Anda di halaman 1dari 66

LAPORAN STUDI KASUS

PENATALAKSANAAN TERAPI PADA KASUS CHRONIC KIDNEY


DISEASE (CKD) DI RUANG DAHLIA GARING BRSU TABANAN

OLEH :
KELOMPOK II

I Putu Denta Nugraha P., S.Farm. (1808611038)


Putu Wiratama Nugraha, S.Farm. (1808611044)
Ni Komang Sasi Ani, S.Farm. (1808611046)

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS UDAYANA

i
2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa atas
rahmat dan karunia yang dilimpahkan, sehingga penulis dapat menyelesaikan
laporan Studi Kasus Penatalaksanaan Terapi Pada Kasus Chronic Kidney Disease
di Ruang Dahlia Garing BRSU Tabanan
Laporan ini merupakan salah satu tugas bagi mahasiswa Program Studi
Profesi Apoteker Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas
Udayana sebagai salah satu pembelajaran dalam Praktek Kerja Profesi Apoteker
di BRSU Tabanan. Tersusunnya laporan studi kasus ini tidak terlepas dari bantuan
dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis
ingin mengucapkan terima kasih kepada yang terhormat:
1. Ibu Ni Ketut Sri Handayani, Apt., M. Kes., selaku Kepala Instalasi Farmasi
BRSU Tabanan yang telah membimbing dalam penyelesaian kasus.
2. Ibu Ni Made Koriandriani, Apt., MHSM selaku pembimbing lapangan dalam
penyelesain kasus.
3. Bapak Agata Widatama, S.Farm., Apt., selaku Apoteker pembimbing yang
telah membimbing selama penyelesaian kasus.
4. Seluruh Apoteker dan Asisten Apoteker di BRSU Tabanan yang tidak bisa
disebutkan satu persatu yang telah membimbing dan berbagi ilmu dalam
penyelesaian kasus.
5. Staf perawat yang bertugas di ruang Dahlia Garing yang telah membantu dalam
pengambilan data untuk studi kasus.
Penulis menyadari bahwa laporan studi kasus ini bukanlah merupakan
karya ilmiah yang sempurna dan tidak luput dari kesalahan. Untuk itu, kritik dan
saran dari para pembaca sangat diharapkan sebagai pengembangan dan
penyempurnaan tulisan ini. Akhirnya dengan segala kerendahan hati, semoga
laporan ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang memerlukan.

Tabanan, Februari 2019

Penulis

ii
DAFTAR ISI

Hal.
HALAMAN SAMPUL.................................................................................. i
KATA PENGANTAR...................................................................................
ii
DAFTAR ISI..................................................................................................
iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang........................................................................
1
1.2 Rumusan Masalah...................................................................
2
1.3 Tujuan......................................................................................
3
1.4 Manfaat....................................................................................
3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Penyakit Ginjal Kronik (PGK)..................................
4
2.2 Etiologi PGK...........................................................................
4
2.3 Klasifikasi PGK.......................................................................
7
2.4 Epidemiologi PGK..................................................................
8
2.5 Gejala Klinis PGK...................................................................
9
2.6 Penatalaksanaan PGK..............................................................
11
BAB III METODE PENELITIAN

iii
3.1 Rancangan Penelitian..............................................................
22
3.2 Lokasi dan Waktu....................................................................
22
3.3 Bahan Penelitian......................................................................
22
3.4 Alat Penelitian.........................................................................
23
3.5 Prosedur Penelitian..................................................................
23
3.5.1 Batasan Operasional Penelitian.....................................
23
3.5.2 Pengambilan Data.........................................................
23
3.5.3 Analisis Data.................................................................
24
3.5.4 Pemaparan Kasus..........................................................
24
BAB IV PEMBAHASAN
4.1 Assestment...............................................................................
31
4.2 Drug Related Problem.............................................................
42
4.3 Plan.........................................................................................
48
4.4 KIE..........................................................................................
49
4.5 Farmakoekonomi.....................................................................
53
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan..............................................................................
60

iv
5.2 Saran........................................................................................
61
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................
62

v
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Ginjal merupakan organ penting yang berfungsi menjaga komposisi darah
dengan mencegah menumpuknya limbah dan mengendalikan keseimbangan
cairan dalam tubuh, menjaga level elektrolit seperti sodium, potasium dan fosfat
tetap stabil, serta memproduksi hormon dan enzim yang membantu dalam
mengendalikan tekanan darah, membuat sel darah merah dan menjaga tulang tetap
kuat. Penyakit Ginjal Kronis (PGK) atau CKD (Chronic Kidney Disease)
merupakan masalah kesehatan masyarakat global dengan prevalensi dan insidens
gagal ginjal yang meningkat, prognosis yang buruk dan biaya yang tinggi.
Penyakit ginjal kronis adalah penurunan progresif fungsi ginjal dalam beberapa
bulan atau tahun. penyakit ginjal kronis didefinisikan sebagai kerusakan ginjal
dan/atau penurunan Glomerular Filtration Rate (GFR) kurang dari
60mL/min/1,73 m2 selama minimal 3 bulan (Kemenkes RI, 2017).
Indonesia merupakan negara dengan tingkat pasien penyakit ginjal kronik
yang cukup tinggi. Berdasarkan riset kesehatan Kementerian Kesehatan (2013)
menyatakan bahwa dari jumlah responden usia ≥15 tahun sebanyak 722.329 orang
(347.823 laki-laki dan 374.506 wanita). Prevalensi penyakit ginjal kronik
bersadarkan diagnosa dokter di Indonesia sebesar 0,2%. Prevalensi tertinggi di
Sulawesi Tengah sebanyak 0,5%, diikuti Aceh, Gorontalo dan Sulawesi Utara
masing-masing 0,4%. Sementara Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Selatan,
lampung, Jawa barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta dan Jawa timur masing-
masing 0,3%. Prevalensi penyakit ginjal kronik berdasarkan wawancara yang
didiagnosa dokter meningkat dengan bertambahnya usia, meningkat tajam pada
kelompok 35-44 tahun (0,3%), usia 45-54 tahun (0,4%), usia 55-74 tahun (0,5%),
dan meningkat pada kelompok usia ≥75 tahun sebesar 0,6%. Prevalensi
berdasarkan jenis kelamin, lebih tinggi pada pria sebesar 0,3% dan pada wanita
0,2% (Riskesdas, 2013).
Beberapa studi menunjukkan bahwa pasien dengan penyakit ginjal kronik
beresiko tinggi mendapatkan Drug Related Problems (DRPs) (Nurhalimah, 2012).
Jenis DRPs yang terjadi adalah kegagalan menerima obat (32,20%), kekurangan

1
dosis (20,34%), adverse drug reaction (14,41%), ketidaktepatan pemilihan obat
(13,56%), interaksi obat (8,47%), indikasi yang tidak terobati (5,93%), kelebihan
dosis (3,39%), dan obat tanpa indikasi (1,70%). Kelompok obat terbanyak
penyebab DRPs adalah eritropoietin (38,98%) dan antihipertensi (38,98%).
Outcome klinis pasien yang mengalami DRPs adalah risiko penyakit kronis
(53,39%), tidak terjadi apa-apa (21,19%), dan kegagalan terapi (13,56%).
Pemberian obat yang tidak efektif pada penanganan gangguan fungsi ginjal sering
menyebabkan adanya efek samping obat atau interaksi obat satu dengan lainnya
yang tidak mudah terdeteksi (Nurhalimah, 2012).
Apoteker merupakan salah satu tenaga kesehatan profesional yang bekerja
sama dengan tenaga kesehatan profesional lain dalam memberikan pelayanan
kesehatan kepada pasien. Dalam pelayanan kesehatan, seorang apoteker berperan
menerapkan pelayanan kefarmasian dalam fokus mengidentifikasi dan memenuhi
kebutuhan obat pasien. Dalam proses penggunaan obat, seorang apoteker
bertanggung jawab dalam mengidentifikasi, mencegah, dan mengatasi DRP
(Cipolle, Strand, & Morley, 2004). Dalam menjalankan pelayanan kefarmasian,
kemampuan menyelesaikan masalah terkait obat merupakan salah satu unit
kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang apoteker. Salah satu elemen dalam
unit kompetensi tersebut adalah melakukan analisis DRP (Siregar, 2004).

1.2. Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dapat dirumuskan
permasalahan sebagai berikut :
1.2.1. Bagaimanakah kondisi klinis pasien dyspnea ec CKD stage V selama
dirawat di BRSU Tabanan?
1.2.2. Bagaimanakah hasil penilaian rasionalitas pengobatan pasien dyspnea ec
CKD stage V berdasarkan 4T+1W?
1.2.3. Bagaimanakah hasil analisis farmakoekonomi yang dilakukan pada pasien
dyspnea ec CKD stage V di BRSU Tabanan?
1.2.4. Bagaimana peran Apoteker dalam penanganan pasien dyspnea ec CKD
stage V?

2
1.3. Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah:
1.3.1. Untuk mengetahui kondisi klinis pasien dyspnea ec CKD stage V selama
dirawat di BRSU Tabanan.
1.3.2. Untuk mengetahui hasil penilaian rasionalitas pengobatan pasien dyspnea
ec CKD stage V berdasarkan 4T+1W.
1.3.3. Untuk mengetahui hasil analisis farmakoekonomi yang dilakukan pada
pasien dyspnea ec CKD stage V di BRSU Tabanan.
1.3.4. Untuk mengetahui peran Apoteker dalam penanganan pasien dyspnea ec
CKD stage V

1.4. Manfaat
Manfaat yang akan diperoleh dari penelitian ini antara lain :
1.4.1. Meningkatkan dan menambah wawasan mahasiswa PKPA mengenai
Chronic Kidney Disease.
1.4.2. Memberikan informasi mengenai tatalaksana terapi yang diberikan pada
pasien dyspnea ec CKD stage V.
1.4.3. Meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan untuk menurunkan angka
mortalitas pada pasien dyspnea ec CKD stage V.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi Penyakit Ginjal Kronik (PGK)
Menurut Campbell, 2012 penyakit ginjal kronik adalah suatu proses
patofisologis dengan etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi
ginjal yang progresif yang terjadi selama kurang lebih 3 bulan yang berhubungan
dengan GFR <60 ml/menit/1,73 m2 (Goldfarb, 2012).
Gagal ginjal kronik adalah suatu derajat yang memerlukan terapi pengganti
ginjal yang tetap, berupa dialisis atau transplantasi ginjal. Uremia adalah suatu
sindrom klinik dan laboratorik yang terjadi pada semua organ, akibat penurunan
fungsi ginjal pada gagal ginjal kronik (Suwitra, 2014).
Kriteria gagal ginjal kronik :
 Kerusakan ginjal (renal damage) yang terjadi lebih dari 3 bulan, berupa
kelainan struktural atau fungsional, dengan atau tanpa penurunan laju
filtrasi glomerulus (LFG), dengan manifestasi: - Kelainan patologis -
Terdapat tanda kelainan ginjal, termasuk kelainan dalam komposisi darah
atau urin, atau kelainan dalam tes pencitraan (imaging tests)
 Laju filtrasi glomerulus (LFG) kurang dari 60 ml/menit/1,73 m2 selama 3
bulan, dengan atau tanpa kerusakan ginjal.
Pada keadaan tidak terdapat kerusakan ginjal lebih dari 3 bulan, dan LFG
sama atau lebih dari 60ml/menit/1,73 m2, tidak termasuk kriteria gagal ginjal
kronik. (Suwitra, 2014).

2.2. Etiologi PGK


Berbagai macam gangguan atau penyakit dapat berhubungan dengan gagal
ginjal kronis. Seperti proses ginjal primer (misalnya glomerulonefritis,
pyelonefritis, hipoplasia kongenital) atau proses ginjal sekunder (oleh
karenaproses sistemik seperti diabetes mellitus atau lupus erythematosus) yang
mungkin bertanggung jawab. Bila didapati cedera pada ginjal, hiperfiltrasi sampai
kerusakan unit-unit nefron akan memproduksi stres yang berkelanjutan dan cedera
pada jaringan remnant ginjal. Pasien akan menunjukkan perkembangan dari satu

4
tahap keparahan gagal ginjal kronis ke tahap yang berikutnya. Alterasi fisiologik
sekunder ke tahap dehidrasi, infeksi, uropati obstruktif, atau hipertensi
kemungkinan dapat menyebabkan suatu batas terhadap pasien untuk menjadi
uremia kronis yang tidak terkompensasi (William et al, 2008).
Menurut data yang sampai saat ini dikumpulkan oleh Indonesian Renal
Registry (IRR) pada tahun 2007-2008 didapatkan urutan etiologi terbanyak
sebagai berikut: glomerulonefritis (25%), diabetes melitus (23%), hipertensi
(20%) dan ginjal polikistik (10%) (Siregar, 2012).
2.5.1. Glomerulonefritis
Glomerulonefritis kronik merupakan penyakit parenkim ginjal progresif
dan difus yang seringkali berakhir dengan gagal ginjal kronik. Glomerulonefritis
berhubungan dengan penyakit-penyakit sistemik seperti lupus eritomatosus
sistemik, poliartritis nodosa, granulomatosus Wagener. Glomerulonefritis
(glomerulopati) yang berhubungan dengan diabetes mellitus (glomerulosklerosis)
tidak jarang dijumpai dan dapat berakhir dengan penyakit ginjal kronik.
Glomerulonefritis yang berhubungan dengan amilodois sering dijumpai pada
pasien-pasien dengan penyakit menahun seperti tuberkulosis, lepra, osteomielitis
arthritis rheumatoid dan myeloma (Sukandar, 2013).
Istilah glomerulonefritis digunakan untuk berbagai penyakit ginjal yang
etiologinya tidak jelas, akan tetapi secara umum memberikan gambaran
histopatologi tertentu pada glomerulus. Berdasarkan sumber terjadinya kelainan,
glomerulonefritis dibedakan primer dan sekunder. Glomerulonefritis primer
apabila penyakit dasarnya berasal dari ginjal sendiri sedangkan glomerulonefritis
sekunder apabila kelainan ginjal terjadi akibat penyakit sistemik lain seperti
diabetes melitus, lupus eritematosus sistemik (LES), mieloma multipel, atau
amiloidosis (Prodjosudjadi, 2014).
Gambaran klinis glomerulonefritis mungkin tanpa keluhan dan ditemukan
secara kebetulan dari pemeriksaan urin rutin atau keluhan ringan atau keadaan
darurat medik yang harus memerlukan terapi pengganti ginjal seperti dialisis
(Sukandar, 2013).

