Di Susun Oleh:
Tingkat II B/Semester III
JEKICEN 2018.C.10a.0985
Mengetahui:
Ketua Program Studi S1 Keperawatan,
Penulis
DAFTAR ISI
SAMPUL DEPAN............................................................................................... i
LEMBAR PENGESAHAN………………………………………………………
KATA PENGANTAR......................................................................................... ii
DAFTAR ISI........................................................................................................ iii
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang........................................................................................... 6
1.2 Rumusan Masalah...................................................................................... 8
1.3 Tujuan Penulisan........................................................................................ 8
1.4 Manfaat Penulisan...................................................................................... 8
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Penyakit........................................................................................ 10
2.1.1 Definisi……………………………………………………………….. 10
2.1.2 Anatomi Fisiologi…………………………………………………….. 11
2.1.3 Etiologi……………………………………………………………….. 15
2.1.4 Klasifikasi…………………………………………………………….. 15
2.1.5 Patofisiologi…………………………………………………………... 16
2.1.6 Menifestasi Klinis…………………………………………………….. 18
2.1.7 Komplikasi…………………………………………………………… 18
2.1.8 Pemeriksaan Penunjang………………………………………………. 19
2.1.9 Penatalaksanaan Medis………………………………………………. 19
2.2 Konsep Kebutuhan Dasar Manusia Oksigenisasi...................................... 21
2.3 Menejemen Asuhan Keperawatan ............................................................ 29
2.3.1 Pengkajian Keperawatan……………………………………………… 30
2.3.2 Diagnosa Keperawatan……………………………………………….. 30
2.3.3 Intervensi Keperawatan………………………………………………. 30
2.3.4 Implementasi Keperawatan………………………………………….. 31
2.3.5 Evaluasi Keperawatan………………………………………………. 32
BAB 3 ASUHAN KEPERAWATAN
3.1 Pengkajian................................................................................................... 33
3.2 Diagnosa...................................................................................................... 46
3.3 Intervensi..................................................................................................... 47
3.4 Implementasi............................................................................................... 50
3.5 Evaluasi........................................................................................................ 50
BAB 4 PENUTUP
4.1 Kesimpulan ...................................................................................................52
4.2 Saran..............................................................................................................52
DAFTAR PUSTAKA
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang (Abses paru oksigenasi kemudian fenomenanya)
Masalah Salah satu masalah kesehatan yang utama adalah penyakit saluran
nafas Abses paru, walaupun telah terjadi kemajuan yang pesat dalam kemampuan
untuk mengidentifikasi agen-agen penyebab Abses paru yang baru ataupun lama dan
telah terjadi peningkatan kemampuan obat-obat antimikroba (Tierney, et al., 2002).
(Justifikasi/Pembenaran Data WHO, Indoensia, Kalteng, dan RSUD Doris)
Data WHO dan UNICEF menunjukkan bahwa 50% penyebab utama penyakit
Abses paru adalah bakteri Streptococcus pneumoniae, 20% disebabkan oleh
Haemophillus influenza tipe B, dan 30% disebabkan oleh virus (WHO, 2006). Abses
paru merupakan penyebab kematian nomor 7 di Indonesia, nomor 9 di Brunei, nomor
7 di Malaysia, nomor 3 di Singapura, nomor 6 di Thailand dan nomor 3 di Vietnam
(PDPIa, 2003). Di Amerika, Abses paru merupakan penyakit yang sering menyerang
15 dari keseluruhan penduduk tiap tahunnya (Price dan Wilson, 1994). Persentase
kejadian Abses paru di Indonesia pada tahun 2008 sebesar 49,45%, tahun 2009
sebesar 49,23% dan tahun 2010 sebesar 9,38% dari jumlah seluruh balita di Indonesia
(Kemenkes RI, 2010). Begitu pula di Propinsi Jawa Tengah sebesar 80% sampai 90%
dari seluruh kasus kematian ISPA disebabkan oleh Abses paru. Angka kejadian
Abses paru di Jawa Tengah pada tahun 2010 mencapai 26,76% (Dinkes Jawa Tengah,
2010), sedangkan angka kejadian Abses paru pada balita di Sukoharjo, Jawa Tengah
tahun 2011 mencapai 2,2% (Dinkes Sukoharjo, 2011). Sulitnya mengidentifikasi
penyebab Abses paru dan membutuhkan waktu beberapa hari untuk mengetahui
hasilnya, maka diberikan antibiotik secara empiris pada awal pengobatan (Tjay dan
Rahardja, 2007), mengingat Abses paru akan menyebabkan kematian jika tidak
segera ditangani (PDPIa, 2003).
(Kronologis Sebab Akibat dari Abses Paru) Penggunaan antibiotik yang
tidak tepat mengakibatkan hal-hal merugikan seperti pengobatan kurang efektif,
tingkat keamanan obat menurun, meningkatnya resistensi, dan mahalnya biaya
pengobatan (Kemenkes, 2011). Selain itu menurut
(SOLUSI Penanganan Dri penyakit) Sutedjo (2008) reaksi alergi atau
hipersensitivitas, suprainfeksi, dan toksisitas organ dapat timbul sebagai akibat
penggunaan antibiotik yang tidak tepat. Dalam penelitian sebelumnya yang dilakukan
oleh Hidayatunnuzaha tahun 2012, diperoleh hasil evaluasi penggunaan antibiotik
pada 100 pasien bahwa 100% tepat pasien, 100% tepat obat, namun hanya 88% tepat
dosis (Hidayatunnuzaha, 2012). Hal inilah yang mendorong peneliti untuk melakukan
kajianlebih lanjut mengenai penggunaan antibiotik pada pasien Abses paru namun
dengan metode yang berbeda yaitu dengan metode Gyssens.
adalah suatu kavitas dalam jaringan paru yang berisi material purulen berisikan sel
radang akibat proses nekrotik parenkim paru oleh proses terinfeksi. Bila diameter kavitas < 2
cm dan jumlahnya banyak (multiple small abscesses) dinamakan “necrotising pneumonia”.
