Anda di halaman 1dari 58

PROPOSAL

HUBUNGAN RIWAYAT TRAUMA KEPALA DENGAN


KEJADIAN VERTIGO DI POLI SYARAF RSUD KEPAHIANG
KABUPATEN KEPAHIANG PROVINSI BENGKULU

OLEH :

ANGGUN ARISTANTIA
NPM. 1626010055

PROGRAM STUDI SI ILMU KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
TRI MANDIRI SAKTI
BENGKULU
2020

i
LEMBAR PERSETUJUAN

Proposal skripsi ini telah disetujui untuk dipertahankan di hadapan Tim


Penguji Proposal Skripsi Prodi SI Ilmu Keperawatan Sekolah Tinggi Ilmu
Kesehatan Tri Mandiri Sakti Bengkulu

Oleh :
ANGGUN ARISTANTIA
NPM. 1626010055

Bengkulu, juni 2020

Pembimbing I Pembimbing II

Ns. Fernalia,S.Kep, M.Kep Ns. Ida Rahmawati, S.Kep, M.Kep

Mengetahui
Ketua Prodi SI Ilmu Keperawatan

Ns. Pawiliyah, S.Kep, MAN

ii
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Puji syukur penulis ucapkan kehadiran Allah SWT, karena atas berkat rahmat

dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan proposal skripsi yang

berjudul “Hubungan Riwayat Trauma Kepala dengan Kejadian Vertigo di

Poli Syaraf RSUD Kepahiang Kabupaten Kepahiang Provinsi Bengkulu”.

Dalam penulisan proposal skripsi ini penulis banyak mendapat arahan,

masukan dan bimbingan dari berbagai pihak, untuk itu pada kesempatan ini

penulis ingin mengucapkan terima kasih :

1. Bapak Drs. H S, Effendi, MS selaku Ketua Yayasan STIKES Tri Mandiri

Sakti Bengkulu yang telah memberikan dukungan selama mengikuti

pendidikan di STIKES Tri Mandiri Sakti Bengkulu.

2. Ns. Fernalia, S.Kep, M.Kep selaku pembimbing I yang telah memberikan

dukungan, bimbingan dan masukan kepada penulis sehingga dapat

menyelesaikan proposal skripsi ini.

3. Ns. Ida Rahmawati, S.Kep, M.Kep selaku pembimbing II yang telah

meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan dan masukan dengan

penuh kesabaran sehingga penulis dapat menyelesaikan proposal skripsi ini

dengan baik.

4. Segenap Staff dan Dosen STIKES Tri Mandiri Sakti Bengkulu yang telah

memberikan dorongan semangat sehingga terselesainya proposal skripsi ini.

iii
5. Kedua orang tuaku yang selalu memberikan doa dan dukungan dalam

menyelesaikan proposal skripsi ini.

6. Rekan-rekan seperjungan dan orang orang terdekat saya yang telah memberi

masukan dan semangat dalam penulisan proposal penelitian ini.

Dalam penyusunan proposal skripsi ini penulis menyadari adanya

kekurangan baik dari segi isi materi, sistematika penulisan maupun tata bahasa

sehingga jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan

saran serta kritik yang bersifat membangun demi perbaikan proposal skripsi

ini. Sehingga proposal ini dapat memberikan manfaat bagi yang membutukan

dimasa yang akan datang.

Bengkulu, juni 2020

iv
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL....................................................................................... i
LEMBAR PERSETUJUAN........................................................................... ii
KATA PENGANTAR ................................................................................... iii
DAFTAR ISI .................................................................................................. v
DAFTAR TABEL .......................................................................................... vii
DAFTAR BAGAN ......................................................................................... viii
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. ix
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang................................................................................ 2
B. Rumusan Masalah........................................................................... 4
C. Tujuan Penelitian ........................................................................... 4
D. Manfaat Penelitian ......................................................................... 4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Konsep Trauma Kepala.................................................................. 6
1. Pengertian Trauma Kepala ...................................................... 6
2. Etiologi Trauma Kepala ........................................................... 6
3. Klasifikasi Trauma Kepala ...................................................... 10
4. Manifestasi Klinis Trauma Kepala........................................... 10
5. Patofisiologi Trauma Kepala.................................................... 12
6. Penatalaksanaan Trauma Kepala ............................................. 14
7. Pemeriksaan Penunjang Trauma Kepala.................................. 16
8. Komplikasi Trauma Kepala...................................................... 16
B. Konsep Vertigo............................................................................... 17
1. Pengertian Vertigo.................................................................... 19
2. Etiologi Vertigo........................................................................ 23
3. Patofisiologi Vertigo................................................................. 26
4. Klasifikasi Vertigo.................................................................... 27
5. Manifestasi Klinis Vertigo........................................................ 30
6. Pemeriksaan Fisik Vertigo........................................................ 31
7. Pemeriksaan Penunjang Vertigo............................................... 31
8. Penatalaksanaan Vertigo........................................................... 33
C. Hubungan Riwayat Trauma Kepala Dengan Kejadian Vertigo...... 33
D. Kerangka Konsep............................................................................ 34
E. Definisi Operasional....................................................................... 34
F. Hipotesis ........................................................................................ 34
BAB III METODE PENELITIAN
A. Lokasi Dan Waktu Penelitian ........................................................ 35
B. Desain Penelitian ........................................................................... 35

v
C. Populasi dan Sampel ...................................................................... 35
D. Teknik Pengumpulan Data ............................................................ 36
E. Teknik Pengolahan Data ................................................................ 37
F. Teknik Analisa Data ...................................................................... 37
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 39
LAMPIRAN

vi
DAFTAR TABEL

Tabel 1 Definisi Operasional...................................................................... 33

vii
DAFTAR BAGAN

Bagan 1 Kerangka Konsep .............................................................................. 33

viii
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Lembar Ceklist

Lampiran 2 Berita acara Bimbingan

ix
10

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Vertigo didefinisikan sebagai ilusi gerakan, umumnya berupa

perasaan atau sensasi tubuh berputar terhadap lingkungan, atau sebaliknya

yaitu lingkungan sekitar dirasakan berputar (Wahyudi, 2012). Vertigo

bukan suatu gejala pusing berputar saja akan tetapi merupakan suatu

kumpulan gejala atau sindrom yang terdiri dari gejala somatik

(nistagamus, unstable), otonomik (pucat, mual dan muntah) pusing dan

gejala psikiatrik (Sutarni dkk, 2016).

Trauma kepala adalah trauma mekanik pada kepala yang terjadi

baik secara langsung dan tidak langsung yang kemudian dapat berakibat

kepada gangguan fungsi neurologis, fungsi fisik, kognitif, psikososial,

bersifat temporer atau permanen (Simanjuntak, 2013).

Penelitian mengenai vertigo di Jerman menunjukkan bahwa

prevelensi pada usia 18-79 tahun sebesar 30% dan 24% mengalami

kelainan vestibular. Sedangkan penelitian mengenai vertigo di Prancis

menunjukkan bahwa prevelensi sebesar 48% (Grennberg dkk, 2013).

Sedagkan angka kejadian vertigo di Indonesia pada tahun 2012 usia 40-50

tahun sebesar 50%, merupakan keluhan nomor tiga yang sering dikeluhkan

oleh penderita vertigo yang datang ke pratek umum (Joesoef dkk, 2012).

Vertigo disebabkan karena alat keseimbangan tubuh tidak dapat

menjaga keseimbangan tubuh dengan baik, salah satu penyebabnya yaitu


11

trauma kepala yang sering disebut Post Head Injury Vertigo (Putri, 2016).

Menurut Ramos dkk (2013) prevelensi vertigo pada pasien trauma kepala

sebesar 55% dan berpotensi berbahaya karena dapat menimbulkan

gangguan pada fungsi otak.

