DENGAN DISPEPSIA
LAPORAN INDIVIDU
Oleh :
Nilan S. Samalehu
NPM. 1540118030
LAPORAN INDIVIDU
Disusun Oleh :
NILAN S. SAMALEHU
NPM.1540118030
Disetujui Tanggal :
.......................................
............................................... ...............................................
NIP. NIDN/NIK.
Mengetahui,
NIDN : 12040779001
i
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
limpahan rahmat-Nya berupa kesempatan dan pengetahuan sehingga penulis dapat
menyelesaikan makalah dengan judul “ASUHAN KEPERAWATAN PADA NY.
O USIA 64 TAHUN DENGAN DISPEPSIA DI RUMAH SAKIT UMUM
DAERAH MASOHI”.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dispepsia adalah sekumpulan gejala yang terdiri dari nyeri atau rasa
tidak nyaman di epigastrum, mual, muntah, kembung, rasa penuh atau cepat
kenyang dan sering bersendawa. Kondisi tersebut dapat menurunkan kualitas
hidup manusia. Jika tidak diatasi sejak dini dan tindakan yang tepat, maka
dapat berakibat fatal bagi penderitanya.
1
Interaksi faktor psikis dan emosi seperti kecemasan atau depresi dapat
mempengaruhi fungsi saluran cerna melalui mekanisme brain – gut – axis.
Adanya stimulasi atau stresor psikis menimbulkan gangguan keseimbangan
saraf otonom simpatis dan parasimpatis secara bergantian (vegetatif
imbalance). Stimulasi stresor juga mempengaruhi fungsi hormonal, sistem
imun ( psiko– neuro-imun-endokrin ), serta HPA Axis melalui pelepasan CRH
dari hipotalamus dan menyebabkan penurunan regulasi reseptor CRH
hipofisis. Akibatnya hipofisis tidak berespons lagi atau responnya terhadap
stresor menjadi datar. Ketidakseimbangan jalur-jalur tersebut secara langsung
atau tidak langsung, terpisah atau bersamaan dapat mempengaruhi saluran
cerna, yaitu : mempengaruhi sekresi asam lambung, motilitas, vaskularisasi
dan menurunkan ambang rasa nyeri.
B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Mengetahui definisi dispepsia
Mengetahui klasifikasi dispepsia
Mengetahui patofisiologi dispepsia
Mengetahui manifestasi klinis dispepsia
Mengetahui kriteria diagnosis dispepsia
Mengetahui penatalaksanaan dispepsia
Mengetahgui komplikasi disepsia
2. Tujuan Khusus
Mampu menentukan rencana tidakan dengan masalah pada pasien
dispepsia
Mampu melaksanakan tindakan keperawatan pada pasien dispepsia
2
BAB II
TINJAUAN TEORI
A. Definisi Dispepsia
Dispepsia berasal dari bahasa Yunani, “dys” yang berarti jelek atau
buruk dan “pepsia” yang berarti pencernaan, jika digabungkan dispepsia
memiliki arti indigestion atau kesulitan dalam mencerna. Semua gejala - gejala
gastrointestinal yang berhubungan dengan masukan makanan disebut
dispepsia, contohnya mual, heartburn, nyeri epigastrium, rasa tidak nyaman,
atau distensi.
B. Klasifiksi Dispepsia
1. Dispepsia fungsional
3
Istilah dispepsia fungsional juga diartikan sebagai suatu gejala
klinis dispepsia yang timbul dan berbagai evaluasi klinis tidak dapat
mengungkapkan penyebab timbulnya gejala dispepsia tersebut.16
Sebelum ada Konsensus Rome III, disepsia fungsional dibagi menjadi
tiga yaitu ulcer like dyspepsia yang didominasi nyeri epigastrium dan
mirip dengan gejala tukak peptik namun tidak ditemui kelainan organik
seperti tukak saat pemeriksaan diagnostik, dismotility like dyspepsia
yang didominasi keluhan kembung, mual, muntah, rasa penuh dan cepat
kenyang namun tidak ditemui kelainan organik seperti dismotilitas
saluran cerna saat pemeriksaan diagnostik, serta dispepsia non spesifik
yang tidak disertai dengan dominannya salah satu keluhan. Setelah
adanya Konsensus Rome III, dispepsia fungsional dibagi menjadi dua,
yaitu post–prandial distress syndrome yang keluhannya didominasi
oleh perasaan penuh pada perut dan cepat kenyang setelah makan dalam
porsi yang umumnya tidak menimbulkan keluhan tersebut, dan
epigastric pain syndrome yang keluhannya didominasi perasaan nyeri
dan terbakar yang hilang timbul di ulu hati/epigastrium.
