Di Susun Oleh:
Tingkat II B/Semester III
1
LEMBAR PENGESAHAN
Mengetahui,
Pembimbing Akademik Ketua Program Studi Ners,
ii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Berkat
limpahan rahmat dan karunia-Nya kami dapat menyelesaikan Laporan ini dengan
judul “Laporan Pendahuluan dan Asuhan Keperawatan Pada Tn. J Dengan
Diagnosa Medis Varicella di Ruang Kulit RSUD dr. Doris Sylvanus
Palangkaraya” Laporan ini disusun guna melengkapi tugas PPK 2.
Laporan ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu, Penulis
ingin mengucapkan terimakasih.
Penulis menyadari bahwa laporan ini mungkin terdapat kesalahan dan jauh
dari kata sempurna. Oleh karena itu, kami mengharapkan saran dan kritik yang
membangun dari pembaca dan mudah-mudahan laporan ini dapat mencapai
sasaran yang diharapkan sehingga dapat bermanfaat bagi kita semua.
Penyusun
DAFTAR ISI
iii
SAMPUL DEPAN....................................................................................................
LEMBAR
PENGESAHAN……………………………………………………....ii
KATA PENGANTAR...........................................................................................iii
DAFTAR ISI......................................................................................................... iv
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang..............................................................................................1
1.2 Rumusan
Masalah.........................................................................................2
1.3 Tujuan Penulisan..........................................................................................
2
1.3.1 Tujuan Intruksional Umum (TIU)………………………………………2
1.3.2 Tujuan Intruksional Khusus (TIK)……………………………………...2
1.4 Manfaat Penulisan.........................................................................................
2
1.4.1 Bagi Mahasiswa…………………………………………………………
2
1.4.2 Bagi Klien dan Keluarga………………………………………………..2
1.4.3 Bagi
Institusi…………………………………………………………….3
1.4.4 Untuk
IPPTEK…………………………………………………………..3
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Penyakit...........................................................................................4
2.1.1 Definisi………………………………………………………………….4
2.1.2 Anatomi
Fisiologi……………………………………………………….4
2.1.3 Etiologi………………………………………………………………….7
2.1.4 Klasifikasi………………………………………………………………8
2.1.5 Patofisiologi…………………………………………………………….9
iv
2.1.6 Menifestasi
Klinis……………………………………………………...12
2.1.7
Komplikasi……………………………………………………………..
13
2.1.8 Pemeriksaan Penunjang………....
……………………………………...13
2.1.9 Penatalaksanaan
Medis………………………………………………....14
2.2 Menejemen Asuhan
Keperawatan ..............................................................22
2.2.1 Pengkajian
Keperawatan……………………………………………….22
2.2.2 Diagnosa
Keperawatan………………………………………………...24
2.2.3 Intervensi Keperawatan………………………………………………..24
2.2.4 Implementasi
Keperawatan…………………………………………….27
2.2.5 Evaluasi
Keperawatan………………………………………………….27
BAB 3 ASUHAN KEPERAWATAN
3.1 Pengkajian.....................................................................................................28
3.2
Diagnosa........................................................................................................37
3.3
Intervensi.......................................................................................................40
3.4 Implementasi.................................................................................................44
3.5 Evaluasi.........................................................................................................44
BAB 4 PENUTUP
4.1 Kesimpulan ...................................................................................................47
4.2 Saran..............................................................................................................47
DAFTAR PUSTAKA
v
vi
BAB 1
PENDAHULUAN
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
4
5
2.1.2.1.2 Dermis
Dermis tersusun oleh sel-sel dalam berbagai bentuk dan keadaan, dermis
terutama terdiri dari serabut kolagen dan elastin. Serabut-serabut kolagen menebal
dan sintesa kolagen akan berkurang seiring dengan bertambahnya usia. Sedangkan
serabut elastin terus meningkat dan menebal, kandungan elastin kulit manusia
meningkat kira-kira 5 kali dari fetus sampai dewasa. Pada usia lanjut kolagen akan
saling bersilang dalam jumlah yang besar dan serabut elastin akan berkurang
mengakibatkan kulit terjadi kehilangan kelenturanannya dan tampak berkeriput
(Perdanakusuma, 2013).
Di dalam dermis terdapat folikel rambut, papilla rambut, kelenjar keringat,
saluran keringat, kelenjar sebasea, otot penegak rambut, ujung pembuluh darah
dan ujung saraf dan sebagian serabut lemak yang terdapat pada lapisan lemak
bawah kulit (Tranggono dan Latifah, 2013).
2.1.2.1.3 Lapisan Subkutan
Lapisan subkutan merupakan lapisan dibawah dermis yang terdiri dari
lapisan lemak. Lapisan ini terdapat jaringan ikat yang menghubungkan kulit
secara longgar dengan jaringan di bawahnya. Jumlah dan ukurannya berbeda-beda
menurut daerah tubuh dan keadaan nutrisi individu. Berfungsi menunjang suplai
darah ke dermis untuk regenerasi (Perdanakusuma, 2007).
2.1.3 Etiologi
minggu kemudian virus kembali virus kembali menyebar melalui pembuluh darah
(viremia 2) dan timbul gejala demam dan malaise. Penyebaran ke seluruh tubuh
terutama kulit dan mukosa. Lesi kulit muncul tidak bersamaan, sesuai dengan
siklus viremia. Pada keadaan normal siklus ini berakir setelah 3 hari akibat adanya
kekebalan hormonal dan selular spesifik.
