Anda di halaman 1dari 30

ASUHAN KEPERAWATAN PADA NY “O” USIA 64 TAHUN,

DENGAN DISPEPSIA

DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH MASOHI

LAPORAN INDIVIDU

Oleh :

Nilan S. Samalehu

NPM. 1540118030

PROGRAM STUDI DIII KEBIDANAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN MALUKU HUSADA
KAIRATU
TA 2019/2020
LEMBAR PERSETUJUAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA NY “O” USIA 64 TAHUN


DENGAN DISPEPSIA

DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH MASOHI

LAPORAN INDIVIDU

Disusun Oleh :

NILAN S. SAMALEHU
NPM.1540118030

Disetujui Tanggal :

.......................................

Pembimbing Lahan, Pembimbing Akademik,

............................................... ...............................................

NIP. NIDN/NIK.

Mengetahui,

Ketua Program Studi DIII Kebidanan

Windatania Mayasari,SST., M.Kes

NIDN : 12040779001

i
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
limpahan rahmat-Nya berupa kesempatan dan pengetahuan sehingga penulis dapat
menyelesaikan makalah dengan judul “ASUHAN KEPERAWATAN PADA NY.
O USIA 64 TAHUN DENGAN DISPEPSIA DI RUMAH SAKIT UMUM
DAERAH MASOHI”.

Penulis menyampaikan terima kasih kepada pembimbing yang senantiasa


membimbing penulis hingga dapat menyelesaikan penulisan makalah ini. Semoga
budi baik yang didermakan mendapat syafaat dari yang kuasa.

Penulis berharap semoga makalah ini bisa menambah pengetahuan para


pembaca. Namun terlepas dari itu, penulis memahami bahwa makalah ini masi
jauh dari kata sempurna, untuk itu penulis sangat mengharapkan saran serta kritik
yang bersifat membangun demi terwujudnya makalah selanjutnya yang lebih baik
lagi.

Penulis

ii
DAFTAR ISI

LEMBAR PERSETUJUAN ...................................................i


KATA PENGANTAR ...................................................ii
DAFTAR ISI ...................................................iii
BAB I PENDAHULUAN ...................................................1
A. Latar Belakang ...................................................1
B. Tujuan ...................................................2
1. Tujuan Umum ...................................................2
2. Tujuan Khusus ...................................................2
BAB II TINJAUAN TEORI ...................................................3
A. Definisi Dispepsia ...................................................3
B. Klasifikais Dispepsia ...................................................3
C. Patofisiologi Dispepsia ...................................................7
D. Manisfestasi Klinis Dispepsia ...................................................11
E. Kriteria Diagnosis Dispepsia ...................................................12
F. Penatalaksanaan Dispepsia ...................................................13
G. Komplikasi Dispepsia ...................................................16
BAB III TATALAKSANA KASUS ...................................................17
A. Pengkajian Data Subjektif ...................................................17
B. Pengkajian Data Objektif ...................................................18
C. Analisis ...................................................19
1. Diagnosa ...................................................19
2. Kebutuhan ...................................................19
D. Implementasi ...................................................19
BAB IV PEMBAHASAN ...................................................23
BAB V PENUTUP ...................................................24
DAFTAR PUSTAKA ...................................................25

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dispepsia adalah sekumpulan gejala yang terdiri dari nyeri atau rasa
tidak nyaman di epigastrum, mual, muntah, kembung, rasa penuh atau cepat
kenyang dan sering bersendawa. Kondisi tersebut dapat menurunkan kualitas
hidup manusia. Jika tidak diatasi sejak dini dan tindakan yang tepat, maka
dapat berakibat fatal bagi penderitanya.

Berdasarkan penyebab dan keluhan gejala yang timbul maka dispepsia


dibagi 2 yaitu dispepsia organik dan dispepsia fungsional. Dispepsia organik
apabila penyebab dispepsia sudah jelas, misalnya adanya ulkus peptikum,
karsinoma lambung, dan cholelithiasis yang bisa ditemukan secara mudah
melalui pemeriksaan klinis, radiologi, biokimia, laboratorium, maupun
gastroentrologi konvensional (endoskopi). Sedangkan dispepsia fungsional
apabila penyebabnya tidak diketahui atau tidak didapati kelainan pada
pemeriksaan gastroenterologi konvensional atau tidak ditemukan adanya
kerusakan organik dan penyakit-penyakit sistemik.

Prevalensi dispepsia secara global tahun 2006 bervariasi antara 7-45%


tergantung pada definisi yang digunakan dan lokasi geografis. Prevalensi
dispepsia di Amerika Serikat sebesar 23-25,8%, India 30,4%, New Zealand
34,2%, Hongkong 18,4%, dan Inggris 38-41%. Di daerah pasifik, dispepsia
juga merupakan keluhan yang banyak dijumpai, prevalensinyasekitar 10-20
%. Di Indonesia belum terdapat data epidemiologi yang pasti. Menurut Profil
Kesehatan Indonesia Tahun 2009, dispepsia menempati peringkat kelima
untuk kategori penyakit terbanyak pasien rawat inap di rumah sakitdengan
jumlah pasien laki-laki 9.594, perempuan 15.122, dan jumlah total24.716.
Sedangkan untuk kategori pasien rawat jalan menempati peringkatkeenam
dengan jumlah pasien laki-laki 34.981, perempuan 53.618 dan jumlah total
105.279.

