Anda di halaman 1dari 80

LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN

PADA Tn. J DENGAN DIAGNOSA MEDIS VARICELLA DI


RUANG KULIT RSUD dr. DORIS SLYVANUS
PALANGKARAYA

Di Susun Oleh:
Tingkat II B/Semester III

Ruly Ramadana 2018.C.10a.0983

YAYASAN EKA HARAP PALANGKA RAYA


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
PRODI SARJANA KEPERAWATAN
TAHUN AJARAN 2020/2021

1
LEMBAR PENGESAHAN

Laporan ini disusun oleh :


Nama : Ruly Ramadana
NIM : 2018.C.10a.0983
Program Studi : S-1 Keperawatan
Judul : Laporan Pendahuluan dan Asuhan Keperawatan Pada Tn. J
Dengan Diagnosa Medis Varicella di Ruang Kulit RSUD dr.
Doris Slyvanus Palangkaraya

Telah melakukan asuhan keperawatan sebagai persyaratan untuk menyelesaikan


Praktik Pra Klinik Keperawatan 1 Program Studi S-1 Keperawatan Sekolah
Tinggi Ilmu Kesehatan Eka Harap Palangkaraya.

Mengetahui,
Pembimbing Akademik Ketua Program Studi Ners,

Nia Pristina, S.Kep., Ners Meilitha Carolina, Ners, M.Kep.

ii
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Berkat
limpahan rahmat dan karunia-Nya kami dapat menyelesaikan Laporan ini dengan
judul “Laporan Pendahuluan dan Asuhan Keperawatan Pada Tn. J Dengan
Diagnosa Medis Varicella di Ruang Kulit RSUD dr. Doris Sylvanus
Palangkaraya” Laporan ini disusun guna melengkapi tugas PPK 2.
Laporan ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu, Penulis
ingin mengucapkan terimakasih.
Penulis menyadari bahwa laporan ini mungkin terdapat kesalahan dan jauh
dari kata sempurna. Oleh karena itu, kami mengharapkan saran dan kritik yang
membangun dari pembaca dan mudah-mudahan laporan ini dapat mencapai
sasaran yang diharapkan sehingga dapat bermanfaat bagi kita semua.

Palangka Raya, 17 September 2020

Penyusun

DAFTAR ISI

iii
SAMPUL DEPAN....................................................................................................
LEMBAR
PENGESAHAN……………………………………………………....ii
KATA PENGANTAR...........................................................................................iii
DAFTAR ISI......................................................................................................... iv
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang..............................................................................................1
1.2 Rumusan
Masalah.........................................................................................2
1.3 Tujuan Penulisan..........................................................................................
2
1.3.1 Tujuan Intruksional Umum (TIU)………………………………………2
1.3.2 Tujuan Intruksional Khusus (TIK)……………………………………...2
1.4 Manfaat Penulisan.........................................................................................
2
1.4.1 Bagi Mahasiswa…………………………………………………………
2
1.4.2 Bagi Klien dan Keluarga………………………………………………..2
1.4.3 Bagi
Institusi…………………………………………………………….3
1.4.4 Untuk
IPPTEK…………………………………………………………..3
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Penyakit...........................................................................................4
2.1.1 Definisi………………………………………………………………….4
2.1.2 Anatomi
Fisiologi……………………………………………………….4
2.1.3 Etiologi………………………………………………………………….7
2.1.4 Klasifikasi………………………………………………………………8
2.1.5 Patofisiologi…………………………………………………………….9

iv
2.1.6 Menifestasi
Klinis……………………………………………………...12
2.1.7
Komplikasi……………………………………………………………..
13
2.1.8 Pemeriksaan Penunjang………....
……………………………………...13
2.1.9 Penatalaksanaan
Medis………………………………………………....14
2.2 Menejemen Asuhan
Keperawatan ..............................................................22
2.2.1 Pengkajian
Keperawatan……………………………………………….22
2.2.2 Diagnosa
Keperawatan………………………………………………...24
2.2.3 Intervensi Keperawatan………………………………………………..24
2.2.4 Implementasi
Keperawatan…………………………………………….27
2.2.5 Evaluasi
Keperawatan………………………………………………….27
BAB 3 ASUHAN KEPERAWATAN
3.1 Pengkajian.....................................................................................................28
3.2
Diagnosa........................................................................................................37
3.3
Intervensi.......................................................................................................40
3.4 Implementasi.................................................................................................44
3.5 Evaluasi.........................................................................................................44
BAB 4 PENUTUP
4.1 Kesimpulan ...................................................................................................47
4.2 Saran..............................................................................................................47
DAFTAR PUSTAKA

v
vi
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Varisela disebabkan oleh virus herpes varicella atau disebut juga varicella
zoster virus (VZV). Varisela terkenal dengan nama chickenpox atau cacar air
adlah penyait primer VZV, yang pada umumnya menyerang anak-anak.
Sedangkan herpes zoster atau shingles merupakan suatu reaktivitas infeksi
endogen pada peidelaten VZV. Umumnya menyerang orang dewasa atau anak-
anak yang menderita defisiensi imun. Varisela sebagai penyakit virus pada anak
yang sangat menular lebih menular dari pada perotitis, tetapi kurang menular bila
dibandingkan dengan campak. (Sumarmo, 2011)
Varisela pada umunya menyerang anak-anak, di negara bermusim empat ,
90 % kasus varisela terjadi sebelum usia 15 tahun. Virus Varisela zoster adalah
patogen manusia yang menyebabkan varisela setelah infeksi primer dan herpes
zoster setelah reaktivitasi sekunder. Kedua manifestasi penyakit ini bisa pada
semua usia, namun varisela terlihat lebih umum pada anak-anak sementara herpes
zoster terutama diamati pada orang tua.
Meskipun jarang, komplikasi penyakait penyakit ini akbiat varisela bisa
berat dan mengancam jiwa terutama pada usia ektrem, selama kehamilan dan pada
immunocompromised. Vaksin Varisela yang dilemahkan telah berhasil
diformulasikan untuk mencegah varisela dan komplikasinya merupakan bagian
dari program imunisasi anak rutin di beberapa negara termsuk indonesia. (Jurnal
review of varicella zoster virus from epidemiology to preventation oleh David
Pace: Jumat 09 september 2016)
Berdasarkan uraian tersebut penulis mempunyai keinginan untuk
mengangkat kasus Varisela.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas bagaimana rencana keperawatan yang
dapat dilakukan pada pasien penderita Varisela dan bagaiamana asuhan
keperawatan kebutuhan dasar aman dan nyaman (nyeri) Pada An. R ?
2

1.3 Tujuan Penulisan


1.3.1 Tujuan Intruksional Umum (TIU)
Mahasiswa mampu melakukan dan memberikan asuhan keperawatan
dengan Vericella dan kebutuhan dasar aman dan nyaman (nyeri) pada An. R di
ruang integumen RSUD dr. Sylvanus.
1.3.2 Tujuan Intruksional Khusus (TIK)
1.3.2.1 Mahasiswa mampu menjelaskan konsep dasar penyakit Vericella.
1.3.2.2 Mahasiswa mampu menjelaskan kebutuhan dasar manusia Aman dan
Nyaman (Nyeri)
1.3.2.3 Mahasiswa mampu menjelaskan menejemen asuhan keperawatan pada
pasien Vericella dan kebutuhan dasar dengan kebutuhan dasar Aman dan
Nyaman.
1.3.2.4 Mahasiswa mampu melakukan pengkajian pada An. R.
1.3.2.5 Mahasiswa mampu menentukan dan menyusun intervensi pada An. R.
1.3.2.6 Mahasiswa mampu melaksanakan implementasi pada An. R.
1.3.2.7 Mahasiswa mampu melakukan evaluasi.
1.3.2.8 Mahasiswa mampu menyusun dokumentasi.
1.4 Manfaat Penulisan
1.4.1 Bagi Mahasiswa
Sebagai penambah pengetahuan dan refrensi bagi mahasiswa tentang
Vericella.
1.4.2 Bagi Klien dan Keluarga
Diharapkan dapat mengedukasi keluarga untuk dapat selalu menjaga
kesehatannya dan sebagai sumber informasi pada keluarga tentang Vericella.
1.4.3 Bagi Institusi
Menjadi sumber refrensi bagi institusi pendidikan maupun rumah sakit.
1.4.4 Bagi IPTEK
Hasil laporan ini diharapkan dapat memberikan manfaat peraktis dalam
keperawatan yaitu sebagai panduan perawat dalam pengelolaan kasus pada
pasien dengan Vericella.
4

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Penyakit


2.1.1 Definisi
Varisela adalah akut primer oleh virus varisela-zoster yang menyerang
kulit dan mukosa, secara klinis terdapat gejala konstitusi, kelainan kulit polimorfi,
terutama berlokasi di bagian sentral tubuh. Disebut juga cacar air, chicken pox.
Tersebar kosmopolit, menyerang terutama anak-anak. Transmisi penyakit ini
secara aerogen. Masa penularan 7hari dihitung dari timbulnya gejala kulit.(Kapita
Selekta Kedokteran,2010)
Menurut Sumarmo,2008 dalam buku NANDA NIC-NOC 2015 Varisela
disebabkan oleh virus Herpes varicella atau disebut juga varicella-zoster virus
(VZV). Varisela terkenal dengan nama chickenpox atau cacar air adalah penyakit
primer VZV, yang pada umum menyerag anak. Sedangkan herpes zoster atau
shingles merupakan suatu reaktivitas infeksi endogen pada peide laten VZV,
umumnya menyerang orang dewasa atau anak yang menderita definisi imun.
Varisela sebagai penyakit virus pada anak sangat menular, lebih menular dari
pada perotitis, tetapi kurang menular bila dibandingkan dengan campak.
Varisela merupakan penyakit akut menular yang ditandai oleh vesikel di
kulit dan selaput lendir yang disebabkan oleh virus varisella. Varisela adalah
infeksi akut prime yang menyerang kulit dan mukosa secara klinis terdapat gejala
konstitusi, kelainan kulit polimorfi terutama berlokasi di bagian sentral tubuh,
disebut juga cacar air, chicken pox (Kapita Selekta, 2000).
Jadi kesimpulannya, vericella merupakan penyakit menular yang
Penularannya dapat melalui kontak langsung dengan lesi, terutama melalui udara
2.1.2 Anatomi Fisiologi
2.1.2.1 Kulit

4
5

Kulit merupakan barier protektif yang memiliki fungsi vital seperti


perlindungan terhadap kondisi luar lingkungan baik dari pengaruh fisik maupun
pengaruh kimia, serta mencegah kelebihan kehilangan air dari tubuh dan berperan
sebagai termoregulasi. Kulit bersifat lentur dan elastis yang menutupi seluruh
permukaan tubuh dan merupakan 15% dari total berat badan orang dewasa (Paul
et al., 2011). Fungsi proteksi kulit adalah melindungi tubuh dari kehilangan cairan
elektrolit, trauma mekanik dan radiasi ultraviolet, sebagai barier dari invasi
mikroorganisme patogen, merespon rangsangan sentuhan, rasa sakit dan panas
karena terdapat banyak ujung saraf, tempat penyimpanan nutrisi dan air yang
dapat digunakan apabila terjadi penurunan volume darah dan tempat terjadinya
metabolisme vitamin D (Richardson, 2003; Perdanakusuma, 2007).
Kulit terdiri dari dua lapisan yang berbeda, lapisan luar adalah epidermis
yang merupakan lapisan epitel dan lapisan dalam yaitu dermis yang merupakan
suatu lapisan jaringan ikat.
2.1.2.1.1 Epidermis
Epidermis merupakan lapisan terluar kulit yang terdiri dari epitel berlapis
bertanduk, mengandung sel malonosit, Langerhans dan merkel. Tebal epidermis
berbeda-beda pada berbagai tempat di tubuh, paling tebal terdapat pada telapak
tangan dan kaki. Ketebalan epidermis hanya sekitar 5% dari seluruh ketebalan
kulit.
Epidermis terdiri atas lima lapisan (dari lapisan yang paling atas sampai
yang terdalam) yaitu stratum korneum, stratum lusidum, stratum granulosum,
stratum spinosum dan stratum basale (stratum Germinatum) (Perdanakusuma,
2007).
6

2.1.2.1.2 Dermis
Dermis tersusun oleh sel-sel dalam berbagai bentuk dan keadaan, dermis
terutama terdiri dari serabut kolagen dan elastin. Serabut-serabut kolagen menebal
dan sintesa kolagen akan berkurang seiring dengan bertambahnya usia. Sedangkan
serabut elastin terus meningkat dan menebal, kandungan elastin kulit manusia
meningkat kira-kira 5 kali dari fetus sampai dewasa. Pada usia lanjut kolagen akan
saling bersilang dalam jumlah yang besar dan serabut elastin akan berkurang
mengakibatkan kulit terjadi kehilangan kelenturanannya dan tampak berkeriput
(Perdanakusuma, 2013).
Di dalam dermis terdapat folikel rambut, papilla rambut, kelenjar keringat,
saluran keringat, kelenjar sebasea, otot penegak rambut, ujung pembuluh darah
dan ujung saraf dan sebagian serabut lemak yang terdapat pada lapisan lemak
bawah kulit (Tranggono dan Latifah, 2013).
2.1.2.1.3 Lapisan Subkutan
Lapisan subkutan merupakan lapisan dibawah dermis yang terdiri dari
lapisan lemak. Lapisan ini terdapat jaringan ikat yang menghubungkan kulit
secara longgar dengan jaringan di bawahnya. Jumlah dan ukurannya berbeda-beda
menurut daerah tubuh dan keadaan nutrisi individu. Berfungsi menunjang suplai
darah ke dermis untuk regenerasi (Perdanakusuma, 2007).
2.1.3 Etiologi

Menurut dalam buku NANDA NIC-NOC 2015 Varicella disebabkan oleh


Varicella Zooster Virus(VZV) yang termasuk 8 jenis Herpes Virus dari family
herpesviridae. Virus ini masuk tubuh melalui mukosa saluran nafas bagian atas
atau orofaring dan menyebar kepembuluh darah dan limfe (viremia pertama). Satu
7

minggu kemudian virus kembali virus kembali menyebar melalui pembuluh darah
(viremia 2) dan timbul gejala demam dan malaise. Penyebaran ke seluruh tubuh
terutama kulit dan mukosa. Lesi kulit muncul tidak bersamaan, sesuai dengan
siklus viremia. Pada keadaan normal siklus ini berakir setelah 3 hari akibat adanya
kekebalan hormonal dan selular spesifik.
2.1.4 Klasifikasi
Menurut Siti Aisyah (2003). Klasifikasi Varisela dibagi menjadi 2 :
2.1.4.1 Varisela Congenital
Varisela congenital adalah sindrom yang terdiri atas parut sikatrisial, atrofi
ekstremitas, serta kelainan mata dan susunan syaraf pusat. Sering terjadi
ensefalitis sehingga menyebabkan kerusakan neuropatiki. Risiko terjadinya
varisela congenital sangat rendah (2,2%), walaupun pada kehamilan trimester
pertama ibu menderita varisela. Varisela pada kehamilan paruh kedua jarang
sekali menyebabkan kematian bayi pada saat lahir. Sulit untuk mendiagnosis
infeksi varisela intrauterin. Tidak diketahui apakah pengobatan dengan antivirus
pada ibu dapat mencegah kelainan fetus.

