Anda di halaman 1dari 23

Laboratorium / SMF Ilmu Penyakit Dalam Tutorial Klinik

Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman


RSUD Abdul Wahab Sjahranie Samarinda

PNEUMONIA

Disusun oleh:
Tri Wulandari
Syella Chintya Dewi
Ruth Putri E.S
Noor Hijriyati Shofiana Al Rasyid
Sepriani Indriati Azis
Sayyid Muhammad Sahil Haikal
Soleha Adhipinastika

Pembimbing:
dr. Santy Sijabat, Sp. PD

Laboratorium / SMF Ilmu Penyakit Dalam


Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman
RSUD Abdul Wahab Sjahranie Samarinda
Juni 2020

2
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penyusun panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala
rahmat, hidayat dan karunia-Nya sehingga penyusun dapat menyelesaikan makalah
yang berjudul “Pneumonia”. Makalah tutorial klinik ini disusun dalam rangka tugas
kepaniteraan klinik dilaboratorium Ilmu Penyakit Dalam.
Penyusun juga mengucapkan terima kasih kepada dr. Santy Sijabat, Sp.PD,
selaku dosen pembimbing tutorial klinik yang telah memberikan bimbingan kepada
penyusun dalam penyelesaian makalah ini. Penyusun menyadari terdapat
ketidaksempurnaan dalam makalah ini, sehingga penyusun mengharapkan kritik dan
saran demi penyempurnaan. Akhir kata, semoga makalah ini berguna bagi penyusun
dan para pembaca.

Samarinda, Juni 2020

Penulis

1
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI....................................................................................................................2
BAB 1................................................................................................................................3
PENDAHULUAN............................................................................................................3
1.1 Latar Belakang............................................................................................................................... 3
1.2 Tujuan Penulisan........................................................................................................................... 3
1.3 Manfaat Penulisan......................................................................................................................... 4
BAB 2 ISI..........................................................................................................................5
BAB 3 TINJAUAN PUSTAKA.....................................................................................10
BAB 4 PENUTUP...........................................................................................................19
DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................................20

2
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Penyakkit saluran nafas menjadi penyebab angka kematian dan kecacatan yang
tinggi di seluruh dunia. Sekitar 80% dari seluruh kasus baru praktek umum
berhubungan dengan infeksi saluran napas yang terjadi di masyarakat (PK) atau di
dalam rumah sakit/ pusat perawatan (Pneumonia Nasokomial). Pneumonia
merupakan bentuk infeksi saluran napas bawah akut di parenkim paru yang serius
dijumpai sekitar 15-20%. Penyebab tersering pada kasus pneumonia yang tercatat
adalah bakteri gram-negatif
Pneumonia dapat terjadi pada orang normal tanpa kelainan imunitas yang jelas
namun pada kebanyakanpasien dewasa yang menderita pneumonia didapati
adanya satu atau lebih penyakit dasar yang mengganggu daya tahan tubuh.
Pneumonia semakin sering dijumpai pada orang-orang lanjut usia (lansia) dan
sering terjadi padapasien dengan penyakit paru obstruktik, diabetes meliitus,
payah jantung, penyakit arteri koroner, keganasan dan lain-lain.
Pneumonia dapat mengakibakan berbagaimacam komplikasi seperti
meningitis arthritis, endokarditis, perikarditis, peritonitis dan empiema. Selain itu
pneumonia juga dapat menyebabkan gagal organ jamak hingga komplikasi berupa
acute respiratory distress syndrom. Pneumonia dapat diatasi dengan pemberian
antibiotik yang sesuai dengan patogen penyebabnya.

1.2 Tujuan
1. Mengetahui teori tentang Pneumonia yang mencakup:
a. Definisi
b. Klasifikasi
c. Etiologi
d. Patofisiologi
e. Manifestasi Klinik
f. Diagnosis
g. Penatalaksanaan

3
1.3 Manfaat
1.3.1. Manfaat Ilmiah
Memperkaya khasanah ilmu pengetahuan dalam bidang kedokteran terutama
bidang Ilmu Penyakit Dalam, khususnya tentang Pneumonia.
1.3.2. Manfaat bagi Pembaca
Makalah ini diharapkan menjadi sumber pengetahuan bagi pembaca mengenai
Pneumonia.

