Anda di halaman 1dari 85

“Gagal Ginjal Kronik”

Makalah Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Kapita Selekta & Farmasi

Klinik dengan Dosen Pengampu: Caecilia Mutiarawati, M.Si., Apt.

Disusun oleh :

Ulfia Oktafiana Putri H. 10617111116

Agnes Rosalia Dita P. 1061721001

Ayu Lailatul Mubarokah 1061721007

Ganes Lutfi Tentipratiwi 1061721016

Nisrina Mawaddah 1061721021

Pipit Sekarningrum 1061721023

Ria Amalia 1061721025

Wening Kumala 1061721032

Yustin Indra Utama 1061721034

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER

SEKOLAH TINGGI ILMU FARMASI “YAYASAN PHARMASI SEMARANG “

2018

1
BAB I
PENDAHULUAN

Ginjal merupakan organ penting yang berfungsi menjaga komposisi darah


dengan mencegah menumpuknya limbah dan mengendalikan keseimbangan
cairan dalam tubuh, menjaga level elektrolit seperti sodium, potasium dan fosfat
tetap stabil, serta memproduksi hormon dan enzim yang membantu dalam
mengendalikan tekanan darah, membuat sel darah merah dan menjaga tulang tetap
kuat (Suwitra, 2009).
Penyakit ginjal kronis (PGK) merupakan masalah kesehatan masyarakat
global dengan prevalensi dan insidensi gagal ginjal yang meningkat, prognosis
yang buruk dan biaya yang tinggi. Prevalensi PGK meningkat seiring
meningkatnya jumlah penduduk usia lanjut dan kejadian penyakit diabetes melitus
serta hipertensi. Sekitar 1 dari 10 populasi global mengalami PGK pada stadium
tertentu (Anonim, 2017).
Hasil systematic review dan metaanalysis yang dilakukan oleh Hill et al,
2016, mendapatkan prevalensi global PGK sebesar 13,4%. Menurut hasil Global
Burden of Disease tahun 2010, PGK merupakan penyebab kematian peringkat ke-
27 di dunia tahun 1990 dan meningkat menjadi urutan ke-18 pada tahun 2010. Di
Indonesia, perawatan penyakit ginjal merupakan ranking kedua pembiayaan
terbesar dari BPJS kesehatan setelah penyakit jantung. Penyakit ginjal kronis
awalnya tidak menunjukkan tanda dan gejala namun dapat berjalan progresif
menjadi gagal ginjal. Penyakit ginjal bisa dicegah dan ditanggulangi dan
kemungkinan untuk mendapatkan terapi yang efektif akan lebih besar jika
diketahui lebih awal (Lim, SS et al, 2012).
Setiap hari kedua ginjal menyaring sekitar 120-150 liter darah dan
menghasilkan sekitar 1-2 liter urin. Tiap ginjal tersusun dari sekitar sejuta unit
penyaring yang disebut nefron. Nefron terdiri dari glomerulus dan tubulus.
Glomerulus menyaring cairan dan limbah untuk dikeluarkan serta mencegah
keluarnya sel darah dan molekul besar yang sebagian besar berupa protein.
Selanjutnya melewati tubulus yang mengambil kembali mineral yang dibutuhkan

2
tubuh dan membuang limbahnya. Ginjal juga menghasilkan enzim renin yang
menjaga tekanan darah dan kadar garam, hormon erythropoietin yang merangsang
sumsum tulang memproduksi sel darah merah, serta menghasilkan bentuk aktif
vitamin D yang dibutuhkan untuk kesehatan tulang (Manurung et. al, 2017)
Perubahan perkembangan zaman saat ini yang serba instan menyebabkan
pola hidup dan kualitas hidup manusia menurun yang berdampak pada penurunan
fungsi ginjal. Apabila penyakit ginjal tidak segera diobati dan ditangani
kemungkinan akan menyebabkan gagal ginjal. Gagal ginjal terjadi ketika ginjal
tidak mampu lagi melakukan fungsi penyaringan sampah dan racun yang
dikeluarkan pada tubuh. Gagal ginjal terdiri dari 2 jenis yaitu gagal ginjal akut
yang terjadi dengan cepat dan gagal ginjal kronis yang prosesnya lebih lambat dan
memiliki efek serius pada tubuh dalam jangka panjang jika dibiarkan
(Mahreswati, 2012).
Penderita gagal ginjal kronik terus meningkat dan diperkirakan
pertumbuhannya sekitar 10% setiap tahun. Dari data di beberapa pusat nefrologi
di Indonesia diperkirakan insiden dan prevalensi penyakit ginjal kronik masing-
masing berkisar 100-150/ 1 juta penduduk dan 200-225/ 1 juta penduduk. Pada
tahun 2013 di Indonesia terdapat 15.128 pasien yang baru menjalani hemodialisa
(HD) dan pada tahun 2014 jumlah pasien HD meningkat sebanyak 17.193 pasien
yang baru menjalani HD (Pernefri, 2014).
Komplikasi terjadi apabila gagal ginjal yang disertai hipertensi, maka akan
semakin mempercepat perkembangan penyakit serta menambah laju mortalitas
pasien. Terapi gagal ginjal kronik bertujuan untuk memperlambat perkembangan
penyakit gagal ginjal kronik, serta meminimalisasi perkembangan atau keparahan
komplikasi (Dipiro, 2009).