4
Klasifikasi Dispepsia Fungsional menurut Roma III
Dispepsia Fungsional
Postprandial Distres Syndrome Epigastric Pain Syndrome
Kriteria diagnostik terpenuhi bila 2 Kriteria diagnostik terpenuhi bila
poin di bawah ini seluruhnya terpenuhi. 5 poin di bawah ini seluruhnya
1. Rasa penuh setelah makan yang terpenuhi:
mengganggu, terjadi setelah makan 1. Nyeri atau rasa terbakar yang
dengan porsi biasa, sedikitnya terlokalisasi di daerah
terjadi beberapa kali seminggu epigastrium dengan tingkat
2. Perasaan cepat kenyang yang keparahan moderat/sedang,
membuat tidak mampu paling sedikit terjadi sekali
menghabiskan porsi makan biasa, dalam seminggu
sedikitnya terjadi beberapa kali 2. Nyeri timbul berulang
seminggu 3. Tidak menjalar atau
terlokalisasi di daerah perut
atau dada selain daerah perut
bagian atas/epigastrium
4. Tidak berkurang dengan BAB
atau buang angin
5. Gejala-gejala yang ada tidak
memenuhi kriteria diagnosis
kelainan kandung empedu dan
sfingter oddi
5
2. Dispepsia organik
6
Dismotilitas saluran cerna juga bisa memicu dispepsia organik.
Dismotilitas saluran cerna merupakan kumpulan gejala pada saluran
cerna yang disebabkan oleh gangguan motilitas saluran cerna sehingga
otot dan saraf pada saluran cerna tidak bekerja dengan baik.
Dismotilitas saluran cerna yang dapat menyebabkan timbulnya
dispepsia terutama jika terjadi di saluran cerna bagian atas, utamanya
pada lambung dan duodenum. Dispesia dapat berlangsung secara
fungsional dan masuk dalam kategori dispepsia fungsional yaitu post–
prandial distress syndrome. Meski demikian, kasus ini dapat pula
terjadi sebagai komplikasi dari diabetes, penyakit parkinson, setelah
operasi lambung atau karena pseudoobstruksi pada saluran cerna bagian
atas. Hal ini menimbulkan terjadinya dispepsia organik.
C. Patofisiologis Dispepsia
Perubahan pola makan yang tidak teratur, obat-obatan yang tidak jelas,
zat-zat seperti nikotin dan alkohol serta adanya kondisi kejiwaan stress,
pemasukan makanan menjadi kurang sehingga lambung akan kosong.
Kekosongan lambung dapat mengakibatkan erosi pada lambung akibat
gesekan pada inding-dinding lambung, kondisi demikian dapat mengkibatkan
peningkatan produksi HCL (hydrochloricacid) yang akan merangsang
terjadinya kondisi asam pada lambung, sehingga rangsangan di medula
oblongata membawa implus muntah sehingga intake tidak adekuat baik
makanan maupun cairan.
7
Patofisiologi dispepsia fungsional dapat diterangkan melalui beberapa
teori dibawah ini :
1. Infeksi H. Pylori
Peranan infeksi H. Pylori dengan timbulnya dispepsia
fungsional sampai saat ini masih terus diselidiki dan menjadi
perdebatan dikalangan para ahli Gastrohepatologi. Studi populasi yang
besar telah menunjukan peningkatan insiden infeksi H. Pylori pada
pasien dengan dispepsia fungsional. Beberapa ahli berpendapat H.
Pylori akan menginfeksi lambung jika lambung dalam keadaan kosong
pada jangka waktu yang cukup lama. Infeksi H. Pylori menyebabkan
penebalan otot dinding lambung yang selanjutnya meningkatkan massa
otot sehingga kontraksi otot bertambah dan pengosongan lambung
akan semakin cepat. Pengosongan lambung yang cepat akan membuat
lambung kosong lebih lama dari biasanya dan H. Pylori akan semakin
menginfeksi lambung tersebut, dan bisa sebagai predictor timbulnya
ulkus peptikum.