Benign Paraxysmal Positional Vertigo atau BPPV adalah jenis

yang paling umum dan sering terjadi setelah trauma kepala. Seseorang

yang mengalami vertigo mengeluhkan rasa pusing berputar diikuti oleh

mual, tidak disertai dengan muntah dan keringat dingin sewaktu merubah

posisi kepala terhadap gravitasi, dengan periode vertigo yang episodik

(Falenra S, 2014).

Menurut kelompok studi vertigo Perhimpunan Dokter Spesialis

Saraf (PERDOSSI) 2012 penatalaksanaan vertigo dapat dilakukan dengan

cara terapi yaitu terapi simptomatik, terapi kausal, terapi rehabilitatife,

hindari faktor pencetus dan memperbaiki lifestyle.

Rumah Sakit Umum Daerah Kepahiang pada tahun 2012 telah

mendirikan poli syaraf dimana jumlah kunjungan pasien ke poli syaraf

pada tahun 2019 sebanyak 3.110 orang, dari jumlah kunjungan pasien ke

poli syaraf pada tahun 2019 yang mengalami penyakit vertigo sebanyak

283 orang. Data survey awal pada 10 orang yang mengalami gangguan

masalah vertigo, terdapat 6 orang memiliki riwayat trauma kepala dan 4

orang tidak memiliki riwayat trauma kepala.


12

Berdasarkan uraian diatas, maka penulis tertarik untuk melakukan

penelitian lebih mendalam mengenai “Hubungan riwayat trauma kepala

dengan kejadian vertigo pada masyarakat di Kecamatan Kepahiang

Kabupaten Kepahiang Provinsi Bengkulu”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian dari latar belakang di atas “apakah terdapat

riwayat trauma kepala dengan kejadian vertigo di poli syaraf RSUD

Kepahiang”.

C. Tujuan Penulisan

1. Tujuan Umum

Mempelajari hubungan riwayat trauma kepala dengan kejadian vertigo

di poli syaraf RSUD Kepahiang Kabupaten Kepahiang Provinsi

Bengkulu.

2. Tujuan Khusus

a. Mengetahui distribusi frekuensi kejadian riwayat trauma kepala di

poli syaraf RSUD Kepahiang Kabupaten Kepahiang Provinsi

Bengkulu.

b. Mengetahui distribusi frekuensi kejadian vertigo di poli syaraf

RSUD Kepahiang Kabupaten Kepahiang Provinsi Bengkulu.

c. Mengetahui hubungan riwayat trauma kepala dengan kejadian

vertigo di poli syaraf RSUD Kepahiang Kabupaten Kepahiang

Provinsi Bengkulu.
13

D. Manfaat Penelitian

1. STIKES Tri Mandiri Sakti Bengkulu

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan

referensi bagi mahasiswa STIKES Tri Mandiri Sakti Bengkulu

khususnya jurusan keperawatan tentang hubungan riwayat trauma

kepala dengan kejadian vertigo.

2. Bagi Instansi

Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan wawasan dan pedoman

dalam memantau tentang hubungan riwayat trauma kepala dengan

kejadian vertigo.

3. Bagi Peneliti

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan ilmu

pengetahuan serta memberikan informasi yang sangat berguna tentang

riwayat trauma kepala dengan kejadian vertigo.


BAB II

TINJAUAN TEORITIS

A. Konsep Trauma Kepala

1. Pengertian Trauma Kepala

Trauma kepala adalah trauma mekanik pada kepala yang terjadi

baik secara langsung atau tidak langsung yang kemudian dapat

berakibat luka di kulit kepala, fraktur tulang tengkorak, robekan

selaput otak dan kerusakan jaringan otak dan kerusakan jaringan otak

itu sendiri, serta mengakibatkan gangguan neurologis (Syahrir H.

2012).

Trauma kepala adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat

congenital atau degenerative tetapi disebabkan oleh benturan fisik dari

luar yang dapat mengakibatkan kerusakan kemampuan kognitif

maupun fisik (Kasenda M, 2010).

2. Etiologi Trauma Kepala

Menurut Satyanegara (2010 ) mekanisme penyebab trauma kepala

adalah kontak bentur dan guncangan lanjut. Trauma kontak bentur

terjadi bila kepala membentur atau menabrak sesuatu objek yang

sebaliknya. Sedangkan trauma guncangan lanjut merupakan akibat

peristiwa guncangan kepala yang hebat, baik yang disebabkan oleh

pukulan maupun yang bukan karena pukulan.

Trauma kepala disebabka oleh benturan, pukulan atau sentankan ke

kepala atau trauma yang menembus dan mengganggu fungsi normal

14
15

otak (Betrus & Kreipke, 2013). Sedangkan menurut Putri A (2018)

penyebab trauma kepala adalah trauma tajam dan trauma tumpul.

3. Klasifikasi Trauma Kepala

Klasifikasi trauma kepala menurut putri Maherendra mengutip dari

Advenced Trauma Life Support (ATLS) tahun 2004, berdasarkan

mekanismenya dibagi menjadi :

a. Trauma kepala tumpul, disebabkan oleh kecelakaan kendaraan

bermotor, jatuh dan terkena pukulan benda tumpul.

b. Trauma kepala tembus, disebabkan oleh luka tusukan, atau luka

tembak.

Berdasarkan morfologinya, trauma kepala dapat dibagi menjadi:

a. Fraktur Kranium

Fraktur cranium diklasifikasikan berdasarkan lokasi anatomi

tetapi dibedakan menjadi dua yaitu fraktur calvaria dan fraktur

basis cranii. Sedangkan melihat dari keadaan lukanya dibedakan

menjadi dua yaitu fraktur terbuka dengan luka telah menembus

durameyer dan fraktur tertutup yaitu fraktur dengan fragmen

tengkorak.

b. Perdarahan Epidural

Hematoma epidural ini terletak diluar dura akan tetapi didalam

rongga tengkorak berbentuk bikonveks atau menyerupai lensa

cembung, dibagian temporal pariental karena robeknya arteri

meningea media akibat fraktur tulang tengkorak.


16

c. Perdarahan Subdural

Perdarahan subdural ini sering terjadi karena robeknya vena-

vena kecil dipermukaan korteks cerebri. Pendarahan subdural ini

biasanya menutupi seluruh permukaan hemisfer otak, dan terjadi

kerusakan otak lebih berat dan prognosisnya jauh lebih buruk

dibandingkan dengan perdarahan epidural.

d. Contusio dan perdarahan intraserebral

Contusio atau luka memar adalah terjadi kerusakan dibagian

jaringan subkutan yang mana pembuluh darah (kapiler) pecah

sehingga darah meresap ke jaringan sekitarnya, kulit tidak rusak

tetapi menjadi bengkak dan berwarna merah kebiruan. Luka memar

diotak terjadi apabila otak menekan tengkorak, contusion cerebri

sering terjadi di lobus frontal dan temporal. Contusion cerebri

dapat terjadi dalam waktu beberapa jam atau hari yang mana dapa

menjadi pendarahan intraserebral yang membutuhkan tindakan

operasi.

e. Commotio cerebri

Commusio cerebri atau gegar otak merupakan keadaan pingsan yang

berlangsung kurang lebih 10 menit setelah trauma kepala, yang

tidak disertai kerusakan jaringan otak. Pasien mungkin akan mengeluh

nyeri kepala, vertigo, mungkin muntah dan pucat.

f. Fraktur basis cranii


17

Trauma kepala yang benar-benar berat yang mana dapaat

menimbulkan fraktur pada bagian dasar tengkorak. Penderita

biasanya masuk rumah sakit dengan kesadaran yang menurun,

bahkan dengan keadaan koma yang dapat berlangsung beberapa

hari dan biasanya tampak amnesia retrograde dan amnesia

pasctraumatik. Gejalanya ini tergantung dengan letak frakturnya:

1) Fraktur fossa anterior

Darah keluar beserta likuor serebrospinal dari hidung atau kedua

mata dikelilingi lingkaran “biru” (Brill Hematom atau Racoon’s

Eyes), rusaknya Nervus Olfactorius sehingga terjadi hyposmia

sampai anosmia.

