Anda di halaman 1dari 64

LAPORAN STUDI KASUS

PENATALAKSANAAN TERAPI PADA KASUS CHRONIC KIDNEY


DISEASE (CKD) DI RUANG DAHLIA GARING

OLEH :
KELOMPOK I

I Made Wiracana (1708611029)


Ryche Dewata Sari (1708611031)
Komang Dede Saputra (1708611033)
Ni Wayan Puspasari (1708611035)

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS UDAYANA
2018

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa atas
rahmat dan karunia yang dilimpahkan, sehingga penulis dapat menyelesaikan
laporan Studi Kasus Penatalaksanaan Terapi Pada Kasus Chronic Kidney Disease
tepat pada waktunya.
Laporan ini merupakan salah satu tugas bagi mahasiswa Program Studi
Profesi Apoteker Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas
Udayana sebagai salah satu pembelajaran dalam Praktek Kerja Profesi Apoteker
di BRSU Tabanan. Tersusunnya laporan studi kasus ini tidak terlepas dari bantuan
dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis
ingin mengucapkan terima kasih kepada yang terhormat:
1. Ibu Ni Ketut Sri Handayani, Apt., M. Kes., selaku Kepala Instalasi Farmasi
BRSU Tabanan yang telah membimbing dalam penyelesaian kasus.
2. Ibu Ni Made Koriandriani, Apt., MHSM selaku pembimbing lapangan dalam
penyelesain kasus.
3. Bapak Agata Widatama, S.Farm., Apt., selaku Apoteker pembimbing yang
telah membimbing selama penyelesaian kasus.
4. Seluruh Apoteker dan Asisten Apoteker di BRSU Tabanan yang tidak bisa
disebutkan satu persatu yang telah membimbing dan berbagi ilmu dalam
penyelesaian kasus.
5. Staf perawat yang bertugas di ruang Dahlia Garing yang telah membantu dalam
pengambilan data untuk studi kasus.
Penulis menyadari bahwa laporan studi kasus ini bukanlah merupakan
karya ilmiah yang sempurna dan tidak luput dari kekurangan dan kelemahan.
Untuk itu, kritik dan saran dari para pembaca sangat diharapkan dan diterima
dengan tangan terbuka sebagai pengembangan dan penyempurnaan tulisan ini.
Akhirnya dengan segala kerendahan hati, semoga laporan ini dapat bermanfaat
bagi semua pihak yang memerlukan.

Tabanan, Maret 2018

Penulis

ii
DAFTAR ISI

Hal.
HALAMAN SAMPUL.................................................................................. i
KATA PENGANTAR...................................................................................
ii
DAFTAR ISI..................................................................................................
iii
BAB 1. PENDAHULUAN.........................................................................
1
1.1 Latar Belakang........................................................................
1
1.2 Rumusan Masalah...................................................................
2
1.3 Tujuan......................................................................................
2
1.4 Manfaat Penelitian...................................................................
3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA................................................................
4
2.1 Definisi....................................................................................
4
2.2 Etiologi....................................................................................
5
2.3 Klasifikasi................................................................................
9
2.4 Epidemiologi...........................................................................
10
2.5 Gejala klinis.............................................................................
10
2.6 Penatalaksanaan.......................................................................
13

iii
BAB III METODE PENELITIAN..............................................................
27
3.1 Rancangan Penelitian..............................................................
27
3.2 Lokasi dan Waktu....................................................................
28
3.3 Bahan Penelitian......................................................................
28
3.4 Alat Penelitian.........................................................................
28
3.5 Prosedur Penelitian..................................................................
28
3.5.1 Batasan Operasional Penelitian.....................................
28
3.5.2 Pengambilan Data.........................................................
29
3.5.3 Analisis Data.................................................................
30
3.5.4 Pemaparan Kasus..........................................................
30
BAB IV PEMBAHASAN...........................................................................
36
4.1 Assestment...............................................................................
36
4.2 Drug Related Problem.............................................................
46
4.3 Plan..........................................................................................
48
4.4 KIE..........................................................................................
49
4.5 Farmakoekonomi.....................................................................
49

iv
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN.....................................................
56
5.1 Kesimpulan..............................................................................
56
5.2 Saran........................................................................................
57
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................
58

v
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Prevalensi gagal ginjal kronik di negara maju mencapai 10-13% dari

populasi. Sebuah studi yang dilakukan Perhimpunan Nefrologi Indonesia

(PENEFRI) melaporkan sebanyak 12,5% populasi di Indonesia mengalami

penurunan fungsi ginjal (Hustrin, 2014). Menurut United States Renal Data

System (USRDS), prevalensi gagal ginjal kronik meningkat dengan bertambahnya

usia. Prevalensi pada usia 65-74 tahun adalah 7,2% dan pada usia lebih dari 85

tahun adalah 17%. Prevalensi gagal ginjal kronik yang disertai dengan diabetes

mellitus adalah 20,5%, hipertensi adalah 15,7%, dan penyakit jantung adalah

18,4% (USRDS, 2014).

Pasien gagal ginjal kronis merupakan pasien yang memiliki risiko besar

mengalami DRP. Pasien gagal ginjal kronis umumnya masuk rumah sakit dengan

multi penyakit sehingga menerima polifarmasi dan memiliki kompleksititas

regimen berupa variasi rute pemberian dan aturan pakai. Selain itu, penurunan

fungsi ginjal yang dapat memengaruhi profil farmakokinetik pasien sehingga

dibutuhkan penyesuaian regimen merupakan alasan lain diperlukannya analisis

DRP pada pasien gagal ginjal kronis. DRP sangat merugikan karena dapat

menyebabkan peningkatan biaya yang disebabkan oleh peningkatan kunjungan

pasien ke rumah sakit, tenaga medis, dan unit gawat darurat; penambahan obat

untuk mengatasi DRP; dan perpanjangan lama rawat inap di rumah sakit (Ernest

& Grizzle, 2001).

1
Apoteker merupakan salah satu tenaga kesehatan profesional yang bekerja

sama dengan tenaga kesehatan profesional lain dalam memberikan pelayanan

kesehatan kepada pasien. Dalam pelayanan kesehatan, seorang apoteker berperan

menerapkan pelayanan kefarmasian dalam fokus mengidentifikasi dan memenuhi

kebutuhan obat pasien. Dalam proses penggunaan obat, seorang apoteker

bertanggung jawab dalam mengidentifikasi, mencegah, dan mengatasi DRP

(Cipolle, Strand, & Morley, 2004). Dalam menjalankan pelayanan kefarmasian,

kemampuan menyelesaikan masalah terkait obat merupakan salah satu unit

kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang apoteker. Salah satu elemen dalam

unit kompetensi tersebut adalah melakukan analisis DRP (IAI, 2010).

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dapat dirumuskan

permasalahan sebagai berikut :

1. Bagaimanakah kondisi klinis pasien dyspnea ec CKD stage V pada awal

dirawat di BRSU Tabanan ?

2. Bagaimanakah hasil penilaian rasionalitas pengobatan pasien dyspnea ec

CKD stage V berdasarkan 4T1W ?

3. Bagaimanakah hasil analisis farmakoekonomi yang dilakukan pada pasien

dyspnea ec CKD stage V di BRSU Tabanan ?

1.3 Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui kondisi klinis pasien dyspnea ec CKD stage V pada awal

dirawat di BRSU Tabanan.

2
2. Untuk mengetahui hasil penilaian rasionalitas pengobatan pasien dyspnea ec

CKD stage V berdasarkan 4T1W.

3. Untuk mengetahui hasil analisis farmakoekonomi yang dilakukan pada

pasien dyspnea ec CKD stage V di BRSU Tabanan.

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat yang akan diperoleh dari penelitian ini antara lain :

1. Meningkatkan dan menambah wawasan mahasiswa PKPA mengenai Chronic

Kidney Disease

2. Memberikan informasi mengenai tatalaksana terapi yang diberikan pada

pasien dyspnea ec CKD stage V

3. Meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan untuk menurunkan angka

mortalitas pada pasien dyspnea ec CKD stage V

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Menurut Campbell, 2012 penyakit ginjal kronik adalah suatu proses

patofisologis dengan etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan

fungsi ginjal yang progresif yang terjadi selama kurang lebih 3 bulan yang

berhubungan dengan GFR <60 ml/menit/1,73 m2 (Goldfarb, 2012)

Gagal ginjal kronik adalah suatu derajat yang memerlukan terapi

pengganti ginjal yang tetap, berupa dialisis atau transplantasi ginjal. Uremia

adalah suatu sindrom klinik dan laboratorik yang terjadi pada semua organ,

akibat penurunan fungsi ginjal pada gagal ginjal kronik (Suwitra, 2014).

Kriteria gagal ginjal kronik :

 Kerusakan ginjal (renal damage) yang terjadi lebih dari 3 bulan, berupa

kelainan struktural atau fungsional, dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi

glomerulus (LFG), dengan manifestasi: - Kelainan patologis - Terdapat tanda

kelainan ginjal, termasuk kelainan dalam komposisi darah atau urin, atau

kelainan dalam tes pencitraan (imaging tests)

 Laju filtrasi glomerulus (LFG) kurang dari 60 ml/menit/1,73 m2 selama 3

bulan, dengan atau tanpa kerusakan ginjal.

Pada keadaan tidak terdapat kerusakan ginjal lebih dari 3 bulan, dan LFG

sama atau lebih dari 60ml/menit/1,73 m2, tidak termasuk kriteria gagal ginjal

kronik. (Suwitra, 2014).

4
2.2 Etiologi

Berbagai macam gangguan atau penyakit dapat berhubungan dengan

gagal ginjal kronis. Seperti proses ginjal primer (misalnya glomerulonefritis,

pyelonefritis, hipoplasia kongenital) atau proses ginjal sekunder (oleh

karenaproses sistemik seperti diabetes mellitus atau lupus erythematosus)

yang mungkin bertanggung jawab. Bila didapati cedera pada ginjal,

hiperfiltrasi sampai kerusakan unit-unit nefron akan memproduksi stres yang

berkelanjutan dan cedera pada jaringan remnant ginjal. Pasien akan

menunjukkan perkembangan dari satu tahap keparahan gagal ginjal kronis ke

tahap yang berikutnya. Alterasi fisiologik sekunder ke tahap dehidrasi,

infeksi, uropati obstruktif, atau hipertensi kemungkinan dapat menyebabkan

suatu batas terhadap pasien untuk menjadi uremia kronis yang tidak

terkompensasi (William et al, 2008).

Menurut data yang sampai saat ini dikumpulkan oleh Indonesian

Renal Registry (IRR) pada tahun 2007-2008 didapatkan urutan etiologi

terbanyak sebagai berikut: glomerulonefritis (25%), diabetes melitus (23%),

hipertensi (20%) dan ginjal polikistik (10%) (Siregar, 2012).

1) Glomerulonefritis

Glomerulonefritis kronik merupakan penyakit parenkim ginjal

progresif dan difus yang seringkali berakhir dengan gagal ginjal kronik.

Glomerulonefritis berhubungan dengan penyakit-penyakit sistemik seperti

lupus eritomatosus sistemik, poliartritis nodosa, granulomatosus Wagener.

5
Glomerulonefritis (glomerulopati) yang berhubungan dengan diabetes

mellitus (glomerulosklerosis) tidak jarang dijumpai dan dapat berakhir

dengan penyakit ginjal kronik. Glomerulonefritis yang berhubungan dengan

amilodois sering dijumpai pada pasien-pasien dengan penyakit menahun

seperti tuberkulosis, lepra, osteomielitis arthritis rheumatoid dan myeloma

(Sukandar, 2013).

Istilah glomerulonefritis digunakan untuk berbagai penyakit ginjal

yang etiologinya tidak jelas, akan tetapi secara umum memberikan gambaran

histopatologi tertentu pada glomerulus. Berdasarkan sumber terjadinya

kelainan, glomerulonefritis dibedakan primer dan sekunder.

Glomerulonefritis primer apabila penyakit dasarnya berasal dari ginjal sendiri

sedangkan glomerulonefritis sekunder apabila kelainan ginjal terjadi akibat

penyakit sistemik lain seperti diabetes melitus, lupus eritematosus sistemik

(LES), mieloma multipel, atau amiloidosis (Prodjosudjadi, 2014).

Gambaran klinis glomerulonefritis mungkin tanpa keluhan dan

ditemukan secara kebetulan dari pemeriksaan urin rutin atau keluhan ringan

atau keadaan darurat medik yang harus memerlukan terapi pengganti ginjal

seperti dialisis (Sukandar, 2013).

2) Diabetes melitus

Menurut American Diabetes Association (2003) dalam Purnamasari

(2014) diabetes melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik

dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi

insulin, kerja insulin atau kedua-duanya.