4
BAB 2
ISI

2.1 Skenario
Seorang Perempuan 79 tahun masuk ke rumah sakit dengan batuk
produkti, demam dan sesak nafas. Dari pemeriksaan fisik didapatkan temperatur
38,8 C dan ronki basah pada lapangan bawah paru kanan. Dari x-ray thorax
didapatkan infiltrat pada lapangan bawah paru kanan. Pasien diterapi dengan
cephalosporin generasi ke-3 dan makrolide untuk pnemonia komunitas. Pada hari
ke-2 Perawatan, pasien menjadi bingung-bingung secara tiba-tiba melemparkan
makanan dan berusaha untuk meninggalkan ruangan rawatan.
2.2 Identifikasi Istilah
1. Infiltrat: Infiltrat adalah substansi yang lebih padat dari udara, bisa berupa
lendir/dahak, nanah, darah, ataupun protein, yang ditemukan di paru yang
seharusnya hanya berisi udara saja
2. Ronki basah: Merupakan suara berisik dan putus-putus akibat pertemuan
aliran udara dan cairan.

2.3 Identifikasi Masalah`


1 Bagaimana alur diagnosis dari pneumonia koumnitas? Apakah ada gejala lain
yang dapat kita temukan saat pemeriksaan fisik selain ronkhi basah?
2 Gold standard diagnosis pneumonia komunitas?
3 Apakah ada kemungkinan diagnosis lain selain pneumonia komunitas dengan
gejala batuk produktif, demam seperti yg ada di scenario?
4 Mengapa pasien menjadi kebingungan dan tiba-tiba melemparkan makanan
pada hari rawatan ke 2? Apakah ada hubungan antara terapi dengan sikap
pasien pada hari perawatan ke-2?
5 Apakah ada tatalaksana lain selain pemberian antibiotik?

2.2 Brain Storming

1. Pneumonia komunitas terjadi di luar rumah sakit (>48 jam setelah di rawat di
rs)
a. Anamnesis
o sesak nafas

5
o demam menggigil/tidak menggigil
o nyeri dada = pleuritik pain
o batuk produktif
o Riwayat perjalanan, riwayat kontak dengan pasien PDP covid,kontak
pasien tb
b. pemeriksaan fisik
o cek tanda-tanda vital, kesadaran
o inspeksi: gerak dada yang tertinggal (pasien efusi), barrel chest,
clubbing finger
o palpasi: palpasi gerak nafas (stream fremitus meningkat)
o pemeriksaan vocal fremitus: dada yg sakit akan menghantarkan suara
lebih baik
o perkus: sonor menjadi redup
o auskultasi: ronki basah, suara nafas bronkovesikular sampai bronchial.
Kalau sudah resolusi ronki basah halus (seperti suara krepitasi)
berubah menjadi ronki basah kasar (Seperti suara gelembung udara
pecah)
c. pemeriksaan penunjang
o foto thorax: konsolidasi, air bronchogram, silhouette sign
o kultur sputum: diambil sputum bisa kapan saja
o pemeriksaan darah: limfosit (rendah pada pneumonia virus),
leukositosis, leucopenia, shif to the left (banyak leukosit muda yg
imatur), hipoksemia, pada stadium lanjut bisa asidosis resoiratorik
o pcr

Pada lansia gejala kurang spesifik. Gejala sepsis kadang kurang muncul, suhu
demam kadang subfebris. Pemeriksaan suhu dicoba di rectal agar lebih akurat.
30-40% penyebab lansia di rawat di RS adalah pneumonia komunitas

2. Ada 2 dari gejala, demam diatas 38 derajat, leukosit diatas 10.000 atau
dibawah 4.500, tampak infiltrat pada foto thorax,batuk, ditemukan ronkhi pada
auskultasi