5
2.5.2. Diabetes melitus
Menurut American Diabetes Association (2003) dalam Purnamasari (2014)
diabetes melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan
karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja
insulin atau kedua-duanya.
Diabates melitus menyerang struktur dan fungsi ginjal dalam berbagai
bentuk. Nefropati diabetik adalah istilah yang mencakup semua lesi yang terjadi
di ginjal pada diabetes melitus. Glomerulosklerosis adalah lesi yang paling khas
dan dapat terjadi secara defus atau nodular glomerulosklerosis diabetik difus
merupakan isi yang sering terjadi, terdiri atas penebalan difus matrix mesangial
dengan bahan eosinofilik disetai penebalan membran basalis kapiler.
Glomerulosklerosis diabetik nodular (juga dikenal sebagai lesi Kimmeisteil-
Wilson) lebih jarang terjadi namun sangat spesifik untuk penyakit ini terdiri dari
bahan eosinofilik nodular yang menumpuk pada dasarnya dan biasanya teletak
dalam perifer glomerulus didalam inti lobus kapiler. Kelainan non-glomerulus
dalam nefropati diabetik adalah nefritis tubulointertitial kronik, nekrosis papilaris,
hialinosis arteri eferen dan aferen, serta iskemia. Glomerulosklerosis diabetik
hampir selalu didahului oleh retinopati diabetik, yang ditandai dengan
mikroaneurisma di sekitar makula (Price & Wilson, 2003).

2.5.3. Hipertensi
Hipertensi adalah peningkatan tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg dan
tekanan darah diastolik ≥ 90 mmHg secara kronis. Berdasarkan penyebabnya,
hipertensi dibagi menjadi dua golongan yaitu hipertensi esensial atau hipertensi
primer yang tidak diketahui penyebabnya atau idiopatik, dan hipertensi sekunder
diakibatkan oleh suatu penyakit atau kelainan yang mendasar, seperti stenosis
arteri renalis, penyakit parenkim ginjal, dan sebagainya (Hustrini, 2014a).
Penyakit ginjal hipertensif (arteriolar nephrosclerosis) merupakan salah
satu penyebab penyakit ginjal kronik. Insiden hipertensi esensial berat yang
berakhir dengan gagal ginjal kronik kurang dari 10% (Sukandar, 2013).

6
2.5.4. Ginjal Polikistik
Kista adalah suatu rongga yang berdinding epitel dan berisi cairan atau
material yang semisolid. Polikistik berarti banyak kista. Pada keadaan ini dapat
ditemukan kista-kista yang tersebar di kedua ginjal, baik di korteks maupun di
medula. Selain oleh karena kelainan genetik, kista dapat disebabkan oleh berbagai
keadaan atau penyakit. Ginjal polikistik merupakan kelainan genetik yang paling
sering didapatkan. Nama lain yang lebih dahulu dipakai adalah penyakit ginjal
polikistik dewasa, oleh karena sebagian besar baru bermanifestasi pada usia di
atas 30 tahun (Sukandar, 2013).
Glomerulonefritis, hipertensi esensial, dan pielonefritis merupakan
penyebab paling sering dari PGK, yaitu sekitar 60%. Penyakit ginjal kronik yang
berhubungan dengan penyakit ginjal polikistik dan nefropati obstruktif hanya 15-
20% (Sukandar, 2013).
Kira-kira 10-15% pasien-pasien penyakit ginjal kronik disebabkan
penyakit ginjal kongenital seperti sindrom Alport, penyakit Fabbry, sindrom
nefrotik kongenital, penyakit ginjal polikistik, dan amiloidosis (Suwitra, 2014).
Pada orang dewasa penyakit ginjal kronik yang berhubungan dengan
infeksi saluran kemih dan ginjal (pielonefritis) tipe uncomplicated jarang
dijumpai, kecuali tuberkulosis, abses multipel. Nekrosis papilla renalis yang tidak
mendapat pengobatan yang adekuat (Sukandar, 2013).

2.3. Klasifikasi PGK


Klasifikasi PGK didasarkan atas dua hal yaitu, atas dasar derajat (stage)
penyakit dan atas dasar diagnosis etiologi.
Klasifikasi atas dasar derajat penyakit, dibuat atas dasar LFG, yang dihitung
dengan menggunakan rumus Kockcroft-Gault sebagai berikut :
(140 – umur ) x berat badan
LFG (ml/mnt/1,73m2)=
72 x kreatinin plasma (mg/dl)
*) pada perempuan dikalikan 0,85

7
Tabel 2.1 Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik atas Dasar Derajat Penyakit
Deraja Penjelasan LFG(ml/mn/1.73m2)
t
1 Kerusakan ginjal ≥90
dengan LFG normal
atau ↑
2 Kerusakan ginjal 60-89
dengan LFG ↓ ringan
3 Kerusakan ginjal 30-59
dengan LFG ↓ sedang
4 Kerusakan ginjal 15-29
dengan LFG ↓ berat
5 Gagal ginjal <15 atau dialisis

Tabel 2.2 Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik atas Dasar Diagnosis Etiologi
Penyakit Tipe mayor (contoh)
Penyakit ginjal diabetes Diabetes tipe 1 dan 2
Penyakit ginjal non Penyakit glomerular
diabetes (penyakit autoimun, Infeksi
sistemik, obat, neoplasia)
Penyakit vaskular ( penyakit
pembuluh darah besar,
hipertensi, mikroangiopati)
Penyakit tubulointerstitial
(pyelonefritis kronik, batu,
obstruksi, keracunan obat)
Penyakit kistik ( ginjal
polikistik)
Penyakit pada Rejeksi kronik Keracunan
transplantasi obat(siklosporin/takorolimus)
Penyakit recurrent
(glomerular) Transplant
glomerulopathy
(Suwitra, 2014)

2.4. Epidemiologi PGK


Gagal ginjal kronik merupakan penyakit yang sering dijumpai pada praktik
klink sehari-hari. Prevalensi di negara maju mencapai 10-13% dari populasi.
Sebuah studi yang dilakukan Perhimpunan Nefrologi Indonesia (PENEFRI)
melaporkan sebanyak 12,5% populasi di Indonesia mengalami penurunan fungsi
ginjal (Hustrin, 2014b).

8
Menurut United States Renal Data System (USRDS), prevalensi gagal ginjal
kronik meningkat dengan bertambahnya usia. Prevalensi pada usia 65-74 tahun
adalah 7,2% dan pada usia lebih dari 85 tahun adalah 17%. Prevalensi gagal ginjal
kronik pada kulit hitam (15%) adalah 50% lebih tinggi dari orang kulit putih atau
ras lainnya (10%). Prevalensi pada orang Asia adalah 11%. Prevalensi gagal
ginjal kronik yang disertai dengan diabetes mellitus adalah 20,5%, hipertensi
adalah 15,7%, dan penyakit jantung adalah 18,4% (USRDS, 2014).

2.5. Gejala Klinis PGK


Gambaran klinik penyakit ginjal kronik berat disertai sindrom azotemia
sangat kompleks, meliputi kelainan-kelainan berbagai organ seperti: kelainan
hemopoeisis, saluran cerna, mata, kulit, selaput serosa, dan kelainan neuropsikiatri
(Sukandar, 2013).
2.5.1. Kelainan Hemopoeisis
Anemia normokrom normositer (MCHC 32-36%) dan normositer (MCV
78- 94 CU), sering ditemukan pada pasien gagal ginjal kronik. Anemia sangat
bervariasi bila ureum darah lebih dari 100 mg% atau penjernihan kreatinin kurang
dari 25 ml per menit (Sukandar, 2013).
2.5.2. Kelainan Saluran Cerna
Mual dan muntah sering merupakan keluhan utama dari sebagian pasien
gagal ginjal kronik terutama pada stadium terminal. Patogenesis mual dan muntah
masih belum jelas, diduga mempunyai hubungan dengan dekompresi oleh flora
usus sehingga terbentuk amonia (NH3). Amonia inilah yang menyebabkan iritasi
atau rangsangan mukosa lambung dan usus halus. Keluhan-keluhan saluran cerna
ini akan segera mereda atau hilang setelah pembatasan diet protein dan antibiotika
(Sukandar, 2013).
2.5.3. Kelainan Mata
Visus hilang (azotemia amaurosis) hanya dijumpai pada sebagian kecil
pasien penyakit ginjal kronik. Gangguan visus cepat hilang setelah beberapa hari
mendapat pengobatan penyakit ginjal kronik yang adekuat, misalnya hemodialisis.
Kelainan saraf mata menimbulkan gejala nistagmus, miosis, dan pupil asimetris.
Kelainan retina (retinopati) mungkin disebabkan hipertensi maupun anemia yang

9
sering dijumpai pada pasien penyakit ginjal kronik. Penimbunan atau deposit
garam kalsium pada konjungtiva menyebabkan gejala red eye syndrome akibat
iritasi dan hipervaskularisasi. Keratopati mungkin juga dijumpai pada beberapa
pasien penyakit ginjal kronik akibat penyulit hiperparatiroidisme sekunder atau
tertier (Sukandar, 2013).
2.5.4. Kelainan Kulit
Gatal sering mengganggu pasien, patogenesisnya masih belum jelas dan
diduga berhubungan dengan hiperparatiroidisme sekunder. Keluhan gatal ini akan
segera hilang setelah tindakan paratiroidektomi. Kulit biasanya kering dan
bersisik, tidak jarang dijumpai timbunan kristal urea pada kulit muka dan
dinamakan urea frost (Sukandar, 2013).
2.5.5. Kelainan Selaput Serosa
Kelainan selaput serosa seperti pleuritis dan perikarditis sering dijumpai
pada penyakit ginjal kronik terutama pada stadium terminal. Kelainan selaput
serosa merupakan salah satu indikasi mutlak untuk segera dilakukan dialisis
(Sukandar, 2013).
2.5.6. Kelainan Neuropsikiatri
Beberapa kelainan mental ringan seperti emosi labil, dilusi, insomnia,
depresi. Kelainan mental berat seperti konfusi, dilusi, dan tidak jarang dengan
gejala psikosis. Kelainan mental ringan atau berat ini sering dijumpai pada pasien
dengan atau tanpa hemodialisis, dan tergantung dari dasar kepribadiannya. Pada
kelainan neurologi, kejang otot atau muscular twitching sering ditemukan pada
pasien yang sudah dalam keadaan yang berat, kemudian terjun menjadi koma
(Sukandar, 2013).
2.5.7. Kelainan Kardiovaskular
Patogenesis gagal jantung kongestif pada penyakit ginjal kronik sangat
kompleks. Beberapa faktor seperti anemia, hipertensi, aterosklerosis, penyebaran
klasifikasi mengenai sistem vaskuler, sering dijumpai pada pasien penyakit ginjal
kronik terutama pada stadium terminal. Hal ini dapat menyebabkan gagal faal
jantung (Sukandar, 2013).

2.5.8. Hipertensi

10
Patogenesis hipertensi ginjal sangat kompleks, banyak faktor turut
memegang peranan seperti keseimbangan natrium, aktivitas sistem
reninangiotensinaldosteron, penurunan zat dipresor dari medulla ginjal, aktivitas
sistem saraf simpatis, dan faktor hemodinamik lainnya seperti cardiac output dan
hipokalsemia (Sukandar, 2013).
Retensi natrium dan sekresi renin menyebabkan kenaikan volume plasma
(VP) dan volume cairan ekstraselular (VCES). Ekspansi VP akan mempertinggi
tekanan pengisiaan jantung dan cardiac output pressure (COP). Kenaikan COP
akan mempertinggi tonus arteriol dan pengecilan diameter arteriol sehingga
tahanan perifer meningkat. Kenaikan tonus vaskuler akan menimbulkan aktivasi
mekanisme umpan balik sehingga terjadi penurunan COP sampai mendekati batas
normal tetapi kenaikan tekanan darah arterial masih dipertahankan (Sukandar,
2013).
Sinus karotis mempunyai faal sebagai penyangga yang mengatur tekanan
darah pada manusia. Setiap terjadi kenaikan tekanan darah selalu dipertahankan
normal oleh sistem mekanisme penyangga tersebut. Pada pasien azotemia,
mekanisme penyangga dari sinus karotikus tidak berfungsi lagi untuk mengatur
tekanan darah karena telah terjadi perubahan volume dan tonus pembuluh darah
arteriol (Sukandar, 2013).

2.6. Penatalaksanaan PGK


2.6.1. Terapi Konservatif
Tujuan dari terapi konservatif adalah mencegah memburuknya faal ginjal
secara progresif, meringankan keluhan-keluhan akibat akumulasi toksin azotemia,
memperbaiki metabolisme secara optimal dan memelihara keseimbangan cairan
dan elektrolit (Sukandar, 2013).
Waktu yang paling tepat untuk terapi penyakit dasarnya adalah sebelum
terjadinya penurunan LFG sehingga perburukan fungsi ginjal tidak terjadi. Pada
ukuran ginjal yang masih normal secara ultrasonografi, bopsi dan pemeriksaan
histopatologi ginjal dapat menentukan indikasi yang tepat terhadap terapi spesifik.
Sebaliknya, bila LFG sudah menurun sampai 20-30% dari normal, terapi terhadap
penyakit dasar sudah tidak bermanfaat (Suwitra, 2014).

11
Penting sekali untuk mengikuti dan mencatat kecepatan penurunan LFG
pada pasien penyakit ginjal kronik. Hal ini untuk mengetahui kondisi komorbid
(superimposed factors) yang dapat memperburuk keadaan pasien. Faktor-faktor
komorbid ini antara lain, gangguan keseimbangan cairan, hipertensi yang tidak
terkontrol, infeksi traktus urinarius, obstruksi traktus urinarius, obat-obatan
nefrotoksik, bahan radiokontras, atau peningkatan aktivitas penyakit dasarnya
(Suwitra, 2014).
Perencanaan tatalaksana penyakit ginjal kronik sesuai dengan derajatnya,
dapat dilihat di tabel :
Deraja Penjelasan Rencana tatalaksana
t
1 Kerusakan ginjal Terapi penyakit dasar,
dengan LFG normal kondisi komorbid,
atau ↑ evaluasi pemburukan
fungsi ginjal,
memperkecil resiko
kardiovaskular.
2 Kerusakan ginjal Menghambat
dengan LFG ↓ ringan pemburukan fungsi
ginjal.
3 Kerusakan ginjal Evaluasi dan terapi
dengan LFG ↓ sedang komplikasi
4 Kerusakan ginjal Persiapan untuk terapi
dengan LFG ↓ berat pengganti ginjal.
5 Gagal ginjal Terapi pengganti ginjal.
(Suwitra, 2014)

a. Peranan diet
Terapi diet rendah protein (DRP) menguntungkan untuk mencegah atau
mengurangi toksin azotemia, tetapi untuk jangka lama dapat merugikan
terutama gangguan keseimbangan negatif nitrogen (Sukandar, 2013).
Pembatasan asupan protein mulai dilakukan pada LFG ≤ 60 ml/mnt,
sedangkan di atas nilai tersebut, pembatasan asupan protein tidak selalu
dianjurkan. Protein diberikan 0,6 0,8/kgbb/hari, yang 0,35-0,50 gr
diantaranya merupakan protein nilai biologi tinggi. Jumlah kalori yang
diberikan sebesar 30- 35 kkal/kgBB/hari, dibutuhkan pemantauan yang
teratur terhadap status nutrisi pasien. Bila terjadi malnutrisi, jumlah asupan
kalori dan protein dapat ditingkatkan. Berbeda dengan lemak dan karbohidrat,

