Anda di halaman 1dari 29

LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN

PADA KLIEN DENGAN PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF


KRONIK

Dosen Pengampu Mata Kuliah Keperawatan Medikal Bedah :


Ns. Yoza Misra Fatmi, S.Kep.,M.Kep., Sp. Kep.M.B

Kelompok 3 :
Dilla Dwi Rahmadhani (P032114401094)
Miftahul Ilmih (P032114401107)
Muhammad Arif Hidayat (P032114401108)
Nurhaliza (P032114401111)
Putri Andriani Br Galingging (P032114401113)
Selvi Arianti (P032114401118)

2C Keperawatan

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES RIAU


KEMENTRIAN KESEHATAN INDONESIA
JURUSAN KEPERAWATAN
2022
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kepada Allah SWT, karena atas berkat
rahmat-Nyalah tulisan ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Penulisan
naskah yang berjudul “Laporan Pendahuluan Asuhan Keperawatan dengan
Penyakit Paru Obstruktif Kronik” kami menyadari bahwa tulisan ini tidak luput
dari kekurangan kekurangan ataupun kesalahan. Hal ini disebabkan oleh
keterbatasan pengetahuan dan kemampuan yang kami miliki. Oleh karena itu,
semua kritik dan saran pembaca akan kami terima dengan senang hati demi
perbaikan naskah penulisan lebih lanjut.

Tulisan ini dapat penuh selesaikan berkat adanya bimbingan dan bantuan
dari berbagai pihak. Oleh karena itu, sudah sepantasnyalah pada kesempatan ini
kami menyampaikan ucapan terima kasih kepada semua pihak, terutama rekan
kami sekalian dan dosen yang telah memberikan masukan demi kelancaran dan
kelengkapan naskah tulisan ini. Akhimya, semoga tulisan yang jauh dari sempuma
ini ada manfaatnya.

Pekanbaru, 11 September 2022

Kelompok 3

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..........................................................................................................i

DAFTAR ISI ......................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................................1

1.1 Latar Belakang ..............................................................................................................1

1.2 Rumusan Masalah .........................................................................................................2

1.3 Tujuan ...........................................................................................................................2

1.4 Manfaat .........................................................................................................................3

BAB II TINJAUAN TEORITIS .........................................................................................4

2.1 Definisi ..........................................................................................................................4

2.2 Klasifikasi......................................................................................................................5

2.3 Etiologi...........................................................................................................................6

2.4 Patofisiologi ..................................................................................................................6

2.5 Patoflowdiagram ...........................................................................................................7

2.6 Manifestasi Klinik..........................................................................................................8

2.7 Komplikasi.....................................................................................................................8

2.8 Pemeriksaan Diagnostik ................................................................................................9

2.9 Penatalaksanaan Medis ...............................................................................................12

2.10 Pengkajian .................................................................................................................13

2.11 Diagnosis Keperawatan ............................................................................................16

2.12 Intervensi Keperawatan ............................................................................................17

ii
2.13 Implementasi Keperawatan .......................................................................................23

2.14 Evaluasi Keperawatan ...............................................................................................23

BAB III PENUTUP ..........................................................................................................24

3.1 Simpulan .....................................................................................................................24

3.2 Saran ...........................................................................................................................24

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................................25

iii
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


SARS itu singkatan dari Severe Acute Respiratory Syndrome atau Corona
Virus Pneumonia (CVP), suspek (suspect case) terjadi pada seseorang setelah
1 Februari 2003 lalu. Wabah penyakit gangguan pernapasan misterius ini terus
melanda kawasan Asia dan terus meminta korban. Seorang pasien di
Hongkong menjadi korban tewas keenam di wilayah administrative.
Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) adalah penyakit menular yang
disebabkan oleh Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus 2 (SARS-
CoV-2). SARS-CoV-2 merupakan coronavirus jenis baru yang belum pernah
diidentifikasi sebelumnya pada manusia. Ada setidaknya dua jenis coronavirus
yang diketahui menyebabkan penyakit yang dapat menimbulkan gejala berat
seperti Middle East Respiratory Syndrome (MERS) dan Severe Acute
Respiratory Syndrome (SARS).
Tanda dan gejala umum infeksi Covid-19 antara lain gejala gangguan
pernapasan akut seperti demam, batuk dan sesak napas. Masa inkubasi rata-
rata 5-6 hari dengan masa inkubasi terpanjang 14 hari. Pada kasus Covid-19
yang berat dapat menyebabkan pneumonia, sindrom pernapasan akut, gagal
ginjal, dan bahkan kematian. (Kemenkes RI, 2020).
Transmisi SARS-CoV-2 dapat terjadi melalui kontak langsung, kontak
tidak langsung, atau kontak erat dengan orang yang terinfeksi melalui sekresi
seperti air liur dan sekresi saluran pernapasan atau droplet saluran napas yang
ke luar saat orang yang terinfeksi batuk, bersin, berbicara, atau menyanyi.
(WHO, 2020). Penularan Covid-19 dapat terjadi dimana saja terutama tempat
yang terdapat banyak orang berinteraksi sosial, seperti ditempat kerja, tempat
ibadah, pusat perbelanjaan dan tempat wisata juga lingkungan sekolah yang
banyak terdapat anak-anak. (Morawska & Cao, 2020).