Abses besar atau abses kecil mempunyai manifestasi klinik berbeda namun
mempunyai predisposisi yang sama dan prinsip diferensial diagnosea sama pula. Abses
timbul karena aspirasi benda terinfeksi, penurunan mekanisme pertahanan tubuh atau
virulensi kuman yang tinggi.
Pada umumnya kasus Abses paru ini berhubungan dengan karies gigi, epilepsi tak
terkontrol, kerusakan paru sebelumnya dan penyalahgunaan alkohol. Pada negara-
negara maju jarang dijumpai kecuali penderita dengan gangguan respons imun seperti
penyalahgunaan obat, penyakit sistemik atau komplikasi dari paska obstruksi. Pada
beberapa studi didapatkan bahwa kuman aerob maupupn anaerob dari koloni
oropharing yang sering menjadi penyebab abses paru.
Pendapat dari Prof. dr. Hood Alsagaff (2006) tentang penyebab abses paru sesuai
dengan urutan frekuensi yang ditemukan di RSUD Dr. Soetomo Surabaya adalah:
Kuman penyebab Abses Paru menurut Asher MI dan Beadry PH (1990) antara lain
adalah sebagai berikut:
Sedangkan Spektrum isolasi bakteri Abses paru akut menurut Hammond et al (1995)
adalah:
1. Anaerob: Provetella sp; Porphyromonas sp; Bacteroides sp; Fusobacterium
sp; Anaerobic cocci: Microaerophilic streptococci; Veilonella sp;
Clostridium sp; Nonsporing Gram-positive anaerobes.
2. Aerob: Viridans streptococci; Staphylococcus sp; Corynebacterium sp;
Klebsiella sp; Haemophilus sp; Gram-negative cocci
Sedangkan menurut Finegold dan Fishmans (1998), Organisme dan kondisi yang
berhubungan dengan Abses paru :
2.1.4 Klasifikasi
Berdasarkan penyebabnya, Abses Paru terjadi karena: Abses paru timbul bila
parenkim paru obstruksi, infeksi kemudian proses supurasi dan nekrosis. Perubahan
reaksi radang pertama dimulai dari suppurasi dan trombosis pembuluh darah lokal,
yang menimbulkan nekrosis dan likuifikasi.
Garry tahun 1993 mengemukakan terjadinya abses paru disebutkan sebagai berikut:
WOC B1-B6
2.1.6 Menifestasi Klinis
Gejala klinis yang ada pada Abses paru hampir sama dengan gejala pneumonia pada umumnya
yaitu:
a. Panas badan
Dijumpai berkisar 70% - 80% penderita Abses paru. Kadang dijumpai dengan temperatur >
400C.
b. Batuk, pada stadium awal non produktif. Bila terjadi hubungan rongga abses dengan
bronkus batuknya menjadi meningkat dengan bau busuk yang khas (Foetor ex oroe (40-
75%).
c. Produksi sputum yang meningkat dan Foetor ex oero dijumpai berkisar 40 – 75%
penderita Abses paru.
d. Nyeri dada ( 50% kasus)
e. Batuk darah ( 25% kasus)
f. Gejala tambahan lain seperti lelah, penurunan nafsu makan dan berat badan.
Pada pemeriksaan dijumpai tanda-tanda proses konsolidasi seperti redup, suara nafas yang
meningkat, sering dijumpai adanya jari tabuh serta takikardi.
Pada foto torak terdapat kavitas dengan dinding tebal dengan tanda-tanda konsolidasi
disekelilingnya. Kavitas ini bisa multipel atau tunggal dengan ukuran 2 – 20 cm.
Gambaran ini sering dijumpai pada paru kanan lebih dari paru kiri. Bila terdapat hubungan
dengan bronkus maka didalam kavitas terdapat Air fluid level. Tetapi bila tidak ada hubungan
maka hanya dijumpai tanda-tanda konsolidasi (opasitas).
Komplikasi pada kasus abses paru sering kali terjadi akibat pecahnya abses. Beberapa di
antaranya adalah:
Fistula bronkopleural. Kondisi ini dapat muncul jika abses di dalam paru pecah dan
menyebabkan kebocoran. Akibatnya, udara dari dalam paru-paru dapat mengalir ke luar
dari paru-paru. Komplikasi ini dapat diperbaiki dengan operasi.
Perdarahan paru-paru. Pecahnya abses paru-paru dapat diikuti dengan pecahnya
pembuluh darah di dalam organ tersebut. Kondisi ini dapat menyebabkan pasien
kehilangan darah akibat perdarahan. Jika perdarahan terjadi cukup parah, maka dapat
membahayakan nyawa penderita akibat kehilangan darah.
Penyebaran infeksi. Abses yang pecah akan menyebabkan bakteri menyebar dari lokasi
infeksi ke bagian tubuh lainnya.
Selain tes darah, pemeriksaan penunjang yang mungkin disarankan adalah foto
rontgen, USG, CT scan, atau MRI. Pemeriksaan ini bertujuan untuk mengetahui letak
dari abses paru, dan seberapa luas gangguan yang diderita. Setidaknya 80-90% penyakit
abses paru dapat teratasi dengan obat antibiotic.
2.1.9 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan Abses paru harus berdasarkkan pemeriksaan mikrobiologi dan data penyakit
dasar penderita serta kondisi yang mempengaruhi berat ringannya infeksi paru. Ada beberapa
modalitas terapi yang diberikan pada abses paru :
Pada era sebelum antibiotika tingkat kematian mencapai 33%, pada era antibiotika maka tingkat
kematian dan prognosa abses paru menjadi lebih baik. Pilihan pertama antibiotika adalah
golongan Penicillin, pada saat ini dijumpai peningkatan abses paru yang disebabkan oleh kuman
anaerobs (lebih dari 35% kuman gram negatif anaerob). Maka bisa dipikirkan untuk memilih
kombinasi antibiotika antara golongan penicillin G dengan clindamycin atau dengan
Metronidazole, atau kombinasi clindamycin dan Cefoxitin. Alternatif lain adalah kombinasi
Imipenem dengan ß Lactamase inhibitase pada penderita dengan pneumonia nosokomial yang
berkembang menjadi Abses paru. Waktu pemberian antibiotika tergantung dari gejala klinis dan
respon radiologis penderita. Penderita diberikan terapi 2-3 minggu setelah bebas gejala atau
adanya resolusi kavitas, jadi diberikan antibiotika minimal 2-3 minggu.