12
kelebihan protein tidak disimpan dalam tubuh tapi tapi dipecah menjadi urea
dan substansi nitrogen lain, yang terutama dieksresikan melalui ginjal. Selain
itu, makanan tinggi protein yang mengandung ion hydrogen, posfat, sulfat,
dan ion unorganik lain juga dieksresikan melalui ginjal (Suwitra, 2014).
Pemberian diet tinggi protein pada pasien penyakit ginjal kronik akan
mengakibatkan penimbunan substansi nitrogen dan ion anorganik lain, dan
mengakibatkan gangguan klinis dan metabolik yang disebut uremia.
Pembatasan protein akan mengakibatkan berkurangnya sindrom uremik
(Suwitra, 2014). Masalah penting lain adalah asupann protein berlebihan
(protein Overload) akan mengakibatkan perubahan hemodinamik ginjal
berupa peningkatan aliran darah dan tekanan intraglomerulus, yang akan
meningkatkan progresifitas pemburukan fungsi ginjal. Pembatasan asupan
protein juga berkaitan dengan pembatasan asupan fosfat, karena protein dan
fosfat selalu berasal dari sumber yang sama. Pembatasan fosfat perlu untuk
mencegah terjadinya hyperfosfatemia (Suwitra, 2014).
b. Kebutuhan jumlah kalori
Kebutuhan jumlah kalori untuk gagal ginjal kronik harus adekuat
dengan tujuan utama untuk mempertahankan keseimbangan positif nitrogen,
memelihara status nutrisi, dan memelihara anthomometri (skinfold thickness)
(Sukandar, 2013).
c. Kebutuhan cairan
Bila ureum serum > 150 mg% kebutuhan cairan harus adekuat supaya
jumlah diuresis mencapai 2 L per hari. Dengan tujuan untuk mencegah
dehidrasi osmotik yang akan memperburuk faal ginjal (LFG) terutama pada
kelompok pasien gagal ginjal kronik dengan kecenderungan natriuresis
misalnya penyakit ginjal polikistik, scarring pyelonephritis, dan nefropati urat
kronik, memelihara status hidrasi optimal, dan mengeleminasi toksin
azotemia (Sukandar, 2013).
Untuk kelompok gagal ginjal kronik dengan LFG ≤5 ml/hari dan
sindrom nefrotik dapat diberikan diuretika untuk memperlancar diuresis,
misal furosemide. Takaran furosemid 40-80 mg/hari (interval 2 hari) sampai
jumlah takaran maksimal 3 g/hari (Sukandar, 2013).

13
2.6.2. Terapi Simtomatik
a. Asidosis metabolik
Asidosis metabolik harus dikoreksi karena meningkatkan serum
kalium (hiperkalemia). Untuk mencegah dan mengobati asidosis metabolik
dapat diberikan suplemen alkali. Terapi alkali (sodium bicarbonat) harus
segera diberikan intravena bila pH ≤ 7,35 atau serum bikarbonat ≤ 20 mEq/L
(Sukandar, 2013).
b. Anemia
Anemia terjadi pada 80-90 % pasien penyakit ginjal kronik. Anemia
pada penyakit ginjal kronik terutama disebabkan oleh defisiensi eritropoetin.
Hal-hal yang ikut berperan dalam terjadinya anemia adalah defisiensi besi,
kehilangan darah (misal, perdarahan saluran cerna, hematuri), masa hidup
eritrosit yang pendek akibat terjadinya hemolisis, defisiensi asam folat,
penekanan sumsum tulang oleh substansi uremik, proses inflamasi akut
maupun kronik. Evaluasi terhadap anemia dimulai saat kadar hemoglobin ≤
10 g% atau hematokrit ≤ 30g%, meliputi evaluasi terhadap status besi (Iron
Binding Capacity), mencari sumber perdarahan morfologi eritrosit,
kemungkinan adanya hemolisis (Suwitra, 2014).
Penatalaksanaan terutama ditujukan pada penyebab utamanya,
pemberian eritropoitin (EPO) merupakan hal yang dianjurkan. Dalam
pemberian EPO ini, status besi harus selalu diperhatikan karena EPO
memerlukan besi dalam mekanisme kerjanya. Pemberian transfusi pada
penyakit ginjal kronik harus dilakukan secara hati-hati, berdasarkan indikasi
yang tepat dan pemantauan cermat. Transfusi darah yang tidak cermat dapat
mengakibatkan kelebihan cairan tubuh, hiperkalemia dan perburukan fungsi
ginjal. Sasaraan hemoglobin menurut berbagai studi klinik adalah 11-12 g/dl
(Suwitra, 2006). Transfusi darah misalnya Packed Red Cell (PRC)
merupakan salah satu pilihan terapi alternatif, murah, dan efektif. Terapi
pemberian transfusi darah harus hati-hati karena dapat menyebabkan
kematian mendadak (Sukandar, 2014).

14
c. Keluhan gastrointestinal
Anoreksi, cegukan, mual dan muntah, merupakan keluhan yang sering
dijumpai pada PGK. Keluhan gastrointestinal ini merupakan keluhan utama
dari PGK. Keluhan gastrointestinal yang lain adalah ulserasi mukosa mulai
dari mulut sampai anus. Tindakan yang harus dilakukan yaitu program terapi
dialisis adekuat dan obat-obatan simtomatik (Sukandar, 2013).
d. Kelainan Kulit
 Puritis (uremic ithching)
Keluhan gatal ditemukan pada 25% kasus gagal ginjal kronik, insiden
meningkat pasien dengan terapi HD reguler. Keluhan gatal-gatal ada
dua yaitu bersifat subjektif dan objektif. Beberapa pilihan terapi yaitu
mengendalikan hiperfosfatemia dan hiperparatiroidisme, terapi lokal :
topikal emolloien (triple lanolin), phototerapy dengan sinar UV-B 2 ×
perminggu selama 2-6 minggu (kalau perlu terapi sinar dapat diulang),
pemberian medikamentosa (Diphydramine 25-50 mg P.O (bid),
Hydroxyzine 10 mg P.O (bid)) (Sukandar, 2013).
 Easy Brushing
Kecenderungn perdarahan pada kulit dan selaput serosa berhubungan
dengan retensi toksin Guadinosuccinic acid (GSA) dan gangguan faal
trombosit. Pilihan tindakan dengan dialisis (Sukandar, 2013).
 Edema
Edema pada gagal ginjal kronik terutama dengan underlying renal
disease. Glomerulopati primer dan sekunder selalu disertai dengan
retensi Na+ dan air. Terapi pilihan dengan diuretika dan ultrafiltrasi
(Sukandar, 2013).

e. Kelainan neuromuskuler
Keluhan-keluhan yang berhubungan dengan kelainan neuromuskuler
adalah restless, parestesia, neuropati perifer, kram otot, insomnia, konvulsi.
Beberapa terapi pilihan yang dapat dilakukan yaitu terapi hemodialisis
reguler yang adekuat, medikamentosa (diazepam, sedatif) atau operasi
subtotal paratiroidektomi (Sukandar, 2013).

15
f. Hipertensi
Pemberian obat antihipertensi, selain bermanfaat untuk memperkecil
risiko kardiovaskular juga sangat penting untuk memperlambat perburukan
kerusakan nefron dengan mengurangi hipertensi intraglomerulus dan
hipertrofi glomerulus. Beberapa studi membuktikann bahwa, pengendalian
tekanan darah mempunyai peran sama pentingnya dengan pembatasan asupan
protein, dalam memperkecil hipertensi intraglomerulus dan hipertrofi
glomerulus. Selain itu, sasaran terapi farmakologis sangat terkait dengan
derajat proteinuria, yang merupakan faktor risiko terjadinya perburukan
fungsi ginjal (Suwitra, 2014).
Pasien CKD dengan hipertensi biasanya memerlukan regimen obat
yang mencakup tiga atau lebih obat antihipertensi untuk mencapai target
tekanan darah. Pilihan terapi pertama untuk pasien CKD dengan hipertensi
adalah ACEIs dan/ARB untuk mengurangi tekanan intraglomerular. Pada
pasien CKD dengan proteinuria maka pilihan terapi yang utama yaitu ACEIs,
ARB, dan CCBs nondihidropiridin. Pemilihan dari ACEIs dibandingkan
ARB atau CCBs nondihidropiridin dalam pengendalian proteinuria dengan
penyakit ginjal nondiabetes pada dasarnya didasarkan pada biaya terapi,
toleransi/keadaan pasien, dan preferensi dokter. Jika terjadi peningkatan
kreatinin serum lebih dari 30 % setelah memulai terapi ACEIs maka terapi
harus dihentikan (Dipiro et al, 2008).

16
Gambar 2.1 Guideline Terapi Hipertensi dengan CKD (JNC8, 2014)
 ACE Inhibitor
ACEIs atau ARB paling sering digunakan untuk pasien dengan CKD
progresif dan proteinuria. ACEIs menghambat perubahan angiotensin I
menjadi angiotensin II, dimana angiotensin II adalah vasokonstriktor
poten yang juga merangsang sekresi aldosteron. ACEIs juga bagus pada
pasien dengan ESRD karena manfaat potensi yaitu regresi LVH,
penurunan aktivitas saraf simpatis, perbaikan fungsi endotel, dan
mengurangi stress oksidatif. Penggunaan dengan dosis awal yang lebih
rendah karena eliminasi waktu paruh dari senyawa induk (captopril dan
lisinopril) atau metabolit aktif (enalapril, benazepril, dan ramipril) yang
panjang pada pasien ESRD. Hentikan pemberian ACEIs untuk semua
pasien dengan angioedema. Batuk kering yang persisten terlihat pada
20% pasien ACEIs merupakan kontraindikasi absolut untuk perempuan
hamil dan pasien dengan riwayat angioedema. Untuk pasien dengan

17
nafas yang pendek atau sulit bernafas maka dapat dipilih lisinopril yang
memiliki efek samping batuk lebih kecil dari pada yang lainnya (Dipiro
et al, 2008).
 ARB
ARB menghambat secara langsung reseptor angiotensinogen II tipe 1
(AT1) yang memediasi efek angiotensinogen II. ARB tidak memblok
reseptor angiotensinogen tipe 2 (AT2). Efek yang menguntungkan dari
stimulasi AT2 (seperti vasodilatasi, perbaikan jaringan, dan
penghambatan pertumbuhan sel) tetap utuh dengan penggunaan ARB
(Dipiro et al, 2008).
 Calcium Channel Blocker (CCB)
Calcium channel blockers atau CCBs yang selektif juga efektif dalam
pengobatan hipertensi pada pasien dengan ESRD dan berkaitan dengan
penurunan total dan mortalitas kardiovaskular. CCBs bekerja dengan
menghambat influx kalsium sepanjang membran sel. Ada dua tipe
voltage gated calcium channel: high voltage channel (tipe L) dan low
voltage channel (tipe T). CCBs yang ada hanya menghambat channel
tipe L, yang menyebabkan vasodilatasi koroner dan perifer. Ada dua
subkelas CCBs, dihidropiridin dan nondihidropiridin. Keduanya sangat
berbeda satu sama lain. Efektifitas antihipertensinya hampir sama,
tetapi ada perbedaan pada efek farmakodinamik yang lain.
Nondihidropiridin (verapamil dan diltiazem) menurunkan denyut
jantung dan memperlambat konduksi nodal atriventrikular. Untuk
pasien CKD lebih dipilih golongan dihidropiridin karena non
dihidropiridin dapat menyebabkan edema (Dipiro et al, 2008).
 Beta Blocker
β-blocker sangat berguna pada pasien CKD dengan hipertensi setelah
infatk miokard. Akan tetapi dihindari untuk pasien dengan riwayat
penyakit asma atau gangguan pernafasan. Beta bloker memblok beta‐
adrenoseptor. Reseptor ini diklasifikasikan menjadi reseptor beta‐1 dan
beta‐2. Reseptor beta‐1 terutama terdapat pada jantung sedangkan
reseptor beta‐2 banyak ditemukan di paru‐paru, pembuluh darah perifer,

18
dan otot lurik. Reseptor beta‐2 juga dapat ditemukan di jantung,
sedangkan reseptor beta‐1 juga dapat dijumpai pada ginjal. Reseptor
beta juga dapat ditemukan di otak. Stimulasi reseptor beta pada otak
dan perifer akan memacu pelepasan neurotransmitter yang
meningkatkan aktivitas sistem saraf simpatis. Stimulasi reseptor beta‐1
pada nodus sino‐atrial dan miokardiak meningkatkan nadi dan kekuatan
kontraksi. Stimulasi reseptor beta pada ginjal akan menyebabkan
pelepasan renin, meningkatkan aktivitas sistem renin angiotensin‐
aldosteron. Efek akhirnya adalah peningkatan cardiac output,
peningkatan tahanan perifer, dan peningkatan sodium yang diperantarai
aldosteron dan retensi air. Terapi menggunakan beta‐blocker akan
mengantagonis semua efek tersebut sehingga terjadi penurunan tekanan
darah (Dipiro et al, 2008).
g. Kelainan sistem kardiovaskular
Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular merupakan
hal yang penting, karena 40-45% kematian pada penyakit ginjal kronik
disebabkan oleh penyakit kardiovaskular. Hal-hal yang termasuk dalam
pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular adalah, pengendalian
diabetes, pengendalian hipertensi, pengendalian dislipidemia, pengendalian
anemia, pengendalian hiperfosfatemia, dan terapi terhadap kelebihan cairan
dan gangguan keseimbangan elektrolit. Semua ini terkait dengan pencegahan
dan terapi terhadap komplikasi penyakit ginjal kronik secara keseluruhan
(Suwitra, 2014).