2) Fraktur fossa media

Darah keluar beserta likuor serebrospinal dari telinga. Fraktur

memecahkan arteri carotis interna yang berjalan di dalam sinus

cavernous sehingga terjadi hubungan antara darah arteri dan

darah vena (A-V shunt).

3) Fraktur fossa posterior

Tampak warna kebiru-biruan di atas mastoid. Getaran fraktur

dapat melintas foramen magnum dan merusak medula oblongata

sehingga penderita dapat mati seketika. Penilaian derajat beratnya

cedera kepala dapat dilakukan dengan menggunakan Glasgow

Coma Scale (GCS) yang diciptakan oleh Jennet dan Teasdale

pada tahun 1974. GCS yaitu suatu skala untuk menilai secara
18

kuantitatif tingkat kesadaran seseorang dan kelainan neurologis

yang terjadi. Ada 3 aspek yang dinilai yaitu reaksi membuka

mata (eye opening), reaksi berbicara (verbal respons), dan reaksi

lengan serta tungkai (motor respons).

Trauma kepala diklasifikasikan menjadi 3 kelompok berdasarkan

nilai GCS yaitu:

a. Ced batang otak, Transient Ischemic Attact (TIA) vertebrobasiler,

neoplasma, migren basiler, trauma, epilepsi, perdarahan cerebellum, infark

batang otak, degenerasi spinoserebelar.

b. Vertigo perifer disebabkan oleh kelainan di telinga dalam,

n.vestibular atau sering disebut primary vestibular disorder,

misalnya akibat BPPV pasca trauma, labirintis, meniere’s disease,

toksin obat- obatan seperti streptomisin, neuritis vestibular, tumor di

fossa posterior (neuroma akustik), fisiologis (motion sickness), fistula

labirin, otitis media, neuritis iskemia akibat diabetes mellitus dan

infeksi herpez.(Sjahrir, 2012)

Terdapat beberapa klasifikasi trauma kepala. Berdasarkan derajat

kesadaran berdasarkan Skala Koma Glasgow dibagi menjadi:

(PERDOSSI, 2006)

a. Minimal: Skala Koma Glasgow 15, gambaran klinik tidak

terdapat pingsan dan defisit neurologi, CT Sken kepala normal.

b. Ringan: Skala Koma Glasgow 13-15, gambaran klinik pingsan


19

kurang dari 10 menit, tanpa defisit neurologi, CT Sken kepala

normal.

c. Sedang: Skala Koma Glasgow 9-12, gambaran klinik pingsan

lebih dari 10 menit sampai dengan 6 jam, dengan defisit

neurologi, CT sken kepala abnormal.

d. Berat: Skala Koma Glasgow 3-8, gambaran klinik pingsan lebih

dari 6 jam, dengan defisit neurologi, CT Sken abnormal.

Klasifikasi trauma kepala berdasarkan patologi: (PERDOSSI,

2006)

a. Komosio serebri

b. Kontusio serebri

c. Laserasio serebri

4. Manifestasi Klinis Trauma Kepala

Gejala yang dialami penderita trauma kepala berbeda-beda sesuai

dengan keparahan kondisi, tidak semua gejala akan langsung dirasakan

sesaat setelah cedera terjadi. Manifestasi yang dialami yaitu kehilangan

kesadaran untuk beberapa saat, terlihat linglung, pusing, kehilangan

keseimbangan, pusing, mual atau muntah, mudah merasa lelah, pucat,

dan terdapat hematoma (Kasenda, 2018)

5. Patofisiologi Trauma Kepala

Patofisologi trauma kepala ini terjadi pada fase pertama yaitu

kerusakan serebral paska terjadinya trauma kepala ditandai dengan

kerusakan jaringan secara langsung dan juga terdapat gangguan


20

regulasi peredaran darah serta metabolism otak. Apabila terjadi pola

ischaemia-like ini menyebabkan asumsi asam laktat sebagai akibat dari

glikolisis anaerob. Terjadi peningkatan permeabilitas pembuluh darah

yang terjadi edema. Akibat dari berlangsungnya metabolism anaerob

maka sel-sel diotak kekurangan cadangan energi yang menyebabkan

kegagalan pompa ion di membrane sel yang bersifat energi-dependent.

Pada fase kedua dapat dijumpai terjadi depolarisasi membrane terminal

yang diikuti dengan terjadinya pelepasan neurotransmitter eksitatori

(glutamate dan asparat) yang berlebihan (Werner & Engelhard, 2007).

Patofisiologi trauma kepala dapat terbagi atas dua proses yaitu

trauma kepala primer dan trauma kepala sekunder, trauma kepala

primer merupakan suatu proses biomekanik yang terjadi secara

langsung saat kepala terbentur dan dapat memberi dampak kerusakan

jaringan otat. Pada trauma kepala sekunder terjadi akibat dari trauma

kepala primer, misalnya akibat dari hipoksemia, iskemia dan

perdarahan.

Perdarahan cerebral menimbulkan hematoma misalnya pada

epidural hematoma, berkumpulnya antara periosteun tengkorak dengan

durameter, subdural hematoma akibat berkumpulnya darah pada ruang

antara durameter dengan subaraknoid dan intra cerebral, hematoma

adalah berkumpulnya darah didalam jaringan cerebral. Kematian pada

penderita cedera kepala terjadi karena hipotensi karena gangguan


21

autoregulasi, ketika terjadi autoregulasi menimbulkan perfusi jaringan

cerebral dan berakhir pada iskemia jaringan otak (Tarwoto dkk, 2007)

6. Penatalaksanaan Trauma Kepala

Resusitasi jantung paru ( circulation, airway, breathing = CAB)

Pasien dengan trauma kepala berat sering terjadi hipoksia, hipotensi

dan hiperkapnia akibat gangguan kardiopulmoner. Oleh karena itu

urutan tindakan yang benar adalah: (Kasenda, 2018)

a. Sirkulasi (circulation)

Hipotensi menyebabkan iskemik yang dapat mengakibatkan

kerusakan sekunder. Hipotensi disebabkan oleh hipovolemia akibat

perdarahan luar, ruptur organ dalam, trauma dada disertai

temponade jantung atau pneumotoraks dan syok septic. Tindakan

adalah menghentikan perdarahan, perbaikan fungsi jantung dan

mengganti darah yang hilang dengan plasma atau darah.

b. Jalan nafas (airway)

Bebaskan jalan nafas dari lidah yang turun ke belakang dengan

posisi kepala ekstensi dengan memasang orofaryngeal airway

(OPA) atau pipa endotrakheal, bersihkan sisa muntahan, darah,

lendir atau gigi palsu. Isi lambung dikosongkan melalui pipa

nasogastrik untuk menghindarkan aspirasi muntahan.

c. Pernafasan (breathing)

Gangguan pernafasan dapat disebabkan oleh kelainan sentral dan

perifer. Kelainan sentral dalah depresi pernafasan pada lesi medulla


22

oblongata, pernafasan cheyne stokes, ataksik dan central

neurogenic hyperventilation. Penyebab perifer adalah aspirasi,

trauma dada, edema paru, emboli paru, infeksi. Gangguan

pernafasan dapat menyebabkan hipoksia dan hiperkapnia.

Tindakan dengan pemberian O2 kemudian cari dan atasi factor

penyebab dan kalau perlu memakai ventilator.