2.1.4 Klasifikasi
Menurut Siti Aisyah (2003). Klasifikasi Varisela dibagi menjadi 2 :
2.1.4.1 Varisela Congenital
Varisela congenital adalah sindrom yang terdiri atas parut sikatrisial, atrofi
ekstremitas, serta kelainan mata dan susunan syaraf pusat. Sering terjadi
ensefalitis sehingga menyebabkan kerusakan neuropatiki. Risiko terjadinya
varisela congenital sangat rendah (2,2%), walaupun pada kehamilan trimester
pertama ibu menderita varisela. Varisela pada kehamilan paruh kedua jarang
sekali menyebabkan kematian bayi pada saat lahir. Sulit untuk mendiagnosis
infeksi varisela intrauterin. Tidak diketahui apakah pengobatan dengan antivirus
pada ibu dapat mencegah kelainan fetus.
timbul dalam 5-10 hari walaupun telah diberikan VZIG. Bila terjadi varisela
progresif (ensefalitis, pneumonia, varisela, hepatitis, diatesis pendarahan) harus
diobati dengan asiklovir intravena. Bayi yang terpajan dengan varisela maternal
dalam 2 bulan sejak lahir harus diawasi. Tidak ada indikasi klinis untuk
memberikan antivirus pada varisela neonatal atau asiklovir profilaksis bila
terpajan varisela maternal.
2.1.5 Patofisiologi
Patofisiologi cacar air (varicella) dimulai pada saat varicella-
zoster virus (VZV) masuk ke tubuh melalui mukosa saluran nafas atau orofaring.
Pada fase viremia pertama terjadi penyebaran virus dari lokasi masuknya virus
menuju ke pembuluh darah dan limfe. Selanjutnya VZV akan berkembang biak di
sel retikuloendotelial. Pada kebanyakan kasus, virus dapat mengatasi mekanisme
sistem imunitas tubuh non-spesifik seperti interferon.
Fase viremia kedua terjadi 14-16 hari kemudian ketika virus kembali
memasuki aliran darah. Pada saat ini akan muncul demam dan malaise. Terjadi
penyebaran virus ke seluruh tubuh, khususnya kulit dan mukosa. Infeksi VZV
pada lapisan Malphigi menghasilkan edema intraselular dan edema interselular
yang memberi gambaran khas pada bentuk vesikel. Pada keadaan normal siklus
ini akan berakhir setelah 3 hari akibat berhasilnya sistem kekebalan humoral dan
selular spesifik. Timbulnya penyulit diakibatkan kegagalan respons imun tubuh
mengatasi replikasi dan penyebaran virus.
Paparan VZV pada individu dengan sistem imunitas yang baik
menghasilkan kekebalan tubuh berupa antibodi immunoglobulin G
(IgG), immunoglobulin M (IgM) dan immunoglobulin A (IgA) yang memberikan
efek proteksi seumur hidup. Pada umumnya individu hanya mengalami satu kali
infeksi varicella sepanjang hidupnya. Jika terjadi infeksi VZV kembali mungkin
berupa penyebaran ke kulit pada herpes zoster.
Setelah infeksi primer, VZV diduga bersembunyi dalam fase latennya di
ganglion dorsalis neuron sensoris. Reaktivasi virus VZV menimbulkan
sekumpulan gejala yang disebut herpes zoster atau ruam saraf (shingles), yaitu
berupa : lesi vesikuler pada kulit yang terdistribusi hanya pada dermatom neuron
sensoris tertentu. Reaktivasi virus VZV biasanya terjadi pada usia dewasa dan
9
bertahun-tahun setelah infeksi pertama cacar air. Penderita herpes zoster juga
dapat menularkan cacar air kepada orang lain, khususnya yang belum pernah
menderita cacar air (Soedarmo, 2017)
Kontak Tidak Langsung
Kontak Langsung (droplet)
WOC Varicella 28
Masuk ke saluran
pernapasan
Menginfeksi mikrofag
dan melakukan
replikasi
Virus menyebar ke
seluruh tubuh melalui
peredaran darah
Varicella
2) Jangan berikan aspirin pda anak anda, pemakaian aspirin pada infeksi
virus (termasuk virus varisela) telah dihubungkan dengan sebuah
komplikasi fatal, yaitu Syndrom Reye.
3. Salep antibiotika : untuk mengobati ruam yang terinfeksi.
4. Antibiotika : bila terjadi komplikasi pnemonia atau infeksi bakteri pada
kulit.
5. Dapat diberikan bedak atau losio pengurang gatal (misalnya losio
kalamin).
2.2 Menejemen Asuhan Keperawatan
2.2.1 Pengkajian Keperawatan
Pengkajian merupakan tahap awal dari proses keperawatan. Disini, semua
data – data dikumpulkan secara sistematis guna menentukan status kesehatan
klien saat ini. Pengkajian harus dilakukan secara komprehensif terkait dengan
aspek biologis, psikologis, sosial, maupun spritual klien. Tujuan pengkajian
adalah untuk mengumpulkan informasi dan membuat data dasar klien. Metode
utama yang dapat digunakan dalam pengumpulan data adalah wawancara,
observasi, dan pemeriksaan fisik serta diagnostik. (Asmadi, 2008)
2.2.1.1 Identitas klien
Varisela biasanya ditemukan pada anak usia sekolah 2 – 15 tahun dan
lebih ( Jurnal e-Clinic (eCl), Volume 4, Nomor 2, Juli-Desember 2016).
2.2.1.2 Keluhan utama
Pada anak dengan Varisela biasanya memiliki keluhan seperti Hipertermi,
Nyeri, Gangguan integritas kulit dan mual muntah. Hipertermi ditemukan pada
(98%) kasus. Sedangkan Nyeri sebanyak (81%), Gangguan integritas (79%), dan
mual muntah (68%) (JBM), Volume 10, Nomor 3, November 2018, hlm.185- 189
).
2.2.1.3 Riwayat Pasien Sekarang
Yang harus dikaji adalah adakah penurunan berat badan, mual, muntah,
anoreksia, turgor kulit dan peningkatan suhu badan.
2.2.1.4 Riwayat Penyakit Dahulu
16
Yang harus dikaji antara lain penyakit anak sebelumnya, apakah pernah
dirawat di RS sebelumnya, obat – obatan yang digunakan sebelumnya, riwayat
alergi, riwayat operasi sebelumnya atau kecelakaan dan imunisasi dasar.
2.2.1.5 Riwayat Penyakit Kelurga
Yang harus dikaji adanya riwayat penyakit menular di ruang lingkup
keluarga terdekat yang berpotensi menularkan pada anak.