BAB II

3
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Tentang Ginjal


2.1.1 Definisi Ginjal
Ginjal adalah suatu organ yang secara struktural kompleks telah
berkembang untuk melaksanakan sejumlah fungsi penting, seperti : ekskresi
produk sisa metabolisme, pengendalian air dan garam, pemeliharaan
keseimbangan asam yang sesuai, dan sekresi berbagai hormon dan autokoid
(Yulinda, 2004). Ginjal terletak diluar rongga peritonium di bagian posterior,
sebelah atas dinding abdomen,masing-masing satu disetiap sisi. Setiap ginjal
terdiri dari sekitar satu juta unit fungsional yang disebut nefron (Corwin, 2008).
Ginjal berukuran panjang 11-12 cm, lebar 5-7 cm, kira-kira sebesar
kepalan tangan manusia dewasa (Guyton dan Hall, 2007). Ginjal kanan sedikit
lebih rendah dibanding ginjal kiri dan mempunyai ukuran panjang 7 cm dan tebal
3cm. Terbungkus dalam kapsul yang terbuka kebawah. Diantara ginjal dan kapsul
terdapat jaringan lemak yang membantu melindungi ginjal terhadap goncangan.
(Daniel S Wibowo, 2005).

Gambar 1. Anatomi ginjal secara umum

2.1.2 Fungsi Ginjal


Ginjal memiliki fungsi yaitu:
a. Mempertahankan keseimbangan H2O dalam tubuh.

4
b. Memelihara volume plasma yang sesuai sehingga sangat berperan dalam
pengaturan jangka panjang tekanan darah arteri.
c. Membantu memelihara keseimbangan asam basa pada tubuh.
d. Mengekskresikan produk-produk sisa metabolisme tubuh.
e. Mengekskresikan senyawa asing seperti obat-obatan.
f. Pembuangan Non-protein nitrogen Compund (NPN).
g. Mengatur keseimbangan elektrolit seperti natrium, kalium, klorida,fosfat,
kalsium dan magnesium.
h. Sebagai organ endokrin dimana ginjal mensintesis renin, eriroprotein, dan
prostaglandin (Verdiansah, 2016).

2.2. Tinjauan Gagal Ginjal Kronik


2.2.1 Definisi Gagal Ginjal Kronik
Gagal ginjal merupakan suatu penyakit dimana fungsi organ ginjal
mengalami penurunan hingga akhirnya tidak lagi mampu bekerja sama sekali
dalam hal penyaringan pembuangan elektrolit tubuh, menjaga keseimbangan
cairan dan zat kimia tubuh seperti sodium dan kalium didalam darah atau produksi
urin. Penyakit gagal ginjal berkembang secara perlahan kearah yang semakin
buruk dimana ginjal sama sekali tidak lagi mampu bekerja sebagaimana fungsinya
(Price and Wilson, 2006).
Gagal ginjal tejadi ketika ginjal tidak lagi mampu melakukan fungsi
penyaringan sampah dan racun untuk dikeluarkan dari tubuh secara optimal. Ada
dua jenis gagal ginjal, yaitu gagal ginjal akut dan kronis. Gagal ginjal akut terjadi
dengan cepat, sedangkan gagal ginjal kronis prosesnya lebih lambat dan memiliki
efek serius pada tubuh dalam jangka panjang jika dibiarkan. Ciri-ciri penyakit
gagal ginjal yang paling umum adalah adanya perubahan warna urine dan sakit
atau nyeri pada saat buang air kecil. Memang seringkali ciri-ciri penyakit gagal
ginjal ini hampir sama dengan penyakit umum lainnya, sehingga penanganannya
terlambat (Mahreswati, 2012).
Penyakit ginjal kronik adalah suatu proses patofisiologis dengan etiologi
yang beragam, yang mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif, dan
pada umumnya berakhir dengan gagal ginjal (Skorecki, 2005). Selanjutnya,
penyakit ginjal adalah suatu keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan
fungsi ginjal yang ireversibel, pada suatu derajat yang memerlukan terapi