1
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas. rumusan masalah tulisan ini adalah
sebagai berikut:
1. Apa yang dimaksud dengan SARS?
2. Bagaimana Patofisiologi SARS?
3. Apa Saja Klasifikasi SARS?
4. Apa Penyebab dari SARS?
5. Bagaimana Gejala Klinis SARS?
6. Bagaimana Gambaran Laboratorium SARS?
7. Apa saja Komplikasi dari SARS?
8. Bagaimana Penatalaksanaan SARS?
9. Bagaimana Gambaran Patologi SARS?
10. Bagaimana Perjalanan Penyakit dan Prognosis SARS?
11. Bagaimana Diagnosis SARS?
12. Apa Diagnosis Banding SARS?
13. Bagaimana Asuhan Keperawatan Pada Klien SARS?

1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Tujuan dan maksud dari pembutan makalah ini, adalahkami
bermaksud membahas dan berbagi pengetahuan  tentang  ”Penyakit
SARS” seperti yang tertera pada rumusan masalah di atas. Kami
bertujuan & berharap semoga makalah ini dapat menjadi referensi dan
berguna bagi para pembaca.

1.3.1 Tujuan Khusus


1. Untuk mengetahui Definisi SARS.
2. Untuk mengetahui Patofisiologi SARS.
3. Untuk mengetahui Klasifikasi SARS.
4. Untuk mengetahui Penyebab dari SARS.
5. Untuk mengetahui Gejala Klinis SARS.
6. Untuk mengetahui Gambaran Laboratorium SARS.
7. Untuk mengetahui Komplikasi dari SARS.

2
8. Untuk mengetahui Gambaran Patologi SARS.
9. Untuk mengetahui Perjalanan Penyakit dan Prognosis SARS.
10. Untuk mengetahui Diagnosis SARS.
11. Untuk mengetahui Diagnosis Banding SARS.
12. Untuk mengetahui Asuhan Keperawatan Pada Klien SARS.

1.4 Manfaat
1.4.1 Masyarakat Membudayakan pengelolaan pasien penyakit SARS (Severe
Acute Respiratory Syndrome) atau Corona Virus Pneumonia (CVP).
dalam pemberian asuhan keperawatan.

1.4.2 Pengembangan Ilmu Keperawatan Menambah keluasan ilmu terapan


bidang keperawatan dalam pelaksanaan asuhan keperawatan dengan
SARS (Severe Acute Respiratory Syndrome) atau Corona Virus
Pneumonia (CVP).

3
BAB 2
TINJAUAN TEORITIS

A. Konsep Medik

2.1 Definisi
Penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) merupakan suatu kelainan
dengan ciri-ciri adanya keterbatasan aliran udara yang tidak sepenuhnya
reversible Pada klien PPOK paru-paru klien tidak dapat mengembang
sepenuhnya dikarenakan adanya sumbatan dikarenakan sekret yang
menumpuk pada paru-paru. (Lyndon Saputra, 2010). PPOK adalah penyakit
paru kronik dengan karakteristik adanya hambatan aliran udara di saluran
napas yang bersifat progresif nonreversibel atau reversibel parsial, serta
adanya respons inflamasi paru terhadap partikel atau gas yang berbahaya
(GOLD, 2009). Selain itu menurut Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK)
merupakan satu kelompok penyakit paru yang mengakibatkan obstruksi yang
menahun dan persisten dari jalan napas di dalam paru, yang termasuk dalam
kelompok ini adalah : bronchitis, emfisema paru, asma terutama yang
menahun, bronkiektasis. Arita Murwani (2011).
Penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) atau disebut juga dengan COPD
(Cronic Obstruktif Pulmonary Disease) adalah suatu penyakit yang bisa di
cegah dan diatasi yang ditandai dengan keterbatasan aliran udara yang
menetap, biasanya bersifat progresif dan terkait dengan adanya proses
inflamasi kronis saluran nafas dan paru-paru terhadap gas atau partikel
berbahaya (Ikawati, 2016). Kumar, dkk tahun 2007 menjelaskan bahwa
penyakit paru obstruktif kronis adalah penyakit yang ditandai dengan
berdasarkan uji fungsi paru terdapat bukti objektif hambatan aliran udara yang
menetap dan ireversibel. PPOK adalah suatu istilah yang sering digunakan
untuk sekelompok penyakit paru-paru yang berlangsung lama dan di tandai
oleh peningkatan retensi terhadap aliran udara sebagai gambaran patofisiologi
utamanya. ( Manurung, 2016).

4
2.2 Klasifikasi
Berdasarkan Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD)
2014, PPOK diklasifikasikan berdasarkan derajat berikut :
1. Derajat 0 (berisiko)
Gejala klinis : Memiliki satu atau lebih gejala batuk kronis, produksi
sputum, dan dispnea. Ada paparan terhadap faktor resiko. Spirometri :
Normal
2. Derajat I (PPOK ringan)
Gejala klinis : Dengan atau tanpa batuk, dengan atau tanpa produksi
sputum. Sesak napas derajat sesak 0 (tidak terganggu oleh sesak saat
berjalan cepat atau sedikit mendaki) sampai derajat sesak 1 (terganggu
oleh sesak saat berjalan cepat atau sedikit mendaki) . Spirometri :
FEV1/FVC < 70%, FEV1 ≥ 80%.
3. Derajat II (PPOK sedang)
Gejala klinis : Dengan atau tanpa batuk, dengan atau tanpa produksi
sputum, sesak napas derajat sesak 2 (jalan lebih lambat di banding orang
seumuran karna sesak saat berjalan biasa). Spirometri : FEV1/FVC < 70%;
50% < FEV1 < 80%.
4. Derajat III (PPOK berat)
Gejala klinis : Sesak napas derajat sesak 3 (berhenti untuk bernafas setelah
berjalan 100 meter/setelah berjalan beberapa menit pada ketinggian tetap)
dan 4 (sesak saat aktifitas ringan seperti berjalan keluar rumah dan
berpakaian) Eksaserbasi lebih sering terjadi. Spirometri : FEV1/FVC <
70%; 30% < FEV1 < 50%.
5. Derajat IV (PPOK sangat berat)
Gejala klinis : Pasien derajat III dengan gagal napas kronik disertai
komplikasi kor pulmonale atau gagal jantung kanan. Spirometri
FEV1/FVC < 70%; FEV1 < 30% atau < 50% (GOLD 2014).