Penanganan kasus-kasus cedera kepala di unit gawat darurat

didasarkan atas patokan pemantauan dan penanganan terhadap “6

B”(Muttaqin, 2008), yakni:

a. Breathing

Perlu diperhatikan mengenai frekuensi dan jenis pernafasan

penderita. Adanya obstruksi jalan nafas perlu segera dibebaskan

dengan tindakan-tindakan : suction, inkubasi, trakheostomi.

Oksigenasi yang cukup atau hiperventilasi bila perlu, merupakan

tindakan yang berperan penting sehubungan dengan edema

cerebri.

b. Blood

Mencakup pengukuran tekanan darah dan pemeriksaan

laboratorium darah (Hb, leukosit). Peningkatan tekanan darah dan

denyut nadi yang menurun mencirikan adanya suatu peninggian

tekanan intracranial, sebaliknya tekanan darah yang menurun dan

makin cepatnya denyut nadi menandakan adanya syok

hipovolemik akibat perdarahan dan memerlukan tindakan transfusi.


23

c. Brain

Penilaian keadaan otak ditekankan terhadap respon-respon mata,

motorik dan verbal (GCS). Perubahan respon ini merupakan

implikasi perbaikan/perburukan kiranya perlu pemeriksaan lebih

mendalam mengenai keadaan pupil (ukuran, bentuk dan reaksi

terhadap cahaya) serta gerakan-gerakan bola mata.

d. Bladder

Kandung kemih perlu selalu dikosongkan (pemasangan kateter)

mengingat bahwa kandung kemih yang penuh merupakan suatu

rangsangan untuk mengedan sehingga tekanan intracranial

cenderung lebih meningkat.

e. Bowel

Produksi urine perlu dipantau selama pasien dirawat. Bila produksi

urine tertampung di vesika urinaria maka dapat meningkatkan

tekanan intra cranial (TIK).

f. Bone

Mencegah terjadinya dekubitus, kontraktur sendi dan sekunder

infeksi.

7. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang pada trauma kepala sebagai berikut: (Kasenda,

2018)

a. Foto polos kepala


24

Indikasi dilakukannya pemeriksaan meliputi jejas lebih dari 5 cm,

luka tembus (peluru/tajam), deformasi kepala (dari inspeksi dan

palpasi), nyeri kepala yang menetap, gejala fokal neurologis,

gangguan kesadaran.

b. Ct-Scan

Indikasi CT-Scan adalah:

1) Nyeri kepala menetap atau muntah-muntah yang tidak

menghilang setelah pemberian obat-obatan analgesia.

2) Adanya kejang-kejang, jenis kejang fokal lebih bermakna terdapat

pada lesi intrakranial dibandingkan dengan kejang general.

3) Penurunan GCS lebih dari 1 dimana factor-faktor ekstrakranial

telah disingkirkan (karena penurunan GCS dapat terjadi karena

syok, febris, dll).

4) Adanya fraktur impresi dengan lateralisasi yang tidak sesuai.

5) Luka tembus akibat benda tajam dan peluru.

6) Perawatan selama 3 hari tidak ada perubahan yang membaik dari

GCS (Sthavira, 2012).

c. Magnetic Resonance Imaging (MRI)

MRI digunakan untuk pasien yang memiliki abnormalitas status

mental yang digambarkan oleh CT-Scan. MRI telah terbukti lebih

sensitive daripada CT-Scan, terutama dalam mengidentifikasi lesi

difus non hemoragig cedera aksonal.

d. X-Ray
25

X-Ray berfungsi mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur),

perubahan struktur garis (perdarahan /edema), fragmen tulang

(Rasad, 2011).

e. BGA ( Blood Gas Analyze)

Mendeteksi masalah pernafasan (oksigenasi) jika terjadi peningkatan

tekanan intra kranial (TIK).

f. Kadar elektrolit

Mengoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat peningkatan

tekanan intra kranial (Musliha, 2010).

8. Komplikasi

Komplikasi trauma kepala berat dapat meliputi: (Kasenda, 2018)

a. Perdarahan intra cranial

b. Kejang

c. Parese saraf cranial

d. Meningitis atau abses otak

e. Infeksi

f. Edema cerebri

g. Kebocoran cairan serobospina

B. Konsep Teori Vertigo

1. Pengertian Vertigo

Vertigo berasal dari bahasa Latin, vertere yang artinya memutar

merujuk pada sensasi berputar sehingga mengganggu rasa


26

keseimbangan seseorang, umumnya disebabkan oleh gangguan pada

sistem keseimbangan (Sutarni, 2016).

Vertigo adalah gangguan orientasi spasial atau persepsi dari

pergerakan tubuh (rasa berputar) dan lingkungan sekitarnya yang dapat

berhubungan dengan gejala lain seperti impulsion (sensasi tubuh

mengembangkan), oscillopsia (ilusi visual dari mata sehingga

pandangan seperti maju mundur), nausea, muntah atau gangguan

melangkah (Widjajalaksmi, 2015).

Dengan demikian, vertigo tidak hanya gejal pusing berputar saja

tetapi suatu sindrom atau gejala somatic (nistagmus, unstable),

otonomik (pucat, mual, dan muntah), pusing dan gejala psikiatrik.

Dizziness lebih mencerminkan keluhan rasa gerakan yang umum, tidak

spesifik, rasa goyah, kepala ringan dan perasaan yang sulit dilukiskan

sendiri oleh penderitanya. Seseorang dengan vertigo sering

menyebutkan sensasi ini sebagai nggliyer, sedangkan giddiness yang

berlangsung singkat (PERDOSSI, 2000).

2. Etiologi Vertigo

Menurut Sri Sutarni dkk, (2016) etiologi vertigo dapat dibagi

menjadi :

a. Otologi

Ini merupakan 24-61% kasus vertigo (paling sering), dapat

disebabkan oleh BPPV (Benign paroxysmal positional vertigo),


27

penyakit Meniere, Parese N. VIII (vestibulokoklearis) maupun

otitis media.

b. Neurologis

Merupakan 23-30% kasus, berupa:

1) Gangguan serebrovaskuler batang otak, serebelum

2) Ataksia karena neuropati

3) Gangguan visus

4) Gangguan serebelum

5) Sclerosis multiple

6) Malformasi Chiari, yaitu anomaly bawaan di mana

serebelum dan medulla oblongata menjorok ke medulla

spinalis melalui foramen magnum.

7) Vertigo servikal

c. Interna

Kurang lebih 33% dari keseluruhan kasus terjadi karena gangguan

kardiovaskular. Penyebabnya bisa karena tekanan darah yang naik

atau turun, aritma kordis, penyakit jantung coroner, infeksi,

hipoglikemi, serta intoksikasi obat, misalnya nifedipin,

benzodiazepine, Xanax.

d. Psikiatrik

Terdapat pada lebih dari 50% kasus vertigo. Biasanya pemeriksaan

klinis dan laboratoris menunjukkan hasil dalam bebas normal.


28

Penyebabnya bisa berupa depresi, fobia, anxietas, serta

psikosomatis.

e. Fisiologis

Misalnya, vertigo yang timbul ketika melihat ke bawah saat kita

berada di tempat tinggi.

3. Patofisiologi Vertigo

Dalam kondisi alat keseimbangan baik sentral maupun perifer yang

tidak normal atau adanya gerakan yang aneh atau berlebihan, maka

tidak terjadi proses pengolahan input yang wajar dan muncullah

vertigo. Selain itu, terjadi pula respons penyesuaian otot-otot yang

tidak adekuat, sehingga muncul gerakan abnormal mata (nistagmus),

unsteadiness atau ataksia sewaktu berdiri, berjalan, dan gejala lainnya.

Penyebab pasti mengapa terjadi gejala tersebut belum diketahui

(PERDOSSI, 2000).