2.2.1.6 Pemeriksaan B1-B6
1. Breathing B1
Inspeksi bentuk dada klien apakah terdapat lesi pada dada, frekuensi nafas
dan apakah ada pernapasan cuping hidung, palpasi vocal fremitus kanan
dan kiri klien, perkusi suara sonor klien, auskultasi apakah terdapat suara
nafas tambahan atau tidak.
2. Blood B2
Inspeksi apakah terdapat lesi pada leher dan wajah, apakah terdapat
pembesaran vena jugularis, lakukan palpasi pada klien untuk mengetahui
irama nadi, auskultasi bunyi jantung kilen.
3. Brain B3
Kaji tingkan kesadaran klien dan menejemen nyeri yang di alami klien
(PQRST).
4. Bladder B4
Kaji apakah klien di harus kan memakai kateter atau tidak, apakah
sebelumnya klien mengalami gangguan pada saluran perkemihan, apakah
proses BAK lancar dan teratur, warna dan bau.
5. Bowel B5
Inspeksi abdomen klien, palpasi apakah terdapat nyeri tekan di abdomen,
apakah terdapat bising usus, apakah terdapat mual muntah dan frekuensi
mual muntah jikala terjadi.
6. Bone B6
Inspeksi lesi varisela tampak mula mula di bagian mana, periksa apakah
lesi mulai timbul sebagai macula eritematosa yang sangat gatal yang
berkembang membentuk vesikel berisi cairan jernih, apakah ada
perubahan isi vesikel menjadi berwarna keruh, periksa penyebaran erupsi
17
rasa nyeri
6. Memonitor efek samping dapat
mengetahui apakah pasien
mengalami alergi terhadap obat
yang diberikan atau tidak
Intervensi Rasional
1. Monitor kulit akan adanya 1. Mengetahui apakah ada tanda
kemerahan di kemerahan di kulit
2. Mengetahui status luka pada
2. Observasi luka : lokasi,
pasien
dimensi, 3. Mengetahui status luka pada
3. Kedalaman luka, pasien
4. Membarikan rasa nyaman
karakteristik,warna
pada klien dan mengurangi
4. Anjurkan pasien untuk kontak gesekan ke kulit
menggunakan pakaian yang 5. Mencegah terjadinya infeksi
longgar
5. Lakukan tehnik perawatan luka
dengan steril
2.3.4 Implementasi
20
Pelaksanaan adalah dari rencana tindakan yang spesifik untuk membantu klien
mencapai tujuan yang diharapkan (nursalam, 2014).
Implementasi atau tindakan adalah pengelolaan dan perwujudan dan rencana
keperawatan yang telah disusun pada tahap perencanaan. Pada tahap ini, perawat
sebaiknya tidak bekerja sendiri, tetapi perlu melibatkan secara integrasi semua
profesi kesehatan yang menjadi tim perawatan (Setiadi, 2010).
Pada langkah ini, perawat memberikan asuhan keperawatan yang
pelaksanaannya berdasarkan rencana keperawatan yang telah disesuaikan pada
langkah sebelumnya (intervensi).
2.3.5 Evaluasi
Evaluasi adalah proses yang berkelanjutan untuk menilai efek dari tindakan
keperawatan klien (Nursalam, 2014).
Evaluasi dilakukan terus menerus pada respon klien terhadap tindakan
keperawatan yang telah dilaksanakan, evaluasi dapat dibagi dua yaitu evaluasi
hasil atau formatif yang dilakukan setiap selesai melakukan tindakan dan evaluasi
proses atau sumatif yang dilakukan dengan membandingkan respon klien pada
tujuan khusus dan umum yang telah ditentukan. Evaluasi dapat dilakukan dengan
menggunakan pendekatan SOAP.
S : Respon subyektif klien terhadap tindakan yang dilaksanakan
O : Respon obyektif klien terhadap tindakan keperawatan yang di laksanakan
A : Analisa ulang atas data subyektif dan obyektif untuk menyimpulkan
apakah masalah masih tetap muncul atau ada masalah baru atau ada
masalah yang kontradiktif dengan masalah yang ada
P : Pelaksanaan atau rencana yang akan di lakukan kepada klien
Setelah dilakukan implementasi keperawatan di harapkan :
21
BAB 3
ASUHAN KEPERAWATAN
Berdasarkan hasil pengkajian tanggal 15 September 2020 pukul 09:00 WIB
didapatkan hasil
3.1 Pengkajian
3.1.1 Identitas Klien
Nama : Tn. J
Umur : 40 Tahun
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Suku/Bangsa : Dayak/Indonesia
Agama : Kristen
Pekerjaan : Buruh
Pendidikan : Sarjana Hukum
Status Perkawinan : Menikah
Alamat : Bangas Permay
TGL MRS : 14 September 2020
Diagnosa Medis : Varicella
3.1.2 Riwayat Kesehatan
3.1.2.1 Keluhan Utama
Klien mengatakan merasakan nyeri P= Beraktivitas, gerakan, Q= Seperti
terbakar, R= Kepala, leher dan abdomen, S= 7 (Nyeri), T= 1-2 menit.
3.1.2.2 Riwayat Penyakit Sekarang
Tn. J usia 40 tahun di rawat di ruang dahlia mengeluh badannya terasa
nyeri terbakar, gatal dan panas mulai 3 hari yang lalu dan muncul bintik-bintik
merah di sekujur tubuh dan wajah. Tn. J mengatakan badannya terasa panas dan
menggigil sebelum kulitnya melepuh. Hasil pemeriksaan vital sign TD: 110/80
22
Genogram :
Keterangan :
= Laki-laki
= Perempuan
= Meninggal
Hubungan keluarga
= Menikah
= Pasien
Klien nampak meringis, terlihat geliasah dan di temukan lesi berupa vesikula
berisi cairan serosa di seluruh tumbuh sampai ke wajah, lesi yang lain berwarna
lebih gelap dan mengeluarkan cairan warna putih bening da nada yang warna
kekuningan. Di daerah kulit lesi berwarna merah dan meradang.