2. Ketidaknormalan Motilitas
Dengan studi Scintigraphic Nuclear dibuktikan lebih dari 50%
pasien dispepsia fungsional mempunyai keterlambatan pengosongan
makanan dalam lambung. Demikian pula pada studi Monometrik
didapatkan gangguan motilitas antrum postprandial. Penelitian
terakhir menunjukan bahwa fundus lambung yang “kaku” bertanggung
jawab terhadap sindrom dispepsia. Pada keadaan normal seharusnya
fundus lambung relaksasi, baik saat mencerna makanan maupun bila
terjadi distensi duodenum. Pengosongan makanan bertahap dari corpus
lambung menuju ke bagian fundus lambung dan duodenum diatur oleh
refleks vagal. Pada beberapa pasien dispepsia fungsional, refleks ini
tidak berfungsi dengan baik sehingga pengisian bagian antrum terlalu
cepat.
8
3. Gangguan Sensori Visceral
Lebih 50% pasien dispepsia fungsional menunjukan sensitifitas
terhadap distensi lambung atau intestinum, oleh karena itu mungkin
akibat : makanan yang sedikit mengiritasi seperti makanan pedas,
distensi udara, gangguan kontraksi lambung intestinum atau distensi
dini bagian antrum postprandial dapat menginduksi nyeri pada bagian
ini.
4. Faktor Psikososial
Faktor psikis dan stresor seperti depresi, cemas, dan stres
ternyata memang dapat menimbulkan peningkatan hormon kortisol
yang berakibat kepada gangguan keseimbangan sistem saluran cerna,
sehingga terlihat bahwa pada hormon kortisol yang tinggi ternyata
memberikan manifestasi klinik dispepsia yang lebih berat. Jadi
semakin tinggi nilai kortisol akan menyebabkan semakin beratnya
klinis dispepsia. Begitu juga dengan perubahan gaya hidup seperti
kurang olahraga, merokok, dan gangguan tidur juga memiliki efek
terhadap peningkatan asam lambung dan perubahan aktivitas otot
dinding lambung yang meningkatkan kemungkinan terjadinya
dispepsia.
5. Gangguan Keseimbangan Neuroendokrin
Gangguan sekresi pada lambung dapat terjadi karena gangguan
jalur endokrin melalui poros hipotalamus – pituitary – adrenal ( HPA
axis). Pada keadaan ini terjadi peningkatan kortisol dari korteks
adrenal akibat rangsangan dari korteks serebri diteruskan ke hipofisis
anterior sehingga terjadi pengeluaran hormone kortikotropin.
Peningkatan kortisol ini akan merangsang produksi asam lambung.
9
6. Gangguan Keseimbangan Sistem Saraf Otonom Vegetatif
Pada keadaan ini konflik emosi yang timbul diteruskan melalui
korteks serebri ke sistem limbik kemudian ke hipotalamus dan
akhirnya ke sistem saraf otonom vegetatif. Sistem saraf otonom terdiri
dari dua subsistem yaitu sistem saraf simpatis dan sistem saraf
parasimpatis. Konflik emosi akan meningkatkan pelepasan
neurotransmitter acetylcholine oleh Sistem saraf simpatis yang
mengakibatkan peningkatan peristaltik dan sekresi asam lambung.
sistem saraf parasimpatis hampir 75% dari seluruh serabut sarafnya
didominasi oleh nervus vagus (saraf kranial X). saraf dari parasimpatik
meninggalkan sistem saraf pusat melalui nervus vagus menuju organ
yang dipersarafi secara langsung yaitu : mempersarafi lambung dengan
cara merangsang sekresi asetilkolin, gastrin, dan histamine yang
akhirnya memunculkan keluhan dispepsia bila terjadi difungsi
persarafan vagal.
Disfungsi nervus vagal akan menimbulkan kegagalan relaksasi
bagian proksimal lambung sewaktu menerima makanan, sehingga
menimbulkan gangguan akomodasi lambung dan rasa cepat kenyang.
Serat-serat saraf simpatis maupun parasimpatis juga mensekresikan
neurotransmiter sinaps yaitu asetilkolin atau norepinefrin. Kedua
neurotransmitter tersebut akan mengaktivasi atau menginhibisi
presinap maupun postsinap saraf simpatik dan parasimpatik sehingga
menimbulkan efek eksitasi pada beberapa organ tetapi menimbulkan
efek inhibisi pada organ lainnya salah satunya adalah organ lambung.
