Anda di halaman 1dari 21

“PENGUJIAN STABILITAS DIPERCEPAT”

Judul Pengaruh suhu terhadap stabilitas obat sediaan


Jurnal Farmaka

Volume & Halaman  volume 14


Tahun 2016
Penulis Alifa Nur Zaini, Dolih Gozali
Reviewer Doris Puspitasari 
Tanggal 18 Februari 2021

A. Pendahuluan
• Stabilitas obat merupakan salah satu pengujian yang penting dalam evaluasi obat, salah
satunya adalah dengan mengetahui pengaruh suhu terhadap stabilitas obat
• Evaluasi pada formulasi obat khususnya untuk uji stabilitas dapat digunakan 2 metode
yaitu uji stabilitas real time dan uji stabilitas dipercepat
• Faktor yang mempengaruhi stabilitas obat, yaitu:
1. Oksigen
2. Suhu
3. ph

B. Metode
Metode tersebut yang harus dilakukan adalah mengambil 10 atau lebih formulasi
lalu ditempatkan pada kondisi real time (misalnya 5o C) dan kondisi saat stabilitas
dipercepat (misalnya 30o C / 65% RH). Waktu yang dibutuhkan untuk menguji stabilitas
tersebut adalah 6 sampai 2 tahun atau untuk masing-masing formulasi adalah 1 sampai 3
bulan penelitian (Kelly. 2008).

C. Hasil
Dalam penelitian yang menjelaskan mengenai suspensi diklofenak pada suhu 4°C, 22°C,
40°C, 60°C, suhu yang paling stabil adalah pada suhu 4°C (96,3%) dan terjadi penurunan
kadar yang signifikan pada suhu 40°C (89,58%) dan 60°C (85,17%).

D. Pembahasan
1. Stabilitas sediaan suspensi pada berbagai suhu
a. Suspensi diklofenak
Pengujian stabilitas dari suspensi diklofenak dilakukan dengan metode stabilitas
dipercepat dengan menggunakan suhu 4o C, suhu kamar dan suhu 40o -60o C
selama 13 minggu. Secara keseluruhan pada suhu 4oC dan suhu kamar
kemurnian, waktu simpan, kerapatan dan viskositas dari suspensi diklofenak
masih dalam keadaan stabil (Nazir, Ali, Irfan et all, 2011).

b. Suspensi asam folat


Pengujian stabilitas suspensi asam folat dilakukan pada suhu 4o C dan suhu 25o C
selama 90 hari. pada suhu 4o C maupun 25o C menunjukkan kestabilan pH dari
hari ke 0 sampai hari ke 60, namun pada hari ke 90 pada suhu 25o C pada sampel
a dan c terjadi kenaikan pH, begitupun pada suhu 4o C pada sampel E terjadi
kenaikan pH. Sehingga dapat dikatakan bahwa suspensi asam folat stabil pada
suhu 4o C dan 25o C selama 60 hari. (Gunasekaran, Jusoh, dan Saridin, 2015)

c. Suspensi Cefuroxime Axetil


Sediaan suspensi cefuroxime axetil diuji stabilitasnya dengan melihat kondisi nya
pada penyimpanan dengan suhu ruang atau 20°C dan suhu pendingin atau 5°C
dengan uji disolusi. Uji disolusi bertujuan untuk melihat seberapa besar
pengurangan kadar dari suatu sediaan.

d. Suspensi Amoksisilin-Klavulanat
Suspensi dapat dikatakan stabil jika komponen dipertahankan setidaknya 90%
dari konsentrasi label. Amoksisilinklavulanat ditemukan stabil selama 5 hari pada
3 suhu yang berbeda.
Dari beberapa jurnal yang membahas mengenai stabilitas obat sediaan suspensi
membuktikan bahwa suhu adalah salah satu faktor yang mempengaruhi stabilitas obat
sediaan suspensi karena dengan perbedaan suhu akan mempengaruhi pH, kadar dan
lainlain dan pada akhirnya akan mempengaruhi efek dari obat tersebut. Sehingga perlu
diperhatikan di suhu berapakah suatu obat dapat stabil dalam penyimpanan. Dan dari ke 4
sediaan suspensi yang dibahas dapat dikatakan bahwa sediaan tersebut masih stabil dalam
suhu yang diujikan.