Atropi Hipertropi
Kontraktur Malposisi
Klien mengatakan tidak ada masalah pada pola tidur Tn. J sebelum sakit klien
tidur 7 jam pada malam hari dan 1 jam pada siang hari sedangkan pada saat sudah
sakit klien mengatakan tidur 8 jam pada malam hari 2 jam pada siang hari.
Masalah Keperawatan: Tidak Ada Masalah Keperawatan
3.1.15.4 Kognitif:
Pasien dan keluarga mengatakan sudah mengetahui penyakitnya setelah
diberikan penjelasan dari dokter dan tenaga medis lainnya.
Masalah Keperawatan: Tidak Ada Masalah Keperawatan
3.1.15.5 Konsep diri (Gambaran diri, ideal diri, identitas diri, harga diri,
peran):
3.1.15.5.1 Gambaran Diri : Pasien merasa kurang percaya diri dengan kondisinya
3.1.15.5.2 Ideal Diri : Pasien mengatakan ingin segera sembuh dan pulang
kerumah
3.1.15.5.3 Identitas Diri : Pasien dapat mengenali diri sendiri
3.1.15.5.4 Harga Diri : Pasien dapat disayangi oleh anggota keluarganya saat
sakit keluarga datang menjenguk
3.1.15.5.5 Peran : Pasien adalah kepala rumah tangga
Masalah Keperawatan: Tidak Ada Masalah Keperawatan
3.1.15.6 Aktivitas Sehari-hari
Klien mengatakan sebelum sakit selalu rajin berkerja namun setelah jatuh
sakit klien hanya tebaring di kasur dengan sesekali melakukan gerakan mobilitas
yang di bantu oleh perawat dan keluarga.
Masalah Keperawatan: Tidak Ada Masalah Keperawatan
3.1.15.7 Koping-Toleransi terhadap stress
Klien mengatakan selalu mengatakan keluhan sakitnya kepada keluarga
Masalah Keperawatan: Tidak Ada Masalah Keperawatan
3.1.15.8 Nilai Pola Keyakinan
Pasien mengatakan sebelum sakit selalu rajin beribadah di gereja namun
setelah sakit pasien hanya bisa berdoa bersama kelurganya.
Masalah Keperawatan: Tidak Ada Masalah Keperawatan
3.1.16 Sosial – Spiritual
3.1.16.1 Kemampuan berkomunikasi :
Pasien dapat memahami apa yang disampaikan oleh perawat
32
Hipertermi
PRIORITAS MASALAH
Hipertemi Dalam waktu 1 x 7 jam 1. Monitor suhu sesering 1. Memonitor suhu tubuh untuk mengetahui
DS : status suhu pasien sebelum dan sesudah
setelah diberikan mungkin
1. Klien mengatakan dilakukan perawatan
tidak enak badan intervensi Hipertemi 2. Monitor intake dan output 2. Memonitor intake dan output cairan pasien
DO : untuk mengetahui apakah pasien dehidrasi
kembali efektif dengan 3. Ganti linen setiap hari
atau kebutuhan cairannya terbutuhi atau
1. Klien lemas
kreteria evaluasi : 4. Kolaborasi pemberian cairan tidak.
2. Klien namapak 3. Mengganti linen setiap hari dapat
gelisah 1. Suhu tubuh dan elektrolit intravena
membuat pasien menjadi nyaman karena
3. Terpasan infus RL menurun dengan 5. Selimuti pasien jika tidak di ganti maka akan menjadi
5% sarang bakteri
hasil 36-37 C 6. Kompres pasien pada lipat
4. Pemberian cairan lewat intravena dapat
2. Nadi dan RR paha dan aksila membantu memenuhi kebutuhan cairan
pasien dengan lebih cepat
dalam rentang 7. Tingkatkan sirkulasi udara
5. Membuat pasien merasa nyaman
normal 6. Mengompres pasien pada daerah paha dan
aksila dapat membantu menurunkan suhu
3. Tidak ada
pasien
perubahan warna 7. Suplai oksigen yang baik akan
mempercapat proses penurunan suhu
kulit dan tidak
Suplai oksigen yang baik akan
pusing mempercapat proses penurunan suhu
Gangguan integritas 1. Monitor kulit akan adanya 1. Mengetahui apakah ada tanda di
40
15 September 2020 2. Monitor intake dan output 1. Klien mengatakan sudah tidak terlalu
lemas lagi
Pukul 07:00 WIB 3. Ganti linen setiap hari
O:
Pukul 09:00 WIB 4. Kolaborasi pemberian cairan dan
1. Klien nampak lebih segar dan baik
Pukul 11:00 WIB elektrolit intravena 2. Turgor kulit cukup (Ruly
Pukul 14:00 WIB 5. Selimuti pasien 3. Klien tampak lebih tenang/rileks Ramadana)
6. Kompres pasien pada lipat paha dan A: Masalah Hipertermi teratasi
sebagian
aksila
P: Lanjutkan intervensi
7. Tingkatkan sirkulasi udara 1. Ganti linen setiap hari
2. Monitor suhu
Pukul 07.00 WIB 3. Kedalaman luka, karakteristik,warna mulai berkurang dan luka akibat
garukan sudah mengering
Pukul 09:00 WIB 4. Anjurkan pasien untuk menggunakan
O:
Pukul 11:00 WIB pakaian yang longgar
1. Luka klien mulai menghilang
Pukul 14:00 WIB 5. Lakukan tehnik perawatan luka dengan 2. Turgor kulit cukup membaik
steril 3. TTV : TD 100/70 mmHg, RR 25
x/mnt, N 80 x/mnt, T 36 C
4. Benjolan di tubung klien mulai
berkurang
A: Masalah Gangguan integritas kulit
teratasi sebagian
P: Lanjutkan intervensi
1. Observasi luka
BAB 4
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
4.2 Saran
DAFTAR PUSTAKA
41
Muttaqin, Arif. (2011). Asuhan Keperawatan dengan gangguan sistem integumen.