6
Diabates melitus menyerang struktur dan fungsi ginjal dalam berbagai

bentuk. Nefropati diabetik adalah istilah yang mencakup semua lesi yang

terjadi di ginjal pada diabetes melitus. Glomerulosklerosis adalah lesi yang

paling khas dan dapat terjadi secara defus atau nodular glomerulosklerosis

diabetik difus merupakan isi yang sering terjadi, terdiri atas penebalan difus

matrix mesangial dengan bahan eosinofilik disetai penebalan membran

basalis kapiler. Glomerulosklerosis diabetik nodular ( juga dikenal sebagai

lesi Kimmeisteil-Wilson) lebih jarang terjadi namun sangat spesifik untuk

penyakit ini terdiri dari bahan eosinofilik nodular yang menumpuk pada

dasarnya dan biasanya teletak dalam perifer glomerulus didalam inti lobus

kapiler. Kelainan non glomerulus dalam nefropati diabetik adalah nefritis

tubulointertitial kronik, nekrosis papilaris, hialinosis arteri eferen dan aferen,

serta iskemia. Glomerulosklerosis diabetik hampir selalu didahului oleh

retinopati diabetik, yang ditandai dengan mikroaneurisma di sekitar makula

(Price & Wilson, 2003)

3) Hipertensi

Hipertensi adalah peningkatan tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg

dan tekanan darah diastolik ≥ 90 mmHg secara kronis. Berdasarkan

penyebabnya, hipertensi dibagi menjadi dua golongan yaitu hipertensi

esensial atau hipertensi primer yang tidak diketahui penyebabnya atau

idiopatik, dan hipertensi sekunder diakibatkan oleh suatu penyakit atau

kelainan yang mendasar, seperti stenosis arteri renalis, penyakit parenkim

ginjal, dan sebagainya (Hustrini, 2014).

7
Penyakit ginjal hipertensif (arteriolar nephrosclerosis) merupakan

salah satu penyebab penyakit ginjal kronik. Insiden hipertensi esensial berat

yang berakhir dengan gagal ginjal kronik kurang dari 10% (Sukandar, 2013).

4) Ginjal polikistik

Kista adalah suatu rongga yang berdinding epitel dan berisi cairan

atau material yang semisolid. Polikistik berarti banyak kista. Pada keadaan

ini dapat ditemukan kista-kista yang tersebar di kedua ginjal, baik di korteks

maupun di medula. Selain oleh karena kelainan genetik, kista dapat

disebabkan oleh berbagai keadaan atau penyakit. Ginjal polikistik merupakan

kelainan genetik yang paling sering didapatkan. Nama lain yang lebih dahulu

dipakai adalah penyakit ginjal polikistik dewasa, oleh karena sebagian besar

baru bermanifestasi pada usia di atas 30 tahun (Sukandar, 2013).

Glomerulonefritis, hipertensi esensial, dan pielonefritis merupakan

penyebab paling sering dari PGK, yaitu sekitar 60%. Penyakit ginjal kronik

yang berhubungan dengan penyakit ginjal polikistik dan nefropati obstruktif

hanya 15- 20% (Sukandar, 2013).

Kira-kira 10-15% pasien-pasien penyakit ginjal kronik disebabkan

penyakit ginjal kongenital seperti sindrom Alport, penyakit Fabbry, sindrom

nefrotik kongenital, penyakit ginjal polikistik, dan amiloidosis (Suwitra,

2014).

Pada orang dewasa penyakit ginjal kronik yang berhubungan dengan

infeksi saluran kemih dan ginjal (pielonefritis) tipe uncomplicated jarang

8
dijumpai, kecuali tuberkulosis, abses multipel. Nekrosis papilla renalis yang

tidak mendapat pengobatan yang adekuat (Sukandar, 2013).

2.3 Klasifikasi

Klasifikasi PGK didasarkan atas dua hal yaitu, atas dasar derajat

(stage) penyakit dan atas dasar diagnosis etiologi.

Klasifikasi atas dasar derajat penyakit, dibuat atas dasar LFG, yang dihitung

dengan menggunakan rumus Kockcroft-Gault sebagai berikut :

LFG (ml/mnt/1,73m2)

*) pada perempuan dikalikan 0,85

Tabel 1.1 Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik atas Dasar Derajat Penyakit

Derajat Penjelasan LFG(ml/mn/1.73m2)


1 Kerusakan ginjal ≥90
dengan LFG normal
atau ↑
2 Kerusakan ginjal 60-89
dengan LFG ↓ ringan
3 Kerusakan ginjal 30-59
dengan LFG ↓ sedang
4 Kerusakan ginjal 15-29
dengan LFG ↓ berat
5 Gagal ginjal <15 atau dialisis

Tabel 1.2 Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik atas Dasar Diagnosis Etiologi

Penyakit Tipe mayor (contoh)


Penyakit ginjal diabetes Diabetes tipe 1 dan 2
Penyakit ginjal non Penyakit glomerular
diabetes (penyakit autoimun, Infeksi
sistemik, obat, neoplasia)
Penyakit vaskular ( penyakit
pembuluh darah besar,
hipertensi, mikroangiopati)
Penyakit tubulointerstitial

9
(pyelonefritis kronik, batu,
obstruksi, keracunan obat)
Penyakit kistik ( ginjal
polikistik)
Penyakit pada Rejeksi kronik Keracunan
transplantasi obat(siklosporin/takorolimus)
Penyakit recurrent
(glomerular) Transplant
glomerulopathy
(Suwitra, 2014)

2.4 Epidemiologi

Gagal ginjal kronik merupakan penyakit yang sering dijumpai pada

praktik klink sehari-hari. Prevalensi di negara maju mencapai 10-13% dari

populasi. Sebuah studi yang dilakukan Perhimpunan Nefrologi Indonesia

(PENEFRI) melaporkan sebanyak 12,5% populasi di Indonesia mengalami

penurunan fungsi ginjal (Hustrin, 2014).

Menurut United States Renal Data System (USRDS), prevalensi gagal

ginjal kronik meningkat dengan bertambahnya usia. Prevalensi pada usia 65-

74 tahun adalah 7,2% dan pada usia lebih dari 85 tahun adalah 17%.

Prevalensi gagal ginjal kronik pada kulit hitam (15%) adalah 50% lebih

tinggi dari orang kulit putih atau ras lainnya (10%). Prevalensi pada orang

Asia adalah 11%. Prevalensi gagal ginjal kronik yang disertai dengan

diabetes mellitus adalah 20,5%, hipertensi adalah 15,7%, dan penyakit

jantung adalah 18,4% (USRDS, 2014).

2.5 Gejala Klinis

Gambaran klinik penyakit ginjal kronik berat disertai sindrom

azotemia sangat kompleks, meliputi kelainan-kelainan berbagai organ seperti:

10
kelainan hemopoeisis, saluran cerna, mata, kulit, selaput serosa, dan kelainan

neuropsikiatri (Sukandar, 2013).

1) Kelainan hemopoeisis

Anemia normokrom normositer (MCHC 32-36%) dan normositer

(MCV 78- 94 CU), sering ditemukan pada pasien gagal ginjal kronik.

Anemia sangat bervariasi bila ureum darah lebih dari 100 mg% atau

penjernihan kreatinin kurang dari 25 ml per menit (Sukandar, 2013).

2) Kelainan saluran cerna

Mual dan muntah sering merupakan keluhan utama dari sebagian

pasien gagal ginjal kronik terutama pada stadium terminal. Patogenesis mual

dan muntah masih belum jelas, diduga mempunyai hubungan dengan

dekompresi oleh flora usus sehingga terbentuk amonia (NH3). Amonia inilah

yang menyebabkan iritasi atau rangsangan mukosa lambung dan usus halus.

Keluhan-keluhan saluran cerna ini akan segera mereda atau hilang setelah

pembatasan diet protein dan antibiotika (Sukandar, 2013).

3) Kelainan mata

Visus hilang (azotemia amaurosis) hanya dijumpai pada sebagian

kecil pasien penyakit ginjal kronik. Gangguan visus cepat hilang setelah

beberapa hari mendapat pengobatan penyakit ginjal kronik yang adekuat,

misalnya hemodialisis. Kelainan saraf mata menimbulkan gejala nistagmus,

miosis, dan pupil asimetris. Kelainan retina (retinopati) mungkin disebabkan

hipertensi maupun anemia yang sering dijumpai pada pasien penyakit ginjal

kronik. Penimbunan atau deposit garam kalsium pada konjungtiva

menyebabkan gejala red eye syndrome akibat iritasi dan hipervaskularisasi.

11
Keratopati mungkin juga dijumpai pada beberapa pasien penyakit ginjal

kronik akibat penyulit hiperparatiroidisme sekunder atau tertier (Sukandar,

2013).

4) Kelainan Kulit

Gatal sering mengganggu pasien, patogenesisnya masih belum jelas

dan diduga berhubungan dengan hiperparatiroidisme sekunder. Keluhan gatal

ini akan segera hilang setelah tindakan paratiroidektomi. Kulit biasanya

kering dan bersisik, tidak jarang dijumpai timbunan kristal urea pada kulit

muka dan dinamakan urea frost (Sukandar, 2013).

5) Kelainan selaput serosa

Kelainan selaput serosa seperti pleuritis dan perikarditis sering

dijumpai pada penyakit ginjal kronik terutama pada stadium terminal.

Kelainan selaput serosa merupakan salah satu indikasi mutlak untuk segera

dilakukan dialisis (Sukandar, 2013).

6) Kelainan neuropsikiatri

Beberapa kelainan mental ringan seperti emosi labil, dilusi, insomnia,

depresi. Kelainan mental berat seperti konfusi, dilusi, dan tidak jarang dengan

gejala psikosis. Kelainan mental ringan atau berat ini sering dijumpai pada

pasien dengan atau tanpa hemodialisis, dan tergantung dari dasar

kepribadiannya. Pada kelainan neurologi, kejang otot atau muscular

twitching sering ditemukan pada pasien yang sudah dalam keadaan yang

berat, kemudian terjun menjadi koma (Sukandar, 2013).

7) Kelainan kardiovaskular

12
Patogenesis gagal jantung kongestif pada penyakit ginjal kronik

sangat kompleks. Beberapa faktor seperti anemia, hipertensi, aterosklerosis,

penyebaran klasifikasi mengenai sistem vaskuler, sering dijumpai pada

pasien penyakit ginjal kronik terutama pada stadium terminal. Hal ini dapat

menyebabkan gagal faal jantung (Sukandar, 2013).

8) Hipertensi

Patogenesis hipertensi ginjal sangat kompleks, banyak faktor turut

memegang peranan seperti keseimbangan natrium, aktivitas sistem

reninangiotensinaldosteron, penurunan zat dipresor dari medulla ginjal,

aktivitas sistem saraf simpatis, dan faktor hemodinamik lainnya seperti

cardiac output dan hipokalsemia (Sukandar, 2013).

Retensi natrium dan sekresi renin menyebabkan kenaikan volume

plasma (VP) dan volume cairan ekstraselular (VCES). Ekspansi VP akan

mempertinggi tekanan pengisiaan jantung dan cardiac output pressure

(COP). Kenaikan COP akan mempertinggi tonus arteriol dan pengecilan

diameter arteriol sehingga tahanan perifer meningkat. Kenaikan tonus

vaskuler akan menimbulkan aktivasi mekanisme umpan balik sehingga

terjadi penurunan COP sampai mendekati batas normal tetapi kenaikan

tekanan darah arterial masih dipertahankan (Sukandar, 2013).

Sinus karotis mempunyai faal sebagai penyangga yang mengatur

tekanan darah pada manusia. Setiap terjadi kenaikan tekanan darah selalu

dipertahankan normal oleh sistem mekanisme penyangga tersebut. Pada

pasien azotemia, mekanisme penyangga dari sinus karotikus tidak berfungsi

13
lagi untuk mengatur tekanan darah karena telah terjadi perubahan volume dan

tonus pembuluh darah arteriol (Sukandar, 2013).

2.6 Penatalaksanaan

1) Terapi konservatif

Tujuan dari terapi konservatif adalah mencegah memburuknya faal

ginjal secara progresif, meringankan keluhan-keluhan akibat akumulasi

toksin azotemia, memperbaiki metabolisme secara optimal dan memelihara

keseimbangan cairan dan elektrolit (Sukandar, 2013).

Waktu yang paling tepat untuk terapi penyakit dasarnya adalah

sebelum terjadinya penurunan LFG sehingga perburukan fungsi ginjal tidak

terjadi. Pada ukuran ginjal yang masih normal secara ultrasonografi, bopsi

dan pemeriksaan histopatologi ginjal dapat menentukan indikasi yang tepat

terhadap terapi spesifik. Sebaliknya, bila LFG sudah menurun sampai 20-

30% dari normal, terapi terhadap penyakit dasar sudah tidak bermanfaat

(Suwitra, 2014)

Penting sekali untuk mengikuti dan mencatat kecepatan penurunan

LFG pada pasien penyakit ginjal kronik. Hal ini untuk mengetahui kondisi

komorbid (superimposed factors) yang dapat memperburuk keadaan pasien.

Faktor-faktor komorbid ini antara lain, gangguan keseimbangan cairan,

hipertensi yang tidak terkontrol, infeksi traktus urinarius, obstruksi traktus

urinarius, obat-obatan nefrotoksik, bahan radiokontras, atau peningkatan

aktivitas penyakit dasarnya (Suwitra,2014).