2.3 Etiologi

5
Faktor – faktor yang menyebabkan timbulnya Penyakit Paru Obstruksi
Kronis menurut Brashers (2007) adalah :
1. Merokok merupakan > 90% resiko untuk PPOK dan sekitar 15% perokok
menderita PPOK. Beberapa perokok dianggap peka dan mengalami
penurunan fungsi paru secara cepat. Pajanan asap rokok dari lingkungan
telah dikaitkan dengan penurunan fungsi paru dan peningkatan resiko
penyakit paru obstruksi pada anak.
2. Terdapat peningkatan resiko PPOK bagi saudara tingkat pertama
perokok. Pada kurang dari 1% penderita PPOK, terdapat defek gen alfa
satu antitripsin yang diturunkan yang menyebabkan awitan awal
emfisema.
3. Infeksi saluran nafas berulang pada masa kanak – kanak berhubungan
dengan rendahnya tingkat fungsi paru maksimal yang bisa dicapai dan
peningkatan resiko terkena PPOK saat dewasa. Infeksi saluran nafas
kronis seperti adenovirus dan klamidia mungkin berperan dalam
terjadinya PPOK.
4. Polusi udara dan kehidupan perkotaan berhubungan dengan peningkatan
resiko morbiditas PPOK.

2.4 Patofisiologi
Fungsi paru mengalami kemunduran dengan datangnya usia tua yang
disebabkan elastisitas jaringan paru dan dinding dada makin berkurang. Dalam
usia yang makin lanjut, kekuatan kontraksi otot pernapasan dapat berkurang
sehingga sulit bernapas. Fungsi paru-paru menentukan konsumsi oksigen
seseorang, yakni jumlah oksigen yang diikat oleh darah dalam paru-paru
untuk digunakan tubuh. Konsumsi oksigen sangat erat hubungannya dengan
arus darah ke paru-paru. Berkurangnya fungsi paru-paru juga disebabkan oleh
berkurangnya fungsi system respirasi seperti fungsi ventilasi paru (Anderson,
2007).
Faktor-faktor risiko tersebut diatas akan mendatangkan proses inflamasi
bronkus dan juga menimbulkan kerusakan pada dinding bronkiolus terminalis.
Akibat dari kerusakan akan terjadi obstruksi bronkus kecil (bronkus
terminalis), yang mengalami penutupan atau obstruksi awal fase ekspirasi.

6
Udara yang mudah masuk ke alveoli pada saat inspirasi, pada saat ekspirasi
banyak terjebak dalam alveolus dan terjadilah penumpukan udara (air
trapping). Hal inilah yang menyebabkan adanya keluhan sesak napas dengan
segala akibatnya. Adanya obstruksi pada awal ekspirasi akan menimbulkan
kesulitan ekspirasi dan menimbulkan pemanjangan fase ekspirasi. Fungsi-
fungsi paru: ventilasi, distribusi gas, difusi gas, maupun perfusi darah akan
mengalami gangguan (Anderson, 2007).

2.5 Patoflowdiagram

7
2.6 Manifestasi Klinik
Manifestasi klinis pada pasien dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronis
adalah Perkembangan gejala-gejala yang merupakan ciri dari PPOK adalah
malfungsi kronis pada sistem pernafasan yang manifestasi awalnya ditandai
dengan batuk-batuk dan produksi dahak khususnya yang makin menjadi di
saat pagi hari. Nafas pendek sedang yang berkembang menjadi nafas pendek
akut. Batuk dan produksi dahak (pada batuk yang dialami perokok) memburuk
menjadi batuk persisten yang disertai dengan produksi dahak yang semakin
banya. Reeves (2001).
Biasanya pasien akan sering mengalami infeksi pernafasan dan kehilangan
berat badan yang cukup drastis, sehingga pada akhirnya pasien tersebut tidak
akan mampu secara maksimal melaksanakan tugas-tugas rumah tangga atau
yang menyangkut tanggung jawab pekerjaannya. Pasien mudah sekali merasa
lelah dan secara fisik banyak yang tidak mampu melakukan kegiatan sehari-
hari.
Selain itu pada pasien PPOK banyak yang mengalami penurunan berat
badan yang cukup drastis, sebagai akibat dari hilangnya nafsu makan karena
produksi dahak yang makin melimpah, penurunan daya kekuatan tubuh,
kehilangan selera makan (isolasi sosial) penurunan kemampuan pencernaan
sekunder karena tidak cukupnya oksigenasi sel dalam sistem (GI)
gastrointestinal. Pasien dengan PPOK lebih membutuhkan banyak kalori
karena lebih banyak mengeluarkan tenaga dalam melakukan pernafasan.