Jakarta: Salemba Medika
Sumarmo (2002). Nanda NIC-NOC Edisi Revisi Jilid 3 2015. Penerbit:
Mediaction
Sylvia A. Price and Lorraine M. Wilson, 2005. Patofisiologi : konsep klinis proses
– proses penyakit. Edisi 6. Jakarta : EGC
48
47
Tylor M. Cyntia & Ralph Sparks Sheila (2003). Diagnosis Keperawatan Dengan
Rencana Asuhan. Edisi 10. Penerbit Buku Kedokteran. EGC
Djuanda, Adhi. Dkk. 1999. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. FKUI : Jakarta
LAMPIRAN
LAMPIRAN
SATUAN
RENCANA KEGIATAN
49
Topik
Sasaran :
Tujuan
Tujuan Instruksional
Setelah mendapatkan penyuluhan 1x30 menit, pasien dan keluarga memahami dan
mampu melakukan tehknik napas dalam.
Metode
Media
1. Leaflet
Leaflet yang digunakan dalam media pendidikan kesehatan ini dalam bentuk
selembar mengenai informasi pengalihan rasa nyeri dengan tehknik nafas
dalam.
.3.1 Waktu Pelaksanaan
1. Hari/tanggal : Sabtu 26 September 2020
2. Pukul : 09:00 s/d
50
3. Alokasi : 10 Menit
No Kegiatan Waktu Metode
1 Pendahuluan : 2 Menit
Menjawab salam
Memberi salam dan Mendengarkan
memperkenalkan diri Menjawab
Menjelaskan maksud dan pertanyaan
tujuan penyuluhan
2 Penyajian : 5 Menit
Mendengarkan
Pengertian tehknik dengan seksama
nafas dalam Mengajukan
Manfaat nafas dalam pertanyaan
Memperaktekan nafas Memperaktikan
dalam
3 Evaluasi : 2 Menit
Menjawab
Memberikan pertanyaan Mendemontrasi
akhir dan evaluasi
4 Terminasi : 1 Menit
Mendengarkan
menyimpulkan bersama- Menjawab salam
sama hasil kegiatan
penyuluhan
menutup penyuluhan dan
mengucapkan salam
Kerangan :
: Penyaji : Pasien
: Fasilitator : Moderator
: Simolator : Dokumentator
: Keluarga Pasien
53
54
55
HERPES ZOSTER PADA GERIATRI
Saragih IV
Fakultas Kedokteran Universitas
Lampung Email:
iwanvanca_saragih@yahoo.com
Abstrak
Latar belakang. Herpes zoster merupakan penyakit kulit yang bercirikan
timbulnya ruam kulit dengan distribusi dermatomal dan disertai rasa nyeri yang
hebat. Insiden herpes zoster meningkat seiring bertambahnya usia, di mana lebih
dari 2/3 kasus terjadi pada usia lebih dari 50 tahun dan kurang dari 10% di bawah
20 tahun. Kasus. Pasien Tn. UM berumur 62 tahun dengan keluhan timbul
gelembung-gelembung berisi air sejak 3 hari yang lalu yang muncul di daerah
kepala dan wajah hanya pada bagian kanan disertai rasa panas. Pada pemeriksaan
fisik didapatkan tekanan darah 160/90 mmHg. Status lokalis pada regio temporalis
dekstra, regio oksipitalis dekstra, regio maksilaris dekstra, region nasalis dekstra,
dan regio orbita dekstra tampak makula dengan dasar kulit yang eritem ukuran
lentikuler, tampak papul multipel ukuran milier, tampak daerah erosi akibat
vesikel yang sudah pecah. Dari hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik pasien
didiagnosa dengan penyakit herpes zoster. Tatalaksana pada pasien yaitu
pemberian antivirus asiklovir 5 x 800 mg peroral selama 7 hari dan asam
mefenamat 3x500 mg sebagai analgesik Simpulan. Faktor usia dan penyakit
sistemik merupakan faktor risiko terjadinya herpes zoster. [Medula
Unila.2014;2(1) : 14-21]
Saragih IV
Medical Faculty University of Lampung
Email: iwanvanca_saragih@yahoo.com
Insiden herpes zoster tersebar merata di seluruh dunia dan dapat muncul
sepanjang tahun karena tidak dipengaruhi oleh musim. Tidak ada perbedaan
dalam morbiditas antara pria dan wanita. Berdasarkan studi di Eropa dan Amerika
Utara, diperkirakan ada sekitar 1,5-3 per 1000 orang per tahun pada segala usia
dan kejadian meningkat tajam pada usia lebih dari 60 tahun yaitu sekitar 7-11 per
1000 orang per tahun (Gnann dan Whitley, 2002). Insiden herpes zoster
meningkat seiring bertambahnya usia, di mana lebih dari 2/3 kasus terjadi pada
usia lebih dari 50 tahun dan kurang dari 10% di bawah 20 tahun (Schmader &
Oxman, 2012). Meningkatnya insidensi pada usia lanjut ini berkaitan dengan
menurunnya respon imun dimediasi sel yang dapat pula terjadi pada pasien
imunokompromais seperti pasien HIV-AIDS, pasien dengan keganasan, dan
pasien yang mendapat obat imunosupresi. Namun, insidensinya pada pasien
imunokompeten pun besar. Herpes zoster sendiri meskipun bukan penyakit yang
life-threatening, namun dapat menggangu pasien sebab dapat timbul rasa nyeri.
Lebih lanjut lagi nyeri yang dialami saat timbul lesi kulit dapat bertahan lama,
hingga berbulan-bulan lamanya sehingga dapat menggangu kualitas hidup pasien
– suatu keadaan yang disebut dengan neuralgia paska herpetika (NPH) (Johnson,
2009).
Tujuan utama terapi pada pasien herpes zoster adalah untuk membatasi
berkembangnya penyakit, durasi dan peningkatan rasa sakit dan lesi di dermatom
primer, mencegah penyakit di tempat lain, dan mencegah NPH (Prabhu, 2009)
Kasus
Pembahasan
Christo PJ, Hobelmann G, Maine DN. 2007. Post-herpetic neuralgia in older adults.
Drugs Aging Journal;24(1):1-19.