6
3. Diagnosis banding:
o TB paru
o lung abcess
o bronkitis kronis
o edema paru

4. peurunan kesadaran (delirium) dapat disebabkan oleh penurunan pasokan


oksigen ke seluruh tubuh karena peningkatan residu di paru. Penurunan
kesadaran juga bisa disebabkan oleh:
o sepsis
o Bisa karena efek samping obat (Azitromycin (efek samping: aritmia-
>prolong QT)
o Karena penyakit dasar sebelumnya
o Kerusakan neuron karena pelepasan sitokin
o Transmitter di otak terganggu karena proses inflmasi
o Penyakit demensia
o Penurunan ventilasi asidosis respiratorik

5. Tatalaksana Pneumonia dibagi menjadi tatalaksana rawat jalan dan rawat inap
a. Rawat jalan
o terapi suprotif & simtomatik:
o demam: antipiretik
o batuk berdahak: mukolitik
o antibiotik
b. Rawat inap:
o beri oksigen
o pasang iv line
o koreksi elektrolit
o demam:antipiretik
o mukolitik selama 8 jam saat masuk RS. Tidak boleh > 8 jam
o antibiotik
c. . Di ICU

7
sama dengan rawat inap biasa namun bisa di gunakan ventilator (berdasarkan
pemeriksaan AGD)
untuk menilai berat ringan pneumonia menggunakan skor C (kesadaran) U
(ureum/O2) R (pernafasan >3x) B (TD, sistol <90 diastol <60), bila usia
lanjut langsung diberi poin 1
 0= rawat jalan: obat oral
 1-2 = rawat jalan/inap
 >3= rawat inap

Bisa juga menggunakan skor PORT, tdd usia, penyakit penyerta, perubahan
status mental. Bila poin >70, di indikasikan untuk di rawat inap.
Indikasi rawat inap pneumonia komunitas:
 skor PORT>70
 frekuensi nafas >30x

Delirium -> diberi obat sedative benzodiazepine 0,5-1 mg IM/IV, bila sudah
membaik dosis di turunkan perlahan perbaikan hidrasi, diberi oksigen
disesuaikan dengan keluhan.

8
2.4 Strukturisasi Konsep

ronkhi Anamnesis Batuk produktif,


Foto Thorax demam,
Laboratorium: cek sesak nafas,
sputum, darah lengkap usia lanjut

Pemeriksaan fisik &


pemeriksaan penunjang

Diagnosis kerja:
Diagnosis banding:
Pneumonia komunitas
Abses paru
TB
Edema paru
Bronkitis kronis
Scoring CURB / PORT

Planning terapi

Tatalaksana

Rawat inap

2.5 Learning Objective


1 Mahasiswa mampu menjelaskan definisi dan klasifikasi Pneumonia
2 Mahasiswa mampu menjelaskan etiopatogenesis Pneumonia
3 Mahasiswa mampu menjelaskan manifestasi klinis Pneumonia

9
4 Mahasiswa mampu menjelaskan diagnosis Pneumonia
5 Mahasiswa mampu menjelaskan tatalaksana Pneumonia

BAB 3
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Definisi
Pneumonia didefinisikan sebagai infeksi pada lapisan parenkim paru yang
disebabkan oleh berbagai jenis organisme. Penyebab tersering pada kasus pneumonia
yang tercatat adalah bakteri gram-negatif bacilli. Literature lain mengatakan bahwa
pneumonia adalah infeksi akut pada parenkim paru yang disebabkan oleh satu
pathogen atau pathogen co-infektif. Pneumonia dikatakan bukan merupakan penyakit
tunggal, namun kelompok dari infeksi yang spesifik dengan epidemiologi,
pathogenesis dan gejala klinis yang berbeda.

3.2 Klasifikasi
Klasifikasi yang paling umum digunakan saat ini adalah pembagian berdasarkan site
of origin. Penggolongan ini terbagi menjadi 2, yaitu:
1. Hospital-acquired pneumonia (HAP)
Kategori ini dikenal juga dengan istilah Health Care-associated Pneumonia
(HCAP) serta Pneumonia Nosokomial. Kategori ini mencakup pasien yang
menderita pneumonia setelah dirawat > 48 jam di rumah sakit; pasien
pneumonia yang dirawat selama dua hari atau lebih dalam rentang waktu 90
hari sejak infeksi; pasien penderita pneumonia yang mendapatkan terapi
antibiotic intravena, kemoterapi, atau perawatan luka dalam rentang 30 hari
sejak infeksi tersebut; serta pasien penderita pneumonia yang rutin datang ke
rumah sakit atau klinik hemodialisa. Literature lain menyatakan bahwa pasien
yang terinfeksi pneumonia 10-14 hari setelah pulang rawat ke dalam kategori
HAP.
2. Ventilator-associated pneumonia (VAP)
Kategori ini merupakan pengembangan dari kelompok HAP. Pasien yang
tergolong dalam kategori VAP umumnya dirawat di ICU karena
membutuhkan ventilator dan sudah menggunakan ventilator setidaknya 48 jam
sebelum terjadinya infeksi.
3. Community-acquired pneumonia (CAP)