2.7 Komplikasi
Komplikasi Penyaki Paru Obstruktif Kronik (PPOK) Menurut Irman
Soemantri (2009) :
1. Hipoksemia
Hipoksemia didefinisikan sebagai penurunan nilai PaO2 ˂ 55 mmHg,
dengan nilai saturasi oksigen ˂85%. Pada awalnya klien akan mengalami
perubahan mood, penurunan konsentrasi dan menjadi pelupa. Pada tahap
lanjut akan menimbulkan sianosis.

8
2. Asidosis Respiratori
Timbul akibat dari peningkatan nilai PaCO2 (hiperkapnea). Tanda yang
muncul antara lain nyeri kepala, fatigue, letargi, dizzines, dan takipnea.
3. Infeksi Respiratori
Infeksi pernapasan akut disebabkan karena peningkatan produksi mucus
dan rangsangan otot polos bronkial serta edema mukosa. Terbatasnya
aliran akan menyebabkan peningkatan kerja otot napas dan timbul
dyspnea.
4. Gagal Jantung
Terutama kol purmonal (gagal jantung kana akibat penyabkit paru), harus
diobservasi terutama pada klien dengan dyspnea berat. Komplikasi ini
sering kali berhubungan dengan bronchitis kronis, tetapi klien dengan
emfisema berat juga dapat mengalami masalah ini.
5. Kardiak Disritmia
Timbul karena hipoksemia, penyakit jantung lain, efek obat atau asidosis
respiratori.
6. Status Asmatikus
Merupakan komplikasi mayor yang berhubungan dengan asma bronkial.
Penyakit ini sangat berat, potensial mengancam kehidupan, dan sering kali
tidak berespon terhadap terapi yang biasa diberikan. Penggunaan otot
bantu pernapasan dan distensi vena leher sering kali terlihat pada pada
klien dengan asma.

2.8 Pemeriksaan Diagnostik


a. Uji Faal Paru
Uji faal paru dengan menggunakan spirometri berguna untuk
menegakkan diagnosis, melihat perkembangan penyakit, dan menentukan
prognosa. Pemeriksaan ini penting untuk memperlihatkan secara obyektif
adanya obstruksi saluran nafas dalam berbagai tingkat. Spirometri harus
digunakan untuk mengukur volume maksimal udara yang dikeluarkan
setelah inspirasi maksimal, atau disebut Forced vital capacity (FVC).
Spirometri juga harus digunakan untuk mengukur volume udara yang
dikeluarkan pada satu detik pertama pada saat melakukan manuver di atas,

9
atau disebut dengan Forced Expiratory Volume in 1 second (FEV1). Rasio
dari kedua pengukuran ini juga harus dilakukan (FEV1/FVC) untuk
menentukan ada tidaknya obstruksi jalan nafas, nilai normal FEV1/FVC
adalah > 70%. Penderita PPOK secara khas akan menunjukkan penurunan
dari FEV1 dan FVC. Adanya nilai FEV1/FVC < 70% disertai dengan
hasil tes bronkodilator yang menghasilkan nilai FEV1 < 80% dari nilai
prediksi mengkonfirmasi terjadinya pembatasan aliran udara yang tidak
sepenuhnya reversibel. FEV1 merupakan parameter yang paling umum
dipakai untuk menilai beratnya PPOK dan memantau perjalanan penyakit.
FEV1 juga amat dipengaruhi oleh umur, jenis kelamin, etnis, dan tinggi
penderita, sehingga paling baik dinyatakan berdasarkan sebagai
persentase dari nilai prediksi normal.
Uji faal paru juga dapat dilakukan dengan uji bronkodilator. Uji
bronkodilator juga menggunakan spirometri. Teknik pemeriksaan ini
adalah dengan memberikan bronkodilator inhalasi sebanyak 8 hisapan,
dan 15-20 menit kemudian dilihat perubahan nilai FEV1. Bila perubahan
nilai FEV1 kurang dari 20% maka ini menunjukkan pembatasan aliran
udara yang tidak sepenuhnya reversibel. Uji ini dilakukan saat PPOK
dalam keadaan stabil (di luar eksaserbasi akut).
b. Foto Torak PA dan Lateral
Foto torak PA dan Lateral berguna untuk menyingkirkan kemungkinan
penyakit paru lain. Pada penderita emfisema dominan didapatkan
gambaran hiperinflasi, yaitu diafragma rendah dan rata, hiperlusensi,
ruang retrosternal melebar, diafragma mendatar, dan jantung yang
menggantung/penduler (memanjang tipis vertikal). Sedangkan pada
penderita bronkitis kronis dominan hasil foto thoraks dapat menunjukkan
hasil yang normal aataupun dapat terlihat corakan bronkovaskuler yang
meningkat disertai sebagian bagian yang hiperlusen.
c. Analisa Gas Darah (AGD)
Pada PPOK tingkat lanjut, pengukuran analisa gas darah amat penting
untuk dilakukan. AGD wajib dilakukan apabila nilai FEV1 pada penderita
menunjukkan nilai < 40% dari nilai prediksi dan secara klinis tampak