1
Interaksi faktor psikis dan emosi seperti kecemasan atau depresi dapat
mempengaruhi fungsi saluran cerna melalui mekanisme brain – gut – axis.
Adanya stimulasi atau stresor psikis menimbulkan gangguan keseimbangan
saraf otonom simpatis dan parasimpatis secara bergantian (vegetatif
imbalance). Stimulasi stresor juga mempengaruhi fungsi hormonal, sistem
imun ( psiko– neuro-imun-endokrin ), serta HPA Axis melalui pelepasan CRH
dari hipotalamus dan menyebabkan penurunan regulasi reseptor CRH
hipofisis. Akibatnya hipofisis tidak berespons lagi atau responnya terhadap
stresor menjadi datar. Ketidakseimbangan jalur-jalur tersebut secara langsung
atau tidak langsung, terpisah atau bersamaan dapat mempengaruhi saluran
cerna, yaitu : mempengaruhi sekresi asam lambung, motilitas, vaskularisasi
dan menurunkan ambang rasa nyeri.

B. Tujuan

1. Tujuan Umum
Mengetahui definisi dispepsia
Mengetahui klasifikasi dispepsia
Mengetahui patofisiologi dispepsia
Mengetahui manifestasi klinis dispepsia
Mengetahui kriteria diagnosis dispepsia
Mengetahui penatalaksanaan dispepsia
Mengetahgui komplikasi disepsia

2. Tujuan Khusus
Mampu menentukan rencana tidakan dengan masalah pada pasien
dispepsia
Mampu melaksanakan tindakan keperawatan pada pasien dispepsia

2
BAB II
TINJAUAN TEORI

A. Definisi Dispepsia

Dispepsia berasal dari bahasa Yunani, “dys” yang berarti jelek atau
buruk dan “pepsia” yang berarti pencernaan, jika digabungkan dispepsia
memiliki arti indigestion atau kesulitan dalam mencerna. Semua gejala - gejala
gastrointestinal yang berhubungan dengan masukan makanan disebut
dispepsia, contohnya mual, heartburn, nyeri epigastrium, rasa tidak nyaman,
atau distensi.

Dispepsia didefinisikan sebagai kronis atau nyeri berulang atau


ketidaknyamanan berpusat di perut bagian atas. Ketidaknyamanan
didefinisikan sebagai perasaan negatif subjektif menggabungkan berbagai
gejala termasuk cepat kenyang atau kepenuhan perut bagian atas. Pasien
dengan dominan atau sering (lebih dari sekali seminggu) mulas atau regurgitasi
asam harus dianggap memiliki Gastroesophageal Reflux Disease (GERD)
sampai terbukti sebaliknya.

B. Klasifiksi Dispepsia

Berdasarkan ada atau tidaknya penyakit organik yang menyertai


timbulnya gejala dispepsia tersebut, dispepsia dapat dibagi menjadi dua bagian
besar yaitu dispepsia fungsional dan dispepsia organik. Kedua bagian dari
dispepsia tersebut adalah sebagai berikut:

1. Dispepsia fungsional

Menurut Konsensus Rome III, dispepsia fungsional didefinisikan


sebagai suatu sindroma yang mencakup satu atau lebih dari gejala
perasaan penuh pada perut setelah makan, cepat kenyang, nyeri pada
ulu hati atau epigastrium atau rasa terbakar di ulu hati atau epigastrium,
yang berlangsung sedikitnya dalam 3 bulan terakhir, dengan awal mula
munculnya gejala tersebut sedikitnya timbul 6 bulan sebelum diagnosis
ditegakkan dan tidak ada suatu bukti kelainan struktural yang dapat
menjelaskan penyebab gejala tersebut.

3
Istilah dispepsia fungsional juga diartikan sebagai suatu gejala
klinis dispepsia yang timbul dan berbagai evaluasi klinis tidak dapat
mengungkapkan penyebab timbulnya gejala dispepsia tersebut.16
Sebelum ada Konsensus Rome III, disepsia fungsional dibagi menjadi
tiga yaitu ulcer like dyspepsia yang didominasi nyeri epigastrium dan
mirip dengan gejala tukak peptik namun tidak ditemui kelainan organik
seperti tukak saat pemeriksaan diagnostik, dismotility like dyspepsia
yang didominasi keluhan kembung, mual, muntah, rasa penuh dan cepat
kenyang namun tidak ditemui kelainan organik seperti dismotilitas
saluran cerna saat pemeriksaan diagnostik, serta dispepsia non spesifik
yang tidak disertai dengan dominannya salah satu keluhan. Setelah
adanya Konsensus Rome III, dispepsia fungsional dibagi menjadi dua,
yaitu post–prandial distress syndrome yang keluhannya didominasi
oleh perasaan penuh pada perut dan cepat kenyang setelah makan dalam
porsi yang umumnya tidak menimbulkan keluhan tersebut, dan
epigastric pain syndrome yang keluhannya didominasi perasaan nyeri
dan terbakar yang hilang timbul di ulu hati/epigastrium.