2.1.9.2 Klindamisin
Merupakan obat pilihan, diikuti dengan metronidason. Seftasisin ditambah arnoglikosida atau
sefoperazon diguanakan jika organisme penyebabnya adalah pseudomonas aeruginosa.s. aureus
diobati dengan oksasilin, nafsilin, atau sefatosporin ( sefuroksin ) generasi pertama. Dosis
intravena yang banyak bisanya diperlukan, karena antibiotik harus menembus jaringan nekrotik
dan cairn dalam abses .pengobatan ini dilanjutkan dengan terapijangka panjang preparat oral.
2.1.9.3 Drainage
Drainase postural dan fisiotherapi dada 2-5 kali seminggu selama 15 menit diperlukan
untuk mempercepat proses resolusi Abses paru. Pada penderita Abses paru yang tidak
berhubungan dengan bronkus maka perlu dipertimbangkan drainase melalui bronkoskopi.
2.1.9.4 Bedah
Reseksi segmen paru yang nekrosis diperlukan bila:
2.2.2 Fisiologi
Peristiwa bernapas terdiri dari 2 bagian:
1) Menghirup udara (inpirasi)
Inspirasi adalah terjadinya aliran udara dari sekeliling masuk melalui saluran
pernapasan sampai keparu-paru. Proses inspirasi : volume rongga dada naik/lebih
besar, tekanan rongga dada turun/lebih kecil.
2) Menghembuskan udara (ekspirasi)
Tidak banyak menggunakan tenaga, karena ekspirasi adalah suatu gerakan pasif
yaitu terjadi relaxasi otot-otot pernapasan. Proses ekspirasi : volume rongga dada
turun/lebih kecil, tekanan rongga dada naik/lebih besar.
Proses pemenuhan oksigen di dalam tubuh terdiri dari atas tiga tahapan, yaitu
ventilasi, difusi dan transportasi.
3) Ventilasi
Merupakan proses keluar masuknya oksigen dari atmosfer ke dalam alveoli atau dari
alveoli ke atmosfer. Proses ini di pengaruhi oleh beberapa factor:
1. Adanya kosentrasi oksigen di atmosfer. Semakin tingginya suatu tempat, maka
tekanan udaranya semakin rendah.
2. Adanya kondisi jalan nafas yang baik.
3. Adanya kemampuan toraks dan alveoli pada paru-paru untuk mengembang di
sebut dengan compliance. Sedangkan recoil adalah kemampuan untuk
mengeluarkan CO² atau kontraksinya paru-paru.
4) Difusi
1. Difusi gas merupakan pertukaran antara O² dari alveoli ke kapiler paru-paru dan
CO² dari kapiler ke alveoli. Proses pertukaran ini dipengaruhi oleh beberapa
faktor, yaitu:
2. Luasnya permukaan paru-paru.
3. Tebal membrane respirasi/permeabilitas yang terdiri atas epitel alveoli dan
interstisial. Keduanya dapat mempengaruhi proses difusi apabila terjadi proses
penebalan.
4. Pebedaan tekanan dan konsentrasi O². Hal ini dapat terjadi sebagaimana O² dari
alveoli masuk kedalam darah secara berdifusi karena tekanan O² dalam rongga
alveoli lebih tinggi dari pada tekanan O² dalam darah vena vulmonalis.
5. Afinitas gas yaitu kemampuan untuk menembus dan mengikat HB.
5) Transportasi gas
Transfortasi gas merupakan proses pendistribusian O² kapiler ke jaringan tubuh dan
CO² jaringan tubuh ke kapiler. Transfortasi gas dapat dipengaruhi oleh beberapa
faktor, yaitu:
1. curah jantung (kardiak output), frekuensi denyut nadi.
2. kondisi pembuluh darah, latihan perbandingan sel darah dengan darah secara
keseluruhan (hematokrit), serta elitrosit dan kadar Hb.
2.2.3 Etiologi
Faktor yang mempengaruhi kebutuhan oksigen:
1) Faktor Fisiologi
1) Menurunnya kemampuan mengikat O2 seperti pada anemia
2) Menurunnya konsetrasi O2 yang diinspirasi seperti pada obstruksi saluran pernapasan
atas, peningkatan sputumyang berlebihan pada saluran pernapasan.
3) Hipovolemia sehingga tekanan darah menurun yang mengakibatkan terganggunya O2.
4) Meningkatnya metabolisme seperti adanya infeksi,demam, ibu hamil,luka,dll.
5) Kondisi yang mempengaruhi pergerakan dinding dada seperti pada kehamilan,
obesitas, muskuloskletal yang abnormal, penyakit kronik seperti TBC paru.
2) Faktor Perkembangan
1) Bayi prematur, yang disebabkan kurangnya surfaktan.
2) Bayi dan balita, adanya risiko infeksi saluran pernapasan akut.
3) Anak usia sekolah dan remaja, resiko saluran pernapasan dan merokok.
4) Dewasa muda dan pertengahan, diet yang tidak sehat, kurang aktivitas, stress
yang mengakibatkan penyakit jantungdan paru-paru.
5) Dewasa tua, adanya proses penuaan yang mengakibatkan kemungkinan
arteriosklerosis, elastisitas menurun, ekspansi paru menurun.
3) Faktor Perilaku
1) Nutrisi: misalnya pada obesitas menyebabkan penurunan ekspansi paru, gizi yang
buruk menyebabkan anemia, sehingga daya ikat oksigen menurun, diet yang
tinggi lemak menimbulkan arteriosklerosis.
2) Aktivitas fisik: latihan akan meningkatkan kebutuhan oksigen (meningkatkan
heart rate dan respirasi).
3) Merokok: nikotin menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah perifer dan
koroner.
