SEMESTER/KELAS: 3/A
Disusun Oleh : Kelompok 5
Abdul Mun’im 841419003
RizkaBadriyahAkbarwati 841419023
Regita Ibrahim 841419025
Indriyani Dj. Dai 841419030
Bahrudin R. Ibrahim 841419033
Miftahul Jannah Daud 841419034
Ismiyati R.Ismail 841419037
Nurvidya Bonita Hilala 841419040
Siskawati Mahmud 841419045
Rifani Boroma 841418111
DOSEN PEMBIMBING :
Ns. Nurdiana Djamaluddin, M.Kep
Puji syukur penulis ucapkan kepada tuhanyang maha esa , karena atas berkat dan
rahmatnya penulis dapat menyelesaikan karya tulis ilmiah Penulisan karya tulis ilmiah ini
dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu tugas yang diberikan pada mata kuliah
Keperawatan Medikal Bedah I. Penulis menyadari bahwa karya tulis ilmiah ini belum
sempurna, oleh karena itu penulis mengharapkan kritikan dan saran yang bersifat membangun
dari berbagai pihak demi kesempurnaan karya tulis ilmiah ini.
Penulis menyadari bahwa tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak sangat sulit
bagi penulis untuk menyelesaikan karya tulis ini. Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan
terima kasih kepada :
Akhir kata penulis berharap Tuhan Yang Maha Esa berkenan membalas segala kebaikan
pihak yang telah membantu.
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR........................................................................................ i
DAFTAR ISI...................................................................................................... ii
BAB I KONSEP MEDIS……………………………………………………. 1
1.1. Definisi..............................................................................................
1.2. Etiologi..............................................................................................
1.3. Manifestasi Klinis.............................................................................
1.4. Patofisiologi/patomekanisme
1.5. Klasifikasi
1.6. Prognosis
1.7. Penatalaksanaan
1.8. Komplikasi
1.9. Pencegahan ...........................................................
BAB II KONSEP KEPERAWATAN…………………………………………………….
2.1. Pengkajian
2.2. Patwhay .............................................................................
2.3. Diagnosis Keperawatan
2.4. Intervensi Keperawatan
2.5. Implementasi Keperawatan .........................................................................
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................
BAB 1
KONSEP MEDIS
1.1. Definisi
Coronavirus disease 2019 (COVID-19) merupakan penyakit infeksi saluran pernapasan
yang disebabkan oleh severe acute respiratory syndrome virus corona 2 (SARS-CoV-2) atau
yang sering disebut virus Corona. Virus ini memiliki tingkat mutasi yang tinggi dan merupakan
patogen zoonotik yang dapat menetap pada manusia dan binatang dengan presentasi klinis
yang sangat beragam, mulai dari asimtomatik, gejala ringan sampai berat, bahkan sampai
kematian. Penyakit ini dilaporkan memiliki tingkat mortalitas 2-3%. Beberapa faktor risiko
dapat memperberat keluaran pasien, seperti usia >50 tahun, pasien
imunokompromais, hipertensi, penyakit kardiovaskular, diabetes mellituss, penyakit paru, dan
penyakit jantung( StatPearls. 2020).
1.2. Etiologi
Etiologi coronavirus disease 2019 (COVID-19) adalah virus dengan nama
spesies severe acute respiratory syndrome virus corona 2 yang disebut SARS-CoV-2. SARS-
CoV-2 merupakan virus yang mengandung genom single-stranded RNA yang positif.
Morfologi virus corona mempunyai proyeksi permukaan (spikes) glikoprotein yang
menunjukkan gambaran seperti menggunakan mahkota dan berukuran 80-160 nM dengan
polaritas positif 27-32 kb. Struktur protein utama SARS-CoV-2 adalah protein nukleokapsid
(N), protein matriks (M), glikoprotein spike (S), protein envelope (E) selubung, dan protein
aksesoris lainnya.
1.4. Patofisiologis/Patomekanisme
Covid-19 disebabkan oleh SARS-CoV2 atau 2019-nCoV, merupakan genus β corona
virus. Virus ini ditularkan penderita melalui droplet atau partikel aerosol yang masuk ke
saluran napas melalui aktivitas batuk, menyanyi, prosedur nebulizer atau intubasi(Patients,
Taylor, Lindsay, & Halcox, 2020). Ventilasi yang buruk mempercepat penularannya. Virus
mampu bertahan pada stainless steel 5,6 jam dan plastik 6,8 jam. Virus yang melekat pada sel
inang secara refleks mengikat reseptor seluler ACE2 (angiotensin-converting enzym 2 Ikatan
yang terbentuk sepuluh kali lebih kuat dibandingkan SARS-CoV(, kemudian masuk ke
sitoplasma, setelah terjadi pengkodean, poliprotein dipecah oleh protease dan chymotrypsin
diaktifkan. Kompleks yang dihasilkan mendorong produksi RNA melalui replikasi dan
transkripsi, ditumbuhkan ke lumen retikulum endoplasma. Virion kemudian dilepaskan dari
sel yang terinfeksi melalui eksositosis. Virus yang dilepaskan dapat menginfeksi sel-sel ginjal,
sel-sel hati, jantung, intestin, dan limfosit T, serta saluran respirasi terbawah. Menimbulkan
gejala dan tanda utama Covid-19(Sahin, 2020).