Perencanaan tatalaksana penyakit ginjal kronik sesuai dengan

derajatnya, dapat dilihat di tabel :

14
Derajat Penjelasan Rencana tatalaksana
1 Kerusakan ginjal Terapi penyakit dasar,
dengan LFG normal kondisi komorbid,
atau ↑ evaluasi pemburukan
fungsi ginjal,
memperkecil resiko
kardiovaskular.
2 Kerusakan ginjal Menghambat
dengan LFG ↓ ringan pemburukan fungsi
ginjal.
3 Kerusakan ginjal Evaluasi dan terapi
dengan LFG ↓ sedang komplikasi
4 Kerusakan ginjal Persiapan untuk terapi
dengan LFG ↓ berat pengganti ginjal.
5 Gagal ginjal Terapi pengganti ginjal.
(Suwitra, 2014)

a. Peranan diet

Terapi diet rendah protein (DRP) menguntungkan untuk mencegah

atau mengurangi toksin azotemia, tetapi untuk jangka lama dapat merugikan

terutama gangguan keseimbangan negatif nitrogen (Sukandar, 2013).

Pembatasan asupan protein mulai dilakukan pada LFG ≤ 60 ml/mnt,

sedangkan di atas nilai tersebut, pembatasan asupan protein tidak selalu

dianjurkan. Protein diberikan 0,6 0,8/kgbb/hari, yang 0,35-0,50 gr

diantaranya merupakan protein nilai biologi tinggi. Jumlah kalori yang

diberikan sebesar 30- 35 kkal/kgBB/hari, dibutuhkan pemantauan yang

teratur terhadap status nutrisi pasien. Bila terjadi malnutrisi, jumlah asupan

kalori dan protein dapat ditingkatkan. Berbeda dengan lemak dan

karbohidrat, kelebihan protein tidak disimpan dalam tubuh tapi tapi dipecah

menjadi urea dan substansi nitrogen lain, yang terutama dieksresikan melalui

ginjal. Selain itu, makanan tinggi protein yang mengandung ion hydrogen,

posfat, sulfat, dan ion unorganik lain juga dieksresikan melalui ginjal

(Suwitra, 2014).

15
Pemberian diet tinggi protein pada pasien penyakit ginjal kronik akan

mengakibatkan penimbunan substansi nitrogen dan ion anorganik lain, dan

mengakibatkan gangguan klinis dan metabolik yang disebut uremia.

Pembatasan protein akan mengakibatkan berkurangnya sindrom uremik

(Suwitra, 2014). Masalah penting lain adalah asupann protein berlebihan

(protein Overload) akan mengakibatkan perubahan hemodinamik ginjal

berupa peningkatan aliran darah dan tekanan intraglomerulus, yang akan

meningkatkan progresifitas pemburukan fungsi ginjal. Pembatasan asupan

protein juga berkaitan dengan pembatasan asupan fosfat, karena protein dan

fosfat selalu berasal dari sumber yang sama. Pembatasan fosfat perlu untuk

mencegah terjadinya hyperfosfatemia (Suwitra, 2014).

b. Kebutuhan jumlah kalori

Kebutuhan jumlah kalori untuk gagal ginjal kronik harus adekuat

dengan tujuan utama untuk mempertahankan keseimbangan positif nitrogen,

memelihara status nutrisi, dan memelihara anthomometri (skinfold thickness)

(Sukandar, 2013).

c. Kebutuhan cairan

Bila ureum serum > 150 mg% kebutuhan cairan harus adekuat supaya

jumlah diuresis mencapai 2 L per hari. Dengan tujuan untuk mencegah

dehidrasi osmotik yang akan memperburuk faal ginjal (LFG) terutama pada

kelompok pasien gagal ginjal kronik dengan kecenderungan natriuresis

misalnya penyakit ginjal polikistik, scarring pyelonephritis, dan nefropati urat

kronik, memelihara status hidrasi optimal, dan mengeleminasi toksin

azotemia (Sukandar, 2013).

16
Untuk kelompok gagal ginjal kronik dengan LFG ≤5 ml/hari dan

sindrom nefrotik dapat diberikan diuretika untuk memperlancar diuresis,

misal furosemide. Takaran furosemid 40-80 mg/hari (interval 2 hari) sampai

jumlah takaran maksimal 3 g/hari (Sukandar, 2013).

2) Terapi simtomatik

a) Asidosis metabolik

Asidosis metabolik harus dikoreksi karena meningkatkan serum

kalium (hiperkalemia). Untuk mencegah dan mengobati asidosis metabolik

dapat diberikan suplemen alkali. Terapi alkali (sodium bicarbonat) harus

segera diberikan intravena bila pH ≤ 7,35 atau serum bikarbonat ≤ 20 mEq/L

(Sukandar, 2013).

b) Anemia

Anemia terjadi pada 80-90 % pasien penyakit ginjal kronik. Anemia

pada penyakit ginjal kronik terutama disebabkan oleh defisiensi eritropoetin.

Hal-hal yang ikut berperan dalam terjadinya anemia adalah defisiensi besi,

kehilangan darah (misal, perdarahan saluran cerna, hematuri), masa hidup

eritrosit yang pendek akibat terjadinya hemolisis, defisiensi asam folat,

penekanan sumsum tulang oleh substansi uremik, proses inflamasi akut

maupun kronik. Evaluasi terhadap anemia dimulai saat kadar hemoglobin ≤

10 g% atau hematokrit ≤ 30g%, meliputi evaluasi terhadap status besi (Iron

Binding Capacity), mencari sumber perdarahan morfologi eritrosit,

kemungkinan adanya hemolisis (Suwitra, 2014).

Penatalaksanaan terutama ditujukan pada penyebab utamanya,

pemberian eritropoitin (EPO) merupakan hal yang dianjurkan. Dalam

17
pemberian EPO ini, status besi harus selalu diperhatikan karena EPO

memerlukan besi dalam mekanisme kerjanya. Pemberian transfusi pada

penyakit ginjal kronik harus dilakukan secara hati-hati, berdasarkan indikasi

yang tepat dan pemantauan cermat. Transfusi darah yang tidak cermat dapat

mengakibatkan kelebihan cairan tubuh, hiperkalemia dan perburukan fungsi

ginjal. Sasaraan hemoglobin menurut berbagai studi klinik adalah 11-12 g/dl

(Suwitra, 2006). Transfusi darah misalnya Packed Red Cell (PRC)

merupakan salah satu pilihan terapi alternatif, murah, dan efektif. Terapi

pemberian transfusi darah harus hati-hati karena dapat menyebabkan

kematian mendadak (Sukandar, 2014).

c) Keluhan gastrointestinal

Anoreksi, cegukan, mual dan muntah, merupakan keluhan yang sering

dijumpai pada PGK. Keluhan gastrointestinal ini merupakan keluhan utama

dari PGK. Keluhan gastrointestinal yang lain adalah ulserasi mukosa mulai

dari mulut sampai anus. Tindakan yang harus dilakukan yaitu program terapi

dialisis adekuat dan obat-obatan simtomatik (Sukandar, 2013).

d) Kelainan Kulit

 Puritis ( uremic ithching)

Keluhan gatal ditemukan pada 25% kasus gagal ginjal kronik, insiden

meningkat pasien dengan terapi HD reguler. Keluhan gatal-gatal ada dua

yaitu bersifat subjektif dan objektif. Beberapa pilihan terapi yaitu

mengendalikan hiperfosfatemia dan hiperparatiroidisme, terapi lokal : topikal

emolloien (triple lanolin), phototerapy dengan sinar UV-B 2 × perminggu

selama 2-6 minggu (kalau perlu terapi sinar dapat diulang), pemberian

18
medikamentosa (Diphydramine 25-50 mg P.O (bid), Hydroxyzine 10 mg P.O

(bid)) (Sukandar, 2013).

 Easy Brushing

Kecenderungn perdarahan pada kulit dan selaput serosa berhubungan dengan

retensi toksin Guadinosuccinic acid (GSA) dan gangguan faal trombosit.

Pilihan tindakan dengan dialisis (Sukandar, 2013).

 Edema

Edema pada gagal ginjal kronik terutama dengan underlying renal disease.

Glomerulopati primer dan sekunder selalu disertai dengan retensi Na+ dan

air. Terapi pilihan dengan diuretika dan ultrafiltrasi (Sukandar, 2013).

e) Kelainan neuromuskuler

Keluhan-keluhan yang berhubungan dengan kelainan neuromuskuler

adalah restless, parestesia, neuropati perifer, kram otot, insomnia, konvulsi.

Beberapa terapi pilihan yang dapat dilakukan yaitu terapi hemodialisis

reguler yang adekuat, medikamentosa (diazepam, sedatif) atau operasi

subtotal paratiroidektomi (Sukandar, 2013).

f) Hipertensi

Pemberian obat antihipertensi, selain bermanfaat untuk memperkecil

risiko kardiovaskular juga sangat penting untuk memperlambat perburukan

kerusakan nefron dengan mengurangi hipertensi intraglomerulus dan

hipertrofi glomerulus. Beberapa studi membuktikann bahwa, pengendalian

tekanan darah mempunyai peran sama pentingnya dengan pembatasan asupan

protein, dalam memperkecil hipertensi intraglomerulus dan hipertrofi

glomerulus. Selain itu, sasaran terapi farmakologis sangat terkait dengan

19
derajat proteinuria, yang merupakan faktor risiko terjadinya perburukan

fungsi ginjal (Suwitra, 2014).

Pasien CKD dengan hipertensi biasanya memerlukan regimen obat

yang mencakup tiga atau lebih obat antihipertensi untuk mencapai target

tekanan darah. Pilihan terapi pertama untuk pasien CKD dengan hipertensi

adalah ACEIs dan/ARB untuk mengurangi tekanan intraglomerular. Pada

pasien CKD dengan proteinuria maka pilihan terapi yang utama yaitu ACEIs,

ARB, dan CCBs nondihidropiridin. Pemilihan dari ACEIs dibandingkan

ARB atau CCBs nondihidropiridin dalam pengendalian proteinuria dengan

penyakit ginjal nondiabetes pada dasarnya didasarkan pada biaya terapi,

toleransi/keadaan pasien, dan preferensi dokter. Jika terjadi peningkatan

kreatinin serum lebih dari 30 % setelah memulai terapi ACEIs maka terapi

harus dihentikan (Dipiro et al, 2008).

20
Gambar 1.1 Guideline Terapi Hipertensi (JNC8, 2014)
 ACE Inhibitor

ACEIs atau ARB paling sering digunakan untuk pasien dengan CKD

progresif dan proteinuria. ACEIs menghambat perubahan angiotensin I

menjadi angiotensin II, dimana angiotensin II adalah vasokonstriktor poten

yang juga merangsang sekresi aldosteron. ACEIs juga bagus pada pasien

dengan ESRD karena manfaat potensi yaitu regresi LVH, penurunan aktivitas

saraf simpatis, perbaikan fungsi endotel, dan mengurangi stress oksidatif.

Penggunaan dengan dosis awal yang lebih rendah karena eliminasi waktu

paruh dari senyawa induk (captopril dan lisinopril) atau metabolit aktif

(enalapril, benazepril, dan ramipril) yang panjang pada pasien ESRD.

21
Hentikan pemberian ACEIs untuk semua pasien dengan angioedema. Batuk

kering yang persisten terlihat pada 20% pasien ACEIs merupakan

kontraindikasi absolut untuk perempuan hamil dan pasien dengan riwayat

angioedema. Untuk pasien dengan nafas yang pendek atau sulit bernafas

maka dapat dipilih lisinopril yang memiliki efek samping batuk lebih kecil

dari pada yang lainnya (Dipiro et al, 2008).

 ARB

ARB menghambat secara langsung reseptor angiotensinogen II tipe 1

(AT1) yang memediasi efek angiotensinogen II. ARB tidak memblok

reseptor angiotensinogen tipe 2 (AT2). Efek yang menguntungkan dari

stimulasi AT2 (seperti vasodilatasi, perbaikan jaringan, dan penghambatan

pertumbuhan sel) tetap utuh dengan penggunaan ARB (Dipiro et al, 2008).

 Calcium Channel Blocker (CCB)

Calcium channel blockers atau CCBs yang selektif juga efektif dalam

pengobatan hipertensi pada pasien dengan ESRD dan berkaitan dengan

penurunan total dan mortalitas kardiovaskular. CCBs bekerja dengan

menghambat influx kalsium sepanjang membran sel. Ada dua tipe voltage

gated calcium channel: high voltage channel (tipe L) dan low voltage

channel (tipe T). CCBs yang ada hanya menghambat channel tipe L, yang

menyebabkan vasodilatasi koroner dan perifer. Ada dua subkelas CCBs,

dihidropiridin dan nondihidropiridin. Keduanya sangat berbeda satu sama

lain. Efektifitas antihipertensinya hampir sama, tetapi ada perbedaan pada

efek farmakodinamik yang lain. Nondihidropiridin (verapamil dan diltiazem)

menurunkan denyut jantung dan memperlambat konduksi nodal

22
atriventrikular. Untuk pasien CKD lebih dipilih golongan dihidropiridin

karena non dihidropiridin dapat menyebabkan edema (Dipiro et al, 2008).