Terjadinya ketidakseimbangan eksitasi maupun inhibisi pada kedua
neurotransmitter menyebabkan perubahan-perubahan aktivitas pada
organ lambung yang dipersarafinya baik peningkatan maupun
penurunan aktivitas, sehingga bisa memunculkan keluhan dispepsia.
10
7. Perubahan Dalam Sistem Imun
Faktor psikis dan stresor akan mempengaruhi sistem imun
dengan menerima berbagai input, termasuk input dari stresor yang
mempengaruhi neuron bagian Medial Paraventriculer Hypothalamus
melalui pengaktifan sistem endokrin hypothalamus-pituitary axis
(HPA), bila terjadi stres yang berulang atau kronis, maka akan terjadi
disregulasi dari sistem endokrin hypothalamus-pituitary axis (HPA )
melalui kegagalan dari mekanisme umpan balik negative. Faktor psikis
dan stres juga mempengaruhi sistem imun melalui mengaktivasi sistem
noradrenergik di otak, tepatnya di locus cereleus yang menyebabkan
peningkatan pelepasan ketekolamin dari sistem saraf otonom.
Akibat pelepasan neuropeptida dan adanya reseptor
neuropeptida pada limfosit B dan Limfosit T, dan terjadi
ketidakcocokan neuropeptida dan reseptornya akan menyebabkan stres
dan dapat mempengaruhi kualitas sistem imun seseorang, yang pada
akhirnya akan muncul keluhan-keluhan psikosomatik salah satunya
pada organ lambung dengan manifestasi klinis berupa keluhan
dispepsia. Bila keluhan somatik ini berlangsung lama, bisa juga
sebagai prediktor timbulnya dispepsia organik berupa ulkus peptikum
atau duodenum.
Manifestasi klinis pada sindrom dispepsia antara lain rasa nyeri atau
ketidaknyamanan di perut, rasa penuh di perut setelah makan, kembung, rasa
kenyang lebih awal, mual, muntah, atau bersendawa. Pada dispepsia organik,
kecenderungkan keluhan tersebut menentap, disertai rasa kesakitan dan jarang
memiliki riwayat psikiatri sebelumnya. Sedangkan pada dispepsia fungsional
terdapat dua pola yang telah ditentukan adalah postprandial distres syndrome
dan epigastric pain syndrome.
11
Kriteria Roma III menjelaskan dua pola dispepsia yang berbeda
tergantung pada apakah gejala tersebut terutama berkaitan dengan asupan
makanan dan atau berkaitan dengan ketidakmampuan untuk menyelesaikan
makan (postprandial distres syndrome) atau lebih didominasi oleh rasa sakit
(epigastric pain syndrome).
12
Dalam salah satu penggolongan, dispepsia fungsional diklasifikasikan ke
dalam ulcer-like dyspepsia dan dysmotility-like dyspepsia: apabila tidak
termasuk kedalam 2 subklasifikasi di atas, didiagnosis sebagai dispepsia
nonspesifik. Esofagogastro duodenoskopi dapat dilakukan bila sulit
membedakan antara dispepsia fungsional dan organik, terutama bila gejala
yang timbul tidak khas, dan menjadi indikasi mutlak bila pasien berusia lebih
dari 55 tahun dan didapatkan tanda-tanda bahaya.
F. Penatalaksanan Dispepsia
13
1. Non Farmakologi
Gejala dapat dikurangi dengan menghindari makanan yang
mengganggu, diet tinggi lemak, kopi, alkohol, dan merokok. Selain itu,
makanan kecil rendah lemak dapat membantu mengurangi intensitas
gejala. Ada juga yang merekomendasikan untuk menghindari makan
yang terlalu banyak terutama di malam hari dan membagi asupan
makanan sehari-hari menjadi beberapa makanan kecil. Alternatif
pengobatan yang lain termasuk hipnoterapi, terapi relaksasi dan terapi
perilaku.
2. Farmakologi
a. Antasida
Golongan ini mudah didapat dan murah. Antasida akan
menetralisir sekresi asam lambung. Antasida biasanya
mengandung natrium bikarbonat, Al(OH)3, Mg(OH)2, dan
magnesium trisiklat. Pemberian antasida tidak dapat dilakukan
terus-menerus, karena hanya bersifat simtomatis untuk
mengurangi nyeri. Magnesium trisiklat merupakan adsorben
nontoksik, namun dalam dosis besar akan menyebabkan diare
karena terbentuk senyawa MgCl2.
b. Antikolinergik
Kerja obat ini tidak sepsifik, Obat yang agak selektif adalah
pirenzepin yang bekerja sebagai anti reseptor muskarinik yang
dapat menekan sekresi asam lambung sekitar 28% sampai 43%.