10
Pneumonia komunitas adalah infeksi pneumonia yang didapat dari luar rumah
sakit atau fasilitas kesehatan. Untuk penentuan kelanjutan tindakan pada
pasien pneumonia komunitas, dapat digunakan system skoring CURB-65.
Pada skoring ini terdapat 5 item yang perlu dinilai, yaitu confusion (perubahan
kesadaran), peningkatan kadar ureum, peningkatan frekuensi napas, tekanan
darah sistolik <90 mmHg atau diastolic ≤60 mmHg, dan usia ≥65 tahun.

3.4 Etiologi
Pneumonia dapat disebabkan oleh berbagai macam mikroorganisme, yaitu
bakteri, virus, jamur dan protozoa. Dari kepustakaan pneumonia komuniti yang
diderita oleh masyarakat luar negeri banyak disebabkan bakteri Gram positif,
sedangkan pneumonia di rumah sakit banyak disebabkan bakteri Gram negatif dan
pneumonia aspirasi banyak disebabkan oleh bakteri anaerob.
Berdasarkan laporan 5 tahun terakhir dari beberapa pusat paru di Indonesia
menunjukan bahwa bakteri yang paling banyak ditemukan pada pneumonia komuniti
adalah Gram negatif.

 Klebsiella pneumoniae 45,18%


 Streptococcus pneumoniae 14,04%
 Streptococcus viridans 9,21%
 Staphylococcus aureus 9%

11
 Pseudomonas aeruginosa 8,56%
 Steptococcus hemolyticus 7,89%
 Enterobacter 5,26%
 Pseudomonas spp 0,9%

Pada pasien dengan usia lanjut beberapa penelitian terdahulu menunjukan


Streptococcus pneumonia sebagai penyebab tersering pneumonia komunitas yaitu
sekitar 36 – 49%. Berbeda dengan penelitian dari Han et al yang mendapatkan
Pseudomonas aeruginosa sebagai penyebab tersering pneumonia komunitas di China,
yaitu sebesar 20,1%, diikuti dengan Klebsiella pneumonia 15,2% dan Streptococcus
pneumonia hanya ditemukan sebanyak 3,3% kasus. Hal ini menunjukan terdapat
perbedaan zona bakteri pada setiap Negara yang melakukan penelitian tentang
pneumonia komuniti khususnya pada pasien dengan usia lanjut.

3.5 Patofisiologi
Perubahan sistem respirasi pada usia lanjut menyebabkan penurunan elastisitas paru,
meningkatnya kekakuan dinding dada dan berkurangnya kekuatan otot dada. Selain
itu terjadi penurunan gerak silia pada sistem respirasi, penurunan refleks batuk dan
refleks fisiologis lainnya yang dapat meningkatkan risiko terjadinya infeksi pada
saluran napas bawah. Volume residu bertambah dan terjadi penurunan sensitivitas
pusat pernapasan terhadap hipoksemia dsan hiperkapnea.
Beberapa faktor dapat menjadi penyebab meningkatnya kejadian pneumonia
pada usia lanjut, diantaranya perubahan sistem imun, baik sistem imun alami maupun
adaptif. Terjadi gangguan barrier mekanik, aktivitas fagositik, imunitas humoral dan
sel T, serta penurunan fungsi sel natural killer, makrofag dan neutrofil. Hal ini juga
sering diperberat dengan kondisi multipatologi yang sering dialami usia lanjut.
Proses patogenesis pneumonia terkait dengan tiga faktor yaitu keaadan
(imunitas) pasien, mikroorganisme yang menyerang pasien dan lingkungan yang
berinteraksi satu sama lain. Dalam keadaan sehat, pada paru tidak akan terjadi
pertumbuhan mikroorganisme, keadaan ini disebabkan oleh adanya mekanisme
pertahanan paru. Adanyanya bakteri di paru merupakan akibat ketidakseimbangan
antara daya tahan tubuh, mikroorganisme dan lingkungan, sehingga mikroorganisme
dapat berkembang biak dan berakibat timbulnya sakit.
Ada beberapa cara mikroorganisme mencapai permukaan:

