OLEH :
KELOMPOK I
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa atas
rahmat dan karunia yang dilimpahkan, sehingga penulis dapat menyelesaikan
laporan Studi Kasus Penatalaksanaan Terapi Pada Kasus Chronic Kidney Disease
tepat pada waktunya.
Laporan ini merupakan salah satu tugas bagi mahasiswa Program Studi
Profesi Apoteker Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas
Udayana sebagai salah satu pembelajaran dalam Praktek Kerja Profesi Apoteker
di BRSU Tabanan. Tersusunnya laporan studi kasus ini tidak terlepas dari bantuan
dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis
ingin mengucapkan terima kasih kepada yang terhormat:
1. Ibu Ni Ketut Sri Handayani, Apt., M. Kes., selaku Kepala Instalasi Farmasi
BRSU Tabanan yang telah membimbing dalam penyelesaian kasus.
2. Ibu Ni Made Koriandriani, Apt., MHSM selaku pembimbing lapangan dalam
penyelesain kasus.
3. Bapak Agata Widatama, S.Farm., Apt., selaku Apoteker pembimbing yang
telah membimbing selama penyelesaian kasus.
4. Seluruh Apoteker dan Asisten Apoteker di BRSU Tabanan yang tidak bisa
disebutkan satu persatu yang telah membimbing dan berbagi ilmu dalam
penyelesaian kasus.
5. Staf perawat yang bertugas di ruang Dahlia Garing yang telah membantu dalam
pengambilan data untuk studi kasus.
Penulis menyadari bahwa laporan studi kasus ini bukanlah merupakan
karya ilmiah yang sempurna dan tidak luput dari kekurangan dan kelemahan.
Untuk itu, kritik dan saran dari para pembaca sangat diharapkan dan diterima
dengan tangan terbuka sebagai pengembangan dan penyempurnaan tulisan ini.
Akhirnya dengan segala kerendahan hati, semoga laporan ini dapat bermanfaat
bagi semua pihak yang memerlukan.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
Hal.
HALAMAN SAMPUL.................................................................................. i
KATA PENGANTAR...................................................................................
ii
DAFTAR ISI..................................................................................................
iii
BAB 1. PENDAHULUAN.........................................................................
1
1.1 Latar Belakang........................................................................
1
1.2 Rumusan Masalah...................................................................
2
1.3 Tujuan......................................................................................
2
1.4 Manfaat Penelitian...................................................................
3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA................................................................
4
2.1 Definisi....................................................................................
4
2.2 Etiologi....................................................................................
5
2.3 Klasifikasi................................................................................
9
2.4 Epidemiologi...........................................................................
10
2.5 Gejala klinis.............................................................................
10
2.6 Penatalaksanaan.......................................................................
13
iii
BAB III METODE PENELITIAN..............................................................
27
3.1 Rancangan Penelitian..............................................................
27
3.2 Lokasi dan Waktu....................................................................
28
3.3 Bahan Penelitian......................................................................
28
3.4 Alat Penelitian.........................................................................
28
3.5 Prosedur Penelitian..................................................................
28
3.5.1 Batasan Operasional Penelitian.....................................
28
3.5.2 Pengambilan Data.........................................................
29
3.5.3 Analisis Data.................................................................
30
3.5.4 Pemaparan Kasus..........................................................
30
BAB IV PEMBAHASAN...........................................................................
36
4.1 Assestment...............................................................................
36
4.2 Drug Related Problem.............................................................
46
4.3 Plan..........................................................................................
48
4.4 KIE..........................................................................................
49
4.5 Farmakoekonomi.....................................................................
49
iv
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN.....................................................
56
5.1 Kesimpulan..............................................................................
56
5.2 Saran........................................................................................
57
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................
58
v
BAB I
PENDAHULUAN
penurunan fungsi ginjal (Hustrin, 2014). Menurut United States Renal Data
usia. Prevalensi pada usia 65-74 tahun adalah 7,2% dan pada usia lebih dari 85
tahun adalah 17%. Prevalensi gagal ginjal kronik yang disertai dengan diabetes
mellitus adalah 20,5%, hipertensi adalah 15,7%, dan penyakit jantung adalah
Pasien gagal ginjal kronis merupakan pasien yang memiliki risiko besar
mengalami DRP. Pasien gagal ginjal kronis umumnya masuk rumah sakit dengan
regimen berupa variasi rute pemberian dan aturan pakai. Selain itu, penurunan
DRP pada pasien gagal ginjal kronis. DRP sangat merugikan karena dapat
pasien ke rumah sakit, tenaga medis, dan unit gawat darurat; penambahan obat
untuk mengatasi DRP; dan perpanjangan lama rawat inap di rumah sakit (Ernest
1
Apoteker merupakan salah satu tenaga kesehatan profesional yang bekerja
kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang apoteker. Salah satu elemen dalam
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui kondisi klinis pasien dyspnea ec CKD stage V pada awal
2
2. Untuk mengetahui hasil penilaian rasionalitas pengobatan pasien dyspnea ec
Kidney Disease
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
fungsi ginjal yang progresif yang terjadi selama kurang lebih 3 bulan yang
pengganti ginjal yang tetap, berupa dialisis atau transplantasi ginjal. Uremia
adalah suatu sindrom klinik dan laboratorik yang terjadi pada semua organ,
akibat penurunan fungsi ginjal pada gagal ginjal kronik (Suwitra, 2014).
Kerusakan ginjal (renal damage) yang terjadi lebih dari 3 bulan, berupa
kelainan struktural atau fungsional, dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi
kelainan ginjal, termasuk kelainan dalam komposisi darah atau urin, atau
Pada keadaan tidak terdapat kerusakan ginjal lebih dari 3 bulan, dan LFG
sama atau lebih dari 60ml/menit/1,73 m2, tidak termasuk kriteria gagal ginjal
4
2.2 Etiologi
suatu batas terhadap pasien untuk menjadi uremia kronis yang tidak
1) Glomerulonefritis
progresif dan difus yang seringkali berakhir dengan gagal ginjal kronik.
5
Glomerulonefritis (glomerulopati) yang berhubungan dengan diabetes
(Sukandar, 2013).
yang etiologinya tidak jelas, akan tetapi secara umum memberikan gambaran
ditemukan secara kebetulan dari pemeriksaan urin rutin atau keluhan ringan
atau keadaan darurat medik yang harus memerlukan terapi pengganti ginjal
2) Diabetes melitus
6
Diabates melitus menyerang struktur dan fungsi ginjal dalam berbagai
bentuk. Nefropati diabetik adalah istilah yang mencakup semua lesi yang
paling khas dan dapat terjadi secara defus atau nodular glomerulosklerosis
diabetik difus merupakan isi yang sering terjadi, terdiri atas penebalan difus
penyakit ini terdiri dari bahan eosinofilik nodular yang menumpuk pada
dasarnya dan biasanya teletak dalam perifer glomerulus didalam inti lobus
3) Hipertensi
7
Penyakit ginjal hipertensif (arteriolar nephrosclerosis) merupakan
salah satu penyebab penyakit ginjal kronik. Insiden hipertensi esensial berat
yang berakhir dengan gagal ginjal kronik kurang dari 10% (Sukandar, 2013).
4) Ginjal polikistik
Kista adalah suatu rongga yang berdinding epitel dan berisi cairan
atau material yang semisolid. Polikistik berarti banyak kista. Pada keadaan
ini dapat ditemukan kista-kista yang tersebar di kedua ginjal, baik di korteks
kelainan genetik yang paling sering didapatkan. Nama lain yang lebih dahulu
dipakai adalah penyakit ginjal polikistik dewasa, oleh karena sebagian besar
penyebab paling sering dari PGK, yaitu sekitar 60%. Penyakit ginjal kronik
2014).
