Hasil
tes akan di lihat dari kadar elektrolit dan tes darah lainnya karena di dalam darah
mengandung natrium, klotida dan bikarbonat yang mengandung partikel bermuatan listrik.
Anion gap pada metabolik sangat membantu dalam menemukan etiologi dari ketoasidosis
metabolik.Nilai normal anion gap adalah 12±2 mEq/L. Anion gap akan meningkat ketika
konsentrasi bikarbonat menurun relatif terhadap natrium dan klorida karena overproduksi
asam (ketoasidosis, asidosis laktat), gangguan sekresi asam (gagal ginjal kronik), dan lisis
sel, sedangkan asidosis dengan anion gap yang normal terjadi karena kehilangan bikarbonat
dari gastrointestinal (contohnya diare)[ CITATION aru15 \l 1033 ].
43
2.7 Prinsip Tatalaksana Hiperglikemia, KAD, Ulkus Diabetikum
2.7.1 Hiperglikemi
1. Tujuan jangka pendek: menghilangkan keluhan DM, memperbaiki kualitas hidup, dan
mengurangi risiko komplikasi akut.
2. Tujuan jangka panjang: mencegah dan menghambat progresivitas penyulit
mikroangiopati dan makroangiopati.
3. Tujuan akhir pengelolaan adalah turunnya morbiditas dan mortalitas DM.Untuk
mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan pengendalian glukosa darah, tekanan darah,
berat badan, dan profil lipid, melalui pengelolaan pasien secara komprehensif.
Perlu dilakukan evaluasi medis yang lengkap pada pertemuan pertama, yang meliputi: (9)
1. Riwayat Penyakit
2. Pemeriksaan fisik
3. Evaluasi labolatorium
4. Penapisan koplikasi
1. Edukasi
Edukasi dengn tujuan proosi hidup sehat, perlu selalu dilakukan sebagai bagian dari
upaya pencagahan dan merupakan bagian yang sangat penting dari pengelolaan DM
secara holistik. (Perkeni, 2015)
2. Terapi nutrisi medis (TNM)
TNM merupakan bagian penting dari penatalaksanaan DMT2 secara komprensif kunci
keberhasilannya adalah keterlibatan secara menyeluruh dari anggota tim (dokter, ahli
gizi, petugas kesehatan yang lain serta pasien dan keluarganya). Guna mencapai sasaran
44
terapi TNM sebaiknya diberikan sesuai dengan kebutuhan setiap penyandang DM
(Perkeni, 2015).
Prinsip pengaturan makan pada penyandang DM hampir sama dengan anjuran
makan untuk masyarakat umum, yaitu makanan yang seimbang dan sesuai dengan
kebutuhan kalori dan zat gizi masing-masing individu. Penyandang DM perlu diberikan
penekanan mengenai pentingnya keteraturan jadwal makan, jenis dan jumlah kandungan
kalori, terutama pada merekan yangm enggunakan obat yang meningkatkan sekresi
insulin atau terapi insulin itu sendiri (Perkeni, 2015).
45
o Pemanis alternatif aman digunakan sepanjang tidak melebihi batas
normal
B. Kebutuhan kalori
Ada beberapa cara untuk menentukan jumlah kalori yang dibutuhkan penyandang
DM, antara lain dengan memperhitungkan kebutuhan kalori basal yang besarnya 25-
30 kal/kgBB ideal. Jumlah kebutuhan tersebut ditambah atau dikurangi bergantung
pada beberapa faktor yaitu: jenis kelamin, umur, aktivitas, berat badan, dan lain-lain
(Perkeni, 2015).