Dworkin RH, Johnson RW, Breuer J, Gnann JW, Levin MJ, Backonja M. 2007.
Recommendations for the management of herpes zoster. Clinical Infection
Disease Journal; 44:1-21.
Gnann JW, Whitley RJ. 2002. Herpes Zoster. New England Journal.
Medicine;347(5):340–6.
Johnson RW. 2010. The impact of herpes zoster and post-herpetic neuralgia on
quality of life. BioMed Central Medicine Journal;8:37-42.
Kliegman RM, Marcdante KJ, Jenson HB, Behrman RE. 2006. Nelson Essentials
of Pediatrics. Edisi ke-5. Philadelphia: Elseviers Saunders; pp.470-472.
McCrary ML, Severson J, Tyring SK. 2009. Varicella Zoster Virus. Journal of the
American Academy of Dermatology;41:1-13.
Schmader KE, Oxman MN. 2012. Varicella and Herpes Zoster. In: Wolff Kl,
Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, editors.
Fitzpatric'k Dermatology in General Medicine. 8th ed: New York : Mc Graw-
Hill;. p. 2383-401.
Weinberg JM. 2007. Herpes zoster: Epidemiology, natural history, and common
complications. Journal of the American Academy of Dermatology;57:130-5.
INFORMASI TENTANG PENYAKIT INFEKSI CACAR MONYET (Monkeypox) YANG
MENYERANG MANUSIA
Program Studi Profesi Apoteker, Fakultas Farmasi, Universitas Padjadjaran Jl. Raya Bandung-Sumedang
km.21, Jatinangor, Sumedang, 45363, Indonesia
ABSTRAK
Cacar monyet merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh orthopoxvirus. Setelah pemberantasan
cacar global pada tahun 1977, orthopoxvirus menjadi penyebab utama wabah cacar monyet pada manusia,
terutama di negara-negara di Afrika Barat dan Tengah yang biasanya terjadi di daerah terpencil. Cacar
monyet (monkeypox) memiliki manifestasi klinis seperti bentuk cacar biasa, termasuk gejala flu, demam,
malaise, sakit punggung, sakit kepala, dan ruam. Saat ini, belum ada terapi yang tepat untuk mengobati
penyakit cacar monyet yang menginfeksi manusia. Hal ini menimbulkan pemfokusan perhatian pada virus
cacar monyet sebagai potensi ancaman terhadap pemberantasan cacar. Oleh karena itu, artikel ini
bertujuan untuk memaparkan studi terkait dengan penyakit cacar monyet (monkeypox) agar masyarakat
menjadi lebih paham dan waspada terhadap virus cacar monyet (monkeypox) yang telah terjadi di dunia.
Artikel review ini menggunakan metode komparatif dari berbagai sumber artikel dan jurnal penelitian
tentang cacar monyet. Data yang tersedia dalam tinjauan ini menunjukkan betapa terbatas dan
terfragmentasi informasi tentang cacar monyet (monkeypox).
Kata kunci: Penyakit infeksi, Cacar monyet, Orthopoxvirus.
ABSTRACT
Monkey pox is an infectious disease caused by orthopoxvirus. After the eradication of global smallpox in
1977, orthopoxvirus became the leading cause of outbreak of monkey pox in humans, especially in
countries in West and Central Africa that usually occur in forested areas. Monkey pox has clinical
manifestations like ordinary smallpox, including symptoms of flu, fever, malaise, back pain, headaches,
and rash characteristics. At present, there is no appropriate therapy to treat monkey pox that infected
humans. This raises attention to the monkey poxvirus as a potential threat to the eradication of smallpox.
Therefore, this article is intend to describe the studios related to monkey pox so that people become more
aware and aware of the monkey poxvirus that has been proven to occur in the world. This article review
uses comparative method from various sources of articles and research journals about smallpox monkey.
The available data in this review demonstrate how limited and fragmented the information about monkey
pox.
Keywords: Infection disease, Monkeypox, Orthopoxvirus.
Pokok
No. Hasil Pustaka
Bahasan
1. Karakteristik Virus cacar monyet merupakan anggota keluarga (Mahendra,
Poxviridae dan subkeluarga Chordopoxvirinae dengan Mengstie, dan
genus Orthopoxvirus. Kandi, 2017).
3. Penularan Virus cacar monyet sebagian besar ditularkan melalui (WHO, 2018).
binatang liar (tikus dan primate), namun dapat juga
terjadi penularan sekunder dari manusia.
5. Patogenesis Virus cacar monnyet bereplikasi dalam jaringan limfoid. (William et al,
Virus pertama kali melokalisasi sel fagositik 2013).
mononuclear lalu masuk ke aliran darah, kemudian
terlokalisasi di dalam sel kulit.
6. Gejala Demam, ruam 2 – 3 hari dan menyebar ke lengan, kaki, (Petersen et al,
serta kepala, pembengkakan kelenjar getah bening, nyeri 2019).
punggung, sakit kepala.
and
Prevention,
2016).
10. Pencegahan Mengurangi risiko infeksi pada manusia, pendidikan (WHO, 2018).
kesehatan masyarakat, mengontrol infeksi pada fasilitas
kesehatan, pembatasan perdagangan hewan.