Judul Formulasi dan uji stabilitas fisik sediaan shampo dari


ekstrak etanol daun pare (Momordica charantia Linn.)
Jurnal Indonesia Natural Research Pharmaceutical Journal

Volume & Halaman  volume 02


Tahun 2017
Penulis Nina Jusnita, Riska Arguar Syah
Reviewer Doris Puspitasari 
Tanggal 18 Februari 2021

A. Pendahuluan
Stabilitas merupakan kemampuan produk obat ataupun kosmetik untuk bertahan
dalam batas spesifikasi yang ditetapkan selama periode penyimpanan dan
penggunaan, untuk menjamin identitas, kekuatan, kualitas, dan kemurnian produk
tersebut (Djajadisastra, 2004).
Uji stabilitas dipercepat bertujuan untuk mendapatkan informasi yang diinginkan
pada waktu yang sesingkat mungkin, dengan cara menyimpan sediaan pada kondisi
yang telah di- rancang untuk mempercepat terjadinya perubahan yang biasanya sering
terjadi pada kondisi normal.

B. Metode
Data yang didapatkan berupa data kualitatif dan data kuantitatif, dimana data
kuantitatif kemudian diuji statistik dengan metode ANOVA tipe two way
menggunakan software SPSS versi 15.0.

C. Hasil dan pembahasan


Hasil penelitian menunjukan bahwa tidak ditemukan adanya pemisahan fase dan
keempat formulasi sediaan shampo stabil pada penyimpanan suhu rendah, suhu ruang,
serta suhu tinggi selama 8 minggu. Formula yang menunjukan stabilitas fisik optimum
yaitu sediaan shampo dengan konsentrasi ekstrak etanol daun pare sebesar 1%.

D. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian uji stabilitas fisik sediaan shampo ekstrak daun pare
dengan konsentrasi yang bervariasi yaitu 1%, 2%, 3%, dan 4%, maka dapat
disimpulan bahwa ekstrak etanol daun pare mengandung senyawa metabolit sekunder
yaitu minyak atsiri, flavonoid, sterol, saponin, alkaloid, tanin, dan lemak serta asam
lemak. Sediaan shampo ekstrak daun pare stabil secara fisik pada uji cycling test, dan
stabil pada penyimpanan suhu rendah, suhu ruang serta suhu tinggi. Konsentrasi
sediaan shampo ekstrak daun pare yang menghasilkan kestabilan fisik optimum yaitu
konsentrasi 1%.
PENGARUH HUMIDITY
TERHADAP STABILITAS OBAT

A. Judul Jurnal
Pengaruh temperatur dan kelembaban udara terhadap kelarutan tablet effervescent
The temperature effect and humidity on dissolution rate of effervescent tablet

B. Pengertian
Humidity/kelembaban adalah: Humiditas, atau humidity dalam Bahasa Inggris,
adalah sebuah sifat yang menunjukkan jumlah uap air di dalam udara. Secara harfiah,
humiditas lebih lazim dikenal dengan istilah kelembaban udara.
Tablet effervescent merupakan salah satu bentuk sediaan tablet yang dibuat
dengan cara pengempaan bahan-bahan aktif dengan campuran asam-basa organik, seperti
asam sitrat atau asam tartrat dan natrium bikarbonat.
Tablet effervescent atau karbon adalah tablet yang dirancang untuk larut dalam
air, dan melepaskan karbon dioksida. Mereka adalah produk kompresi bahan komponen
dalam bentuk bubuk menjadi massa padat, yang dikemas dalam kemasan blister, atau
dengan paket tertutup rapat dengan desikan dimasukkan dalam tutup.
C. Contoh Obat Sediaan Effervescent
1. menjaga agar tulang tetap kuat dengan memenuhi kebutuhan kalsium

2. untuk memelihara daya tahan tubuh, serta mencegah dan mengatasi kekurangan
vitamin C.

3. menjaga agar tulang tetap kuat dengan memenuhi kebutuhan kalsium


D. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian adalah menentukan konstanta laju kelarutan tablet effervescent
buah markisa pada variasi suhu dan kelembaban udara.
Perubahan sifat tablet yang terjadi, baik secara fisik maupun penurunan kandungan
nutrisinya, merupakan indikator kerusakan(deterioration index) terhadap kemunduran
mutu (quality deterioration) tablet (Kilcast danSubramaniam, 2000).
E. Alat & Bahan
1. Alat
Alat yang digunakan adalah lemari pendingin Hitachi, tray dryer merk Edward,
desikator,timbangan elektronik merk Sartorius, stopwatch,termometer, gelas, dan
dehumidifier merk Sanyo.