4) Alkohol dan obat-obatan: menyebabkan asupan nutrisi dan Fe menurun yang
mengakibatkan penurunan hemoglobin.Alkohol menyebabkan depresi pusat
pernapasan.
5) Kecemasan: Menyebabkan metabolisme meningkat.
4) Faktor Lingkungan
1) Tempat kerja (polusi)
2) Suhu lingkungan
3) Ketinggian tempat dari permukaan laut (Konsentrasi oksigen pada dataran tinggi
cenderung lebih rendah, sehingga tubuh berespon untuk meningkatkan frekuensi
dan kedalaman pernafasan untuk memenuhi oksigenasi jaringan).
2.2.4 Patofisiologi
Proses pertukaran gas dipengaruhi oleh ventilasi, difusi dan trasportasi. Proses ventilasi
adalah proses penghantaran jumlah oksigen yang masuk dan keluar dari dan ke paru-paru,
apabila pada proses ini terdapat obstruksi maka oksigen tidak dapat tersalur dengan baik dan
sumbatan tersebut akan direspon jalan nafas sebagai benda asing yang menimbulkan pengeluaran
mukus.
Proses difusi adalah penyaluran oksigen dari alveoli ke jaringan, yang terganggu akan
menyebabkan ketidakefektifan pertukaran gas. Selain kerusakan pada proses ventilasi, difusi,
maka kerusakan pada transportasi seperti perubahan volume sekuncup, afterload, preload, dan
kontraktilitas miokard juga dapat mempengaruhi pertukaran gas (Brunner & Suddarth, 2002).
2.2.5 Menifestasi Klinis
Adanya penurunan tekanan inspirasi/ ekspirasi menjadi tanda gangguan oksigenasi.
Penurunan ventilasi permenit, penggunaaan otot nafas tambahan untuk bernafas, pernafasan
nafas flaring (nafas cuping hidung), dispnea, ortopnea, penyimpangan dada, nafas pendek, posisi
tubuh menunjukan posisi 3 poin, nafas dengan bibir, ekspirasi memanjang, peningkatan diameter
anterior-posterior, frekuensi nafas kurang, penurunan kapasitas vital menjadi tanda dan gejala
adanya pola nafas yang tidak efektif sehingga menjadi gangguan oksigenasi (NANDA, 2011).
Beberapa tanda dan gejala kerusakan pertukaran gas yaitu takikardi, hiperkapnea,
kelelahan, somnolen, iritabilitas, hipoksia, kebingungan, AGS abnormal, sianosis, warna kulit
abnormal (pucat, kehitam-hitaman), hipoksemia, hiperkarbia, sakit kepala ketika bangun,
abnormal frekuensi, irama dan kedalaman nafas (NANDA, 2011).
2.2.6 Komplikasi
1) Hipoksia
2) Hipoksemia
3) Hiperkapnia
4) Gagal napas
5) Gagal Jantung
6) Kematian
2.2.7 Pemeriksaan Diagnaostik
Pemeriksaan diagnostik yang dapat dilakukan untuk mengetahui adanya gangguan
oksigenasi yaitu:
1) EKG: menghasilkan rekaman grafik aktivitas listrik jantung, mendeteksi transmisi impuls
dan posisi listrik jantung.
2) Pemeriksaan stres latihan, digunakan untuk mengevaluasi respond jantung terhadap stres
fisik. Pemeriksaan ini memberikan informasi tentang respond miokard terhadap peningkatan
kebutuhan oksigen dan menentukan keadekuatan aliran darah koroner.
3) Pemeriksaan untuk mengukur keadekuatan ventilasi dan oksigenasi ; pemeriksaan fungsi
paru, analisis gas darah (AGD).
4) Foto thorax : deviasi mediastinal adanya tegangan (tension).
2.2.8 Penatalaksanaan Medis
Secara umum, langkah awal untuk mengatasi gangguan oksigen adalah dengan terapi
oksigen.
Metode pemberian O2 dapat dibagi atas 2 teknik:
1) Sistem aliran rendah
Teknik sistem aliran rendah diberikan untuk menambah konsentrasi udara ruangan. Teknik
ini menghasilkan FiO2 yang bervariasi tergantung pada tipe pernafasan dengan patokan volume
tidal pasien. Pemberian O2 sistem aliran rendah ini ditujukan untuk klien yang memerlukan O2
tetapi masih mampu bernafas dengan pola pernafasan normal, misalnya klien dengan Volume
Tidal 500 ml dengan kecepatan pernafasan 16 – 20 kali permenit (Harahap, 2005). Yang
termasuk dalam sistem aliran rendah yaitu.
2) Kateter nasal
Kecepatan aliran yang disarankan (L/menit): 1-6. Keuntungan pemberian O2 stabil, klien
bebas bergerak, makan dan berbicara, murah dan nyaman serta dapat juga dipakai sebagai kateter
penghisap. Kerugian Tidak dapat memberikan konsentrasi O2 lebih dari 45%, tehnik memasuk
kateter nasal lebih sulit dari pada kanula nasal, dapat terjadi distensi lambung, dapat terjadi iritasi
selaput lendir nasofaring, aliran lebih dari 6 L/mnt dapat menyebabkan nyeri sinus dan
mengeringkan mukosa hidung, kateter mudah tersumbat (Harahap, 2005).
3) Kanul nasal
Kecepatan aliran yang disarankan (L/menit): 1-6. Keuntungan Pemberian O2 stabil dengan
volume tidal dan laju pernafasan teratur, mudah memasukkan kanul dibanding kateter, klien
bebas makan, bergerak, berbicara, lebih mudah ditolerir klien. Kerugian tidak dapat memberikan
konsentrasi O2 lebih dari 44%, suplai O2 berkurang bila klien bernafas lewat mulut, mudah lepas
karena kedalam kanul hanya 1 cm, mengiritasi selaput lender (Harahap, 2005).