Beberapa teori yang berusaha menerangkan kejadian

ketidakseimbangan tubuh:

a. Teori rangsangan berlebihan (overstimulasi)

Dasar teori ini adalah suatu amsumsibahwa makin banyak

dan makin cepat rangsangan (gerak kendaraan), makin berpeluang

menimbulkan sindrom vertigo akibat gangguan fungsi alat

keseimbangan tubuh (AKT). Jenis sindrom rangsangan AKT yang

ada pada saat ini antara lain kursi putar Barany, faradisasi atau

galvanisasi dan irigasi telinga, serta kendaraan laut dan darat.


29

Menurut teori ini, sindrom vertigo timbul akibat rangsangan

berlebihan terhadap kanalis semisirkularis menyebabkan hiperemi

dari organ ini dan munculnya sindrom vertigo (vertigo, nistagamus,

mual dan muntah) (Joesoef dan Kusumastuti, 2002)

b. Teori konflik sensori

Dalam keadaan normal (fisiologis), implus yang diterima

akan diperbadingkan antara sisi kiri dengan kanan antara implus

yang berasal dari penglihatan dengan proprioseptik dan vestibular

secara timbal balik. Pengolahan informasi atau impuls berjalan

secara reflektoris lewat proses yang normal dengan hasil akhir

terjadinya penyesuaian otot-otot penggerak atau penyangga tubuh

dan otot penggerak bola mata. Oleh karena itu, maka tubuh dan

kepala tetap tegak serta berjalan lurus (tidak sempoyongan atau

deviasi arah) serta dapat melihat objek penglihatan dengan jelas

meskipun sedang bergerak. Selain itu juga tidak ada keluhan

vertigo dan gejala lainnnya (Kelompok Studi Vertigo PERDOSSI,

2012).

Menurut teori konflik sensori, sindrom vertigo muncul

manakala ada disharmoni (discordance) masukan sensori dikedua

sisi (kanan atau kiri) dan antara masukkan dari ketiga jenis

(vestibulum, visus proprioseptik) reseptor AKT. Keadaan ini bisa

sebagai akibat rangsangan berlebihan, lesi sistem vestibular sentral

atau perifer, sehingga mengakibatkan pusat pengolahan data di


30

otak mengalami kebingungan dan selanjutnya memperoses

masukkan sensori menempuh jalur tidak normal. Proses tidak

normal ini akan menimbulkan perintah (keluaran) dari pusat ART

menjadi tidak sesuai dengan kebutuhan keadaan yang sedang

dihadapi dan membangkitkan tanda kegawatan. Perintah yang tidak

sesuai akan menimbulkan reflek antisipatif yang salah dari otot-

otok ekstermitas (deviasi jalan, sempoyongan), penyangga tubuh

(deviasi saat berposisi tegak) otot penggerak mata (nistagmus).

Tanda kegawatan, berupa vertigo yang bersumber dari

korteks otak dan keringat dingin serta mual muntah yang berasal

dari aktivitas sistem saraf otonom. Teori konflik sensoris ini belum

dapat mengungkap terjadinya vertigo akibat kelainan psikis, dan

terjadinya habituasi atau adaptasi yang bermanfaat untuk

penanggulangan vertigo, kelemahan teori konflik sensoris ini

diperbaiki oleh teori Neural Mismatch dan teori sinaps (Kelompok

Studi Vertigo PERDOSSI, 2012).

c. Teori neural mismatch

Dikemukakan oleh Reason, seorang pakar psikologi di

University of Leicester yang tekun meneliti mabuk, gerakkan,

bahwa timbulnya gejala disebabkan oleh terjadinya mismatch

(ketidaksesuaian atau discrepancy) antara pengalaman gerakkan

yang sudah disimpan di otak dengan gerakkan yang sedang

berlangsung. Rangsangan gerakkan yang sedang berlangsung


31

tersebut dirasakan aneh tidak sesuai dengan harapan dan

merangsang kegiatan berlebihan dari sistem saraf pusat, termasuk

sistem saraf otonom dan muculnya gejala-gejala vertigo. Namun

bila mana gerakan berlangsung terus menerus maka pola gerakkan

yang baru akan mengoreksi pola gerakan yang sudah ada dimemori

(sensory rearrangement). Pada saat inilah gejalanya menghilang

dan orang tersebut dalam keadaan teradaptasi (adapted). Makin

besar ketidaksesuaian pola gerakan yang dialami dengan memori

maka makin hebat sindrom yang muncul. Makin lama proses

sensory rearrangement maka makin lama pula adaptasi orang

tersebut terjadi (Joesoef Kusumastuti, 2002; Kelompok Studi

Vertigo PERDOSSI, 2012).

d. Teori ketidakseimbangan saraf otonomik

Teori yang berdasar atas cara kerja obat antivertigo

(antimabuk gerakan) ini menduga sindrom terjadi karena

ketidakseimbangan saraf otonom akibat rangsangan gerakan. Bila

ketidakseimbangan mengarah ke dominasi saraf simpatik timbul

sindrom tersebut, sebaliknya, bila mengarah ke dominasi saraf

parasimpatik sindrom menghilang.

e. Teori neurohumoral atau sinaps

Munculnya sindrom vertigo berawal dari pelepasan

corticotropin releasing hormone/factor (CRH/CRF) dari

hipotalamus akibat rangsangan gerakan, kelainan organik atau


32

psikis (stress). CRH selanjutnya meningkatkan aktivitas saraf

simpatis di lokus serules, hipokampus, dan korteks serbri melalui

mekanismeinfluks kalsium. Akibatnya keseimbangan saraf otonom

mengarah ke dominasi saraf simpatis dan timbul gejala pucat, rasa

dingin dikulit, keringat dingin, dan vertigo. Bila dominasi

mengarah ke saraf parasimpatis sebagai akibat otoregulasi, maka

muncul gejala mual muntah dan hipersalivasi.

Rangsangan ke lokus seruleus juga berakibat panic. CRH

juga dapat meningkatkan sres hormon lewat jalur hipotalamus-

hipofise-adrenalin. Rangsangan ke korteks limbic menimbulkan

gejala ansietas atau depresi. Bila sindrom tersebut berualang akibat

rrangsangan atau latihan, maka siklus perubahan dominasi saraf

simpatis dan parasimpatis bergantian tersebut juga berulang sampai

suatu ketika terjadi perubahan sensitivitas reseptor (hiposensitif)

dan jumlah reseptor (down regulation)serta penurunan influks

kalsium. Dalam keadaan ini pasien tersebut telah mengalami

adaptasi (PERDOSSI, 2000; Kelompok Studi Vertigo PERDOSSI,

2012).

4. Klasifikasi Vertigo

Vertigo dapat dibagi menjadi: (Kelompok Studi Vertigo

PERDOSSI 2012)

a. Vertigo vestibular
33

Timbul pada gangguan sistem vestibular, menimbulkan sensasi

berputar, timbulnya episodic, diprovokasi oleh gerakan kepala, dan

bisa disertai rasa mual atau muntah. Berdasarkan letak lesinya

dikenal ada 2 jenis vertigo vestibular, yaitu: (Kelompok Studi

Vertigo PERDOSSI, 2012)

1) Vertigo vestibular perifer

Terjadi pada lesi di labirin dan nervus veestibularis, vertigo

vestibular perifer timbulnya lebih mendadak setelah perubahan

posisi kepala, dengan rasa berputar yang berat, disertai mual

atau muntah, dan keringat dingin. Bisa disertai gangguan

pendengaran berupa tinnitus atau ketulian, dan tidak disertai

gejala neurologis fokal seperti hemiparesis, diplopia, perioral

parestesia, penyakit paresisfasialis. Penyebabnya antara lain

adalah benign paroxysmal positional vertigo (BPPV), penyakit

Meniere, neuritisvestibularis, okulasi a, labirin, labirinitis, obat

ototoksik, autoimun, tumor N VIII, microvascular compression

dan perilymph fistel.