2. Bahan
Bahan yang digunakan untuk mengendalikan Kelembaban udara (RH) di dalam
desikator sebagai tempat penyimpanan tablet effervescent (Suyitno, 1995) adalah:
1. Kalium asetat GR, Merck, Darmstadt untuk RH 22,8 %.
2. Kalium karbonat GR, Merck, Darmstadt untuk RH 43,2 %,
3. Asam sulfat, p.a. 95 – 97 %, Merck, Darmstadt untuk RH 65,4 %.
4. Natrium klorida GR, Reg. ACS, Reag. ISO, Charge Lot 92910, Riedel-deHaen
untuk RH 75,2 %.
5. Kalium klorida GR untuk RH 85,5 %.

F. Hasil Dan Pembahasan


•Hasil evaluasi konstanta laju kelarutan (kT,RH) tablet effervescent selama
penyimpanan ditunjukkan pada Gambar 2 (variasi suhu) dan Gambar 3 (variasi
RH). Berdasarkan gambar tersebut, terlihat bahwa semakin tinggi suhu,harga k
juga meningkat
•Hal ini juga terjadi pada variasi RH, dimana semakin tinggi RH, harga k juga meningkat.
•Hasil pengamatan laju kelarutan tablet effervescent buah markisa selama penyimpanan
pada variasi suhu dan kelembaban udara disajikan pada Gambar 1a (pengaruh suhu)
dannGambar 1b (pengaruh RH).
•Berdasarkan Gambar 1a diketahui bahwa tablet yang disimpan pada suhu penyimpanan
40.oC dan RH 75,2 % memiliki laju kelarutan melebihi standar USP yaitu lebih dari 2
menit setelah penyimpanan 8 hari, sedangkan tablet yang disimpan pada suhu 29. oC
dan 20oC dengan RH 75,2 % memiliki laju kelarutan yang masih memenuhi standar
USP setelah 10 dan 14 hari penyimpanan. Untuk tablet yang disimpan pada suhu 10
oC dan 4 oC dengan RH 75,2 % masih memenuhi standar USP setelah 18 dan 28 hari
penyimpanan.
•Berdasarkan data ini, terungkap bahwa suhu penyimpanan sangat berpengaruh terhadap
laju kelarutan tablet.
• Pada suhu penyimpanan yang lebih tinggi dari suhu transisi gelas (Tg) yang dimiliki oleh
komponen penyusun tablet, berada dalam kondisi yang tidak stabil, sehingga terjadi
perubahan fase di dalam tablet dari padat (solid) menjadi rubbery.
•Di dalam tablet effervescent buah markisa komponen yang memiliki suhu Tg paling
rendah adalah asam sitrat dengan Tg 31 oC
•Berdasarkan Gambar 1b juga diketahui bahwa tablet yang disimpan pada kondisi RH
85,5 % dan suhu 29 oC memiliki laju kelarutan 128,42 detik dan telah melebihi
standar USP (lebih dari 2 menit) setelah disimpan 7 hari sedangkan yang disimpan
pada RH 75,2 %, 65,4 %, 43,2 %, dan 22,8 % (suhu konstan, 29 oC) masih memenuhi
standar USP setelah 9,12, 21, dan 63 hari.
• Dengan demikian, berdasarkan data ini dapat diungkapkan bahwa RH penyimpanan juga
berpengaruh terhadap laju kelarutan tablet, dimana pada RH yang tinggi keberadaan uap
air juga semakin tinggi,sehingga menyebabkan terjadinya penyerapan air dari luar
produk
• Keberadaan air di dalam tablet effervescent dapat berperan sebagai pemicu terjadinya
reaksi effervescing sebelum pelarutan, sehingga ketika dilarutkan, reaksi antara
komponen asam dan basa berjalan lambat dan reaksinya hampir jenuh. Hal ini
ditunjukkan dengan lamanya waktu diperlukan oleh tablet untuk larut secara sempurna
dan menjadi bagian yang tersuspensi, sehingga tidak tampak adanya partikel di dalam
larutan.
• Berdasarkan data ini untuk menghitung harga k gabungan (fungsi suhu dan RH)
dilakukan dengan cara empiris.
• Model empiris dipilih yang memberikan harga koefisien determinasi (R2) tertinggi
seperti yang disajikan pada Gambar 4.
• Berdasarkan harga konstanta laju kelarutan gabungan (kT,RH), maka diperoleh bentuk
persamaan empiris sebagai berikut:

• Hasil prediksi umur simpan tablet yang disimpan pada suhu 4 oC dan RH 75,2 % dapat
mencapai 215 hari atau sekitar 7 bulan.\