8
dijumpai, kecuali tuberkulosis, abses multipel. Nekrosis papilla renalis yang
2.3 Klasifikasi
Klasifikasi PGK didasarkan atas dua hal yaitu, atas dasar derajat
Klasifikasi atas dasar derajat penyakit, dibuat atas dasar LFG, yang dihitung
LFG (ml/mnt/1,73m2)
Tabel 1.1 Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik atas Dasar Derajat Penyakit
Tabel 1.2 Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik atas Dasar Diagnosis Etiologi
9
(pyelonefritis kronik, batu,
obstruksi, keracunan obat)
Penyakit kistik ( ginjal
polikistik)
Penyakit pada Rejeksi kronik Keracunan
transplantasi obat(siklosporin/takorolimus)
Penyakit recurrent
(glomerular) Transplant
glomerulopathy
(Suwitra, 2014)
2.4 Epidemiologi
ginjal kronik meningkat dengan bertambahnya usia. Prevalensi pada usia 65-
74 tahun adalah 7,2% dan pada usia lebih dari 85 tahun adalah 17%.
Prevalensi gagal ginjal kronik pada kulit hitam (15%) adalah 50% lebih
tinggi dari orang kulit putih atau ras lainnya (10%). Prevalensi pada orang
Asia adalah 11%. Prevalensi gagal ginjal kronik yang disertai dengan
10
kelainan hemopoeisis, saluran cerna, mata, kulit, selaput serosa, dan kelainan
1) Kelainan hemopoeisis
(MCV 78- 94 CU), sering ditemukan pada pasien gagal ginjal kronik.
Anemia sangat bervariasi bila ureum darah lebih dari 100 mg% atau
pasien gagal ginjal kronik terutama pada stadium terminal. Patogenesis mual
dekompresi oleh flora usus sehingga terbentuk amonia (NH3). Amonia inilah
yang menyebabkan iritasi atau rangsangan mukosa lambung dan usus halus.
Keluhan-keluhan saluran cerna ini akan segera mereda atau hilang setelah
3) Kelainan mata
kecil pasien penyakit ginjal kronik. Gangguan visus cepat hilang setelah
hipertensi maupun anemia yang sering dijumpai pada pasien penyakit ginjal
11
Keratopati mungkin juga dijumpai pada beberapa pasien penyakit ginjal
2013).
4) Kelainan Kulit
kering dan bersisik, tidak jarang dijumpai timbunan kristal urea pada kulit
Kelainan selaput serosa merupakan salah satu indikasi mutlak untuk segera
6) Kelainan neuropsikiatri
depresi. Kelainan mental berat seperti konfusi, dilusi, dan tidak jarang dengan
gejala psikosis. Kelainan mental ringan atau berat ini sering dijumpai pada
twitching sering ditemukan pada pasien yang sudah dalam keadaan yang
7) Kelainan kardiovaskular
12
Patogenesis gagal jantung kongestif pada penyakit ginjal kronik
pasien penyakit ginjal kronik terutama pada stadium terminal. Hal ini dapat
8) Hipertensi
tekanan darah pada manusia. Setiap terjadi kenaikan tekanan darah selalu
13
lagi untuk mengatur tekanan darah karena telah terjadi perubahan volume dan
2.6 Penatalaksanaan
1) Terapi konservatif
terjadi. Pada ukuran ginjal yang masih normal secara ultrasonografi, bopsi
terhadap terapi spesifik. Sebaliknya, bila LFG sudah menurun sampai 20-
30% dari normal, terapi terhadap penyakit dasar sudah tidak bermanfaat
(Suwitra, 2014)
LFG pada pasien penyakit ginjal kronik. Hal ini untuk mengetahui kondisi
14
Derajat Penjelasan Rencana tatalaksana
1 Kerusakan ginjal Terapi penyakit dasar,
dengan LFG normal kondisi komorbid,
atau ↑ evaluasi pemburukan
fungsi ginjal,
memperkecil resiko
kardiovaskular.
2 Kerusakan ginjal Menghambat
dengan LFG ↓ ringan pemburukan fungsi
ginjal.
3 Kerusakan ginjal Evaluasi dan terapi
dengan LFG ↓ sedang komplikasi
4 Kerusakan ginjal Persiapan untuk terapi
dengan LFG ↓ berat pengganti ginjal.
5 Gagal ginjal Terapi pengganti ginjal.
(Suwitra, 2014)
a. Peranan diet
atau mengurangi toksin azotemia, tetapi untuk jangka lama dapat merugikan
teratur terhadap status nutrisi pasien. Bila terjadi malnutrisi, jumlah asupan
karbohidrat, kelebihan protein tidak disimpan dalam tubuh tapi tapi dipecah
menjadi urea dan substansi nitrogen lain, yang terutama dieksresikan melalui
ginjal. Selain itu, makanan tinggi protein yang mengandung ion hydrogen,
posfat, sulfat, dan ion unorganik lain juga dieksresikan melalui ginjal
(Suwitra, 2014).
15
Pemberian diet tinggi protein pada pasien penyakit ginjal kronik akan
protein juga berkaitan dengan pembatasan asupan fosfat, karena protein dan
fosfat selalu berasal dari sumber yang sama. Pembatasan fosfat perlu untuk
(Sukandar, 2013).
c. Kebutuhan cairan
Bila ureum serum > 150 mg% kebutuhan cairan harus adekuat supaya
dehidrasi osmotik yang akan memperburuk faal ginjal (LFG) terutama pada
16
Untuk kelompok gagal ginjal kronik dengan LFG ≤5 ml/hari dan
2) Terapi simtomatik
a) Asidosis metabolik
(Sukandar, 2013).
b) Anemia
Hal-hal yang ikut berperan dalam terjadinya anemia adalah defisiensi besi,
17
pemberian EPO ini, status besi harus selalu diperhatikan karena EPO
yang tepat dan pemantauan cermat. Transfusi darah yang tidak cermat dapat
ginjal. Sasaraan hemoglobin menurut berbagai studi klinik adalah 11-12 g/dl
merupakan salah satu pilihan terapi alternatif, murah, dan efektif. Terapi
c) Keluhan gastrointestinal
dari PGK. Keluhan gastrointestinal yang lain adalah ulserasi mukosa mulai
dari mulut sampai anus. Tindakan yang harus dilakukan yaitu program terapi
d) Kelainan Kulit
Keluhan gatal ditemukan pada 25% kasus gagal ginjal kronik, insiden
selama 2-6 minggu (kalau perlu terapi sinar dapat diulang), pemberian
18
medikamentosa (Diphydramine 25-50 mg P.O (bid), Hydroxyzine 10 mg P.O
Easy Brushing
Edema
Edema pada gagal ginjal kronik terutama dengan underlying renal disease.
Glomerulopati primer dan sekunder selalu disertai dengan retensi Na+ dan
e) Kelainan neuromuskuler
f) Hipertensi
19
derajat proteinuria, yang merupakan faktor risiko terjadinya perburukan
yang mencakup tiga atau lebih obat antihipertensi untuk mencapai target
tekanan darah. Pilihan terapi pertama untuk pasien CKD dengan hipertensi
pasien CKD dengan proteinuria maka pilihan terapi yang utama yaitu ACEIs,
kreatinin serum lebih dari 30 % setelah memulai terapi ACEIs maka terapi
20
Gambar 1.1 Guideline Terapi Hipertensi (JNC8, 2014)
ACE Inhibitor
ACEIs atau ARB paling sering digunakan untuk pasien dengan CKD
yang juga merangsang sekresi aldosteron. ACEIs juga bagus pada pasien
dengan ESRD karena manfaat potensi yaitu regresi LVH, penurunan aktivitas
Penggunaan dengan dosis awal yang lebih rendah karena eliminasi waktu
paruh dari senyawa induk (captopril dan lisinopril) atau metabolit aktif
21
Hentikan pemberian ACEIs untuk semua pasien dengan angioedema. Batuk
angioedema. Untuk pasien dengan nafas yang pendek atau sulit bernafas
maka dapat dipilih lisinopril yang memiliki efek samping batuk lebih kecil
ARB
pertumbuhan sel) tetap utuh dengan penggunaan ARB (Dipiro et al, 2008).