2) Vertigo vestibular sentral

Timbul pada lesi di nucleus vestibularis di batang otak, atau

thalamus sampai korteks serebri. Vertigo vestibular sentral

timbulnya lebih lambat, tidak terpengaruh oleh gerakan kepala.

Rasa berputarnya ringan, jarang disertai rasa mual atau muntah.

Tidak disertai dengan gangguan pendengaran, bisa disertai


34

gejala neurologis fokal seperti disebutkan diatas. Penyebabnya

antara lain migraine, cvc, tumor, epilepsy, demielinisasi, dan

degenerasi.

b. Vertigo Nonvestibular

Timbul pada gangguan sistem proprioseptif atau sistem

visual, menimbulkan sensasi bukan berputar, melainkan rasa

melayang, goyang, berlangsung konstan atau kontinu, tidak disertai

rasa mual atau muntah, serangan biasanya dicetuskan oleh gerakan

objek sekitarnya, misalnya ditempat keramaian atau lalu lintas

macet. Penyebabnya antara lain polineuropati, mielopati, artrosis

servikalis, trauma leher, presinkope, hipotensi ortostatik,

hiperventilasi, tension headache, hipoglikemi, penyakit sistemik.

Berdasarkan gejala klinis yang menonjol, vertigo dapat pula dibagi

menjadi tiga kelompok, yaitu : (PERDOSSI, 2000)

a. Vertigo paroksismal

Ciri khas serangan mendadak, berlangsung beberapa menit

atau hari, menghilang sempurna, suatu ketika muncul lagi, dan di

antara serangan penderita bebas dari keluhan. Berdasarkan gejala

penyertanya dibagi:

1) Dengan keluhan telinga: tuli atau telinga berdenging, sindrom

Meniere, arakhnoiditis pontoserebelaris, TIA vertebrobasilar,

kelainan odontogen, tumor fossa posterior.


35

2) Tanpa keluhan telinga: TIA vertebrobasilar, epilepsy,

migraine, vertigo anak.

3) Timbulnya dipengaruhi oleh perubahan posisi: vertigo

posisional paroksimal bengina.

b. Vertigo kronis

Ciri khas vertigo menetap lama, keluhan konstan tidak

membentuk serangan-serangan akut.

Berdasarkan gejala penyertanya dibagi:

1) Dengan keluhan telinga: otitis media kronis, tumor

serebelopontin meningitis TB, labirinitis kronis, lues serebri.

2) Tanpa keluhan telinga: kontusio serebri, hipoglikemia,

ensefalitis pontis, kelainan okuler, kardiovaskuler dan

psikologis, posttraumatic sindrom, intoksikasi, kelainan

endokrin.

3) Timbulnya dipengaruhi oleh perubahan posisi: hipotensi

orthostatic, vertigo servikalis.

5. Manifestasi Klinis

Perasaan berputar yang kadang-kadang disertai gejala mual,

muntah, rasa kepala berat, nafsu makan turun, lelah, lidah pucat

dengan selaput putih lengket, nadi lemah, puyeng (dizziness), nyeri

kepal, penglihatan kabur, tinnitus, mulut pahit, dan mata merah.

Pada gejala vertigo muncul gejala perubahan kulit yang menjadi

pucat terutama didaerah muka dan peluh dingin. Gejala ini selalu
36

mendahului muculnya gejala mual muntah dan diduga akibat

vasokontriksi pembuluh darah kulit disebabkan oleh peningkatan

aktivitas sistem saraf simpatik (Joesoef dan Kusumastuti, 2002;

Kelompok Studi Vertigo PERDOSSI, 2012).

6. Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik yang diperiksa mencakup (Kelompok Studi

Vertigo PERDOSSI, 2012; Delaney, 2003)

a. Tanda vital

b. Pemeriksaan fisik umum

1) Heart rate dan ritme jantung

2) Palpasi arteri karotis

3) Auskultasi arteri karotis

c. Pemeriksaan neurologis

Pemeriksaan neurologis sering kali tidak menemukan adanya

kelainan Nistagmus horizontal biasanya dijumpai pada vertigo tipe

perifer, sedangkan nistagmus pada vertigo tipe sentral sering

bersifat vertikel atau rotasional. Hal-hal yang harus diperhatikan

pada saat pemeriksaan pasien vertigo adalah :

1) Kesadaran

2) Nervi kranialis

3) Sistem saraf motoric

4) Sistem saraf sensoris


37

5) Pemeriksaan fungsi serebelum atau pemeriksaan khusus neuro-

otologi.

Pemeriksaan spesifik yang dapat membantu menentukan

diagnosis penyebab vertigo antara lain :

1) Tes Romberg

a) Pemeriksan berada dibelakang pasien

b) Pasien berdiri tegak dengan kedua tangan di dada,

kedua mata

c) Diamati selama 30 detik

d) Setelah itu pasien diminta menutup mata dan diamati

selama 30 detik, jika dalam keadaan mata terbuka

pasien sudah jatuh menandakan kelainan serebelum,

tetapi apabila dalam keadaan mata tertutup pasien

cederung jatuh ke satu sisi menandakan kelainan

vestibular atau propioseptif.

2) Tes Romberg dipertajam

a) Pemeriksa berada di belakang pasien

b) Tumit pasien berada didepan ibu jari kaki yang lainnya

c) Pasien diamati dalam keadaan mata terbuka selama 30

detik

d) Kemudian pasien menutup mata dan diamati selam 30

detik

e) Interpretasi sama dengan tes Romberg


38

3) Tes Jalan Tandem (Tandem gait)

a) Pasien diminta berjalan dengan sebuah garis lurus,

dengan menempatkan tumit di depan jari kaki sisi yang

lain secara bergantian

b) Pada kelainan serebelar pasien tidak dapat melakukan

jalan tandem dan jatuh ke satu sisi

c) Pada kelainan vestibular pasien akan mengalami

deviasi ke sisi lesi

4) Tes Fukuda

a) Pemeriksa berada di belakang pasien

b) Tangan diluruskan ke depan, mata pasien ditutup

c) Pasien diminta berjalan ditempat 50 langkah

d) Tes fukuda dianggap abnormal jika deviasi ke satu sisi

> 30o atau maju mundur >1 meter

e) Tes fukuda menunjukkan lokasi kelainan di sisi kanan

atau kiri

5) Tes Past Pointing

a) Pada posisi duduk, pasien diminta untuk mengangkat

satu tangan dengan jari mengarah ke atas

b) Jari pemeriksa diletakkan di depan pasien

c) Pasien diminta dengan ujungjarinya menyetuh ujung

jari pemeriksa beberapa kali dengan mata terbuka


39

d) Setelah itu dilakukan dengan cara yang sama dengan

mata tertutup

e) Pada kelainan vestibular ketika mata tertutup maka jari

pasien akan deviasi kea rah lesi

f) Pada kelainan serebelar akan terjadi hipermetri atau

hipometri

6) Head Thrust Test

a) Pasien diminta memfiksasikan mata pada hidung atau

dahi pemeriksa

b) Setelah itu kepala digerakkan secara cepat ke satu sisi

c) Pada kelainan vestibular perifer akan dijumpai adanya

sakadik

7) Pemeriksaan Nistagmus

Pemeriksaan nistagmus dilakuakan dengan bedside secara

sederhana dengan tanpa kacamata frenzel, kepala pasien

digerakan ke kiri dan kanan 20 hitungan, kemudian diamati

adanya nistagmus horizontal dan vertikel.