G. Kesimpulan
Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa suhu dan RH penyimpanan
berpengaruh terhadap laju kelarutan tablet effervescent.
Pada suhu penyimpanan yang lebih tinggi dari suhu transisi gelas (Tg) komponen
penyusun tablet, akan menyebabkan tablet berada dalam kondisi yang tidak stabil,
sehingga terjadi perubahan fase dari padat (solid) menjadi rubbery/elastis

Sedangkan pada penyimpanan RH yang tinggi, keberadaan uap air juga semakin
tinggi yang dapat berfungsi sebagai pemicu terjadinya reaksi effervescing, sehingga
ketika tablet dilarutkan, reaksi antara komponen asam (asam sitrat) dan komponen basa
(natrium bikarbonat) berjalan lambat. Hal ini menyebabkan waktu yang diperlukan tablet
untuk larut secara sempurna dan menjadi bagian yang tersuspensi juga semakin lama

Daftar Pustaka
Ansar dkk.,2006. The temperature effect and humidity on dissolution rate of
effervescent tablet .Majalah Farmasi Indonesia, 17(2), 63 – 68, 2006
Pengaruh PH terhadap Pelepasan Obat

A. Literatur
Judul : Pengaruh pH dan Konsentrasi Terhadap Enkapsulasi Metformin HCl
pada Monmorillonit Teraktivasi Asam Sitrat
Author : Katrin Walensky Sitanggang
Co Author : Putu Suarya, I Nengah Simpen, I Made Wisnu Adhi Putra
Jurnal : Media Sains, Vol 1 No 2, Halaman 37-44
From : Fakultas Ilmu Kesehatan, Universitas Dhyana Putra, Bali, Indonesia
Tahun : 2017

B. Pembahasan
Hasil penelitian menunjukkan jumlah metformin HCl yang terenkapsulasi secara
maksimum terjadi pada pH 7. Uji pengaruh konsentrasi larutan awal menunjukkan bahwa
semakin tinggi konsentrasi larutan, semakin banyak metformin HCl yang terenkapsulasi
pada monmorillonit teraktivasi.
Berbagai penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa montmorillonit
menjadi salah satu material anorganik yang memberikan peluang yang menjanjikan
dalam aplikasi biomedis.
Aplikasi biomedis montmorillonit yang saat ini berkembang adalah sebagai
penghantar obat. Dalam sistem penghantar obat, montmorillonite berfungsi sebagai
pembawa (carrier) obat yang memungkinkan pelepasan obat secara terkontrol ke dalam
tubuh.
Penelitian yang dilakukan Katrin et al. (2017) yaitu dilakukan pembuatan sistem
penghantar obat dengan cara enkapsulasi metformin HCl (MH) ke dalam montmorillonit
(MMT) yang teraktivasi asam sitrat. Pengaruh pH dan konsentrasi larutan awal dipelajari
sebagai variabel penelitian.

C. Pengaruh pH
Nilai pH merupakan parameter yang sangat penting dalam proses pengembanan
karena berpengaruh terhadap spesies metformin dalam larutan. Pengaruh pH terhadap
kemampuan pengembanan metformin HCl pada berbagai variasi pH seperti yang
disajikan pada Gambar 1 bertujuan untuk mengetahui pH optimum antara pengemban
dalam menyerap zat terlarut secara maksimum. pH optimum merupakan pH dimana
pengemban menghasilkan penyerapan metformin HCl paling banyak.Hasil penelitian
menunjukkkan bahwa pada pH 3 sampai pH 7 kemampuan montmorillonit untuk
mengemban metformin HCl mengalami peningkatan sebesar 2,989 mg/g.
Peningkatan kemampuan pengembanan lempung pada pH 3 sampai 7 disebabkan
pada pH rendah konsentrasi H+ tinggi sehingga mekanisme pertukaran kation dengan
molekul metformin HCl cenderung meningkat. Pengembanan pada pH 7 cenderung
bermuatan positif namun, ikatan hidrogen yang terbentuk tidak sekuat dalam pH asam
sehingga pertukaran kation antara ion H+ pada antar lapis lempung dengan molekul obat
cenderung lebih mudah, mengakibatkan jumlah metformin HCl yang teremban menjadi
meningkat.