Calcium channel blockers atau CCBs yang selektif juga efektif dalam
menghambat influx kalsium sepanjang membran sel. Ada dua tipe voltage
gated calcium channel: high voltage channel (tipe L) dan low voltage
channel (tipe T). CCBs yang ada hanya menghambat channel tipe L, yang
22
atriventrikular. Untuk pasien CKD lebih dipilih golongan dihidropiridin
Beta Blocker
setelah infatk miokard. Akan tetapi dihindari untuk pasien dengan riwayat
juga dapat dijumpai pada ginjal. Reseptor beta juga dapat ditemukan di otak.
Stimulasi reseptor beta pada otak dan perifer akan memacu pelepasan
hal yang penting, karena 40-45% kematian pada penyakit ginjal kronik
23
disebabkan oleh penyakit kardiovaskular. Hal-hal yang termasuk dalam
3) Transplantasi ginjal
yaitu pada LFG kurang dari 15 ml/menit. Terapi tersebut dapat berupa
a) Hemodialisis
toksik azotemia, dan malnutrisi. Tetapi terapi dialisis tidak boleh terlalu cepat
pada pasien PGK yang belum tahap akhir akan memperburuk faal ginjal
(LFG). Indikasi tindakan terapi dialisis, yaitu indikasi absolut dan indikasi
Blood Uremic Nitrogen (BUN) > 120 mg% dan kreatinin > 10 mg%. Indikasi
24
Dialisis peritoneal adalah salah satu bentuk dialisis untuk membantu
penanganan pasien GGA ( Gagal Ginjal Akut) maupun GGK (Gagal Ginjal
sederhana, cukup aman serta cukup efisien dan tidak memerlukan fasilitas
khusus, sehingga dapat dilakukan di setiap rumah sakit ( Parsudi et al, 2014)
medik CAPD, yaitu pasien anak-anak dan orang tua (umur lebih dari 65
GGTA (gagal ginjal tahap akhir) dengan residual urin masih cukup, dan
melakukan sendiri (mandiri), dan di daerah yang jauh dari pusat ginjal
(Sukandar, 2013).
c) Transplantasi ginjal
untuk pasien gagal ginjal stadium akhir (Price & Wilson, 2012). Manfaat
terutama dlam hal perbaikan kualitas hidup. Salah satu diantaranya adalah
tercapainya tingkat kesegaran jasmani yang lebih baik dan paling jelas
25
terlihat pada pasien usia muda dan pada pasien diabetes mellitus.
1) Cangkok ginjal dapat mengambil alih seluruh (100%) faal ginjal, sedangkan
26
BAB III
METODE PENELITIAN
rekam medis mengenai pemberian terapi sesak yaitu golongan diuretik dengan
Tabel 3.1 Sasaran terapi pasien dyspnea dengan komplikasi CKD stage V
27
3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di bagian Rekam Medis Badan Rumah Sakit Umum
Tabanan selama enam hari terhitung dari survei pendahuluan hingga penyusunan
studi kasus.
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah data rekam medis pasien
MCV
Alat penelitian yang digunakan antara lain lembar pengumpul data untuk
mencatat data pada rekam medis pasien. Selain itu digunakan instrumen dalam
28
b. Tempat penelitian adalah Bagian Rekam Medis Badan Rumah Sakit Umum
Tabanan
c. Data rekam medis yang diambil adalah antara tanggal 9 Februari-17 Februari
2019
d. Data laboratorium pada rekam medis yang diambil pada penelitian ini antara
lain data hasil Hgb, Hct, MCV, Natrium, Kalium, BUN, Kreatini dan asam
urat.
e. Data obat yang diambil pada rekam medik adalah data penggunaan furosemid
yang digunakan selama terapi edema, amlodipin dan lisinopril yang digunakan
dapat dilihat dari RR pasien berada pada rentang 12-20x/menit, balance cairan
terkontrol normal, TD: 140/90 mmHg, Hgb: 13-18 g/dL, Hct: 40-45%, MCV:
pasien pada rekam medis antara lain demografi pasien (umur, jenis kelamin dan
diagnosis), jenis diuretik yang digunakan terapi edema dan obat yang digunakan
untuk pengatasan hipertensi pasien serta data laboratorium patologi klinik lain
data hasil Hgb, Hct, MCV, Natrium, Kalium, BUN, Kreatini dan asam urat.
Setelah diperoleh data demografi pasien (umur, jenis kelamin dan diagnosis), jenis
29
diuretik yang digunakan terapi, obat yang digunakan untuk pengatasan hipertensi
pasien serta data laboratorium patologi klinik mengenai status anemia pada
pasien, status asam urat dan fungsi ginjal pasien. Pengamatan dyspnea dilakukan
dengan melihat perbaikan parameter hasil RR dan balance cairan pada pasien.
serta hasil pengujian patologi klinik terkait efektifitas HD yang dilakukan selama
30
170/80, N: 86/mnt
A: Pola nafas tidak efektif
P: Mengatasi pola nafas inefektif selama 3x24 jam diharapkan sesak
tidak ada
10 Februari S : Masih sesak
2018 O: Kondisi umum pasien lemah, sesak +, RR: 28x/menit TD:
160/100, N: 87/mnt
A: Gangguan perfusi jaringan renal
P: Mengatasi gangguan perfusi jaringan dalam waktu 3 x 24 jam
11 Februari S : Sesak (+)
2018 O: Kondisi umum pasien lemah, RR: 28x/menit TD: 140/80, N:
85/mnt
A: Gangguan perfusi jaringan renal
P: Mengatasi gangguan perfusi jaringan dalam waktu 3 x 24 jam
diharapkan sesak tidak ada
12 Februari S : Sesak nafas (+), nyeri dada kiri (+), bengkak (+)
2018 O: Kondisi umum pasien lemah, RR: 24x/menit TD: 150/80, N:
88/mnt
A: Gangguan perfusi jaringan renal
P: Mengatasi gangguan perfusi jaringan dalam waktu 3 x 24 jam
diharapkan sesak tidak ada, RR: 16-20X/menit
13 Februari S : Sesak nafas (-), nyeri dada kiri (-), bengkak (-)
2018 O: Kondisi umum pasien lemah, RR: 24x/menit TD: 130/90, N:
85/mnt
A: Gangguan perfusi jaringan renal
P: Mengatasi gangguan perfusi jaringan dalam waktu 3 x 24 jam,
kriteria sesak (-), bengkak (-)
14 Februari S : nyeri dada (+)
2018 O: Kondisi umum pasien lemah, RR: 24x/menit TD: 150/80, N:
88/mnt
A: Gangguan perfusi jaringan renal
P: Mengatasi gangguan perfusi jaringan dalam waktu 3 x 24 jam
15 Februari S : Sesak, nyeri dada (+)
2018 O : Kondisi umum pasien lemah, RR: 24x/menit TD: 150/90, N:
58/mnt
A : Gangguan perfusi jaringan renal
P : Mengatasi masalah gangguan perfusi jaringan dalam waktu 3 x
24 jam, target RR : 16-20x/menit
16 Februari S : Sesak, nyeri dada (+)
2018 O : Kondisi umum pasien lemah, RR: 24x/menit TD: 100/80, N:
84/mnt
A : Gangguan perfusi jaringan renal
P : Mengatasi masalah gangguan perfusi jaringan dalam waktu 3 x