Karakteristik Orthopoxvirus, keluarga Poxviridae, dan sub
Virus monkeypox adalah anggota genus keluarga Chordopoxvirinae yang dapat
menginfeksi manusia, vertebrata, dan arthropoda kematian adalah anak-anak. Namun juga terkait
(Mahendra, Mengstie, dan Kandi, 2017). dengan tingkat dari paparan virus, keparahan
Poxvirus berukuran 200 hingga 250 nm yang komplikasi, dan status kesehatan penderita.
diselimuti tubulus yang khas dan komponen Secara umum, kelompok usia yang lebih muda
intinya berbentuk halter. Poxvirus memiliki memiliki resiko kematian yang lebih besar
virion yang mengandung asam deoksiribonukleat terhadap penyakit cacar monyet (Kemenkes RI,
beruntai ganda linier (dsDNA) dan enzim yang 2019).
mensintesis ribonucleic acid messenger Cara Penularan
(mRNA). Virus ini berkembang biak di
Penularan cacar monyet (monkeypox)
sitoplasma sel inang (Parker dan Buller, 2013).
kepada manusia dapat terjadi melalui kontak
Epidemiologi
langsung cairan tubuh seperti darah dan lesi kulit
Penyakit cacar monyet pertama kali
atau mukosa hewan yang terinfeksi,
menyerang manusia pada tahun 1970 di Kongo
mengonsumsi daging hewan terinfeksi yang
dan pada tahun 2003 di Amerika Serikat pada
tidak dimasak dengan benar. Lesi kulit atau
seseorang yang memiliki binatang peliharaan
mukosa hewan yang terinfeksi kemungkinan
berupa prairie dog yang terinfeksi oleh tikus dari
merupakan sumber penularan kepada manusia,
Afrika. Selanjutnya pada tahun 2017, terjadi
terutama ketika kulit manusia rusak akibat
kejadian luar biasa penyakit cacar monyet di
gigitan, goresan, atau trauma lainnya dan melalui
Nigeria selanjutnya Inggris dan Israel juga
saluran pernapasan atau selaput lendir, seperti
melaporkan adanya kasus cacar monyet pada
mulut, mata, atau hidung. Penularan sekunder
tahun 2018. Pada tahun 2019, dilaporkan ada
dari manusia juga dapat terjadi melalui plasenta
seorang warga negara Nigeria yang mengikuti
atau disebut monkeypox bawaan (Peterson et al,
sebuah lokakarya di Singapura menderita
2018).
penyakit cacar monyet,
Faktor Risiko
Saat ini, wilayah yang ditetapkan
Faktor risiko yang berhubungan dengan
sebagai darah endemik cacar monyet secara
penyakit cacar monyet di antaranya adalah
global adalah Afrika Tengah, Gabon, Kongo,
pekerjaan (petani, peternak, pemburu), jenis
Sierra Leone, Kamerun, Nigeria, Liberia, Ivory
kelamin (pria lebih besar daripada wanita), usia
Coast, dan Sudan Selatan. Kasus kematian
(usia > 36 tahun lebih rentan terkena cacar
karena penyakit cacar monyet sangat bervariasi,
monyet), kepadatan rumah tangga, kejadian
sebagian besar penderita yang mengalami
digigit hewan yang dapat terinfeksi (Claire et al,
2017).
penularan dari orang yang terinfeksi). Virus
Monkeypox dimulai dengan infeksi pada mengakibatkan viremia primer dan infeksi
kedua dermis (setelah penularan dari hewan sistemik. Viremia sekunder menyebabkan infeksi
yang terinfeksi) atau epitel pernapasan (setelah epitel, menghasilkan lesi kulit dan mukosa.
Setelah replikasi pada mukosa, virus berkembang mulai dari bintik merah menjadi
dapat ditularkan melalui sekresi orofaringeal lepuh berisi cairan bening, lepuh berisi nanah,
melalui kontak langsung. Risiko penularan kemudian mengeras dan ruptur.
kemungkinan tergantung pada kepadatan lesi Perbedaan utama dengan penyakit cacar
orofaringeal, kedekatan dan durasi kontak, dan air terletak pada gejalanya, yaitu pada penyakit
kelangsungan hidup virus terlepas dari respons cacar monyet terjadi pembengkakan kelenjar
imun inang. Virus cacar monyet mempunyai getah bening, sedangkan pada penyakit cacar air
mekanisme untuk menghindari respons imun. tidak terjadi. (Kemenkes RI, 2019).
Virus cacar monyet cenderung stabil dan jumlah
virion yang diperlukan untuk infeksi cukup
rendah, berdasarkan kesamaan potensial dengan
virus variola. Masa inkubasi dari paparan hingga
timbulnya gejala klinis dan tanda-tanda adalah
10-14 hari (William et al, 2013).
Tanda dan Gejala
Gejala awal yang timbul dari penyakit
cacar monyet adalah demam, sakit kepala, nyeri Gambar 1. Lesi pada Cacar Monyet
punggung, nyeri otot, lemas, dan pembengkakan (Monkeypox) (Public Health England, 2018).
kelenjar getah bening leher, ketiak, atau
Diagnosis
selangkangan. Setelah gejala awal (fase
prodromal) selama 1 – 3 hari akan terjadi fase Penyakit cacar monyet hanya dapat
erupsi dengan gejala munculnya ruam atau lesi didiagnosis melalui pemeriksaan laboratorium
pada kulit mulai dari wajah kemudian menyebar rujukan. Tes-tes ini didasarkan pada
secara bertahap. Ruam atau lesi pada kulit pendeteksian struktur antigenik (biasanya dari
sampel kulit atau cacar atau kadang-kadang
serum) khusus untuk virus monkeypox atau
imunoglobulin yang bereaksi dengan virus
(Kemenkes RI, 2019).
Diagnosis cacar monyet dilakukan
dengan mengisolasi virus melalui reaksi berantai
polimerase (PCR) dari spesimen klinis melalui
biopsi kulit atau kultur tenggorokan (Maksyutov,
Gavrilova, dan Shchelkunov, 2016). Sekarang
ini telah dikembangkan metode yang merupakan
kombinasi uji reaksi rantai polimerase kuantitatif
(PCR) realtime dan teknik GeneXpert laboratorium monkeypox (Li et al, 2016).
MPX/OPX yang lebih otomatis dalam diagnosis Pengembangan tes diagnostik laboratorium
adalah teknik ABICAP (Antibody Immuno ortopoxvirus. Uji klinis pada manusia
Column for Analytical Processes) dengan menunjukkan bahwa obat itu aman dan dapat
ELISA (Stern et al, 2016). ditoleransi dengan efek samping yang minor.