2.1.4.2 Varisela Neonatal


Varisela neonatal terjadi bila terjadi varisela maternal antara 5 hari
sebelum sampai 2 hari sesudah kelahiran. Kurang lebih 20% bayi yang terpajan
akan menderita varisela neonatal. Sebelum penggunaan varicella-zoster immune
globulin (VZIG), kematian varisela neonatal sekitar 30%. Namun neonatus
dengan lesi pada saat lahir atau dalam 5 hari pertama sejak lahir jarang menderita
varisela berat karena mendapat antibody dari ibunya. Neonatus dapat pula tertular
dari anggota keluarga lainnya selain ibunya. Neonatus yang lahir dalam masa
risiko tinggi harus diberikan profilaksis VZIG pada saat lahir atau saat awitan
infeksi maternal bila timbul dalam 2 hari setelah lahir. Varisela neonatal biasanya
8

timbul dalam 5-10 hari walaupun telah diberikan VZIG. Bila terjadi varisela
progresif (ensefalitis, pneumonia, varisela, hepatitis, diatesis pendarahan) harus
diobati dengan asiklovir intravena. Bayi yang terpajan dengan varisela maternal
dalam 2 bulan sejak lahir harus diawasi. Tidak ada indikasi klinis untuk
memberikan antivirus pada varisela neonatal atau asiklovir profilaksis bila
terpajan varisela maternal.
2.1.5 Patofisiologi
Patofisiologi cacar air (varicella) dimulai pada saat   varicella-
zoster virus (VZV) masuk ke tubuh melalui mukosa saluran nafas atau orofaring.
Pada fase viremia pertama terjadi penyebaran virus dari lokasi masuknya virus
menuju ke pembuluh darah dan limfe. Selanjutnya VZV akan berkembang biak di
sel retikuloendotelial. Pada kebanyakan kasus, virus dapat mengatasi mekanisme
sistem imunitas tubuh non-spesifik seperti interferon.
Fase viremia kedua terjadi 14-16 hari kemudian ketika virus kembali
memasuki aliran darah. Pada saat ini akan muncul demam dan malaise. Terjadi
penyebaran virus ke seluruh tubuh, khususnya kulit dan mukosa. Infeksi VZV
pada lapisan Malphigi menghasilkan edema intraselular dan edema interselular
yang memberi gambaran khas pada bentuk vesikel. Pada keadaan normal siklus
ini akan berakhir setelah 3 hari akibat berhasilnya sistem kekebalan humoral dan
selular spesifik. Timbulnya penyulit diakibatkan kegagalan respons imun tubuh
mengatasi replikasi dan penyebaran virus.
Paparan VZV pada individu dengan sistem imunitas yang baik
menghasilkan kekebalan tubuh berupa antibodi immunoglobulin G
(IgG), immunoglobulin M (IgM) dan immunoglobulin A (IgA) yang memberikan
efek proteksi seumur hidup. Pada umumnya individu hanya mengalami satu kali
infeksi varicella sepanjang hidupnya. Jika terjadi infeksi VZV kembali mungkin
berupa penyebaran ke kulit pada herpes zoster.
Setelah infeksi primer, VZV diduga bersembunyi dalam fase latennya di
ganglion dorsalis neuron sensoris. Reaktivasi virus VZV menimbulkan
sekumpulan gejala yang disebut herpes zoster atau ruam saraf (shingles), yaitu
berupa : lesi vesikuler pada kulit yang terdistribusi hanya pada dermatom neuron
sensoris tertentu. Reaktivasi virus VZV biasanya terjadi pada usia dewasa dan
9

bertahun-tahun setelah infeksi pertama cacar air. Penderita herpes zoster juga
dapat menularkan cacar air kepada orang lain, khususnya yang belum pernah
menderita cacar air (Soedarmo, 2017)
Kontak Tidak Langsung
Kontak Langsung (droplet)
WOC Varicella 28
Masuk ke saluran
pernapasan

Menginfeksi mikrofag
dan melakukan
replikasi

Virus menyebar ke
seluruh tubuh melalui
peredaran darah

Varicella

B1 (Braithing) B2 (Blood) B3 (Brain) B4 (Bladder) B5 (Bowel) B6 (Bone)

Virus menyebar Virus menyebar ke


Virus Menyebar Replikasi di sel Virus masuk Virus masuk
ke kulit kulit dan mukosa
epidermal
Proses perlawanan
Melepas mediator
Ansietas Ansietas Vakuolisasi sel terhadap virus virus bereplikasi di
kimia bradikiinin
dan lisis epidermis
Suhu meningkat
Dyspnea Perubahan irama Nyeri pada bagian
Terjadi macula
jantung Kebutuhan cairan tubuh terjadi erupsi pada kulit
naik
Pola napas tidak Resiko Penurunan Terinfeksi Vesikel pecah , bisa
Anoreksia
efektif curah jantung Resiko ketidakseimbangan karena ada gangguan
elektrolit luar (digaruk)
Mengenai saraf nyeri
pada kulit (free nerve Suhu tubuh naik Defisit Nutrisi
ending) Gangguan
Integritas Kulit
Nyeri akut Hipertermi
12

2.1.6 Menifestasi Klinis


Masa inkubasi virus varicella berkisar antara 10-21 hari, timbul penyakit
biasanya mulai dari 14-16 hari.
Perjalanan penyakit dibagi 2 stadium yaitu,
2.1.6.1 Stadium Prodromal
24 jam sebelum kelainan kulit timbul, terdapat gejala demam, malaise, dan
nyeri kepala, dan anoreksia. Kenaikan suhu biasanya sedang, berkisar antara 100-
102 ͦ F. Pada anak-anak lebih besar dan dewasa didahului oleh demam selama 2-3
hari hari sebelumnya. (Nanda Nic Noc Jilid 3 2015)
2.1.6.2 Stadium Erupsi
2.1.6.2.1 Dimulai dengan terjadinya papula merah,kecil, yang berubah menjadi
vesikel yang berisi cairan jernih. Disusul timbulnya erupsi kulit berupa
papul eritomesa yang dalam waktu beberapa jam berubah menjadi
vesikel dengan bentuk khas berupa tetesan embun (tear drop). Vesikel
akan berbuah menjadi pustul kemudian krusta. Sementara permukan
vesikel tidak memperlihatkan cekungan di tengah. Sementara proses
ini berlangsung , timbul vesikel baru sehingga timbul gambaran
polimorfi.
2.1.6.2.2 Mula-mula timbul di badan , menyebar secara sentrifugal ke wajah dan
ekstremitas, serta dapat menyerang selaput lendir mata, mulut, dan
saluran napas atas. Pada infeksi sekunder kelenjar getah
beningregional membesar. Penyakit ini disertai rasa gatal.
2.1.6.2.3 Komplikasi jarang pada anak-anak dan lebih sering pada dewasa,
berupa ensefalitis, pneumonia, glomerulonefritis, karditis,
hepatitis,keratitis, otitis,arteritis, dan kelainan darah (beberapa macam
purpura)
2.1.6.2.4 Infeksi pada trimester pertama kehamilan dapat menimbulkan kelainan
kongenital, sedangkan pada beberapa hari menjelang kelahiran dapat
menyebabkan varicela kongenital pada neonatus. (Kapita
Selekta,Kedokteran Jilid 3)
2.1.7 Komplikasi
13

Cacar air jarang menyebabkan komplikasi. Jika terjadi komplikasi dapat


berupa infeksi kulit. Komplikasi yang paling umum ditemukan adalah :
1. Bekas luka yang menetap. Hal ini umumnya ditemukan jika cacar air terjadi
pada anak yang usianya lebih tua atau cenderung pada orang dewasa.
2. Acute Cerebral Ataxia Komplikasi ini tidak umum ditemukan dan
cenderung lebih mungkin tejadi pada anak yang lebih tua. Komplikasi ini
ditandai dengan gerakan otot yang tidak terkoordinasi sehingga anak dapat
mengalami kesulitan berjalan, kesulitan bicara, gerakan mata yang berganti-
ganti dengan cepat. Ataxia ini akan menghilang dengan sendirinya dalam
waktu beberapa minggu atau bulan.
Pada beberapa kelompok, cacar air mungkin menyebabkan komplikasi yang
serius seperti cacar air yang berat dan seluruh tubuh, pneumonia dan hepatitis
yang termasuk dalam kelompok tersebut :
1. Bayi dibawah usia 28 hari.
2. Orang dengan kekebalan tubuh rendah
3. Komplikasi yang terjadi pada orang dewasa berupa ensefalitis, pneumonia,
karditis, glomerulonefritis, hepatitis, konjungtivitis, otitis, arthritis dan
kelainan darah (beberapa macam purpura).
4. Infeksi pada ibu hamil trimester pertama dapat menimbulkan kelainan
congenital, sedangkan infeksi yang terjadi beberapa hari menjelang
kelahiran dapat menyebabkan varisela congenital pada neonatus.
2.1.8 Pemeriksaan Penunjang
2.1.8.1 Dapat dilakukan percobaan Tzanck dengan membuat sediaan hapus yang
diwarnai dengan Giemsa dan Hematoksilin Eosin. Bahan diambil dari
kerokan dasar vesikel dan akan didapati sel-sel raksasa (giant cell) yang
mempunyai inti banyak dan epitel sel berisi Acidophilic Inclusion Bodies
atau dapat juga dilakukan pengecatan dengan pewarnaan imunofluoresen,
sehingga terlihat antigen virus intrasel.
2.1.8.2 Antibodi terhadap varicella dapat dideteksi dengan pemeriksaan
Complemen Fixation Test, Neurailization Test, FAMA, IAHA, dan
ELISA.
14

2.1.8.3 Pada pemeriksaa darah tidak memberikan gambaran spesifik. Namun


dapat ditemukan leukopenia khas selama 72 jam pertama, dan selanjutnya
lekositosis menunjukkan terjadi viremia sekunder. Lekositosis yang sangat
berlebihan dapat merupakan pertanda adanya infeksi sekunder serta
disertai dengan limfositosis relatif dan absolut.
2.1.8.4 Pemeriksaan foto roentgen thorax. Bila ada demam yang sangat tinggi dan
ada gangguan pernapasan curiga terjadi komplikasi pneumonia
2.1.8.5 Pemeriksaan lainnya yaitu punksi lumbal bila ada gejala gangguan saraf
2.1.9 Penatalaksanaan
Karena umumnya bersifat ringan, kebanyakan penderita tidak memerlukan
terapi khusus selain istirahat dan pemberian asupan cairan yang cukup. Yang
justru sering menjadi masalah adalah rasa gatal yang menyertai erupsi. Bila tidak
ditahan-tahan, jari kita tentu ingin segera menggaruknya. Masalahnya,bila sampai
tergaruk hebat, dapat timbul jaringan parut pada bekas gelembung yang pecah.
Tentu tidak menarik untuk dilihat.
2.1.9.1 Umum :
1. Isolasi untuk mencegah penularan.
2. Diet bergizi tinggi (Tinggi Kalori dan Protein).
3. Bila demam tinggi, kompres dengan air hangat.
4. Upayakan agar tidak terjadi infeksi pada kulit, misalnya pemberian
antiseptik pada air mandi.
5. Upayakan agar vesikel tidak pecah.
1) Jangan menggaruk vesikel.
2) Kuku jangan dibiarkan panjang.
3) Bila hendak mengeringkan badan, cukup tepal-tepalkan handuk pda
kulit, jangan digosok.
2.1.9.2 Farmakoterapi
1. Asiklovir oral
Biasanya diberikan pada penyakit - penyakit lain yang melemah kan
daya tahan tubuh.
2. Antipiretik dan untuk menurunkan demam
1) Parasetamol atau ib uprofen.
15

2) Jangan berikan aspirin pda anak anda, pemakaian aspirin pada infeksi
virus (termasuk virus varisela) telah dihubungkan dengan sebuah
komplikasi fatal, yaitu Syndrom Reye.
3. Salep antibiotika : untuk mengobati ruam yang terinfeksi.
4. Antibiotika : bila terjadi komplikasi pnemonia atau infeksi bakteri pada
kulit.
5. Dapat diberikan bedak atau losio pengurang gatal (misalnya losio
kalamin).
2.2 Menejemen Asuhan Keperawatan
2.2.1 Pengkajian Keperawatan
Pengkajian merupakan tahap awal dari proses keperawatan. Disini, semua
data – data dikumpulkan secara sistematis guna menentukan status kesehatan
klien saat ini. Pengkajian harus dilakukan secara komprehensif terkait dengan
aspek biologis, psikologis, sosial, maupun spritual klien. Tujuan pengkajian
adalah untuk mengumpulkan informasi dan membuat data dasar klien. Metode
utama yang dapat digunakan dalam pengumpulan data adalah wawancara,
observasi, dan pemeriksaan fisik serta diagnostik. (Asmadi, 2008)
2.2.1.1 Identitas klien
Varisela biasanya ditemukan pada anak usia sekolah 2 – 15 tahun dan
lebih ( Jurnal e-Clinic (eCl), Volume 4, Nomor 2, Juli-Desember 2016).
2.2.1.2  Keluhan utama
Pada anak dengan Varisela biasanya memiliki keluhan seperti Hipertermi,
Nyeri, Gangguan integritas kulit dan mual muntah. Hipertermi ditemukan pada
(98%) kasus. Sedangkan Nyeri sebanyak (81%), Gangguan integritas (79%), dan
mual muntah (68%) (JBM), Volume 10, Nomor 3, November 2018, hlm.185- 189
).
2.2.1.3  Riwayat Pasien Sekarang
Yang harus dikaji adalah adakah penurunan berat badan, mual, muntah,
anoreksia, turgor kulit dan peningkatan suhu badan.
2.2.1.4  Riwayat Penyakit Dahulu
16