Pasien terinfeksi menunjukan peningkatan leukosit, pernafasan yang abnormal, suara
kedua paru kasar, batuk berdahak, dan demam. Pada Covid-19 berat mengalami komplikasi
edema pulmonal, emboli pulmonal, cardiac aritmia, liver injury, injury ginjal, coagulopathy,
rhabdhomyolysis, demam tinggi, trombositopenia, dan shock (Mehta et al., 2020
Pemeriksaan toraks didapatkan bilateral pneumonia 75%, unilateral pneumonia 25%,
ground glass opac 14%. Lymphadenopathy mediastinal, infiltrat paru bilateral, effusi pleura
bilateral ditemukan pada CT pertama, tiga hari kemudian, enam hari kemudian(Albarello et
al., 2020).
1.5. Klasifikasi
1. 229E (alpha Coronavirus)
Klasifikasi virus Corona yang paling sering menginfeksi manusia yang pertama
adalah HCoV-229E (alpha Coronavirus). Virus ini pertama kali ditemukan pada sekitar
tahun 1960an. Gejala virus ini hampir sama seperti virus Corona yang telah
menginfeksi banyak orang saat ini, yaitu menyerupai flu biasa. Virus HCoV-229E lebih
banyak menyerang anak-anak dan orang berusia lanjut. Namun belum ada laporan
korban jiwa yang ditimbulkan akibat terinfeksi virus ini.
2. NL63 (alpha Coronavirus)
Menurut jurnal yang diterbitkan pada 25 Mei 2010 oleh US National Library of
Medicine National Institutes of Health, virus ini pertama kali ditemukan pada tahun
2004 pada bayi berusia tujuh bulan di Belanda. Virus ini kemudian menyebar dan
diidentifikasi di berbagai negara. HCoV-NL63 telah terbukti lebih banyak menyerang
anak-anak dan orang dengan kelainan imun. Gejalanya bisa berupa masalah pernapasan
ringan seperti batuk, demam dan rhinorrhoea, atau yang lebih serius seperti
bronchiolitis dan croup, yang diamati terutama pada anak-anak yang lebih muda.
3. OC43 (beta Coronavirus)
Klasifikasi virus Corona yang paling sering menginfeksi manusia yang
selanjutnya adalah HCoV-OC43 (betacoronavirus). HCoV-OC43 adalah salah satu
virus Corona yang paling umum menyebabkan infeksi pada manusia. Virus ini dapat
menyebabkan pneumonia pada manusia.
4. HKU1 (beta Coronavirus)
Klasifikasi virus Corona yang paling sering menginfeksi manusia yang keempat
adalah HCoV-HKU1. Gejalanya hampir sama seperti jenis virus Corona lainnya, yaitu
infeksi saluran pernapasan atas. Walaupun terkadang pneumonia, bronchiolitis akut,
dan asthmatic axacerbation juga bisa timbul sebagai akibat dari virus ini. Durasi demam
yang ditimbulkan dari virus ini cenderung lebih singkat, yaitu hanya sekitar 1,7 hari.
5. MERS-CoV (beta Coronavirus)
Klasifikasi virus Corona lain yang dapat menginfeksi manusia adalah MERS-
CoV. WHO mengatakan bahwa virus tersebut muncul pertama kali pada September
2012 di Arab Saudi. MERS-CoV menyebabkan Middle East Respiratory Syndrome
atau MERS. MERS-CoV ditularkan dari unta yang telah terinfeksi ke manusia. Virus
ini juga bisa ditularkan dari manusia ke manusia jika melakukan kontak dekat dengan
seseorang yang terinfeksi. Pada tahun 2012, sebanyak 27 negara telah melaporkan lebih
dari 2.400 kasus MERS.
6. SARS-CoV (beta Coronavirus)
Klasifikasi virus Corona lainnya yang juga dapat menginfeksi manusia adalah
SARS-CoV. Seperti yang telah dikatakan oleh Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO,
kasus infeksi SARS-CoV pada manusia pertama kali muncul di China Selatan pada
November 2002. Virus ini dapat menyebabkan sindrom pernapasan akut parah atau
yang dikenal dengan SARS. SARS-CoV berasal dari kelalawar yang kemudian
ditularkan ke hewan lain sebelum akhirnya menginfeksi manusia.
Dikabarkan selama tahun 2002 hingga 2003 sudah ada 8.000 orang dari 26
negara yang terjangkit SARS. 774 di antaranya dikabarkan meninggal dunia. Saat ini
tidak ada kasus infeksi SARS yang dilaporkan di dunia.
7. SARS-CoV-2 atau COVID-19
Klasifikasi virus Corona yang ketujuh adalah yang saat ini masih berlangsung,
yaitu COVID-19. SARS-CoV-2 menyebabkan COVID-19. Seperti dikutip dari
Healthline, virus Corona baru ini berasal dari Wuhan, China dan pertama kali
ditemukan pada Desember 2019 setelah para petugas kesehatan melihat peningkatan
kasus pneumonia tanpa penyebab yang jelas.