Pirenzepin juga memiliki efek sitoprotektif.
c. Antagonis resptor H2
Golongan obat ini banyak digunakan untuk mengobati
dispepsia organik atau esensial seperti tukak peptik. Obat yang
termasuk golongan ini adalah simetidin dan famotidin.
14
d. Proton pump inhibitor (PPI)
Golongan obat ini mengatur sekresi asam lambung pada
stadium akhir dari proses sekresi asam lambung. Obat-obat yang
termasuk golongan PPI adalah omeprazol, lansoprazol, dan
pantoprazol.
e. Sitoprotektif
Prostaglandin sintetik seperti misoprostol (PGE1) dan
enprostil (PGE2) selain bersifat sitoprotektif juga menekan sekresi
asam lambung oleh sel parietal. Sukralfat berfungsi meningkatkan
prostaglandin endogen, yang selanjutnya memperbaiki
mikrosirkulasi, meningkatkan produksi mucus dan meningkatkan
sekresi bikarbonat mukosa, serta membentuk lapisan protektif
yang bersenyawa dengan protein sekitar lesi mukosa saluran cerna
bagian atas.
f. Golongan prokinetik
Obat yang termasuk golongan ini yaitu cisapride,
domperidon, dan metoclopramide. Golongan ini cukup efektif
untuk mengobati dispepsia fungsional dan refluks esofagitis
dengan mencegah refluks dan memperbaiki asam lambung.
g. Golongan anti depresi
Kadang kala juga dibutuhkan psikoterapi dan psikofarmaka
(obat anti depresi dan cemas) pada pasien dengan dispepsia
fungsional, karena tidak jarang keluhan yang muncul berhubungan
dengan faktor kejiwaan seperti cemas dan depresi. Contoh dari
obat ini adalah golongan trisiclic antidepressants (TCA) seperti
amitriptilin. Pengobatan untuk dispepsia fungsional masih belum
jelas. Beberapa pengobatan yang telah didukung oleh bukti ilmiah
adalah pemberantasan Helicobacter pylori, PPI, dan terapi
psikologi. Pengobatan yang belum didukung bukti : antasida,
antispasmodik, bismuth, terapi diet, terapi herbal, antagonis
reseptor H2, misoprostol, golongan prokinetik, selective
serotonin-reuptake inhibitor, sukralfat, dan antidepresan.
15
G. Komplikasi Dispepsia
16
BAB III
TATALAKSANA KASUS
1. Identitas pasien
Nama : Ny. O
Jenis kelamin : Perempuan
Umur : 64 Tahun
No. RM : 015765
Alamat : Namaelo
Pendidikan terakhir : SMA
Agama : Kristen Protestan
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
2. Penanggung Jawab
Nama : Ny. M
Hubungan dengan pasien : Anak
3. Keluhan utama
Pasien mengatakan nyeri pada ulu hati
4. Riwayat penyakit
a. Riwayat penyakit dahulu
- Pneumonia
- LVH
17
b. Riwayat penyakit sekarang
- Dispepsia
Pasien masuk RSUD Masohi pada tanggal 14 Januari 2020
dengan keluhan nyeri pada ulu hati. Keadaan ini dirasakan pasien
sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit. Pasien mengatakan nyeri
seperti ditusuk – tusuk pada ulu hati dan tembus ke belakang.
Nyeri dirasakan hilang timbul dengan skala nyeri sedang. Pasien
mengatakan nyeri akan bertambah berat jika pasien beraktivitas,
dan terlambat makan.
18
3. Pemeriksaan fisik
a. Pemeriksaan kepala
Bentuk kepala simetris, tidak terdapat oedema dan nyeri tekan, sudah
terdapat rambut putih dan sedikit kotor.
b. Mata
Simetris kiri dan kanan, konjungtiva terlihat pucat.
c. Hidung
Tidak ada pembengkakan.
d. Telinga
Simetris dan tidak ada kotoran.
e. Mulut dan gigi
gigi tidak utuh lagi dan bibir terlihat pucat.
f. Leher
Tidak ada pembengkakan pada kelenjar tiroid dan kelenjar limfe.
g. Dadah
Payudara simetris, tidak ada pembengkakan.
h. Ekstremitas atas
Kedua tangan simetris dan tidak ada pembengkakan.
i. Abdomen
Tidak ada pembengkakan dan bekas luka.
j. Ekstremitas bawah
Kedua kaki simetris dan tidak ada pembengkakan.