Yang harus dikaji antara lain penyakit anak sebelumnya, apakah pernah
dirawat di RS sebelumnya, obat – obatan yang digunakan sebelumnya, riwayat
alergi, riwayat operasi sebelumnya atau kecelakaan dan imunisasi dasar.
2.2.1.5  Riwayat Penyakit Kelurga
Yang harus dikaji adanya riwayat penyakit menular di ruang lingkup
keluarga terdekat yang berpotensi menularkan pada anak.
2.2.1.6 Pemeriksaan B1-B6
1. Breathing B1
Inspeksi bentuk dada klien apakah terdapat lesi pada dada, frekuensi nafas
dan apakah ada pernapasan cuping hidung, palpasi vocal fremitus kanan
dan kiri klien, perkusi suara sonor klien, auskultasi apakah terdapat suara
nafas tambahan atau tidak.
2. Blood B2
Inspeksi apakah terdapat lesi pada leher dan wajah, apakah terdapat
pembesaran vena jugularis, lakukan palpasi pada klien untuk mengetahui
irama nadi, auskultasi bunyi jantung kilen.
3. Brain B3
Kaji tingkan kesadaran klien dan menejemen nyeri yang di alami klien
(PQRST).
4. Bladder B4
Kaji apakah klien di harus kan memakai kateter atau tidak, apakah
sebelumnya klien mengalami gangguan pada saluran perkemihan, apakah
proses BAK lancar dan teratur, warna dan bau.
5. Bowel B5
Inspeksi abdomen klien, palpasi apakah terdapat nyeri tekan di abdomen,
apakah terdapat bising usus, apakah terdapat mual muntah dan frekuensi
mual muntah jikala terjadi.
6. Bone B6
Inspeksi lesi varisela tampak mula mula di bagian mana, periksa apakah
lesi mulai timbul sebagai macula eritematosa yang sangat gatal yang
berkembang membentuk vesikel berisi cairan jernih, apakah ada
perubahan isi vesikel menjadi berwarna keruh, periksa penyebaran erupsi
17

varisela, palpasi apakah akral hangat, apakah pergerakan sendi klian


terhambat.
2.2.2 Dioagnosa
2.2.2.1 Hipertermi berhubungan dengan respon tubuh terhadap virus dibuktikan
suhu tubuh yang tinggi. SDKI (D.0130 : Hal 284).
2.2.2.2 Nyeri akut berhubungan dengan lesi kulit dibuktikan dengan wajah
meringis SDKI (D.0077 : Hal 172)
2.2.2.3 Gangguan integritas kulit berhubungan dengan adanya kerusakan jaringan,
lesi. SDKI (D.0129 : Hal 282)
2.2.2.4 Pola napas tidak efektif berhubungan dengan ansietas dibuktikan dengan
dyspnea. SDKI (D.0005 : Hal 26)
2.2.2.5 Resiko penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan irama
jantung. SDKI (D.0011 : Hal 41)
2.2.2.6 Resiko ketidakseimbangan elektrolit berhubungan dengan suhu tubuh
meningkat. SDKI (D.0037 : Hal 88)
2.2.2.7 Defisit nutrisi berhubungan dengan pelepasan mediator kimia bradikinin
dibuktikan dengan anoreksia. SDKI (D.0019 : 56)
2.3.3 Intervensi
2.3.3.1 Hipertermi
Dalam waktu 1 x 7 jam setelah diberikan intervensi pola napas kembali efektif
dengan kreteria evaluasi :
1. Suhu tubuh menurun dengan hasil 36-37 C
2. Nadi dan RR dalam rentang normal
3. Tidak ada perubahan warna kulit dan tidak pusing
Intervensi Rasional
1. Monitor suhu sesering mungkin 1. Memonitor suhu tubuh untuk
2. Monitor intake dan output mengetahui status suhu pasien
3. Ganti linen setiap hari sebelum dan sesudah dilakukan
4. Kolaborasi pemberian cairan dan perawatan
elektrolit intravena 2. Memonitor intake dan output
5. Selimuti pasien cairan pasien untuk mengetahui
6. Kompres pasien pada lipat paha apakah pasien dehidrasi atau
dan aksila kebutuhan cairannya terbutuhi
7. Tingkatkan sirkulasi udara atau tidak.
3. Mengganti linen setiap hari dapat
18

membuat pasien menjadi nyaman


SIKI. Manajemen Hipertermia karena jika tidak di ganti maka
I.15506 Hal 181 akan menjadi sarang bakteri
4. Pemberian cairan lewat intravena
dapat membantu memenuhi
kebutuhan cairan pasien dengan
lebih cepat
5. Membuat pasien merasa nyaman
6. Mengompres pasien pada daerah
paha dan aksila dapat membantu
menurunkan suhu pasien
Suplai oksigen yang baik akan
mempercapat proses penurunan
suhu
7. Suplai oksigen yang baik akan
mempercapat proses penurunan
suhu

2.3.3.2 Nyeri Akut


Dalam waktu 1 x 7 jam setelah diberikan intervensi Nyeri dengan kreteria
evaluasi:

1. Menurunkan skala nyeri


2. Ekspresi klian membaik tak tampak meringis lagi
3. Membuat pasien rilex
Intervensi Rasional
1. Tentukan lokasi, karakteristik, 1. Menentukan lokasi, karakteristik,
durasi, frekuensi, kualitas, durasi, frekuensi, kualitas dan
intensitas nyeri. intensitas nyeri dapat menjadi
2. Identifikasi skala nyeri penilaian untuk mengetahui
3. Memberikan tehknik pengalihan seberapa kuat rasa nyeri yang di
rasa nyeri dengan terapi music. alami
4. Kontrol lingkungan yang 2. Identifikasi sala nyeri dapat
memperberat rasa nyeri membantu menilai efektivitas
5. Kolaborasi medis untuk pemberian perawatan yang akan di lakukan
analgesik. 3. Terapi music dapat mengalihkan
6. Memonitor efek samping rasa nyeri pasien dan dapat
penggunaan analgesic. membuat pasien rilex
4. Lingkungan yang tidak kondusif
dapat menambah parah rasa nyeri
SIKI. Manajemen Nyeri 5. Obat analgesic dapat mengurangi
I.08238 Hal 201
19

rasa nyeri
6. Memonitor efek samping dapat
mengetahui apakah pasien
mengalami alergi terhadap obat
yang diberikan atau tidak

2.3.3.3 Gangguan Integritas Kulit


Dalam waktu 1 x 7 jam setelah diberikan intervensi Gangguan integritas kulit
dengan kreteria evaluasi:

1. Tidak terdapat lesi


2. Perfusi jaringan baik

Intervensi Rasional
1. Monitor kulit akan adanya 1. Mengetahui apakah ada tanda
kemerahan di kemerahan di kulit
2. Mengetahui status luka pada
2. Observasi luka : lokasi,
pasien
dimensi, 3. Mengetahui status luka pada
3. Kedalaman luka, pasien
4. Membarikan rasa nyaman
karakteristik,warna
pada klien dan mengurangi
4. Anjurkan pasien untuk kontak gesekan ke kulit
menggunakan pakaian yang 5. Mencegah terjadinya infeksi
longgar
5. Lakukan tehnik perawatan luka
dengan steril

SIKI. Perawatan Integritas


Kulit
I.11353. Hal 316

2.3.4 Implementasi
20

Pelaksanaan adalah dari rencana tindakan yang spesifik untuk membantu klien
mencapai tujuan yang diharapkan (nursalam, 2014).
Implementasi atau tindakan adalah pengelolaan dan perwujudan dan rencana
keperawatan yang telah disusun pada tahap perencanaan. Pada tahap ini, perawat
sebaiknya tidak bekerja sendiri, tetapi perlu melibatkan secara integrasi semua
profesi kesehatan yang menjadi tim perawatan (Setiadi, 2010).
Pada langkah ini, perawat memberikan asuhan keperawatan yang
pelaksanaannya berdasarkan rencana keperawatan yang telah disesuaikan pada
langkah sebelumnya (intervensi).
2.3.5 Evaluasi
Evaluasi adalah proses yang berkelanjutan untuk menilai efek dari tindakan
keperawatan klien (Nursalam, 2014).
Evaluasi dilakukan terus menerus pada respon klien terhadap tindakan
keperawatan yang telah dilaksanakan, evaluasi dapat dibagi dua yaitu evaluasi
hasil atau formatif yang dilakukan setiap selesai melakukan tindakan dan evaluasi
proses atau sumatif yang dilakukan dengan membandingkan respon klien pada
tujuan khusus dan umum yang telah ditentukan. Evaluasi dapat dilakukan dengan
menggunakan pendekatan SOAP.
S : Respon subyektif klien terhadap tindakan yang dilaksanakan
O : Respon obyektif klien terhadap tindakan keperawatan yang di laksanakan
A : Analisa ulang atas data subyektif dan obyektif untuk menyimpulkan
apakah masalah masih tetap muncul atau ada masalah baru atau ada
masalah yang kontradiktif dengan masalah yang ada
P : Pelaksanaan atau rencana yang akan di lakukan kepada klien
Setelah dilakukan implementasi keperawatan di harapkan :
21

BAB 3
ASUHAN KEPERAWATAN
Berdasarkan hasil pengkajian tanggal 15 September 2020 pukul 09:00 WIB
didapatkan hasil
3.1 Pengkajian
3.1.1 Identitas Klien
Nama : Tn. J
Umur : 40 Tahun
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Suku/Bangsa : Dayak/Indonesia
Agama : Kristen
Pekerjaan : Buruh
Pendidikan : Sarjana Hukum
Status Perkawinan : Menikah
Alamat : Bangas Permay
TGL MRS : 14 September 2020
Diagnosa Medis : Varicella
3.1.2 Riwayat Kesehatan
3.1.2.1 Keluhan Utama
Klien mengatakan merasakan nyeri P= Beraktivitas, gerakan, Q= Seperti
terbakar, R= Kepala, leher dan abdomen, S= 7 (Nyeri), T= 1-2 menit.
3.1.2.2 Riwayat Penyakit Sekarang
Tn. J usia 40 tahun di rawat di ruang dahlia mengeluh badannya terasa
nyeri terbakar, gatal dan panas mulai 3 hari yang lalu dan muncul bintik-bintik
merah di sekujur tubuh dan wajah. Tn. J mengatakan badannya terasa panas dan
menggigil sebelum kulitnya melepuh. Hasil pemeriksaan vital sign TD: 110/80
22

mmHg, N: 80x/M, S: 37,80C, RR: 22x/M. Dari Hasil Pemeriksaan Fisik di


temukan lesi berupa vesikula berisi cairan serosa di seluruh tumbuh sampai ke
wajah, lesi yang lain berwarna lebih gelap dan mengeluarkan cairan warna putih
bening da nada yang warna kekuningan. Di daerah kulit lesi berwarna merah dan
meradang. Tn. J di diagnosis Varisella.
3.1.2.3 Riwayat Penyakit Sebelumnya
Klien mengatakan sebelumnya tidak pernah mengalami keluhan seperti ini dan
belum pernah di rawat di rumah sakit sebelumnya.
3.1.2.4 Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada anggota keluarga yang menderita penyakit yang sama dengan
klien.

Genogram :

Keterangan :
= Laki-laki
= Perempuan
= Meninggal
Hubungan keluarga
= Menikah

= Pasien

3.1.3 Pemeriksaan Fisik


3.1.3.1 Keadaan Umum
23

Klien nampak meringis, terlihat geliasah dan di temukan lesi berupa vesikula
berisi cairan serosa di seluruh tumbuh sampai ke wajah, lesi yang lain berwarna
lebih gelap dan mengeluarkan cairan warna putih bening da nada yang warna
kekuningan. Di daerah kulit lesi berwarna merah dan meradang.

3.1.3.2 Status Mental


3.1.3.2.1 Tingkat Kesadaran : Compos metis
3.1.3.2.2 Ekspresi Wajah : Nampak pucat dan gelisah.
3.1.3.2.3 Bentuk Badan : Simetris
3.1.3.2.4 Cara Berbaring/Bergerak : Semi Fowler / Baik
3.1.3.2.5 Berbicara : Pasian dapat berkomunikasi dengan
perawat
3.1.3.2.6 Suasana Hati : Sedih
3.1.3.2.7 Penampilan : Rapi
3.1.3.2.8 Fungsi Kognitif:
 Orientasi Waktu : Pasien dapat menyadari waktu siang,sore, dan
malam
 Orientasi Orang : Pasien dapat mengenali perawat dan keluarganya
 Orientasi Tempat : Pasien dapat mengetahui sedang di rawat di ruang
mana
3.1.3.2.9 Halusinasi : Tidak Ada
3.1.3.2.10 Proses Berpikir : Cricumstansial
3.1.3.2.11 Insight : Baik
3.1.3.2.12 Mekanisme Pertahanan Diri : Adaptif
Keluhan Lainnya : Tidak Ada Keluhan
3.1.4 Tanda-tanda Vital
3.1.4.1 Suhu/T : 37,8 oC Axilla
3.1.4.2 Nadi/HR : 80 x/menit
3.1.4.3 Pernapasan/RR : 22 x/menit
3.1.4.4 Tekanan Darah/BP : 110/80 mmHg
3.1.5 Pernapasan (Breathing)
Bentuk Dada : Simetris
24

Kebiasaan Merokok : 5 sampai 6 batang/hari


 Batuk : Tidak ada
 Batuk darah : Tidak Ada
 Sputum : Tidak Ada
 Sianosis : Tidak ada
 Nyeri Dada : Tidak Ada
 Dyspnea  Orthopnea  Lainnya: Tidak Ada
 Sesak Nafas  Saat inspirasi  Saat aktivitas  Saat istirahat
Type Pernapasan :  Dada  Perut  Dada dan Perut
 Kusmaul  Cheyne-stokes  Biot
 Lainnya: Tidak Ada
Irama Pernapasan :  Teratur Tidak Teratur
Suara Napas :  Vesikuler  Bronchovesikuler
 Bronchial  Trakeal
Suara Napas Tambahan :  Wheezing  Rochi kering
 Ronchi basah  Lainnya: Mengi
Keluhan Lainnya : Tidak ada keluhan
Masalah Keperawatan : Tidak ada masalah keperawatan
3.1.6 Cardiovasculer (Bleeding)
 Nyeri dada  Kram kaki  Pucat
 Pusing/sinkop  Clubing finger  Sianosis
 Sakit kepala  Palpitasi  Pingsan
 Capillary refill time > 2 detik < 2 detik
 Oedema:  Wajah  Ekstrimitas atas
 Anasarka  Ekstrimitas bawah
 Asites
 Ictus Cordis  Terlihat  Tidak Terlihat
Vena Jugularis  Tidak Meningkat  Meningkat
Suara Jantung “Lup Dup”
Keluhan Lainnya: Tidak ada keluhan
Masalah Keperawatan: Tidak ada masalah
3.1.7 Persyarafan (Brain)
25