 Beta Blocker

β-blocker sangat berguna pada pasien CKD dengan hipertensi

setelah infatk miokard. Akan tetapi dihindari untuk pasien dengan riwayat

penyakit asma atau gangguan pernafasan. Beta bloker memblok beta‐

adrenoseptor. Reseptor ini diklasifikasikan menjadi reseptor beta‐1 dan beta‐

2. Reseptor beta‐1 terutama terdapat pada jantung sedangkan reseptor beta‐2

banyak ditemukan di paru‐paru, pembuluh darah perifer, dan otot lurik.

Reseptor beta‐2 juga dapat ditemukan di jantung, sedangkan reseptor beta‐1

juga dapat dijumpai pada ginjal. Reseptor beta juga dapat ditemukan di otak.

Stimulasi reseptor beta pada otak dan perifer akan memacu pelepasan

neurotransmitter yang meningkatkan aktivitas sistem saraf simpatis.

Stimulasi reseptor beta‐1 pada nodus sino‐atrial dan miokardiak

meningkatkan nadi dan kekuatan kontraksi. Stimulasi reseptor beta pada

ginjal akan menyebabkan pelepasan renin, meningkatkan aktivitas sistem

renin angiotensin‐aldosteron. Efek akhirnya adalah peningkatan cardiac

output, peningkatan tahanan perifer, dan peningkatan sodium yang

diperantarai aldosteron dan retensi air. Terapi menggunakan beta‐blocker

akan mengantagonis semua efek tersebut sehingga terjadi penurunan tekanan

darah (Dipiro et al, 2008).

g) Kelainan sistem kardiovaskular

Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular merupakan

hal yang penting, karena 40-45% kematian pada penyakit ginjal kronik

23
disebabkan oleh penyakit kardiovaskular. Hal-hal yang termasuk dalam

pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular adalah,

pengendalian diabetes, pengendalian hipertensi, pengendalian dislipidemia,

pengendalian anemia, pengendalian hiperfosfatemia, dan terapi terhadap

kelebihan cairan dan gangguan keseimbangan elektrolit. Semua ini terkait

dengan pencegahan dan terapi terhadap komplikasi penyakit ginjal kronik

secara keseluruhan (Suwitra, 2014).

3) Transplantasi ginjal

Terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit ginjal kronik stadium 5,

yaitu pada LFG kurang dari 15 ml/menit. Terapi tersebut dapat berupa

hemodialisis, dialisis peritoneal, dan transplantasi ginjal (Suwitra, 2014).

a) Hemodialisis

Tindakan terapi dialisis tidak boleh terlambat untuk mencegah gejala

toksik azotemia, dan malnutrisi. Tetapi terapi dialisis tidak boleh terlalu cepat

pada pasien PGK yang belum tahap akhir akan memperburuk faal ginjal

(LFG). Indikasi tindakan terapi dialisis, yaitu indikasi absolut dan indikasi

elektif. Beberapa yang termasuk dalam indikasi absolut, yaitu perikarditis,

ensefalopati/neuropati azotemik, bendungan paru dan kelebihan cairan yang

tidak responsif dengan diuretik, hipertensi refrakter, muntah persisten, dan

Blood Uremic Nitrogen (BUN) > 120 mg% dan kreatinin > 10 mg%. Indikasi

elektif, yaitu LFG antara 5 dan 8 mL/menit/1,73m², mual, anoreksia, muntah,

dan astenia berat (Sukandar, 2013).

b) Dialisis peritoneal (DP)

24
Dialisis peritoneal adalah salah satu bentuk dialisis untuk membantu

penanganan pasien GGA ( Gagal Ginjal Akut) maupun GGK (Gagal Ginjal

Kronik), menggunakan membran peritoneum yang bersifat semipermeabel.

Melalui membran tersebut darah dapat difiltrasi. Keuntungan Dialisis

Peritoneal (DP) bila dibandingkan dengan hemodialisis, secara teknik lebih

sederhana, cukup aman serta cukup efisien dan tidak memerlukan fasilitas

khusus, sehingga dapat dilakukan di setiap rumah sakit ( Parsudi et al, 2014)

Akhir-akhir ini sudah populer Continuous Ambulatory Peritoneal

Dialysis (CAPD) di pusat ginjal di luar negeri dan di Indonesia. Indikasi

medik CAPD, yaitu pasien anak-anak dan orang tua (umur lebih dari 65

tahun), pasien-pasien yang telah menderita penyakit sistem kardiovaskular,

pasien-pasien yang cenderung akan mengalami perdarahan bila dilakukan

hemodialisis, kesulitan pembuatan AV shunting, pasien dengan stroke, pasien

GGTA (gagal ginjal tahap akhir) dengan residual urin masih cukup, dan

pasien nefropati diabetik disertai comorbidity dan co-mortality. Indikasi non-

medik, yaitu keinginan pasien sendiri, tingkat intelektual tinggi untuk

melakukan sendiri (mandiri), dan di daerah yang jauh dari pusat ginjal

(Sukandar, 2013).

c) Transplantasi ginjal

Transplantasi ginjal merupakan cara pengobatan yang lebih disukai

untuk pasien gagal ginjal stadium akhir (Price & Wilson, 2012). Manfaat

transplantasi sudah jelas terbukti lebih baik dibandingkan dengan dialisis

terutama dlam hal perbaikan kualitas hidup. Salah satu diantaranya adalah

tercapainya tingkat kesegaran jasmani yang lebih baik dan paling jelas

25
terlihat pada pasien usia muda dan pada pasien diabetes mellitus.

Transplantasi ginjal dapat mengatasi seluruh jenis penurunan fungsi ginjal

dan terapi pengganti ginjal (Susalit, 2014).

Menurut (Sukandar, 2013) pertimbangan program transplantasi ginjal

dan persiapan transplantasi ginjal, yaitu:

1) Cangkok ginjal dapat mengambil alih seluruh (100%) faal ginjal, sedangkan

hemodialisis hanya mengambil alih 70-80% faal ginjal alamiah.

2) Kualitas hidup normal kembali

3) Masa hidup (survival rate) lebih lama

4) Kompllikasi terutama berhubungan dengan obat imunosupresif untuk

mencegah reaksi penolakan.

5) Biaya lebih murah dan dapat dibatasi.

Persiapan program transplantasi ginjal : - Pemeriksaan imunologi

1) Golongan darah ABO

2) Tipe jaringan HLA (Human Leucocyte Antigen)

3) Seleksi pasien (resipien) dan donor hidup keluarga

26
BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Rancangan Penelitian

Penelitian ini menggunakan rancangan deskriptif non-eksperimental dengan

pendekatan prospektif cross sectional. Penelusuran data rekam medis yang

digunakan bulan Februari 2018. Metode deskriptif dilakukan dengan pencatatan

demografi pasien. Serta dilakukan pemantauan terhadap frekuensi sesak pada

pasien. Untuk metode deskriptif retrospektif dilakukan dengan mengamati data

rekam medis mengenai pemberian terapi sesak yaitu golongan diuretik dengan

mencatat beberapa parameter sesak meliputi; RR serta balance cairan.

Tabel 3.1 Sasaran terapi pasien dyspnea dengan komplikasi CKD stage V

Parameter Nilai Standar Pustaka


RR 12-20 x/menit Kemenkes RI, 2011
air yang keluar baik
melalui urin maupun
insesible water loss
(IWL) antara 500
sampai 800 ml/hari
Balance cairan (sesuai dengan luas Leni dkk., 2015
permukaan tubuh)
maka air yang masuk
dianjurkan 500 sampai
800 ml ditambah
jumlah urin per hari
TD 140/90 mmHg JNC 8, 2014
Sesak - -

27
3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di bagian Rekam Medis Badan Rumah Sakit Umum

Tabanan selama enam hari terhitung dari survei pendahuluan hingga penyusunan

studi kasus.

3.3 Bahan Penelitian

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah data rekam medis pasien

dyspnea ec CKD stage V yang mencakup hasil:

1. Data laboratorium patologi klinik berupa hasil pemeriksaan Hgb, Hct,

MCV

2. Data penggunaan diuretik yang digunakan dalam terapi edema paru

3. Data balance cairan

4. Data klinis meliputi: RR, sesak, skala nyeri

3.4 Alat Penelitian

Alat penelitian yang digunakan antara lain lembar pengumpul data untuk

mencatat data pada rekam medis pasien. Selain itu digunakan instrumen dalam

proses penelitian. Instrumen yang digunakan antara lain catatan pengobatan

pasien (Patient Medication Record).

3.5 Prosedur Penelitian

3.5.1 Batasan Operasional Penelitian

a. Pasien yang dikategorikan menderita dyspnea dengan komplikasi CKD stage

V terdaftar di dalam indeks rekam medis pada tahun 2018

28
b. Tempat penelitian adalah Bagian Rekam Medis Badan Rumah Sakit Umum

Tabanan

c. Data rekam medis yang diambil adalah antara tanggal 9 Februari-17 Februari

2019

d. Data laboratorium pada rekam medis yang diambil pada penelitian ini antara

lain data hasil Hgb, Hct, MCV, Natrium, Kalium, BUN, Kreatini dan asam

urat.

e. Data obat yang diambil pada rekam medik adalah data penggunaan furosemid

yang digunakan selama terapi edema, amlodipin dan lisinopril yang digunakan

dalam terapi hipertensi

f. Target keberhasilan terapi pengobatan pada pasien dyspnea ec CKD stage V

dapat dilihat dari RR pasien berada pada rentang 12-20x/menit, balance cairan

terkontrol normal, TD: 140/90 mmHg, Hgb: 13-18 g/dL, Hct: 40-45%, MCV:

80-100µm3, Natrium: 135-144 mmol/L, Kalium: 3,6-4,8 mmol/L, BUN: 10-20

mg/dL, Kreatini: 0,6-1,3 mg/dL dan asam urat: 3,6-8,5 mg/dL.

3.5.2 Pengambilan Data

Pengambilan data dilakukan dengan menelusuri data rekam medis pasien

dari 9 Februari hingga 17 Februari 2018. Berikutnya dilakukan pencatatan data

pasien pada rekam medis antara lain demografi pasien (umur, jenis kelamin dan

diagnosis), jenis diuretik yang digunakan terapi edema dan obat yang digunakan

untuk pengatasan hipertensi pasien serta data laboratorium patologi klinik lain

data hasil Hgb, Hct, MCV, Natrium, Kalium, BUN, Kreatini dan asam urat.

Setelah diperoleh data demografi pasien (umur, jenis kelamin dan diagnosis), jenis

29
diuretik yang digunakan terapi, obat yang digunakan untuk pengatasan hipertensi

pasien serta data laboratorium patologi klinik mengenai status anemia pada

pasien, status asam urat dan fungsi ginjal pasien. Pengamatan dyspnea dilakukan

dengan melihat perbaikan parameter hasil RR dan balance cairan pada pasien.

3.5.3 Analisis Data

Data hasil pecatatan pada rekam medis selanjutnya dianalisis secara

deskriptif. Deskriptif dengan menghubungkan demografi pasien yaitu jenis

kelamin, umur, pemantauan diuretik yang digunakan pada pengatasan dyspnea,

serta hasil pengujian patologi klinik terkait efektifitas HD yang dilakukan selama

terapi lalu dilakukan tabulasi data dalam bentuk tabel.