1.6. Prognosis
Prognosis Covid-19 sampai sekarang belum diketahui jelas. Case Fatality Rate (CFR)
pasien covid-19 dilaporkan sampai mencapai 3,85%. Umumnya, kelompok umur diatas 50
tahun memiliki tingkat fatalitas yang lebih tinggi. Pasien dengan usia muda umumnya hanya
mengalami infeksi ringan, tetapi dapat menjadi sumber transmisis Covid-19 (StatPearls. 2020).
Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Hematologi
Pemeriksaan Hematologi Lengkap dengan sampel darah untuk melihat angka Leukosit
(sel darah putih) dan hitung jenis (Diff Count) sel Limfosit. Pada pasien dengan penyakit
COVID-19, angka Leukosit biasanya normal atau turun dan angka hitung jenis sel Limfosit
biasanya turun
2. Pemeriksaan Rapid Test
Pemeriksaan Rapid Test Antibodi untuk melihat adanya Antibodi terhadap virus SARS-
CoV2. Pengambilan sampel untuk pemeriksaan Antibodi Ig M dan Ig G SARS Cov2
adalah dengan mengambil sampel darah pasien. Pengambilan sampel darah dapat melalui
darah kapiler (ujung jari) maupun dari darah vena (misal darah di bagian lengan). Jika di
dalam tubuh terdapat infeksi virus, maka tubuh akan membentuk antibodi IgM dan IgG
terhadap virus SARS-Cov2 dan atibodi tersebut akan terdeteksi pada pemeriksaan terhadap
sampel darah pasien. Pembentukan antibodi Ig M dan Ig G terhadap infeksi virus
memerlukan waktu. Ig M akan terdeteksi 3-7 hari setelah infeksi dan Ig G akan terdeteksi
setelah 8-10 hari setelah infeksi. Dikarenakan hal tersebut, Dokter yang melakukan
pemeriksaan akan mencocokkan gejala klinis yang dialami pasien dengan hasil Rapid Test
dan akan memberikan informasi lebih lanjut terhadap hasil test(StatPearls. 2020).
3. Periksaan PCR Test
Pemeriksaan PCR Test dengan sampel swab tenggorokan untuk mendeteksi adanya
virus SARS-CoV2. Pemeriksaan ini memiliki tingkat akurasi yang lebih tinggi untuk
mendiagnosis kondisi terpapar Covid-19. Sebab, sekali virus Corona menginfeksi tubuh,
maka virus akan terdeteksi melalui swab yang diambil dari bagian belakang hidung dan
tenggorokan. Sampel swab tersebut akan diperiksa menggunakan metode PCR (Polymerase
Chain Reaction).
4. Pemeriksaan Rontgen Dada atau Thorax
Pemeriksaan Rontgen Dada atau Thorax untuk mendeteksi adanya infiltrat atau cairan
di paru-paru serta mendeteksi adanya perselubungan yang menandakan adanya peradangan
di paru-paru akibat infeksi dari virus.
5. Pemeriksaan CT Scan Dada atau Thorax
Pemeriksaan CT Scan Dada atau Thorax untuk mendeteksi adanya gambaran ground
glass opacity di paru-paru yang merupakan gambaran khas pada pasien yang terinfeksi
virus Corona di dalam paru-paru (StatPearls. 2020).
1.7. Penatalaksaaan
Penatalaksanaan pasien COVID-19 bergantung pada tingkat keparahannya. Pada pasien
dengan gejala ringan, isolasi dapat dilakukan di rumah. Pada pasien dengan penyakit berat atau
risiko pemburukan, maka perawatan di fasilitas kesehatan diperlukan.
1. Terapi Suportif untuk Gejala Ringan
Pada pasien COVID-19 dengan gejala ringan, isolasi dapat dilakukan di rumah.
Pasien disarankan untuk menggunakan masker terutama saat melakukan kontak
dengan orang lain. Beberapa terapi suportif, seperti antipiretik, antitusif, dan
ekspektoran dapat digunakan untuk meringankan gejala pasien
Antipiretik/Analgetik
Pemberian antipiretik/analgetik diberikan apabila pasien
memiliki temperatur ≥38 °C, nyeri kepala, atau mialgia. Pilihan terapi
antipiretik/analgetik yang dapat diberikan ketika dibutuhkan
adalah paracetamol 500–1.000 mg PO setiap 4–6 jam, dengan
maksimum dosis 4.000 mg/hari atau ibuprofen 200–400 mg PO setiap
4–6 jam, dengan maksimum dosis 2.400 mg/hari. Pada pasien COVID-
19, penggunaan paracetamol lebih disarankan daripada ibuprofen karena
ibuprofen memiliki luaran yang lebih buruk.
Antitusif & Ekspektoran
Pemberian antitusif dan ekspektoran berfungsi untuk
menurunkan gejala batuk pada pasien COVID-19. Apabila pasien
mengalami batuk berdahak, maka pemberian ekspektoran dapat
diberikan untuk mengencerkan sputum. Pilhan antitusif yang dapat
diberikan pada pasien adalah dextromethorphan 60 mg setiap 12 jam
atau 30 mg setiap 6–8 jam PO. Terapi ekspektoran yang dapat diberikan
adalah guaifenesin 200–400 mg setiap 4 jam PO, atau 600-1.200 mg
setiap 12 jam PO, atau ambroxol 30–120 mg setiap 8–12 jam PO.