5
pengganti ginjal yang tetap, berupa dialisis maupun transplantasi ginjal (Suwitra,
2009).

2.2.2 Klasifikasi Gagal Ginjal


Dalam dunia kedokteran dikenal 2 macam jenis gagal ginjal yaitu gagal
ginjal akut dan gagal ginjal kronis (Price and Wilson, 2006).
1. Gagal Ginjal Akut
Gagal ginjal akut/GGA atau Acute Renal Failure/ARF secara luas
didefinisikan sebagai penurunan laju filtrasi glomerulus (GFR) yang terjadi
selama beberapa jam hingga beberapa minggu, disertai dengan terjadinya
akumulasi produk buangan, termasuk ureum dan kreatinin (Sukandar dkk.,
2011).
Penurunan fungsi ginjal yang terjadi dalam waktu singkat
menyebabkan penderita GGA hanya mengalami sedikit gejala. Diagnosis yang
dapat diterima meliputi terjadinya peningkatan 50% dari batas atas nilai
normal serum kreatinin, atau sekitar 0,5 mg/dl atau terjadi penurunan sebesar
50% dari normal laju filtrasi glomerulus. Anuria merupakan kegagalan ginjal
karena kerusakan glomerulus sehingga tidak dapat mengeluarkan urin.
Oliguria terjadi jika volume urin dalam satu hari sekitar 50-450ml, sedangkan
kondisi non oliguria terjadi jika volume urin lebih dari 450ml per hari
(Mueller, 2005).
2. Gagal Ginjal Kronik
Gagal ginjal kronik adalah penyakit ginjal tahap akhir yang menahun
yang bersifat progresif, dimana kemampuan tubuh gagal untuk
mempertahankan metabolisme atau keseimbangan cairan dan elektrolit,
menyebabkan uremia (Retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam darah)
(Rendy, 2012).
Gagal ginjal kronik berkaitan dengan menurunnya fungsi ginjal secara
progresif irreversible dan biasanya timbul beberapa tahun setelah terjadi
penyakit atau kerusakan yang akhirnya menyebabkan dialisis ginjal,
transplantasi ginjal, atau kematian (Corwin, 2001).

6
Gambar 1. Struktur Organ Ginjal Pada Manusia (Sherwood, 2002)

Tabel 1. Klasifikasi Penyakit Gagal Ginjal Kronik Berdasarkan Nilai GFR

Klasifikasi gangguan ginjal pada penyakit ginjal kronik (chronic kidney


disesase- CKD)
Klasifikasi ini berdasarkan adanya kerusakan ginjal dan GFR, tanpa
bergantung dengan diagnosis
Tahap GFR Catatan
(mL/menit)
1 >90 Normal atau GFR ↑ dengan bukti lain kerusakan
ginjal*
2 60-89 GFR ↓ sedikit dengan bukti lain kerusakan ginjal*
3A 45-59 GFR ↓ sedang dengan atau tanpa bukti adanya
kerusakan ginjal*
3B 30-44
4 15-29 GFR ↓ banyak dengan atau tanpa bukti adanya
kerusakan ginjal*
5 <15 Terjadi gagal ginjal
*Proteinuria, hematuria, atau bukti adanya penyakit ginjal. Satu alasan untuk
mengklasifikasikan gangguan ginjal adalah untuk melakukan pencegahan
sekunder, misalnya untuk “memberikan” ACE-I atau ARB jika TD >140/85
terutama jika terjadi proteinuria atau tahap ≥3 (Longmore dkk., 2013).

LFG relatif konstan dan memberi gambaran yang kuat mengenai


kesehatan ginjal (Corwin, 2001). Nilai LFG normal adalah sekitar 125
ml/menit pada laki-laki dewasa muda dan 115 ml/menit pada perempuan
dewasa. LFG akan menurun sekitar 1 ml per menit setiap tahun setelah usia
30 tahun (Price and Wilson, 2006).