12
1) Inokulasi langsung;
2) Penyebaran melalui darah;
3) Inhalasi bahan aerosol, dan
4) Kolonosiasi di permukaan mukosa.
Dari keempat cara tersebut, cara yang terbanyak adalah dengan kolonisasi.
Secara inhalasi terjadi pada virus, mikroorganisme atipikal, mikrobakteria atau jamur.
Kebanyakan bakteria dengan ikuran 0,5 - 2,0 mikron melalui udara dapat mencapai
brokonsul terminal atau alveol dan selanjutnya terjadi proses infeksi. Bila terjadi
kolonisasi pada saluran napas atas (hidung, orofaring) kemudian terjadi aspirasi ke
saluran napas bawah dan terjadi inokulasi mikroorganisme, hal ini merupakan
permulaan infeksi dari sebagian besar infeksi paru. Aspirasi dari sebagian kecil sekret
orofaring terjadi pada orang normal waktu tidur (50%) juga pada keadaan penurunan
kesadaran, peminum alkohol dan pemakai obat (drug abuse). Sekresi orofaring
mengandung konsentrasi bakteri yang sangat tinggi 108-10/ml, sehingga aspirasi dari
sebagian kecil sekret (0,001 - 1,1 ml) dapat memberikan titer inokulum bakteri yang
tinggi dan terjadi pneumonia.
Basil yang masuk bersama sekret bronkus ke dalam alveoli menyebabkan
reaksi radang berupa edema seluruh alveoli disusul dengan infiltrasi sel-sel PMN dan
diapedesis eritrosit sehingga terjadi permulaan fagositosis sebelum terbentuk antibodi.
Sel - sel PNM mendesak bakteri ke permukaan alveoli dan dengan bantuan leukosit
yang lain melalui psedopodosis sistoplasmik mengelilingi bakteri tersebut kemudian
terjadi proses fagositosis.

13
Gambar 1. Patogenesis pneumonia oleh bakteri pneumococcus

Pada waktu terjadi perlawanan antara host dan bakteri maka akan nampak
empat zona pada daerah pasitik parasitik terset yaitu:
1) Zona luar (edema): alveoli yang tersisi dengan bakteri dan cairan edema
2) Zona permulaan konsolidasi (red hepatization): terdiri dari PMN dan beberapa
eksudasi sel darah merah
3) Zona konsolidasi yang luas (grey hepatization): daerah tempat terjadi
fagositosis yang aktif dengan jumlah PMN yang banyak
4) Zona resolusi E: daerah tempat terjadi resolusi dengan banyak bakteri yang
mati, leukosit dan alveolar makrofag.

3.5 Diagnosis Pneumonia Komunitas


a. Anamnesis
Gambaran klinik biasanya ditandai dengan demam, menggigil, suhu
tubuh meningkat dapat melebihi 400C, batuk dengan dahak mukoid atau
purulen kadang-kadang disertai darah, sesak napas dan nyeri dada.
b. Pemeriksaan fisik