Prognosis Vaccinia Immune Globulin (VIG)
Prognosis pasien monkeypox dengan VIG dapat dipertimbangkan untuk
kekebalan atau masalah kesehatan lain adalah penggunaan profilaksis pada orang yang terpajan
malnutrisi atau masalah paru-paru, komplikasi dengan defisiensi imun yang parah dalam fungsi
infeksi bakteri sekunder, pneumonia, dan sel T yang vaksinasi cacar setelah terpapar
dehidrasi. Perkiraan tingkat kematian 10% yang monkeypox dikontraindikasikan (Centers for
lebih lama dipublikasikan, tetapi dalam 10-15 Disease Control and Prevention, 2016).
tahun terakhir, angka ini telah direvisi menjadi Pencegahan
kurang dari 2% orang yang terinfeksi, dengan Pencegahan terhadap penyakit cacar monyet
kasus terburuk berasal dari infeksi hewan ke dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut :
manusia, bukan orang ke orang (Patrick, 2018). 1. Menerapkan PHBS (perilaku hidup bersih
Pengobatan dan sehat), seperti cuci tangan dengan air
Cidofovir dan Brincidofovir (CMX001) dan sabun atau alkohol.
Efektivitas Cidofovir dan Brincidofovir 2. Menghindari kontak langsung dengan
dalam mengobati kasus monkeypox pada hewan (tikus atau primata), hewan liar lain,
manusia belum dapat dipastikan. Namun, dan konsumsi darah atau daging hewan liar
keduanya telah membuktikan aktivitas melawan (bush meat).
poxvirus dalam penelitian in vitro dan hewan. 3. Menghindari kontak langsung dengan orang
Brincidofovir mungkin memiliki profil yang terinfeksi atau material yang
keamanan yang lebih baik daripada Cidofovir. terkontaminasi.
Tecovirimat (ST-246) 4. Melakukan antisipasi bagi pelaku
belum dapat dipastikan. Studi menggunakan 5. Menggunakan alat pelindung diri (sarung
berbagai spesies hewan telah menunjukkan tangan, masker, dan pakaian pelindung) saat
bahwa Tecovirimat (ST-246) efektif dalam menangani pasien atau binatang yang sakit
Simpulan
Cacar monyet adalah salah satu penyakit
yang harus diperhatikan karena merupakan
masalah kesehatan yang signifikan bagi orang
yang tinggal di daerah endemis, tetapi juga merupakan masalah keamanan
kesehatan global. Intervensi yang tepat dan efektif serta kegiatan pengawasan aktif
sangat dibutuhkan untuk mencegah peningkatan kejadian cacar monyet
(monkeypox).
Data yang tersedia dalam tinjauan ini menunjukkan betapa terbatas dan
terfragmentasi informasi tentang cacar monyet (monkeypox). Meskipun ditemukan
pada tahun 1958 dan untuk pertama kalinya diketahui menginfeksi manusia pada
tahun 1970, tidak ada pedoman standar untuk manajemen klinis, terapi, ataupun
vaksin terhadap monkeypox.
Daftar Pustaka
Centers for Disease Control and Prevention. 2016. Treatment Monkeypox.
Tersedia online di
https://www.cdc.gov/poxvirus/monkeyp ox/clinicians/treatment.html
[Diakses 24
Agustus 2019].
Claire, A. Q., et al. 2017. Presumptive risk factors for monkeypox in rural
communities in the Democratic Republic of the Congo. PLOS ONE. Vol.
12 (2) : 1 – 14.
Drugs.com. 2019. Monkeypox. Tersedia online di
https://www.drugs.com/cg/monkeypox.h tml [Diakses pada 24 Agustus
2019].
Kemenkes RI. 2019. Cacar Monyet. Tersedia online di
http://infeksiemerging.kemkes.go.id [Diakses 24 Agustus 2019].
Li, D., Wilkins, K., McCollum, A.M., et al. 2017. Evaluation of the GeneXpert for
Human Monkeypox Diagnosis. The American Journal of Tropical
Medicine and Hygiene. Vol. 96 : 405-410.
Mahendra,P., Mengstie, F., dan Kandi, V. 2017. Epidemiology, Diagnosis, and
Control of Monkeypox Disease: A comprehensive Review. American
Journal of Infectious
Diseases and Microbiology. Vol. 5 (2) : 94 – 99.
Maksyutov, R.A., Gavrilova, E.V., and Shchelkunov, S.N. 2016. Species- Specific
Differentiation Of Variola, Monkeypox, And Varicella-Zoster Viruses By
Multiplex Real-Time PCR Assay. J Virol Methods. 236: 215-220.
Parker, S., dan Buller, M. 2013. A Review Of Experimental And Natural
Infections Of Animals With Monkeypox Virus Between 1958 And 2012.
Future Virol.
Vol. 8 (2) : 129 – 157.
Patrick, C. D. 2018. Monkeypox. Tersedia online di
https://www.medicinenet.com/monkeyp ox/article.htm#monkeypox_facts
[Diakses 24 Agustus 2019].
Peterson et al. 2018. Monkeypox−Enhancing Public Health Preparedness for an
Emerging Lethal Human Zoonotic Epidemic Threat in the Wake of the
Smallpox Post-Eradication Era. International Journal of Infectious
Diseases. Vol. 78 (2019) : 78 – 84.
Public Health England. 2018. Monkeypox: information for primary care. Tersedia
online di
https://www.gov.uk/guidance/monkeypo x [Diakses 24 Agustus 2019].
Reed, KD., Melski, JW., Graham, MB., Regnery, RL., Sotir, MJ., Wegner, MV.,
et al. 2004. The Detection Of Monkeypox In Humans In The Western
Hemisphere. N Engl J Med. Vol. 350 : 342 – 350.
Stern, D., Olson, V.A., Smith, S.K., et al.2016. Rapid and sensitive point-of-care
detection of Orthopoxviruses by ABICAP immunofiltration. Virology
Journal. Vol. 13 : 207.
WHO. 2018. Monkeypox. Tersedia online di https://www.who.int/news-
room/fact- sheets/detail/monkeypox [Diakses pada 24 Agustus 2019].
William, J. et al. 2013. Viral Infections with Cutaneous Lesions. HUNTER’S
TROPICAL MEDICINE AND EMERGING INFECTIOUS DISEASE. 251
– 262.