Tabel 2. Kategori Kerusakan Ginjal Berdasarkan Serum Kreatinin dan Klirens

7
Kliren Kreatinin
Derajat Kegagalan Ginjal Serum Kreatinin (mg/dl)
(ml/menit)
Normal ˃80 1,4
Ringan 57-79 1,5-1,9
Moderat 10-49 2,0-6,4
Berat ˂10 ˃6,4
Anuria 0 ˃12
(Sumber: Kemenkes, 2011)

Berdasarkan KDIGO tahun 2012, prognosis terjadinya gagal ginjal


bila dilihat dari nilai GFR dan albuminuria dapat dilihat pada tabel berikut ini.

Tabel 3. Kategori Kerusakan Ginjal Berdasarkan KDIGO 2012

CKD dikategorikan menurut tingkat fungsi ginjal, berdasarkan laju


filtrasi glomerulus (Glomerular Filtration Rate/GFR), CKD dibagi menjadi
tahap 1 sampai tahap 5, dengan peningkatan nomor menunjukkan
peningkatan derajat keparahan penyakit, yang didefinisikan sebagai
penurunan GFR (Hudson, 2008)

2.2.3 Patofisiologi Gagal Ginjal Kronik

8
Patofisiologi pasien gagal ginjal kronik tergantung oleh penyakit yang
menyebabkannya. Pada awalnya keseimbangan cairan dan penimbunan produksi
sisa masih bervariasi dan bergantung pada bagian ginjal yang sakit, hingga fungsi
ginjal turun kurang dari 25% (Corwin, 2009)
Nefron yang telah rusak mengakibatkan laju filtrasi, reabsorbsi dan sekresi
serta mengalami hipertrofi dalam proses tersebut. Seiring banyaknya nefron yang
mati, nefron yang tersisa menghadapi tugas yang semakin berat, sehingga nefron-
nefron tersebut mengalami kerusakan dan akhirnya mati. Siklus kematian tersebut
tampaknya berkaitan dengan nefron-nefron yang ada untuk meningkatkan
reabsorbsi protein. Seiring dengan progresif penyusutan dari nefron, akan terjadi
pembentukan jaringan parut dan penurunan aliran darah ke ginjal (Corwin, 2009).
Gangguan fungsi non-eksresi diantaranya adalah gangguan metabolisme
vitamin D yaitu tubuh mengalami defisiensi vitamin D. Vitamin D berguna untuk
menstimulasi usus dalam mengabsorpsi kalsium, maka absorbsi kalsium di usus
menjadi berkurang akibatnya terjadi hipokalsemia dan menimbulkan
demineralisasi ulang yang akhirnya tulang menjadi rusak. Penurunan sekresi
eritropoetin sebagai faktor penting dalam stimulasi produksi sel darah merah oleh
sumsum tulang menyebabkan produk hemoglobin berkurang dan terjadi anemia
sehingga peningkatan oksigen oleh hemoglobin (oksihemoglobin) berkurang maka
tubuh akan mengalami keadaan lemas dan tidak bertenaga (Nursalam, 2006)
Anemia terjadi akibat produksi eritropoietin yang tidak memadai,
memendeknya usia sel darah merah, defisiensi nutrisi dan kecenderungan untuk
mengalami perdarahan akibat status uremik pasien terutama dari saluran
pencernaan. Eritropoietin yang dipreduksi oleh ginjal menstimulasi sumsum
tulang untuk menghasilkan sel darah merah dan produksi eritropoitein menurun
sehingga mengakibatkan anemia berat yang disertai dengan keletihan, angina dan
sesak nafas (Singh, 2008)
Ketidakseimbangan kalsium dan fosfat merupakan gangguan metabolisme.
Kadar kalsium dan fosfat tubuh memiliki hubungan timbal balik. Jika salah
satunya meningkat maka fungsi yang lain akan menurun. Penurunan filtrasi
melaui glomerulus ginjal menyebabkan meningkatkan kadar fosfat serum, dan
sebaliknya, kadar kalsium menurun. Penurunan kadar kalsium menyebabkan

9
sekresi parathormon dari kelenjar paratiroid, tetapi gagal ginjal tubuh tidak dapat
merespon normal terhadap peningkatan sekresi parathormon sehingga kalsium
ditulang menurun, menyebabkan terjadinya perubahan tulang dan penyakit tulang
(Nursalam, 2006).