24 jam, target RR : 16-20x/menit
17 Februari S : Sesak, nyeri dada (+)
2018 O : Kondisi umum pasien lemah, RR: 24x/menit TD: 136/80, N:
84/mnt
31
A : Gangguan perfusi jaringan renal
P : Mengatasi masalah gangguan perfusi jaringan dalam waktu 3 x
24 jam, target RR : 16-20x/menit
32
3.5.4.3Data Klinis dan Data Laboratorium
a. Data Klinis
No Data Klinis Nilai Bulan/Tahun: Februari 2018
9 10 11 12 13 14 15 16 17
Normal
1 Nadi 60- 86 87 85 88 85 88 58 84 84
(/menit) 100/menit
2 RR (/menit) 12-20 /menit 24 28 28 24 24 24 24 24 24
3 TD 140/90 170/80 160/100 140/80 150/80 130/90 150/80 150/90 100/80 136/80
(mmHg) mmHg (JNC
8, 2014)
4 Sesak Sesak + + + + + + + + +
5 Mual Mual + + + - - - - - -
6 Nyeri dada + + + + + + + - -
7 Nyeri kaki + + + + + + + - -
8 Resiko Resiko jatuh 8 8 8 8 8 8 8 8 8
jatuh
9 Bengkak + + + + + + - - -
b. Data Laboratorium
No Data Nilai Normal Bulan/Tahun: Februari 2018
Laboratorium
33
9 10 11 12 13 14 15 16 17
1 Hb (gr/dL) Pria : 13-18 g/dL
9,38 - - - - - - - -
Wanita : 12-16 g/dL
2 Hct % Pria : 40-45%
28,6 - - - - - - - -
Wanita : 35%-45%
3 Leu (103/µL) 3.200-10.000/mm3 11 - - - - - - - -
4 Trombosit (103/µL) 170-380. 103/mm3 272 - - - - - - - -
5 Neu % 40-74% 63,5 - - - - - - - -
6 MCV 80-100µm3 92,5 - - - - - - - -
7 Na (mmol/L) 135-144 mmol/L 136 - - - - - - - -
8 Kalium 3,6-4,8 mmol/L 4,3 - - - - - - - -
9 Klorida 97-106 mmol/L 101 - - - - - - - -
10 BUN 10-20 mg/dL 22 - - - - - - - -
11 Kreatinin 0,6-1,3 mg/dL 7 - - - - - - - -
12 Asam Urat Pria : 3,6-8,5 mg/dL
4 - - - - - - - -
Wanita : 2,3-6,6 mg/dL
34
3 Asam folat 2x1 tab
4 Allopurinol 1x1 tab
5 Omeprazole 1x1 vial
40 mg INJ
6 Osteocal 3x1 tab
7 ISDN 5mg 3x5mg
8 Asetosal 1x1 tab
9 Concor 2,5 1x1/2tab
10 Furosemid 4 x 20 mg INJ
11 Cedocard 2 x 20 mg INJ
35
BAB IV
PEMBAHASAN
4.1 Assessment
Perkembangan kondisi, tindakan dan terapi pengobatan pasien selama
rawat inap di BRSU Tabanan dapat dilihat dari hasil rekam medis pasien. Pasien
masuk ke rumah sakit pada tanggal 9 Februari 2018 dengan keluhan sesak nafas.
Pasien juga memiliki riwayat CKD stage V. Kondisi pasien tersebut didiagnosa
awal oleh dokter mengalami dyspnea ec CKD stage V. Kondisi klinis pasien pada
saat pertama masuk rumah sakit yaitu sesak dengan RR 24x/menit, TD 170/80
mmHg, pola nafas tidak efektif , nyeri dada, dan mual. Terapi awal yang diperoleh
pasien yaitu lisinopril 1 x 10 mg, asetosal 1 x 1 tablet, furosemid 4x 20 mg INJ
dan cedocard 2 x 20mg INJ. Setelah mendapatkan terapi tersebut pasien masih
mengeluh sesak, nyeri dada, nyeri kaki mual dan lemas dengan keadaan umum
lemah yaitu TD: 160/100 mmHg, Nadi: 87x/menit, RR: 28x/menit,. Berdasarkan
hal tersebut pasien masih perlu untuk dimonitoring oleh tenaga kesehatan
sehingga pasien mendapatkan pelayanan rawat inap. Selanjutnya dilakukan
pengamatan pada pasien dalam menjalani rawat inap selama 9 hari dari tanggal 9
Februari 2018 hingga 17 Februari 2018. Terapi yang diberikan tertera pada
catatan pengobatan pasien yang tertera pada Tabel 3.1. Untuk mengetahui rasional
atau tidaknya pemberian terapi obat yang diberikan pada pasien selama rawat
inap, terlebih dahulu apoteker melakukan analisis terkait kasus berdasarkan
masing-masing obat yang diresepkan oleh dokter kepada pasien. Tujuannya untuk
menganalisa indikasi masing-masing obat dan menerjemahkannya ke dalam suatu
dugaan diagnosa yang telah ditegakkan oleh dokter atau sakit apa yang diderita
oleh pasien
36
(tambahan), Tekanan darah sehingga diberikan
setelah infark sistolik >120 lisinopril. Anamnese
miokard pada mmHg dan kefarmasian pasien
pasien yang diastolik >80 mengalami hipertensi.
secara mmHg (di atas
hemodinamik rentang
stabil (PIO normal pada
Nas, 2015) tgl 10 Februari
2018)
Amlodipine Amlodipine Pengobatan Subjektif: Data SBP dan DBP
10 mg hipertensi Nyeri dada menunjukkan pasien
dapat memiliki BP diatas
digunakan Objektif: rentang normal
sebagai terapi Tekanan darah sehingga diberikan
tunggal atau sistolik >120 lisinopril dengan
kombinasi mmHg dan kombinasi amlodipine
dengan obat diastolik >80 . Anamnese
antihipertensi mmHg (di atas kefarmasian pasien
lain seperti rentang mengalami hipertensi.
diuretik tiazid, normal pada
beta blocker tgl 10 Februari
atau ACEI, 2018
pengobatan
iskemia
miokardia
termasuk
pengobatan
angina pektoris
dan atau
vasokontriksi
pembuluh
darah koroner
(PIO Nas,
2015)
Asam folat Asam folat Anemia Subjektif: Keadaan umum
5mg megaloblastik Keadaaan pasien lemah serta
yang umum lemah pasien mengalami
disebabkan CKD stg 5 dengan
defisiensi asam Objektif: rutin HD seminggu
folat (PIO Nas, Hb, Hct, sekali dan Data Hb,
2015) Eritrosit Hct, Eritrosit dibawah
dibawah rentang normal dan
rentang nilai MCV diatas
normal dan rentang normal pada
nilai MCV pemeriksaan
diatas rentang laboratorium tgl 13
normal pada Februari 2018.
pemeriksaan Anamnese
37
laboratorium kefarmasian pasien
tgl 13 Februari mengalami anemia
2018 megaloblastik yang
disebabkan defisiensi
asam folat
Allopurinol Allopurinol Hiperurisemia Subjektif: Pasien mengeluhkan
100 mg kronik, Pasien nyeri dan bengkak
penyakit ginjal mengalami pada kaki dan pasien
yang bengkak pada memiliki riwayat
disebabkan kaki dan nyeri asam urat. Anamnese
asam urat, batu Objektif: kefarmasian pasien
asam urat pada - mengalami asam urat.
saluran kemih
dan kondisi-
kondisi lain
yang
berhubungan
dengan obat-
obatan untuk
pasien kanker
(PIO Nas,
2015)
Omeprazole Tiap mL Ulkus Subjektif: Pasien mengeluhkan
mengandung: duodenum, Pasien mual disebabkan
Omeprazole ulkus gaster, mengeluhkan pemberian asetosal
sodium 42,6 esofagitis mual yang memiliki efek
mg setara ulseratif dan samping terjadinya
dengan sindrom Objektif: iritasi pada saluran
omeprazole zolinger-ellison - cerna serta pasien
40 mg (PIO Nas, memiliki riwayat
2015) tukak peptik.