2.6.3. Transplantasi Ginjal


Terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit ginjal kronik stadium 5,
yaitu pada LFG kurang dari 15 ml/menit. Terapi tersebut dapat berupa
hemodialisis, dialisis peritoneal, dan transplantasi ginjal (Suwitra, 2014).
a. Hemodialisis
Tindakan terapi dialisis tidak boleh terlambat untuk mencegah gejala
toksik azotemia, dan malnutrisi. Tetapi terapi dialisis tidak boleh terlalu cepat
pada pasien PGK yang belum tahap akhir akan memperburuk faal ginjal

19
(LFG). Indikasi tindakan terapi dialisis, yaitu indikasi absolut dan indikasi
elektif. Beberapa yang termasuk dalam indikasi absolut, yaitu perikarditis,
ensefalopati/neuropati azotemik, bendungan paru dan kelebihan cairan yang
tidak responsif dengan diuretik, hipertensi refrakter, muntah persisten, dan
Blood Uremic Nitrogen (BUN) > 120 mg% dan kreatinin > 10 mg%. Indikasi
elektif, yaitu LFG antara 5 dan 8 mL/menit/1,73m², mual, anoreksia, muntah,
dan astenia berat (Sukandar, 2013).
b. Dialisis peritoneal (DP)
Dialisis peritoneal adalah salah satu bentuk dialisis untuk membantu
penanganan pasien GGA (Gagal Ginjal Akut) maupun GGK (Gagal Ginjal
Kronik), menggunakan membran peritoneum yang bersifat semipermeabel.
Melalui membran tersebut darah dapat difiltrasi. Keuntungan Dialisis
Peritoneal (DP) bila dibandingkan dengan hemodialisis, secara teknik lebih
sederhana, cukup aman serta cukup efisien dan tidak memerlukan fasilitas
khusus, sehingga dapat dilakukan di setiap rumah sakit (Parsudi et al, 2014)
Akhir-akhir ini sudah populer Continuous Ambulatory Peritoneal
Dialysis (CAPD) di pusat ginjal di luar negeri dan di Indonesia. Indikasi
medik CAPD, yaitu pasien anak-anak dan orang tua (umur lebih dari 65
tahun), pasien-pasien yang telah menderita penyakit sistem kardiovaskular,
pasien-pasien yang cenderung akan mengalami perdarahan bila dilakukan
hemodialisis, kesulitan pembuatan AV shunting, pasien dengan stroke, pasien
GGTA (gagal ginjal tahap akhir) dengan residual urin masih cukup, dan
pasien nefropati diabetik disertai comorbidity dan co-mortality. Indikasi non-
medik, yaitu keinginan pasien sendiri, tingkat intelektual tinggi untuk
melakukan sendiri (mandiri), dan di daerah yang jauh dari pusat ginjal
(Sukandar, 2013).
c. Transplantasi ginjal
Transplantasi ginjal merupakan cara pengobatan yang lebih disukai
untuk pasien gagal ginjal stadium akhir (Price & Wilson, 2012). Manfaat
transplantasi sudah jelas terbukti lebih baik dibandingkan dengan dialisis
terutama dlam hal perbaikan kualitas hidup. Salah satu diantaranya adalah
tercapainya tingkat kesegaran jasmani yang lebih baik dan paling jelas

20
terlihat pada pasien usia muda dan pada pasien diabetes mellitus.
Transplantasi ginjal dapat mengatasi seluruh jenis penurunan fungsi ginjal
dan terapi pengganti ginjal (Susalit, 2014).
Menurut Sukandar (2013), pertimbangan program transplantasi ginjal
dan persiapan transplantasi ginjal, yaitu:
 Cangkok ginjal dapat mengambil alih seluruh (100%) faal ginjal,
sedangkan hemodialisis hanya mengambil alih 70-80% faal ginjal
alamiah.
 Kualitas hidup normal kembali
 Masa hidup (survival rate) lebih lama
 Kompllikasi terutama berhubungan dengan obat imunosupresif untuk
mencegah reaksi penolakan.
 Biaya lebih murah dan dapat dibatasi.
 Persiapan program transplantasi ginjal : - Pemeriksaan imunologi
 Golongan darah ABO
 Tipe jaringan HLA (Human Leucocyte Antigen)
 Seleksi pasien (resipien) dan donor hidup keluarga

21
BAB III
METODE PENELITIAN

3.1. Rancangan Penelitian


Penelitian dilakukan dengan rancangan deskriptif non-eksperimental yang
menggunakan pendekatan prospektif cross sectional. Penelusuran data rekam
medis yang digunakan yaitu dari bulan Januari hingga Februari 2019. Metode
deskriptif non-eksperimental yang dilakukan yaitu tipe deskriptif retrospektif
dengan melakukan pencatatan demografi pasien, serta dilakukan pemantauan
terhadap frekuensi sesak pada pasien. Metode deskriptif retrospektif dilakukan
dengan mengamati data rekam medis mengenai pemberian terapi pasien yang
didiagnosa Obs dyspnea ec CKD (Chronic Kidney Disease) stage V. Data diamati
dengan mencatat beberapa parameter terkait terapi dyspnea meliputi RR dan
balance cairan. Keluhan pasien lainnya seperti mual, nyeri dada, dan batuk kering,
adapun parameter yang diamati yaitu suhu tubuh, nadi, tekanan darah, ada
tidaknya mual dan muntah, serta batuk kering yang dirasakan. Parameter
pengamatan juga dilihat berdasarkan data laboratorium pasien.

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian


Penelitian dilakukan di bagian Rekam Medis Badan Rumah Sakit Umum
Tabanan selama enam hari terhitung dari survei pendahuluan hingga penyusunan
studi kasus.

3.3. Bahan Penelitian


Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah data rekam medis pasien
dyspnea ec CKD stage V yang mencakup hasil:
3.3.1. Data laboratorium patologi klinik berupa hasil pemeriksaan Hgb, Hct,
MCV, dan WBC

22
3.3.2. Data penggunaan diuretik yang digunakan dalam terapi edema paru
3.3.3. Data balance cairan
3.3.4. Data klinis meliputi: Suhu, Nadi, RR, sesak, skala nyeri

3.4. Alat Penelitian


Alat penelitian yang digunakan antara lain lembar pengumpul data untuk
mencatat data pada rekam medis pasien. Instrumen lain yang digunakan dalam
proses penelitian, antara lain catatan pengobatan pasien (Patient Medication
Record).

3.5. Prosedur Penelitian


3.5.1 Batasan Operasional Penelitian
a. Pasien yang didiagnosa dyspnea ec CKD stage V terdaftar di dalam indeks
rekam medis pada tahun 2019
b. Tempat penelitian adalah Ruang Perawatan Dahlia Garing Transparan dan
Bagian Rekam Medis Badan Rumah Sakit Umum Tabanan
c. Data rekam medis yang diambil adalah antara tanggal 31 Januari – 8
February 2019
d. Data laboratorium pada rekam medis yang diambil pada penelitian ini
antara lain data hasil Hgb, Hct, MCV, WBC
e. Data obat yang diambil pada rekam medik pasien
f. Target keberhasilan terapi pengobatan pada pasien dyspnea ec CKD stage
V dapat dilihat dari RR pasien berada pada rentang 12-20x/menit, balance
cairan terkontrol normal, TD: 140/90 mmHg, Hgb: 13-18 g/dL, Hct: 40-
45%, MCV: 80-100µm3 dan WBC 3.200-10.000/mm3

3.5.2 Pengambilan Data


Pengambilan data dilakukan dengan menelusuri data rekam medis pasien
dari 31 Januari – 8 Februari 2019. Berikutnya dilakukan pencatatan data pasien
pada rekam medis antara lain demografi pasien (umur, jenis kelamin dan
diagnosis), Terapi obat yang digunakan oleh pasien serta data laboratorium
patologi klinik. Setelah diperoleh data demografi pasien (umur, jenis kelamin dan

23
diagnosis). Pengamatan dyspnea dilakukan dengan melihat perbaikan parameter
hasil RR dan balance cairan pada pasien.

3.5.3 Analisis Data


Data hasil pecatatan pada rekam medis selanjutnya dianalisis secara
deskriptif. Deskriptif dengan menghubungkan demografi pasien yaitu jenis
kelamin, umur, pemantauan diuretik yang digunakan pada pengatasan dyspnea
dan terapi CKD serta hipertensi yang dilakukan dibandingkan dengan pengamatan
patologik yang dilakukan dari hasil laboratorium terakhir.

3.5.4 Pemaparan Kasus


Tabel 3.1. Deskripsi Pasien
No. RM 174482
Ruang Dahlia Garing Transparan
Nama I Dewa Putu Widiatnyana
Alamat Br. Dinas Galiukih Kelod
Umur 55 tahun
BB/TB -
Diagnosa Obs dyspnea ec CKD stage V
Alasan MRS Sesak, OS datang sadar dengan keluhan sesak
sejak tadi pagi disertai batuk kering 2 hari, pilek
(+), mual (-), muntah (-).
Riwayat CKD stg V rutin CAPD 1
Tgl. MRS 31 Januari 2019
Dokter dr. Nyoman Sutarka, Sp.PD
Alergi -

Tabel 3.2. Catatan Perkembangan Pasien


Tanggal Catatan Perkembangan Pasein (SOAP) oleh Perawat dan
Dokter
31 Januari S : Pasien mengeluh sesak nafas
2019 O: Kondisi umum pasien lemah, TD: 140/80, RR:
28x/menit. Pasien terpasang CAPD
A: Gangguan perfusi jaringan renal
P: Mengatasi masalah selama 3x24 jam dengan K.H. sesak
ber(-)
1 Februari S : Pasien mengeluh sesak nafas
2019 O: Kondisi umum pasien lemah, TD: 130/80. Pasien
terpasang CAPD

24
A: Gangguan perfusi jaringan renal
P: Mengatasi masalah selama 3x24 jam dengan K.H. sesak
(-), batuk (-), mual (-)
2 Februari S : Sesak nafas dan mual berkurang
2019 O: Kondisi umum pasien lemah, TD: 130/70, R: 20 x/hari,
N: 84x/menit.
A: Gangguan perfusi jaringan renal
P: Mengatasi gangguan perfusi jaringan dalam waktu 3 x 24
jam dengan K.H. pasien sesak (-), mual (-), TTV dalam
batas normal
3 Februari S : Sesak nafas sudah berkurang
2019 O: Kondisi umum pasien lemah, RR: 24x/menit TD:
110/70
A: Gangguan perfusi jaringan renal
P: Mengatasi gangguan perfusi jaringan dalam waktu 3 x 24
jam dengan K.H. pasien sesak (-), mual (-), TTV dalam
batas normal
4 Februari S : Sesak nafas sudah berkurang
2019 O: Kondisi umum pasien lemah, TD: 100/60, R: 20X/menit
A: Gangguan perfusi jaringan renal
P: Mengatasi gangguan perfusi jaringan dalam waktu 3 x 24
jam dengan K.H. pasien sesak (-), mual (-), TTV dalam
batas normal
5 Februari S : Sesak nafas sudah berkurang
2019 O: Kondisi umum pasien lemah, TD: 100/60, S: 360C
A: Gangguan perfusi jaringan renal
P: Mengatasi gangguan perfusi jaringan dalam waktu 3 x 24
jam diharapkan masalah teratasi
6 Februari S : Sesak nafas sudah berkurang
2019 O: Kondisi umum pasien lemah, TD: 100/70, S: 360C, R:
20x/menit, N: 84 x/menit
A: Gangguan perfusi jaringan renal
P: Mengatasi gangguan perfusi jaringan dalam waktu 3 x 24
jam dengan K.H. sesak (-) dan R: 16-20x/menit
7 Februari S : Sesak nafas sudah berkurang
2019 O: Kondisi umum pasien lemah, TD: 110/70, S: 360C, R:
20x/menit, N: 80x/menit
A: Gangguan perfusi jaringan renal
P: Mengatasi gangguan perfusi jaringan dalam waktu 3 x 24
jam dengan K.H. sesak (-) dan R: 16-20x/menit
8 Februari S:-
2019 O: Kondisi umum pasien membaik, sesak (-), TD: 100/70,
S: 360C, R: 20x/menit, N: 84 x/menit
A: Gangguan perfusi jaringan renal
P: BPL kontrol tgl 13/2/2019 ke poli nefrologi

25
c. Data Klinis dan Data Laboratorium
Tabel 3.3. Data Klinis Pasien
Nilai Tanggal/Bulan 2019
No Data Klinis 31/1 1/2 2/2 3/2 4/2 5/2 6/2 7/2 8/2
Normal
1 Suhu 36-37,5 36 36 37,7 - 36 36 36 36 36
2 Nadi 60- 80 - 84 - - 84 84 80 84
(/menit) 100/menit
3 RR (/menit) 12-20 /menit 28 - 20 24 24 - 20 - 20
4 TD 140/90
130/7 110/7 100/6 100/6 100/7 110/7
(mmHg) mmHg (JNC 140/80 130/80 100/70
0 0 0 0 0 0
8, 2014)
5 Sesak Sesak + + - - < - - - -
6 Mual Mual + + + - - - - - -
7 Muntah Muntah - - - - - - - - -
8 Batuk + - - - - - - - -
kering

Tabel 3.4. Data Laboratorium Pasien


Tanggal/Bulan 2019
No Data Laboratorium Nilai Normal
31/1 1/2 2/2 3/2 4/2 5/2 6/2 7/2 8/2
1 Hb (gr/dL) Pria : 13-18- g/dL 8,12 - - - 9,5 - - 9,75 9,69

26
Wanita : 12-16- g/dL
2 Hct % Pria : 40-45%
25,0 - - - 28,5 - - 29,8 29,4
Wanita : 35%-45%
3 Leu (103/µL) 3.200-10.000/mm3 25,9 - - - 14,0 - - 12,1 13,0
4 Trombosit (103/µL) 170-380. 103/mm3 245 - - - 389 - - 376 329
5 Eritrosit 150-440. 103/mm3 2,69 - - - 3,34 - - 3,27 3,23
6 Neu % 40-74 % 81,6 - - - 79,3 - - 73,7 76,6
7 Lim% 19-48 % 8,59 - - - 7,92 - - 9,52 9,63
8 Mono% 3,40-9,00 % 8,43 - - - 8,64 - - 10,5 8,87
9 Eos% 0,6-7,0 % 0,43
- - - 3,400 - - 4,45 3,84
3
10 Baso% 0,0-1,5 % 0,96
- - - 0,784 - - 1,87 1,04
7
11 MCV 82-92 fl 93,0 - - - 85,2 - - 91,2 91,0
12 MCH 27-31 pg 30,2 - - - 28,5 - - 29,8 30,0
13 MCHC 32-36 g/dL 32,5 - - - 33,5 - - 32,7 33,0
14 RDW 11,6-14,8 % 14,0 - - - 13,6 - - 14,6 14,5
15 MPV 6,8-10,0 fL 7,35 - - - 9,5 - - 6,76 6,75
Tabel 3.5. Catatan Pengobatan Pasien
Regimen Tanggal/Bulan 2019
No Nama Obat 31/1 1/2 2/2 3/2 4/2 5/2 6/2 7/2 8/2
Dosis
1 Omeprazole 40 mg/ml 1 amp 
2 Furosemide 10 mg/ml 2 amp 
3 Drip Lasix - mg/jam 10 10 10 10 5 5 5
4 Cefoperazone 2 x 1 gram        
5 Levofloxacin 500 1x1 fls        

27
mg/ml
6 RL 12
        
tetes/menit
7 Cedocard 1 mg/ml 2 amp         
8 Candesartan 16 mg 2 x 1 tab         
9 Clonidine 0,15 mg 2 x 1 tab         
10 Herbesser CD200 mg 1 x 1 tab         
11 Allopurinol 100 mg 1 x 1 tab         
12 Asam Folat 1 mg 2 x 1 tab         
13 Amlodipine 10 mg 2 x 1 tab         
14 ISDN 5 mg 2 x 1 tab         
15 Osteocal 2 x 1 tab     
16 Transfusi PRC 2 kolf   