10
tanda- tanda kegagalan respirasi dan gagal jantung kanan seperti sianosis
sentral, pembengkakan engkel, dan peningkatan jugular venous pressure.
Analisa gas darah arteri menunjukkan gambaran yang berbeda pada
pasien dengan emfisema dominan dibandingkan dengan bronkitis kronis
dominan. Pada bronkitis kronis analisis gas darah menunjukkan
hipoksemi yang sedang sampai berat pada pemberian oksigen 100%, hal
ini menunjukkan adanya shunt kanan ke kiri. Dapat juga menunjukkan
hiperkapnia yang sesuai dengan adanya hipoventilasi alveolar, serta
asidosis respiratorik kronik yang terkompensasi. Gambaran seperti ini
disebabkan karena pada bronkitis kronis terjadi gangguan rasio
ventilasi/perfusi (V/Q ratio) yang nyata.
Sedangkan pada emfisema, rasio V/Q tidak begitu terganggu oleh
karena baik ventilasi maupun perfusi, keduanya menurun disebabkan
berkurangnya jumlah unit ventilasi dan capillary bed. Oleh karena itu
pada emfisema gambaran analisa gas darah arteri akan memperlihatkan
normoksia atau hipoksia ringan, normokapnia, dan tidak ada shunt kanan
ke kiri.
Analisa gas darah berguna untuk menilai cukup tidaknya ventilasi dan
oksigenasi, dan untuk memantau keseimbangan asam basa.
d. Pemeriksaan Sputum
Pemeriksaan bakteriologi sputum pewarnaan Gram diperlukan untuk
mengetahui pola kuman dan untuk memilih antibiotik yang tepat,
khususnya pada saat terjadinya eksaserbasi akut. Infeksi saluran napas
berulang merupakan penyebab utama eksaserbasi akut pada penderita
PPOK di Indonesia.
e. Pemeriksaan Darah Rutin
Pemeriksaan darah digunakan untuk mengetahui adanya leukositosis
pada eksaserbasi akut, polisitemia pada hipoksemia kronik, juga untuk
melihat terjadinya peningkatan hematokrit.
f. Pemeriksaan EKG
Pemeriksaan Electrocardiogram (EKG) digunakan untuk mengetahui
komplikasi pada jantung yang ditandai oleh kor pulmonale atau

11
hipertensi pulmonal.
Pemeriksaan lain yang dapat namun jarang dilakukan antara lain uji
latih kardiopulmoner, uji provokasi bronkus, CT- scan resolusi tinggi,
ecocardiografi, dan pemeriksaan kadar alpha-1 antitryipsin.

2.9 Penatalaksanaan Medis


Penatalaksanaan pada pasien dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronis
menurut Mansjoer (2002) adalah : Pencegahan yaitu mencegah kebiasaan
merokok, infeksi, polusi udara. Terapi eksasebrasi akut dilakukan dengan :
a. Antibiotik, karena eksasebrasi akut biasanya disertai infeksi. Infeksi ini
umumnya disebabkan oleh H. Influenzae dan S. Pneumonia, maka
digunakan ampisillin 4 x 0,25-0,5 g/hari atau eritromisin 4 x 0,5 g/hari.
b. Augmentin (amoksisilin dan asam kluvanat) dapat diberikan jika kuman
penyebab infeksinya adalah H. Influenzae dan B. Catarhalis yang
memproduksi beta laktamase.
c. Pemberian antibiotik seperti kotrimoksasol, amoksisilin, atau doksisilin
pada pasien yang mengalami eksasebrasi akut terbukti mempercepat
penyembuhan dam membantu mempercepat kenaikan peak flow rate.
Namun hanya dalam 7-10 hari selama periode eksasebrasi. Bila terdapat
infeksi sekunder atau tanda-tanda pneumonia, maka dianjurkan antibiotic
yang lebih kuat.
d. Terapi oksigen diberikan jika terdapat kegagalan pernafasan karena
hiperkapnia dan berkurangnya sensitivitas terhadap CO2.
e. Fisioterapi membantu pasien untuk mengeluarkan sputum dengan baik.
f. Bronkodilator untuk mengatasi, termasuk didalamnya golongan
adrenergik. Pada pasien dapat diberikan salbutamol 5 mg dan atau
ipratorium bromide 250 mikrogram diberikan tiap 6 jam dengan nebulizer
atau aminofilin 0,25- 0,5 g iv secara perlahan.
1) Terapi jangka panjang dilakukan dengan :
a. Antibiotik untuk kemoterapi preventif jangka panjang, ampisillin 4
x0,25-0,5/hari dapat menurunkan kejadian eksasebrasi akut.

12
b. Bronkodilator, tergantung tingkat reversibilitas obstruksi saluran
nafas tiap pasien maka sebelum pemberian obat ini dibutuhkan
pemeriksaan obyektif dari fungsi faal paru.
c. Fisioterapi.
d. Latihan fisik untuk meningkatkan toleransi aktivitas fisik.
e. Mukolitik dan ekspektoran.
f. Terapi jangka penjang bagi pasien yang mengalami gagal nafas
tipe II dengan PaO2.