D. Pengaruh Konsentrasi Metformin HCl


konsentrasi 50 ppm sampai 500 ppm terjadi kenaikan jumlah metformin HCl
terembankan. Hal ini disebabkan bahwa semakin besar konsentrasi larutan metformin
HCl, maka semakin banyak partikel-partikel lempung montmorillonit yang dapat
bertumbukan dan berinteraksi dengan molekul metformin HCl, sehingga kemampuan
pengembanannya meningkat. Konsentrasi optimum pengembanan metformin HCl terjadi
pada konsentrasi paling tinggi yakni 500 ppm dengan banyaknya metformin HCl yang
teremban sebesar 38,829 mg/g

E. Kesimpulan
Enkapsulasi metformin HCl pda monmorillonit teraktivasi asam sitrat telah berhasil
dilakukan. Jumlah metformin HCl terenkapsulasi secara maksimum (7,69 mg/g) terjadi
pada pH 7. Uji pengaruh konsentrasi larutan awal menunjukkan bahwa semakin tinggi
konsentrasi larutan, semakin banyak metformin HCl yang terenkapsulasi pada
monmorillonit teraktivasi. Jumlah maksimum metformin HCl yang terenkapsulasi (38,83
mg/g) teramati pada konsentrasi larutan 500 mg/L.
PREPARASI DAN KARAKTERISASI POLIMORFISME OBAT ANTI MALARIA
ARTESUNATE

A. Review Jurnal
Judul : Preparasi Dan Karakterisasi Polimorfisme Obat Anti Malaria Artesunate
Jurnal : Jurnal Sains Materi Indonesia
Volume : Vol. 15, No. 2
Tahun : 2012
Penulis : Timbul Partogi H., Sundani N. Soewandhi, Jessie S. Pamudji Dan
Wikarsa Saleh

B. Pengertian
Polimorfisme adalah kristalisasi dari senyawa yang sama lebih dari satu arsitektur
kristal yang berbeda dan berhubungan dengan pengaturan kemasan kristal yang berbeda,
fenomena ini sangat umum di bidang farmasi.
Artemisinin adalah obat antimalaria yang diisolasi dari tanaman Artemisia annua,
merupakan golongan seskuiterpen lakton yang memiliki jembatan endoperoksida dan saat
ini direkomendasikan untuk pengobatan akut malaria yang disebabkan oleh Plasmodium
falciparum artemisinin sebelumnya telah dilaporkan tidak larut dalam air dan minyak,
tetapi larut dalam pelarut organik yang paling sesuai
Artesunate (AS) merupakan derivat semisintetis dariArtemisinin dalam bentuk ester
hemisuksinat dengan metabolit aktifnya adalah DHA (dihydroartemisinin). AS memiliki
kelarutan dalam air yang lebih baik dibandingkan dengan derivat Artemisisnin yang lain
sehingga paling banyak tersedia dan banyak digunakan Obat ini telah menjadi komponen
penting dari pengobatan malaria yang disebabkan oleh Plasmodium falciparum, dimana
banyak obat malaria lain telah menjadi resisten.

C. Tujuan
Tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh dan mengamati perbedaan polimorfisme
AS serta mengkarakterisasinya dengan analisa PXRD, IR dan DTA. Untuk lebih
memperkuat hasil analisa, dilakukan juga cara mikroskopik baik dengan Hot Stage
Microscopy (HSM) maupun dengan Scanning Electron Microscopy (SEM).

D. Metode
 Bahan
Pelarut methanol dan Chloroform dengan tingkat kemurnian pro analysis
berasal dari Merck tanpa ada perlakuan pemurnian lagi.

 Persiapan Sampel
Sampel AS (100 mg) dilarutkan dalam pelarut 1 mL metanol dan 1 mL
CHCl3 , kemudian masing-masing diuapkan pada suhu kamar. Kristal hasil
penguapan diambil dan disimpan dalam desikator. Teknik beku kering (freeze
drying) dilakukan terhadap 1 gram sampel AS yang disuspensikan dalam 50 mL air,
kemudian disaring dan filtratnya dibekukeringkan dengan alat Freeze Dryer.

 Analisis Difraksi Sinar-X Serbuk


Analisis difraksi sinar-X serbuk terhadap sampel dilakukan pada temperatur
ruang dengan menggunakan difraktometer Rigaku Rint-2500. Kondisi pengukuran
sebagai berikut : target logam Cu, filter Kα, voltase 40 kV, arus 40 mA, analisis
dilakukan pada rentang 2 theta 5 - 35°. Sampel diletakkan pada sampel holder (kaca)
dan diratakan untuk mencegah orientasi partikel selama penyiapan sampel.

 Analisis Differential Thermal Analysis


Analisis termal terhadap terhadap AS dan AS yang direkristalisasi dilakukan
pada suhu 50 - 250 oC dengan kecepatan pemanasan 10 oC/menit dengan
menggunakan alat DTA Mettler Toledo FP 85.