3.5.4 Pemaparan Kasus

3.5.4.1 Deskripsi Pasien


No. RM 461747
Ruang Dahlia Garing Transparan
Nama Wayan Mudia
Alamat Br. Bedugul, Penatahan Penebel Tabanan
Umur 64 tahun
BB/TB 62 kg/ 165 cm
Diagnosa Obs dyspnea ec CKD stage V
Alasan MRS Sesak
Riwayat CKD stg V rutin HD 1 x seminggu
Tgl. MRS 9 Februari 2018
Dokter Sutarka, Sp.PD
Alergi -

3.5.4.2 Catatan Perkembangan Pasien


Tanggal Catatan Perkembangan Pasein (SOAP) oleh Perawat dan
Dokter
9 Februari S : Masih sesak
2018 O: Kondisi umum pasien lemah, sesak +, RR: 24x/menit TD:

30
170/80, N: 86/mnt
A: Pola nafas tidak efektif
P: Mengatasi pola nafas inefektif selama 3x24 jam diharapkan sesak
tidak ada
10 Februari S : Masih sesak
2018 O: Kondisi umum pasien lemah, sesak +, RR: 28x/menit TD:
160/100, N: 87/mnt
A: Gangguan perfusi jaringan renal
P: Mengatasi gangguan perfusi jaringan dalam waktu 3 x 24 jam
11 Februari S : Sesak (+)
2018 O: Kondisi umum pasien lemah, RR: 28x/menit TD: 140/80, N:
85/mnt
A: Gangguan perfusi jaringan renal
P: Mengatasi gangguan perfusi jaringan dalam waktu 3 x 24 jam
diharapkan sesak tidak ada
12 Februari S : Sesak nafas (+), nyeri dada kiri (+), bengkak (+)
2018 O: Kondisi umum pasien lemah, RR: 24x/menit TD: 150/80, N:
88/mnt
A: Gangguan perfusi jaringan renal
P: Mengatasi gangguan perfusi jaringan dalam waktu 3 x 24 jam
diharapkan sesak tidak ada, RR: 16-20X/menit
13 Februari S : Sesak nafas (-), nyeri dada kiri (-), bengkak (-)
2018 O: Kondisi umum pasien lemah, RR: 24x/menit TD: 130/90, N:
85/mnt
A: Gangguan perfusi jaringan renal
P: Mengatasi gangguan perfusi jaringan dalam waktu 3 x 24 jam,
kriteria sesak (-), bengkak (-)
14 Februari S : nyeri dada (+)
2018 O: Kondisi umum pasien lemah, RR: 24x/menit TD: 150/80, N:
88/mnt
A: Gangguan perfusi jaringan renal
P: Mengatasi gangguan perfusi jaringan dalam waktu 3 x 24 jam
15 Februari S : Sesak, nyeri dada (+)
2018 O : Kondisi umum pasien lemah, RR: 24x/menit TD: 150/90, N:
58/mnt
A : Gangguan perfusi jaringan renal
P : Mengatasi masalah gangguan perfusi jaringan dalam waktu 3 x
24 jam, target RR : 16-20x/menit
16 Februari S : Sesak, nyeri dada (+)
2018 O : Kondisi umum pasien lemah, RR: 24x/menit TD: 100/80, N:
84/mnt
A : Gangguan perfusi jaringan renal
P : Mengatasi masalah gangguan perfusi jaringan dalam waktu 3 x
24 jam, target RR : 16-20x/menit
17 Februari S : Sesak, nyeri dada (+)
2018 O : Kondisi umum pasien lemah, RR: 24x/menit TD: 136/80, N:
84/mnt

31
A : Gangguan perfusi jaringan renal
P : Mengatasi masalah gangguan perfusi jaringan dalam waktu 3 x
24 jam, target RR : 16-20x/menit

32
3.5.4.3Data Klinis dan Data Laboratorium
a. Data Klinis
No Data Klinis Nilai Bulan/Tahun: Februari 2018
9 10 11 12 13 14 15 16 17
Normal
1 Nadi 60- 86 87 85 88 85 88 58 84 84
(/menit) 100/menit
2 RR (/menit) 12-20 /menit 24 28 28 24 24 24 24 24 24
3 TD 140/90 170/80 160/100 140/80 150/80 130/90 150/80 150/90 100/80 136/80
(mmHg) mmHg (JNC
8, 2014)
4 Sesak Sesak + + + + + + + + +
5 Mual Mual + + + - - - - - -
6 Nyeri dada + + + + + + + - -
7 Nyeri kaki + + + + + + + - -
8 Resiko Resiko jatuh 8 8 8 8 8 8 8 8 8
jatuh
9 Bengkak + + + + + + - - -

b. Data Laboratorium
No Data Nilai Normal Bulan/Tahun: Februari 2018
Laboratorium

33
9 10 11 12 13 14 15 16 17
1 Hb (gr/dL) Pria : 13-18 g/dL
9,38 - - - - - - - -
Wanita : 12-16 g/dL
2 Hct % Pria : 40-45%
28,6 - - - - - - - -
Wanita : 35%-45%
3 Leu (103/µL) 3.200-10.000/mm3 11 - - - - - - - -
4 Trombosit (103/µL) 170-380. 103/mm3 272 - - - - - - - -
5 Neu % 40-74% 63,5 - - - - - - - -
6 MCV 80-100µm3 92,5 - - - - - - - -
7 Na (mmol/L) 135-144 mmol/L 136 - - - - - - - -
8 Kalium 3,6-4,8 mmol/L 4,3 - - - - - - - -
9 Klorida 97-106 mmol/L 101 - - - - - - - -
10 BUN 10-20 mg/dL 22 - - - - - - - -
11 Kreatinin 0,6-1,3 mg/dL 7 - - - - - - - -
12 Asam Urat Pria : 3,6-8,5 mg/dL
4 - - - - - - - -
Wanita : 2,3-6,6 mg/dL

(Kemenkes RI, 2011)

3.5.4.4 Catatan Pengobatan Pasien


No Nama Obat Regimen Dosis Bulan/Tahun: Februari 2018
9 10 11 12 13 14 15 16 17
1 Lisinopril 1x10mg         
2 Amlodipine 1x10mg        

34
3 Asam folat 2x1 tab        
4 Allopurinol 1x1 tab        
5 Omeprazole 1x1 vial
       
40 mg INJ
6 Osteocal 3x1 tab       
7 ISDN 5mg 3x5mg     
8 Asetosal 1x1 tab         
9 Concor 2,5 1x1/2tab     
10 Furosemid 4 x 20 mg INJ         
11 Cedocard 2 x 20 mg INJ         

35
BAB IV
PEMBAHASAN

4.1 Assessment
Perkembangan kondisi, tindakan dan terapi pengobatan pasien selama
rawat inap di BRSU Tabanan dapat dilihat dari hasil rekam medis pasien. Pasien
masuk ke rumah sakit pada tanggal 9 Februari 2018 dengan keluhan sesak nafas.
Pasien juga memiliki riwayat CKD stage V. Kondisi pasien tersebut didiagnosa
awal oleh dokter mengalami dyspnea ec CKD stage V. Kondisi klinis pasien pada
saat pertama masuk rumah sakit yaitu sesak dengan RR 24x/menit, TD 170/80
mmHg, pola nafas tidak efektif , nyeri dada, dan mual. Terapi awal yang diperoleh
pasien yaitu lisinopril 1 x 10 mg, asetosal 1 x 1 tablet, furosemid 4x 20 mg INJ
dan cedocard 2 x 20mg INJ. Setelah mendapatkan terapi tersebut pasien masih
mengeluh sesak, nyeri dada, nyeri kaki mual dan lemas dengan keadaan umum
lemah yaitu TD: 160/100 mmHg, Nadi: 87x/menit, RR: 28x/menit,. Berdasarkan
hal tersebut pasien masih perlu untuk dimonitoring oleh tenaga kesehatan
sehingga pasien mendapatkan pelayanan rawat inap. Selanjutnya dilakukan
pengamatan pada pasien dalam menjalani rawat inap selama 9 hari dari tanggal 9
Februari 2018 hingga 17 Februari 2018. Terapi yang diberikan tertera pada
catatan pengobatan pasien yang tertera pada Tabel 3.1. Untuk mengetahui rasional
atau tidaknya pemberian terapi obat yang diberikan pada pasien selama rawat
inap, terlebih dahulu apoteker melakukan analisis terkait kasus berdasarkan
masing-masing obat yang diresepkan oleh dokter kepada pasien. Tujuannya untuk
menganalisa indikasi masing-masing obat dan menerjemahkannya ke dalam suatu
dugaan diagnosa yang telah ditegakkan oleh dokter atau sakit apa yang diderita
oleh pasien

Tabel 4.1 Indikasi Masing-masing Obat


Nama Obat Komposisi Indikasi Data Subjektif Indikasi Terkait Kasus
dan Objektif
Lisinopril Lisinopril Semua tingkat Subjektif: Data SBP dan DBP
10mg hipertensi, - menunjukkan pasien
gagal jantung memiliki BP diatas
kongestif Objektif: rentang normal

36
(tambahan), Tekanan darah sehingga diberikan
setelah infark sistolik >120 lisinopril. Anamnese
miokard pada mmHg dan kefarmasian pasien
pasien yang diastolik >80 mengalami hipertensi.
secara mmHg (di atas
hemodinamik rentang
stabil (PIO normal pada
Nas, 2015) tgl 10 Februari
2018)
Amlodipine Amlodipine Pengobatan Subjektif: Data SBP dan DBP
10 mg hipertensi Nyeri dada menunjukkan pasien
dapat memiliki BP diatas
digunakan Objektif: rentang normal
sebagai terapi Tekanan darah sehingga diberikan
tunggal atau sistolik >120 lisinopril dengan
kombinasi mmHg dan kombinasi amlodipine
dengan obat diastolik >80 . Anamnese
antihipertensi mmHg (di atas kefarmasian pasien
lain seperti rentang mengalami hipertensi.
diuretik tiazid, normal pada
beta blocker tgl 10 Februari
atau ACEI, 2018
pengobatan
iskemia
miokardia
termasuk
pengobatan
angina pektoris
dan atau
vasokontriksi
pembuluh
darah koroner
(PIO Nas,
2015)
Asam folat Asam folat Anemia Subjektif: Keadaan umum
5mg megaloblastik Keadaaan pasien lemah serta
yang umum lemah pasien mengalami
disebabkan CKD stg 5 dengan
defisiensi asam Objektif: rutin HD seminggu
folat (PIO Nas, Hb, Hct, sekali dan Data Hb,
2015) Eritrosit Hct, Eritrosit dibawah
dibawah rentang normal dan
rentang nilai MCV diatas
normal dan rentang normal pada
nilai MCV pemeriksaan
diatas rentang laboratorium tgl 13
normal pada Februari 2018.
pemeriksaan Anamnese

37
laboratorium kefarmasian pasien
tgl 13 Februari mengalami anemia
2018 megaloblastik yang
disebabkan defisiensi
asam folat
Allopurinol Allopurinol Hiperurisemia Subjektif: Pasien mengeluhkan
100 mg kronik, Pasien nyeri dan bengkak
penyakit ginjal mengalami pada kaki dan pasien
yang bengkak pada memiliki riwayat
disebabkan kaki dan nyeri asam urat. Anamnese
asam urat, batu Objektif: kefarmasian pasien
asam urat pada - mengalami asam urat.
saluran kemih
dan kondisi-
kondisi lain
yang
berhubungan
dengan obat-
obatan untuk
pasien kanker
(PIO Nas,
2015)
Omeprazole Tiap mL Ulkus Subjektif: Pasien mengeluhkan
mengandung: duodenum, Pasien mual disebabkan
Omeprazole ulkus gaster, mengeluhkan pemberian asetosal
sodium 42,6 esofagitis mual yang memiliki efek
mg setara ulseratif dan samping terjadinya
dengan sindrom Objektif: iritasi pada saluran
omeprazole zolinger-ellison - cerna serta pasien
40 mg (PIO Nas, memiliki riwayat
2015) tukak peptik.
Anamnese
kefarmasian pasien
mengalami tukak
peptik
Osteocal Ca Carbonate Pencegahan & Subjektif: Pasien dengan CKD
1.250mg pengobatan - stg V akan sangat
(setara defisiensi Ca rentan mengalami
dengan 500 (Rickets, Objektif: hiperfosfatemia.
mg elemen osteomalasia, - Anamnese
Ca), Vitamin osteoporosis), kefarmasian pasien
D 200 IU, serta untuk mengalami tukak
Mg 40mg, memelihara peptik
manga nese 2 kesehatan
mg, Zn tulang dan gigi,
7,5mg, Na hiperfosfatemia
fluoride 1mg (PIO Nas,
2015)

38
ISDN 5mg Isosorbide Pencegahan Subjektif: Pasien mengeluh
dinitrate dan pengobatan Nyeri dada nyeri dada.
serangan Berdasarkan
angina pectoris anamnese
(PIO Nas, Objektif: kefarmasian pasien
2015) Tekanan darah mengalami angina
sistolik >140 pektoris dimana
mmHg dan serangan ini dikaitkan
diastolik >80 dengan Hipertensi dan
mmHg (di atas CKD yang diderita
rentang pasien yang diduga
normal pada menjadi pencetus
tgl 10 Februari serangan angina
2018 pectoris pada pasien
Asetosal Asetosal 100 Trombosis Subjektif: Berdasarkan
mg vena, - anamnese
trombosis arteri Objektif: kefarmasian asetosal
(Glare et al., - digunakan untuk
2011) trombosis vena
Concor 2,5 Bisoprolol Pengobatan Subjektif: Pasien mengeluh
nemifumarate hipertensi dan Nyeri dada nyeri dada dan data
angina (BNF, SBP dan DBP
2009) Objektif: menunjukkan pasien
Tekanan darah memiliki BP diatas
sistolik >140 rentang normal
mmHg dan sehingga diberikan
diastolik >90 bisoprolol. Anamnese
mmHg (di atas kefarmasian pasien
rentang mengalami hipertensi
normal pada dan mengalami
tgl 10 Februari serangan angina
2018 pectoris
Cedocard Isosorbide Pengobatan Subjektif: Pasien mengeluh
IV 1mg dinitrate gagal jantung Nyeri dada nyeri dada.
infus tidak ada Berdasarkan
respon, Objektif: anamnese
terutama Tekanan darah kefarmasian pasien
setelah infark sistolik >140 mengalami angina
miokard. mmHg dan pektoris dimana
Mengontrol diastolik >90 serangan ini dikaitkan
angina pektoris mmHg (di atas dengan Hipertensi dan
refrakter rentang CKD yang diderita
(Sweetman, normal pada pasien yang diduga
2009) tgl 10 Februari menjadi pencetus
2018 serangan angina
pectoris pada pasien
Lasix Furosemide Edema jantung, Subjektif: Pasien mengeluh
ginjal, hati Sesak sesak disebabkan

39
(Sweetman, pasien mengalami
2009) Objektif: edema pada paru-
Tekanan darah paru. Anamnese
sistolik >140 kefarmasian pasien
mmHg dan mengalami dypnea ec
diastolik >90 CKD stg V
mmHg (di atas
rentang
normal pada
tgl 10 Februari
2018

Berdasarkan anamnese kefarmasian yang telah dcantumkan dalam tabel di


atas, selanjutnya dilakukan penilaian pengobatan yang rasional dari terapi selama
pasien menjalani pelayanan rawat inap di BRSU Tabanan. Penilaian pengobatan
yang rasional menggunakan penilaian 4T1W yang terdiri dari tepat indikasi, tepat
obat, tepat dosis, tepat pasien, dan waspada efek samping obat. Pasien masuk
rumah sakit pada tanggal 25 Agustus 2017 dengan diagnosa dyspnea et causa
CKD stage V.