2. Terapi Suportif untuk Gejala Berat
Pasien COVID-19 dengan gejala sedang hingga berat perlu dirawat di fasilitas
kesehatan. Pengendalian infeksi dan terapi suportif merupakan prinsip utama dalam
manajemen pasien COVID-19 dengan gejala yang berat.
Intubasi dan Ventilasi Mekanik Protektif
Intubasi endotrakeal dilakukan pada keadaan gagal napas
hipoksemia. Tindakan ini dapat dilakukan oleh petugas terlatih dengan
memperhatikan kemungkinan transmisi airborne. Preoksigenasi dengan
fraksi oksigen (FiO2) 100% selama 5 menit dapat diberikan dengan bag-
valve mask, kantong udara, high flow nasal oxygen, dan non-invasive
ventilation. Ventilasi mekanik dilakukan dengan volume tidal yang lebih
rendah (4–8 ml/kg berat badan) dan tekanan inspirasi rendah (tekanan
plateau <30 cmH2O).[1,20]
Ventilasi Noninvasif
Penggunaan high flow nasal oxygen (HFNO) atau non-invasive
ventilation (NIV) digunakan saat pasien mengalami gagal napas
hipoksemia tertentu. HFNO dapat diberikan dengan aliran oksigen 60
L/menit dan FiO2 sampai 1,0. Pada anak-anak, aliran oksigen umumnya
hanya mencapai 15 L/menit. NIV tidak direkomendasikan pada pasien
gagal napas hipoksemia atau penyakit virus pandemi karena bersifat
aerosol dan berisiko mengalami keterlambatan dilakukannya intubasi
dan barotrauma pada parenkim paru.
3. Medikamentosa
Sampai sekarang, belum terdapat terapi spesifik anti-COVID-19. Akan tetapi,
beberapa agen telah ditemukan memiliki efikasi dan sedang dalam tahap uji coba.
Remdesivir
Remdesivir merupakan agen antiviral spektrum luas yang
ditemukan dapat menginhibisi replikasi dari virus Corona pada manusia.
Beberapa studi telah menunjukkan efikasi remdesivir pada pasien
COVID-19 dengan gejala sedang atau berat. Di Amerika Serikat, Korea
Selatan, dan Cina, obat ini telah masuk uji coba klinis fase 3. Dosis yang
disarankan untuk pasien dengan usia lebih dari 40 kg adalah 200 mg
dosis awal pada hari pertama, diikuti 100 mg sebagai dosis pemeliharaan
pada hari kedua.
Durasi optimal untuk terapi COVID-19 sampai sekarang masih
belum diketahui. Akan tetapi, pada pasien dengan kondisi berat yang
membutuhkan ventilasi mekanik atau extracorporeal membrane
oxygenation (ECMO), remdesivir disarankan untuk diberikan selama 10
hari. Pada pasien yang tidak membutuhkan ventilasi mekanik atau
ECMO, durasi pengobatan yang disarankan adalah 5 hari dan apabila
kondisi klinis tidak membaik dapat diperpanjang sampai 5 hari dengan
maksimal total 10 hari.
Klorokuin/Hidroksiklorokuin
Klorokuin dan hidroksiklorokuin merupakan obat antimalaria
yang telah digunakan pada beberapa kondisi autoimun karena efek
imunomodulatornya. Pada penelitian in vitro, baik klorokuin maupun
hidroksiklorokuin dilaporkan dapat menginhibisi SARS-CoV-2. Akan
tetapi, studi mengenai efikasi klorokuin dan hidroksiklorokuin sampai
sekarang masih sangat terbatas dengan hasil yang belum memiliki
kepastian. Selain itu, penggunaan klorokuin dan hidroksiklorokuin dapat
menyebabkan efek samping berat, seperti gangguan irama jantung dan
gangguan mata berat. Oleh sebab itu, FDA tidak menganjurkan
penggunaan klorokuin dan hidroksiklorokuin sebagai pengobatan darurat
apabila fasilitas uji klinis tidak tersedia atau tidak layak.
Lopinavir-Ritonavir
Lopinavir dan ritonavir merupakan obat inhibitor protease yang
digunakan pada infeksi HIV. Beberapa studi in vitro menemukan bahwa
kombinasi agen ini dapat melawan SARS-CoV 2. Akan tetapi, sebuah
studi menunjukkan bahwa pasien COVID-19 yang diberikan lopinavir-
ritonavir 400/100 mg 2 kali sehari selama 14 hari tidak memiliki efek
yang signifikan terhadap perbaikan klinis maupun penurunan mortalitas,
jika dibandingkan dengan terapi standar.
Tocilizumab
Tocilizumab merupakan inhibitor interleukin-6 (IL-6) yang
umum digunakan pada rheumatoid arthritis atau systemic juvenile
idiopathic arthritis. Obat ini dilaporkan dapat menurunkan kerusakan
pada jaringan paru akibat infeksi COVID-19 yang serius. Dalam
panduan penanganan COVID-19 di Cina, obat ini dianjurkan pada
pasien COVID-19 gejala berat dengan peningkatan kadar IL-6. Beberapa
studi telah menunjukkan pemberian tocilizumab dapat meningkatkan
perbaikan klinis pada pasien. Studi lebih besar dibutuhkan untuk
evaluasi efikasi dan keamanan penggunaan obat ini.