14
Temuan pemeriksaan fisis dada tergantung dari luas lesi di paru. Pada
inspeksi dapat terlihat bagian yang sakit tertinggal waktu bernapas, pasa
palpasi fremitus dapat mengeras, pada perkusi redup, pada auskultasi
terdengar suara napas bronkovesikuler sampai bronkial yang mungkin disertai
ronki basah halus, yang kemudian menjadi ronki basah kasar pada stadium
resolusi.
c. Pemeriksaan penunjang
Gambaran radiologis
Foto toraks (PA/lateral) merupakan pemeriksaan penunjang utama
untuk menegakkan diagnosis. Gambaran radiologis dapat berupa infiltrat
sampai konsolidasi dengan " air broncogram", penyebab bronkogenik dan
interstisial serta gambaran kaviti. Foto toraks saja tidak dapat secara khas
menentukan penyebab pneumonia, hanya merupakan petunjuk ke arah
diagnosis etiologi, misalnya gambaran pneumonia lobaris tersering disebabkan
oleh Steptococcus pneumoniae, Pseudomonas aeruginosa sering
memperlihatkan infiltrat bilateral atau gambaran bronkopneumonia sedangkan
Klebsiela pneumonia sering menunjukkan konsolidasi yang terjadi pada lobus
atas kanan meskipun dapat mengenai beberapa lobus.
Pemeriksaan labolatorium
Pada pemeriksaan labolatorium terdapat peningkatan jumlah leukosit,
biasanya lebih dari 10.000/ul kadang-kadang mencapai 30.000/ul, dan pada
hitungan jenis leukosit terdapat pergeseran ke kiri serta terjadi peningkatan
LED. Untuk menentukan diagnosis etiologi diperlukan pemeriksaan dahak,
kultur darah dan serologi. Kultur darah dapat positif pada 20- 25% penderita
yang tidak diobati. Analisis gas darah menunjukkan hipoksemia dan hikarbia,
pada stadium lanjut dapat terjadi asidosis respiratorik.
Diagnosis Pneumonia Pada Pasien Geriatric
Menegakkan diagnosis pneumonia pada pasien usia lanjut masih
merupakan tantangan bagi para klinisi mengingat tampilan klinis yang tidak
lengkap dan tidak spesifik. Gejala dan tanda pneumonia yang khas sering tidak
didapatkan pada pasien usia lanjut. Gejala-gejala saluran pernapasan seperti
batuk dan sesak napas lebih jarang dikeluhkan pada kelompok usia yang lebih
tua. Sementara itu, gejala berupa nyeri dada pleuritik dan hemoptisis lebih
banyak pada kelompok usia muda. Hasil temuan fisik yang konsisten dengan
15
diagnosis pneumonia komunitas sama sekali tidak ditemukan pada 20%-47%
pasien usia lanjut. Sesak napas dan ronki pada umumnya lebih sering
ditemukan.
Manifestasi klinis yang tidak khas seperti hilangnya nafsu makan,
penurunan status fungsional, inkontinensia urin dan jatuh bisa muncul sebagai
penanda pneumonia pada pasien usia lanjut. Menegakkan diagnosis suatu
penyakit akibat infeksi bakteri, termasuk pneumonia pada pasien usia lanjut
seringkali sulit. Sebab, riwayat penyakit sulit didapat dan seringkali sulit
dipercaya akibat adanya sensory loss, gangguan kognisi dan isolasi sosial.
Adanya komorbiditas merancukan pemeriksaan fisik dan tanda-tanda utama
pneumonia seringkali tidak muncul, seperti demam, batuk produktif, dan
tanda-tanda konsolidasi paru. Selain itu, parameter laboratorium seperti tidak
adanya peningkatan leukosit, serta gambaran radiologis yang sulit
diinterpretasi membuat penegakkan diagnosis pneumonia pada usia lanjut
masih menjadi tantangan para klinisi.
Pemeriksaan dini c-reactive protein (CRP) serum 24-48 jam
merupakan uji laboratorium yang telah dikenal luas untuk mendiagnosis dan
memonitor berbagai proses infeksi dan inflamasi akut, termasuk pneumonia.
Sensitifitas CRP dalam mendiagnosis infeksi saluran napas bagian bawah
berkisar antara 10-98% dengan spesifisitas berkisar antara 44- 99%.

3.7 Tatalaksana
Terapi awal untuk pneumonia diberikan secara empiris. Pemilihan antibiotika
empiris pada usia lanjut dipengaruhi oleh derajat kerentaan (frailty), sumber infeksi,
adanya faktor risiko infeksi terhadap mikroorganisme resisten, serta tingkat keparahan
pneumonia. Pilihan antibiotika berbeda bagi pasien rawat jalan dan rawat inap. Dosis
pertama antibiotika harus diberikan segera. Besarnya dosis dan frekuensi pemberian
disesuaikan dengan berat badan dan fungsi ginjal. Potensi interaksi obat juga harus
diperhitungkan.