4) Sungkup muka sederhana
Kecepatan aliran yang disarankan (L/menit): 5-8. Keuntungan konsentrasi O2 yang diberikan
lebih tinggi dari kateter atau kanula nasal, system humidifikasi dapat ditingkatkan melalui
pemilihan sungkup berlobang besar, dapat digunakan dalam pemberian terapi aerosol. Kerugian
Tidak dapat memberikan konsentrasi O2 kurang dari 40%, dapat menyebabkan penumpukan
CO2 jika aliran rendah (Harahap, 2005).
5) Sungkup muka dengan kantong rebreathing
Kecepatan aliran yang disarankan (L/menit): 8-12. Keuntungan Konsentrasi O2 lebih tinggi
dari sungkup muka sederhana, tidak mengeringkan selaput lender. Kerugian Tidak dapat
memberikan O2 konsentrasi rendah, jika aliran lebih rendah dapat menyebabkan penumpukan
CO2, kantong O2 bisa terlipat (Harahap, 2005).
6) Sungkup muka dengan kantong non rebreathing
Kecepatan aliran yang disarankan (L/menit): 8-12. Keuntungan konsentrasi O2 yang
diperoleh dapat mencapai 98%, tidak mengeringkan selaput lendir. Kerugian kantong O2 bisa
terlipat (Harahap, 2005)
7) Sistem aliran tinggi
Suatu teknik pemberian O2 dimana FiO2 lebih stabil dan tidak dipengaruhi oleh tipe
pernafasan, sehingga dengan teknik ini dapat menambahkan konsentrasi O2 yang lebih tepat dan
teratur. Adapun contoh teknik sistem aliran tinggi yaitu sungkup muka dengan ventury. Prinsip
pemberian O2 dengan alat ini yaitu gas yang dialirkan dari tabung akan menuju ke sungkup
kemudian dihimpit untuk mengatur suplai O2 sehingga tercipta tekanan negatif, akibat udara luar
dapat diisap dan aliran udara yang dihasilkan lebih banyak. Aliran udara pada alat ini ± 4–14
L/mnt dan konsentrasi 30 – 55% (Harahap, 2005).
Keuntungan : Konsentrasi O2 yang diberikan konstan sesuai dengan petunjuk pada alat dan
tidak dipengaruhi perubahan pola nafas terhadap FiO2, suhu dan kelembapan gas dapat dikontrol
serta tidak terjadi penumpukan CO2(Harahap, 2005).Kerugian sistem ini hampir sama dengan
sungkup muka yang lain pada aliran rendah.
2.2.9 Masalah Oksigenisasi
1) Hipoksia
Merupakan kondisi tidak tercukupinya pemenuhan kebutuhan oksigen dalam tubuh akibat
defisiensi oksigen.
2) Perubahan Pola Nafas
1. Takipnea, merupakan pernafasan dengan frekuensi lebih dari 24x/ menit karena paru-
paru terjadi emboli.
2. Bradipnea, merupakan pola nafas yang lambat abnormal, ± 10x/ menit.
3. Hiperventilasi, merupakan cara tubuh mengompensasi metabolisme yang terlalu tinggi
dengan pernafasan lebih cepat dan dalam sehingga terjadi jumlah peningkatan O2 dalam
paru-paru.
4. Kussmaul, merupakan pola pernafasan cepat dan dangkal.
5. Hipoventilasi merupakan upaya tubuh untuk mengeluarkan CO2 dengan cukup, serta
tidak cukupnya jumlah udara yang memasuki alveoli dalam penggunaan O2.
6. Dispnea, merupakan sesak dan berat saat pernafasan.
7. Ortopnea, merupakan kesulitan bernafas kecuali dalam posisi duduk atau berdiri.
8. Stridor merupakan pernafasan bising yang terjadi karena penyempitan pada saluran
nafas
3) Obstruksi Jalan Nafas
Merupakan suatu kondisi pada individu dengan pernafasan yang mengalami ancaman,
terkait dengan ketidakmampuan batuk secara efektif. Hal ini dapat disebabkan oleh sekret
yang kental atau berlebihan akibat infeksi, imobilisasi, serta batuk tidak efektif karena
penyakit persarafan.
4) Pertukaran Gas
Merupakan kondisi pada individu yang mengalami penurunan gas baik O2 maupun CO2
antara alveoli paru-paru dan sistem vaskular.
2.2.10 enatalaksanaan
1) Bersihan Jalan Nafas Tidak Efektif
- Pembersihan jalan nafas
- Latihan batuk efektif
- Suctioning
- Jalan nafas buatan
2) Pola Nafas Tidak Efektif
- Atur posisi pasien ( semi fowler )
- Pemberian oksigen
- Teknik bernafas dan relaksasi
3) Gangguan Pertukaran Gas
- Atur posisi pasien ( posisi fowler )
- Pemberian oksigen
- Suctioning
4) Nyeri Akut
- Berikan tekhnik relaksasi
- Atur posisi pasien (semi fowler)
- Pemberian analgetik
2.3 Menejemen Asuhan Keperawatan
2.3.1 Pengkajian (PEMERIKSAAN FISIK DAN B1-B6)
2.3.1.1 Pola Napas Tidak Efektif
1. Data Subjektif
1. Klien mengeluh sesak napas.
2. Bernapas terasa berat.
3. Susah untuk melakukan pernapasan.
4. Nyeri dada kiri saat bernapas dan batuk.
2. Data Objektif
5. Klien tampak sesak napas
6. Bentuk dada kiri lebih cembung
7. Gerakan napas dada kiri tertinggal
3. Nyeri Akut
1. Data Subjektif
8. Klien mengatakan nyeri pada bagian yang terpasang selang WSD
2. Data Objektif
9. Adanya luka 1 cm dengan jahitan mengelilingi selang WSD
10. Pasien tampak meringis
11. Terpasang selang WSD di IC 4-5 dihubungkan dengan selang penyambung ke
botol WSD
2.3.2 Diagnosa Keperawatan (patokan MK WOC)
1. Pola napas tidak efektif b/d penurunan ekspansi paru sekunder terhadap peningkatan
tekanan di dalam rongga pleura; pneumothorax. (Kode 0005 : Hal 26)
2. Nyeri akut b/d trauma insisi jaringan dan sekunder pemasangan WSD. SDKI (0077 :
Hal 172)
3. Resiko infeksi dan trauma pernapasan b/d tindakan invasif sekunder pemasangan selang
WSD. SDKI (D.0142 : Hal 304)
4. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan penurunan suplai O2 ke jaringan sekunder
dibuktikan dengan pasien mengeluh sesak setelah beraktivitas (D.0056 ; hal 128)
2.3.3 Intervensi
2.3.3.1 Diagnosa Keperawatan: Pola napas tidak efektif b/d penurunan ekspansi paru sekunder
terhadap peningkatan tekanan di dalam rongga pleura; pneumothorax.