Faktor-faktor yang menentukan kebutuhan kalori antara lain:
o Jenis kelamin
Kebutuhan kalori basal perhari untuk prempuan sebesar 25 kal/kgBB sedangkan
untuk pria sebesar 30 kal/kgBB.
o Umur
o Pasien >40 th, kebutuhan kalori dikurangi 5% untuk setiap dekade antara 40 dan
59 th
o Pasien usia diantara 60 dan 69 th dikurangi 10%
o Pasien usia >70 th dikurangi 20%
o Aktifitas fisik atau pekerjaan
o Kebutuhan kalori dapat ditambah sesuai dengan intensitas aktifitas fisik
o Penambahan sejumlah 10% dari kebutuhan basal diberikan pada keadaan
istirahat
o Penambahan sejumlah 20% pada pasien aktifitas ringan :
Pegawai kantor
Guru
Ibu rumah tangga
o Penambahan sejumlah 40% pada aktifitas berat : petani, buruh, atlet, militer
dalam keadaan latihan
o Penambahan sejumlah 50% pada aktifitas sangat berat seperti : tukang becak dan
tukang gali
o Stres metabolik
46
o Penambahan 10%- 30% tergantung berat stres metabolik ( sepsis, operasi,
trauma)
o Berat badan
o Penyandang DM yang gemuk, kebutuhan kalori dikurangi 20 -30% tergantung
kepada tingkat kegemukan
o Penyandang DM kurus, kebutuhan kalori ditambah sekitar 20-30% sesuai
dengan kebutuhan untuk mrningkatkan BB.
o Jumlah kalori yang diberikan paling sedikit 1000-1200 kal per hari untuk wanita
dan 1200-1600 kal per hari untuk pria.
3. Jasmani
Latihan jasmani merupakan salah satu pilar dalam pengelolaan DMT2 apabila
tidak disertai adanya nefropati. Kegiatan jasmani sehari-hari dan latihan jasmani
dilakukan secara teratur sebanya 3-5 kali perminggu selama sekitar 30-45 menit,
dengan total 150 menit perminggu. Jeda antar latihan tidak lebih dari 2 hari berturut-
turu dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan glukosa darah sebelum latihan jasmani
(Perkeni, 2015).
4. Terapi farmakologi
47
Terdiri dari 2 macam obat yaitu repaglinid (derivat asam benzoat) dan nateglinid
(derivat fenilalanin), obat ini dapat mengatasi hiperglikemia post prandial. Efek
samping yang mungkin tejadi adalah hipoglikemia.
b) Peningkatan terhadap sensitifitas tehadap insulin
Metformin
Metformin mempunyai efek utama mengurangi produksi glukosa hati
(glukoneogenesis), dan memperbaiki ambilan glukosa di jaringan perifer. Metformin
tidak boleh diberikan pada beberapa keadaan : adanya gangguan hati berat, gangguan
fungsi ginjal serta pasien-pasien yang dengan kecendrungan hipoksemia (misalnya
penyakit seresbrovaskuler, sepsis, PPOK, gagal jantung. Efek samping yang mungkin
berupa gangguan saluran pencernaan seperti halnya gejala dispepsia.
Tiazolidindion (TZD)
Tiazolindidion merupakan agonis dari peroxisome proliferator activated receptor
Gamma ( PPAR-gamma), sesuatu reseptor inti yang terdapat di sel otot, lemak, dan hati.
Golongan ini mempunyai efek menurunkan resistensi insulin dengan meningkatkan
jumlah protein pengangkut glukosa, sehingga meningkatkan ambiln glukosa di jaringan
perifer. Obat ini di kontraindikasikan pada pasien gagal jantung karena akan
memperberat edem / retensi cairan. Hati-hati pada ganguan faal hati dan jika diberikan
lakukan pemeriksaan faal hati secara berkala.
c) Penghambatan absorpsi glukosa di saluran pencernaan
Penghambat Alfa Glukoside
Obat ini bekerja denganmemperlambat absorbsi glukosa dalam usus halus, sehinga
memiliki efek menurunkan kadar glukosa darah sesudah makan. Obat ini tidak
digunakan dalam keadaan : gangguan faal hati yang berat, irritable bowel syndrome .