Anamnese
kefarmasian pasien
mengalami tukak
peptik
Osteocal Ca Carbonate Pencegahan & Subjektif: Pasien dengan CKD
1.250mg pengobatan - stg V akan sangat
(setara defisiensi Ca rentan mengalami
dengan 500 (Rickets, Objektif: hiperfosfatemia.
mg elemen osteomalasia, - Anamnese
Ca), Vitamin osteoporosis), kefarmasian pasien
D 200 IU, serta untuk mengalami tukak
Mg 40mg, memelihara peptik
manga nese 2 kesehatan
mg, Zn tulang dan gigi,
7,5mg, Na hiperfosfatemia
fluoride 1mg (PIO Nas,
2015)
38
ISDN 5mg Isosorbide Pencegahan Subjektif: Pasien mengeluh
dinitrate dan pengobatan Nyeri dada nyeri dada.
serangan Berdasarkan
angina pectoris anamnese
(PIO Nas, Objektif: kefarmasian pasien
2015) Tekanan darah mengalami angina
sistolik >140 pektoris dimana
mmHg dan serangan ini dikaitkan
diastolik >80 dengan Hipertensi dan
mmHg (di atas CKD yang diderita
rentang pasien yang diduga
normal pada menjadi pencetus
tgl 10 Februari serangan angina
2018 pectoris pada pasien
Asetosal Asetosal 100 Trombosis Subjektif: Berdasarkan
mg vena, - anamnese
trombosis arteri Objektif: kefarmasian asetosal
(Glare et al., - digunakan untuk
2011) trombosis vena
Concor 2,5 Bisoprolol Pengobatan Subjektif: Pasien mengeluh
nemifumarate hipertensi dan Nyeri dada nyeri dada dan data
angina (BNF, SBP dan DBP
2009) Objektif: menunjukkan pasien
Tekanan darah memiliki BP diatas
sistolik >140 rentang normal
mmHg dan sehingga diberikan
diastolik >90 bisoprolol. Anamnese
mmHg (di atas kefarmasian pasien
rentang mengalami hipertensi
normal pada dan mengalami
tgl 10 Februari serangan angina
2018 pectoris
Cedocard Isosorbide Pengobatan Subjektif: Pasien mengeluh
IV 1mg dinitrate gagal jantung Nyeri dada nyeri dada.
infus tidak ada Berdasarkan
respon, Objektif: anamnese
terutama Tekanan darah kefarmasian pasien
setelah infark sistolik >140 mengalami angina
miokard. mmHg dan pektoris dimana
Mengontrol diastolik >90 serangan ini dikaitkan
angina pektoris mmHg (di atas dengan Hipertensi dan
refrakter rentang CKD yang diderita
(Sweetman, normal pada pasien yang diduga
2009) tgl 10 Februari menjadi pencetus
2018 serangan angina
pectoris pada pasien
Lasix Furosemide Edema jantung, Subjektif: Pasien mengeluh
ginjal, hati Sesak sesak disebabkan
39
(Sweetman, pasien mengalami
2009) Objektif: edema pada paru-
Tekanan darah paru. Anamnese
sistolik >140 kefarmasian pasien
mmHg dan mengalami dypnea ec
diastolik >90 CKD stg V
mmHg (di atas
rentang
normal pada
tgl 10 Februari
2018
40
hiperfosfatemia, dan terapi terhadap kelebihan cairan dan gangguan keseimbangan
elektrolit), pencegahan dan terapi terhadap komplikasi (anemia, osteodistrofi
renal, pembatasan cairan dan elektrolit) dan terapi pengganti ginjal berupa dialisis
atau transplantasi ginjal.
Pada kasus ini, karena pasien menderita CKD stage V, maka telah terjadi
kegagalan fungsi ginjal yang didukung dengan GFR 9,3 mL/min/1,73 m2 .
Sehingga penatalaksanaan utama pada pasien ini ialah terapi pengganti ginjal
berupa hemodialisis. Hemodialisis emergensi dipilih pada pasien ini karena
dijumpai adanya uremic lung yang merupakan salah satu petanda terjadinya fluid
overload. Selanjutnya pasien menjalani Hemodialisis regular 2x seminggu
( Abdurrahim dkk., 2018). Penanganan hipertensi pada pada kasus ini dengan
terapi ACE inhibitor (angiotensin-converting enzyme inhibitor) yaitu lisinopril
melindungi nefron yang tersisa dari cedera lebih lanjut dan memperlambat
penurunan fungsi ginjal. Antagonis reseptor angiotensin juga memiliki sifat
renoprotektif sehingga pada kasus ini terapi lisinopril yang diberikan dapat
dikatakan sudah tepat indikasi (Leni dkk., 2015).
41
Pemberian tranfusi pada CKD harus dilakukan dengan hati-hati, berdasarkan
indikasi yang tepat dan pemantauan yang cermat. Tranfusi darah yang dilakukan
secara tidak cermat dapat mengakibatkan kelebihan cairan tubuh dan
hyperkalemia yang kita ketahui menyebabkan perburukan fungsi ginjal (Leni
dkk., 2015).
Adapun target penurunan tekanan darah yang ingin dicapai pada pasien
CKD, tergantung pada kadar protein dalam urin pasien. Pada pasien dengan kadar
protein urin > 1 gr/hari, target tekanan darah yang diinginkan ialah < 125/75
mmHg, sedangkan bila kadar protein dalam urin < 1 gr/hari, target penurunan
tekanan darah yang diharapkan ialah < 130/80 mmHg (Depkes RI, 2006). Pada
pasien ini, diberikan pengobatan berupa Lisinopril 1x10 mg yang dikombinasikan
dengan amlodipine 1x10 mg. Pengkombinasian ACE inhibitor dengan Calcium
Channel Blocker pada pasien ini dilakukan karena pasien juga dicurigai
mengalami penyakit jantung hipertensi, yang didasarkan adanya serangan angina
yang dialami pasien pada saat MRS.
42
Salah satu manifestasi klinis yang sering dijumpai pada penderita CKD
ialah edema paru. Berdasarkan mekanisme yang mendasarinya, edema paru pada
pasien dengan penyakit ginjal secara umum dibedakan menjadi: (1) edema paru
renal primer dan (2) edema paru sekunder sebagai konsekuensi renal dan jantung.
Edema paru renal secara klasik berkaitan dengan adanya kelebihan volume cairan
ekstraseluler sebagai akibat dari kegagalan eksresi air dan natrium. Edema paru
mikrovaskular merupakan bentuk edema paru renal primer lainnya, yang terjadi
akibat adanya peningkatan permeabilitas kapiler paru, yang mungkin disebabkan
karena penurunan tekanan onkotik plasma. Sedangkan edema paru sekunder
sebagai konsekuensi ginjal dan jantung biasanya merupakan komplikasi dari
kelainan jantung yang telah ada sebelumnya, misalnya akibat kardiomiopati
hipertensif, anemik, maupun uremikum. Pada CKD, mekanisme utama yang
mendasari terjadinya edema paru ialah fluid overload akibat retensi cairan dan
natrium. Akibatnya terjadi peningkatan tekanan hidrostatik pada kapiler paru yang
diikuti oleh terjadinya transudasi cairan dari kapiler paru ke dalam ruang
interstisial maupun alveolus paru. Adanya cairan yang mengisi ruang alveolus
mengakibatkan gangguan pada proses difusi gas, dari alveolus ke kapiler paru
(Leni dkk., 2015).
Secara klinis, keadasan ini ditandai oleh adanya keluhan sesak nafas,
rhonki pada pemeriksaan fisik yang mengarah pada kesan suatu edema paru. Pada
kasus ini, pasien mengeluh sesak nafas. Pembatasan asupan air pada pasien CKD
sangat perlu dilakukan untuk mencegah terjadinya edema dan komplikasi
kardiovaskuler. Air yang masuk ke dalam tubuh dibuat seimbang dengan air yang
keluar baik melalui urin maupun insesible water loss (IWL) antara 500 sampai
800 ml/hari (sesuai dengan luas permukaan tubuh) maka air yang masuk
dianjurkan 500 sampai 800 ml ditambah jumlah urin per hari (Leni dkk., 2015).