Tujuan dan Kriterian Hasil
Intervensi Keperwatan :
1. Identifikasi faktor penyebab kolaps: trauma, infeksi komplikasi mekanik
pernapasan. Rasional
2. Kaji kualitas, frekuensi dan kedalaman napas, laporkan setiap perubahan yang
terjadi
3. Baringkan pasien dalam posisi yang nyaman, atau dalam posisi duduk
4. Observasi TTV
5. Lakukan IPPA tiap 1-2 jam
6. Memberikan oksigen tambahan nasal kanule 2 lpm
7. Kolaborasi untuk tindakan dekompresi dengan pemasangan selang WSD
8. Bantu dan ajarkan pasien untuk batuk dan napas dalam yang efektif.
2.3.3.2 Nyeri akut b/d trauma insisi jaringan dan sekunder pemasangan WSD.
9. Identifikasi factor pencetus dan pereda nyeri
10. Kaji kualitas nyeri
11. Observasi tanda-tanda infeksi pada luka, TTV, keluhan sesak napas dan nyeri saat
bernapas
12. Ajarkan pasien tekhnik relaksasi napas dalam
13. Anjurkan pasien untuk beristirahat ketika nyeri kambuh.
14. Anjurkan pasien untuk memegang selang bila ingin merubah posisi
15. Jaga personal hygiene, alat medis dan lingkungan
16. Berikan asupan nutrisi yang adekuat
17. Lakukan perawatan WSD setiap hari
18. Kolaborasi medis untuk pemberian obat antibiotika.
2.3.3.3 Intoleransi aktivitas berhubungan dengan penurunan suplai O2 ke jaringan sekunder
dibuktikan dengan pasien mengeluh sesak setelah beraktivitas
19. Rancang jadwal pasien
20............................................................................................................................Anjur
kan pasien untuk istirahat 1 jam setelah makan (misalnya berbaring atau duduk)
21............................................................................................................................Ting
katkan aktivitas secara bertahap dengan periode istirahat diantara dua aktivitas
misalnya duduk dulu sebelum tidur dan berjalan setelah tidur
22............................................................................................................................Kola
borasi pemberian oksigen setelah beraktivitas bila terjadi peningkatan status
pernafasan
23............................................................................................................................Obse
rvasi respon individu terhadap aktivitas (status pernafasan dan pucat)
24. Mencegah aktivitas fisik yang berlebihan
25. Meningkatkan complai paru-paru dan mencegah kelelahan yang berlebihan
2.3.4 Implementasi
Pada langkah ini, perawat memberikan asuhan keperawatan yang pelaksanaannya
berdasarkan rencana keperawatan yang telah disesuaikan pada langkah sebelumnya (intervensi).
2.3.5 Evaluasi Keperawatan
Evaluasi keperawatan adalah mengkaji respon pasien setelah dilakukan intervensi
keperawatan dan mengkaji ulang asuhan keperawatan yang telah diberikan (Deswani, 2009).
Evaluasi keperawatan adalah kegiatan yang terus menerus dilakukan untuk menentukan
apakah rencana keperawatan efektif dan bagaimana rencana keperawatan dilanjutkan, merevisi
rencana atau menghentikan rencana keperawatan (Manurung, 2011). Evaluasi dapat dilakukan
dengan menggunakan pendekatan SOAP.
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
Nim : 2018.C.10a.0970
I. PENGKAJIAN
A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny.S
Umur : 77 Tahun
Agama : Kristen
Pekerjaan : Swasta
Pendidikan : SMA
Pada tanggal 17 Maret 2020 pukul 13.55 WIB, klien dibawa ke IGD RSUD Dr.Doris
Sylvanus dan dirawat selama 1 hari lalu sekarang dirawat di Ruang Gardenia kelas 1.
Ny.S mengalami penurunan kesadaran sejak dibawa ke IGD.
………………………………………………………………………
………………………………………………………………………
………………………………………………………………………
GENOGRAM KELUARGA
Keterangan :
= Perempuan
= Laki-Laki
= Pasien
= Meninggal
= Menikah
C. PEMERIKSAAN FISIK
1. Keadaan Umum : Pasien tampak lemah dan berbaring terlentang
dengan kesadaran Apatis dan terpasang NGT di bagian hidung sebelah kiri serta terpasang
infus ringer lactate infus dipasang di lengan kiri 15 tpm serta terpasang oksigen nasal canul
4 liter/menit.
2. Status Mental :
a. Tingkat Kesadaran : Compos Menthis
e. Bicara : Jelas
h. Fungsi kognitif : :
Lainnya...........................
m. Keluhan Lainnya :
3. Tanda-tanda Vital :
a. Suhu/T : 36,5 0 C Axilla Rektal Oral
b. Nadi/HR : 78x/Menit
c. Pernapasan/RR : 20x/Menit
4. PERNAPASAN (BREATHING)
Bentuk Dada : Simetris
Sianosis
Nyeri dada
Lainnya
Bronchial Trakeal
Keluhan lainnya :
5. CARDIOVASCULER ( BLEEDING )
Nyeri dada Kram kaki Pucat
Ada kelainan
Keluhan Lainnya : ……………………………………………………………..............
Masalah : .........................................................................................................
6. PERSYARAFAN (BRAIN)
Nilai GCS : E (4) : Membuka Mata Spontan (4)
Midriasis Meiosis
Nyeri, lokasi.