28
BAB IV
PEMBAHASAN
4.1. Assestment
Pasien atas nama I Dewa Putu Widiatnyana masuk rumah sakit pada tanggal
31 Januari 2019 dengan keluhan keluhan sesak sejak tadi pagi disertai batuk kering 2
hari, mual (+), muntah (-). Pada awal masuk RS pasien ditangani di IRD. Pasien
memiliki riwayat CKD stage V, rutin melakukan CAPD dan telah rutin meminum
obat antihipertensi. Kondisi pasien pada awal masuk RS didiagnosa oleh dokter
mengalami dypnea e.c. CKD stage V. Hasil pemeriksaan kondisi klinis pasien pada
awal masuk RS yakni suhu tubuh 360C, Nadi 80/menit, sesak dengan RR 28/menit
dan TD 140/80 mmHg. Pasien juga mengeluhkan mual dan nyeri dada. Berdasarkan
kondisi pasien tersebut, maka terapi yang diberikan pada awal masuk RS yakni
Omeprazole injeksi, furosemid 2 x 40 mg INJ, RL + cedocard 2 ampul dengan
keceptan 12 tpm dan drip lasix 10 mg/jam. Dari hasil pemeriksaan laboratorium
diketahui bahwa nilai WBC pasien pada saat masuk RS tinggi yakni 26,9 x 103/µL
sehingga dokter memutuskan untuk pemberian terapi Cefoperazone iv 2 x 1 gram dan
levofloxacin fls 500 mg 1 x 1. Kondisi pasien ini memerlukan monitoring dari
kesehatan sehingga diputuskan bahwa pasien mendapatkan pelayanan rawat inap.
Pasien membawa dari rumah obat rutin yang dikonsumsinya dan diputuskan bahwa
obat tersebut tetap dilanjutkan selama pasien menjalani rawat inap untuk dikonsumsi
oleh pasien. Obat tersebut terdiri dari Candesartan 16 mg, Clonidin, Herbesser
CD200 mg, Allopurinol 100 mg, Asam folat, amlodipine 10 mg, ISDN tablet dan
osteocal. Untuk lebih lengkapnya terapi yang diterima pasien tertera pada catatan
pengobatan pasien (table 3.5.). Penilain terkait dengan kerasionalan pengobatan
pasien sangat penting untuk dilakukan. Penilain ini berkaitan dengan ketepatan
pemberian terapi obat dengan kondisi pasien sehingga harus dianalisis dan kondisi
pasien juga harus dimonitoring. Metode penilaian ketepatan dan rasionalitas
pengobatan yang diterima pasien dapat dianalisa dengan menggunakan metode 4T +
1W yakni Tepat Indikasi, Tepat Obat, Tepat Dosis, Tepat Pasien dan Waspada Efek
Samping Obat. Berikut adalah penjelasan penilain menggunakan 4T+1W.

29
4.1.1. Tepat Indikasi
Indikasi pemakaian obat secara khusus adalah indikasi medik bahwa
intervensi dengan obat memang diperlukan dan telah diketahui memberikan manfaat
terapetik. Obat yang diresepkan oleh dokter merupakan obat yang memiliki indikasi
yang benar sesuai dengan hasil diagnosa. Penilaian mengenai indikasi obat yang
diberikan kepada pasien sangat penting dilakukan untuk menjamin bahwa pasien
memperoleh obat yang sesuai dengan kebutuhannya. Adanya penggunaan obat yang
tidak rasional dapat terjadi karena keperluan intervensi farmakoterapi dan
kemanfaatannya tidak jelas. Oleh karena itu, dibutuhkan penilaian kesesuaian antara
kondisi klinis pasien (anamnese) dengan obat yang diresepkan oleh dokter. Hasil
anamnese kefarmasian dapat dilihat pada table 4.1.
Tabel 4.1. Indikasi Masing-masing Obat
Data
Indikasi Terkait
Nama Obat Komposisi Indikasi Subjektif dan
Kasus
Objektif
Omeprazole Tiap mL Ulkus Subjektif: Pasien mengeluhkan
mengandung: duodenum, Pasien mual disebabkan
Omeprazole ulkus gaster, mengeluhkan terjadinya iritasi
sodium 42,6 esofagitis mual pada saluran cerna.
mg setara ulseratif dan Anamnese
dengan sindrom Objektif: kefarmasian pasien
omeprazole zolinger-ellison - mengalami tukak
40 mg (PIO Nas, peptic
2015)
Lasix Furosemide Edema jantung, Subjektif: Pasien mengeluh
paru, ginjal, Pasien sesak disebabkan
hati mempunyai pasien mengalami
(Sweetman, Riwayat edema pada paru-
2009) Hipertensi paru, pasien
  didiagnosa

30
Objektif: mengalami dypnea
TD pasien ec CKD stg V
140/80 pada
tanggal 31
Januari 2019
Cefoperazon Cefoperazone Antibiotik Subjektif: Nilai WBC pasien
e golongan - yang berada diatas
sepalosforin rentang normal ini
generasi ketiga Objektif: menandakan adanya
yang sering Nilai leukosit infeksi pada pasien,
digunakan pada (WBC) pasien selain itu pasien juga
pengobatan 25,9 x 103/µL dipasang CAPD
infeksi saluran yang berada sehingga pemberian
pernafasan, diatas nilai antibiotik sangat
infeksi normal penting untuk
intraabdominal, dengan mencegah infeksi
infeksi saluran neutrofil yang berkelanjutan.
kemih tinggi yakni
81,6%
Levofloxacin Levofloxacin Antibiotik Subjektif: Nilai WBC pasien
golongan - yang berada diatas
fluoroqionolon rentang normal ini
yang memiliki Objektif: menandakan adanya
daya Nilai leukosit infeksi pada pasien,
antibakteri (WBC) pasien selain itu pasien juga
yang baik 25,9 x 103/µL dipasang CAPD
terhadap yang berada sehingga pemberian
bakteri gram diatas nilai antibiotik sangat
positif dan normal penting untuk
negatif. dengan mencegah infeksi

31
neutrofil yang berkelanjutan.
tinggi yakni
81,6%
Cedocard IV Isosorbide Pengobatan Subjektif: Pasien mengeluh
1mg infus dinitrate gagal jantung Nyeri dada, nyeri dada.
tidak ada pasien Berdasarkan
respon, mempunyai anamnese
terutama riwayat kefarmasian pasien
setelah infark hipertensi mengalami angina
miokard. pektoris dimana
Mengontrol Objektif: serangan ini
angina pektoris TD pasien dikaitkan dengan
refrakter 140/80 pada Hipertensi dan CKD
(Sweetman, tanggal 31 yang diderita pasien
2009) Januari 2019 yang diduga menjadi
pencetus serangan
angina pectoris pada
pasien
Candesartan Candesartan Pengobatan Subjektif: Pasien mempunyai
16 mg 16 mg hipertensi Pasien riwayat hipertensi
dapat mempunyai dan telah rutin
digunakan Riwayat meminum obat
sebagai terapi Hipertensi antihipertensi yang
tunggal atau mungkin juga dapat
kombinasi Objektif: disebabkan karena
dengan obat TD pasien CKD st V yang
antihipertensi 140/80 pada diderita oleh pasien.
lain seperti tanggal 31 Pasien menggunakan
diuretik tiazid, Januari 2019 obat antihipertensi
beta blocker candesartan dan

32
ACEI, atau amlodipine
CCB (PERKI,
2015)
Clonidine Clonidine Pengobatan Subjektif: Pasien mempunyai
hipertensi Pasien riwayat hipertensi
dapat mempunyai dan telah rutin
digunakan Riwayat meminum obat
sebagai terapi Hipertensi antihipertensi yang
tunggal atau mungkin juga dapat
kombinasi Objektif: disebabkan karena
dengan obat TD pasien CKD st V yang
antihipertensi 140/80 pada diderita oleh pasien.
lain seperti tanggal 31 Pasien menggunakan
diuretik tiazid, Januari 2019 obat antihipertensi
beta blocker candesartan dan
ACEI, atau amlodipine
ARB (PERKI,
2015)
Herbesser Diltiazem Pengobatan Subjektif: Pasien mempunyai
CD200 mg 200 mg hipertensi Pasien riwayat hipertensi
dapat mempunyai dan telah rutin
digunakan Riwayat meminum obat
sebagai terapi Hipertensi antihipertensi yang
tunggal atau mungkin juga dapat
kombinasi Objektif: disebabkan karena
dengan obat TD pasien CKD st V yang
antihipertensi 140/80 pada diderita oleh pasien.
lain seperti tanggal 31 Pasien menggunakan
diuretik tiazid, Januari 2019 obat antihipertensi
beta blocker candesartan dan

33
ACEI, atau amlodipine
ARB (PERKI,
2015)
Allopurinol Allopurinol Hiperurisemia Subjektif: Tidak adanya data
100 mg kronik, - lab terkait dengan
penyakit ginjal kadar asam urat dari
yang Objektif: pasien, pemberian
disebabkan - allopurinol perlu
asam urat, batu dipertimbangkan
asam urat pada
saluran kemih
dan kondisi-
kondisi lain
yang
berhubungan
dengan obat-
obatan untuk
pasien kanker
Asam folat Asam folat 1 Anemia Subjektif: Pasien mengalami
mg megaloblastik Keadaaan CKD stg 5 dan telah
yang umum lemah dipasang CAPD dan
disebabkan Data Hb, Hct,
defisiensi asam Objektif: Eritrosit dibawah
folat (PIO Nas, Hb, Hct, rentang normal dan
2015) Eritrosit nilai MCV diatas
dibawah rentang normal pada
rentang pemeriksaan
normal dan laboratorium tgl 31
nilai MCV Januari 2019.
diatas rentang Anamnese

34
normal pada kefarmasian pasien
pemeriksaan mengalami anemia
laboratorium megaloblastik yang
tgl 31 Januari disebabkan
2019 defisiensi asam folat
Amlodipine Amlodipine Pengobatan Subjektif: Pasien mempunyai
10 mg hipertensi Pasien riwayat hipertensi
dapat mempunyai dan telah rutin
digunakan Riwayat meminum obat
sebagai terapi Hipertensi antihipertensi yang
tunggal atau mungkin juga dapat
kombinasi Objektif: disebabkan karena
dengan obat TD pasien CKD st V yang
antihipertensi 140/80 pada diderita oleh pasien.
lain seperti tanggal 31 Pasien menggunakan
diuretik tiazid, Januari 2019 obat antihipertensi
beta blocker candesartan dan
ACEI, atau amlodipine
ARB (PIO Nas,
2015)
ISDN 5mg Isosorbide Pencegahan Subjektif: Pasien mengalami
dinitrate dan pengobatan Sesak dan sesak dan nyeri pada
serangan Nyeri dada dada. Berdasarkan
angina pectoris anamnese
(PIO Nas, kefarmasian pasien
2015) Objektif: mengalami angina
TD pasien pektoris dimana
140/80 pada serangan ini
tanggal 31 dikaitkan dengan
Januari 2019 Hipertensi dan CKD

35
yang diderita pasien
yang diduga menjadi
pencetus serangan
angina pectoris pada
pasien
Osteocal Ca Carbonate Pencegahan & Subjektif: Pasien dengan CKD
1.250mg pengobatan - stg V akan sangat
(setara defisiensi Ca rentan mengalami
dengan 500 (Rickets, Objektif: hiperfosfatemia.
mg elemen osteomalasia, -
Ca), Vitamin osteoporosis),
D 200 IU, serta untuk
Mg 40mg, memelihara
manga nese 2 kesehatan
mg, Zn tulang dan gigi,
7,5mg, Na hiperfosfatemia
fluoride 1mg (PIO Nas,
2015)

4.1.2. Tepat Obat


Tepat obat adalah kesesuaian obat yang diperoleh pasien dengan kondisi
klinik pasien dan dengan kemampuan ekonomi pasien agar terapi yang diberikan
kepada pasien dapat berkelanjutan dengan baik. Berdasarkan kondisi klinik dari
pasien Dewa Putu Widiatnyana dan disesuaikan dengan obat yang diterimanya baik
selama dirawat di RS datupun setelah KRS telah sesuai, hanya saja ada beberapa obat
yang perlu dipertimbangkan kembali dan didiskusikan kepada dokter untuk
melakukan pengujian terkait indikasi yang ditangani oleh obat tersebut. Seperti
pemberian allopurinol pada pasien yang perlu dilakukan pengujian kadar asam urat
pasien untuk lebih meyakinkan bahwa pemberian allopurinol memang tepat dengan
kondisi pasien. Selain itu obat yang diterima oleh pasien ini juga sudah sesuai dengan

36
kemampuan ekonomi dari pasien, dimana seluruh pengobatan pasien ini ditanggung
oleh BPJS dari pasien tersebut sehingga keberlangsungan terapi yang diterima pasien
akan dapat dimaksimalkan. Berdasarkan hal ini maka Tepat obat telah terpenuhi.

4.1.3. Tepat Dosis


Tepat dosis adalah jumlah obat atau dosis yang diresepkan kepada pasien sesuai
dengan kebutuhan individual dari pasien dan dosis yang diberikan berada dalam
rentang terapi yang berdasarkan pertimbangan farmakokinetika, yang menandakan
adanya kemungkinan terjadinya interaksi bila diberikan obat lebih dari satu.
a. Besar dosis : tergantung usia, fungsi organ hepar, ginjal, jantung, jenis infeksi
dan penetrasi obat ke tempat infeksi.
b. Frekuensi/interval pemberian : tergantung waktu paruh obat, kadar obat dalam
plasma (KOP).
c. Cara/rute pemberian : tergantung derajat berat gejala klinik penyakit berat
butuh waktu cepat untuk mencapai kadar obat dalam plasma sehingga cepat
meredakan penderitaan pasien; kemampuan pasien meminum obat lewat
mulut (kesadaran pasien, keadaan fisik pasien, kemampuan absorpsi saluran
cerna).
d. Lama pemberian : tergantung pada respon/perbaikan gejala klinik,
mikrobiologik, ataupun radiologik.
Berikut adalah perbandingan kesesuaian dosis peresepan dengan dosis pustaka.
Tabel 4.2 Tepat Dosis
No Nama Obat Dosis Lazim Dosis Pemakaian Keterangan
1 Omeprazole 20-40 mg 40 mg Dosis Sesuai
2 Furosemid 20 – 80 mg 20 mg Dosis Sesuai
3 Cefoperazone 2 – 4 gram 2 x 1 gram Dosis Sesuai
4 Levofloxacin 250-500 mg 1 x 500 mg Tidak Perlu
(Perlu penyesuaian
Penyesuaian Dosis pada
Dosis Pasien Pasien CKD st
CKD) V (Dosis sesuai)

37
5 ISDN 5-20 mg 2 x 5 mg Dosis Sesuai
6 Candesartan 8-32 mg 2 x 16 mg Dosis Sesuai
7 Clonidine 0,2-0,6 mg 2 x 0,15 mg Dosis Sesuai
8 Herbesser CD 100-200 mg 1 x 200 mg Dosis Sesuai
200
9 Allopurinol 100-300 mg 1 x 100 mg Dosis Sesuai
10 Asam folat 0,4 – 1 mg 2 x 1 mg Dosis Sesuai
11 Amlodipin 5-20 mg 2 x 10 mg Dosis sesuai
12 Osteocal 1-1,12 g 2 x 500 mg Dosis Sesuai
(kalsium
Karbonat

4.1.4. Tepat Pasien


Resep yang dituliskan dokter harus berisi obat – obatan dengan pertimbangan
kondisi individu serta tidak ada kontraindikasi terhadap kondisi pasien dengan efek
samping yang minimal. Berdasarkan bentuk sediaan yang diberikan kepada pasien
tersebut adalah secara intravena dan peroral. Pemilihan bentuk sediaan intravena tepat
untuk kondisi pasien yang membutuhkan penanganan cepat dan respon terapi yang
cepat. Pasien pada kasus ini tidak memiliki alergi obat dan tidak ada riwayat penyakit
menyertai, sehingga dengan mempertimbangkan kondisi individu yang bersangkutan
dapat disimpulkan resep ini sudah tepat pasien. Bentuk sediaan yang diberikan
kepada pasien adalah dalam bentuk tablet. Pasien merupakan pasien dewasa yang
dapat menggunakan obat dalam bentuk tablet dengan baik dan tidak ada keluhan dari
pasien dalam penggunanaan bentuk sediaan tersebut (Menkes RI, 2011).