Pada pasien ini juga dilakukan pengaturan cairan masuk, guna mencegah volume
overload yang akan memperberat edema paru sehingga pada kasus ini pemberian
lasix INJ sebagai diuretik kuat dikatakan tepat indikasi.
43
fosfat yang berasal dari makanan. Garam kaslium yang banyak dipakai adalah 21
kalsium karbonat (CaCO3) dan kalsium asetat (Leni dkk., 2015). Pada pasien ini
diberikan osteocal dengan dosis 3 x 1 tablet sehingga pemberian osteocal
dikatakan tepat indikasi.
Aspek kedua dalam penilaian pengobatan yang rasional yaitu tepat dosis.
Tepat dosis adalah dosis yang diresepkan kepada pasien sesuai dengan kebutuhan
individual dari pasien dan dosis yang diberikan berada dalam rentang terapi. Obat
harus digunakan dengan dosis, cara pemberian serta waktu pemberian yang tepat
untuk menghasilkan efek terapi yang diinginkan serta menghindari resiko
toksisitas, maka perlu dilakukan analisis untuk mengetahui ketepatan dosis yang
diberikan pada pasien. Berikut adalah perbandingan kesesuaian dosis peresepan
dengan dosis pustaka.
44
ginjal normal
10 Furosemid Dosis sesuai dengan fungsi 20 – 80 mg Dosis Sesuai
ginjal normal ; peningkatan
dosis dapat dilakukan
45
(Anderson et al., 2002).
Amlodipine Nyeri abdomen, mual, palpitasi, wajah memerah, edema,
gangguan tidur, sakit kepala, pusing, letih (BNF, 2009).
Asam folat Brochospasm, erythema, malaise, pruritus dan ruam
(BNF, 2009).
Allopurinol Ruam, mual, gagal ginjal dan muntah (BNF, 2009).
Omeprazole Sakit kepala, Sembelit atau konstipasi, Diare, Sakit perut,
Nyeri sendi, Sakit tenggorokan, Kram otot dan Hilang
selera makan (Lacy et al., 2009)
Osteocal Kembung, diare, atau konstipasi (BNF, 2009).
ISDN 5mg Sakit kepala, mual dan ruam (BNF, 2009).
Asetosal Mual, muntah, iritasi saluran cerna (BNF, 2009).
Concor 2,5 Mual, muntah, ekstremitas terasa dingin, sakit kepala,
lelah, lemah, diare, pusing, parestesia, hipotensi
ortostatik, gagal jantung, kram otot, depresi, gangguan
tidur, gangguan stimulus AV, konstipasi, brokospasme,
mimpi buruk, halusinasi, reaksi hipersensitivitas (Lacy et
al., 2009).
Cedocard IV 1mg Sakit kepala, hipotensi postural dan mual (Lacy et al.,
infus 2009).
Lasix hipokalemia (kadar kalium yang rendah di darah), dan
peningkatan kadar asam urat, hipotensi (Lacy et al.,
2009).
46
ESA (Eritropoiesis
stimulating agent )
paling umum menurunnya ekskresi fosfat pada renal adalah gagal ginjal, akut atau
kronis, pada segala penyebab. Ketika fungsi ginjal berkurang 40-50 %, penurunan
jumlah jaringan ginjal yang berfungsi tidak dapat mengeksresi sepenuhnya fosfat
2018).
jaringan tertentu. Deposisi kalsium dapat terjadi pada mata, sendi, dan sistem
vascular. Deposisi kalsium pada sendi dapat menyebabkan sendi membesar dan
Salah satu pengikat fosfat yaitu kalsium yang mengandung pengikat contohnya
adalah kalsium karbonat dan kalsium sitrat. Obat ini telah digunakn secara luas,
asupan kalsium kepada pasien. Kekurangan dari pengobatan ini yaitu tingkat
47
Penggunaan Osteocal yang mengandung kalsium karbonat pada pasien
gagal ginjal sudah sesuai, meskipun tidak ada indikasi hiperfosfat karena tidak
dilakukan uji lab dimana terdapat aksi crosslink pada kandungan osteocal.
Kandung karbonat digunakan untuk mengikat fosfat dan kalsium untuk nutrisi
pada sendi dan tulang. Banyaknya fosfat secara bebas pada tubuh dapat memicu
pengeroposan tulang karena fosfat lebih mudah terikat pada tulang dibandingkan
kalsium sehingga dengan adanya pengikat fosfat nutrisi kalsium lebih mudah
4.3 Plan
N Health Pharmacothera Recommen Monitor Desired Monitor
o Care peutic Goal ded for ing Endpoi ing
Need Therapy Paramet n’s Frequen
ers cy
1 Mengata Sesak teratasi furosemid RR 16-20 Tiap hari
si sesak INJ dan x/menit
dilakukan Balance Terkont Tiap hari
HD ekstra cairan rol
apabila
diuretik
tidak
mampu
menangani
2 Mengata Anemia teratasi Diberikan Hgb 13,2 – diulang
si suplemen 17,3 5-7 hari
anemia besi atau g/dL
ESA Hct 39 – 54
(Eritropoies %
is MCV 82 - 92
stimulating fL
agent)
3 Mengata Angina teratasi ISDN ECG Normal Tiap hari
si Nyeri Tidak
serangan dada mengala
angina mi nyeri
dada
4 Mengont Tekanan darah Diberikan BP <140/90 Tiap
rol terkontrol golongan mmHg Hari
tekanan ACEI yaitu
darah Lisinopril
48
dengan
kombinasi
CCB yaitu
amlodipin
5 Mengata Tidak terjadi Untuk Kalium 3,5 – Diulang
si efek hipokalemia hipokaemi 5,0 5-7 hari
samping ringan mmol/L
furosemi dilakukan
d penggantian
kalium
secara oral
(slow
correction)
40-60 mEq
atau apabila
terjadi
hipokalemi
a berat
dilskuksn
penggantian
kalium
secara
intravena
dalam
bentuk
larutan KCl
(rapid
correction)
4.4 KIE
Apoteker menyampaikan rencana tindakan hemodialisis sebagai terapi
pengganti ginjal pasien yang sudah rusak. Apoteker mengupayakan pencegahan
perburukan kondisi ginjal secara cepat dengan pengaturan diet tinggi kalori,
rendah protein dan rendah garam. Apoteker menyampaikan pentingnya kepatuhan
pengobatan penyakit dasar maupun komplikasi CKD.
(Abdurrahim dkk., 2018)
4.5 Analisa Farmakoekonomi
Farmakoekonomi didefinisikan sebagai deskripsi dan analisis biaya terapi
obat pada masyarakat atau sistem pelayanan kesehatan. Farmakoekonomi adalah
proses identifikasi, pengukuran, dan membandingkan biaya, risiko, dan manfaat
pelayanan atau terapi dan menentukan alternatif yang memberikan keluaran
49
kesehatan yang terbaik untuk sumber daya yang digunakan. Farmakoekonomi
mengidentifikasi, mengukur dan membandingkan biaya (sumber daya yang
digunakan) dengan konsekuensi (klinik, ekonomik, humanistik) dari produk
pelayanan farmasi. Bagi praktisi diartikan pertimbangan biaya yang diperlukan
untuk mendapatkan produk atau pelayanan farmasi dibandingkan dengan
konsekuensi (outcome) yang diperoleh untuk menetapkan alternatif mana yang
memberikan keluaran optimal per rupiah yang dikeluarkan. Informasi tersebut
dapat membantu mengambil keputusan klinik dalam memilih pilihan terapi yang
paling cost-effective. Biaya didefinisikan sebagai nilai dari sumber daya yang
digunakan dalam suatu program atau terapi obat. Konsekuensi didefinisikan
sebagai efek, output atau outcome dari suatu program atau terapi obat (Andayani,
2013).