Efek samping yang mungkin terjadi berupa bloating (penumoukan gas dalam usus)n
sehingga sering menimbulkan flatus.
d) Penghambat SGLT-IV (Dipeptidyl peptidase-IV)
Obat golongan ini menghambat kerja emzim DPP-IV sehingga GLP-1 (Glucose likr
peptide -1) tetap dalam konsentrapi yang tinggi dalam bentuk aktif.
e) Penghambat SGLT-2 (Sodium Glucose Cotransporter 2)
48
Menghambat penyerapan kembali glukosa di tubuli distal ginjal dengan cara
menghambat kinerja transporter glukosa SGLT-2. Obat yang termasuk golongan ini
antara lain: Canagliflozin, Empagliflozin, Dapagliflozin, Ipragliflozin. Dapagliflozin
baru saja mendapat approvable letter dari Badan POM RI pada bulan Mei 2015.
Tabel 2 : Profil obat antihiperglikemia oral yang tersedia di Indonesia (Perkeni, 2015)
Penurunan
Golongan Obat Cara Kerja Efek Samping
HbA1c
Sulfonilurea ↑ sekresi insulin BB ↑ 1–2%
Hipoglikemia
Glinid ↑sekresi insulin BB ↑ 0,5-1,5%
Hipoglikemia
49
2. Obat anti hiperglikemia suntik
Termasuk antihiperglikemia suntik, yaitu: insulin, agonis GLP-1 dan kombinasi
insulin dan agonis GLP-.(Perkeni, 2015)
a) Insulin
Insulin diperlukan pada keadaan :
HbA1c > 90% dengan kondisi dekompensasi metabolik
Penuruna BB yang cepat
Hiperglikemia berat yang disertai ketosis
Krisis hiperglikemia
Gagal dengan kombinasi OHO dosis optimal
Stres berat (stroke, operasi besar, IM)
Kehamilan dengan DM/ Diabetes melitus gestasional yang tidak terkendali dengan
perencanaan makan
Gangguan fungsi ginjal dan fungsi hati yang berat
Kontraindikasi dan alergi terhadap OHO
Kondisi perioperatif sesuai dengan indikasi
Jenis dan lama kerja insulin terbagi menjadi 5 jenis (Perkeni, 2015)
Insulin kerja cepat (rapid- acting insulin)
Insulin kerja pendek ( short- acting insulin)
Insulin kerja menengah (intermediate-acting insulin)
50
Insulin kerja panjang (long-acting insulin)
Insulin kerja ultra panjang (ultra long-acting insulin)
Insulin campuran tetap, kerja pendek dengan menengah dan dengan kekrja cepat dengan
menengah (premixed insulin)
51
Humulin N insulatard 1,5-4 Vial, pen /
4-10 jam 8-12 jam
insuman basal jam cartridge
NPH: Neutral Protamine Hagedorn; NPL: Neutral Protamine Lispro. Nama obat
disesuaikan dengan yang tersedia di Indonesia (Perkeni, 2015)
3. Terapi kombinasi
Terapi kombinasi obat antihiperglikemia oral, baik secara terpisah ataupun fixed dose
combination, harus menggunakan dua macam obat dengan mekanisme kerja yang
berbeda. Pada keadaan tertentu apabila sasaran kadar glukosa darah belum tercapai
52
dengan kombinasi dua macam obat, dapat diberikan kombinasi dua obat
antihiperglikemia dengan insulin. Pada pasien yang disertai dengan alasan klinis dimana
insulin tidak memungkinkan untuk dipakai, terapi dapat diberikan kombinasi tiga obat
antihiperglikemia oral. Kombinasi obat antihiperglikemia oral dengan insulin dimulai
dengan pemberian insulin basal (insulin kerja menengah atau insulin kerja
panjang). Insulin kerja menengah harus diberikan jam 10 malam menjelang tidur,
sedangkan insulin kerja panjang dapat diberikan sejak sore sampai sebelum tidur.
Pendekatanterapi tersebut pada umumnya dapat mencapai kendali glukosa darah yang
baik dengan dosis insulin yang cukup kecil. Dosis awal insulin basal untuk kombinasi
adalah 6-10 unit (Perkeni, 2015).