Kemudian pengamatan terhadap profil pengobatan pasien dilakukan


selama selama 9 hari dari tanggal 9 Februari 2018 hingga 17 Februari 2018..
Penilaian pengobatan yang rasional yang pertama yaitu sesuai dengan indikasi
obat yang diberikan pasa pasien. Pada tanggal 9 Februari 2018, kondisi umum
pasien lemah dan pasien mengalami sesak. Kondisi pasien sesak diakibatkan
terjadinya edema paru-paru pada pasien sehingga harus dipantau balance cairan
dengan cermat, maka dari itu pasien perlu diberikan terapi diuretik yaitu lasix
injeksi, sehingga dapat dinyatakan pemberian lasix INJ sebagai diuretik tepat
indikasi (Sweetman, 2009). Pasien memiliki riwayat CKD stage V. Pada
tatalaksana terapi CKD stage V, harus diperhatikan terapi spesifik terhadap
penyakit dasarnya, pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid (faktor
komorbid tersebut antara lain gangguan keseimbangan cairan, hipertensi yang
tidak terkontrol, infeksi traktus urinarius, obat-obat nefrotoksik, bahan
radiokontras atau peningkatan aktivitas penyakit dasarnya), memperlambat
perburukan fungsi ginjal (restriksi protein dan terapi farmakologis), pencegahan
dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular (pengendalian hipertensi, anemia,

40
hiperfosfatemia, dan terapi terhadap kelebihan cairan dan gangguan keseimbangan
elektrolit), pencegahan dan terapi terhadap komplikasi (anemia, osteodistrofi
renal, pembatasan cairan dan elektrolit) dan terapi pengganti ginjal berupa dialisis
atau transplantasi ginjal.

Pada kasus ini, karena pasien menderita CKD stage V, maka telah terjadi
kegagalan fungsi ginjal yang didukung dengan GFR 9,3 mL/min/1,73 m2 .
Sehingga penatalaksanaan utama pada pasien ini ialah terapi pengganti ginjal
berupa hemodialisis. Hemodialisis emergensi dipilih pada pasien ini karena
dijumpai adanya uremic lung yang merupakan salah satu petanda terjadinya fluid
overload. Selanjutnya pasien menjalani Hemodialisis regular 2x seminggu
( Abdurrahim dkk., 2018). Penanganan hipertensi pada pada kasus ini dengan
terapi ACE inhibitor (angiotensin-converting enzyme inhibitor) yaitu lisinopril
melindungi nefron yang tersisa dari cedera lebih lanjut dan memperlambat
penurunan fungsi ginjal. Antagonis reseptor angiotensin juga memiliki sifat
renoprotektif sehingga pada kasus ini terapi lisinopril yang diberikan dapat
dikatakan sudah tepat indikasi (Leni dkk., 2015).

Anemia terjadi pada 80-90% pasien CKD. Mekanisme terjadinya anemia


pada CKD terutama disebabkan oleh defisiensi eritropoetin akibat menurunnya
fungsi ginjal. Hal-hal yang lain yang ikut berperan dalam terjadinya anemia
adalah: defisiensi besi, kehilangan darah (misalnya akibat perdarahan saluran
cerna atau hematuria), massa hidup eritrosit yang pendek akibat terjadinya
hemolisis, defisiensi asam folat, penekanan sumsum tulang oleh substansi uremik,
proses inflamasi akut maupun kronik. Evaluasi terhadap anemia dimulai saat
kadar hemoglobin ≤ 10 gr % atau HCT ≤ 30% yang meliputi evaluasi terhadap
status besi (SI/TIBC/ferritin), mencari sumber perdarahan, morfologi eritrosit,
serta kemungkinan adanya hemolisis.4 Pada kasus ini, pasien mengalami anemia
ringan normokromik normositer (Hb 9,38 gr/dL, HCT 28.6%, MCV 92,5 µm 3.
Penyebab anemia masih ditelusuri, dimana salah satu pemeriksaan penunjang
yang direncanakan ialah pemeriksaan status besi (SI/TIBC/serum ferritin) untuk
menyingkirkan kemungkinan defisiensi besi sebagai penyebab anemia pada
pasien ini Koreksi anemia pada penderita CKD dimulai pada kadar Hemoglobin <
10 gr/dL dengan target terapi, tercapainya kadar hemoglobin antara 11-12 gr/dL.

41
Pemberian tranfusi pada CKD harus dilakukan dengan hati-hati, berdasarkan
indikasi yang tepat dan pemantauan yang cermat. Tranfusi darah yang dilakukan
secara tidak cermat dapat mengakibatkan kelebihan cairan tubuh dan
hyperkalemia yang kita ketahui menyebabkan perburukan fungsi ginjal (Leni
dkk., 2015).

Pemberian asam folat merupakan salah satu cara untuk mencegah


terjadinya hiperhomosisteinemia pada pasien CKD, karena asam folat merupakan
salah satu substansi penting yang diperlukan dalam metabolise homosistein Pada
kasus ini, pasien diberikan terapi asam folat 2 x 2 mg dapat dikatakan pada kasus
ini pemberian asam folat tepat indikasi. Kontrol terhadap tekanan darah sangat
penting, tidak hanya untuk menghambat perburukan CKD, tetapi juga untuk
mengurangi risiko penyakit kardiovaskuler. Penatalaksanaan hipertensi pada
pasien CKD berupa diet rendah garam dan pemberian obat antihipertensi
golongan ACE inhibitor dan atau Calcium-Channel Blocker (CCB). ACE
inhibitor dan CCB merupakan pilihan obat antihipertensi untuk pasien CKD
karena keduanya mengurangi hipertensi glomerulus melalui 2 mekanisme, yaitu:
(1) menurunkan tekanan darah sistemik dan menyebabkan vasodilatasi arteriol
eferen; dan (2) meningkatkan permeabilitas membran glomerulus dan
menurunkan produksi sitokin fibrogenik. CCB mempunyai efek samping yang
lebih sedikit dibandingkan ACE inhibitor (seperti batuk atau hiperkalemia)
sehingga pemberian amlodipine pada kasus ini dikatakan tepat indikasi (Depkes
RI, 2006).

Adapun target penurunan tekanan darah yang ingin dicapai pada pasien
CKD, tergantung pada kadar protein dalam urin pasien. Pada pasien dengan kadar
protein urin > 1 gr/hari, target tekanan darah yang diinginkan ialah < 125/75
mmHg, sedangkan bila kadar protein dalam urin < 1 gr/hari, target penurunan
tekanan darah yang diharapkan ialah < 130/80 mmHg (Depkes RI, 2006). Pada
pasien ini, diberikan pengobatan berupa Lisinopril 1x10 mg yang dikombinasikan
dengan amlodipine 1x10 mg. Pengkombinasian ACE inhibitor dengan Calcium
Channel Blocker pada pasien ini dilakukan karena pasien juga dicurigai
mengalami penyakit jantung hipertensi, yang didasarkan adanya serangan angina
yang dialami pasien pada saat MRS.

42
Salah satu manifestasi klinis yang sering dijumpai pada penderita CKD
ialah edema paru. Berdasarkan mekanisme yang mendasarinya, edema paru pada
pasien dengan penyakit ginjal secara umum dibedakan menjadi: (1) edema paru
renal primer dan (2) edema paru sekunder sebagai konsekuensi renal dan jantung.
Edema paru renal secara klasik berkaitan dengan adanya kelebihan volume cairan
ekstraseluler sebagai akibat dari kegagalan eksresi air dan natrium. Edema paru
mikrovaskular merupakan bentuk edema paru renal primer lainnya, yang terjadi
akibat adanya peningkatan permeabilitas kapiler paru, yang mungkin disebabkan
karena penurunan tekanan onkotik plasma. Sedangkan edema paru sekunder
sebagai konsekuensi ginjal dan jantung biasanya merupakan komplikasi dari
kelainan jantung yang telah ada sebelumnya, misalnya akibat kardiomiopati
hipertensif, anemik, maupun uremikum. Pada CKD, mekanisme utama yang
mendasari terjadinya edema paru ialah fluid overload akibat retensi cairan dan
natrium. Akibatnya terjadi peningkatan tekanan hidrostatik pada kapiler paru yang
diikuti oleh terjadinya transudasi cairan dari kapiler paru ke dalam ruang
interstisial maupun alveolus paru. Adanya cairan yang mengisi ruang alveolus
mengakibatkan gangguan pada proses difusi gas, dari alveolus ke kapiler paru
(Leni dkk., 2015).

Secara klinis, keadasan ini ditandai oleh adanya keluhan sesak nafas,
rhonki pada pemeriksaan fisik yang mengarah pada kesan suatu edema paru. Pada
kasus ini, pasien mengeluh sesak nafas. Pembatasan asupan air pada pasien CKD
sangat perlu dilakukan untuk mencegah terjadinya edema dan komplikasi
kardiovaskuler. Air yang masuk ke dalam tubuh dibuat seimbang dengan air yang
keluar baik melalui urin maupun insesible water loss (IWL) antara 500 sampai
800 ml/hari (sesuai dengan luas permukaan tubuh) maka air yang masuk
dianjurkan 500 sampai 800 ml ditambah jumlah urin per hari (Leni dkk., 2015).
Pada pasien ini juga dilakukan pengaturan cairan masuk, guna mencegah volume
overload yang akan memperberat edema paru sehingga pada kasus ini pemberian
lasix INJ sebagai diuretik kuat dikatakan tepat indikasi.

Untuk mengatasi hiperfosfatemia dapat diberikan pengikat fosfat. Agen


yang banyak dipakai ialah garam kalsium, aluminium hidroksida, garam serta
magnesium. Garam-garam ini diberikan secara oral, untuk menghambat absorpsi

43
fosfat yang berasal dari makanan. Garam kaslium yang banyak dipakai adalah 21
kalsium karbonat (CaCO3) dan kalsium asetat (Leni dkk., 2015). Pada pasien ini
diberikan osteocal dengan dosis 3 x 1 tablet sehingga pemberian osteocal
dikatakan tepat indikasi.

Aspek kedua dalam penilaian pengobatan yang rasional yaitu tepat dosis.
Tepat dosis adalah dosis yang diresepkan kepada pasien sesuai dengan kebutuhan
individual dari pasien dan dosis yang diberikan berada dalam rentang terapi. Obat
harus digunakan dengan dosis, cara pemberian serta waktu pemberian yang tepat
untuk menghasilkan efek terapi yang diinginkan serta menghindari resiko
toksisitas, maka perlu dilakukan analisis untuk mengetahui ketepatan dosis yang
diberikan pada pasien. Berikut adalah perbandingan kesesuaian dosis peresepan
dengan dosis pustaka.

Tabel 4.2 Tepat Dosis


No Nama Obat Pengaturan dosis untuk Dosis Lazim Keterangan
GFR < 10 mL/menit
1 Lisinopril Dosis awal 2,5 mg/hari, 5-40 mg Dosis Sesuai
dapat ditingkatkan
berdasarkan respon
2 Amlodipin Dosis sesuai dengan fungsi 5-10 mg Dosis Sesuai
ginjal normal
3 Asam folat Dosis sesuai dengan fungsi 0,4 – 1 mg Dosis Sesuai
ginjal normal
4 Allopurinol 100 mg/hari 100-300 mg Dosis Sesuai
5 Omeprazole Dosis sesuai dengan fungsi 20-40 mg Dosis Sesuai
ginjal normal
6 Osteocal Dosis sesuai dengan fungsi 1-1,12 g Dosis Sesuai
(kalsium ginjal normal
Karbonat
7 ISDN Dosis sesuai dengan fungsi 5-20 mg Dosis Sesuai
ginjal normal
8 Asetosal Dosis sesuai dengan fungsi 75-100 mg Dosis Sesuai
ginjal normal
9 Bisoprolol Dosis sesuai dengan fungsi 2,5 – 5 mg Dosis Sesuai

44
ginjal normal
10 Furosemid Dosis sesuai dengan fungsi 20 – 80 mg Dosis Sesuai
ginjal normal ; peningkatan
dosis dapat dilakukan

Penilaian tepat penggunaan obat yaitu apabila obat yang diresepkan


mempertimbangkan kondisi individu yang bersangkutan dan semaksimal mungkin
tidak kontraindikasi dengan kondisi pasien yang menerima resep dan sebaiknya
tidak menimbulkan efek samping atau menimbulkan efek samping yang paling
minimal. Berdasarkan bentuk sediaan yang diberikan kepada pasien tersebut
adalah secara intravena dan peroral. Pemilihan bentuk sediaan intravena tepat
untuk kondisi pasien yang membutuhkan penanganan cepat dan respon terapi
yang cepat. Pasien pada kasus ini tidak memiliki alergi obat dan tidak ada riwayat
penyakit menyertai, sehingga dengan mempertimbangkan kondisi individu yang
bersangkutan dapat disimpulkan resep ini sudah tepat pasien (Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia, 2011).