Prevalensi dispepsia fungsional berdasarkan kriteria umur


ditemukan meningkat secara signifikan yaitu : 7,7% pada umur 15-17
tahun, 17,6% pada umur 18-24 tahun, 18,3% pada umur 25-34 tahun,
19,7% pada umur 35-44 tahun, 22,8% pada umur 45-54 tahun, 23,7%
pada umur 55-64 tahun, dan 24,4% pada umur di atas 65 tahun (Brun &
Kuo, 2010). Menurut penelitian yang dilakukan oleh Ambarwati
(2005), di FKUI-RSCM ditemukan bahwa rentang umur kunjungan
pasien ke Poliklinik Penyakit Dalam adalah 15 sampai 70 tahun.
Variabel demografik seperti tingkat sosial atau derajat urbanisasi tidak
mempengaruhi prevalensi dispepsia . Berdasarkan data dari berbagai
rumah sakit di Indonesia frekwensi dispepsia fungsional sekitar 60%-
70% dari seluruh pasien yang masuk ke Bagian Gastroenterology-
hepatology.

4
Klasifikasi Dispepsia Fungsional menurut Roma III

Dispepsia Fungsional
Postprandial Distres Syndrome Epigastric Pain Syndrome
Kriteria diagnostik terpenuhi bila 2 Kriteria diagnostik terpenuhi bila
poin di bawah ini seluruhnya terpenuhi. 5 poin di bawah ini seluruhnya
1. Rasa penuh setelah makan yang terpenuhi:
mengganggu, terjadi setelah makan 1. Nyeri atau rasa terbakar yang
dengan porsi biasa, sedikitnya terlokalisasi di daerah
terjadi beberapa kali seminggu epigastrium dengan tingkat
2. Perasaan cepat kenyang yang keparahan moderat/sedang,
membuat tidak mampu paling sedikit terjadi sekali
menghabiskan porsi makan biasa, dalam seminggu
sedikitnya terjadi beberapa kali 2. Nyeri timbul berulang
seminggu 3. Tidak menjalar atau
terlokalisasi di daerah perut
atau dada selain daerah perut
bagian atas/epigastrium
4. Tidak berkurang dengan BAB
atau buang angin
5. Gejala-gejala yang ada tidak
memenuhi kriteria diagnosis
kelainan kandung empedu dan
sfingter oddi

Kriteria penunjang Kriteria penunjang


1. Adanya rasa kembung di daerah 1. Nyeri epigastrium dapat
perut bagian atas atau mual setelah berupa rasa terbakar, namun
makan atau bersendawa yang tanpa menjalar ke daerah
berlebihan retrosternal
2. Dapat timbul bersamaan dengan 2. Nyeri umumnya ditimbulkan
sindrom nyeri epigastrium. atau berkurang dengan
makan, namun mungkin
timbul saat puasa
3. Dapat timbul bersamaan
dengan sindrom distres
setelah makan.

5
2. Dispepsia organik

Istilah dispepsia organik diartikan sebagai suatu gejala klinis


dispepsia yang timbul dan berkaitan dengan berbagai penyakit pada
saluran cerna maupun pada sistem organ lain. Dispepsia organik yakni
dispepsia yang berkaitan dengan penyakit organik seperti gastritis dan
tukak peptik.

Gastritis bukanlah suatu penyakit tunggal, melainkan suatu


kelompok penyakit yang memiliki perubahan peradangan pada mukosa
lambung yang sama, namun memiliki ciri klinis, karakteristik histologik
dan patogenesis yang berlebihan Tukak peptik merupakan suatu
kumpulan penyakit ulseratif yang berlokasi pada saluran cerna bagian
atas, utamanya adalah bagian proksimal dari lambung dan duodenum.
Tukak biasanya lebih dalam, setidaknya hingga lapisan sub mukosa.
Hal ini berbeda dengan erosi, yang umumnya superfisial dan hanya ada
pada lapisan mukosa saja. Tukak peptik yang sering terjadi adalah
tukak lambung dan tukak duodenum. Tukak lambung merupakan suatu
luka yang berbentuk bulat atau oval dengan ukuran lebih besar dari 5
mm dengan pinggirnya yang edem, disertai dengan indurasi dan
dasarnya ditutupi debris. Kedalaman dari tukak lambung ini mencapai
lapisan sub mukosa lambung sehingga terjadi pemutusan pada
kontinuitas lapisan mukosa lambung yang terletak di atasnya. Biasanya
disekeliling ulkus lambung terdapat gambaran peradangan atau gastritis.

Tukak duodenum merupakan suatu kerusakan atau luka pada


lapisan mukosa dan sub mukosa duodenum, bahkan dapat mencapai
lapisan muskularis hingga serosa pada duodenum sehingga bisa
menimbulkan perforasi. Diameter luka biasanya lebih dari 5 mm namun
kurang dari 1 cm, dalam, berbatas tegas, dan disertai hilangnya epitel
superfisial pada daerah tukak tersebut. Bentuk tukak umumnya bulat
atau oval, namun dapat juga tidak teratur.

6
Dismotilitas saluran cerna juga bisa memicu dispepsia organik.
Dismotilitas saluran cerna merupakan kumpulan gejala pada saluran
cerna yang disebabkan oleh gangguan motilitas saluran cerna sehingga
otot dan saraf pada saluran cerna tidak bekerja dengan baik.
Dismotilitas saluran cerna yang dapat menyebabkan timbulnya
dispepsia terutama jika terjadi di saluran cerna bagian atas, utamanya
pada lambung dan duodenum. Dispesia dapat berlangsung secara
fungsional dan masuk dalam kategori dispepsia fungsional yaitu post–
prandial distress syndrome. Meski demikian, kasus ini dapat pula
terjadi sebagai komplikasi dari diabetes, penyakit parkinson, setelah
operasi lambung atau karena pseudoobstruksi pada saluran cerna bagian
atas. Hal ini menimbulkan terjadinya dispepsia organik.