Biaya dalam kesehatan menurut Drummond et al., dikategorikan menjadi
biaya pelayanan kesehatan, biaya untuk sektor lain, biaya pasien dan keluarga,
dan biaya produtivitas (Rascati et al., 2009). Adapun menurut Bootman et al.,
(2005) biaya yang terkait dengan kesehatan dapat diklasifikasikan menjadi empat
kategori yaitu biaya medik langsung (direct medical cost), biaya nonmedik
langsung (direct nonmedical cost), biaya tidak langsung (indirect cost) dan biaya
tidak teraba (intangible cost).
a. Biaya medik langsung
Biaya medik langsung adalah biaya yang terkait langsung dengan terapi,
termasuk biaya obat dan perbekalan kesehatan, biaya konsultasi dokter, biaya jasa
perawat, penggunaan fasilitas rumah sakit (kamar rawat inap, peralatan), uji
laboratorium dan biaya kesehatan lainnya. Contoh biaya yang digunakan untuk
kemoterapi meliputi biaya produk kemoterapi, obat lain yang digunakan untuk
mengatasi efek samping kemoterapi, alat untuk pemberian intravena, pemeriksaan
laboratorium, biaya klinik dan kunjungan dokter (Andayani, 2013).
b. Biaya nonmedik langsung
Biaya nonmedik langsung adalah biaya yang terkait langsung dengan
perawatan pasien, tetapi tidak terkait langsung dengan terapi. Contoh dari biaya
nonmedik langsung yaitu biaya trasportasi pasien menuju atau dari praktek dokter,
klinik atau rumah sakit, makanan, jasa pelayanan kepada anak pasien, biaya
50
penginapan yang dibutuhkan pasien dan keluarga selama terapi di luar kota
(Andayani, 2013).
c. Biaya tidak langsung atau biaya produktivitas
Istilah biaya tidak langsung digunakan untuk menilai produktivitas yang
hilang terkait dengan penyakit atau kematian. Istilah ini tidak sama artinya jika
dilihat dari sudut pandang yang berbeda. Dalam akuntansi biaya tidak langsung
mengacu pada aktivitas tambahan atau pendukung yang dibutuhkan unit
pengguna, oleh karena itu digunakan untuk menggunakan istilah biaya
produktivitas yang terkait dengan morbiditas dan mortalitas. Biaya produktivitas
digolongkan menjadi dua macam, yaitu biaya morbiditas (waktu bekerja yang
hilang karena sakit atau ketidakmampuan) dan biaya mortalitas yang disebabkan
karena kematian dini. Contoh pada kemoterapi, biaya tidak langsung yang
disebabkan hilangnya waktu pasien untuk bekerja atau hilangnya produktivitas
karena pengaruh penyakit atau terapi yang diterima (Andayani, 2013).
d. Biaya tidak teraba
Biaya tidak teraba adalah biaya-biaya yang sulit diukur dalam unit
moneter. Misalnya rasa nyeri, sakit, cemas atau lemah yang terjadi karena
penyakit atau terapi suatu penyakit. Pada tipe biaya ini sifatnya yang psikologis
sukar dikonversikan dalam bentuk rupiah sehingga sering diabaikan (Andayani,
2013).
Pada Analisis farmakoekonomi ini dilakukan perhitungan biaya yang
dikeluarkan untuk pengobatan pasien pada 9 Februari 2018-17 Februari 2018
yang dapat dilihat pada Tabel 3.5.
51
Tabel 4.5 Daftar Pembelian dan Harga Total Obat yang digunakan Pasien
Selama Sembilan Hari di Rumah Sakit
Hari/Tanggal Nama Barang Jumlah Harga Total
Barang yang
digunakan
Lisinopril 1 408
Ringer lactat 2 18.304
Farsorbid 10 mg INJ 2 80.240
Furosemide 20 mg INJ 6 12.042
Spuit 20 cc Unzen 1 1.929
Jarum 18 Terumo 1 760
9 Februari 2018
Perfusor Tub White 150 1 44.800
cm
Stop Cock 3 Way B 1 41.152
Braun + Eko
Spuit 5 cc Unzen / Win 1 901
Cedocard 2 79.360
Total 279.896
Lisinopril 1 408
Amlodipine 1 1.200
Asam folat 2 180
Allupurinol 1 127
Furosemid 20 mg INJ 6 12.042
10 Februari 2018
Farsorbid 10 mg INJ 2 80.240
Ringer Lactat 2 18.304
Omeprazole 40 mg INJ 1 12.669
Spuit 10 cc Unzen/Win 1 1.366
Cedocard 2 79.360
Total 205.896
Lisinopril 1 408
Amlodipine 1 1.200
Asam folat 2 180
Allupurinol 1 127
11 Februari 2018
Lisinopril 1 408
Omeprazole 40 mg INJ 1 12.669
Furosemid 20 mg INJ 6 12.042
Cedocard 2 79.360
Total 106.394
Lisinopril 1 408
Amlodipine 1 1.200
Asam folat 2 180
Allupurinol 1 127
12 Februari 2018
Omeprazole 40 mg INJ 1 12.669
Osteocal 3 2.001
Furosemid 20 mg INJ 6 12.042
Cedocard 2 79.360
52
Total 107.987
Lisinopril 1 408
Amlodipine 1 1.200
Asam folat 2 180
Allupurinol 1 127
Omeprazole 40 mg INJ 1 12.669
Osteocal 3 2.001
ISDN 5 mg tab 10 1.150
13 Februari 2018
Acetosal 100 tab 5 805
Bisoprolol 5 mg tab 2 604
Concor 2,5 1/2 302
Furosemid 20 mg INJ 6 12.042
Cedocard 2 79.360
Lidocain 2% 40 mg INJ 4 5.700
Spuit 3 cc Unzen/Win 4 3.324
Total 119.917
Lisinopril 1 408
Amlodipine 1 1.200
Asam folat 2 180
Allupurinol 1 127
Omeprazole 40 mg INJ 1 12.669
14 Februari 2018 Osteocal 3 2.001
ISDN 5 mg tab 10 1.150
Acetosal 5 805
Concor 2,5 1/2 302
Furosemid 20 mg INJ 6 12.042
Cedocard 2 79.360
Total 110.244
Lisinopril 1 408
Amlodipine 1 1.200
Asam folat 2 180
Allupurinol 1 127
Omeprazole 40 mg INJ 1 12.669
15 Februari 2018 Osteocal 3 2.001
ISDN 5 mg tab 10 1.150
Acetosal 5 805
Concor 2,5 1/2 302
Furosemid 20 mg INJ 6 12.042
Cedocard 2 79.360
Total 110.244
16 Februari 2018 Lisinopril 1 408
Amlodipine 1 1.200
Asam folat 10 900
Allupurinol 1 127
Omeprazole 40 mg INJ 2 30.382
Osteocal 3 2.001
53
ISDN 5 mg tab 10 1.150
Acetosal 5 805
Concor 2,5 1/2 302
Furosemid 20 mg INJ 6 12.042
Cedocard 2 79.360
Farsorbid 10 mg INJ 2 80.240
Bisoprolol 5 mg tab 3 906
Spuit 10 cc Unzen/Win 3 4.098
Spuit 5 cc Unzen/Win 3 2.703
Aquadest 25 cc 1 3.661
Venocath 22 2 28.338
Total 248.623
17 Februari 2018 Lisinopril 1 408
Amlodipine 1 1.200
Asam folat 2 180
Allupurinol 1 127
Omeprazole 40 mg INJ 1 12.669
Osteocal 3 2.001
ISDN 5 mg tab 10 1.150
Acetosal 5 805
Concor 2,5 1/2 302
Furosemid 20 mg INJ 6 12.042
Cedocard 2 79.360
Total 110.244
Total Biaya Obat yang ditanggung JKN 1.399.445
Total Biaya yang dikeluarkan Pasien 0
Biaya obat pasien Tn. Wyn Mudia sejak tanggal 9 Februari 2018 sampai
dengan 17 Februari 2018 yaitu selama sembilan hari pengambilan data, secara
keseluruhan telah ditanggung oleh JKN dimana pasien merupakan peserta BPJS
Non PBI. Total biaya pengobatan pasien selama sembilan hari pengambilan data
adalah Rp 1.399.445,00. Biaya sebesar 1.399.445,00 tersebut belum termasuk
biaya hemodialisa (HD) yang rutin dilakukan pasien setiap 1-2 minggu sekali.