Pelo
kelainan
wajah simetris
dan trapezius
Nervus Kranial XII : Lidah simetris tidak ada deviasi pada satu
pengecapan normal
Uji Koordinasi :
Refleks :
Masalah Keperawatan :
Warna : Kuning
Dysuri Nocturi
Kateter Cystostomi
Rectum : Normal
Haemoroid : Normal
Keluhan Lainnya :
……………………………………………………………………………
Masalah Keperawatan :
…………………………………………………………………………………………………
TULANG – OTOT – INTEGUMEN ( BONE )
Paralise/paraplegia/lumpuh, lokasi
Kekakuan,Lokasi .........................................................
Flasiditas .....................................................................
Atropi
Hipertropi
Kontraktur
Malposisi
Tulang Belakang
Normal Skoliosis
Kifosis Lordosis
Makanan ……………………………………………………
Kosametik ………………………………………………….
Lainnya ……………………………………………………..
Masalah Keperawatan :
Nyeri : ….……………………………………………………………………...
b. Hidung/Penciuman :
Bentuk : Simetris Asimetris
Lesi
Patensi
Obstruksi
Transluminasi
Masalah Keperawatan :
Srotum : ……………………………….
Hernia : ……………………………….
b. Reproduksi Wanita
Perdarahan : …………………….....………………
Clitoris : ……………………………………….
Labia : ……………………………………….
Uretra : ………………………………………..
Lainnya :
Payudara :
Simetris Asimetris
Sear Lesi
Masalah keperawatan :
1. Persepsi Terhadap Kesehatan dan Penyakit : keluarga klien mengatakan “ingin klien
cepat pulang dan lekas sembuh agar bisa berkumpul bersama keluarga serta bisa
melakukan aktivitas kembali, seperti berkebun dan melakukan aktivitas fisik lainnya
TB : 160 Cm
BB Sekarang : 45 Kg
BB Sebelum sakit : 50 Kg
IMT Mana????
Diet :
Diet Khusus :
Keluhan Lainnya :
3. Pola istirahat dan tidur : 8 jam malam hari, 2 jam siang hari
4. Kognitif :
Masalah Keperawatan :
Gambaran Diri : Pasien mengatakan ingin segera sembuh dan pulang kerumah
Harga Diri : Pasien dapat disayangi oleh anggota keluarganya saat sakit keluarga
datang menjenguk.
Masalah Keperawatan :
6. Aktivitas Sehari-hari : Sebelum sakit klien dapat beraktivitas secara mandiri, namun
sesudah sakit klien tidak dapat melakukan aktivitas apapun.
Intoleransi Aktivtas :
Masalah Keperawatan :
7. Koping-Toleransi terhadap Stress: keluarga klien mengatakan “bila klien sedang ada
masalah, Ia selalu menceritakan kepada keluarga”.
Masalah Keperawatan:
E. SOSIAL – SPIRITUAL.
1. Kemampuan berkomunikasi : Klien tidak dapat berkomunikasi dengan baik. Bahasa
sehari-hari adalah dayak dan Indonesia.
Sebelum sakit : pasien bekerja dan meluangkan waktu untuk keluarga dan bekerja dikebun
7. Kegiatan beribadah : Sebelum sakit, pasien selalu menjalankan ibadah yaitu kegereja.
G. PENATALAKSANAAN MEDIS
Dosis
No Nama obat indikasi Rute
obat
1 Ringer 500 untuk mengatasi deplesi volume berat IV
Lactate mg saat tidak dapat diberikan rehidrasi oral.
Mahasiswa,
(jekicen)
NIM : 2018.C.10a.0970
3.2 Diagnosa keperawatan
Diagnosa
Tujuan (Kriteria Hasil) Intervensi Rasional
Keperawatan
1. Ketidakefektifa Setelah dilakukan tindakan 1. berikan penjelasan kepada klien dan 1. klien dan keluarga mau
n bersihan jalan keperawatan selama 3x24 jam keluarga tentang sebab dan akibat berpartisipasi dalam mencegah
napas b.d diharapkan klien mampu ketidakefektifan jalan nafas, rubah posisi terradinya ketidakefektifan
kerusakan mempertahankan fungsi paru tiap 2 jam sekali, berikan bersihan jalan nafas
batuk, secara normal dengan kriteria intake yang adekuat (2000 cc per hari)%)
ketidakmampua hasil : 2. observasi pola dan frekuensi nafas, 2. perubahan posisi dapat
n mengatasi - Pasien menunjukan tidak auskultasi suara nafas melepaskan sekret dari saluran
lendir adanya gangguan status pernafasan, air yang cukup
pernafasan dapat mengencerkan sekret,
ntuk mengetahui ada tidaknya
- Pernafasan pasien ketidakefektifan jalan nafas
menunjukan kecepatan dan
irama pernafasan dalam 3. akukan fisioterapi nafas sesuai
batas normal dengan keadaan umum klien.
4. Auskultasi dada untuk mendengarkan
- Bunyi napas bersih saat
bunyi jalan napas setiap 4 jam.
auskultasi.
2. Defisit Setelah dilakukan intervensi 1. kaji kemampuan klien dalam perawatan 1. melihat kemampuan kien
perawatan diri selama 3x24 jam diharapkan diri dalam perawatan diri
berhubungan kebersihan diri klien dengan 2. membantu proses pemenuhan kebutuhan 2. membantu memenuhi
dengan kriteria hasil : personal hygiene klien kebutuhan personal hygiene
kelemahan Setelah dilakukan tindakan ke 3. libatkan keluarga dalam melakukan klien
neuromuscular perawatan selama proses keper perawatan pada klien 3. agar keluarga dapat melakukan
awatan diharapkan personal perawatan pada klien ketika
hygiene pasien dapat dirumah
terpenuhi.