 Analisis Spektrofotometer FT-IR


Karakterisasi dengan menggunakan spektrofotometer Fourier Transform Infra
Red (FT-IR) Jasco 4200, dilakukan terhadap AS dan AS yang direkristalisasi dengan
menggunakan metode pelet KBr. Spektra absorban FT-IR diukur pada bilangan
gelombang 4000 - 450 cm-1 .

 Analisis Scanning Electron Microscopy


Sampel serbuk diletakkan pada sample holder aluminium dan dilapisi dengan
emas dengan ketebalan 10 nm. Sampel kemudian diamati pada berbagai perbesaran
alat SEM (Jeol JSM-6360 LA, Japan) Voltase diatur pada 20 kV dan arus 12 mA.

 Analisis Mikroskop polarisasi


Sejumlah sampel ditempatkan pada kaca obyek dan diamati dengan mikroskop
polarisasi Olympus BX50 yang dilengkapi dengan meja pemanas (Hot Stage
Microscope) pada perbesaran tertentu.

E. Hasil dan Pembahasan


Gambar 1. menunjukkan hasil foto
dengan mikroskop polarisasi yang
menunjukkan perbedaan morfologi dari AS
pada masing masing pelarut. Perbedaan
morfologi ini belum bisa memastikan
terjadinya perbedaan sifat polimorfisme, yang
didefinisikan sebagai kemampuan suatu materi padat berada dalam dua atau lebih fasa
kristalin, yang berbeda susunan dan konformasi molekul di dalam kisi kristal padatan.
Oleh karena itu untuk dapat memastikan terjadinya polimorfisme, maka dilakukan analisa
pendukung dengan SEM, DTA, FTIR dan PXRD.

Gambar 2. menunjukkan foto mikroskopik


SEM dari AS dalam berbagai pelarut. Profil foto
SEM AS yang dikristalisasi dingin dengan air (beku
kering) menunjukkan habit kristal yang berbeda
dengan AS komersial. AS setelah perlakuan beku
kering menunjukkan pola jarum, sedangkan AS
komersial menunjukkan pola heksagonal. Foto SEM pada AS yang direkristalisasi
dengan pelarut metanol dan CHCl3 menunjukkan habit kristal yang sama dengan AS
komersial (pola heksagonal).
Gambaran foto mikroskop polarisasi dan foto SEM menunjukkan morfologi kristal
yang berbeda antara AS dengan AS hasil beku kering. Untuk memastikan struktur kristal
dari AS hasil beku kering, diperlukan alat sinar-X kristal tunggal yang keberadaan
alatnya belum tersedia di Indonesia. Dari data analisis difraksi sinar-X kristal tunggal,
dapat diperoleh bidang-bidang kristal struktur tiga dimensi materi padatan, sehingga jenis
struktur kristalnya dapat dinyatakan dengan jelas.
Hasil penelitian menunjukkan keberadaan dua bentuk polimorf yang berbeda dari
obat antimalaria AS. Bentuk I merupakan bentuk komersial dari AS yang biasa
digunakan sebagai bahan baku obat dan bentuk II diperoleh dari perlakuan bentuk I yang
mengalami proses freeze drying.

F. Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisa difraktrogram PXRD dan diperkuat dengan analisa
termal (DTA), spektroskopi (FT-IR) dan foto SEM maupun mikroskop polarisasi, dapat
disimpulkan bahwa senyawa Artesunate (AS ) mempunyai polimorf yang diperoleh
dengan cara beku kering (Freeze Drying). Polimorf AS ini memiliki karakteristik bentuk
jarum yang berbeda dengan AS komersial (bentuk heksagonal) dan memiliki TL yang
lebih rendah dari AS komersial.
PENGARUH SUHU TERHADAP STABILITAS OBAT
PENGARUH SUHU TERHADAP STABILITAS SERTA PENETAPAN KADAR
TABLET FUROSEMIDA MENGGUNAKAN SPEKTROFOTOMETER UV-VIS
Rekanita Waney, Gayatricitraningtyas, Jemmy Abidjulu

A. Pendahuluan
Pemeriksaan kestabilan obat mutlak diperlukan agar obat dapat sampai pada titik
tangkapnya dengan kadar yang tepat, sehingga dapat memberikan efek terapi yang
dikehendaki, penetapan kadar obat dilakukan untuk menjaga mutu obat sesuai dengan
ketetapan dalam Farmakope Indonesia. Stabilitas obat dapat dipengaruhi oleh Faktor luar
yang mempengaruhi antara lain suhu, kelembapan, udara dan cahaya. Suhu merupakan
salah satu faktor luar yang menyebabkan ketidakstabilan obat.