Pasien Pilihan antibiotik


16
Tanpa frailty
Rawat jalan Amoksisilin/Klavulanat atau Sefalosporin
generasi kedua
+
Azitromisin atau Fluorokuinolon
Rawat inap Amoksisilin/Klavulanat atau Seftriakson
atau Sefotaksim atau Seftarolin
+
Azitromisin atau Fluorokuinolon
Pneumonia berat Seftriakson atau Sefotaksim atau
Seftarolin atau Ertapenem
+
Azitromisin atau Fluorokuinolon
± Linezolid atau Vankomisin
± ß Laktam Antipseudomonas
± Oseltamivir
Frailty
Prefrailty Amoksisilin/Klavulanat atau Seftriakson
atau Sefotaksim atau Seftarolin
+
Azitromisin atau Fluorokuinolon
Frail Ertapenem
atau
Amoksisilin/Klavulanat
atau
Seftriakson + Klindamisin

Terapi antibiotika diberikan segera setelah diagnosis ditegakkan. Lama


pemberian antibiotika sekitar 7-10 hari, dan diberikan selama 14 hari jika ada
kecurigaan terhadap infeksi Pseudomonas. Adapun kriteria untuk merubah terapi
injeksi menjadi antibiotika oral antara lain pasien bisa menerima asupan oral,
frekuensi jantung kurang dari 100 kali per menit, tekanan darah di atas 90 mmHg,
frekuensi napas < 25 kali per menit, kembalinya fungsi kognitif sebelum sakit, dan
suhu tubuh < 38,30C. Antibiotika oral dapat diberikan apabila saturasi oksigen > 90%
atau tekanan oksigen arteri > 60 mmHg pada ruangan biasa atau dengan oksigen dosis
rendah via nasal kanul, atau telah bisa kembali ke kadar oksigen dasar bagi pasien
dengan terapi oksigen jangka panjang.
Sebagian besar pasien yang sudah memasuki usia lanjut mengalami gangguan
fungsi ginjal. Oleh sebab itu, dosis antibiotik harus disesuaikan agar tidak merusak
fungsi fisiologis tubuh dan menjadi toksik. Antibiotika Azitromisin, Linezolid dan
Moksifloksasin tidak memerlukan penyesuaian dosis karena tidak mempengaruhi
penurunan laju filtrasi glomerulus.

17
Antibiotika Dosis Dosis pada gangguan
fungsi ginjal
Amikasin 15-20 mg/kg/24 jam 60-80: 9-12 mg/kg/24 jam
30-40: 4,5-6 mg/kg/24 jam
10-20: 1,5-3 mg/kg/24 jam
Amoksisilin-Klavulanat IV 2 g/6-8 jam 30-50: 1 g/8 jam
<10: 500 mg/24 jam
Amoksisilin-Klavulanat PO 2/0,125g/12 jam 30-50: 500 mg/8 jam
<10: 500 mg/24 jam
Azitromisin IV/PO 500 mg/24 jam Tidak diperlukan
penyesuaian
Sefditoren PO Amikasin 30-50: 200 mg/12 jam
Sefepim IV 2 g/8 jam 30-50: 2 g/12 jam
<10: 1 g/24 jam
Seftriakson IV 1-2 g/12-24 jam >10: tidak diperlukan
Siprofloksasin IV 400 mg/12 jam 30-50: tidak diperlukan
Siprofloksasin PO 500 mg/12 jam 30-50: tidak diperlukan
Ertapenem IV/IM 1 g/24 jam <30: 500 mg/24 jam
Imipenem IV 1 g/6-8 jam 30-50: 250-500 mg/6-8 jam
Levofloksasin 500 mg/12-24 jam 20-50: 250 mg/12-24 jam
<10: 125 mg/24 jam
Linezolid IV/PO 600 mg/12 jam Tidak diperlukan
penyesuaian dosis
Meropenem IV 1 g/8 jam 30-50: 1 g/12 jam
<10: 500 mg/24 jam
Moksifloksasin IV/PO 400 mg/24 jam Tidak diperlukan
penyesuaian dosis
Piperasilin/tazobaktam IV 4/0,5 g/6-8 jam 20-50: 2/0,25 g/6 jam
Tobramisin IV 4-7 mg/kg/24 jam 60-80: 4 mg/kg/24 jam
30-40:2,5 mg/kg/24 jam
10-20: 1,5 mg/kg/24 jam