C. Patofisiologis Dispepsia

Perubahan pola makan yang tidak teratur, obat-obatan yang tidak jelas,
zat-zat seperti nikotin dan alkohol serta adanya kondisi kejiwaan stress,
pemasukan makanan menjadi kurang sehingga lambung akan kosong.
Kekosongan lambung dapat mengakibatkan erosi pada lambung akibat
gesekan pada inding-dinding lambung, kondisi demikian dapat mengkibatkan
peningkatan produksi HCL (hydrochloricacid) yang akan merangsang
terjadinya kondisi asam pada lambung, sehingga rangsangan di medula
oblongata membawa implus muntah sehingga intake tidak adekuat baik
makanan maupun cairan.

Dari sudut pandang patofisiologis, proses yang paling banyak


dibicarakan dan potensial berhubungan dengan dispepsia fungsional adalah
hipersekresi asam lambung, infeksi helicobacter pylori, dismotilitas
gastrointestinal, dan hipersensivitas viseral. Kasus dispepsia fungsional
umumnya mempunyai tingkat sekresi asam lambung, baik sekresi basal
maupun dengan stimulasi pentagastrin, yang rata-rata normal. Diduga terdapat
peningkatan sensitivitas mukosa lambung terhadap asam yang menimbulkan
rasa tidak enak diperut.

7
Patofisiologi dispepsia fungsional dapat diterangkan melalui beberapa
teori dibawah ini :

1. Infeksi H. Pylori
Peranan infeksi H. Pylori dengan timbulnya dispepsia
fungsional sampai saat ini masih terus diselidiki dan menjadi
perdebatan dikalangan para ahli Gastrohepatologi. Studi populasi yang
besar telah menunjukan peningkatan insiden infeksi H. Pylori pada
pasien dengan dispepsia fungsional. Beberapa ahli berpendapat H.
Pylori akan menginfeksi lambung jika lambung dalam keadaan kosong
pada jangka waktu yang cukup lama. Infeksi H. Pylori menyebabkan
penebalan otot dinding lambung yang selanjutnya meningkatkan massa
otot sehingga kontraksi otot bertambah dan pengosongan lambung
akan semakin cepat. Pengosongan lambung yang cepat akan membuat
lambung kosong lebih lama dari biasanya dan H. Pylori akan semakin
menginfeksi lambung tersebut, dan bisa sebagai predictor timbulnya
ulkus peptikum.
2. Ketidaknormalan Motilitas
Dengan studi Scintigraphic Nuclear dibuktikan lebih dari 50%
pasien dispepsia fungsional mempunyai keterlambatan pengosongan
makanan dalam lambung. Demikian pula pada studi Monometrik
didapatkan gangguan motilitas antrum postprandial. Penelitian
terakhir menunjukan bahwa fundus lambung yang “kaku” bertanggung
jawab terhadap sindrom dispepsia. Pada keadaan normal seharusnya
fundus lambung relaksasi, baik saat mencerna makanan maupun bila
terjadi distensi duodenum. Pengosongan makanan bertahap dari corpus
lambung menuju ke bagian fundus lambung dan duodenum diatur oleh
refleks vagal. Pada beberapa pasien dispepsia fungsional, refleks ini
tidak berfungsi dengan baik sehingga pengisian bagian antrum terlalu
cepat.

8
3. Gangguan Sensori Visceral
Lebih 50% pasien dispepsia fungsional menunjukan sensitifitas
terhadap distensi lambung atau intestinum, oleh karena itu mungkin
akibat : makanan yang sedikit mengiritasi seperti makanan pedas,
distensi udara, gangguan kontraksi lambung intestinum atau distensi
dini bagian antrum postprandial dapat menginduksi nyeri pada bagian
ini.
4. Faktor Psikososial
Faktor psikis dan stresor seperti depresi, cemas, dan stres
ternyata memang dapat menimbulkan peningkatan hormon kortisol
yang berakibat kepada gangguan keseimbangan sistem saluran cerna,
sehingga terlihat bahwa pada hormon kortisol yang tinggi ternyata
memberikan manifestasi klinik dispepsia yang lebih berat. Jadi
semakin tinggi nilai kortisol akan menyebabkan semakin beratnya
klinis dispepsia. Begitu juga dengan perubahan gaya hidup seperti
kurang olahraga, merokok, dan gangguan tidur juga memiliki efek
terhadap peningkatan asam lambung dan perubahan aktivitas otot
dinding lambung yang meningkatkan kemungkinan terjadinya
dispepsia.
5. Gangguan Keseimbangan Neuroendokrin
Gangguan sekresi pada lambung dapat terjadi karena gangguan
jalur endokrin melalui poros hipotalamus – pituitary – adrenal ( HPA
axis). Pada keadaan ini terjadi peningkatan kortisol dari korteks
adrenal akibat rangsangan dari korteks serebri diteruskan ke hipofisis
anterior sehingga terjadi pengeluaran hormone kortikotropin.
Peningkatan kortisol ini akan merangsang produksi asam lambung.