B. Konsep Asuhan Keperawatan

2.10 Pengkajian Keperawatan


Pengkajian keperawatan harus mencakup dari manifestasi klinis dari
penyakit paru obstruktif kronis (PPOK). Pengkajian mengenai riwayat
penyakit terdahulu dapat membantu menentukan apakah pasien memiliki
kelainan lain seperti penyakit jantung yang dapat mempengaruhi terapi.
Tanyakan apakah pasien merokok, kaji masalah psikososial dan stressor
yang mungkin menjadi penyebab ekserbasi penyakit paru obstruktif kronis
(PPOK). Catat derajat dypsnea, adanya ortopnea, penurunan suara nafas, dan
gejala klinis gagal jantung. Catat oksimetri awal sebagai dasar dan jumlah
oksigen yang dihirup. Catat adanya batuk yang produktif, nyeri saat batuk,
demam, serta warna dan konsistensi sputum (Black, 2014).
a. Anamnesis
Menurut Muttaqin (2018) :
Dipsnea adalah keluhan utama penyakit paru obstruktif kronis
(PPOK). Pasien biasanya mempunyai riwayat merokok dan riwayat
batuk kronik, bertempat tinggal atau bekerja di area dengan polusi udara
berat, adanya riwayat alergi, adanya riwayat asma pada masa kanak-
kanak. Perawat perlu mengkaji riwayat atau faktor pencetus ekserbasi
yang meliputi allergen, stress emosional, peningkatan aktivitas fisik
yang berlebihan, terpapar dengan polusi udara, serta infeksi saluran
pernafasan. Perawat juga perlu mengkaji obat-obat yang biasa diminum

13
pasien, memeriksa kembali setiap jenis obat apakah masih relevan untuk
digunakan kembali.
Pengkajian pada tahap lanjut penyakit, didapatkan kadar oksigen
dalam darah rendah (hipoksemia) dan kadar karbon dioksida dalam
darah yang tinggi (hiperkapnea). Pasien rentan terhadap reaksi inflamasi
dan infeksi akibat penumpukan sekret. Setelah infeksi terjadi, gejala
yang timbul adalah adanya suara tambahan yaitu wheezing atau mengi
yang terdengar saat pasien ekspirasi.
Anoreksia, penurunan berat badan, dan kelemahan adalah hal
yang umum terjadi. Vena jugularis mungkin mengalami distensi selama
ekspirasi. Pada bagian jari sering didapatkan adanya jari tabuh (clubbing
finger) sebagai dampak dari hipoksemia yang berkepanjangan. Sebagai
pengkajian untuk menentukan predesposisi/faktor pencetus penyakit
yang mendasari, perawat perlu merujuk kembali pada penyakit yang
mendasari, yaitu asma bronkhial, bronchitis kronis, dan emfisema.
Gejala penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) terutama
berkaitan dengan respirasi.
Keluhan-keluhan yang sering muncul pada masalah pernafasan ini
harus dikaji dengan teliti karena seringkali dianggap sebagai gejala yang
biasa terjadi pada proses penuaan, menurut Depkes (2013) :
1. Batuk kronik
Batuk kronik adalah batuk hilang timbul selama 3 bulan yang tidak
hilang dengan pengobatan yang diberikan.
2. Berdahak kronik
Kadang-kadang pasien menyatakan hanya berdahak terus- menerus
tanpa disertai batuk.
3. Sesak nafas terutama saat melakukan aktivitas
Seringkali pasien yang sudah beradaptasi dengan sesak nafas yang
bersifat progresif, sehingga sesak nafas tidak dikeluhkan.
Menurut Putra TR (2013), dari anamnesis pasien penyakit paru
obstruktif kronis (PPOK) sudah dapat dicurigai pada hampir semua
pasien berdasarkan tanda dan gejala yang khas. Poin penting yang dapat

14
ditemukan pada anamnesis penyakit paru obstruktif kronis (PPOK)
diantaranya adalah :
1. Batuk yang berlangsung sudah lama dan berulang, dapat disertai
dengan produksi sputum yang awal mula sedikit dan berwarna putih
hingga kemudian menjadi banyak dan berubah warna menjadi kuning
keruh.
2. Adanya riwayat merokok atau dalam lingkungan perokok atau
menjadi perokok pasif, paparan zat iritan dalam jumlah yang cukup
banyak.
3. Riwayat penyakit emfisema pada keluarga, terdapat faktor pencetus
pada masa kecil misalnya berat badan lahir rendah (BBLR), infeksi
saluran pernafasan yang berulang, lingkungan dengan asap rokok dan
atau polusi.
4. Sesak nafas semakin lama semakin memburuk terutama saat sedang
melakukan aktivitas berat hingga terengah-engah, sesak berlangsung
lama, hingga gejala sesak nafas yang tidak hilang sama sekali, bahkan
ketika penderita sedang beristirahat, disertai dengan mengi ataupun
tidak disertai mengi.

b. Pemeriksaan Fisik Fokus


Menurut Muttaqin (2014) :
1. Inspeksi
Pada pasien dengan penyakit paru obstruktif kronis (PPOK),
terlihat adanya peningkatan dari usaha nafas dan frekuensi pernafasan,
serta pernafasan disertai dengan penggunaan otot bantu nafas
(sternocleidomastoid). Pada saat inspeksi, biasanya terlihat bentuk
dada pasien seperti tong atau biasa disebut barrel chest akibat udara
yang terperangkap di ruang paru-paru dan tidak bisa dikeluarkan,
penipisan masa otot, bernafas dengan bibir yang dirapatkan, dan
pernafasan abnormal yang tidak efektif.
Pada tahap lanjut, dypsnea terjadi pada saat beraktifitas sehari-hari
seperti berjalan dan mandi. Pengkajian batuk produktif dikaji dengan

15
melihat sputum purulent disertai dengan demam yang
mengindikasikan adanya gejala terjadinya infeksi pernafasan.
2. Palpasi
Pada palpasi, ekspansi dada pasien meningkat dan pada
pemeriksaantraktil fremitus biasanya mengalami penurunan.
3. Perkusi
Saat dilakukan perkusi dada sering didapatkan suara dada normal
hingga terdengar suara hipersonor, sedangkan diafragma
mendatar/menurun.
4. Auskultasi
Sering didapatkan adanya bunyi nafas ronchi dan wheezing sesuai
dengan tingkat keparahan obstruktif pada bronkhiolus.