Berdasarkan analisis biaya diatas, jika dilakukan perbandingan dengan
output/goal theraphy pengobatan yang dilakukan, terapi farmakologi yang
diperoleh pasien sudah tepat dengan kebutuhan pasien dimana terapi yang
diperoleh mampu mengatasi gejala yang dirasakan pasien yang dapat dilihat dari
data klinis yang mulai membaik dari mual, nyeri dada, nyeri kaki, dan bengkak
yang di derita pasien. Untuk keberhasilan pengobatan lebih lanjut perlu dilakukan
54
follow up dan dilakukan pengkajian kembali mengenai terapi yang diterima oleh
pasien Bapak Wayan Mudia (64 tahun).
55
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
5.1.1 . Pasien masuk ke rumah sakit pada tanggal 9 Februari 2018 dengan keluhan
sesak nafas. Pasien juga memiliki riwayat CKD stage V. Kondisi pasien
tersebut didiagnosa awal oleh dokter mengalami dyspnea ec CKD stage V.
Kondisi klinis pasien pada saat pertama masuk rumah sakit yaitu sesak
dengan RR 24x/menit, TD 170/80 mmHg, pola nafas tidak efektif , nyeri
dada, dan mual. Terapi awal yang diperoleh pasien yaitu lisinopril 1 x 10
mg, asetosal 1 x 1 tablet, furosemid 4x 20 mg INJ dan cedocard 2 x 20mg
INJ.
5.1.2 Penilaian rasionalitas pengobatan pasien sudah sesuai 4T1W yang terdiri
dari tepat indikasi, tepat obat, tepat dosis, tepat pasien, dan waspada efek
samping obat. Pada DRP ditemukannya kurang tepatnya pemberian
allopurinol untuk asam urat pasien karena pada hasil laboratorium kadar
asam urat pasien berada pada range normal. Pada kasus ini pasien
mengalami anemia yang ditunjukkan dari hasil pemeriksaan Hgb, Hct dan
MCV pasien sehingga pasien perlu diberikan terapi tambahan berupa
suplemen besi atau ESA (Eritropoiesis stimulating agent). Target terapi
yang diharapkan yaitu sesak nafas teratasi, tekanan darah terkontrol,
anemia teratasi, angina teratasi dan tidak terjadi hipokalemia diakibatkan
efek samping penggunaan diuretik kuat yaitu lasix INJ.
5.1.3 Analisis Farmakoekonomi yang dilakukan adalah pengkajian antara
pengobatan dengan biaya yang lebih efisien dan serendah mungkin tetapi
efektif dalam merawat penderita untuk mendapatkan hasil klinik yang baik
(cost effective with best clinical outcome).
5.1.4 Biaya obat pasien Tn. Wyn Mudia sejak tanggal 9 Februari 2018 sampai
dengan 17 Februari 2018 yaitu selama sembilan hari pengambilan data
adalah Rp 1.399.445,00. Berdasarkan analisis biaya yang dilakukan, biaya
pengobatan yang dikeluarkan mampu mengatasi beberapa keluhan pasien
diantaranya mual, nyeri dada, nyeri kaki, dan bengkak pada pasien.
56
5.2 Saran
5.2.1 Visite ruangan sebaiknya dilakukan bersama-sama antara dokter, apoteker
dan perawat sehingga apabila terdapat permasalahan pada pasien akan
lebih cepat teratasi.
5.2.2 Sebelum diputuskan bahwa pasien perlu mendapatkan terapi penanganan
asam urat perlu dilakukan pengujian laboratorium untuk menjamin
rasionalitas terapi.
57
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahim R., Radar R., Bayu N., Sumi R dan Arina Vegas. 2018. Pedoman
Penatalaksanaan Gagal Ginjal Kronik. Divisi Nefrologi- Hipertensi
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Sumatera Utara RSUP. H Adam Malik Medan
Andayani, T.M. 2013. Farmakoekonomi Prinsip dan Metodologi.
Yogyakarta: Bursa Ilmu. p: 4-5.
Depkes RI. 2006. Pharmaceutical Care Untuk Penyakit Hipertensi, Ditjen Bina
Kefarmasian Dan Alat Kesehatan. Jakarta: Departemen Kesehatan
Dipiro, J.T., Talbert, R.L., Yee, G.C., Matzke, G.R., Wells, B.G., Posey, L.M.
2008. Pharmacotherapy A Phatophysiologic Approach seventh edition.
New York: Mc Graw Hill.
Goldfarb, D.A., Poggio, E.D., 2012. Etiology, Pathogenesis, and Management of
Renal Failure. Dalam: Campbell-Walsh Urology. editor. Louis RK, et al.
Edisi ke-10. USA: Elsevier Saunders.
Hustrini, N.M., Tanto, C., 2014. Hipertensi. Dalam: Kapita Selekta. Jilid
Keempat. Edisi ke-4. Jakarta: Media Aesculapius.
Hustrini, N.M., Tanto, C., 2014. Penyakit Ginjal Kronik. Dalam: Kapita Selekta.
Edisi ke-4. Jakarta: Media Aesculapius.
James PA, Ortiz E, et al. 2014 Evidence-Based Guideline for the Management of
High Blood Pressure in Adults: (JNC8). JAMA. 2014 Feb 5; 311(5):507-
20
JNC 8 (Joint National Committee). 2014. The Eighth Report of the Joint National
Committee on Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High
Blood Pressure. US: National Institute of Health.
Kemenkes RI. 2011. Interpretasi Data Klinik. Jakarta: Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia.
Leni Ervina, Dahler Bahrun, Hertanti Indah Lestari. 2015. Tatalaksana Penyakit
Ginjal Kronik pada Anak. MKS, Th. 47, No. 2, April 2015.
Medscape. Drug Reference on Apps. Diakses tanggal 25 Februari 2018
58
Parsudi, I., Siregar, P., Roesli, R.M.A., 2014. Dialisis Peritoneal. Dalam: Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Edisi ke-6. Jakarta: Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UI.
Price, S.A., Wilson, L.M., 2012. Gagal Ginjal Kronik. Dalam: Buku Patofisologi
Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Volume 2. editor. Hartanto H, et al.
Edisi ke-6. Jakarta: EGC.
Prodjosudjadi, W., 2014. Glomerulonefritis. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid II. Edisi ke-6. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam FK UI.
Siregar, B.Y., 2012. Karakteristik dan Penatalaksanaan Penyakit Ginjal Kronik
di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan Tahun 2011.
Medan: Universitas Sumatera Utara.
Sukandar, E., 2013. Nefrologi Klinik. Edisi Ke-4. Bandung: Pusat Informasi
Ilmiah (PII) Bagian IPD Fakultas Kedokteran UNPAD.
Susalit, E., 2014. Transplantasi Ginjal. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
Jilid II. editor. Alwi I, et al. Edisi ke-6. Jakarta: Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UI.
Suwitra, K., 2014. Penyakit Ginjal Kronik. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid II. editor. Alwi I, et al. Edisi ke-6. Jakarta: Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UI.
United States Center for Disease and Prevention, 2014. Nation Kidney Chronic
Kidney Disease Fact Sheet. USA: United States Center for Disease
Control and Prevention. Available at:
http://www.cdc.gov/diabetes/pubs/pdf/kidney_factsheet.pdf [Diakses 18
Februari 2018]
William, J.C., Amen, J.R., Flavio, G.C., 2008. Chronic Renal Failure and
Dialysis. Dalam: Smith’s General Urology. Edisi ke-17. USA:
TheMcGraw-Hill Companies.
59