9
6. Gangguan Keseimbangan Sistem Saraf Otonom Vegetatif
Pada keadaan ini konflik emosi yang timbul diteruskan melalui
korteks serebri ke sistem limbik kemudian ke hipotalamus dan
akhirnya ke sistem saraf otonom vegetatif. Sistem saraf otonom terdiri
dari dua subsistem yaitu sistem saraf simpatis dan sistem saraf
parasimpatis. Konflik emosi akan meningkatkan pelepasan
neurotransmitter acetylcholine oleh Sistem saraf simpatis yang
mengakibatkan peningkatan peristaltik dan sekresi asam lambung.
sistem saraf parasimpatis hampir 75% dari seluruh serabut sarafnya
didominasi oleh nervus vagus (saraf kranial X). saraf dari parasimpatik
meninggalkan sistem saraf pusat melalui nervus vagus menuju organ
yang dipersarafi secara langsung yaitu : mempersarafi lambung dengan
cara merangsang sekresi asetilkolin, gastrin, dan histamine yang
akhirnya memunculkan keluhan dispepsia bila terjadi difungsi
persarafan vagal.
Disfungsi nervus vagal akan menimbulkan kegagalan relaksasi
bagian proksimal lambung sewaktu menerima makanan, sehingga
menimbulkan gangguan akomodasi lambung dan rasa cepat kenyang.
Serat-serat saraf simpatis maupun parasimpatis juga mensekresikan
neurotransmiter sinaps yaitu asetilkolin atau norepinefrin. Kedua
neurotransmitter tersebut akan mengaktivasi atau menginhibisi
presinap maupun postsinap saraf simpatik dan parasimpatik sehingga
menimbulkan efek eksitasi pada beberapa organ tetapi menimbulkan
efek inhibisi pada organ lainnya salah satunya adalah organ lambung.
Terjadinya ketidakseimbangan eksitasi maupun inhibisi pada kedua
neurotransmitter menyebabkan perubahan-perubahan aktivitas pada
organ lambung yang dipersarafinya baik peningkatan maupun
penurunan aktivitas, sehingga bisa memunculkan keluhan dispepsia.

10
7. Perubahan Dalam Sistem Imun
Faktor psikis dan stresor akan mempengaruhi sistem imun
dengan menerima berbagai input, termasuk input dari stresor yang
mempengaruhi neuron bagian Medial Paraventriculer Hypothalamus
melalui pengaktifan sistem endokrin hypothalamus-pituitary axis
(HPA), bila terjadi stres yang berulang atau kronis, maka akan terjadi
disregulasi dari sistem endokrin hypothalamus-pituitary axis (HPA )
melalui kegagalan dari mekanisme umpan balik negative. Faktor psikis
dan stres juga mempengaruhi sistem imun melalui mengaktivasi sistem
noradrenergik di otak, tepatnya di locus cereleus yang menyebabkan
peningkatan pelepasan ketekolamin dari sistem saraf otonom.
Akibat pelepasan neuropeptida dan adanya reseptor
neuropeptida pada limfosit B dan Limfosit T, dan terjadi
ketidakcocokan neuropeptida dan reseptornya akan menyebabkan stres
dan dapat mempengaruhi kualitas sistem imun seseorang, yang pada
akhirnya akan muncul keluhan-keluhan psikosomatik salah satunya
pada organ lambung dengan manifestasi klinis berupa keluhan
dispepsia. Bila keluhan somatik ini berlangsung lama, bisa juga
sebagai prediktor timbulnya dispepsia organik berupa ulkus peptikum
atau duodenum.

D. Manisfestasi Klinis Dispepsia

Manifestasi klinis pada sindrom dispepsia antara lain rasa nyeri atau
ketidaknyamanan di perut, rasa penuh di perut setelah makan, kembung, rasa
kenyang lebih awal, mual, muntah, atau bersendawa. Pada dispepsia organik,
kecenderungkan keluhan tersebut menentap, disertai rasa kesakitan dan jarang
memiliki riwayat psikiatri sebelumnya. Sedangkan pada dispepsia fungsional
terdapat dua pola yang telah ditentukan adalah postprandial distres syndrome
dan epigastric pain syndrome.

11
Kriteria Roma III menjelaskan dua pola dispepsia yang berbeda
tergantung pada apakah gejala tersebut terutama berkaitan dengan asupan
makanan dan atau berkaitan dengan ketidakmampuan untuk menyelesaikan
makan (postprandial distres syndrome) atau lebih didominasi oleh rasa sakit
(epigastric pain syndrome).

Sementara pola ini dikembangkan lebih berdasarkan kepada pendapat


ahli daripada bukti klinis, beberapa data yang mendukung relevansi klinis
untuk perbedaan ini mulai muncul dengan satu penelitian misalnya,
menunjukkan bahwa kecemasan berhubungan dengan postprandial distres
syndrome tetapi tidak berhubungan dengan epigastric pain syndrome dan
yang lain menunjukkan bahwa genetik berhubungan dengan epigastric pain
syndrome dan tidak berhubungan dengan postprandial distres syndrome .
Berikut manisfestasi klinis dispepsia :
Nyeri perut (abdominal discomfort)
Rasa perih di ulu hati
Mual kadang-kadang sampai muntah
Nafsu makan berkurang
Rasa cepat kenyang
Rasa panas di dada dan perut
Regurgitasi (keluar cairan dari lambung secara tiba-tiba)

E. Kriteria Diagnosis Dispepsia

Keluhan utama yang menjadi kunci untuk mendiagnosis dispepsia adalah


adanya nyeri dan atau rasa tidak nyaman pada perut bagian atas. Apabila
ditemukan adanya kelainan organik atau struktural organ lambung, perlu
dipikirkan kemungkinan diagnosis dispepsia organik, sedangkan bila tidak
ditemukan kelainan organik apa pun, dipikirkan kecurigaan ke arah dispepsia
fungsional. Penting diingat bahwa dispepsia fungsional merupakan diagnosis
by exlusion, sehingga idealnya terlebih dahulu harus benar-benar dipastikan
tidak ada kelainan yang bersifat organik.