Nilai GCS : E (Eye : Respon membuka mata) : 4 (spontan atau membuka


mata dengan sendirinya tanpa dirangsang)
V (Verbal : Respon verbal atau ucapan : 5 (orientasi baik,
bicaranya jelas)
M (Motorik : Gerakan) : 6 (mengikuti perintah pemeriksa)
Total Nilai GCS : 15 (Composmenthis)
Kesadaran:  Compos Menthis  Somnolent  Delirium
 Apatis  Soporus  Coma
Pupil :  Isokor  Anisokor
 Midriasis  Meiosis
Reflek Cahaya:  Kanan  Positif  Negatif
 Kiri  Positif  Negatif
 Nyeri, lokasi : Kepala, leher sampai abdomen
 Vertigo  Gelisah  Aphasia  Kesemutan
 Bingung  Disarthria  Kejang  Tremor
 Pelo
Uji Syaraf Kranial:
Nervus Kranial I (Olfaktorius): pasien dapat membedakan bau minyak angin
Nervus Kranial II (Optikus): Kemampuan sensori pengeliatan pasien
berkurang, pasien tampak tidak menggunakn kacamata

Nervus Kranial III (Okulomotor): Pasien dapat membuka kelopak mata


Nervus Kranial IV (Troklearis): Pasien dapat menggerakkan kedua bola
mata dengan baik
Nervus Kranial V (Trigeminus) : Pasien dapat membuka mulutnya
Nervus Kranial VI (Abdusen): Pasien dapat menggerakkan kedua matanya
ke kiri dan ke kanan
Nervus Kranial VII (Fasialis): Kemampuan sensorik pasien dalam
merasakan rasa manis, asin, pahit, dan asam baik,
pergerakan motorik otot wajah pasien normal
Nervus Kranial VIII (Vestibulokoklearis): Pasien mempunyai respon saat
dipanggil
26

Nervus Kranial IX (Glasofaringeal): Kemampuan pasien dalam menelan


dan mengecap normal

Nervus Kranial X (Vagus): Pasien dapat menunjukkan reflek


Nervus Kranial XI (Aksesorius): kemampuan pasien dalam menggerakan
kepalanya terbatas

Nervus Kranial XII (Hipoglossus): Pergerakan lidah normal


Uji Koordinasi:
Keluhan Lainya : Pasien mengatakan merasa nyeri terbakar, dan
panas
Masalah Keperawatan : Nyeri akut dan Hipertermia
3.1.8 Eliminasi Uri (Bladder)
Produksi Urine : 1400ml 2-4 x/hari
Warna : Kuning jernih
Bau : Khas amoniak
 Tidak ada masalah/lancar  Menetes  Inkotinen
 Oliguri  Nyeri  Retensi
 Poliuri  Panas  Hematuri
 Dysuri  Nocturi
 Kateter  Cystostomi
Keluhan Lainnya : Tidak Ada Keluhan
Masalah Keperawatan: Tidak Ada Masalah
3.1.9 Eliminasi Alvi (Bowel)
Mulut dan Faring
3.1.9.1 Bibir : Bibir pasien nampak ke hitaman
3.1.9.2 Gigi : Gigi pasien komplit
3.1.9.3 Gusi : Gusi pasien nampak merah kehitaman
3.1.9.4 Lidah : Lidah pasien Nampak pucat
3.1.9.5 Mukosa : Membran lidah pasien normal
3.1.9.6 Tonsil : Tonsil normal dan tidak terdapat peradangan
3.1.9.7 Rectum : Rectum pasien normal
3.1.9.8 Haemoroid : Tidak terdapat peradangan di hemoroid
Keluhan Lainnya : Tidak Ada Keluhan
27

Masalah Keperawatan: Tidak Ada Masalah


3.1.10 Tulang – Otot – Integumen (Bone)
 Kemampuan pergerakan sendi  Bebas  Terbatas
 Parese, lokasi : Tidak Ada
 Paralise, lokasi : Tidak Ada
 Hemiparese, lokasi : Tidak Ada
 Krepitasi, lokasi : Tidak Ada
 Nyeri , lokasi : Kepala, leher dan abdomen
 Kekakuan, lokasi : Tidak Ada
 Flasiditas, lokasi : Tidak Ada
 Spastisitas, lokasi : Tidak Ada
 Ukuran otot:  Simetris

 Atropi  Hipertropi
 Kontraktur  Malposisi

Uji kekuaatan otot :  ekstremitas atas 4 ekstremitas bawah 5


 Dofarmitas tulang, lokasi : Tidak ada
 Peradangan,lokasi : Sekujur tubuh terutama bagian wajah
 perlukaan : Sekujur tubuh
 Patah Tulang, lokasi : Tidak ada
Keluhan lainnya : Klien mengatakan muncul bintik-bintik merah
(Chiken Pok) sampai melepuh
Masalah Keperawatan : Gangguan Integritas Kulit
3.1.11 Kulit-kulit Rambut
Riwayat alergi  Obat : Tidak Ada
 Makanan : Tidak Ada
 Kosmetik : Tidak Ada
 Lainnya : Tidak Ada
Suhu kulit  Hangat  Panas  Dingin
Warna kulit  Normal  Sianosis/biru  Ikterik/kuning
 Putih/pucat  Kemerahan
28

Turgor  Baik  Cukup  Kurang


Tekstur  Halus  Kasar
Lesi  Macula, lokasi : Tidak Ada
 Pustula, lokasi : Tidak Ada
 Nodula, lokasi : Tidak Ada
 Vesikula, lokasi : Sekujur tubuh dengan diameter <
1cm
 Papula, lokasi : Tidak Ada
 Ulcus, lokasi : Sekujur tubuh sampai kewajah,
berwarna gelap dan mengeluarkan
cairan warna putih dan ada juga yang
kekuningan
Jaringan parut : Tidak Ada
Tekstur Rambut : cukup baik
Distribusi Rambut: sebaran normal,,cukup bersih warna hitam sebagian
beruban
Bentuk kuku :  Simetris  Irreguler
 Clubbing  Lainnya: Tidak Ada
Masalah Keperawatan: Gangguan integritas kulit dan Hipertermia
3.1.12 Sistem Penginderaan
3.1.12.1 Mata/Penglihatan
Fungsi penglihatan :  Berkurang  Kabur
 Ganda  Buta/gelap
Gerakan bola mata :  Bergerak normal  Diam
 Bergerak spontan/nistagmus
Visus : Mata Kanan (VOD): 6/6 (20/30)
Mata Kiri (VOS): 6/6 (20/30)
Sclera :  Normal/putih  Kuning/ikterus  Merah/hifema
Konjunctiva :  Merah muda  Pucat/anemic
Kornea :  Bening  Keruh
Alat bantu :  Kacamata  Lensa kontak  Lainnya
Nyeri : Tidak Ada
29

Keluhan Lainnya : Tidak Ada Keluhan


1.1.12.2 Telinga/Pendengaran: Normal
Fungsi Pendengaran:  Berkurang  Berdengung  Tuli
1.1.12.3 Hidung/Penciuman : Normal
Bentuk :  Simetris  Asimetris
 Lesi : Tidak Ada
 Patensi : Tidak Ada
 Obstruksi : Tidak Ada
 Nyeri tekan sinus: Tidak Ada
 Transluminasi : Tidak Ada
Cavum Nasal: Warna: Tidak ada sekresi Integritas :-
Septum Nasal:  Deviasi  Perforasi  Perdarahan
Sekresi, warna : Tidak ada sekresi
 Polip Kanan  Kiri  Kanan dan Kiri
Masalah Keperawatan: Tidak Ada Masalah
1.1.13 Leher dan Kelenjar Limfe
Massa  Ya  Tidak
Jaringan Parut  Ya  Tidak
Kelenjar Limfe  Teraba  Tidak teraba
Kelenjar Tiroid  Teraba  Tidak teraba
Mobilitas Leher  Bebas  Terbatas
1.1.14 Sistem Reproduksi
3.1.14.1 Reproduksi Pria
1) Kemerahan, Lokasi : Tidak terdapat kemerahan
2) Gatal-gatal, lokasi : Tidak terjadi gatal-gatal
3) Gland Penis : Normal
4) Maetus Uretra : Normal
5) Discharge , warna : Putih bening
6) Srotum : Normal
7) Hernia : Tidak di temukan organ yang mencuat keluar
8) Kelainan : Normal
30

9) Keluhan lain : Tidak ada keluhan


……………………………………………………………………..
3.1.14.2 Reproduksi Wanita
Tidak terkaji
3.1.15 Pola Fungsi Kesehatan
3.1.15.1 Persepsi Terhadap Kesehatan dan Penyakit:
Pasien mengetahui keadaannya yang sedang tidak sehat dan klien
mengetahui tentang penyakitnya.
3.1.15.2 Nutrisida Metabolisme
TB : 160 cm
BB sekarang : 50 Kg IMT : 19,5 (Normal)
BB sebelum sakit: 53 Kg IMT : 20,7 (Normal)
Diet:
 Biasa  Cair  Saring  Lunak
Diet Khusus:
 Rendah garam  Rendah kalori  TKTP
 Rendah lemak  Rendah purin  Lainnya: Tidak Ada
 Mual
 Muntah............kali/hari
Kesukaran menelan  Ya  Tidak
Rasa haus
Keluhan Lainnya: Tidak Ada Keluhan
Pola Makan Sehari-hari Sesudah Sakit Sebelum Sakit
Frekuensi/hari 3x1 sehari 3x1 sehari
Porsi 1 porsi Rumah Sakit 1-2 porsi
Nafsu makan Menurun Baik
Jenis makanan Bubur, lauk, sup, sayur Nasi, sayur, lauk, sayur
dan buah
Jenis minuman Air putih, Susu Bebas
Jumlah minuman/cc/24 jam ± 1800cc ± 1500cc
Kebiasaan makan Dibantu perawat dan Mandiri, teratur
keluarga, teratur
Keluhan/masalah Mual Tidak Ada
Masalah Keperawatan: Tidak ada masalah
3.1.15.3 Pola istirahat dan tidur:
31

Klien mengatakan tidak ada masalah pada pola tidur Tn. J sebelum sakit klien
tidur 7 jam pada malam hari dan 1 jam pada siang hari sedangkan pada saat sudah
sakit klien mengatakan tidur 8 jam pada malam hari 2 jam pada siang hari.
Masalah Keperawatan: Tidak Ada Masalah Keperawatan
3.1.15.4 Kognitif:
Pasien dan keluarga mengatakan sudah mengetahui penyakitnya setelah
diberikan penjelasan dari dokter dan tenaga medis lainnya.
Masalah Keperawatan: Tidak Ada Masalah Keperawatan
3.1.15.5 Konsep diri (Gambaran diri, ideal diri, identitas diri, harga diri,
peran):
3.1.15.5.1 Gambaran Diri : Pasien merasa kurang percaya diri dengan kondisinya
3.1.15.5.2 Ideal Diri : Pasien mengatakan ingin segera sembuh dan pulang
kerumah
3.1.15.5.3 Identitas Diri : Pasien dapat mengenali diri sendiri
3.1.15.5.4 Harga Diri : Pasien dapat disayangi oleh anggota keluarganya saat
sakit keluarga datang menjenguk
3.1.15.5.5 Peran : Pasien adalah kepala rumah tangga
Masalah Keperawatan: Tidak Ada Masalah Keperawatan
3.1.15.6 Aktivitas Sehari-hari
Klien mengatakan sebelum sakit selalu rajin berkerja namun setelah jatuh
sakit klien hanya tebaring di kasur dengan sesekali melakukan gerakan mobilitas
yang di bantu oleh perawat dan keluarga.
Masalah Keperawatan: Tidak Ada Masalah Keperawatan
3.1.15.7 Koping-Toleransi terhadap stress
Klien mengatakan selalu mengatakan keluhan sakitnya kepada keluarga
Masalah Keperawatan: Tidak Ada Masalah Keperawatan
3.1.15.8 Nilai Pola Keyakinan
Pasien mengatakan sebelum sakit selalu rajin beribadah di gereja namun
setelah sakit pasien hanya bisa berdoa bersama kelurganya.
Masalah Keperawatan: Tidak Ada Masalah Keperawatan
3.1.16 Sosial – Spiritual
3.1.16.1 Kemampuan berkomunikasi :
Pasien dapat memahami apa yang disampaikan oleh perawat
32

3.1.16.2 Bahasa sehari-hari :


Pasien berkomunikasi menggunakan bahasa Indonesia kepada perawat dan
bahasa Dayak pada keluarganya
3.1.16.3 Hubungan dengan Keluarga :
Pasien sebagai Kepala keluarga
3.1.16.4 Hubungan dengan teman/petugas kesehatan/orang lain :
Pasien selalu dijenguk oleh keluarga dan teman-temanya.
3.1.16.5 Orang berarti/terdekat :
Pasien mengatakan sangat mencintai keluarganya karena selalu memberikan
motivasi kepada pasien.
3.1.16.6 Kebiasaan menggunakan waktu luang :
pasien mengatakan saat ada waktu senggang dia sering bermain bersama
anjingnya.
3.1.16.7 Kegiatan beribadah :
Pasien selau berdoa agar diberi kesembuhan
3.1.17 Data Penunjang
Pemeriksaan Tanggal 13-September-2020

No PARAMETER HASIL SATUAN NILAI


NORMAL

1 WBC ( White Blood Cels) 23.12x10^3 U/L 4.00 – 10.00

2 RBC ( Red Blood Cels ) 4.14x10^6 U/L 3.50 – 5.50

3 HGB ( Hemoglobin Blood) 12.0 g/dl 11.0 – 15.0

4 PLT(Platelet/Trombosit) 12.0 g/dl 11.0 – 15.0

236 x10^3 U/L 150


– 400

Pemeriksaan Tanggal 14-September-2020


No Parameter Hasil Nilai Normal
4 Lab Urea 143,0 mg/dl 15,0-39,0 mg/dl
No Parameter Hasil Nilai Normal
33