7. Pemeriksaan Penunjang

Menurut Sri Sutarni et al, 2016 pemeriksaan penunjang yang dapat

dilakukan pada vertigo ini yaitu :

a. Laboratorium pada kasus stroke, infeksi

b. EEG pada kasus vestibular epilepsy

c. EMG pada kasus neuropati


40

d. EKG pada kasus serebrovaskular

e. TCD pada kasus serebrovaskular

f. LP pada kasus infeksi

g. CT Scan/ MRI pada kasus stroke, infeksi dan tumor

8. Penatalaksanaan Vertigo

Tujuan pertama terapi vertigo adalah mengupayakan tercapainya

kualitas hidup yang optimal sesuai dengan perjalanan penyakitnya,

dengan mengurangi atau menghilangkan sensasi vertigo dengan efek

samping obat yang minimal (Kelompok Studi Vertigo PERDOSSI,

2012). Terapi vertigo meliputi beberapa perlakuan yaitu pemilihan

medikamentosa, rehabilitasi dan operasi (Luxon, 2004; Hain & Uddin,

2003). Pilihan terapi vertigo mencakup (Kelompok Studi Vertigo

PERDOSSI, 2012):

a. Terapi simptomatik

b. Terapi kasual

c. Terapi rehabilitative

d. Hindari faktor pencetus dan memperbaiki lifestyle

C. Hubungan Riwayat Trauma Kepala dengan Kejadian Vertigo

Hubungan riwayat trauma kepala dengan kejadian vertigo menurut

Menurut Ashis, Naresh, Khandelwal,Mathuriya dalam jurnal Indian

Journal of Neurotrauma tahun 2007, vertigo muncul akibat fraktur tulang

temporal, commotio labirin, dan contussio cerebri. Trauma kepala adalah

penyebab utama vertigo pasca cedera yang mengakibatkan dislokasi rantai


41

tulang pendengaran pada fraktur longitudinal dan merusak meatus

acusticus eksternus yang mengakibatkan kerusakan nervus VII dan nervus

VIII pada fraktur transversal. Commotio cerebri mengakibatkan

munculnya gangguan auditori dan vestibuler yang terjadi setelah trauma

kepala tanpa fraktur. Gangguan vestibuler dan auditori terjadi akibat

perdarahan mikroskopis koklea dan labirin. Kerusakan saraf kranial

termasuk nervus VIII pada contussio cerebri akibat gerakan deformasi

otak pada waktu gerakan kepala yang cepat dan tiba–tiba (Putri, 2016)

Vertigo yang bersumber di otak dapat muncul sehabis gegar otak.

Kemungkinan saraf vestibule lumpuh seisi atau kedua sisi. Vertigonya

disertai mual dan muntah, yang berlangsung terus menerus dan disertai

gerakan bola mata yang abnormal. Dengan obat-obatan keluhan vertigo

umumnya sembuh dalam 1-3 bulan. (Elvesi, 2013)

Adakalanya setelah vertigo sehabis trauma kepala mereda, disusul

vertigo yang bangkit jika kepala dalam posisi tertentu. Vertigo jenis ini

hilang timbul, mungkin sepanjang hidup akibat ada kerusakan menetap

pada saraf keseimbangan atau kerusakan diruang vestibule ((Falenra S,

2014).

Penelitian mengenai vertigo di Jerman menunjukkan bahwa

prevelensi pada usia 18-79 tahun sebesar 30% dan 24% mengalami

kelainan vestibular(Putri, 2016). Sedangkan penelitian mengenai vertigo di

Prancis menunjukkan bahwa prevelensi sebesar 48% (Grennberg dkk,

2013).
42

Angka kejadian vertigo di Indonesia pada tahun 2012 usia 40-50

tahun sebesar 50%, merupakan keluhan nomor tiga yang sering dikeluhkan

oleh penderita vertigo yang datang ke pratek umum (Joesoef dkk, 2012)

Penyebab peningkatan serangan vertigo dapat disebabkan oleh

faktor seperti trauma kepala akibat kecelakaan lalu lintas, olahraga, dan

jatuh (Aboe, 2002).

D. Kerangka Konsep

Variabel Independen Variabel Dependen

Riwayat Trauma Vertigo


Kepala
43

Bagan 1: Kerangka Konsep

E. Definisi Operasional

Cara Skala
No Variabel Definisi Alat Ukur Hasil Ukur
Ukur Ukur
1. Riwayat Pasien yang Lembar Checklist 0: Ada riwayat Nominal
trauma memiliki checklist trauma kepala
kepala riwayat trauma 1: Tidak ada
kepala dan riwayat trauma
penurunan kepala
kesadaran.
yang sudah
tercatat di buku
rekam medic.

2. Vertigo Diagnosa Lembar Checklist 0: Ada vertigo Nominal


yang telah checklist 1: tidak vertigo
ditegakkan
oleh dokter
dengan gejala
pusing,
perasaan
berputar-
putar, terasa
mual muntah,
penglihatan
kabur, rasa
kepala berat
dan
kehilangan
keseimbangan
tubuh yang
sudah tercatat
di buku
register dan
rekam medic.
44

F. Hipotesis

1. Ho : Tidak ada hubungan yang signifikan antara riwayat trauma kepala

dengan kejadian vertigo di poli syaraf RSUD Kepahiang.

Ha : ada hubungan yang signifikan antara riwayat trauma kepala

dengan kejadian vertigo di poli syaraf RSUD Kepahiang.


BAB III

METODE PENELITIAN

A. Lokasi dan Waktu Penelitian

Tempat penelitian dilakukan di poli syaraf RSUD Kepahiang

Kabupaten Kepahiang, yang dilaksanakan pada bulan Agustus 2020.

B. Desain Penelitian

Jenis penelitian ini menggunakan survey analitik yaitu survei atau

penelitian yang mencoba menggali bagaimana dan mengapa fenomena

kesehatan itu terjadi. Desain penelitian ini menggunakan cros sectional

dimana penelitian ini mengukur variabel secara bersamaan dan hasil yang

di peroleh menggambarkan kondisi yang terjadi saat penelitian

berlangsung (Notoatmodjo, 2010).

C. Populasi dan Sampel Penelitian

1. Populasi

Populasi adalah keseluruhan objek penelitian atau objek yang

diteliti tersebut (Notoatmodjo, 2010). Populasi pada penelitian ini

adalah pasien yang berkunjung di poli syaraf rumah sakit umum

daerah (RSUD) Kepahiang, dengan populasi sebanyak 3.110 orang.

2. Sampel

Sampel adalah objek yang diteliti dan dianggap mewakili seluruh

populasi (Notoatmodjo, 2010). Teknik pengambilan sampel pada

penelitian ini menggunakan teknik accidental sampling dimana

mengambil sebagian dari populasi untuk dijadikan sampel dengan cara

45
46

kebetulan, yaitu pengambilan kasus atau responden yang kebetulan ada

atau tersedia disuatu tempat penelitian sesuai dengan konteks

penelitian (Notoatmodjo, 2010). Sampel pada penelitian ini berjumlah

25 orang dengan menggunakan rumus Slovin sebagai berikut :

N
n= 2
1+ N (d )

3110
= 2
1+ 3110( 0.2)

3110
=
125 ,5

= 24,78 = 25 responden

Keterangan :

N : Besar populasi

n : Jumlah sampel

d : Tingkat kesalahan yang ditoleransi (20%)

D. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan data

sekunder. Data sekunder yaitu data yang diperoleh dari dokumen-

dokumen, laporan yang berasal dari balai pengobatan setempat dan

dari pihak lain yang meliputi data mengenai kasus yang diteliti

(Notoadmodjo, 2010). Data dalam penelitian ini diperoleh dari buku

register dan rekam medic di poli syaraf RSUD Kepahiang untuk

melihat apakah pasien yang berkunjung di poli syaraf menderita

vertigo dan memiliki riwayat trauma kepala.


47

E. Teknik Pengolaan Data

Menurut Notoatmodjo (2010), pengolahaan data dilakukan secara

bertahap yang dimulai dari :

1. Editing

Editing merupakan kegiatan untuk pengecekan dan perbaikan isi data

data pada lembar checklist yang akan diolah tersebut tersedia lengkap

dan apakah sudah relevan dengan tujuan penelitian.