12
Dalam salah satu penggolongan, dispepsia fungsional diklasifikasikan ke
dalam ulcer-like dyspepsia dan dysmotility-like dyspepsia: apabila tidak
termasuk kedalam 2 subklasifikasi di atas, didiagnosis sebagai dispepsia
nonspesifik. Esofagogastro duodenoskopi dapat dilakukan bila sulit
membedakan antara dispepsia fungsional dan organik, terutama bila gejala
yang timbul tidak khas, dan menjadi indikasi mutlak bila pasien berusia lebih
dari 55 tahun dan didapatkan tanda-tanda bahaya.

Kriteria Diagnostik Roma III untuk Dispepsia Fungsional


Dispepsia Fungsional
Memenuhi salah satu gejala atau lebih dari:
1. Rasa penuh setelah makan yang mengganggu
2. Rasa cepat kenyang
3. Nyeri epigastrium
4. Rasa terbakar di epigastrium
5. Tidak ada bukti kelainan struktural (termasuk hasil endoskopi
saluran cerna bagian atas) yang mungkin dapat menjelaskan
timbulnya gejala

F. Penatalaksanan Dispepsia

Penatalaksanaan dispepsia awal terdiri dari pengkajian riwayat penyakit


untuk mengetahui semua gejala dispepsia sangat penting untuk mengetahui
apa masalah utama dari pasien. Hal ini penting karena penatalaksanaan
dispepsia bertujuan untuk mengendalikan gejala daripada pengobatan
permanen penyakitnya. Pemeriksaan fisik yang lengkap untuk menyingkirkan
adanya gangguan struktural seperti pemeriksaan endoskopi sangatlah
diperlukan. Langkah selanjutnya adalah menentukan tujuan dari terapi.
Langkah ini harus memperhatikan tujuan dasar dilakukannya pengobatan yaitu
tidak hanya mencegah kematian, tetapi juga menolong kehidupan. Tujuan
terapi pada pasien dispepsia fungsional adalah bagaimana pasien mampu
mengelola kekhawatiran terhadap penyakitnya dan mampu meningkatkan
kualitas kesehatannya.

13
1. Non Farmakologi
Gejala dapat dikurangi dengan menghindari makanan yang
mengganggu, diet tinggi lemak, kopi, alkohol, dan merokok. Selain itu,
makanan kecil rendah lemak dapat membantu mengurangi intensitas
gejala. Ada juga yang merekomendasikan untuk menghindari makan
yang terlalu banyak terutama di malam hari dan membagi asupan
makanan sehari-hari menjadi beberapa makanan kecil. Alternatif
pengobatan yang lain termasuk hipnoterapi, terapi relaksasi dan terapi
perilaku.
2. Farmakologi
a. Antasida
Golongan ini mudah didapat dan murah. Antasida akan
menetralisir sekresi asam lambung. Antasida biasanya
mengandung natrium bikarbonat, Al(OH)3, Mg(OH)2, dan
magnesium trisiklat. Pemberian antasida tidak dapat dilakukan
terus-menerus, karena hanya bersifat simtomatis untuk
mengurangi nyeri. Magnesium trisiklat merupakan adsorben
nontoksik, namun dalam dosis besar akan menyebabkan diare
karena terbentuk senyawa MgCl2.
b. Antikolinergik
Kerja obat ini tidak sepsifik, Obat yang agak selektif adalah
pirenzepin yang bekerja sebagai anti reseptor muskarinik yang
dapat menekan sekresi asam lambung sekitar 28% sampai 43%.
Pirenzepin juga memiliki efek sitoprotektif.
c. Antagonis resptor H2
Golongan obat ini banyak digunakan untuk mengobati
dispepsia organik atau esensial seperti tukak peptik. Obat yang
termasuk golongan ini adalah simetidin dan famotidin.

14
d. Proton pump inhibitor (PPI)
Golongan obat ini mengatur sekresi asam lambung pada
stadium akhir dari proses sekresi asam lambung. Obat-obat yang
termasuk golongan PPI adalah omeprazol, lansoprazol, dan
pantoprazol.
e. Sitoprotektif
Prostaglandin sintetik seperti misoprostol (PGE1) dan
enprostil (PGE2) selain bersifat sitoprotektif juga menekan sekresi
asam lambung oleh sel parietal. Sukralfat berfungsi meningkatkan
prostaglandin endogen, yang selanjutnya memperbaiki
mikrosirkulasi, meningkatkan produksi mucus dan meningkatkan
sekresi bikarbonat mukosa, serta membentuk lapisan protektif
yang bersenyawa dengan protein sekitar lesi mukosa saluran cerna
bagian atas.
f. Golongan prokinetik
Obat yang termasuk golongan ini yaitu cisapride,
domperidon, dan metoclopramide. Golongan ini cukup efektif
untuk mengobati dispepsia fungsional dan refluks esofagitis
dengan mencegah refluks dan memperbaiki asam lambung.
g. Golongan anti depresi
Kadang kala juga dibutuhkan psikoterapi dan psikofarmaka
(obat anti depresi dan cemas) pada pasien dengan dispepsia
fungsional, karena tidak jarang keluhan yang muncul berhubungan
dengan faktor kejiwaan seperti cemas dan depresi. Contoh dari
obat ini adalah golongan trisiclic antidepressants (TCA) seperti
amitriptilin. Pengobatan untuk dispepsia fungsional masih belum
jelas. Beberapa pengobatan yang telah didukung oleh bukti ilmiah
adalah pemberantasan Helicobacter pylori, PPI, dan terapi
psikologi. Pengobatan yang belum didukung bukti : antasida,
antispasmodik, bismuth, terapi diet, terapi herbal, antagonis
reseptor H2, misoprostol, golongan prokinetik, selective
serotonin-reuptake inhibitor, sukralfat, dan antidepresan.