5 Lab Creatinin 6,5 mg/dl 0,9 – 1,3 mg/dl


No Parameter Hasil Nilai Normal
6 Lab Uric. Acid 7,58 mg/dl 3,5 – 7,2 mg/dl

3.1.18 Penatalaksanaan Medis


Obat/Terapi Medis Dosis Indikasi Kontraindikasi
1. 1. 1. Mengembalikan 1. Hypernatremia, kelainan
2. 2. keseimbangan ginjal, kerusakan sel hati,
Paracetamol konsumsi 3 x/hari elektrolit pada asidosis laktat, Adverse
3. keadaan dehidrasi dan Reaction.
3.
syok hipovolemik. 2. Hipersensitivitas,
Ondansetron 2. Mengurangi produksi hypovolemia, asthma,
prostaglandin di otak, anafilaksis, kerusakan sel
meredakan nyeri perut hati, hepar aktif derajat
akibat usus buntu, dan berat.
obat ini juga dapat 3. Sindrom QT panjang
meredakan demam bawaan, hipersensitivitas
yang mungkin muncul
saat tubuh melawan
infeksi
3. Menghambat ikatan
serotonin pada
reseptor
5HT3, sehingga
membuat
penggunanya tidak
mual dan berhenti
muntah

Palangka Raya, 12 September


2020
Ruly Ramadana
34

3.2 Tabel dan Analisa Data

DATA SUBYEKTIF DAN KEMUNGKINAN MASALAH


DATA OBYEKTIF PENYEBAB

DS : Replikasi di sel epidermal Nyeri akut


1. Klien mengatan Nyeri.
DO :
1. K
Terjadi macula
lien Meringis.
2. K
lien Nampak lemas.
3. P Terinfeksi
osisi semi fowler
4. TTV : TD 110/70 mmhg,
RR 29 x/mnt, N 87 x/mnt,
Mengenai saraf nyeri
T 39 oC.
5. P= Akibat beraktivitas
Q= Seperti ditusuk
R= Kepala, leher dan Nyeri akut
abdomen
T= 1-2 menit

DS : Pelepasan mediator kimia Hipertermi


1. Klien mengatakan tidak prostaglandin
enak badan
DO :
1. Klien lemas Gangguan di hipotalamus
2. Klien namapak gelisah
3. Terpasan infus RL 5%

Suhu tubuh naik

Hipertermi

DS : Virus di epidermis Gangguan integritas kulit


1. Ibu klien mengatakan
terdapat benjolan di
35

sekujur tubuh klien


DO : Menginfeksi kapilar endotel
1. Terdapat benjolan air di pada lapisan dermis
kulit
2. Turgor kulit kurang (2
detik) Menyebar ke folikel kulit
3. Terdapat lesi
Vesikel pecah bisa karena
di garuk

Gangguan integritas kulit


36

PRIORITAS MASALAH

1. Nyeri akut berhubungan dengan lesi kulit dibuktikan dengan wajah


meringis SDKI (D.0077 : Hal 172)
2. Hipertermi berhubungan dengan respon tubuh terhadap virus dibuktikan
suhu tubuh yang tinggi. SDKI (D.0130 : Hal 284).
3. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan adanya kerusakan
jaringan, lesi. SDKI (D.0129 : Hal 282)
37
3.3 Rencana Keperawatan
Nama Pasien : Tn. J
Ruang Rawat : Ruang Kulit
Diagnosa Tujuan dan Kriteria Intervensi Rasional
Keperawatan Hasil
Nyeri Akut Dalam waktu 1 x 7 jam 1. Tentukan lokasi, karakteristik, 1. Menentukan lokasi, karakteristik, durasi,
DS : durasi, frekuensi, kualitas, frekuensi, kualitas dan intensitas nyeri dapat
setelah diberikan
1. Klien mengatan intensitas nyeri. menjadi penilaian untuk mengetahui seberapa
Nyeri. intervensi Nyeri dengan 2. Identifikasi skala nyeri kuat rasa nyeri yang di alami
DO : 3. Memberikan tehknik 2. Identifikasi sala nyeri dapat membantu menilai
kreteria evaluasi:
pengalihan rasa nyeri dengan efektivitas perawatan yang akan di lakukan
1. Klien Meringis.
1. Menurunkan skala terapi music. 3. Terapi music dapat mengalihkan rasa nyeri
2. Klien Nampak 4. Kontrol lingkungan yang pasien dan dapat membuat pasien rilex
lemas. nyeri memperberat rasa nyeri 4. Lingkungan yang tidak kondusif dapat
3. Posisi semi fowler 5. Kolaborasi medis untuk menambah parah rasa nyeri
2. Ekspresi klian
4. TTV : TD 110/70 pemberian analgesik. 5. Obat analgesic dapat mengurangi rasa nyeri
mmhg, RR 29 membaik tak 6. Memonitor efek samping 6. Memonitor efek samping dapat mengetahui
x/mnt, N 87 x/mnt, tampak meringis penggunaan analgesic. apakah pasien mengalami alergi terhadap obat
o yang diberikan atau tidak
T 39 C. lagi
5. P= Akibat
beraktivitas 3. Membuat pasien
Q= Seperti ditusuk rilex
R= Kepala, leher
dan abdomen
T= 1-2 menit
39

Hipertemi Dalam waktu 1 x 7 jam 1. Monitor suhu sesering 1. Memonitor suhu tubuh untuk mengetahui
DS : status suhu pasien sebelum dan sesudah
setelah diberikan mungkin
1. Klien mengatakan dilakukan perawatan
tidak enak badan intervensi Hipertemi 2. Monitor intake dan output 2. Memonitor intake dan output cairan pasien
DO : untuk mengetahui apakah pasien dehidrasi
kembali efektif dengan 3. Ganti linen setiap hari
atau kebutuhan cairannya terbutuhi atau
1. Klien lemas
kreteria evaluasi : 4. Kolaborasi pemberian cairan tidak.
2. Klien namapak 3. Mengganti linen setiap hari dapat
gelisah 1. Suhu tubuh dan elektrolit intravena
membuat pasien menjadi nyaman karena
3. Terpasan infus RL menurun dengan 5. Selimuti pasien jika tidak di ganti maka akan menjadi
5% sarang bakteri
hasil 36-37 C 6. Kompres pasien pada lipat
4. Pemberian cairan lewat intravena dapat
2. Nadi dan RR paha dan aksila membantu memenuhi kebutuhan cairan
pasien dengan lebih cepat
dalam rentang 7. Tingkatkan sirkulasi udara
5. Membuat pasien merasa nyaman
normal 6. Mengompres pasien pada daerah paha dan
aksila dapat membantu menurunkan suhu
3. Tidak ada
pasien
perubahan warna 7. Suplai oksigen yang baik akan
mempercapat proses penurunan suhu
kulit dan tidak
Suplai oksigen yang baik akan
pusing mempercapat proses penurunan suhu

Gangguan integritas 1. Monitor kulit akan adanya 1. Mengetahui apakah ada tanda di
40

kulit Dalam waktu 1 x 7 jam kemerahan kemerahan di kulit


DS :
setelah diberikan 2. Observasi luka : lokasi, 2. Mengetahui status luka pada pasien
1. Ibu klien
mengatakan intervensi Gangguan dimensi, 3. Mengetahui status luka pada pasien
terdapat benjolan integritas kulit dengan 3. Kedalaman luka, 4. Membarikan rasa nyaman pada klien dan
di sekujur tubuh
klien kreteria evaluasi: karakteristik,warna mengurangi kontak gesekan ke kulit
DO : 4. Anjurkan pasien untuk 5. Mencegah terjadinya infeksi
1. Tidak terdapat lesi
1. Terdapat
2. Perfusi jaringan menggunakan pakaian
benjolan air di
kulit baik yang longgar
2. Turgor kulit 5. Lakukan tehnik perawatan
kurang (2 detik)
luka dengan steril
3. Terdapat lesi
41
42

3.4 Implementasi dan Evaluasi


Nama Pasien : Tn. J
Ruang Rawat : Ruang Kulit
Hari Tanggal Jam Implementasi Evaluasi TTD
Diagnosa 1 1. Tentukan lokasi, karakteristik, durasi, S:
frekuensi, kualitas, intensitas nyeri. 1. Klien mengatakan Nyeri sudah
14-September-
2. Identifikasi skala nyeri mulai berkurang
2020 3. Memberikan tehknik pengalihan rasa nyeri
dengan terapi music. O:
Pukul 07:00 WIB
4. Kontrol lingkungan yang memperberat rasa 1. Pasien tidak tampak meringis
Pukul 09:00 WIB nyeri
2. TTV : TD 100/60 mmHg, RR 26
5. Kolaborasi medis untuk pemberian
Pukul 11:00 WIB x/mnt, N 80 x/mnt, T 37 C
analgesik.
Pukul 14:00 WIB 6. Memonitor efek samping penggunaan 3. Klien tampak lebih tenang/rileks (Ruly
analgesic. A: Masalah Nyeri teratasi sebagian Ramadana)
P: Lanjutkan intervensi
1. Identifikasi skala nyeri
2. Terapi music

Diagnosa 2 1. Monitor suhu sesering mungkin S:


43

15 September 2020 2. Monitor intake dan output 1. Klien mengatakan sudah tidak terlalu
lemas lagi
Pukul 07:00 WIB 3. Ganti linen setiap hari
O:
Pukul 09:00 WIB 4. Kolaborasi pemberian cairan dan
1. Klien nampak lebih segar dan baik
Pukul 11:00 WIB elektrolit intravena 2. Turgor kulit cukup (Ruly
Pukul 14:00 WIB 5. Selimuti pasien 3. Klien tampak lebih tenang/rileks Ramadana)
6. Kompres pasien pada lipat paha dan A: Masalah Hipertermi teratasi
sebagian
aksila
P: Lanjutkan intervensi
7. Tingkatkan sirkulasi udara 1. Ganti linen setiap hari
2. Monitor suhu

Diagnosa 3 1. Monitor kulit akan adanya kemerahan S:


16 September 2020 2. Observasi luka : lokasi, dimensi, 1. Klien mengatakan benjolan sudah
44

Pukul 07.00 WIB 3. Kedalaman luka, karakteristik,warna mulai berkurang dan luka akibat
garukan sudah mengering
Pukul 09:00 WIB 4. Anjurkan pasien untuk menggunakan
O:
Pukul 11:00 WIB pakaian yang longgar
1. Luka klien mulai menghilang
Pukul 14:00 WIB 5. Lakukan tehnik perawatan luka dengan 2. Turgor kulit cukup membaik
steril 3. TTV : TD 100/70 mmHg, RR 25
x/mnt, N 80 x/mnt, T 36 C
4. Benjolan di tubung klien mulai
berkurang
A: Masalah Gangguan integritas kulit
teratasi sebagian
P: Lanjutkan intervensi
1. Observasi luka
BAB 4
PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Asuhan keperawatan medis pada Tn. J dengan penyakit Varicella dalam


pemberian asuhan keperawatan disesuaikan dengan standar keperawatan dalam
pelaksanaan intervensi dan implementasi. Dimana masalah yang ditemukan pada
kasus Tn. J dengan diagnosa Nyeri akut, Hipertermi, dan Gangguan integritas
kulit. Dengan hasil yang membaik.

4.2 Saran

Penulis mengharapkan agar materi laporan ini dapat bermanfaat bagi


pembaca agar dapat menambah wawasan tentang keilmuan keperawatan penyakit
Varicella, dan semoga keilmuan keperawatan terus dapat berkembang dalam
bidang ilmu pengetahuan.
46

DAFTAR PUSTAKA

41
Muttaqin, Arif. (2011). Asuhan Keperawatan dengan gangguan sistem integumen.
Jakarta: Salemba Medika
Sumarmo (2002). Nanda NIC-NOC Edisi Revisi Jilid 3 2015. Penerbit:
Mediaction

Price, Sylvia A, 1995 Patofisiologi :konsep klinis proses-proses penyakit, ed 4,


EGC, Jakarta.

Asmadi. ( 2008 ). Konsep Dasar Keperawatan. Jakarta : EGC

Donna L. Wong. (2013) Pedoman Klinis Keperawatan Pediatrik. Edisi 4. Penerbit


Buku Kedokteran. EGC

Gloria M. Bulechek, dkk (2016) Nursing Intervenstions Classification (NIC).


Edisi keenaam.

Jurnal Biomedik (JBM), Volume 10, Nomor 3, November 2018, hlm.185-189 )

Jurnal e-Clinic (eCl), Volume 4, Nomor 2, Juli-Desember 2016.

Shigemi Kamitsuru, PhD,RN,FNI & T. Heather Herdman, PhD,RN,FNI (2018)


NANDA-I Diagnosis Keperawatan Definisi & Klasifikasi 2018-2020.
Edisi 11. Penerbit Buku Kedokteran. EGC

Sue Moorhead, dkk (2016) Nursing Outcomes Classification (NOC) Pengukuran


Outcomes Kesehatan. Edisi kelima.

Suriadi,Yuliani R.2001.Buku Pegangan Praktek Klinik Asuhan Keperawatan pada


Anak.Edisi 1.Jakarta:EGC.

Sylvia A. Price and Lorraine M. Wilson, 2005. Patofisiologi : konsep klinis proses
– proses penyakit. Edisi 6. Jakarta : EGC
48
47

Tylor M. Cyntia & Ralph Sparks Sheila (2003). Diagnosis Keperawatan Dengan
Rencana Asuhan. Edisi 10. Penerbit Buku Kedokteran. EGC

Djuanda, Adhi. Dkk. 1999. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. FKUI : Jakarta

Harahap, Marwati. 2000. Ilmu Penyakit Kulit. Hipokrates : Jakarta

Wong. DonnaL. 2004. Pedoman Klinis Keperawatan Pediatrik. EGC : Jakarta

Nanda(2014).Diagnosa Keperawatan NANDA International 2014-2016.Jakarta :


penerbit ECG

Closkey, Mc, et all. 2007. Diagnosa Keperawatan NOC-NIC. St-Louis.


48

LAMPIRAN

LAMPIRAN

SATUAN

RENCANA KEGIATAN
49

SAP : Tehknik Nafas Dalam

Topik

Pendidikan Kesehatan pada Tn. J dengan Diagnosa Medis Varicella di ruang


Kulit RSUD dr. Doris Sylvanus Palangka Raya.

Sasaran :

Pasien dan Keluarga

Tujuan

Tujuan Instruksional

Setelah mendapatkan penyuluhan 1x30 menit, pasien dan keluarga memahami dan
mampu melakukan tehknik napas dalam.