B. Tujuan
Tujuan penelitian ini adalah untuk menguji pengaruh suhu terhadap stabilitas furosemida.

C. Hasil
Penurunan kadar tablet furosemida dibawah range mulai terjadi pada suhu 50°C waktu 60
menit sampel A dan C serta sampel B penurunan tejadi pada suhu 50°C waktu 120 menit.
Perbedaan signifikan terlihat dengan suhu 40°C, 50°C dan 60°C mempunyai signifikan
yang sama artinya pemanasan tablet furosemida pada suhu 40°C, 50°C dan 60°C
memberikan pengaruh terhadap kadar tablet furosemida dengan ditandai turunnya kadar.

D. Kesimpulan
Semakin tinggi suhu penyimpanan semakin rendah stabilitas obat dilihat dari hasil yang
didapatkan penurunan kadar Sampel yang tidak termasuk range diterima dimulai sampel
A suhu 50°waktu 60 menit Sampel B suhu waktu 120 menit 87,41%, Sampel C 50º suhu
waktu 60.
PENGARUH KO-KRISTAL TERHADAP STABILITAS OBAT

A. Review Jurnal 1
Judul : Pengaruh koformer nikotinamid dan metode
pembentukan ko kristal terhadap kelarutan zat aktif tidak
larut air
Jurnal : Jurnal Sains dan Teknologi Farmasi Indonesia
Volume dan Halaman : Volume 1 dan Halaman 27-40
Tahun : 2020
Penulis : - Revika Rachmaniar
- Deby Tristiyanti
- Dewi Yustika Sari
Reviewer : - Anas Faizah
- Jefri Nur Setiawan
- Anas Faizah
Tanggal : 20 Febuari 2021

B. Pendahuluan
Kelarutan merupakan salah satu parameter penting untuk mencapai konsentrasi obat
yang diinginkan dalam sirkulasi sistemik untuk mencapai kebutuhan respon farmakologis
(Edward, 2008). Kelarutan yang rendah adalah masalah utama yang dihadapi pada
pengembangan obat baru. Suatu zat yang memiliki kelarutan rendah akan lebih lambat
diserap, menyebabkan rendahnya bioavabilitas obat dalam tubuh dan juga akan
mempengaruhi efek farmakologinya (Sharma, 2009).
Pembentukan kokristal dapat memperbaiki beberapa sifat yang dimiliki oleh suatu
zat, seperti kelarutan, laju pelarutan (disolusi), bioavailabilitas dan stabilitas fisik. Fase
multikristal yang dihasilkan akan mempertahankan aktivitas intrinsik zat aktif obat,
namun demikian, di sisi lain memiliki sifat fisikokimia yang berbeda (Mirza &
Miroshnyk,2008). Kokristal juga dapat memperbaiki sifat penting lain dari zat aktif
seperti laju alir, kompresibilitas dan higroskopisitas (Lu & Rohani, 2010)
Koformer merupakan salah satu komponen dalam kokristal yang berfungsi untuk
menurunkan agregasi antar molekul kristal. Koformer dapat berupa zat tambahan pada
makanan, pengawet, eksipien farmasi dan zat aktif lain (Yadav, et al., 2009). Golongan
koformer terdiri dari golongan gula, golongan asam amino, golongan asam karboksilat
dan golongan lain dengan pemanasan, udara dan oksidan, tetapi nikotinamid dihidrolisis
oleh asam kuat dan larutan alkalis. Nikotinamid diasumsikan menjadi vitamin larut air
yang paling stabil. Stabilitas nikotinamid tetap konstan selama penyimpanan pada suhu
20°, 30° dan 37°C selama 12 bulan (Albala-Hurtado, et al.,2000).
C. Metode
Pada penelitian ini zat aktif yang berhasil dibuat ko-kristal menggunakan metode
solvent evaporation yaitu katekin, artesunat, ketoprofen, diflunisal, ibuprofen, simvastatin
dan prulifloxacin. Sedangkan yang menggunakan metode slurry diantaranya
karbamazepin dan didanosin, sedangkan dengan metode liquid assisted grinding yaitu
zaltoprofen dan furosemid. Peningkatan kelarutan zat aktif yang menggunakan solvent
evaporation hingga 6 kali, menggunakan metode slurry hingga 1,86 kali, dan
menggunakan metode liquid assistedgrinding hingga 166.666,67 kali.