18
BAB 4
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Pneumonia didefinisikan sebagai infeksi pada lapisan parenkim paru yang
disebabkan oleh berbagai jenis organisme. Penyebab tersering pada kasus pneumonia
yang tercatat adalah bakteri gram-negatif. Klasifikasi yang paling umum digunakan
saat ini adalah pembagian berdasarkan site of origin. Penggolongan ini terbagi
menjadi 2 yaitu Hospital-acquired pneumonia dan Community-acquired pneumonia
(CAP). Gambaran klinik biasanya ditandai dengan demam, menggigil, suhu tubuh
meningkat dapat melebihi 400C, batuk dengan dahak mukoid atau purulen kadang-
kadang disertai darah, sesak napas dan nyeri dada. Diagnosis pneumonia dapat
ditegakan melalaui pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang berupa foto thorax dan
pemeriksaan laboratorium dan kultur sputum. Penatalaksaan pada pneumonia yaitu
pemberian antibiotik yang sesuai dengan patogen penyebabnya.

4.2 Saran
Mengingat masih banyaknya kekurangan dari makalah ini, baik dari segi diskusi,
penulisan dan sebagainya, untuk itu kami mengharapkan kritik dan saran dari dosen-
dosen yang mengajar, dari rekan-rekan sesama dokter muda dan dari berbagai pihak
demi kesempurnaan makalah ini.

19
DAFTAR PUSTAKA

Castillo JG, Sanchez FJ. Pneumonia. Dalam: Halter JB, Ouslander JG, Studenski S,
High KP, Asthana S, Ritchie CS, et al, editor (penyunting). Hazzard’s geriatric
medicine and gerontology. Edisi ke-7. New York: The McGraw-Hill
Companies Inc; 2017. hlm. 1957-70.
Dahlan Z. 2009. Pneumonia, dalam Sudoyo AW, dkk (editor). Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Edisi V. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit
Dalam Universitas Indonesia
Han X, Zhou F, Li H, Xing X, Chen L, Wang Y, et al. Effects of age, comorbidity and
adherence tu current antimicrobial guidelines on mortality in hospitalized
elderly patients with community- acquired pneumonia. BMC Infectious
Diseases. 2018;18:192.
Martono H. Aspek fisiologik dan patologik akibat proses menua. Dalam: Martono H,
Pranarka K, editor (penyunting). Geriatri (Ilmu kesehatan usia
http://jurnal.fk.unand.ac.id 177 Jurnal Kesehatan Andalas. 2019; 8(1) lanjut).
Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia;
2011.hlm.57-74.
PDPI. (2003). Pneumonia Komunitas ''Pedoman Diagnosis dan Tatalaksana di
Indonesia''. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia.
Sari, E. F., Rumende, C. M., & Harimurti, K. (2016). Faktor–Faktor yang
Berhubungan dengan Diagnosis Pneumonia pada Pasien Usia Lanjut. Jurnal
Penyakit Dalam Indonesia, 3(4), 183-192.
Simonetti AF, Viasus D, Garcia-Vidal C, Carratala J. Management of community-
acquired pneumonia in older adults. Ther Adv Infect Dis. 2014;2(1):3-16. 4.
Tores, A., Michael, S., Jean, C., Santiago, E., Patricia , F., Hakan, H., et al. (2017).
International ERS/ESICM/ESCMID/ALAT guidelines for the management of
Hospital-Acquired Pneumonia and Ventilator associated Pneumonia.
ERS/ESICM/ESCMID/ALAT guidelines, 1-26.
Woodhead, M. (2013). Pneumonia Classification and Healthcare-Associated
Pneumonia. Thorax Vol 68 No.11, 1-2.

20
21

Anda mungkin juga menyukai