Tujuan Instruksi Khusus:

1. Menyebutkan pengertian Tehknik nafas dalam


2. Meampu melakukan tehknik nafas dalam

Metode

a. Ceramah dan Tanya Jawab

Media

1. Leaflet
Leaflet yang digunakan dalam media pendidikan kesehatan ini dalam bentuk
selembar mengenai informasi pengalihan rasa nyeri dengan tehknik nafas
dalam.
.3.1 Waktu Pelaksanaan
1. Hari/tanggal : Sabtu 26 September 2020
2. Pukul : 09:00 s/d
50

3. Alokasi : 10 Menit
No Kegiatan Waktu Metode
1 Pendahuluan : 2 Menit
 Menjawab salam
 Memberi salam dan  Mendengarkan
memperkenalkan diri  Menjawab
 Menjelaskan maksud dan pertanyaan
tujuan penyuluhan

2 Penyajian : 5 Menit
 Mendengarkan
 Pengertian tehknik dengan seksama
nafas dalam  Mengajukan
 Manfaat nafas dalam pertanyaan
 Memperaktekan nafas  Memperaktikan
dalam

3 Evaluasi : 2 Menit
 Menjawab
 Memberikan pertanyaan  Mendemontrasi
akhir dan evaluasi

4 Terminasi : 1 Menit
 Mendengarkan
 menyimpulkan bersama-  Menjawab salam
sama hasil kegiatan
penyuluhan
 menutup penyuluhan dan
mengucapkan salam

.3.2 Tugas Pengorganisasian


1) Moderator : Ruly Ramadana
51

Moderator adalah orang yang bertindak sebagai penengah atau pemimpin


sidang (rapat,diskusi) yang menjadi pengarahan pada acara pembicara atau
pendiskusi masalah
Tugas:
1. Membuka acara penyuluhan.
2. Memperkenalkan diri.
3. Menjelaskan kontrak dan waktu disampaikan.
4. Menjelaskan kontrak dan waktu presentasi
5. Mengatur jalan diskusi
2) Penyaji : Ruly Ramadana
Penyaji adalah menyajikan materi diskusi kepada peserta dan
memberitahukan kepada moderator agar moderator dapat memberi arahan
selanjutnya kepada peserta-peserta diskusinya.
Tugas :
1. Menyampaikan materi penyuluhan.
2. Mengevaluasi materi yang telah disampaikan.
3. Mengucapkan salam penutup.
3) Fasilitator : Ruly Ramadana
Fasilitator adalah seseorang yang membantu sekelompok orang, memahami
tujuan bersama mereka dan membantu mereka membuat rencana guna mencapai
tujuan tersebut tanpa mengambil posisi tertentu dalam diskusi.
Tugas :
1. Memotivasi peserta untuk berperan aktif selama jalannya kegaiatan.
2. Memfasilitasi pelaksananan kegiatan dari awal sampai dengan akhir.
4) Simulator : Ruly Ramadana
Simulator adalah seseorang yang bertugas untuk menyimulasikan suatu
peralatan kepada audience.
Tugas :
1. Memperagakan macam-macam gerakan.
5) Dokumentator : Ruly Ramadana
52

Dokumentator adalah orang yang mendokumentasikan suatu kegiatan yang


berkaitan dengan foto, pengumpulan data, dan menyimpan kumpulan dokumen
pada saat kegiatan berlangsung agar dapat disimpan sebagai arsip.
Tugas :
1. Melakukan dokumentasi kegiatan penyuluhan dalam kegiatan pendidikan
kesehatan.
6) Notulen : Ruly Ramadana
Notulen adalah sebutan tentang perjalanan suatu kegiatan penyuluhan,
seminar, diskusi, atau sidang yang dimulai dari awal sampai akhir acara. Ditulis
oleh seorang Notulis yang mencatat seperti mencatat hal-hal penting. Dan
mencatat segala pertanyaan dari peserta kegiatan.
Tugas :
1. Mencatat poin-poin penting pada saat penyuluhan berlangsung.
2. Mencatat pertanyaan-pertanyaan dari audience dalam kegiatan penyuluhan.
.3.3 Denah Pelaksanaan

Kerangan :

: Penyaji : Pasien

: Fasilitator : Moderator

: Simolator : Dokumentator

: Keluarga Pasien
53
54
55
HERPES ZOSTER PADA GERIATRI

Saragih IV
Fakultas Kedokteran Universitas
Lampung Email:
iwanvanca_saragih@yahoo.com

Abstrak
Latar belakang. Herpes zoster merupakan penyakit kulit yang bercirikan
timbulnya ruam kulit dengan distribusi dermatomal dan disertai rasa nyeri yang
hebat. Insiden herpes zoster meningkat seiring bertambahnya usia, di mana lebih
dari 2/3 kasus terjadi pada usia lebih dari 50 tahun dan kurang dari 10% di bawah
20 tahun. Kasus. Pasien Tn. UM berumur 62 tahun dengan keluhan timbul
gelembung-gelembung berisi air sejak 3 hari yang lalu yang muncul di daerah
kepala dan wajah hanya pada bagian kanan disertai rasa panas. Pada pemeriksaan
fisik didapatkan tekanan darah 160/90 mmHg. Status lokalis pada regio temporalis
dekstra, regio oksipitalis dekstra, regio maksilaris dekstra, region nasalis dekstra,
dan regio orbita dekstra tampak makula dengan dasar kulit yang eritem ukuran
lentikuler, tampak papul multipel ukuran milier, tampak daerah erosi akibat
vesikel yang sudah pecah. Dari hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik pasien
didiagnosa dengan penyakit herpes zoster. Tatalaksana pada pasien yaitu
pemberian antivirus asiklovir 5 x 800 mg peroral selama 7 hari dan asam
mefenamat 3x500 mg sebagai analgesik Simpulan. Faktor usia dan penyakit
sistemik merupakan faktor risiko terjadinya herpes zoster. [Medula
Unila.2014;2(1) : 14-21]

Kata kunci: Asiklovir, herpes zoster, usia lanjut

HERPES ZOSTER IN GERIATRI

Saragih IV
Medical Faculty University of Lampung
Email: iwanvanca_saragih@yahoo.com

Medula, Volume 2, Nomor 1, Januari 2014


Abstract
Background: Herpes zoster is a skin disease characterized by skin rash with a
dermatomal distribution and accompanied by great pain. The incidence of herpes
zoster increases with age, in which more than two thirds of cases occur in more
than 50 years of age and less than 10% under 20 years old. Case: Mr. UM 62
years old with complaints arising bubbles filled with water since 3 days ago that
arised in the head and face only on the right side with a burning sensation. On
physical examination found blood pressure 160/90 mm Hg. Localist status in the
right temporal region, occipital, maxillary, nasal, and orbital on the basis appeared
macular erythematous skin lentikuler size, miliary multiple papules, erosion area
as a result of the broken vesicles. From the results of the history taking and
physical examination, patients diagnosed with herpes zoster The management of
the patient is the administration of antiviral acyclovir 5 x 800 mg orally for 7 days
and 3x500 mg mefenamic acid as an analgesic. Conclusion: Age and systemic

Medula, Volume 2, Nomor 1, Januari 2014


diseases are risk factors for the occurrence of herpes zoster. [Medula
Unila.2014;2(1) : 14-21]
Key words: Acyclovir, herpes zoster, elderly
Pendahuluan

Infeksi virus varicella-zoster (VVZ) yang menyebabkan varisela atau cacar


air dapat menyerang hampir setiap individu di seluruh dunia. Setelah sembuh dari
varisela, virus menetap laten pada ganglia radiks dorsalis yang dapat mengalami
reaktivasi menjadi herpes zoster (HZ), atau yang lebih dikenal dengan nama
shingles atau dompo. Herpes zoster merupakan penyakit kulit yang bercirikan
timbulnya ruam kulit dengan distribusi dermatomal dan disertai rasa nyeri yang
hebat (Christo, 2007).

Insiden herpes zoster tersebar merata di seluruh dunia dan dapat muncul
sepanjang tahun karena tidak dipengaruhi oleh musim. Tidak ada perbedaan
dalam morbiditas antara pria dan wanita. Berdasarkan studi di Eropa dan Amerika
Utara, diperkirakan ada sekitar 1,5-3 per 1000 orang per tahun pada segala usia
dan kejadian meningkat tajam pada usia lebih dari 60 tahun yaitu sekitar 7-11 per
1000 orang per tahun (Gnann dan Whitley, 2002). Insiden herpes zoster
meningkat seiring bertambahnya usia, di mana lebih dari 2/3 kasus terjadi pada
usia lebih dari 50 tahun dan kurang dari 10% di bawah 20 tahun (Schmader &
Oxman, 2012). Meningkatnya insidensi pada usia lanjut ini berkaitan dengan
menurunnya respon imun dimediasi sel yang dapat pula terjadi pada pasien
imunokompromais seperti pasien HIV-AIDS, pasien dengan keganasan, dan
pasien yang mendapat obat imunosupresi. Namun, insidensinya pada pasien
imunokompeten pun besar. Herpes zoster sendiri meskipun bukan penyakit yang
life-threatening, namun dapat menggangu pasien sebab dapat timbul rasa nyeri.
Lebih lanjut lagi nyeri yang dialami saat timbul lesi kulit dapat bertahan lama,
hingga berbulan-bulan lamanya sehingga dapat menggangu kualitas hidup pasien
– suatu keadaan yang disebut dengan neuralgia paska herpetika (NPH) (Johnson,
2009).
Tujuan utama terapi pada pasien herpes zoster adalah untuk membatasi
berkembangnya penyakit, durasi dan peningkatan rasa sakit dan lesi di dermatom
primer, mencegah penyakit di tempat lain, dan mencegah NPH (Prabhu, 2009)

Kasus

Pasien Tn. UM berumur 62 tahun seorang pensiunan PNS yang berdomisili


di Bandar Lampung datang ke Poliklinik Kulit dan Kelamin RSAM pada tanggal
23 Januari 2013 dengan keluhan timbul gelembung-gelembung berisi air sejak 3
hari yang lalu yang muncul di daerah kepala dan wajah hanya pada bagian kanan.
Awalnya pasien merasa timbul bintil-bintil sebesar ujung jarum pentul di daerah
kepala sebelah kanan yang disertai rasa berdenyut mulai dari atas kepala sebelah
kanan hingga ke bagian telinga bagian belakang. Bintil-bintil tersebut
berkelompok dan disertai rasa panas. 2 hari sebelumnya timbul kemerahan yang
disertai rasa nyeri pada daerah wajah sebelah kanan dan sebelumnya pasien juga
merasa badannya terasa hangat, dan badan terasa pegal sebelum munculnya
gelembung-gelembung tersebut. Pasien tidak mengeluhkan adanya keluhan kulit
di bagian lain, tidak mengeluhkan gangguan penglihatan dan pendengaran, tidak
terdapat kelemahan untuk menggerakkan anggota geraknya.
Selanjutnya, pasien memutuskan untuk berobat ke bagian saraf, karena
pasien merasa bahwa hal ini disebabkan karena tekanan darahnya yang tinggi dan
sarafnya yang terganggu. Saat berobat, pasien dikatakan menderita neuralgia
trigeminalis lalu diberi obat oleh dokter spesialis saraf. Dua hari setelah berobat
ke dokter pasien merasa keluhan nyeri sedikit berkurang namun karena warna
merah pada daerah wajah semakin banyak maka pasien kembali berobat ke
polikinik saraf dan dikonsulkan ke dokter ahli penyakit kulit dan kelamin. Setelah
dilakukan pemeriksaan di bagian kulit dan kelamin, pasien dinyatakan menderita
Herpes zoster. Pasien belum pernah menderita penyakit seperti ini dan di dalam
keluarga juga tidak ada anggota keluarga yang memiliki penyakit yang sama
dengan pasien. Sebelumnya pasien mengaku bahwa pada saat masih duduk di
bangku SD pasien pernah terkena cacar air.
Pemeriksaan fisik pasien pada tanggal 23 Januari 2013, kesadaran
komposmentis, berat badan 65 kg, tinggi badan 168 cm, kesan gizi normal
(BBI/Berat Badan Idaman), IMT (Indeks Massa Tubuh) normal (22,5), tekanan
darah 160/90 mmHg, nadi 83x/menit, pernapasan 21 x/menit, suhu 36,7 ºC.
Status generalis pasien didapatkan kepala, mata, hidung, mulut, leher, dada
(jantung dan paru) pasien dalam batas normal. Status lokalis pada regio
temporalis, regio oksipitalis, regio maksilaris dan region nasalis dekstra, regio
orbita dekstra tampak makula dengan dasar kulit yang eritem ukuran lentikuler,
tampak papul multipel ukuran milier, tampak daerah erosi akibat vesikel yang
sudah pecah.