2. Coding

Coding yaitu pemberian kode pada lembar checklist yang telah di

edit.

3. Tabulating

Tabulating yaitu mentabulasi data berdasarkan kelompok data yang

telah ditentukan ke dalam master tabel.

4. Entry

Entry yaitu memasukkan data yang sudah di editing dan coding ke

dalam program atau software computer.

5. Cleaning

Cleaning merupakan kegiatan pengecekan kembali data yang

sudah diproses untuk melihat kemungkinan-kemungkinan adanya

kesalahan-kesalahan kode, ketidaklengkapan, dan sebagaainya,

kemudian dilakukan pembetulan atau koreksi.


48

F. Teknik Analisis Data

1. Analisis Univariat

Analisis univariat digunakan untuk memperoleh distribusi dari

variabel independen (riwayat trauma kepala) dan variabel dependen

(kejadian vertigo), sehingga dapat diketahui gambaran distribusi

frekuensi dari masing-masing variabel.

2. Analisis Bivariat

Analisis bivariate digunakan untuk mengetahui hubungan riwayat

trauma kepala dengan kejadian vertigo pada masyarakat di Kecamatan

Kepahiang dengan menggunakan uji chi-square untuk mengetahui

keeratan hubungan dari variabel diatas dapat digunakan contingency

coefficient (C).

3. Rasio Pravelens

Prevalensi ratio penelitian cross sectional (potong-lintang) merupakan

penelitian yang menunggunakan data prevalensi. Rasio prevalensi

dapat dihitung dengan menggunakan rumus RP (rasio pravalens).

Dengan ketentuan sebagai berikut :

a. RP >1 ( 1 tidak masuk dalam interval ) maka variabel independen

yang tidak bermutu merupakan penyebab ketidakpuasan pasien,

b. RP = 1 maka variabel independen bukan penyebab variabel

dependen
49

c. RP <1 (1 tidak masuk kedalam interval) maka variabel independen

merupakan proteksi ketidakpuasan pasien.


DAFTAR PUSTAKA

Aboe U.G., Kurnia K., 2002. Neuro-otologi Klinis Vertigo. Surabaya. Airlangga

University Press.

Betrus, C., & Kreipke, C. W. (2013). Historical perspectives in understanding

traumatic brain injury and in situating disruption in CBF in the

pathotrajectory of head trauma. In Cerebral Blood Flow, Metabolism, and

Head Trauma (pp. 1-27). Springer, New York, NY.

Delaney, K.A. 2003 Dec. Bedside Diagnosis of Vertigo: Value of the History and

Neurological Examination. Acad Emerg Med Off J Soc Acad Emerg Med.

10 (12):1388-95.

Elvesi. (2013). Hubungan Riwayat Trauma Kepala Dengan Kejadian Vertigo Di

Poly Syaraf RSUD Kepahiang. Stikes Bhakti Husada.

Falenra, S. (2014). A 38 Years Old Man with Benign Paroxysmal Positional

Vertigo (Bppv). Jurnal Medula, 3(02), 113-117.

Friedman, J. M. (2004). Post-traumatic vertigo. Rhode Island Medical

Journal, 87(10), 296.

Greenberg DA, Simon, RP, 2013. Mononeuropathy Simplex. A Lange Medical

Book Clinical Neurology.3rd ed. USA : Appleton Lange; 171.lippincot

William & Wilkins.

Hain, T, C, & Uddin, M. 2003. Pharmacological Treatment of Vertigo. CNS

Drugs. 17(2): 85-100.


Joesoef AA, Suryamihardja A, Dewanti et al., 2012. Pedoman Tatalaksana

Vertigo, Kelompok Studi Vertigo, PERDOSSI.

Joesoef, A.A. & Kusumastuti K. 2002. Neuro-otologi Klinis: Vertigo. Surabaya:

Airlangga University Press.

Kasenda, M. (2010). Asuhan Keperawatan pada Tn’J dengan Trauma Kepala

Berat (TKB) Di Ruang ICU RSUD Bahteramas. Politeknik Kesehatan

Kendari.

Kelompok Studi Vertigo PERDOSSI. 2012. Pedoman Tata Laksana Vertigo.

Jakarta: PERDOSSI.

Luxon, L. 2004 Dec. “Evaluation and Management of the Dizzy Patient”. Neurol

Neurosurg Psychiatry. 75 (Suppl 4): iv45-iv52.

Misbach, J, Hamid A B, Mayza A, Saleh M K. 2006. Buku Pedoman Standar

Pelayanan Medis (SPM) & Standar Prosedur Operasional (SOP)

Neurologi. PERDOSSI.

Musliha. 2010. Keperawatan Gawat Darurat. Yogyakarta: Nuha Medika.

Muttaqin, A. 2008. Pengantar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan

Sistem Persyarafan. Jakarta: Salemba Medika.

Notoatmodjo S. 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.

PERDOSSI. 2000. Vertigo Patofisiologi, Diagnosa dan Terapi. Jakarta: Jansen

Pharmaceuticals.

Putri Ade Irma Yulanda. (2018). Asuhan Keperawatan Cedera Otak sedang Pada

Tn. D dan Sdr. L dengan Masalah Keperawatan Ketidakefektifan Perfusi


Jaringan Serebral Di Ruang Kenanga Rsud Dr. Haryoto Lumajang, Program

Studi D3 Keperawatan Fakultas Keperawatan Universitas Jember, Kampus

Lumajang.

Putri, C. M., & Sidharta, B. (2016). Hubungan antara cedera kepala dan terjadinya

vertigo di rumah sakit Muhammadiyah lamongan. Saintika Medika: Jurnal

Ilmu Kesehatan dan Kedokteran Keluarga, 12(1), 1-6.

Ramos Z, R, Gonzalez-de la, T, M, Jimenez M, M, Villasenor, C, T, Banuelos, A,

R, Aguirre, P, L & Jauregui, H, F. (2014). Postconcussion syndrome and

mild head injury: the role of early diagnosis using neuropsychological test

and functional magnetic resonance/spectrosvopy. Word Neurosurgery,

82(5), 828-835.

Satyanegara, 2010. Ilmu Bedah Saraf Satyanegara. Edisi IV. Jakarta : Gramedia

Pustaka Utama IKAPI

Sjahrir H. 2012. Nyeri Kepala dan Vertigo. Yogyakarta. Pustaka Cendekia Press.

Sugiyono. 2012. Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif Kualitatif

Dan R&D. Bandung: Alfabeta.

Siregar, A. L., Widyastuti, K., & Widyadharma, P. E. (2017). Uji reliabilitas

vertigo symptom scale short form (VSS-SF) pada penderita dizziness di

RSUP Sanglah Denpasar. MEDICINA, 48(3), 181-184.

Sutarni S, Ghazali Malueka R, Gofir A. 2016. Bunga Rampai Vertigo.

Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.


Tarwoto, Wartonah, Suryati, 2007. Keperawatan Medikal Bedah Gangguan

Sistem Persyarafan. Jakarta: SagungSeto.

Wahyudi KT, 2012. Vertigo. Cermin Dunia Kedokteran, 39(10): 738-41.

Werner, C., dan K. Engelhard, 2007. Pathophysiology of Traumatic Brain Injury.

British Journal of Anaesthesy 99.

Widjajalaksmi, K. 2015. Pengaruh Latihan Brandt Daroff Dan Modifikasi

Manuver Epley Pada Vertigo Posisi Paroksimal Jinak. Jakarta.


LAMPIRAN
LEMBAR CHECKLIST

Riwayat
Vertigo Trauma
NO Nama No. RM Usia JK Pekerjaan Alamat
Kepala
Ya Tidak Ya Tidak
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25

Anda mungkin juga menyukai