15
G. Komplikasi Dispepsia

Penderita sindrom dispepsia selama bertahun-tahun dapat memicu


adanya komplikasi yang tidak ringan. Salah satu komplikasi dispepsia yaitu
luka di dinding lambung yang dalam atau melebar tergantung b erapa lama
lambung terpapar oelh asam lambung. Bila keadaan dispepsia ini terus terjadi
luka akan semkain dalam dan dapat menimbulkan komplikasi perdarahan
saluran cerna yang ditandai dengan terjadinya muntah darah, dimana
merupakan pertanda yang timbul belakangan. Awalnya penderita pasti akan
mengalami BAB berwarna hitam sudah ada perdarahan awal. Tapi komplikasi
yang paling awal dikwatirkan adalah terjadinya kanker lambung yang
mengharuskan penderitanya melakukan operasi.

16
BAB III
TATALAKSANA KASUS

A. Pengkajian Data Subjektif

1. Identitas pasien
Nama : Ny. O
Jenis kelamin : Perempuan
Umur : 64 Tahun
No. RM : 015765
Alamat : Namaelo
Pendidikan terakhir : SMA
Agama : Kristen Protestan
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga

2. Penanggung Jawab
Nama : Ny. M
Hubungan dengan pasien : Anak

3. Keluhan utama
Pasien mengatakan nyeri pada ulu hati

4. Riwayat penyakit
a. Riwayat penyakit dahulu
- Pneumonia
- LVH

17
b. Riwayat penyakit sekarang

- Dispepsia
Pasien masuk RSUD Masohi pada tanggal 14 Januari 2020
dengan keluhan nyeri pada ulu hati. Keadaan ini dirasakan pasien
sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit. Pasien mengatakan nyeri
seperti ditusuk – tusuk pada ulu hati dan tembus ke belakang.
Nyeri dirasakan hilang timbul dengan skala nyeri sedang. Pasien
mengatakan nyeri akan bertambah berat jika pasien beraktivitas,
dan terlambat makan.

Pada saat dilakukan pengkajian tanggal 15 Januari 2020,


pasin mengatkan nyeri masi terasa seperti di tusuk –tusuk, nyeri
sering muncul dan hilang secara tiba – tiba.

B. Pengkajian Data Subjektif

Hari / Tanggal : Jumat, 15 Januari 2020


Jam : 14.23

1. Keluhan utama : nyeri akut


- P : terlambat makan
- Q : nyeri seperti ditusuk-tusuk
- R : nyeri ulu hati
- S :5
- T : nyeri sering muncul dan hilang secara
tiba-tiba
2. Tanda-tanda vital
Tekanan darah : 140/80 mmHg
Nadi : 76
Suhu : 36,1oC
Respirasi : 20

18
3. Pemeriksaan fisik
a. Pemeriksaan kepala
Bentuk kepala simetris, tidak terdapat oedema dan nyeri tekan, sudah
terdapat rambut putih dan sedikit kotor.
b. Mata
Simetris kiri dan kanan, konjungtiva terlihat pucat.
c. Hidung
Tidak ada pembengkakan.
d. Telinga
Simetris dan tidak ada kotoran.
e. Mulut dan gigi
gigi tidak utuh lagi dan bibir terlihat pucat.
f. Leher
Tidak ada pembengkakan pada kelenjar tiroid dan kelenjar limfe.
g. Dadah
Payudara simetris, tidak ada pembengkakan.
h. Ekstremitas atas
Kedua tangan simetris dan tidak ada pembengkakan.
i. Abdomen
Tidak ada pembengkakan dan bekas luka.
j. Ekstremitas bawah
Kedua kaki simetris dan tidak ada pembengkakan.

C. Analisis

1. Diagnosa
Nyeri akut

2. Kebutuhan
Ajarkan relaksasi
Beri obat
Beri makan

D. Implementasi

1. Pelaksanaan
Mengajarkan teknik relaksasi nafas dalam
Memberikan obat
Memberikan makan

19
STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR (SOP)
TEKNIK RELAKSASI NAFAS DALAM

1. Pengertian

Teknik relaksasi nafas dalam merupakan metode efektif untuk


mengurangi rasa nyeri pada pasien yang mngalami nyeri kronis. Rileks
sempurna yang dapat mengurangi ketegangan otot, rasa jenuh, kecemasan
sehingga mencegah menghebatnya stimulasi nyeri. Ada tiga hal utama
dalam teknik relaksasi :
Posisikan pasien dengan tepat
Pikiran beristirahat
Lingkungan yang tenang

2. Tujuan
Untuk mengurangi atau menghilangkan rasa nyeri.

3. Indikasi
Dilakukan untuk pasien yang mengalami nyeri kronis.

4. Prosedur pelaksanaan
a. Tahap prainteraksi :
1) Membaca status pasien
2) Mencuci tangan
3) Menyiapkan alat
b. Tahap orientasi :
1) Memberikan salam teraupetik
2) Validasi kondisi pasien
3) Menjaga privasi pasien
4) Menjelaskan tujuan dan prosedur yang akan dilakukan kepada
pasien dan keluarga