2.11 Diagnosis Keperawatan


Menurut Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia (SDKI) tahun 2017,
diagnosa yang mungkin mulcul pada pasien dengan diagnosa penyakit paru
obstruktif (PPOK) adalah :
a. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan hipersekresi jalan
nafas dan sekresi yang tertahan,
b. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ketidakseimbangan
ventilasi-perfusi.
c. Gangguan ventilasi spontan berhubungan dengan kelelahan otot
pernapasan.
d. Resiko infeksi berhubungan dengan ketidak adekuatan pertahanan tubuh
primer (statis cairan tubuh).
e. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara
suplai dan kebutuhan oksigen dan dyspnea.
f. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan napas pendek, mucus,
bronkokontriksi dan iritan jalan napas.
g. Risiko perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan anoreksia.
h. Kurang perawatan diri berhubungan dengan keletihan sekunder akibat
peningkatan upaya pernapasan insufiensi ventilasi dan oksigenasi.

16
i. Gangguan pola tidur berhubugan dengan ketidaknyamanan pengaturan
posisi.
j. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurangnya informasi, tidak
mengetahui sumber informasi.

2.12 Intervensi Keperawatan


Rencana keperawatan menurut Standar Intervensi Keperawatan Indonesia
(SDKI) tahun 2018 :
No Diagnosis Tujuan dan Kriteria Intervensi
Keperawatan hasil Keperawatan
1. Bersihan jalan napas Setelah dilakukan Fisioterapi dada
tidak efektif tindakan keperawatan I.01004
berhubungan dengan diharapkan bersihan Observasi :
hipersekresi jalan jalan nafas pasien 1. Identifikasi
nafas dan sekresi meningkat dengan indikasi dilakukan
yang tertahan kriteria hasil : fisioterapi dada
1. Pasien dapat (mis. hiperekresi
mengeluarkan sputum, sputum
secret kental dan
2. Mengi/wheezing tertahan, tirah
hilang atau baring lama)
menurun 2. Identifikasi
3. Frekuensi dan kontraindikasi
pola nafas teratur fisioterapi dada
12-20 x/menit (mis. ekserbasi
4. Tidak ada penyakit paru
dipsnea obstruktif kronis
5. Tidak ada nafas (PPOK) akut,
cuping hidung pneumonia tanpa
6. Tidak produksi sputum
menggunakan berlebih, kanker
otot bantu nafas paru-paru)
7. Tidak ada 3. Minitor status

17
sianosis pernafasan(mis.
8. Pasien dapat kecepatan, irama,
mengeluarkan suara nafas, dan
secret kedalaman nafas)
9. Mudahnya pasien 4. Periksa segmen
mengeluarkan paru yang
secret mengandung
10. Produksi dahak sputum berlebih
berkurang 5. Monior jumlah dan
11. Tidak terjadi karakter sputum
obstruksi jalan 6. Monitor toleransi
nafas selama dan setelah
prosedur
Terapeutik :
1. Posisikan pasien
sesuai dengan area
paru yang
mengalami
penumpukan
sputum
2. Gunakan bantal
untuk membantu
pengaturan posisi
3. Lakukan perkusi
dengan posisi
telapak tangan
ditangkupkan
selama 3-5 menit
4. Lakukan vibrasi
dengan posisi
telapak tangan rata
bersamaan

18
ekspirasi melalui
mulut
5. Lakukan fisioterapi
dada setidaknya
dua jam setelah
makan
6. Hindari perkusi
pada tulang
belakang, ginjal,
payudara wanita,
insisi, dan tulang
rusuk yang patah
7. Lakukan
pengisapan lender
untuk
mengeluarkan
sekret, jika perlu
Edukasi :
1. Jelaskan tujuan dan
prosedur fisioterapi
dada
2. Anjurkan batuk
segera setelah
prosedur selesai
3. Ajarkan inspirasi
perlahan dan dalam
melalui hidung
selama proses
fisioterapi
2. Intoleransi aktivitas Setelah dilakukan Managemen Energi
berhubungan dengan tindakan keperawatan I.05178
ketidakseimban gan diharapkan toleransi Observasi

19
antara suplai dan aktivitas meningkat 1. Identifiksai
kebutuhan oksigen dengan kriteria hasil : gangguan fungsi
dan dypsnea 1. Frekuensi nadi yang
60- 100 x/menit mengakibatkan
2. Saturasi oksigen kelelahan
lebih dari 94% 2. Monitor kelelahan
3. Frekuensi nafas fisik dan
12 – 20 x/menit emosional
4. Tekanan darah 3. Monitor pola dan
sistolik dalam jam tidur
rentan 90-120 4. Monitor lokasi
dan diastolik 60- dan
80 mmHg ketidaknyamanan
selama melakukan
aktivitas
Terapeutik
1. Sediakan
lingkungan
nyaman dan renah
stimulus (mis.
cahaya, suara,
kunjungan)
2. Lakukan latihan
rentang gerak
aktif dan/atau
pasif
3. Berikan aktivitas
distraksi yang
menenangkan
4. Fasilitasiduduk di
sisi samping
tempat tidur, jika