C. Analisis
1. Diagnosa
Nyeri akut
2. Kebutuhan
Ajarkan relaksasi
Beri obat
Beri makan
D. Implementasi
1. Pelaksanaan
Mengajarkan teknik relaksasi nafas dalam
Memberikan obat
Memberikan makan
19
STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR (SOP)
TEKNIK RELAKSASI NAFAS DALAM
1. Pengertian
2. Tujuan
Untuk mengurangi atau menghilangkan rasa nyeri.
3. Indikasi
Dilakukan untuk pasien yang mengalami nyeri kronis.
4. Prosedur pelaksanaan
a. Tahap prainteraksi :
1) Membaca status pasien
2) Mencuci tangan
3) Menyiapkan alat
b. Tahap orientasi :
1) Memberikan salam teraupetik
2) Validasi kondisi pasien
3) Menjaga privasi pasien
4) Menjelaskan tujuan dan prosedur yang akan dilakukan kepada
pasien dan keluarga
20
c. Tahap kerja :
1) Berikan kesempatan kepada pasien untuk bertanya jika ada yang
kurang jelas
2) Atur posisi agar tetap rileks tanpa beban fisik
3) Instruksikan pasien untuk tarik nafas dalam sehingga rongga paru
berisi udara
4) Instruksikan pasien secara perlahan dan menghembuskan udara,
membiarkannya keluar dari setiap bgian anggota tubuh, pada
waktu bersamaan minta pasien untuk memusatkan perhatian
betapa nikmat rasanya
5) Instruksikan pasien untuk bernafas dengan irama normal beberapa
saat (1 – 2 menit)
6) Instruksikan pasien untuk bernafas dalam, kemudian
menghemvuskan secara perlahan dan merasakan saat ini udara
mengalir dari tangan, kaki, menuju ke paru – paru kemudian udara
dan rasakan udara mengalir keseluruh tubuh
7) Minta pasien untuk meusatkan perhatian pada kaki dan tangan,
udara yang mengalir dan merasakan keluar dari ujung – ujung jari
tangan dan kaki dan rasakan kehangatannya
8) Instruksikan pasien untuk mengilami tknik – teknik ini apa bila
rasa nyeri kembali lagi
9) Setelah pasien merasakan ketenangan, minta pasien untuk
melakukannya secara mandiri
d. Tahap Terminasi
1) Evaluasi hasil kegiatan
2) Lakukan kontrak untuk kegiatan selanjutnya
3) Akhiri kegiatan dengan baik
4) Cuci tangan
e. Dokumentasi
1) Catat waktu penatalaksanaan tindakan
2) Catat respon pasien
3) Paraf dan nama perawat jaga
21
2. Evaluasi
22
BAB IV
PEMBAHASAN
Pada pasien Ny. O merasakan nyeri pada ulu hati seperti di tusuk – tusuk.
Rasa nyeri akan semakin berat bila pasien beraktivitas dan terlambat makan.
Dalam kasus ini ditemukan kesesuaian antara teori dan praktik, gejala dan salah
satu faktor pencetus dispepsia yang tetera dalam teori juga di alami oleh pasien
Ny. O.
23
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Dispepsia adalah sekumpulan gejala yang terdiri dari nyeri atau rasa tidak
nyaman di epigastrum, mual, muntah, kembung, rasa penuh atau cepat
kenyang dan sering bersendawa. Kondisi tersebut dapat menurunkan
kualitas hidup manusia. Jika tidak diatasi sejak dini dan tindakan yang
tepat, maka dapat berakibat fatal bagi penderitanya.
2. Dengan pola makan yang teratur dan memilih makanan yang seimbang
dengan kebutuhan dan jadwal makan yang teratur, sebaiknya tidak
mengkonsumsi makanan yang berkadar tinggi, cabai, alkohol dan pantang
merokok. Bila harus mengkomsumsi obat karena sesuatu penyakit,
misalnya sakit kepala maka minum obat secara wajar dan tidak
mengganggu fungsi lambung.
B. Saran
24
DAFTAR PUSTAKA
25