Pembahasan

Pada pasien ini, diagnosis hepes zoster ditegakkan berdasarkan anamnesis


yang didapatkan yaitu seorang laki-laki berumur 62 tahun dengan keluhan badan
keluhan timbul gelembung-gelembung berisi air sejak 3 hari yang lalu yang
muncul di daerah kepala dan wajah hanya pada bagian kanan disertai rasa panas
dan berdenyut dan adanya keluhan badan terasa hangat dan pegal. Pasien belum
pernah menderita penyakit seperti ini dan di dalam keluarga juga tidak ada
anggota keluarga yang memiliki penyakit yang sama dengan pasien. Sebelumnya
pasien mengaku bahwa pada saat masih duduk di bangku SD pasien pernah
terkena cacar air.
Penegakan diagnosis herpes zoster umumnya didasari gambaran klinis.
Komponen utama dalam penegakan diagnosis adalah terdapatnya (1) gejala
prodromal berupa nyeri, (2) distribusi yang khas dermatomal, (3) vesikel
berkelompok, atau dalam beberapa kasus ditemukan papul, (4) beberapa
kelompok lesi mengisi dermatom, terutama dimana terdapat nervus sensorik, (5)
tidak ada riwayat ruam serupa pada distribusi yang sama (menyingkirkan herpes
simpleks zosteriformis), (6) nyeri dan allodinia (nyeri yang timbul dengan
stimulus yang secara normal tidak menimbulkan nyeri) pada daerah ruam
(Dworkin et al.,2007)
Pada saat dilakukan pemeriksaan fisik pada pasien didapatkan pada status
lokalis regio temporalis, regio oksipitalis, regio maksilaris dan region nasalis
dekstra, regio orbita dekstra tampak makula dengan dasar kulit yang eritem
ukuran lentikuler, tampak papul multipel ukuran milier, tampak daerah erosi
akibat vesikel yang sudah pecah. Lesi yang terlihat cukup karakteristik untuk
herpes zoster, yang mana timbul gejala kulit yang unilateral, bersifat dermatomal
sesuai dengan persarafan (Christo, 2007).
Pemeriksaan laboratorium direkomendasikan bila lesi atipikal seperti lesi
rekuren, dermatom yang terlibat multipel, lesi tampak krusta kronis atau nodul
verukosa dan bila lesi pada area sakral sehingga diragukan patogennya virus
varisela zoster atau herpes simpleks. Pemeriksaan laboratorium yang dapat
dilakukan adalah PCR yang berguna pada lesi krusta, imunoflouresensi direk dari
spesimen lesi vesikular, dan kultur virus yang tidak efektif karena membutuhkan
waktu 1-2 minggu (Dworkin et al.,2007). Pada kasus ini pemeriksaan penunjang
tidak dilakukan.
Herpes zoster merupakan suatu reaktivasi akibat infeksi awal yang
bermanifestasi sebagai varicella zoster (cacar air). Penyebnya adalah virus
varicella-zoster (VVZ) dari keluarga herpes virus, sangat mirip dengan herpes
simplex virus. Virus ini mempunyai amplop, berbentuk ikosahedral, dan memiliki
DNA berantai ganda yang mengkode lebih dari 70 macam protein (Kliegman et
al., 2006). Herpes zoster disebabkan oleh reaktivasi virus varicella zoster yang
laten di dalam ganglion posterior atau ganglion intrakranial. Virus dibawa ke tepi
ganglion spinal atau ganglion trigeminal, kemudian menjadi laten. Reaktivasi
virus varicella zoster dapat dipicu oleh berbagai faktor seperti pembedahan,
penyinaran, lanjut usia, dan keadaan tubuh yang lemah meliputi malnutrisi,
seseorang yang sedang dalam pengobatan imunosupresan jangka panjang, atau
menderita penyakit sistemik seperti hipertensi (Handoko, 2007). Pada kasus ini
faktor yang dapat menjadi penyebab reaktivasi virus varicella yang pernah
diderita saat masih sekolah SD antara lain faktor usia yaitu pasien sudah berusia
lanjut dan faktor penyakit sistemik yaitu hipertensi.
Lesi herpes zoster dapat mengenai seluruh kulit tubuh maupun membran
mukosa. Herpes zoster biasanya diawali dengan gejala-gejala prodromal selama 2-
4 hari, yaitu sistemik (demam, pusing, malaise), dan lokal (nyeri otot-tulang,
gatal, pegal). Setelah itu akan timbul eritema yang berubah menjadi vesikel
berkelompok dengan dasar kulit yang edema dan eritematosa. Vesikel tersebut
berisi cairan jernih, kemudian menjadi keruh, dapat menjadi pustul dan krusta.
Jika mengandung darah disebut sebagai herpes zoster hemoragik. Jika disertai
dengan ulkus dengan sikatriks, menandakan infeksi sekunder (Handoko, 2007).
Masa tunas dari virus ini sekitar 7-12 hari, masa aktif berupa lesi baru
yang tetap timbul, berlangsung seminggu, dan masa resolusi berlangsung 1-2
minggu. Selain gejala kulit, kelenjar getah bening regional juga dapat membesar.
Penyakit ini lokalisasinya unilateral dan dermatomal sesuai persarafan. Saraf yang
paling sering terkena adalah nervus trigeminal, fasialis, otikus, C3, T3, T5, L1,
dan L2. Jika terkena saraf tepi jarang timbul kelainan motorik, sedangkan pada
saraf pusat sering dapat timbul gangguan motorik akibat struktur anatomisnya.
Gejala khas lainnya adalah hipestesi pada daerah yang terkena (Handoko, 2007).
Tujuan penatalaksanaan herpes zoster adalah mempercepat proses
penyembuhan, mengurangi keparahan dan durasi nyeri akut dan kronik, serta
mengurangi risiko komplikasi (Gnann dan Whitley, 2002) Penatalaksanaannya
berupa edukasi dan medikamentosa. Sebagai edukasi pasien diingatkan untuk
menjaga kebersihan lesi agar tidak terjadi infeksi sekunder. Edukasi larangan
menggaruk karena garukan dapat menyebabkan lesi lebih sulit untuk sembuh atau
terbentuk skar jaringan parut, serta berisiko terjadi infeksi sekunder. Selanjutnya
pasien tetap dianjurkan mandi, mandi dapat meredakan gatal. Untuk mengurangi
gatal dapat pula menggunakan losio kalamin. Untuk menjaga lesi dari kontak
dengan pakaian dapat digunakan dressing yang steril, non-oklusif, dan non-
adherent. Pasien juga perlu diedukasi bahwa pada orang yang belum pernah
mengalami cacar air, dapat terjadi penyebaran virus VZV ke pejamu lain, yang
dapat menimbulkan varicela pada orang lain. Dengan demikian dalam fase ini
sebaiknya pasien tidak membiarkan anak-anak ataupun orang yang belum pernah
mengalami varicela sebelumnya untuk bermain atau berdekatan dengan pasien.
Terapi medikamentosa yang diberikan berupa asiklovir 5 x 800 mg peroral
selama 7 hari. Terapi dapat diberikan secara efektif maksimal 72 jam setelah lesi
terakhir muncul, yang pada pasien ini masih terpenuhi (onset hari ke-3). Di atas
72 jam, pemberian asiklovir dikatakan tidak efektif lagi. Pemberian antivirus
dapat mengurangi lama sakit, keparahan dan waktu penyembuhan akan lebih
singkat (Weinberg, 2007).
Untuk nyeri yang timbul pada pasien diberikan asam mefenamat 3x500
mg sebagai analgesik. Pasien kemudian dianjurkan untuk kontrol selama 7 hari
kemudian kepada dokter, untuk melihat perbaikan pada pasien. Prognosis herpes
zoster tanpa adanya komplikasi biasanya sangat baik (McCrary, 2009).
Simpulan bahwa faktor usia dan penyakit sistemik merupakan faktor risiko
terjadinya herpes zoster.
Daftar Pustaka

Christo PJ, Hobelmann G, Maine DN. 2007. Post-herpetic neuralgia in older adults.
Drugs Aging Journal;24(1):1-19.

Dworkin RH, Johnson RW, Breuer J, Gnann JW, Levin MJ, Backonja M. 2007.
Recommendations for the management of herpes zoster. Clinical Infection
Disease Journal; 44:1-21.

Gnann JW, Whitley RJ. 2002. Herpes Zoster. New England Journal.
Medicine;347(5):340–6.

Handoko R. Penyakit virus. 2007. In: Djuanda A, Hamzah M, Aisah S, editors.


Buku Ajar Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin. Edisi kelima. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.hlm 88-100

Johnson RW. 2010. The impact of herpes zoster and post-herpetic neuralgia on
quality of life. BioMed Central Medicine Journal;8:37-42.

Kliegman RM, Marcdante KJ, Jenson HB, Behrman RE. 2006. Nelson Essentials
of Pediatrics. Edisi ke-5. Philadelphia: Elseviers Saunders; pp.470-472.

McCrary ML, Severson J, Tyring SK. 2009. Varicella Zoster Virus. Journal of the
American Academy of Dermatology;41:1-13.

Prabhu S, Sripathi H, Gupta S, Prabhu M. 2009. Chilhood Herpes Zoster. Journal


of Indian Dermatology;54:379-84.

Schmader KE, Oxman MN. 2012. Varicella and Herpes Zoster. In: Wolff Kl,
Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, editors.
Fitzpatric'k Dermatology in General Medicine. 8th ed: New York : Mc Graw-
Hill;. p. 2383-401.

Weinberg JM. 2007. Herpes zoster: Epidemiology, natural history, and common
complications. Journal of the American Academy of Dermatology;57:130-5.
INFORMASI TENTANG PENYAKIT INFEKSI CACAR MONYET (Monkeypox) YANG
MENYERANG MANUSIA

Fikamilia Husna, Imam Adi Wicaksono

Program Studi Profesi Apoteker, Fakultas Farmasi, Universitas Padjadjaran Jl. Raya Bandung-Sumedang
km.21, Jatinangor, Sumedang, 45363, Indonesia

Email korespondensi: fikamilia15001@mail.unpad.ac.id


Diserahkan 06/01/2020, diterima 29/01/2020

ABSTRAK
Cacar monyet merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh orthopoxvirus. Setelah pemberantasan
cacar global pada tahun 1977, orthopoxvirus menjadi penyebab utama wabah cacar monyet pada manusia,
terutama di negara-negara di Afrika Barat dan Tengah yang biasanya terjadi di daerah terpencil. Cacar
monyet (monkeypox) memiliki manifestasi klinis seperti bentuk cacar biasa, termasuk gejala flu, demam,
malaise, sakit punggung, sakit kepala, dan ruam. Saat ini, belum ada terapi yang tepat untuk mengobati
penyakit cacar monyet yang menginfeksi manusia. Hal ini menimbulkan pemfokusan perhatian pada virus
cacar monyet sebagai potensi ancaman terhadap pemberantasan cacar. Oleh karena itu, artikel ini
bertujuan untuk memaparkan studi terkait dengan penyakit cacar monyet (monkeypox) agar masyarakat
menjadi lebih paham dan waspada terhadap virus cacar monyet (monkeypox) yang telah terjadi di dunia.
Artikel review ini menggunakan metode komparatif dari berbagai sumber artikel dan jurnal penelitian
tentang cacar monyet. Data yang tersedia dalam tinjauan ini menunjukkan betapa terbatas dan
terfragmentasi informasi tentang cacar monyet (monkeypox).
Kata kunci: Penyakit infeksi, Cacar monyet, Orthopoxvirus.

ABSTRACT
Monkey pox is an infectious disease caused by orthopoxvirus. After the eradication of global smallpox in
1977, orthopoxvirus became the leading cause of outbreak of monkey pox in humans, especially in
countries in West and Central Africa that usually occur in forested areas. Monkey pox has clinical
manifestations like ordinary smallpox, including symptoms of flu, fever, malaise, back pain, headaches,
and rash characteristics. At present, there is no appropriate therapy to treat monkey pox that infected
humans. This raises attention to the monkey poxvirus as a potential threat to the eradication of smallpox.
Therefore, this article is intend to describe the studios related to monkey pox so that people become more
aware and aware of the monkey poxvirus that has been proven to occur in the world. This article review
uses comparative method from various sources of articles and research journals about smallpox monkey.
The available data in this review demonstrate how limited and fragmented the information about monkey
pox.
Keywords: Infection disease, Monkeypox, Orthopoxvirus.

Pendahuluan yang harus ditangani dengan serius. Wabah cacar


telah terjadi dari masa ke masa, namun
Cacar adalah salah satu penyakit menular
saat ini telah diberantas melalui program
vaksinasi yang diadakan di seluruh dunia. Kasus
cacar terakhir di dunia terjadi pada tahun 1977
di Somalia. Setelah itu, penyakit cacar menjadi
mulai berkurang sehingga vaksinasi rutin dari hewan yang terinfeksi (Peterson et al,
terhadap penyakit cacar di kalangan masyarakat 2018).
mulai dihentikan karena dianggap sudah tidak Diagnosis laboratorium untuk menetapkan
diperlukan pencegahan lagi terhadap penyakit penyakit cacar monyet (monkeypox) sangat
cacar (Mahendra, Mengstie, dan Kandi, 2017). penting karena secara klinis tidak dapat
Cacar monyet (monkeypox) merupakan dibedakan dengan penyakit cacar lainnya. Saat
penyakit infeksi virus yang disebabkan oleh ini, belum ada terapi yang tepat untuk mengobati
virus dengan genus orthopoxvirus. Virus cacar cacar monyet (monkeypox) yang menginfeksi
monyet ditemukan pada tahun 1958 saat manusia. Pencegahan yang efektif bergantung
dilakukan isolasi dari lesi vesikuloid pustular di pada pembatasan kontak dengan pasien atau
antara monyet tawanan di Kopenhagen. Penyakit hewan yang terinfeksi dan membatasi paparan
cacar monyet sebagian besar terjadi di hutan melalui pernapasan bagi pasien yang terinfeksi
hujan Afrika bagian tengah dan barat. Orang- (WHO, 2018).
orang yang tinggal di sekitar kawasan berhutan Artikel ini bertujuan untuk memaparkan
mungkin memiliki resiko terpapar yang dapat studi terkait dengan penyakit cacar monyet
menyebabkan infeksi subklinis. Namun baru- (monkeypox) agar masyarakat menjadi lebih
baru ini, muncul penyakit cacar monyet di paham dan waspada terhadap virus cacar monyet
Amerika Serikat pada hewan pengerat liar yang (monkeypox) yang telah terjadi di dunia.
diimpor dari Afrika (Mahendra, Mengstie, dan
Kandi, 2017).
Bahan dan Metode
Cacar monyet (monkeypox) memiliki
Artikel review ini dibuat dengan metode
manifestasi klinis seperti bentuk cacar biasa,
komparatif dari berbagai sumber jurnal
termasuk gejala flu, demam, malaise, sakit
penelitian. Studi literatur dalam dilakukan secara
punggung, sakit kepala, dan karakteristik ruam
online melalui penelusuran jurnal-jurnal yang
(Reed et al, 2004). Gejala seperti itu di daerah
terdapat pada Elsevier, ResearchGate,
endemik cacar monyet (monkeypox) harus
Sciencedirect, dan situs jurnal lain. Kriteria
ditangani dengan hati-hati. Penularan cacar
inklusi dalam pembuatan artikel ini adalah jurnal
monyet (monkeypox) kepada manusia dapat
dan artikel yang membahas tentang cacar
terjadi melalui kontak langsung antara manusia
monyet (monkeypox) dan dipublikasi dari tahun
dengan hewan yang terinfeksi atau dengan
2004 – 2019. Jurnal dan artikel yang digunakan
memakan daging yang tidak dimasak dengan
merupakan jurnal dan artikel nasional maupun
benar. Infeksi melalui inokulasi melalui kontak
internasional dengan kata kunci “Monkeypox”
dengan lesi kulit atau mukosa pada hewan,
dan “Monkeypox virus”.
terutama ketika kulit terkena gigitan, goresan
Hasil dan Pembahasan
Hasil penelusuran dari sumber data
review terkait dengan cacar monyet (monkeypox)
adalah sebagai berikut:

Pokok
No. Hasil Pustaka
Bahasan
1. Karakteristik Virus cacar monyet merupakan anggota keluarga (Mahendra,
Poxviridae dan subkeluarga Chordopoxvirinae dengan Mengstie, dan
genus Orthopoxvirus. Kandi, 2017).

2. Epidemiologi Cacar monyet (monkeypox) adalah penyakit infeksi virus (Drugs.com,


yang terutama terjadi di pedalaman Afrika bagian tengah 2019).
dan barat atau daerah dekat hutan hujan tropis.

3. Penularan Virus cacar monyet sebagian besar ditularkan melalui (WHO, 2018).
binatang liar (tikus dan primate), namun dapat juga
terjadi penularan sekunder dari manusia.