4.1.5. Waspada Efek Samping Obat


Pemberian obat potensial menimbulkan efek samping, yaitu efek tidak
diinginkan yang timbul pada pemberian obat dengan dosis terapi (Menkes RI, 2011).
Waspada terhadap efek samping obat perlu dijadikan pertimbangan dalam penilaian
ketepatan pengobatan. Apabila pasien tidak mengetahui efek samping obat maka
kemungkinan pasien akan berhenti menggunakan obat apabila efek samping tersebut
muncul, terutama jika efek samping tersebut mengganggu kenyamanan pasien dalam

38
beraktivitas. Hal-hal yang berkaitan mengenai efek samping penggunaan obat harus
disampaikan kepada pasien dan cara menangani efek samping tersebut. Berikut efek
samping pada masing – masing penggunaan obat berdasarkan resep ditunjukkan pada
Tabel 4.3.
Tabel 4.3 Waspada Efek Samping
Nama Obat Efek Samping
Omeprazole Sakit kepala, Sembelit atau konstipasi, Diare, Sakit perut,
Nyeri sendi, Sakit tenggorokan, Kram otot dan Hilang
selera makan (Lacy et al., 2009)
Furosemid hipokalemia (kadar kalium yang rendah di darah), dan
peningkatan kadar asam urat, hipotensi (Lacy et al.,
2009).
Cefoperazone Gangguan saluran cerna dan gangguan hematologi
Levofloxacin Diare, mual, ruam, nyeri abdomen, pusing, insomnia,
konstipasi, edema
ISDN Sakit kepala, mual dan ruam (BNF, 2009).
Candesartan Gatal, sulit bernafas, bengkak pada wajah dan bibir serta
nyeri dada
Clonidine Gangguan pada kulit dan mulut kering
Herbesser CD 200 Bradikardi, pusing, sakit kepala, jantung berdebar dan
depresi
Allopurinol Ruam, mual, gagal ginjal dan muntah (BNF, 2009).
Asam folat Brochospasm, erythema, malaise, pruritus dan ruam
(BNF, 2009).
Amlodipine Nyeri abdomen, mual, palpitasi, wajah memerah, edema,
gangguan tidur, sakit kepala, pusing, letih (BNF, 2009).
Osteocal Kembung, diare, atau konstipasi (BNF, 2009).

4.2. Drug Related Problem


Tabel 4.4. Drug Related Problem
Kode
No Tanggal Uraian Masalah Rekomendasi/Saran
Masalah
1 31 Januari 1 Tidak ada indikasi Perlu dipertimbangkan
2019 pendarahan saluran pemberian omeprazol

39
cerna, pasien hanya injeksi dan dapat
mengalami mual diganti dengan obat
ranitidine atau
domperidon
2 31 Januari 1 Tidak ada indikasi asam Perlu dilakukan
2019 urat pengujian kadar asam
urat pasien sehingga
pemberian allopurinol
perlu dipertimbangkan
kembali
3 31 Januari 1 Tidak ada indikasi Perlu dilakukan
2019 hiperfosfatemia pengujian fosfat untuk
mengetahui apakah
pasien mengalami
hiperfosfat sehingga
pemberian CaCo3
efektif pada pasien
CKD
4 1 Februari 1 Pasien masih mengalami Perlu dikonsultasikan
2019 mual ke dokter untuk
pemberian obat
antimual seperti
domperidon
5 4 Februari 1 Berdasarkan hasil Perlu dikonsultasikan
2019 laboratorium tgl 4 ke dokter terkait
Januari 2019 dengan kelanjutan
menunjukkan terjadinya pemberian tranfusi
penurunan Hb pasien PRC
yakni 9,5 yang berada
dibawah nilai normal,
berdasarkan anamnese

40
kefarmasian, pasien
mengalami anemia
KRS
6 8 Februari 1 Pasien didiagnosa Perlu dilakukan foto
2019 sekunder mengalami thorac dan kultur
pneumonia darah pasien untuk
lebih memastikan
diagnosa pasien
7 8 Februari 1 Tidak ada indikasi asam Perlu dilakukan
2019 urat pengujian kadar asam
urat pasien sehingga
pemberian allopurinol
perlu dipertimbangkan
kembali pengujian
kadar asam urat pasien
sehingga pemberian
allopurinol perlu
dipertimbangkan
kembali

Pasien masuk rumah sakit pada tanggal 31 Januari 2019 dengan diagnosa
dyspnea et causa CKD stage V. Kemudian pengamatan terhadap profil pengobatan
pasien dilakukan selama selama 9 hari dari tanggal 31 Januari 2019 hingga 8 Februari
2019. Penilaian pengobatan yang rasional yang pertama yaitu sesuai dengan indikasi
obat yang diberikan pasa pasien. Pada tanggal 9 Februari 2018, kondisi umum pasien
lemah dan pasien mengalami sesak. Sesak pada pasien ini disebabkan karena adanya
edema paru-paru pada pasien sehingga keseimbangan cairan tubuh dari pasien ini
harus terus dipantau dengan cermat, Berdasarkan hal ini maka pasien diberikan terapi
obat diuretik yakni furosemid injeksi dan drip furosemid (Sweetman, 2009).
Salah satu manifestasi klinis yang sering dijumpai pada penderita CKD ialah
edema paru. Berdasarkan mekanisme yang mendasarinya, edema paru pada pasien

41
dengan penyakit ginjal secara umum dibedakan menjadi: (1) edema paru renal primer
dan (2) edema paru sekunder sebagai konsekuensi renal dan jantung. Edema paru
renal secara klasik berkaitan dengan adanya kelebihan volume cairan ekstraseluler
sebagai akibat dari kegagalan eksresi air dan natrium. Edema paru mikrovaskular
merupakan bentuk edema paru renal primer lainnya, yang terjadi akibat adanya
peningkatan permeabilitas kapiler paru, yang mungkin disebabkan karena penurunan
tekanan onkotik plasma. Sedangkan edema paru sekunder sebagai konsekuensi ginjal
dan jantung biasanya merupakan komplikasi dari kelainan jantung yang telah ada
sebelumnya, misalnya akibat kardiomiopati hipertensif, anemik, maupun uremikum.
Pada CKD, mekanisme utama yang mendasari terjadinya edema paru ialah fluid
overload akibat retensi cairan dan natrium. Akibatnya terjadi peningkatan tekanan
hidrostatik pada kapiler paru yang diikuti oleh terjadinya transudasi cairan dari
kapiler paru ke dalam ruang interstisial maupun alveolus paru. Adanya cairan yang
mengisi ruang alveolus mengakibatkan gangguan pada proses difusi gas, dari alveolus
ke kapiler paru (Leni dkk., 2015).
Secara klinis, keadasan ini ditandai oleh adanya keluhan sesak nafas, rhonki
pada pemeriksaan fisik yang mengarah pada kesan suatu edema paru. Pada kasus ini,
pasien mengeluh sesak nafas. Pembatasan asupan air pada pasien CKD sangat perlu
dilakukan untuk mencegah terjadinya edema dan komplikasi kardiovaskuler. Air
yang masuk ke dalam tubuh dibuat seimbang dengan air yang keluar baik melalui
urin maupun insesible water loss (IWL) antara 500 sampai 800 ml/hari (sesuai
dengan luas permukaan tubuh) maka air yang masuk dianjurkan 500 sampai 800 ml
ditambah jumlah urin per hari (Leni dkk., 2015).
Pasien Dewa Putu Widiatnyana ini memiliki riwayat CKD stage V dan telah
rutin melakukan CAPD. Dalam tatalaksana terapi pasien dengan CKD stage V, hal
yang terpenting adalah harus diperhatikan terapi spesifik terhadap penyakit dasarnya,
pencegahan dan terapi terhadap faktor komorbid yang mungkin dapat terjadi yakni
gangguan keseimbangan cairan, hipertensi yang tidak terkontrol, infeksi traktus
urinarius. Hal lain yang perlu diperhatikan dengan tujuan dapat memperlambat
perburukan fungsi ginjal, pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular

42
(pengendalian hipertensi, anemia, hiperfosfatemia, dan terapi terhadap kelebihan
cairan dan gangguan keseimbangan elektrolit) dan pencegahan dan terapi terhadap
komplikasi (anemia, osteodistrofi renal, pembatasan cairan dan elektrolit)
Pada kasus ini, karena pasien menderita CKD stage V, maka telah terjadi
kegagalan fungsi ginjal untuk melakukan tugasnya. Sehingga penatalaksanaan utama
pada pasien ini ialah terapi pengganti cairan tubuh secara rutin dengan CAPD. CAPD
ini dapat dilakukan oleh pasien sendiri ataupun dengan bantuan orang lain namun
dengan kondisi yang harus steril untuk mencegah terjadinya kontaminasi. Selain itu
hal utama yang harus dilakukan terapi adalah kemungkinan adanya gejala penyakit
lain yang harus segera tertangani untuk mencegah adanya komplikasi penyakit lain.
Pasien juga mempunyai riwayat Hipertensi, sehingga hasru ditangani dengan baik
terkait dengan hipertensi yang diderita oleh pasien. Kontrol terhadap tekanan darah
sangat penting, tidak hanya untuk menghambat perburukan CKD, tetapi juga untuk
mengurangi risiko penyakit kardiovaskuler. Penatalaksanaan hipertensi pada pasien
CKD berupa diet rendah garam dan pemberian obat antihipertensi golongan ARB dan
atau Calcium-Channel Blocker (CCB). ARB dan CCB merupakan pilihan obat
antihipertensi untuk pasien CKD karena keduanya mengurangi hipertensi glomerulus
melalui 2 mekanisme, yaitu: (1) menurunkan tekanan darah sistemik dan
menyebabkan vasodilatasi arteriol eferen; dan (2) meningkatkan permeabilitas
membran glomerulus dan menurunkan produksi sitokin fibrogenik. Adapun target
penurunan tekanan darah yang ingin dicapai pada pasien CKD, tergantung pada kadar
protein dalam urin pasien. Pada pasien dengan kadar protein urin > 1 gr/hari, target
tekanan darah yang diinginkan ialah < 125/75 mmHg, sedangkan bila kadar protein
dalam urin < 1 gr/hari, target penurunan tekanan darah yang diharapkan ialah <
130/80 mmHg (Depkes RI, 2006). Penanganan hipertensi pada pada kasus ini dengan
terapi obat anti hipertensi kombinasi yakni golongan ARB (Valsartan), golongan
CCB (amlodipin dan diltiazem) serta golongan agonis alfa pusat (clonidine). Pada
hipertensi dengan penyakit CKD, terapi yang dapat digunakan untuk menjaga kondisi
pasien yakni kombinasi obat golongan ARB, CCB atau ACEi dengan tambahan yakni
agonis alfa pusat (Dipiro et al., 2015)

43
Pada kasus ini, pasien juga mengalami anemia ringan normokromik
normositer (Hb 8,12 gr/dL, HCT 25,0%, MCV 93,0 µm3. Penyebab anemia ini masih
harus ditelusuridengan pemeriksaan penunjang yang yang dapat dilakukan adalah
pemeriksaan status besi (SI/TIBC/serum ferritin) untuk menyingkirkan kemungkinan
defisiensi besi sebagai penyebab anemia pada pasien ini. Pasien CKD diindikasikan
mengalami anemia ketika kadar Hemoglobin pasien < 10 gr/dL. Dimana target terapi
anemia ini adalah tercapainya kadar hemoglobin 11-12 gr/dL. Terapi yang dapat
diberikan pada pasien CKD yang mengalami anemia adalah pemberian tranfusi PRC.
Namun, pemberian tranfusi PRC pada pasien CKD harus diperhatikan dengan cermat.
Tranfusi darah yang dilakukan secara tidak cermat dapat mengakibatkan kelebihan
cairan tubuh dan hyperkalemia yang kita ketahui menyebabkan perburukan fungsi
ginjal (Leni dkk., 2015).
Anemia terjadi pada 80-90% pasien CKD. Mekanisme terjadinya anemia pada
CKD terutama disebabkan oleh defisiensi eritropoetin akibat menurunnya fungsi
ginjal. Hal-hal yang lain yang ikut berperan dalam terjadinya anemia adalah:
defisiensi besi, kehilangan darah (misalnya akibat perdarahan saluran cerna atau
hematuria), massa hidup eritrosit yang pendek akibat terjadinya hemolisis, defisiensi
asam folat, penekanan sumsum tulang oleh substansi uremik, proses inflamasi akut
maupun kronik. Evaluasi terhadap anemia dimulai saat kadar hemoglobin ≤ 10 gr %
atau HCT ≤ 30% yang meliputi evaluasi terhadap status besi (SI/TIBC/ferritin),
mencari sumber perdarahan, morfologi eritrosit, serta kemungkinan adanya hemolisis.
Pemberian asam folat merupakan salah satu cara untuk mencegah terjadinya
hiperhomosisteinemia pada pasien CKD, karena asam folat merupakan salah satu
substansi penting yang diperlukan dalam metabolise homosistein. Fungsi dari asam
folat ini adalah untuk mematangkan sel-sel eritrosit yang telah diproduksi di sumsum
tulang belakang.
Menurunnya ekskresi fosfat, khususnya ketika asupan berlebihan dari fosfat
merupakan mekanisme umum perkembangan hiperfosfatemia. Penyebab paling
umum menurunnya ekskresi fosfat pada renal adalah gagal ginjal, akut atau kronis,
pada segala penyebab. Ketika fungsi ginjal berkurang 40-50 %, penurunan jumlah

44
jaringan ginjal yang berfungsi tidak dapat mengeksresi sepenuhnya fosfat yang
masuk ke tubuh untuk mempertahankan homeostasis sehingga berkembangnya
hiperfosfatemia. Hiperfosfat dapat berlangsung lama ketika pasien dengan penyakit
gagal ginjal yang memerlukan hemodialysis. Hiperfosfatemia khususnya jika
berlangsung pada waktu yang lama dapat memicu soft-tissue calcification yang
merupakan deposisi kalsium fosfat pada jaringan tertentu. Deposisi kalsium dapat
terjadi pada mata, sendi, dan sistem vascular. Deposisi kalsium pada sendi dapat
menyebabkan sendi membesar dan sakit, dan gerak menjadi terbatas (MedScape,
2019).
Individu dengan penurunan fungsi ginjal atau gagal ginjal memerlukan
tambahan pengikat fosfat untuk menghambat absorpsi fosfat pada pencernaan. Salah
satu pengikat fosfat yaitu kalsium yang mengandung pengikat contohnya adalah
kalsium karbonat dan kalsium sitrat. Obat ini telah digunakn secara luas, mempunyai
keuntungan dengan menghambat absorpsi fosfat dan memberikan asupan kalsium
kepada pasien. Kekurangan dari pengobatan ini yaitu tingkat insiden terjadinya
hiperkalsemia pada pasien (MedScape, 2019). Penggunaan Osteocal yang
mengandung kalsium karbonat pada pasien gagal ginjal perlu dipertimbangkan
kembali, perlu dilakukan pengujian kadar forfat dari pasien. Kandung karbonat
digunakan untuk mengikat fosfat dan kalsium untuk nutrisi pada sendi dan tulang.
Banyaknya fosfat secara bebas pada tubuh dapat memicu pengeroposan tulang karena
fosfat lebih mudah terikat pada tulang dibandingkan kalsium sehingga dengan adanya
pengikat fosfat nutrisi kalsium lebih mudah diserap tubuh untuk mencegah
pengeroposan tulang.