Vitamin C Dosis Tinggi
Studi meta analisis oleh Lin et al yang melibatkan 4 uji acak
terkontrol dan 2 uji retrospektif menyatakan bahwa vitamin C dosis
tinggi (>50 mg/kg/hari) dapat secara signifikan mengurangi angka
kematian pasien dengan sepsis berat. Akan tetapi, penambahan vitamin
C dosis tinggi sebagai terapi sepsis berat tidak mengurangi lama
perawatan di ICU. Hasil ini didukung hasil meta analisis oleh Li et
al yang menyimpulkan bahwa terdapat korelasi positif antara pemberian
vitamin C pada kasus sepsis dengan kesintasan yang lebih baik dan
penggunaan durasi vasopresor yang lebih pendek. Namun uji acak
terkontrol berikutnya tidak menunjukkan bahwa pasien sepsis yang
diberikan vitamin C IV mengalami penurunan mortalitas. Saat ini, uji
klinis mengenai penggunaan vitamin C pada kasus COVID-19 sedang
berlangsung di Cina. Uji klinis tersebut membandingkan antara
kelompok plasebo dan kelompok intervensi vitamin C dosis tinggi
dengan dosis 12 gram 2 kali sehari selama 7 hari secara intravena.
Oseltamivir
Oseltamivir merupakan obat yang telah disetujui penggunaannya
untuk pengobatan influenza A dan B. Obat ini bekerja dengan
menghambat neuraminidase yang terdistribusi pada permukaan virus,
sehingga mencegah penyebaran virus pada tubuh pasien. Obat ini
banyak digunakan di Cina sebagai terapi COVID-19, tetapi belum
banyak bukti yang menunjukkan efektivitas obat ini. Oseltamivir telah
direkomendasikan oleh Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI)
sebagai pengobatan COVID-19 untuk pasien dengan gejala ringan
sampai berat dengan dosis 75 mg/12 jam PO selama 5–7 hari.
Akan tetapi, tampaknya telah terjadi salah penafsiran pada awal
pandemi bahwa oseltamivir direkomendasikan oleh pedoman dari
Amerika Serikat sebagai terapi influenza musiman, sehingga obat ini
ditujukan untuk pasien dengan gejala influenza yang secara klinis bisa
saja pasien tersebut menderita COVID-19. Saat ini, oseltamivir sudah
tidak dianjurkan dalam pedoman tersebut.
Umifenovir
Umifenovir merupakan agen yang telah disetujui di negara Rusia
dan Cina sebagai terapi dan profilaksis influenza. Obat ini bekerja
dengan menginhibisi fusi virus dengan sel inang. Efikasi umifenovir
sebagai terapi COVID-19 sampai sekarang masih sangat terbatas. Studi
Wang et al menunjukkan bahwa pengobatan umifenovir dapat
meningkatkan tingkat pemulangan pasien dengan penurunan tingkat
kematian.
Namun, studi Huang et al menunjukkan bahwa tidak terdapat
bukti yang cukup untuk membuktikan penggunaan umifenovir dapat
memperbaiki luaran klinis. Berdasarkan pedoman penanganan COVID-
19 di Indonesia, penggunaan umifenovir masih tidak disarankan karena
membutuhkan studi lebih lanjut.
Nitazoxanide
Nitazoxanide merupakan obat yang telah disetujui FDA untuk
terapi diare infeksius yang berhubungan dengan parasit dan enteritis.
Beberapa studi lain juga telah menunjukkan bahwa obat ini memiliki
efek antiviral dengan mengganggu translasi seluler virus, reproduksi,
dan penyebaran virus. Walaupun berdasarkan teori obat ini dapat
menjadi salah satu pilihan terapi COVID-19, studi lebih lanjut perlu
dilakukan untuk mengevaluasi efikasi dan keamanan obat ini. Obat ini
juga masih belum disetujui penggunaannya di Indonesia.
Camostat Mesylate
Camostat mesylate merupakan obat yang telah disetujui
penggunaannya di Jepang untuk pengobatan pankreatitis. Studi telah
menunjukkan bahwa camostat mesylate dapat menginhibisi infeksi
SARS-CoV-2 dari sel paru dengan cara menghambat protease
TMPRSS2 pada sel inang yang dibutuhkan virus untuk infeksi. Sampai
sekarang, belum ada studi yang menunjukkan efikasi dan keamanan obat
ini untuk pasien COVID-19, sehingga penggunaannya masih tidak
disarankan.
Interferon Tipe I (IFN-I)
Interferon tipe I (IFN-I) merupakan salah satu sitokin yang
diproduksi saat infeksi virus. IFN-I akan dikenali oleh reseptor IFNAR
pada plasma membran kebanyakan sel dan mengaktivasi interferon-
stimulated genes (ISG) yang berperan dalam mengganggu replikasi
virus dan meningkatkan imunitas adaptif. Pada studi binatang, telah
ditemukan bahwa IFN-1 lebih sensitif terhadap SARS-CoV-2
daripada coronavirus lainnya. Sampai sekarang, studi mengenai efikasi
dan keamanan terapi IFN-1 pada pasien COVID-19 masih berlanjut.