Waspada terhadap efek samping obat perlu dijadikan pertimbangan dalam


penilaian ketepatan pengobatan. Pemberian obat potensial menimbulkan efek
samping, yaitu efek tidak diinginkan yang timbul pada pemberian obat dengan
dosis terapi (Departemen Kesehatan RI, 2005). Apabila pasien tidak mengetahui
efek samping obat maka kemungkinan pasien akan berhenti menggunakan obat
apabila efek samping tersebut muncul, terutama jika efek samping tersebut
mengganggu kenyamanan pasien dalam beraktivitas (Browne et al., 2000). Hal-
hal yang berkaitan mengenai efek samping penggunaan obat harus disampaikan
kepada pasien dan cara menangani efek samping tersebut. Data mengenai efek
samping yang mungkin terjadi pada penggunaan obat yang diberikan pada pasien
dapat dilihat pada tabel 4.3

Tabel 4.3 Waspada Efek Samping


Nama Obat Efek Samping
Lisinopril Merasa pusing atau kepala terasa ringan terutama saat
bangkit dari posisi duduk atau berbaring, Sakit kepala,
Merasa mual dan  muntah, Gangguan pencernaan dan
sakit perut, Merasa kelelahan, Diare dan Batuk kering

45
(Anderson et al., 2002).
Amlodipine Nyeri abdomen, mual, palpitasi, wajah memerah, edema,
gangguan tidur, sakit kepala, pusing, letih (BNF, 2009).
Asam folat Brochospasm, erythema, malaise, pruritus dan ruam
(BNF, 2009).
Allopurinol Ruam, mual, gagal ginjal dan muntah (BNF, 2009).
Omeprazole Sakit kepala, Sembelit atau konstipasi, Diare, Sakit perut,
Nyeri sendi, Sakit tenggorokan, Kram otot dan Hilang
selera makan (Lacy et al., 2009)
Osteocal Kembung, diare, atau konstipasi (BNF, 2009).
ISDN 5mg Sakit kepala, mual dan ruam (BNF, 2009).
Asetosal Mual, muntah, iritasi saluran cerna (BNF, 2009).
Concor 2,5 Mual, muntah, ekstremitas terasa dingin, sakit kepala,
lelah, lemah, diare, pusing, parestesia, hipotensi
ortostatik, gagal jantung, kram otot, depresi, gangguan
tidur, gangguan stimulus AV, konstipasi, brokospasme,
mimpi buruk, halusinasi, reaksi hipersensitivitas (Lacy et
al., 2009).
Cedocard IV 1mg Sakit kepala, hipotensi postural dan mual (Lacy et al.,
infus 2009).
Lasix hipokalemia (kadar kalium yang rendah di darah), dan
peningkatan kadar asam urat, hipotensi (Lacy et al.,
2009).

4.2 Drug Related Problem


No Tanggal Kode Uraian Masalah Rekomendasi/Saran
Masalah
1. 11 Februari 1 Tidak ada indikasi Perlu dilakukan
2018 hiperfosfatemia pengujian fosfat untuk
mengetahui apakah
pasien mengalami
hiperfosfat sehingga
pemberian CaCo3
efektif pada pasien
CKD
2. 10 Februari 1 Tidak ada indikasi asam Hasil laboratorium
2018 urat nilai asam urat normal
sehingga pemberian
allopurinol perlu
dipertimbangkan
kembali
3. 13 Februari 1 Ada indikasi anemia Dapat diberikan
2018 suplemen besi atau

46
ESA (Eritropoiesis
stimulating agent )

Menurunnya ekskresi fosfat, khususnya ketika asupan berlebihan dari

fosfat merupakan mekanisme umum perkembangan hiperfosfatemia. Penyebab

paling umum menurunnya ekskresi fosfat pada renal adalah gagal ginjal, akut atau

kronis, pada segala penyebab. Ketika fungsi ginjal berkurang 40-50 %, penurunan

jumlah jaringan ginjal yang berfungsi tidak dapat mengeksresi sepenuhnya fosfat

yang masuk ke tubuh untuk mempertahankan homeostasis sehingga

berkembangnya hiperfosfatemia. Hiperfosfat dapat berlangsung lama ketika

pasien dengan penyakit gagal ginjal yang memerlukan hemodialysis (MedScape,

2018).

Hiperfosfatemia khususnya jika berlangsung pada waktu yang lama dapat

memicu soft-tissue calcification yang merupakan deposisi kalsium fosfat pada

jaringan tertentu. Deposisi kalsium dapat terjadi pada mata, sendi, dan sistem

vascular. Deposisi kalsium pada sendi dapat menyebabkan sendi membesar dan

sakit, dan gerak menjadi terbatas (MedScape, 2018).

Individu dengan penurunan fungsi ginjal atau gagal ginjal memerlukan

tambahan pengikat fosfat untuk menghambat absorpsi fosfat pada pencernaan.

Salah satu pengikat fosfat yaitu kalsium yang mengandung pengikat contohnya

adalah kalsium karbonat dan kalsium sitrat. Obat ini telah digunakn secara luas,

mempunyai keuntungan dengan menghambat absorpsi fosfat dan memberikan

asupan kalsium kepada pasien. Kekurangan dari pengobatan ini yaitu tingkat

insiden terjadinya hiperkalsemia pada pasien (MedScape, 2018)

47
Penggunaan Osteocal yang mengandung kalsium karbonat pada pasien

gagal ginjal sudah sesuai, meskipun tidak ada indikasi hiperfosfat karena tidak

dilakukan uji lab dimana terdapat aksi crosslink pada kandungan osteocal.

Kandung karbonat digunakan untuk mengikat fosfat dan kalsium untuk nutrisi

pada sendi dan tulang. Banyaknya fosfat secara bebas pada tubuh dapat memicu

pengeroposan tulang karena fosfat lebih mudah terikat pada tulang dibandingkan

kalsium sehingga dengan adanya pengikat fosfat nutrisi kalsium lebih mudah

diserap tubuh untuk mencegah pengeroposan tulang.

4.3 Plan
N Health Pharmacothera Recommen Monitor Desired Monitor
o Care peutic Goal ded for ing Endpoi ing
Need Therapy Paramet n’s Frequen
ers cy
1 Mengata Sesak teratasi furosemid RR 16-20 Tiap hari
si sesak INJ dan x/menit
dilakukan Balance Terkont Tiap hari
HD ekstra cairan rol
apabila
diuretik
tidak
mampu
menangani
2 Mengata Anemia teratasi Diberikan Hgb 13,2 – diulang
si suplemen 17,3 5-7 hari
anemia besi atau g/dL
ESA Hct 39 – 54
(Eritropoies %
is MCV 82 - 92
stimulating fL
agent)
3 Mengata Angina teratasi ISDN ECG Normal Tiap hari
si Nyeri Tidak
serangan dada mengala
angina mi nyeri
dada
4 Mengont Tekanan darah Diberikan BP <140/90 Tiap
rol terkontrol golongan mmHg Hari
tekanan ACEI yaitu
darah Lisinopril

48
dengan
kombinasi
CCB yaitu
amlodipin
5 Mengata Tidak terjadi Untuk Kalium 3,5 – Diulang
si efek hipokalemia hipokaemi 5,0 5-7 hari
samping ringan mmol/L
furosemi dilakukan
d penggantian
kalium
secara oral
(slow
correction)
40-60 mEq
atau apabila
terjadi
hipokalemi
a berat
dilskuksn
penggantian
kalium
secara
intravena
dalam
bentuk
larutan KCl
(rapid
correction)

4.4 KIE
Apoteker menyampaikan rencana tindakan hemodialisis sebagai terapi
pengganti ginjal pasien yang sudah rusak. Apoteker mengupayakan pencegahan
perburukan kondisi ginjal secara cepat dengan pengaturan diet tinggi kalori,
rendah protein dan rendah garam. Apoteker menyampaikan pentingnya kepatuhan
pengobatan penyakit dasar maupun komplikasi CKD.
(Abdurrahim dkk., 2018)
4.5 Analisa Farmakoekonomi
Farmakoekonomi didefinisikan sebagai deskripsi dan analisis biaya terapi
obat pada masyarakat atau sistem pelayanan kesehatan. Farmakoekonomi adalah
proses identifikasi, pengukuran, dan membandingkan biaya, risiko, dan manfaat
pelayanan atau terapi dan menentukan alternatif yang memberikan keluaran

49
kesehatan yang terbaik untuk sumber daya yang digunakan. Farmakoekonomi
mengidentifikasi, mengukur dan membandingkan biaya (sumber daya yang
digunakan) dengan konsekuensi (klinik, ekonomik, humanistik) dari produk
pelayanan farmasi. Bagi praktisi diartikan pertimbangan biaya yang diperlukan
untuk mendapatkan produk atau pelayanan farmasi dibandingkan dengan
konsekuensi (outcome) yang diperoleh untuk menetapkan alternatif mana yang
memberikan keluaran optimal per rupiah yang dikeluarkan. Informasi tersebut
dapat membantu mengambil keputusan klinik dalam memilih pilihan terapi yang
paling cost-effective. Biaya didefinisikan sebagai nilai dari sumber daya yang
digunakan dalam suatu program atau terapi obat. Konsekuensi didefinisikan
sebagai efek, output atau outcome dari suatu program atau terapi obat (Andayani,
2013).
Biaya dalam kesehatan menurut Drummond et al., dikategorikan menjadi
biaya pelayanan kesehatan, biaya untuk sektor lain, biaya pasien dan keluarga,
dan biaya produtivitas (Rascati et al., 2009). Adapun menurut Bootman et al.,
(2005) biaya yang terkait dengan kesehatan dapat diklasifikasikan menjadi empat
kategori yaitu biaya medik langsung (direct medical cost), biaya nonmedik
langsung (direct nonmedical cost), biaya tidak langsung (indirect cost) dan biaya
tidak teraba (intangible cost).
a. Biaya medik langsung
Biaya medik langsung adalah biaya yang terkait langsung dengan terapi,
termasuk biaya obat dan perbekalan kesehatan, biaya konsultasi dokter, biaya jasa
perawat, penggunaan fasilitas rumah sakit (kamar rawat inap, peralatan), uji
laboratorium dan biaya kesehatan lainnya. Contoh biaya yang digunakan untuk
kemoterapi meliputi biaya produk kemoterapi, obat lain yang digunakan untuk
mengatasi efek samping kemoterapi, alat untuk pemberian intravena, pemeriksaan
laboratorium, biaya klinik dan kunjungan dokter (Andayani, 2013).
b. Biaya nonmedik langsung
Biaya nonmedik langsung adalah biaya yang terkait langsung dengan
perawatan pasien, tetapi tidak terkait langsung dengan terapi. Contoh dari biaya
nonmedik langsung yaitu biaya trasportasi pasien menuju atau dari praktek dokter,
klinik atau rumah sakit, makanan, jasa pelayanan kepada anak pasien, biaya

50
penginapan yang dibutuhkan pasien dan keluarga selama terapi di luar kota
(Andayani, 2013).
c. Biaya tidak langsung atau biaya produktivitas
Istilah biaya tidak langsung digunakan untuk menilai produktivitas yang
hilang terkait dengan penyakit atau kematian. Istilah ini tidak sama artinya jika
dilihat dari sudut pandang yang berbeda. Dalam akuntansi biaya tidak langsung
mengacu pada aktivitas tambahan atau pendukung yang dibutuhkan unit
pengguna, oleh karena itu digunakan untuk menggunakan istilah biaya
produktivitas yang terkait dengan morbiditas dan mortalitas. Biaya produktivitas
digolongkan menjadi dua macam, yaitu biaya morbiditas (waktu bekerja yang
hilang karena sakit atau ketidakmampuan) dan biaya mortalitas yang disebabkan
karena kematian dini. Contoh pada kemoterapi, biaya tidak langsung yang
disebabkan hilangnya waktu pasien untuk bekerja atau hilangnya produktivitas
karena pengaruh penyakit atau terapi yang diterima (Andayani, 2013).
d. Biaya tidak teraba
Biaya tidak teraba adalah biaya-biaya yang sulit diukur dalam unit
moneter. Misalnya rasa nyeri, sakit, cemas atau lemah yang terjadi karena
penyakit atau terapi suatu penyakit. Pada tipe biaya ini sifatnya yang psikologis
sukar dikonversikan dalam bentuk rupiah sehingga sering diabaikan (Andayani,
2013).
Pada Analisis farmakoekonomi ini dilakukan perhitungan biaya yang
dikeluarkan untuk pengobatan pasien pada 9 Februari 2018-17 Februari 2018
yang dapat dilihat pada Tabel 3.5.