Kombinasi 2macam obat, yang terdiri dari obat yang diberikan pada lini pertama
di tambah dengan obat lain yang mempunyai mekanisme kerja yang berbeda. Bila
dengan 2 kombinasi obat tidak mencapai target kendali, maka diberikan kombinasi 3
macam obat dengan pilihan sebagai berikut (Perkeni, 2015)
53
Terapi cairan ditujukan untuk ekspansi cairan intraselular, intravaskular,
interstisial, dan restorasi perfusi ginjal. Jika tidak ada masaiah kardiak atau penyakit
ginjal kronik berat, cairan salin isotonik (NaCl 0.9%) diberikan dengan dosis 15-20
cc/kg BB/jam pertama atau satu sampai satu setengah liter pada jam pertama. Tindak
lanjut cairan pada jam-jam berikutnya tergantung pada keadaan hemodinamik, status
hidrasi, elektrolit, dan produksi urin. Penggantian cairan dapat dilakukan sampai dengan
24 jam, dan penggantian cairan sangat mempengaruhi pencapaian target gula darah,
hilangnya benda keton, dan perbaikan asidosis [ CITATION aru15 \l 1033 ].
54
a. Insulin
b. Kalium
c. Bikarbonat
Jika asidosis memang murni karena KAD, maka koreksi bikarbonat tidak
direkomendasikan diberikan rutin, kecuali jika pH darah kurang dari 6,9. Hanya saja
pada keadaan dengan gangguan fungsi ginjal yang signifikan, seringkali sulit
membedakan apakah asidosisnya karena KAD atau karena gagal ginjalnya. Efek
buruk dari koreksi bikarbonat yang tidak pada tempatnya adalah meningkatnya
risiko hipokalemia, menurunnya asupan oksigen jaringan, edema serebri, dan
asidosis susunan saraf pusat paradoksal [ CITATION aru15 \l 1033 ].
55
d. Fosfat
Agar tidak terjadi hiperglikemia atau KAD berulang maka sebaiknya penghentian
insulin intravena dilakukan 2 jam setelah suntikan subkutan pertama. Asupan nutrisi
merupakan pertimbangan penting saat transisi ke subkutan, jika pasien masih puasa
karena sesuatu hal atau asupan masih sangat kurang maka lebih baik insulin
intravena diteruskan [ CITATION aru15 \l 1033 ].
Jika pasien sudah terkontrol regimen insulin tertentu sebelum mengalami KAD,
maka pemberian insulin dapat diberikan ke regimen awal dengan tetap
mempertimbang kan kebutuhan insulin pada keadaan terakhir. Pada pasien yang
belum pernah mendapat insulin maka pemberian injeksi subkutan terbagi Iebih
dianjurkan. Jika kebutuhan insulin masih tinggi maka regimen basal bolus akan
lebih menyerupai insulin fisiologis dengan risiko hipoglikemia yang lebih rendah
[ CITATION aru15 \l 1033 ].
56
2.7.3 Hiperosmolaritas Hiperglikemi Nonketotik
a. Cairan
57
cukupnya terapi cairan yang diberikan. Jika konsentrasi glukosa darah tidak bisa
diturunkan sebesar 75-100 mg per dl. perjam, hal ini biasanya menunjukkan
penggantian cairan yang kurang atau gangguan ginjal [ CITATION aru15 \l 1033 ].
b. Elektrolit
Jika konsentrasi kalium awal <3.3 mEq per L (3.3 mmol per L),
pemberian insulin ditunda dan diberikan kalium (2/3 kalium klorida dan 1/3
kalium fosfat sampai tercapai konsentrasi kalium setidaknya 3.3 mEq per L). Jika
konsentrasi kalium lebih besar dari 5.0 mEq per L (5.0 mmol per L), konsentrasi
kalium harus diturunkan sampai di bawah 5.0 mEq per L, namun sebaiknya
konsentrasi kalium ini perlu dimonitor tiap dua jam. Jika konsentrasi awal kalium
antara 3.3-5.0 mEq per L, maka 20-30mEq kalium harus diberikan dalam tiap liter
cairan intravena yang diberikan (2/3 kalium horida dan 1/3 kalium fosfat) untuk
mempertahankan konsentrasi kalium antara 4.0 mEq per L (4.0 mmol per L) dan
5.0 mEq per L [ CITATION aru15 \l 1033 ].