4. Faktor risiko Gender (pria), usia, lingkungan. (Claire et al,


2017).

5. Patogenesis Virus cacar monnyet bereplikasi dalam jaringan limfoid. (William et al,
Virus pertama kali melokalisasi sel fagositik 2013).
mononuclear lalu masuk ke aliran darah, kemudian
terlokalisasi di dalam sel kulit.

6. Gejala Demam, ruam 2 – 3 hari dan menyebar ke lengan, kaki, (Petersen et al,
serta kepala, pembengkakan kelenjar getah bening, nyeri 2019).
punggung, sakit kepala.

7. Diagnosis Tes darah, biopsi, kultur swab, teknik GeneXpert (Mahendra,


MPX/OPX, Antibody Immuno Column for Analytical Mengstie, dan
Processes (ABICAP). Kandi, 2017).

8. Prognosis Malnutrisi, masalah paru-paru, dapat mengalami (Patrick,


komplikasi infeksi bakteri sekunder, pneumonia, dan 2018).
dehidrasi.

9. Pengobatan Cidofovir, Brincidofovir, Tecovirimat (ST-246), dan (Centers


Vaccinia Immune Globulin (VIG). for
Disease
Control

and
Prevention,
2016).
10. Pencegahan Mengurangi risiko infeksi pada manusia, pendidikan (WHO, 2018).
kesehatan masyarakat, mengontrol infeksi pada fasilitas
kesehatan, pembatasan perdagangan hewan.
Karakteristik Orthopoxvirus, keluarga Poxviridae, dan sub
Virus monkeypox adalah anggota genus keluarga Chordopoxvirinae yang dapat
menginfeksi manusia, vertebrata, dan arthropoda kematian adalah anak-anak. Namun juga terkait
(Mahendra, Mengstie, dan Kandi, 2017). dengan tingkat dari paparan virus, keparahan
Poxvirus berukuran 200 hingga 250 nm yang komplikasi, dan status kesehatan penderita.
diselimuti tubulus yang khas dan komponen Secara umum, kelompok usia yang lebih muda
intinya berbentuk halter. Poxvirus memiliki memiliki resiko kematian yang lebih besar
virion yang mengandung asam deoksiribonukleat terhadap penyakit cacar monyet (Kemenkes RI,
beruntai ganda linier (dsDNA) dan enzim yang 2019).
mensintesis ribonucleic acid messenger Cara Penularan
(mRNA). Virus ini berkembang biak di
Penularan cacar monyet (monkeypox)
sitoplasma sel inang (Parker dan Buller, 2013).
kepada manusia dapat terjadi melalui kontak
Epidemiologi
langsung cairan tubuh seperti darah dan lesi kulit
Penyakit cacar monyet pertama kali
atau mukosa hewan yang terinfeksi,
menyerang manusia pada tahun 1970 di Kongo
mengonsumsi daging hewan terinfeksi yang
dan pada tahun 2003 di Amerika Serikat pada
tidak dimasak dengan benar. Lesi kulit atau
seseorang yang memiliki binatang peliharaan
mukosa hewan yang terinfeksi kemungkinan
berupa prairie dog yang terinfeksi oleh tikus dari
merupakan sumber penularan kepada manusia,
Afrika. Selanjutnya pada tahun 2017, terjadi
terutama ketika kulit manusia rusak akibat
kejadian luar biasa penyakit cacar monyet di
gigitan, goresan, atau trauma lainnya dan melalui
Nigeria selanjutnya Inggris dan Israel juga
saluran pernapasan atau selaput lendir, seperti
melaporkan adanya kasus cacar monyet pada
mulut, mata, atau hidung. Penularan sekunder
tahun 2018. Pada tahun 2019, dilaporkan ada
dari manusia juga dapat terjadi melalui plasenta
seorang warga negara Nigeria yang mengikuti
atau disebut monkeypox bawaan (Peterson et al,
sebuah lokakarya di Singapura menderita
2018).
penyakit cacar monyet,
Faktor Risiko
Saat ini, wilayah yang ditetapkan
Faktor risiko yang berhubungan dengan
sebagai darah endemik cacar monyet secara
penyakit cacar monyet di antaranya adalah
global adalah Afrika Tengah, Gabon, Kongo,
pekerjaan (petani, peternak, pemburu), jenis
Sierra Leone, Kamerun, Nigeria, Liberia, Ivory
kelamin (pria lebih besar daripada wanita), usia
Coast, dan Sudan Selatan. Kasus kematian
(usia > 36 tahun lebih rentan terkena cacar
karena penyakit cacar monyet sangat bervariasi,
monyet), kepadatan rumah tangga, kejadian
sebagian besar penderita yang mengalami
digigit hewan yang dapat terinfeksi (Claire et al,
2017).
penularan dari orang yang terinfeksi). Virus

Patogenesis menyebar melalui sistem limfatik yang

Monkeypox dimulai dengan infeksi pada mengakibatkan viremia primer dan infeksi

kedua dermis (setelah penularan dari hewan sistemik. Viremia sekunder menyebabkan infeksi

yang terinfeksi) atau epitel pernapasan (setelah epitel, menghasilkan lesi kulit dan mukosa.
Setelah replikasi pada mukosa, virus berkembang mulai dari bintik merah menjadi
dapat ditularkan melalui sekresi orofaringeal lepuh berisi cairan bening, lepuh berisi nanah,
melalui kontak langsung. Risiko penularan kemudian mengeras dan ruptur.
kemungkinan tergantung pada kepadatan lesi Perbedaan utama dengan penyakit cacar
orofaringeal, kedekatan dan durasi kontak, dan air terletak pada gejalanya, yaitu pada penyakit
kelangsungan hidup virus terlepas dari respons cacar monyet terjadi pembengkakan kelenjar
imun inang. Virus cacar monyet mempunyai getah bening, sedangkan pada penyakit cacar air
mekanisme untuk menghindari respons imun. tidak terjadi. (Kemenkes RI, 2019).
Virus cacar monyet cenderung stabil dan jumlah
virion yang diperlukan untuk infeksi cukup
rendah, berdasarkan kesamaan potensial dengan
virus variola. Masa inkubasi dari paparan hingga
timbulnya gejala klinis dan tanda-tanda adalah
10-14 hari (William et al, 2013).
Tanda dan Gejala
Gejala awal yang timbul dari penyakit
cacar monyet adalah demam, sakit kepala, nyeri Gambar 1. Lesi pada Cacar Monyet
punggung, nyeri otot, lemas, dan pembengkakan (Monkeypox) (Public Health England, 2018).
kelenjar getah bening leher, ketiak, atau
Diagnosis
selangkangan. Setelah gejala awal (fase
prodromal) selama 1 – 3 hari akan terjadi fase Penyakit cacar monyet hanya dapat
erupsi dengan gejala munculnya ruam atau lesi didiagnosis melalui pemeriksaan laboratorium
pada kulit mulai dari wajah kemudian menyebar rujukan. Tes-tes ini didasarkan pada
secara bertahap. Ruam atau lesi pada kulit pendeteksian struktur antigenik (biasanya dari
sampel kulit atau cacar atau kadang-kadang
serum) khusus untuk virus monkeypox atau
imunoglobulin yang bereaksi dengan virus
(Kemenkes RI, 2019).
Diagnosis cacar monyet dilakukan
dengan mengisolasi virus melalui reaksi berantai
polimerase (PCR) dari spesimen klinis melalui
biopsi kulit atau kultur tenggorokan (Maksyutov,
Gavrilova, dan Shchelkunov, 2016). Sekarang
ini telah dikembangkan metode yang merupakan
kombinasi uji reaksi rantai polimerase kuantitatif

(PCR) realtime dan teknik GeneXpert laboratorium monkeypox (Li et al, 2016).
MPX/OPX yang lebih otomatis dalam diagnosis Pengembangan tes diagnostik laboratorium
adalah teknik ABICAP (Antibody Immuno ortopoxvirus. Uji klinis pada manusia
Column for Analytical Processes) dengan menunjukkan bahwa obat itu aman dan dapat
ELISA (Stern et al, 2016). ditoleransi dengan efek samping yang minor.
Prognosis Vaccinia Immune Globulin (VIG)
Prognosis pasien monkeypox dengan VIG dapat dipertimbangkan untuk
kekebalan atau masalah kesehatan lain adalah penggunaan profilaksis pada orang yang terpajan
malnutrisi atau masalah paru-paru, komplikasi dengan defisiensi imun yang parah dalam fungsi
infeksi bakteri sekunder, pneumonia, dan sel T yang vaksinasi cacar setelah terpapar
dehidrasi. Perkiraan tingkat kematian 10% yang monkeypox dikontraindikasikan (Centers for
lebih lama dipublikasikan, tetapi dalam 10-15 Disease Control and Prevention, 2016).
tahun terakhir, angka ini telah direvisi menjadi Pencegahan
kurang dari 2% orang yang terinfeksi, dengan Pencegahan terhadap penyakit cacar monyet
kasus terburuk berasal dari infeksi hewan ke dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut :
manusia, bukan orang ke orang (Patrick, 2018). 1. Menerapkan PHBS (perilaku hidup bersih
Pengobatan dan sehat), seperti cuci tangan dengan air
Cidofovir dan Brincidofovir (CMX001) dan sabun atau alkohol.
Efektivitas Cidofovir dan Brincidofovir 2. Menghindari kontak langsung dengan
dalam mengobati kasus monkeypox pada hewan (tikus atau primata), hewan liar lain,
manusia belum dapat dipastikan. Namun, dan konsumsi darah atau daging hewan liar
keduanya telah membuktikan aktivitas melawan (bush meat).
poxvirus dalam penelitian in vitro dan hewan. 3. Menghindari kontak langsung dengan orang
Brincidofovir mungkin memiliki profil yang terinfeksi atau material yang
keamanan yang lebih baik daripada Cidofovir. terkontaminasi.
Tecovirimat (ST-246) 4. Melakukan antisipasi bagi pelaku

Efektivitas Tecovirimat (ST-246) dalam perjalanan dari wilayah endemik cacar

menangani kasus monkeypox pada manusia monyet.

belum dapat dipastikan. Studi menggunakan 5. Menggunakan alat pelindung diri (sarung

berbagai spesies hewan telah menunjukkan tangan, masker, dan pakaian pelindung) saat

bahwa Tecovirimat (ST-246) efektif dalam menangani pasien atau binatang yang sakit

mengobati penyakit yang disebabkan oleh (Kemenkes RI, 2019).

Simpulan
Cacar monyet adalah salah satu penyakit
yang harus diperhatikan karena merupakan
masalah kesehatan yang signifikan bagi orang
yang tinggal di daerah endemis, tetapi juga merupakan masalah keamanan
kesehatan global. Intervensi yang tepat dan efektif serta kegiatan pengawasan aktif
sangat dibutuhkan untuk mencegah peningkatan kejadian cacar monyet
(monkeypox).
Data yang tersedia dalam tinjauan ini menunjukkan betapa terbatas dan
terfragmentasi informasi tentang cacar monyet (monkeypox). Meskipun ditemukan
pada tahun 1958 dan untuk pertama kalinya diketahui menginfeksi manusia pada
tahun 1970, tidak ada pedoman standar untuk manajemen klinis, terapi, ataupun
vaksin terhadap monkeypox.

Daftar Pustaka
Centers for Disease Control and Prevention. 2016. Treatment Monkeypox.
Tersedia online di
https://www.cdc.gov/poxvirus/monkeyp ox/clinicians/treatment.html
[Diakses 24
Agustus 2019].
Claire, A. Q., et al. 2017. Presumptive risk factors for monkeypox in rural
communities in the Democratic Republic of the Congo. PLOS ONE. Vol.
12 (2) : 1 – 14.
Drugs.com. 2019. Monkeypox. Tersedia online di
https://www.drugs.com/cg/monkeypox.h tml [Diakses pada 24 Agustus
2019].
Kemenkes RI. 2019. Cacar Monyet. Tersedia online di
http://infeksiemerging.kemkes.go.id [Diakses 24 Agustus 2019].
Li, D., Wilkins, K., McCollum, A.M., et al. 2017. Evaluation of the GeneXpert for
Human Monkeypox Diagnosis. The American Journal of Tropical
Medicine and Hygiene. Vol. 96 : 405-410.
Mahendra,P., Mengstie, F., dan Kandi, V. 2017. Epidemiology, Diagnosis, and
Control of Monkeypox Disease: A comprehensive Review. American
Journal of Infectious
Diseases and Microbiology. Vol. 5 (2) : 94 – 99.
Maksyutov, R.A., Gavrilova, E.V., and Shchelkunov, S.N. 2016. Species- Specific
Differentiation Of Variola, Monkeypox, And Varicella-Zoster Viruses By
Multiplex Real-Time PCR Assay. J Virol Methods. 236: 215-220.
Parker, S., dan Buller, M. 2013. A Review Of Experimental And Natural
Infections Of Animals With Monkeypox Virus Between 1958 And 2012.
Future Virol.
Vol. 8 (2) : 129 – 157.
Patrick, C. D. 2018. Monkeypox. Tersedia online di
https://www.medicinenet.com/monkeyp ox/article.htm#monkeypox_facts
[Diakses 24 Agustus 2019].
Peterson et al. 2018. Monkeypox−Enhancing Public Health Preparedness for an
Emerging Lethal Human Zoonotic Epidemic Threat in the Wake of the
Smallpox Post-Eradication Era. International Journal of Infectious
Diseases. Vol. 78 (2019) : 78 – 84.
Public Health England. 2018. Monkeypox: information for primary care. Tersedia
online di
https://www.gov.uk/guidance/monkeypo x [Diakses 24 Agustus 2019].
Reed, KD., Melski, JW., Graham, MB., Regnery, RL., Sotir, MJ., Wegner, MV.,
et al. 2004. The Detection Of Monkeypox In Humans In The Western
Hemisphere. N Engl J Med. Vol. 350 : 342 – 350.
Stern, D., Olson, V.A., Smith, S.K., et al.2016. Rapid and sensitive point-of-care
detection of Orthopoxviruses by ABICAP immunofiltration. Virology
Journal. Vol. 13 : 207.
WHO. 2018. Monkeypox. Tersedia online di https://www.who.int/news-
room/fact- sheets/detail/monkeypox [Diakses pada 24 Agustus 2019].
William, J. et al. 2013. Viral Infections with Cutaneous Lesions. HUNTER’S
TROPICAL MEDICINE AND EMERGING INFECTIOUS DISEASE. 251
– 262.

Anda mungkin juga menyukai