Azithromycin
Azithromycin merupakan antibakteri yang memiliki efek
antiviral yang signifikan seperti pada virus ebola, Zika, respiratory
syncytial virus, influenza H1N1, enterovirus, dan rhinovirus.
Azithromycin dapat mengganggu masuknya virus dalam sel inang dan
meningkatkan respons imun terhadap virus. Berapa studi sudah
menunjukkan efikasi azithromycin pada COVID-19. Studi lebih lanjut
mengenai azithromycin sebagai monoterapi pada pasien COVID-19
perlu dilakukan. Berdasarkan pedoman COVID-19 di Indonesia,
pemberian azithromycin dianjurkan pada pasien yang dicurigai atau
terkonfirmasi COVID-19 dengan dosis 1x500 mg PO selama 5 hari
untuk kasus ringan dan 500 mg/24 jam IV atau PO selama 5–7 hari
untuk kasus sedang sampai berat.
Kolkisin
Kolkisin merupakan obat antiinflamasi yang umum digunakan
sebagai terapi gout. Obat ini bekerja dengan mengganggu migrasi
neutrofil ke daerah inflamasi dan menghentikan kompleks inflamasi dari
neutrofil dan monosit. Pada pasien COVID-19, efek ini berfungsi untuk
menurunkan inflamasi miosit kardiak. Efek kolkisin dalam menurunkan
badai sitokin pada pasien COVID-19 sampai sekarang masih diteliti
lebih lanjut. Penggunaan kolkisin pada pasien COVID-19 juga belum
direkomendasikan dan menunggu studi yang lebih besar.
Plasma Konvalesen
Beberapa studi menunjukkan bahwa terapi plasma konvalesen
memiliki luaran klinis yang lebih baik dan dapat menurunkan tingkat
kematian. Studi pemberian plasma konvalesen pada pasien COVID-
19 dengan gejala ringan hingga sedang sedang diteliti pada berbagai
senter uji klinis di seluruh dunia. Dosis baku yang diperlukan sampai
sekarang masih belum dapat ditentukan dan masih menunggu kepastian
dari studi di berbagai negara. Terapi ini dilakukan dengan cara
memberikan plasma pasien COVID-19 yang sudah sembuh dengan
metode plasmaferesis kepada pasien COVID-19 yang berat atau
mengancam nyawa.
1.8. Komplikasi
Komplikasi COVID-19 paling umum adalah acute respiratory distress syndrome (ARDS).
Selain itu, beberapa komplikasi lainnya, seperti syok septik dan rabdomiolisis juga dapat
terjadi. Komplikasi jangka panjang COVID-19 sampai sekarang belum diketahui(Medscape.
2020)
1. Acute Respiratory Distress Syndrome
Kerusakan dinding alveolus dan kapiler paru akibat COVID-19 dapat menyebabkan
komplikasi acute respiratory distress syndrome (ARDS). ARDS didiagnosis dengan
PaO2/FiO2 ≤300 mmHg atau SpO2/FiO2 ≤315 mmHg. Pasien lansia dengan COVID-19 dan ARDS
ditemukan memiliki risiko kematian lebih tinggi. Pasien dengan gagal napas memerlukan
intubasi endotrakeal dan ventilasi mekanik (Medscape. 2020).
2. Syok Septik
Beberapa studi telah menunjukkan bahwa syok septik merupakan salah satu
komplikasi dari COVID-19. Studi Chen et al menunjukkan bahwa 4% pasien COVID-19
mengalami komplikasi syok septik. Pada pasien syok, resusitasi cairan dan pemberian
vasopresor diperlukan untuk mempertahankan mean arterial pressure (MAP) ≥65 mmHg dan
kadar serum laktat >2 mmol/L(Medscape. 2020).
3. Rabdomiolisis
Studi oleh Jiang F et al menemukan rabdomiolisis sebagai kemungkinan komplikasi
jangka panjang pada pasien COVID-19. Hal ini ditemukan pada pasien COVID-19 berat dengan
gejala nyeri pada tungkai bawah dan fatigue. Selain itu, rabdomiolisis juga dapat
bermanifestasi klinis sebagai gagal ginjal akut dan pigmenturia. Pada studi ini, rabdomiolisis
baru terjadi pada hari ke-9 dengan gejala nyeri pada tungkai bawah, peningkatan
mioglobin, creatinine kinase (CK), laktat dehidrogenase, alanin aminotransferase, dan aspartat
aminotransferase(Medscape. 2020).
1.9. Pencegahan
Untuk mencegah penyebaran COVID-19:
1. Mencuci tangan sesering mungkin
Gunakan air hangat dan sabun dan gosok tangan kamu setidaknya selama 20 detik.
Pastikan cuci tangan kamu hingga ke pergelangan tangan, sela-sela jari dan di bawah kuku.