58
2.7.4 Kaki Diabetikum
Pengelolaan kaki diabetes dapat dibagi menjadi 2 kelompok besar, yaitu pencegahan
terjadinya kaki diabetes dan terjadinya ulkus (pencegahan primer sebelum terjadi perlukaan pada
kulit) dan pencegahan agar tidak terjadi kecacatan yang lebih parah (pencegahan sekunder dan
pengelolaan ulkus/gangren diabetik yang sudah terjadi) [ CITATION aru15 \l 1033 ].
a. Pencegahan Primer
Kiat-kiat Pencegahan Terjadinya Kaki Diabetes Penyuluhan mengenai terjadinya
kaki diabetes sangat penting untuk pencegahan kaki diabetes. Penyuluhan ini harus selalu
dilakukan pada setiap kesempatan pertemuan dengan penyandang DM, dan harus selalu
diingatkan kembali tanpa bosan. Anjuran ini berlaku untuk semua pihak terkait
pengelolaan DM, baik para ners, ahli gizi, ahli perawatan kaki, maupun dokter sebagai
dirigen pengelolaan. Khusus untuk dokter, sempatkan selalu melihat dan memeriksa kaki
penyandang DM sambil mengingatkan kembali mengenai cara pencegahan dan cara
perawatan kaki yang baik. Berbagai kejadian/ tindakan kecil yang tampak sepele dapat
mengakibatkan kejadian yang mungkin fatal. Periksalah selalu kaki pasien setelah
mereka melepaskan sepatu dan kausnya. Keadaan kaki penyandang diabetes digolongkan
berdasar risiko terjadinya dan risiko besarnya masalah yang mungkin timbul.
Penggolongan kaki diabetes berdasar risiko terjadinya masalah (Frykberg) [ CITATION
aru15 \l 1033 ].
1). Sensasi normal tanpa deformitas;
2). Sensasi normal dengan deformitas atau tekanan plantar tinggi;
3). Insensitivitas tanpa deformitas;
4). iskemia tanpa deformitas;
5). kombinasi/complicated:
(a) kombinasi insensitivitas, iskemia dan/atau deformitas,
(b) riwayat adanya tukak, deformitas Charcot.
Pengelolaan kaki diabetes terutama ditujukan untuk pencegahan terjadinya tukak,
disesuaikan dengan keadaan risiko kaki. Berbagai usaha pencegahan dilakukan sesuai
dengan tingkat besarnya risiko tersebut. Peran ahli rehabilitasi medis terutama dari segi
ortotik sangat besar pada usaha pencegahan terjadinya ulkus. Dengan memberikan alas
59
kaki yang baik, berbagai hal terkait terjadinya ulkus karena faktor mekanik akan dapat
dicegah. Penyuluhan diperlukan untuk semua kategori risiko tersebut: Untuk kaki yang
kurang merasa/insensitive (kategori 3 dan 5), alas kaki perlu diperhatikan benar, untuk
melindungi kaki yang insensitif tersebut. Kalau sudah ada deformitas (kategori risiko 2
dan 5), perlu perhatian khusus mengenai sepatu/alas kaki yang dipakai, untuk meratakan
penyebaran tekanan pada kaki. Untuk kasus dengan kategori risiko 4 (permasalahan
vaskular), latihan kaki perlu diperhatikan benar untuk memperbaiki vaskularisasi kaki.
Untuk ulkus yang complicated, tentu saja semua usaha dan dana seyogyanya perlu
dikerahkan untuk mencoba menyelamatkan kaki dan usaha ini masuk ke usaha
pencegahan sekunder yang akan dibahas lebih lanjut di bawah ini [ CITATION aru15 \l
1033 ].
b. Pencegahan Sekunder
Pengelolaan Holistik Ulkus/Gangren Diabetik Dalam pengelolaan kaki diabetes,
kerja sama multidisipliner sangat diperlukan. Berbagai hal yang harus ditangani dengan
baik agar diperoleh hasil pengelolaan yang maksimal dapat digolongkan sebagai berikut,
dan semuanya harus dikelola Bersama [ CITATION aru15 \l 1033 ].