20
tidak dapat
berpindah atau
berjalan

Edukasi
1. Anjurkan tirah
baring
2. Anjurkan
melakukan
aktivitas secara
bertahap
3. Anjurkan
menghubungi
perawat jika
tanda dan gejala
kelelahan tidak
berkurang
4. Ajarkan strategi
koping untuk
mengurangi
kelelahan
Kolaborasi
1. Kolaborasi dengan
ahli gizi tentang
cara
meningkatkan
asupan makanan.
3. Gangguan pola tidur Setelah dilakukan 1. Jelaskan siklus
berhubugan dengan tindakan keperawatan tidur dan
ketidaknyamanan diharapkan signifikan nya.
pengaturan posisi. kebutuhan istirahat a. Tahap I :
terpenuhi dengan Tahap antara

21
kriteria hasil : bangun dan
1. Waktu tidur tidur
rutin b. Tahap II : tidur
2. Kualitas dan tapi mudah
kuantitas tidur terbangun
baik c. Tahap II :
Tidur dalam
lebih sulit
terbangun
d. Tahap IV :
tidur paling
dalam
2. Diskusikan
perbedaan
individu dalam
kebutuhan tidru
menurut usia,
gaya hidup,
aktivitas dan
tingkat stress.
3. Tingkatkan
relaksasi, berikan
lingkungan yang
tenang, beri
ventilasi ruangan
yang baik, tutup
pintu ruangan
yang baik, tutup
pintu ruangan
pasien
4. Bila diinginkan
tinggikan kepala

22
tempa tidur
setinggi 10 inci
dan gunakan
penopang bantal
di bawah lengan

2.13 Implementasi Keperawatan


Pelaksanaan adalah realisasi rencana tindakan untuk mencapai tujuan
yang telah ditetapkan. Kegiatan dalam pelaksanaan juga meliputi
pengumpulan data berkelanjutan, mengobservasi respon pasien selama dan
sesudah pelaksanaan tindakan, serta menilai data yang baru (Budiono,
2016).

2.14 Evaluasi Keperawatan


Evaluasi keperawatan adalah penilaian dengan cara membandingkan
perubahan keadaan pasien (hasil yang diamati) dengan tujuan dan kriteria
hasil yang telah dibuat pada tahap perencanaan. Tujuan dari evaluasi antara
lain: mengakhiri rencana tindakan keperawatan, memodifikasi rencana
tindakan keperawatan, serta meneruskan rencana tindakan keperawatan
(Budiono, 2016). Setelah dilakukan tindakan fisioterapi dada, evaluasi yang
akan dilakukan kepada pasien meliputi : pengeluaran sekret, karakteristik
sekret yang keluar, status pernafasan (irama pernapasan, frekuensi,
kedalaman, suara nafas tambahan), AGD untuk mengetahui tingkat oksigen
dalam darah arteri, tingkat SPO2 dengan spirometer untuk mengetahui
tingkat oksigen dalam darah perifer, serta keluhan sesak pasien (Hidayati R,
2014).

23
BAB 3
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) atau Chronic Obstruktif
Pulmonary Disease (COPD) merupakan suatu istilah yang sering digunakan
untuk sekelompok penyakit paru-paru yang berlangsung lama dan ditandai
oleh peningkatan resistensi terhadap aliran udara sebagai gambaran
patofisiologi utamanya. Ketiga penyakit yang membentuk satu kesatuan yang
dikenal dengan COPD adalah asma bronkial, bronkitis kronis, dan emfisema
paru-paru. Sering juga penyakit ini disebut dengan Chronic Airflow
Limitation (CAL) dan Chronic Obstructive Lung Disease (COLD). Diagnosa
yang utama pada penderita PPOK yaitu Bersihan jalan napas tidak efektif b.d
peningkatan produksi sputum.

3.2 Saran
Dengan adanya studi kasus ini, diharapkan sebagai bahan acuan atau
referensi dalam memberikan pendidikan kepada mahasiswa mengenai asuhan
keperawatan pada pasien dengan Penyakit Paru Obstruktif Kronik. Dan juga
menjadi pembelajaran bagi penulis kedepannya apabila ada penambahan
informasi berikutnya.

24
DAFTAR PUSTAKA

Mengko ,Yohni Cornelis. 2018. Asuhan Keperawatan Penyakit Paru Obstruktif


Kronis (Ppok ) Pada Pasien Tn. “T” Di Ruang Bougenvil Rumah Sakit Dr.
Soedjono Magelang (KTI, Politeknik Kesehatan Kementerian Kesehatan
Yogyakarta, 2018).

Paramasivam, Komilannaath. 2017. Penyakit Paru Obstruksi Kronis (Ppok).


Fakultas Kedokteran Unud / Rsup Sanglah.

Putri, Tinela Sintya. 2017 Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan Penyakit
Paru Obstruktif Kronis Di Ruang Paru Rsup Dr. M. Djamil Padang. (Tesis,
Poltekkes Kemenkes Padang, 2017).

Dianasari, Nur. 2014. Pemberian Tindakan Batuk Efektif Terhadap Pengeluaran


Dahak Pada Asuhan Keperawatan Tn. W Dengan Penyakit Paru Obstruktif
Kronik (Ppok) Di Igd Rsud Dr. Soediran Mangun Sumarso Wonogiri.
(Tesis, Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Kusuma Husada Surakarta, 2014).

25

Anda mungkin juga menyukai