4.3. Plan
Tabel 4.5. Plan
Pharmaco- Recommen- Monitoring
Health Desired Monitoring
No therapeutic ded for Parameter
Care Need Endpoin’s Frequency
Goal Therapy s
1. Mencegah Infeksi dapat Cefoperazon Suhu Tubuh 36,5-37,5 Tiap hari
terjadinya dicegah dan WBC 3,7-10,1x 3x

45
infeksi Levofloxacin 103 U/L seminggu
RR 20 Tiap hari
Nadi 60-80 Tiap hari
2. Mengontrol Tekanan Kombinasi BP <140/90 Tiap Hari
tekanan darah clonidine, mmHg
darah terkontrol candesartan,
amlodipine,
dan herbesser

3. Mengatasi Nyeri dada ISDN ECG Normal Tiap hari


serangan teratasi Nyeri dada Tidak
nyeri dada mengalami
nyeri dada
4. Mengatasi Anemia Transfusi Hgb 13 – 16 3x
anemia teratasi PRC dan g/dL seminggu
Asam Folat Hct 40 – 48 % 3x
seminggu
MCV 82 - 92 fL 3x
seminggu
KRS
1. Mencegah Infeksi dapat Levofloxacin Suhu 36,5-37,5 Tiap hari
terjadinya dicegah Tubuh
infeksi WBC 3,7-10,1x 3x
103 U/L seminggu
RR 20 Tiap hari
Nadi 60-80 Tiap hari
2. Melakukan Mengontrol CAPD BUN 10-20 3x
terapi fungsi organ mg/dL seminggu
dialisis pada ginjal Kreatinin 0,6-1,3 3x
CKD mg/dL seminggu
3. Mengontrol Tekanan Kombinasi BP <140/90 Tiap Hari
tekanan darah Clonidine, mmHg
darah terkontrol Candesartan,
Amlodipine,
dan
Herbesser
4. Mengatasi Anemia Asam Folat Hgb 13 – 16 3x
anemia teratasi g/dL seminggu
Hct 40 – 48 % 3x
seminggu
MCV 82 - 92 fL 3x
seminggu
5. Mengatasi Nyeri dada ISDN ECG Normal Tiap hari

46
serangan teratasi Nyeri dada Tidak Tiap hari
nyeri dada mengalami
nyeri dada

4.4. KIE
a. Apoteker menyampaikan pentingnya kepatuhan pengobatan penyakit dasar
maupun komplikasi CKD dengan menggunakan metode Dagusibu. Dagusibu
merupakan langkah penanganan obat sebagai singkatan dari Dapatkan,
Gunakan, Simpan, dan Buang (Yati, dkk., 2018).
 Levofloxacin Tablet 500 mg
Penggunaan : 1 x 500 mg, dikonsumsi pada pagi hari, setelah makan
Penyimpanan : Obat baik disimpan pada suhu ruangan, jauhkan dari
cahaya
langsung dan tempat yang lembab.
Pembuangan : Obat dibuang sesuai masa berlaku obat. Obat yang
terlanjur sudah dibuka memiliki beyond used date/ masa
berlaku selama 1 bulan setelah terkena udara luar untuk
sediaan tablet. Obat tidak boleh dibuang langsung kedalam
toilet atau kesaluran pembuangan. Obat dapat dibuang
ketempat sampah dengan mencampurnya bersama
substansi lain (seperti ampas kopi, sampah makanan, atau
kotoran hewan), obat dibungkus dengan wadah kedap
udara atau zip-top, dan menghilangkan identitas pasien
dengan mencabut atau mencoret identitas pasien pada
kemasan obat.
 Candesartan Tablet 16 mg
Penggunaan : 2 x 16 mg, dikonsumsi pada pagi dan malam hari, setelah
makan
Penyimpanan : Obat baik disimpan pada suhu ruangan, jauhkan dari
cahaya
langsung dan tempat yang lembab.

47
Pembuangan : Obat dibuang sesuai masa berlaku obat. Obat yang
terlanjur sudah dibuka memiliki beyond used date/ masa
berlaku selama 1 bulan setelah terkena udara luar untuk
sediaan tablet. Obat tidak boleh dibuang langsung kedalam
toilet atau kesaluran pembuangan. Obat dapat dibuang
ketempat sampah dengan mencampurnya bersama
substansi lain (seperti ampas kopi, sampah makanan, atau
kotoran hewan), obat dibungkus dengan wadah kedap
udara atau zip-top, dan menghilangkan identitas pasien
dengan mencabut atau mencoret identitas pasien pada
kemasan obat.
 Clonidin Tablet 0,15 mg
Penggunaan : 2 x 0,15 mg, dikonsumsi pada pagi dan malam hari, setelah
makan
Penyimpanan : Obat baik disimpan pada suhu ruangan, jauhkan dari
cahaya
langsung dan tempat yang lembab.
Pembuangan : Obat dibuang sesuai masa berlaku obat. Obat yang
terlanjur sudah dibuka memiliki beyond used date/ masa
berlaku selama 1 bulan setelah terkena udara luar untuk
sediaan tablet. Obat tidak boleh dibuang langsung kedalam
toilet atau kesaluran pembuangan. Obat dapat dibuang
ketempat sampah dengan mencampurnya bersama
substansi lain (seperti ampas kopi, sampah makanan, atau
kotoran hewan), obat dibungkus dengan wadah kedap
udara atau zip-top, dan menghilangkan identitas pasien
dengan mencabut atau mencoret identitas pasien pada
kemasan obat.
 Herbesser CD Kapsul 200 mg
Penggunaan : 1 x 200 mg, dikonsumsi pada siang hari, setelah makan

48
Penyimpanan : Obat baik disimpan pada suhu ruangan, jauhkan dari
cahaya
langsung dan tempat yang lembab.
Pembuangan : Obat dibuang sesuai masa berlaku obat. Obat yang
terlanjur sudah dibuka memiliki beyond used date/ masa
berlaku selama 1 bulan setelah terkena udara luar untuk
sediaan tablet. Obat tidak boleh dibuang langsung kedalam
toilet atau kesaluran pembuangan. Obat dapat dibuang
ketempat sampah dengan mencampurnya bersama
substansi lain (seperti ampas kopi, sampah makanan, atau
kotoran hewan), obat dibungkus dengan wadah kedap
udara atau zip-top, dan menghilangkan identitas pasien
dengan mencabut atau mencoret identitas pasien pada
kemasan obat.
 Allopurinol Tablet 100 mg
Penggunaan : 1 x 100 mg, dikonsumsi pada pagi hari, setelah makan
Penyimpanan : Obat baik disimpan pada suhu ruangan, jauhkan dari
cahaya
langsung dan tempat yang lembab.
Pembuangan : Obat dibuang sesuai masa berlaku obat. Obat yang
terlanjur sudah dibuka memiliki beyond used date/ masa
berlaku selama 1 bulan setelah terkena udara luar untuk
sediaan tablet. Obat tidak boleh dibuang langsung kedalam
toilet atau kesaluran pembuangan. Obat dapat dibuang
ketempat sampah dengan mencampurnya bersama
substansi lain (seperti ampas kopi, sampah makanan, atau
kotoran hewan), obat dibungkus dengan wadah kedap
udara atau zip-top, dan menghilangkan identitas pasien
dengan mencabut atau mencoret identitas pasien pada
kemasan obat.

49
 Asam Folat Tablet 1 mg
Penggunaan : 2 x 1 mg, dikonsumsi pada pagi dan malam hari, setelah
makan
Penyimpanan : Obat baik disimpan pada suhu ruangan, jauhkan dari
cahaya
langsung dan tempat yang lembab.
Pembuangan : Obat dibuang sesuai masa berlaku obat. Obat yang
terlanjur sudah dibuka memiliki beyond used date/ masa
berlaku selama 1 bulan setelah terkena udara luar untuk
sediaan tablet. Obat tidak boleh dibuang langsung kedalam
toilet atau kesaluran pembuangan. Obat dapat dibuang
ketempat sampah dengan mencampurnya bersama
substansi lain (seperti ampas kopi, sampah makanan, atau
kotoran hewan), obat dibungkus dengan wadah kedap
udara atau zip-top, dan menghilangkan identitas pasien
dengan mencabut atau mencoret identitas pasien pada
kemasan obat.
 Amlodipine Tablet 10 mg
Penggunaan : 1 x 10 mg, dikonsumsi pada pagi dan malam hari, setelah
makan
Penyimpanan : Obat baik disimpan pada suhu ruangan, jauhkan dari
cahaya
langsung dan tempat yang lembab.
Pembuangan : Obat dibuang sesuai masa berlaku obat. Obat yang
terlanjur sudah dibuka memiliki beyond used date/ masa
berlaku selama 1 bulan setelah terkena udara luar untuk
sediaan tablet. Obat tidak boleh dibuang langsung kedalam
toilet atau kesaluran pembuangan. Obat dapat dibuang
ketempat sampah dengan mencampurnya bersama
substansi lain (seperti ampas kopi, sampah makanan, atau

50
kotoran hewan), obat dibungkus dengan wadah kedap
udara atau zip-top, dan menghilangkan identitas pasien
dengan mencabut atau mencoret identitas pasien pada
kemasan obat.
 ISDN Tablet 5 mg
Penggunaan : 2 x 5 mg, dikonsumsi pada pagi dan malam hari, setelah
makan
Penyimpanan : Obat baik disimpan pada suhu ruangan, jauhkan dari
cahaya
langsung dan tempat yang lembab.
Pembuangan : Obat dibuang sesuai masa berlaku obat. Obat yang
terlanjur sudah dibuka memiliki beyond used date/ masa
berlaku selama 1 bulan setelah terkena udara luar untuk
sediaan tablet. Obat tidak boleh dibuang langsung kedalam
toilet atau kesaluran pembuangan. Obat dapat dibuang
ketempat sampah dengan mencampurnya bersama
substansi lain (seperti ampas kopi, sampah makanan, atau
kotoran hewan), obat dibungkus dengan wadah kedap
udara atau zip-top, dan menghilangkan identitas pasien
dengan mencabut atau mencoret identitas pasien pada
kemasan obat.
b. Apoteker mengupayakan pencegahan perburukan kondisi ginjal secara cepat
dengan pengaturan diet tinggi kalori, rendah protein dan rendah garam kepada
pasien.

4.5. Analisa Farmakoekonomi


Farmakoekonomi merupakan multidisiplin ilmu yang mencakup ilmu ekonomi
dan kesehatan yang bertujuan meningkatkan taraf kesehatan dengan meningkatkan
efektivitas perawatan kesehatan. Farmakoekonomi mengidentifikasi, mengukur, dan
membandingkan biaya (sumber daya yang digunakan) dengan konsekuensi (klinik,

51
ekonomik, humanistik) dari produk pelayanan farmasi. Analisis farmakoekonomi
memungkinkan apoteker untuk membuat keputusan penting tentang penentuan
formularium manajemen penyakit dan penilaian pengobatan (Andayani, 2013;
Khoiriyah dan Lestari, 2018).
Bootman et al., (2005) menyatakan bahwa biaya yang terkait dengan
kesehatan dapat diklasifikasikan menjadi empat kategori yaitu biaya medik langsung
(direct medical cost), biaya nonmedik langsung (direct nonmedical cost), biaya tidak
langsung (indirect cost) dan biaya tidak teraba (intangible cost).
a. Biaya medik langsung
Biaya medik langsung adalah biaya yang terkait langsung dengan terapi,
termasuk biaya obat dan perbekalan kesehatan, biaya jasa perawat, biaya konsultasi
dokter, penggunaan fasilitas rumah sakit (kamar rawat inap, peralatan), uji
laboratorium, dan biaya kesehatan lainnya. Contoh biaya yang digunakan untuk
kemoterapi meliputi biaya produk kemoterapi, obat lain yang digunakan untuk
mengatasi efek samping kemoterapi, pemeriksaan laboratorium, alat untuk pemberian
intravena, biaya klinik, dan kunjungan dokter (Andayani, 2013).
b. Biaya nonmedik langsung
Biaya nonmedik langsung adalah biaya yang terkait langsung dengan perawatan
pasien, tetapi tidak terkait langsung dengan terapi. Contoh dari biaya nonmedik
langsung yaitu biaya trasportasi pasien menuju atau dari praktek dokter, klinik atau
rumah sakit, makanan, jasa pelayanan kepada anak pasien, biaya penginapan yang
dibutuhkan pasien dan keluarga selama terapi di luar kota (Andayani, 2013).
c. Biaya tidak langsung atau biaya produktivitas
Istilah biaya tidak langsung digunakan untuk menilai produktivitas yang hilang
terkait dengan penyakit atau kematian. Biaya tidak langsung dalam akutansi mengacu
pada aktivitas tambahan atau pendukung yang dibutuhkan unit pengguna, sehingga
digunakan untuk dalam istilah biaya produktivitas yang terkait dengan morbiditas dan
mortalitas. Biaya produktivitas digolongkan menjadi dua macam, yaitu biaya
morbiditas (waktu bekerja yang hilang karena sakit atau ketidakmampuan) dan biaya
mortalitas yang disebabkan karena kematian dini. Contoh pada kemoterapi, biaya