• Mechanical control-pressure control
• Wound control
• Microbiological control-infection control
• Vascular control
• Metabolic control
• Educational control
Untuk pengelolaan ulkus/gangren diabetik yang optimal, berbagai hal di bawah
ini merupakan penjabaran lebih rinci dari keenam aspek tersebut pada tingkat pencegahan
sekunder dan tersier,yaitu pengelolaan optimal ulkus/gangren diabetic [ CITATION aru15 \l
1033 ].
Kontrol metabolik
Keadaan umum pasien harus diperhatikan dan diperbaiki. Konsentrasi glukosa
darah diusahakan agar selalu senormal mungkin, untuk memperbaiki berbagai faktor
60
terkait hiperglikemia yang dapat menghambat penyembuhan luka. Umumnya
diperlukan insulin untuk menormalisasi konsentrasi glukosa darah. Status nutrisi
harus diperhatikan dan diperbaiki. Nutrisi yang baikjelas mennbantu kesembuhan
luka. Berbagai hal lain harus juga diperhatikan dan diperbaiki, seperti konsentrasi
albumin serum, konsentrasi Hb dan derajat oksigenisasi jaringan. Demikian juga
fungsi ginjalnya. Semua faktor tersebut tentu akan dapat menghambat kesembuhan
luka sekiranya tidak diperhatikan dan tidak diperbaiki [ CITATION aru15 \l 1033 ].
Kontrol vascular
Keadaan vaskular yang buruk tentu akan menghambat kesembuhan luka.
Berbagai langkah diagnostik dan terapi dapat dikerjakan sesuai keadaan pasien
dan juga sesuai kondisi pasien. Umumnya kelainan pembuluh darah perifer dapat
dikenali melalui berbagai cara sederhana seperti: warna dan suhu kulit, perabaan
arteri Dorsalis Pedis dan arteri Tibialis Posterior serta ditambah pengukuran
tekanan darah [ CITATION aru15 \l 1033 ].
Revaskularisasi
Jika kemungkinan kesembuhan luka rendah atau jikalau ada klaudikasio
intermiten yang hebat, tindakan revaskularisasi dapat dianjurkan. Sebelum
tindakan revaskularisasi diperlukan pemeriksaan arteriografi untuk mendapatkan
gambaran pembuluh darah yang lebih jelas, sehingga dokter ahli bedah vaskular
dapat lebih mudah melakukan rencana tindakan dan mengerjakannya. Untuk
oklusi yang panjang dianjurkan operasi bedah pintas terbuka. Untuk oklusi yang
pendek dapat dipikirkan untuk prosedur endovascular-PTCA. Pada keadaan
sumbatan akut dapat pula dilakukan trombo-arterektomi. Dengan berbagai teknik
bedah tersebut, vaskularisasi daerah distal dapat diperbaiki, sehingga hasil
pengelolaan ulkus diharapkan lebih baik. Paling tidak faktor vaskular sudah lebih
memadai, sehingga kesembuhan luka tinggal bergantung pada berbagai faktor lain
yang juga masih banyak jumlahnya [ CITATION aru15 \l 1033 ].
Wound control
61
Perawatan luka sejak pertama kali pasien datang merupakan hal yang
harus dikerjakan dengan baik dan teliti. Evaluasi luka harus dikerjakan secermat
mungkin. Klasifikasi ulkus PEDIS dilakukan setelah debridemen yang adekuat.
Tindakan debridemen yang adekuat merupakan syarat mutlak yang harus
dikerjakan dahulu sebelum menilai dan mengklasikasikan luka. Debridement yang
baik dan adekuat tentu akan sangat membantu mengurangi jaringan nekrotik yang
harus dikeluarkan tubuh, dengan demikian tentu akan sangat mengurangi produksi
pus/cairan dari ulkus/gangrene [ CITATION aru15 \l 1033 ].
Microbiological control
Umumnya didapatkan infeksi bakteri yang multipel, anaeob dan anerob.