20
c. Tahap kerja :
1) Berikan kesempatan kepada pasien untuk bertanya jika ada yang
kurang jelas
2) Atur posisi agar tetap rileks tanpa beban fisik
3) Instruksikan pasien untuk tarik nafas dalam sehingga rongga paru
berisi udara
4) Instruksikan pasien secara perlahan dan menghembuskan udara,
membiarkannya keluar dari setiap bgian anggota tubuh, pada
waktu bersamaan minta pasien untuk memusatkan perhatian
betapa nikmat rasanya
5) Instruksikan pasien untuk bernafas dengan irama normal beberapa
saat (1 – 2 menit)
6) Instruksikan pasien untuk bernafas dalam, kemudian
menghemvuskan secara perlahan dan merasakan saat ini udara
mengalir dari tangan, kaki, menuju ke paru – paru kemudian udara
dan rasakan udara mengalir keseluruh tubuh
7) Minta pasien untuk meusatkan perhatian pada kaki dan tangan,
udara yang mengalir dan merasakan keluar dari ujung – ujung jari
tangan dan kaki dan rasakan kehangatannya
8) Instruksikan pasien untuk mengilami tknik – teknik ini apa bila
rasa nyeri kembali lagi
9) Setelah pasien merasakan ketenangan, minta pasien untuk
melakukannya secara mandiri

d. Tahap Terminasi
1) Evaluasi hasil kegiatan
2) Lakukan kontrak untuk kegiatan selanjutnya
3) Akhiri kegiatan dengan baik
4) Cuci tangan

e. Dokumentasi
1) Catat waktu penatalaksanaan tindakan
2) Catat respon pasien
3) Paraf dan nama perawat jaga

21
2. Evaluasi

Hari / Tanggal : Jumat, 17 Januari 2020


Jam : 05.52

1. S : Pasien mengatakan nyeri sudah berkurang


- P : Nyeri akibat telat makan
- Q : Nyeri seperti di remas – remas
- R : Uluhati
- S :3
- T : Kurang lebih 2 menit

2. O : Pasien tampak lebih tenang


Tanda – tanda vital
- Tekanan darah : 160 / 80 mmHg
- Nadi : 82
- Suhu : 36oC
- Respirasi : 20

3. A : Masalah sudah teratasi sebagian

4. P : Lanjutkan intervensi tingkatkan kondisi pasien

22
BAB IV
PEMBAHASAN

Dispepsia didefinisikan sebagai kronis atau nyeri berulang atau


ketidaknyamanan berpusat di perut bagian atas. Ketidaknyamanan didefinisikan
sebagai perasaan negatif subjektif menggabungkan berbagai gejala termasuk cepat
kenyang atau kepenuhan perut bagian atas. Gejala yang dirasakan dari dispepsia
yaitu nyeri pada ulu hati, sesak nafas, mual dan muntah. Umumnya dispepsia
dapat terjadi karena pola hidup, terutama pola makan yang kurang baik, misalnya,
tidak memiliki waktu makan yang teratur.

Pada pasien Ny. O merasakan nyeri pada ulu hati seperti di tusuk – tusuk.
Rasa nyeri akan semakin berat bila pasien beraktivitas dan terlambat makan.
Dalam kasus ini ditemukan kesesuaian antara teori dan praktik, gejala dan salah
satu faktor pencetus dispepsia yang tetera dalam teori juga di alami oleh pasien
Ny. O.

23
BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Dispepsia adalah sekumpulan gejala yang terdiri dari nyeri atau rasa tidak
nyaman di epigastrum, mual, muntah, kembung, rasa penuh atau cepat
kenyang dan sering bersendawa. Kondisi tersebut dapat menurunkan
kualitas hidup manusia. Jika tidak diatasi sejak dini dan tindakan yang
tepat, maka dapat berakibat fatal bagi penderitanya.

2. Dengan pola makan yang teratur dan memilih makanan yang seimbang
dengan kebutuhan dan jadwal makan yang teratur, sebaiknya tidak
mengkonsumsi makanan yang berkadar tinggi, cabai, alkohol dan pantang
merokok. Bila harus mengkomsumsi obat karena sesuatu penyakit,
misalnya sakit kepala maka minum obat secara wajar dan tidak
mengganggu fungsi lambung.

B. Saran

1. Untuk institusi pelayanan kesehatan, dapat memberikan pelayanan


kesehatan yang baik, mempertahankan serta meningkatkan kualitas
pelayanan kesehatan yang ada dengan baik dan tepat.

2. Dalam proses asuhan keperawatan, sangat diperlukan kerja sama keluarga


dan pasien itu sendiri guna memperolah data yang bermutu untuk
menentukan tindakan sehingga dapat memperoleh hasil yang diharapkan.

24
DAFTAR PUSTAKA

Mansjoer Arif. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Edisis Ketiga Jilid 1.


Jakarta : Mesdia Acsulapius.
Wibawa, I Dewa Nyoman. 2006. Penanganan Dispepsia Pada Lanjut Usia.
Corwin. 2009. Buku Saku Patologis. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran
EGC.
Abdullah, M. Dan Gunawan, J. 2012. Dispepsia Jakarta : Bagian Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Divisi
Gastroenterologi.

25

Anda mungkin juga menyukai