51
Tabel 4.5 Daftar Pembelian dan Harga Total Obat yang digunakan Pasien
Selama Sembilan Hari di Rumah Sakit
Hari/Tanggal Nama Barang Jumlah Harga Total
Barang yang
digunakan
Lisinopril 1 408
Ringer lactat 2 18.304
Farsorbid 10 mg INJ 2 80.240
Furosemide 20 mg INJ 6 12.042
Spuit 20 cc Unzen 1 1.929
Jarum 18 Terumo 1 760
9 Februari 2018
Perfusor Tub White 150 1 44.800
cm
Stop Cock 3 Way B 1 41.152
Braun + Eko
Spuit 5 cc Unzen / Win 1 901
Cedocard 2 79.360
Total 279.896
Lisinopril 1 408
Amlodipine 1 1.200
Asam folat 2 180
Allupurinol 1 127
Furosemid 20 mg INJ 6 12.042
10 Februari 2018
Farsorbid 10 mg INJ 2 80.240
Ringer Lactat 2 18.304
Omeprazole 40 mg INJ 1 12.669
Spuit 10 cc Unzen/Win 1 1.366
Cedocard 2 79.360
Total 205.896
Lisinopril 1 408
Amlodipine 1 1.200
Asam folat 2 180
Allupurinol 1 127
11 Februari 2018
Lisinopril 1 408
Omeprazole 40 mg INJ 1 12.669
Furosemid 20 mg INJ 6 12.042
Cedocard 2 79.360
Total 106.394
Lisinopril 1 408
Amlodipine 1 1.200
Asam folat 2 180
Allupurinol 1 127
12 Februari 2018
Omeprazole 40 mg INJ 1 12.669
Osteocal 3 2.001
Furosemid 20 mg INJ 6 12.042
Cedocard 2 79.360

52
Total 107.987
Lisinopril 1 408
Amlodipine 1 1.200
Asam folat 2 180
Allupurinol 1 127
Omeprazole 40 mg INJ 1 12.669
Osteocal 3 2.001
ISDN 5 mg tab 10 1.150
13 Februari 2018
Acetosal 100 tab 5 805
Bisoprolol 5 mg tab 2 604
Concor 2,5 1/2 302
Furosemid 20 mg INJ 6 12.042
Cedocard 2 79.360
Lidocain 2% 40 mg INJ 4 5.700
Spuit 3 cc Unzen/Win 4 3.324
Total 119.917
Lisinopril 1 408
Amlodipine 1 1.200
Asam folat 2 180
Allupurinol 1 127
Omeprazole 40 mg INJ 1 12.669
14 Februari 2018 Osteocal 3 2.001
ISDN 5 mg tab 10 1.150
Acetosal 5 805
Concor 2,5 1/2 302
Furosemid 20 mg INJ 6 12.042
Cedocard 2 79.360
Total 110.244
Lisinopril 1 408
Amlodipine 1 1.200
Asam folat 2 180
Allupurinol 1 127
Omeprazole 40 mg INJ 1 12.669
15 Februari 2018 Osteocal 3 2.001
ISDN 5 mg tab 10 1.150
Acetosal 5 805
Concor 2,5 1/2 302
Furosemid 20 mg INJ 6 12.042
Cedocard 2 79.360
Total 110.244
16 Februari 2018 Lisinopril 1 408
Amlodipine 1 1.200
Asam folat 10 900
Allupurinol 1 127
Omeprazole 40 mg INJ 2 30.382
Osteocal 3 2.001

53
ISDN 5 mg tab 10 1.150
Acetosal 5 805
Concor 2,5 1/2 302
Furosemid 20 mg INJ 6 12.042
Cedocard 2 79.360
Farsorbid 10 mg INJ 2 80.240
Bisoprolol 5 mg tab 3 906
Spuit 10 cc Unzen/Win 3 4.098
Spuit 5 cc Unzen/Win 3 2.703
Aquadest 25 cc 1 3.661
Venocath 22 2 28.338
Total 248.623
17 Februari 2018 Lisinopril 1 408
Amlodipine 1 1.200
Asam folat 2 180
Allupurinol 1 127
Omeprazole 40 mg INJ 1 12.669
Osteocal 3 2.001
ISDN 5 mg tab 10 1.150
Acetosal 5 805
Concor 2,5 1/2 302
Furosemid 20 mg INJ 6 12.042
Cedocard 2 79.360
Total 110.244
Total Biaya Obat yang ditanggung JKN 1.399.445
Total Biaya yang dikeluarkan Pasien 0

Biaya obat pasien Tn. Wyn Mudia sejak tanggal 9 Februari 2018 sampai
dengan 17 Februari 2018 yaitu selama sembilan hari pengambilan data, secara
keseluruhan telah ditanggung oleh JKN dimana pasien merupakan peserta BPJS
Non PBI. Total biaya pengobatan pasien selama sembilan hari pengambilan data
adalah Rp 1.399.445,00. Biaya sebesar 1.399.445,00 tersebut belum termasuk
biaya hemodialisa (HD) yang rutin dilakukan pasien setiap 1-2 minggu sekali.
Berdasarkan analisis biaya diatas, jika dilakukan perbandingan dengan
output/goal theraphy pengobatan yang dilakukan, terapi farmakologi yang
diperoleh pasien sudah tepat dengan kebutuhan pasien dimana terapi yang
diperoleh mampu mengatasi gejala yang dirasakan pasien yang dapat dilihat dari
data klinis yang mulai membaik dari mual, nyeri dada, nyeri kaki, dan bengkak
yang di derita pasien. Untuk keberhasilan pengobatan lebih lanjut perlu dilakukan

54
follow up dan dilakukan pengkajian kembali mengenai terapi yang diterima oleh
pasien Bapak Wayan Mudia (64 tahun).

55
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan
5.1.1 . Pasien masuk ke rumah sakit pada tanggal 9 Februari 2018 dengan keluhan
sesak nafas. Pasien juga memiliki riwayat CKD stage V. Kondisi pasien
tersebut didiagnosa awal oleh dokter mengalami dyspnea ec CKD stage V.
Kondisi klinis pasien pada saat pertama masuk rumah sakit yaitu sesak
dengan RR 24x/menit, TD 170/80 mmHg, pola nafas tidak efektif , nyeri
dada, dan mual. Terapi awal yang diperoleh pasien yaitu lisinopril 1 x 10
mg, asetosal 1 x 1 tablet, furosemid 4x 20 mg INJ dan cedocard 2 x 20mg
INJ.

5.1.2 Penilaian rasionalitas pengobatan pasien sudah sesuai 4T1W yang terdiri
dari tepat indikasi, tepat obat, tepat dosis, tepat pasien, dan waspada efek
samping obat. Pada DRP ditemukannya kurang tepatnya pemberian
allopurinol untuk asam urat pasien karena pada hasil laboratorium kadar
asam urat pasien berada pada range normal. Pada kasus ini pasien
mengalami anemia yang ditunjukkan dari hasil pemeriksaan Hgb, Hct dan
MCV pasien sehingga pasien perlu diberikan terapi tambahan berupa
suplemen besi atau ESA (Eritropoiesis stimulating agent). Target terapi
yang diharapkan yaitu sesak nafas teratasi, tekanan darah terkontrol,
anemia teratasi, angina teratasi dan tidak terjadi hipokalemia diakibatkan
efek samping penggunaan diuretik kuat yaitu lasix INJ.
5.1.3 Analisis Farmakoekonomi yang dilakukan adalah pengkajian antara
pengobatan dengan biaya yang lebih efisien dan serendah mungkin tetapi
efektif dalam merawat penderita untuk mendapatkan hasil klinik yang baik
(cost effective with best clinical outcome).
5.1.4 Biaya obat pasien Tn. Wyn Mudia sejak tanggal 9 Februari 2018 sampai
dengan 17 Februari 2018 yaitu selama sembilan hari pengambilan data
adalah Rp 1.399.445,00. Berdasarkan analisis biaya yang dilakukan, biaya
pengobatan yang dikeluarkan mampu mengatasi beberapa keluhan pasien
diantaranya mual, nyeri dada, nyeri kaki, dan bengkak pada pasien.

56
5.2 Saran
5.2.1 Visite ruangan sebaiknya dilakukan bersama-sama antara dokter, apoteker
dan perawat sehingga apabila terdapat permasalahan pada pasien akan
lebih cepat teratasi.
5.2.2 Sebelum diputuskan bahwa pasien perlu mendapatkan terapi penanganan
asam urat perlu dilakukan pengujian laboratorium untuk menjamin
rasionalitas terapi.

57
DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahim R., Radar R., Bayu N., Sumi R dan Arina Vegas. 2018. Pedoman
Penatalaksanaan Gagal Ginjal Kronik. Divisi Nefrologi- Hipertensi
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Sumatera Utara RSUP. H Adam Malik Medan
Andayani, T.M. 2013. Farmakoekonomi Prinsip dan Metodologi.
Yogyakarta: Bursa Ilmu. p: 4-5.
Depkes RI. 2006. Pharmaceutical Care Untuk Penyakit Hipertensi, Ditjen Bina
Kefarmasian Dan Alat Kesehatan. Jakarta: Departemen Kesehatan
Dipiro, J.T., Talbert, R.L., Yee, G.C., Matzke, G.R., Wells, B.G., Posey, L.M.
2008. Pharmacotherapy A Phatophysiologic Approach seventh edition.
New York: Mc Graw Hill.
Goldfarb, D.A., Poggio, E.D., 2012. Etiology, Pathogenesis, and Management of
Renal Failure. Dalam: Campbell-Walsh Urology. editor. Louis RK, et al.
Edisi ke-10. USA: Elsevier Saunders.
Hustrini, N.M., Tanto, C., 2014. Hipertensi. Dalam: Kapita Selekta. Jilid
Keempat. Edisi ke-4. Jakarta: Media Aesculapius.
Hustrini, N.M., Tanto, C., 2014. Penyakit Ginjal Kronik. Dalam: Kapita Selekta.
Edisi ke-4. Jakarta: Media Aesculapius.
James PA, Ortiz E, et al. 2014 Evidence-Based Guideline for the Management of
High Blood Pressure in Adults: (JNC8). JAMA. 2014 Feb 5; 311(5):507-
20
JNC 8 (Joint National Committee). 2014. The Eighth Report of the Joint National
Committee on Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High
Blood Pressure. US: National Institute of Health.
Kemenkes RI. 2011. Interpretasi Data Klinik. Jakarta: Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia.
Leni Ervina, Dahler Bahrun, Hertanti Indah Lestari. 2015. Tatalaksana Penyakit
Ginjal Kronik pada Anak. MKS, Th. 47, No. 2, April 2015.
Medscape. Drug Reference on Apps. Diakses tanggal 25 Februari 2018

58
Parsudi, I., Siregar, P., Roesli, R.M.A., 2014. Dialisis Peritoneal. Dalam: Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Edisi ke-6. Jakarta: Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UI.
Price, S.A., Wilson, L.M., 2012. Gagal Ginjal Kronik. Dalam: Buku Patofisologi
Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Volume 2. editor. Hartanto H, et al.
Edisi ke-6. Jakarta: EGC.
Prodjosudjadi, W., 2014. Glomerulonefritis. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid II. Edisi ke-6. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam FK UI.
Siregar, B.Y., 2012. Karakteristik dan Penatalaksanaan Penyakit Ginjal Kronik
di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan Tahun 2011.
Medan: Universitas Sumatera Utara.
Sukandar, E., 2013. Nefrologi Klinik. Edisi Ke-4. Bandung: Pusat Informasi
Ilmiah (PII) Bagian IPD Fakultas Kedokteran UNPAD.
Susalit, E., 2014. Transplantasi Ginjal. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
Jilid II. editor. Alwi I, et al. Edisi ke-6. Jakarta: Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UI.
Suwitra, K., 2014. Penyakit Ginjal Kronik. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid II. editor. Alwi I, et al. Edisi ke-6. Jakarta: Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UI.
United States Center for Disease and Prevention, 2014. Nation Kidney Chronic
Kidney Disease Fact Sheet. USA: United States Center for Disease
Control and Prevention. Available at:
http://www.cdc.gov/diabetes/pubs/pdf/kidney_factsheet.pdf [Diakses 18
Februari 2018]
William, J.C., Amen, J.R., Flavio, G.C., 2008. Chronic Renal Failure and
Dialysis. Dalam: Smith’s General Urology. Edisi ke-17. USA:
TheMcGraw-Hill Companies.

59

Anda mungkin juga menyukai