Antibiotik yang dianjurkan harus selalu disesuaikan dengan hasil biakan kuman
dan resistensinya.Karena itu untuk lini pertama pemberian antibiotik harus
diberikan antibiotik dengan spektrum luas, mencakup kuman gram positif dan
negatif (seperti misalnya golongan sefalosporin), dikombinasikan dengan obat
yang bermanfaat terhadap kuman anaerob (seperti misalnya metronidazol)
[ CITATION aru15 \l 1033 ].
Pressure control
Jika tetap dipakai untuk berjalan (berarti kaki dipakai untuk menahan berat
badan-weight bearing), luka yang selalu mendapat tekanan tidak akan sempat
menyembuh, apalagi kalau luka tersebut terletak di bagian plantar seperti luka
pada kaki Charcot. Peran jajaran rehabilitasi medis pada usaha pressure control ini
juga sangat mencolok. Berbagai cara untuk mencapai keadaan non weightbearing
dapat dilakukan antara lain dengan [ CITATION aru15 \l 1033 ].
-Removable cast walker
-Total contact casting
-Temporary shoes
-Felt padding
-Crutches
62
-Wheelchair
-Electric carts
-Craddled insoles
Education control
Edukasi sangat penting untuk semua tahap pengelolaan kaki diabetes.
Dengan penyuluhan yang baik, penyandang DM dan ulkus/gangren diabetic
maupun keluarganya diharapkan akan dapat membantu dan mendukung berbagai
tindakan yang diperlukan untuk kesembuhan luka yang optimal [ CITATION aru15 \l
1033 ].
Rehabilitasi
Merupakan program yang sangat penting yang harus dilaksanakan untuk
pengelolaan kaki diabetes. Bahkan sejak pencegahan terjadinya ulkus diabetik dan
kemudian segera setelah perawatan, keterlibatan ahli rehabilitasi medis sangat
diperlukan untuk mengurangi kecacatan yang mugkin timbul pada pasien.
Keterlibatan ahli rehabilitasi medis berlanjut sampai jauh sesudah amputasi, untuk
memberikan bantuan bagi para amputee menghindari terjadinya ulkus baru.
Pemakaian alas kaki/ sepatu khusus untuk mengurangi tekanan plantar akan
sangat membantu mencegah terjadinya ulkus baru. Ulkus yang terjadi berikut
memberikan prognosis yang jauh lebih buruk daripada ulkus yang pertama
[ CITATION aru15 \l 1033 ].
63
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Ada beberapa diagnosis banding untuk seseorang dapat mengalami penurunan kesadaran,
baik yang disebabkan oleh sistem organ seperti ginjal, hati, jantung dan sebagainya.Namun
penurunan kesadaran juga dapat disebabkan oleh kelainan metabolik seperti pada ketoasidosis
diabetikum. Selain itu, penurunan kesadaran dapat juga disebabkan oleh hipoglikemi atau
rendahnya kadar glukosa dalam darah yang dapat menggangu homestatis tubuh, kelaianan
elektrolit, koma hepatik dan koma diabetik juga dapat dijalaskan dalam penurunan
kesadaran.Diabetes melitus merupakan penyakit yang masih banyak dijumapi di Indonesia, baik
diabtes yang disebabkan oleh getik (DM tipe1) ataupun akibat resistensi insulin (DM tipe 2).
3.2 Saran
Saran sangat kami butuhkan demi kebaikan penulis dalam membuat karya tulis ilmiah
yang baik.
64
DAFTAR PUSTAKA
adit, Soebagijo. pedoman pengelolaan dan penecegahan diabetes melitus tipe 2 dewasa di
indonesia. jakarta: PB PERKENI, 2019.
kee, joyce le fever. pedoman pemeriksaan laboratorium & diagnostik edisi 6. jakarta: EGC,
2014.
Sidemen, Sukrana. analisis gas darah. bali: bagian anasthesia dan terapi intensif FK UNUD,
2016.
Sudoyo, aru W. Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid III edisi VI. jakarta: interna publishing,
2015.
Fatimah Noor R. 2015. Diabetes melitus Tipe 2. Penerbit. Medical faculty, University lampung.
Vol. 4 Nomor 5. Diakses tanggal 12 januari 2020.
65