Kamu juga dapat menggunakan sabun antibakteri dan antivirus. Cucilah tangan kamu
beberapa kali sehari, terutama setelah menyentuh apapun termasuk ponsel atau laptop
kamu. Selain itu, sedia hand sanitizer jika ingin keluar rumah. Hal ini bisa menjadi cara
pencegahan virus utama yang dapat kamu lakukan(Medscape. 2020)
2. Hindari menyentuh wajah
SARS-CoV-2 dapat hidup di permukaan yang keras hingga 72 jam. Kamu bisa saja
terkena virus setelah kamu menyentuh gagang pintu, selang isi bensin atau bahkan ponsel
kamu. Jika hal itu terjadi, hal yang bisa kamu lakukan sebagai cara mencegah virus
COVID-19 ini dengan tidak menyentuh bagian wajah dan kepala apapun termasuk mulu,
hidung dan mata kamu. Selain itu, hindari juga kebiasaan menggigit kuku karena dapat
memberi virus corona ini peluang untuk berpindah dari tangan ke tubuh kamu(Medscape.
2020)
3. Hindari salaman atau bersentuhan dengan orang lain
Demikian pula, hindari menyentuh orang lain. Kontak kulit ke kulit dapat membuat
virus SARS-CoV-2 menyebar dari satu orang ke orang lain. Hal ini juga sebagai upaya
dalam melakukan social distancing. Untuk melakukan hal ini, kamu bisa pertahankan jarak
setidaknya 1 meter (3 kaki) dengan orang lain, khususnya dengan mereka yang sedang
batuk, bersih, dan demam.
4. Hindari pinjam meminjam barang
Jangan berbagi barang-barang pribadi seperti ponsel, makeup, atau sisir. Penting juga
untuk tidak menggunakan peralatan makan dan sedotan yang sama dengan orang lain
termasuk keluarga kamu sendiri.
5. Tutup mulut dan hidung saat batuk dan bersin
Gejala virus COVID-19 salah satunya yaitu batuk. Oleh karena itu, meskipun kamu
mengidap flu biasa penting untuk menutup hidung dan mulut ketika sedang bersin atau
batuk. Jika tidak, kamu bisa menularkan virus flu dan membuat sistem imun orang yang
ditularkan menurun. Gunakan tisu atau masker ketika sedang batuk atau bersih, dan jangan
lupa untuk selalu mencuci tangan.
6. Bersihkan barang-barang sekitar kamu
Gunakan desinfektan berbasis alkohol untuk membersihkan permukaan yang keras
barang-barang yang sering kamu gunakan seperti meja, gagang pintu, furniture, ponsel,
laptop, dan lainnya secara teratur beberapa kali sehari. Jangan lupa, untuk juga
menggunakan desinfektan setiap kamu menerima barang dari luar seperti kiriman makanan
atau paket.
7. Hindari keramaian dan berkelompok
Berada dalam keramaian atau sekelompok orang membuat kamu akan berpeluang
menularkan atau tertular virus COVID-19. Keramaian disini termasuk tempat beribadah
karena kamu mungkin harus duduk atau berdiri berdekatan dengan jemaat lain.
8. Hindari makan atau minum di tempat umum
Sekarang bukan waktunya untuk pergi makan. Kamu harus menghindari restoran,
coffee shop atau tempat nongkrong lainnya. Karena virus ini dapat ditularkan melalui
makanan, peralatan makan seperti piring, sendok dan gelas. Sebagai gantinya, kamu bisa
menggunakan jasa delivery makanan dari restoran favorit kamu. Perlu diingat untuk
memilih makanan yang dimasak hingga matang dan bisa dipanaskan kembali. Panas tinggi
(setidaknya 132 ° F / 56 ° C). Karena makanan yang dimasak hingga matang dapat
membantu untuk membunuh virus corona. Ini berarti kamu bisa menghindari makanan
mentah seperti sushi atau salad.
9. Cuci bahan makanan setelah dibeli
Cuci selalu bahan makanan yang diperoleh sebelum mengolahnya. Sebab, pada bahan
makanan bisa saja terdapat kemungkinan adanya kuman, bakteri, hingga virus COVID-19.
Kamu dapat mencuci bahan makanan sebelum disimpan di dalam lemari pendingin dengan
menggunakan larutan hidrogen peroksida ataupun cuka yang dapat membunuh bakteri,
kumandan virus dengan cukup efektif.
10. Gunakan masker
Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) menganjurkan untuk semua orang
menggunakan masker saat berada di area publik seperti supermarket. Dengan
menggunakan masker kain ini kamu sudah bisa mencegah penyebaran virus COVID-19
dari satu orang ke orang yang lain. CDC menginformasikan cara dan instruksi bagaimana
kamu bisa membuat masker kain sendiri di rumah menggunakan bahan-bahan dasar seperti
baju yang sudah tidak lagi digunakan dan gunting(Medscape. 2020)
Namun perlu diingat ada beberapa hal yang perlu diketahui:
Menggunakan masker saja tidak bisa sepenuhnya melindungi kamu dari virus COVID-
19. Kamu perlu juga menjaga kebersihan dan lakukan social distancing sebagai cara
mencegah virus corona ini.
Masker kain ini tidak seefektif menggunakan masker medis atau N95. Tapi untuk kamu
yang tidak mengalami gejala apapun cukup menggunakan masker kain saja karena
masker N95 lebih penting digunakan untuk tenaga medis.
Cuci tangan kamu sebelum dan sesudah menggunakan masker.
Cuci masker setiap habis pemakaian.
Kamu bisa mentransfer virus dari tangan ke masker yang kamu gunakan. Hindari
menyentuh bagian depan masker.