3 Resiko Setelah dilakukan intervensi 1. Anjurkan untuk melakukan latihan ROM 1. Meningkatkan aliran darah
gangguan selama 3x24 jam Klien mampu (range of motion) dan mobilisasi jika kesemua daerah
integritas kulit mempertahankan keutuhan mungkin 2. Menghindari tekanan yang
berhubungan kulit dengan Kriteria hasil 2. Rubah posisi tiap 2 jam berlebih pada daerah yang
dengan tirah - Klien mau berpartisipasi 3. Lakukan masase pada daerah yang menonjol
baring lama terhadap pencegahan luka menonjol yang baru mengalami tekanan 3. Menghindari kerusakan-
pada waktu berubah posisi kerusakan kapiler-kapiler
- Klien mengetahui penyebab 4. Observasi terhadap eritema dan 4. Hangat dan pelunakan adalah
dan cara pencegahan luka kepucatan dan palpasi area sekitar tanda kerusakan jaringan
terhadap kehangatan dan pelunakan 5. Mempertahankan keutuhan
- Tidak ada tanda-tanda
jaringan tiap merubah posisi kulit
kemerahan atau luka
5. Jaga kebersihan kulit dan seminimal
mungkin hindari trauma, panas terhadap
kulit
4. Resiko setelah dilakukan intervensi 1. Tentukan kemampuan klien dalam 1. Untuk menetapkan jenis
gangguan nutrisi selama 3x24 jam klien mampu mengunyah, menelan dan reflek batuk makanan yang akan
kurang dari memperbaiki asupan nutrisi 2. Letakkan posisi kepala lebih tinggi pada diberikan pada klien
kebutuhan tubuh dengan kriteria hasil : waktu, selama dan sesudah makan 2. Klien dapat berkonsentrasi
berhubungan - Berat badan dapat 3. Mulailah untuk memberikan makan pada mekanisme makan
dengan dipertahankan/ditingkatkan
peroral setengah cair, makan lunak ketika tanpa adanya
kelemahan otot klien dapat menelan air distraksi/gangguan dari luar
- Hb dan albumin dalam 4. Anjurkan klien menggunakan sedotan 3. Makan lunak/cairan kental
batas normal meminum cairan mudah untuk
5. Kolaborasi dengan tim dokter untuk mengendalikannya didalam
memberikan cairan melalui iv atau mulut, menurunkan
makanan melalui selang terjadinya aspirasi
4. Dapat meningkatkan
pelepasan endorfin dalam
otak yang meningkatkan
nafsu makan
5. Mungkin diperlukan untuk
memberikan cairan
pengganti dan juga makanan
jika klien tidak mampu untuk
memasukkan segala sesuatu
melalui mulut
3.4 Implementasi Dan Evaluasi Keperawatan
Nama Pasien : Ny.S
Ruang Rawat : Ruang Gardenia
Hari/Tanggal/Jam Implementasi Evaluasi (SOAP) Jawaban Dari Tujuan dan TTD Perawat
kriteria hasil Sesuai dengan Implementasi
Senin, 09 Maret Diagnosa 1: S = klien tidak terlihat sesak
2020 1. Mengobservasi bunyi nafas O=
Jam 13.00 WIB 2. Menunjukkan sifat empati dan - Ada Bunyi Tambahan Ronchi JEKICEN
menerima klien apa adanya - Pasien mampu melakukan teknik
3. Menganjurkan klien untuk latihan batuk
batuk efektif dan nafas dalam -
pasien masih tidak sadar
A = masalah teratasi sebagian
P = lanjutkan intervensi 1,2,3,4
Diagnosa 2 : S = klien masih belum bisa merawat diri
1. mengkaji kemampuan klien dalam O = Pasien tampak berbaring ditempat
perawatan diri tidur
JEKICEN
2. membantu proses pemenuhan A: Masalah belum teratasi
kebutuhan personal hygiene klien P = lanjutkan intervensi 2,
Abses paru adalah suatu kavitas dalam jaringan paru yang berisi material
purulent dan sel radang akibat proses nekrotik parenkim paru oleh proses infeksi.
Abses paru timbul karena faktor predisposisi seperti gangguan fungsi imun karena
obat-obatan, gangguan kesadaran (anestesi, epilepsi), oral higine yang kurang serta
obstruksi dan aspirasi benda asing.
Pada abses paru memberikan gejala klinis panas, batuk, sputum purulen dan
berbau, disertai malaise, naspu makan dan berat badan yang turun. Pada pemeriksaan
fisik didapatkan takikardia, tanda-tanda konsolidasi. Pada pemeriksaan foto polos
dada didapatkan gambaran kavitas dengan air fluid level atau proses konsolidasi saja
bila kavitas tidak berhubungan dengan bronkus.
4.2 Saran
Kepada tim kesehatan, terutama perawat diharapkan untuk lebih mencermati
keadaan pasien sebelum dan sesudah melakukan tindakan. Kesalahan kecil, dapat
berimbas kepada kesalahan-kesalahn yang lain. Memperluas wawasan mengenai
konsep asuhan keperawatan yang tepat terhadap berbagai penyakit dalam hal ini
penyakit yang penyerang sistem respirasi menjadi hal yang wajib untuk diketahui
dan dilakukan oleh perawat profesional .
4.2.1 Bagi Mahasiswa
Diharapkan agar mahasiswa dapat menambah wawasan dan ilmu pengetahuan
dengan menerapkan proses keperawatan dan memanfaatkan ilmu pengetahuan yang
diperoleh selama menempuh pendidikan di Program Studi S1 Keperawatan Stikes
Eka Harap Palangka Raya Abses paru..
4.2.2 Bagi Klien dan Keluarga
Diharapkan dapat mengedukasi keluarga untuk dapat selalu menjaga
kesehatannya dan sebagai sumber informasi pada keluarga tentang
4.2.3 Bagi Institusi
Menjadi sumber refrensi bagi institusi pendidikan maupun rumah sakit Abses paru.
4.2.4 Bagi IPTEK
Hasil laporan ini diharapkan dapat memberikan manfaat peraktis dalam
keperawatan yaitu sebagai panduan perawat dalam pengelolaan kasus pada pasien
dengan Abses paru.
DAFTAR PUSTAKA
Asher M.I. dan P.H. Beadry. 1990. Lung Abscess in Infections of Respiratory Tract.
3rd ed. Kanada: Prentice Hall Inc.