D. Hasil
Dari jurnal yang kami dapatkan dapat dijelaskan pada ko-kristal ibuprofen-nikotinamid
pelarut yang digunakan yaitu etanol, karenaselain dapat melarutkan keduanya, etanol juga
dapat mempercepat terbentuknya ikatan hydrogen. Hasil dari pembentukan ikatan
hydrogen antarmolekul kokristal simvastatin-nikotinamid pada puncak 3545cm-1. Pada
kokristal ketoprofen-nikotinamid pelarut yang digunakan yaitu 2-propanolol. Hasil
karakterisasi dari kokristal ketoprofen-nikotinamid dimana kristalinitasnya membentuk
fase Kristal padat baru yang menunjukan adanya perbedaan kisi kristalnya dibandingkan
dengan komponen individualnya, adanya ikatan hydrogen menyebabkan spectrum pada
gugus karboksilat menurun dari 1695 cm -1 ke 1655 cm-1. Sedangkan pada kokristal
simvastatin-nikotinamid digunakan pelarut methanol, penambahan methanol berfungsi
untuk memperepat pembentukan kokristal yang dihasilkan pada puncak 3545 cm -1.
E. Kesimpulan
Berdasarkan jurnal tersebut dapat disimpulkan bahwa zat aktif yang telah
dibentuk Ko-kristal menggunakan koformer nikotinamid dengan beberapa metode yang
berbeda memiliki nilai kelarutan yang lebih tinggi meskipun tidak berbeda secara
signifikan.

REVIEW JURNAL 2
Judul : pengaruh pembentukan ko-kristal pirimetamin asam fumarat
terhadap kelarutan dan laju disolusinya
Jurnal : Jurnal ilmiah farmasi
Halaman : 31-36
Tahun : 2016
Penulis : - Riskia Putri Peratiwi
- Fikri Alatas
- Fani Wahyuni
- Rani Sugandi
- Hestiary Ratih
- Faizal Hermanto
Reviewer : - Anas Faizah
- Jefti Nur Setiawan
- Pegi Erawati
Tanggal : 20 Febuari 2021

A. Pendahuluan
Kelarutan merupakan salah satu sifat fisikokimia senyawa obat yang penting
dalam meramalkan absorbsi obat dalam saluran cerna. Pirimetamin (PIR) merupakan
obat esensial pada penyembuhan penyakit malaria falciparum yang telah resisten
terhadap klorokuin. Baru-baru ini diketahui bahwa PIR juga bisa digunakan sebagai
anti-HIV dan toksoplasmosis. PIR memiliki sifat fisikokimia: serbuk hablur putih,
tidak berbau, melebur pada suhu antara 238°C dan 242°C. Pirimetamin tidak larut
dalam air, sukar larut dalam aseton, dalam etanol, dan dalam kloroform.
Pembentukan ko-kristal dapat mempengaruhi kelarutan dan laju disolusi bahan aktif
farmasi tanpa mengubah aktivitas farmakologinya.

B. Tujuan :
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pembentukan
ko-kristal pirimetamin (PIR) dengan asam fumarat (FUM) terhadap kelarutan dan laju
disolusi pirimetamin.

C. Metode
Pembuatan Ko-kristal Pirimetamin Asam Fumarat menggunakan Metode
Solvent-drop Grinding.

D. Hasil dan pembahasan


Ko-kristal dibuat dengan metode penggilingan basah, penggilingan basah
memiliki beberapa keunggulan dibandingkan dengan penggilingan kering dan metode
lainnya seperti besarnya peluang pembentukan ko-kristal, kemampuan untuk
mengontrol produksi polimorf dan kristalinitas produk yang lebih baik. Penggilingan
basah tidak memerlukan banyak pelarut sehingga metode ini ramah lingkungan
(Alatas dkk, 2014). Ko-kristal pirimetamin-asam fumarat (PIR-FUM) dibuat dengan
perbandingan stoikiometri 1:1.

E. Kesimpulan
Karakterisasi dengan difraksi sinar-X serbuk, spektrum infra merah,
mikroskop polarisasi, dan uji kelarutan fasa menunjukkan terbentuknya ko-kristal
antara pirimetamin dengan asam fumarat. Pembentukan ko-kristal PIR-FUM (1:1)
dapat meningkatkan kelarutan pirimetamin dalam air dan dapar pH 6,8 berturut-turut
14 kali dan 21 kali lipat dari pirimetamin murni. Laju disolusi ko-kristal PIR-FUM
lebih tinggi daripada laju disolusi pirimetamin murni.

Anda mungkin juga menyukai