Masker tidak dianjurkan digunakan oleh anak dibawah 2 tahun atau orang yang belum
bisa atau kesulitan menggunakan atau melepas masker sendiri.
11. Lakukan self quarantine #StayDirumahAja jika sedang sakit
Hubungi tenaga medis jika kamu mengalami gejala virus COVID-19. Penting untuk
kamu untuk karantina sendiri dirumah sampai kesehatan pulih kembali. Hindari duduk,
tidur, atau makan bersama orang rumah lainnya. Gunakan masker dan cuci tangan sesering
mungkin(Medscape. 2020).
BAB II
KONSEP KEPERAWATAN
2.1 PENGKAJIAN
1. Identitas
a. Identitas Pasien
Nama : Tidak terkaji
Umur : Tidak terkaji
Agama : Tidak terkaji
Jenis Kelamin : Tidak terkaji
Status : Tidak terkaji
Pendidikan : Tidak terkaji
Pekerjaan : Tidak terkaji
Suku Bangsa : Tidak terkaji
Alamat : Tidak terkaji
Tanggal Masuk : Tidak terkaji
Tanggal Pengkajian : Tidak terkaji
No. Register : Tidak terkaji
Diagnosa Medis : COVID 19
Produksi RNA
Retikulum endoplasma
s
Virus masuk ke
saluran nafas bagian
bawah
Terjadi Peradangan
Lymphadenophaty
mediastinal
Akumulasi sel Peningkatan leukosit
monosit dan makrofag
Infitrat paru
Produski mucus
Pelepasan pyrogen
Efusi pleura endogen (Sitokinin)
Pernapasan abnormal
dan terdapat ronkhi
Difusi O2 dan CO2 terganggu
Hipothalamus
Bersihan jalan
Gangguan pertukaran Hipertermia Peningkatan set point nafas tidak efektif
gas
2.3 Diagnosis Keperawatan
NO TANGGAL/JAM DIAGNOSA KEPERAWATAN TANGGAL TERATASI TTD
DITEMUKAN
Gangguan Pertukran Gas (D.0003)
Kategori : Fisiologis
Sub kategoti : Respirasi
Definisi : Kelebihan atau kekurangan oksigenasi dan
atau eliminasi karbondioksida pada membran alveolus-
kapiler.
Peyebab :
1. Ketidakseimbangan ventilasi-perfusi
2. Perubahan membran alveolus-kapiler
Gejala dan Tanda Minor
Subjektif
1. Dipnea
Objektif
1. PCO2 meningkat0menurun
2. PO2 menurun
3. Takikardia
4. pH arteri meningkat/menurun
5. Bunyi napas tambahan
Gejala dan Tanda Mayor
Subjektif
1. Puisng
2. Penglihatan kabur
Objektif
1. Sianosis
2. Diaforesis
3. Gelisah
4. Napas cuping hidung
5. Pola napas abnormal (Cepat/lambat, regular/ireguler,
dalam/dangkal
6. Warna kulit abnormal(mis: pucat, kebiruan)
Bersihan Jalan Napas Tidak Efektif (D.0008)
Kategori : Fisiologis
Subkategori : Respirasi
Definisi : ketidakmampuan membersihkan secret atau
obstruksi jalan nafas untuk mempertahankan jalan nafas
tetap paten
Peyebab :
Fisiologis
1. Spasme jalan nafas
2. Hipersekresi jalan nafas
3. Disfungsi neuromuskuler
4. Benda asing dalam jalan nafas
5. Adanya jalan nafas buatan
6. Sekresi yang tertahan
7. Hyperplasia dinding jalan nafas
8. Proses infeksi
9. Respon alergi
10. Efek agen farmakologis (mis.anastesi)
Situasional
1. Merokok aktif
2. Merokok pasif
3. Terpajan polutan
DAFTAR PUSTAKA
Albarello, F., Pianura, E., Di Stefano, F., Cristofaro, M., Petrone, A., Marchioni, L., … ppolito, G. (2020). 2019-novel Coronavirus
severe adult respiratory distress syndrome in two cases in Italy: An uncommon radiological presentation. International Journal of
Infectious Diseases, 93( PG -), 192–197.
Cascella M, Rajnik M, Cuomo A, Dulebohn SC, Di Napoli R. Features, Evaluation and Treatment Virus corona (COVID-19).
StatPearls. 2020.
Cennimo DJ. Virus corona Disease 2019 (COVID-19). Medscape. 2020. https://emedicine.medscape.com/article/2500114-ove.
Guan, W., Ni, Z., Hu, Y., Liang, W., Ou, C., He, J., … Zhu, S. (2020). Clinical Characteristics of Coronavirus Disease 2019 in
China. New England Journal of Medicine, 1–13.
Mehta, P., McAuley, D. F., Brown, M., Sanchez, E., Tattersall, R. S., & Manson, J. J. (2020). COVID-19: consider cytokine storm
syndromes and immunosuppression. The Lancet, 395(10229), 1033–1034.
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. (2020). Panduan Praktik Klinis: Pneumonia 2019-nCoV. PDPI: Jakarta
Sahin, A. R. (2020). 2019 Novel Coronavirus (COVID-19) Outbreak: A Review of the Current Literature. Eurasian Journal of Medical
Investigation, 4(1), 1–7.