52
tidak langsung yang disebabkan hilangnya waktu pasien untuk bekerja atau hilangnya
produktivitas karena pengaruh penyakit atau terapi yang diterima (Andayani, 2013).
d. Biaya tidak teraba
Biaya tidak teraba adalah biaya yang sulit diukur dalam unit moneter (rupiah).
Misalnya rasa nyeri, sakit, cemas, atau lemah yang terjadi karena penyakit atau terapi
suatu penyakit. Tipe biaya sukar dikonversikan dalam bentuk rupiah, sehingga sering
diabaikan (Andayani, 2013).
Kunci utama dari kajian farmakoekonomi adalah efisiensi dengan berbagai
strategi yang dapat dilakukan untuk mendapatkan manfaat semaksimal mungkin
dengan sumber daya yang digunakan (Khoiriyah dan Lestari, 2018). Analisis
farmakoekonomi ini dilakukan dengan perhitungan biaya yang dikeluarkan untuk
pengobatan pasien pada tanggal 31 Januari 2018 sampai dengan 8 Februari 2018,
yang dapat dilihat pada table 4.6.
Tabel 4.6. Daftar Pembelian dan Harga Total Obat yang digunakan Pasien Selama
Sembilan Hari di Rumah Sakit
Harga Total
Hari/Tanggal Nama Barang Jumlah Barang yang
digunakan
31 Januari 2019 Omeprasol 1 amp 12.669
Furosemide 2 amp 2.007
Cefoperazone 2 tab 37.530
Levofloxacin 1 fls 28.567
RL 12 tetes/menit 9.152
Cedocard 2 amp -
Candesartan 16 mg 2 tab 2.298
Clonidine 2 tab 446
Herbesser CD200 mg 1 tab 6.188
Allopurinol 100 mg 1 tab 127
Asam Folat 20 mg 2 tab 180
Amlodipine 10 mg 2 tab 744
ISDN 2 tab 228
Osteocal 2 tab 13.728
Transfusi PRL 2 kolf -
Total 113.864
1 Februari 2019 Cefoperazone 2 tab 37.530
Levofloxacin 1 fls 28.567

53
RL 12 tetes/menit 9.152
Cedocard 2 amp -
Candesartan 16 mg 2 tab 2.298
Clonidine 2 tab 446
Herbesser CD200 mg 1 tab 6.188
Allopurinol 100 mg 1 tab 127
Asam Folat 20 mg 2 tab 180
Amlodipine 10 mg 2 tab 744
ISDN 2 tab 228
Osteocal 2 tab 13.728
Transfusi PRL 2 kolf -
Total 99.188
2 Februari 2019 Cefoperazone 2 tab 37.530
Levofloxacin 1 fls 28.567
RL 12 tetes/menit 9.152
Cedocard 2 amp -
Candesartan 16 mg 2 tab 2.298
Clonidine 2 tab 446
Herbesser CD200 mg 1 tab 6.188
Allopurinol 100 mg 1 tab 127
Asam Folat 20 mg 2 tab 180
Amlodipine 10 mg 2 tab 744
ISDN 2 tab 228
Osteocal 2 tab 13.728
Transfusi PRL 2 kolf -
Total 99.188
3 Februari 2019 Cefoperazone 2 tab 37.530
Levofloxacin 1 fls 28.567
RL 12 tetes/menit 9.152
Cedocard 2 amp -
Candesartan 16 mg 2 tab 2.298
Clonidine 2 tab 446
Herbesser CD200 mg 1 tab 6.188
Allopurinol 100 mg 1 tab 127
Asam Folat 20 mg 2 tab 180
Amlodipine 10 mg 2 tab 744
ISDN 2 tab 228
Osteocal 2 tab 13.728
Total 99.188
4 Februari 2019 Cefoperazone 2 tab 37.530
Levofloxacin 1 fls 28.567
RL 12 tetes/menit 9.152
Cedocard 2 amp -

54
Candesartan 16 mg 2 tab 2.298
Clonidine 2 tab 446
Herbesser CD200 mg 1 tab 6.188
Allopurinol 100 mg 1 tab 127
Asam Folat 20 mg 2 tab 180
Amlodipine 10 mg 2 tab 744
ISDN 2 tab 228
Osteocal 2 tab 13.728
Total 99.188
5 Februari 2019 Cefoperazone 2 tab 37.530
LevofloxacinK 1 fls 28.567
RL 12 tetes/menit 9.152
Cedocard 2 amp -
Candesartan 16 mg 2 tab 2.298
Clonidine 2 tab 446
Herbesser CD200 mg 1 tab 6.188
Allopurinol 100 mg 1 tab 127
Asam Folat 20 mg 2 tab 180
Amlodipine 10 mg 2 tab 744
ISDN 2 tab 228
Total 85.460
6 Februari 2019 Cefoperazone 2 tab 37.530
Levofloxacin 1 fls 28.567
RL 12 tetes/menit 9.152
Cedocard 2 amp -
Candesartan 16 mg 2 tab 2.298
Clonidine 2 tab 446
Herbesser CD200 mg 1 tab 6.188
Allopurinol 100 mg 1 tab 127
Asam Folat 20 mg 2 tab 180
Amlodipine 10 mg 2 tab 744
ISDN 2 tab 228
Total 85.460
7 Februari 2019 Cefoperazone 2 tab 37.530
Levofloxacin 1 fls 28.567
RL 12 tetes/menit 9.152
Cedocard 2 amp -
Candesartan 16 mg 2 tab 2.298
Clonidine 2 tab 446
Herbesser CD200 mg 1 tab 6.188
Allopurinol 100 mg 1 tab 127
Asam Folat 20 mg 2 tab 180
Amlodipine 10 mg 2 tab 744

55
ISDN 2 tab 228
Total 85.460
8 Februari 2018 RL 12 tetes/menit 9.125
Cedocard 2 amp -
Candesartan 16 mg 2 tab 1.149
Clonidine 2 tab 223
Herbesser CD200 mg 1 tab 6.188
Allopurinol 100 mg 1 tab 127
Asam Folat 20 mg 2 tab 90
Amlodipine 10 mg 2 tab 372
ISDN 2 tab 114
Total 19.363
Total Biaya Obat yang ditanggung JKN 786.359
Total Biaya yang dikeluarkan Pasien 0

Biaya obat pasien Tn. I Dw Putu Widiatnyana tanggal 31 Januari 2019 sampai
dengan 8 Februari 2019 yaitu selama sembilan hari pengambilan data, secara
keseluruhan telah ditanggung oleh JKN dimana pasien merupakan peserta BPJS Non
PBI. Total biaya pengobatan pasien selama sembilan hari pengambilan data adalah
Rp 786.359.
Berdasarkan analisis biaya diatas, jika dilakukan perbandingan dengan
output / goal theraphy pengobatan yang dilakukan, terapi farmakologi yang diperoleh
pasien sudah tepat dengan kebutuhan pasien dimana terapi yang diperoleh mampu
mengatasi gejala yang dirasakan pasien yang dapat dilihat dari data klinis yang mulai
membaik dari sesak dan mual yang di derita pasien. Untuk keberhasilan pengobatan
lebih lanjut perlu dilakukan follow up dan dilakukan pengkajian kembali mengenai
terapi yang diterima oleh pasien Bapak I Dewa Putu Widiatnyana (55 tahun).

BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

56
5.1.1 Pasien masuk ke rumah sakit (MRS) pada tanggal 31 Januari 2019 dengan
keluhan utama yaitu sesak nafas. Pasien diketahui memiliki riwayat CKD stage
V. Kondisi pasien tersebut didiagnosa awal oleh dokter mengalami dyspnea ec
CKD stage V. Kondisi klinis pasien pada saat pertama MRS yaitu sesak dengan
RR 28x/menit, TD 140/80 mmHg, pola nafas tidak efektif , nyeri dada, dan
mual. Terapi awal yang diperoleh pasien yaitu omeprasol 1 x 40 mg ampul,
furosemide 2 x 10 mg/mL ampul, drip Lasix 10 mg/jam, cefoperazone 2 x 1
gram, levofloxacin 1 x 500 mg/ 100 mL, RL+Cedocard 2 amp dengan 12 tetes
per menit.
5.1.2 Penilaian rasionalitas pengobatan pasien sudah sesuai 4T1W, yang terdiri dari
tepat indikasi, tepat obat, tepat dosis, tepat pasien, dan waspada efek samping
obat. Drug Related Problem (DRP) yang ditemukan pada kasus pasien I Dewa
Putu Widiatnyana yaitu terdapat pada tanggal 31 Januari 2019, 1 Februari 2019,
4 Februari 2019, dan 8 Februari 2019. Target terapi yang diharapkan dari
pasien I Dewa Putu Widiatnyana yaitu sesak nafas teratasi, tekanan darah
terkontrol, anemia teratasi, angina teratasi, dan mencegah terjadinya infeksi,
dan memberikan terapi untuk mengontrol fungsi ginjal
5.1.3 Analisis Farmakoekonomi yang dilakukan adalah pengkajian antara pengobatan
dengan biaya yang lebih efisien dan serendah mungkin tetapi mampu
memberikan efektiftivitas dalam merawat penderita untuk mendapatkan hasil
klinik yang baik. Biaya obat pasien Tn. I Dewa Putu Widiatnana sejak tanggal
31 Januari 2019 sampai dengan 8 Februari 2019 yaitu selama sembilan hari
pengambilan data adalah Rp 786.359. Berdasarkan analisis biaya yang
dilakukan, biaya pengobatan yang dikeluarkan mampu mengatasi beberapa
keluhan pasien diantaranya sesak, mual, dan batuk kering pada pasien.

5.2 Saran
5.2.1 Diperlukan pengujian laboratorium dengan melakukan foto thorac dan kultur
darah pasien untuk lebih memastikan diagnosa pasien.

57
DAFTAR PUSTAKA

Andayani, T.M. 2013. Farmakoekonomi Prinsip dan Metodologi. Yogyakarta Bursa


Ilmu. p: 4-5.

58
BNF. 2009. British National Formulary. UK: BMJ Group.
Cipolle, J.R., L.M. Strand, and P.C. Morley. 2004. Pharmaceutical Care Practice :
The Patient-Centered Approach to Medication Management Services. Third
Edition. New York : McGraw-Hill Medical.
Depkes RI. 2006. Pharmaceutical Care Untuk Penyakit Hipertensi, Ditjen Bina
Kefarmasian Dan Alat Kesehatan. Jakarta: Departemen Kesehatan
Dipiro, J.T., Talbert, R.L., Yee, G.C., Matzke, G.R., Wells, B.G., Posey, L.M. 2015.
Pharmacotherapy A Phatophysiologic Approach Ninth edition. New York: Mc
Graw Hill.
Dipiro, J.T., Talbert, R.L., Yee, G.C., Matzke, G.R., Wells, B.G., Posey, L.M. 2008.
Pharmacotherapy A Phatophysiologic Approach seventh edition. New York:
Mc Graw Hill.
Goldfarb, D.A., Poggio, E.D., 2012. Etiology, Pathogenesis, and Management of
Renal Failure. Dalam: Campbell-Walsh Urology. editor. Louis RK, et al. Edisi
ke-10. USA: Elsevier Saunders.
Hustrini, N.M., Tanto, C., 2014a. Hipertensi. Dalam: Kapita Selekta. Jilid Keempat.
Edisi ke-4. Jakarta: Media Aesculapius.
Hustrini, N.M., Tanto, C., 2014b. Penyakit Ginjal Kronik. Dalam: Kapita Selekta.
Edisi ke-4. Jakarta: Media Aesculapius.
JNC 8 (Joint National Committee). 2014. The Eighth Report of the Joint National
Committee on Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood
Pressure. US: National Institute of Health.
Kemenkes RI. 2011. Interpretasi Data Klinik. Jakarta: Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia.
Kemenkes RI. 2017. InfoDATIN : Situasi Penyakit Ginjal Kronis. Jakarta :
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.
Khoiriyah, S. D. dan K. Lestari. Review Artikel: Kajian Farmakoekonomi yang
Mendasari Pemilihan Pengobatan di Indonesia. Jurnal Farmaka. Suplemen
Volume 16 Nomor 3: 134-145.
Lacy, C.F., Armstrong, L.L, Goldman, M.P. and Lance, L.L.. 2009. Drug
Information Handbook, 20th Edition. USA: Lexi-comp.
Leni E., Dahler Bahrun, Hertanti Indah Lestari. 2015. Tatalaksana Penyakit Ginjal
Kronik pada Anak. MKS, Th. 47, No. 2, April 2015.
Medscape. Drug Reference on Apps. Diakses tanggal 10 Februari 2019

59
Nurhalimah. 2012. Studi Kasus Drug Related Problem (DRPs) Kategori Penyesuaian
Dosis Pasien Gagal Ginjal Kronik Di RSUP DR MM Dunda Limboto.
Parsudi, I., Siregar, P., Roesli, R.M.A., 2014. Dialisis Peritoneal. Dalam: Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Edisi ke-6. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen
Ilmu Penyakit Dalam FK UI.
Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskuler Indonesia. 2015. Pedoman
Tatalaksana Sindrom Koroner Akut, Edisi Ketiga. Jakarta: Centra
Communications. Hlm. 3-4.
Price, S.A. & L.M. Wilson. 2012. Gagal Ginjal Kronik. Dalam: Buku Patofisologi
Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Volume 2. editor. Hartanto H, et al. Edisi
ke-6. Jakarta: EGC.
Prodjosudjadi, W., 2014. Glomerulonefritis. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
Jilid II. Edisi ke-6. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FK UI.
Pusat Informasi Obat Nasional BPOM (PIO-Nas BPOM) 2015. Diakses pada tanggal
10 Februari 2019
Rikesdas. 2013. Riset Kesehatan Dasar. Jakarta: Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan Kementrian Kesehatan RI.
Siregar, B.Y., 2012. Karakteristik dan Penatalaksanaan Penyakit Ginjal Kronik di
Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan Tahun 2011. Medan:
Universitas Sumatera Utara.
Siregar, C. 2004. Farmasi Klinis Teori dan Penerapan. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran. EGC.
Sukandar, E., 2013. Nefrologi Klinik. Edisi Ke-4. Bandung: Pusat Informasi Ilmiah
(PII) Bagian IPD Fakultas Kedokteran UNPAD.
Susalit, E., 2014. Transplantasi Ginjal. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid
II. editor. Alwi I, et al. Edisi ke-6. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam FK UI.
Suwitra, K., 2014. Penyakit Ginjal Kronik. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
Jilid II. editor. Alwi I, et al. Edisi ke-6. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen
Ilmu Penyakit Dalam FK UI.
Sweetman, S.C. 2009 .Martindale The Complete Drug Reference. London: The
Pharmaceutical Press.
United States Center for Disease and Prevention, 2014. Nation Kidney Chronic
Kidney Disease Fact Sheet. USA: United States Center for Disease Control and

60
Prevention. Available at:
http://www.cdc.gov/diabetes/pubs/pdf/kidney_factsheet.pdf [Diakses 18
Februari 2019]
William, J.C., Amen, J.R., Flavio, G.C., 2008. Chronic Renal Failure and Dialysis.
Dalam: Smith’s General Urology. Edisi ke-17. USA: TheMcGraw-Hill
Companies.
Yati, K., Hariyanti, Dwitiyanti, P. M. Lestari. 2018. Pelatihan Pengelolaan Obat yang
Tepat dan Benar di UKS Sekolah Muhammadiyah Wilayah DKI Jakarta.
Jurnal Solma. Vol. 07, No. 1, pp. 42-49

61

Anda mungkin juga menyukai