2.3 Etiologi Gagal Ginjal Kronik


Penyakit gagal ginjal kronik sering terjadi karena berkurangnya fungsi
nefron secara progresif yang disebabkan dari penyakit itu sendiri atau karena
komplikasi penyakit yang menyebabkan kerusakan bersifat irreversible pada
ginjal (Kimble dkk., 2009). Penyebab utama gagal ginjal kronik stadium akhir
atau End Stage Renal Disease (ESRD) adalah diabetes (34%), hipertensi (21%),
glomerulonephritis (17%), dan penyakit polikistik ginjal (3,5%). Insidensi ESRD
lebih besar pada laki-laki (56,3%) daripada perempuan (43,7%) (Price and
Wilson, 2006).

2.4 Tanda dan Gejala Gagal Ginjal Kronik


Gejala terkait dengan anemia meliputi intoleransi dingin, sesak nafas, dan
kelelahan. Pada pemeriksaan fisik sering ditemukan pasien tampak pucat dan
lemah. Namun dengan pemeriksaan yang teliti dan cermat akan ditemukan
keadaan-keadaan seperti anemia dan hipertensi. Menurut Dipiro (2009) tanda
yang muncul pada pasien dengan gagal ginjal kronik diantaranya proteinurea,
tanda kardiovaskular : kegagalan jantung, dislipidemia, jantung berdebar, aritmia,
hipertensi memburuk, dan edema. Muskuloskeletal: kram dan nyeri otot.
Neuropsikiatri: depresi, kecemasan, kelelahan, dan disfungsi seksual.
Gastrointestinal : sembelit, mual, dan muntah (Dipiro, 2009).
Pengukuran kreatinin lazimnya digunakan untuk mengetahui fungsi ginjal,
kreatinin merupakan hasil metabolisme keratin dari otot, kreatinin tidak terikat
oleh protein, tersaring sempurna oleh glomerulus ke dalam filtrate (urin).
Kenaikan serum kreatinin dalam darah menunjukan adanya penurunan fungsi
glomerulus, sehingga digunakan sebagai indikator penurunan fungsi ginjal
(Hakim, 2013).

10
Kondisi pada gagal ginjal kronik, kemampuan ginjal untuk mengatur
keseimbangan elektrolit (seperti natrium, klorida, kalium, kalsium, magnesium,
fosfat) berkurang, sehingga diperlukan pemeriksaan laboratorium terhadap kadar
elektrolit-elektrolit tersebut (Dipiro, 2009).

2.5 Pemeriksaan Diagnostik


1. Pemeriksaan Urin
Ada beberapa pemeriksaan yang bisa dilakukan, untuk mengetahui
kondisi ginjal. Petunjuk awal adanya kerusakan ginjal, bisa diketahui terutama
melalui pemeriksaan urin. Pemeriksaan urin rutin (urinalisis) terdiri dari
analisa kimia untuk mendeteksi protein, kreatinin, gula dan keton; dan analisa
mikroskopik untuk mendeteksi sel darah merah dan sel darah putih. Adanya
sel darah dan albumin (sejenis protein) dalam urin, bisa merupakan petunjuk
terjadinya kerusakan ginjal.
2. Ureum
Ureum merupakan produk akhir dari metabolisme protein sebagai hasil
akhir pemecahan asam amino (Kallenbach, et al, 2005). Ureum dibentuk di
liver dan dibersihkan dari aliran darah oleh ginjal. Sehingga nilai ureum
dalam darah dapat digunakan dalam mendeteksi fungsi ginjal. Nilai ureum
normal pada orang dewasa adalah 5–20 mg/dL, pada laki – laki lebih tinggi
nilai kadarnya.
Konsentrasi urea sewaktu difiltrasi di glomerulus setara dengan
konsentrasi pada plasma yang memasuki kapiler tubulus. Urea di filtrasi oleh
glomerulus dan direabsorbsi sebagian oleh hati. (Elizabert, 2001).
Produksi urea meningkat karena asam amino dengan jumlah yang lebih
banyak dimetabolime di hati. Hal ini dapat terjadi dengan diet tinggi protein,
pemecahan jaringan, atau penurunan sintesa protein. Sebaliknya, produksi
urea menurun jika asupan protein berkurang dan menderita penyakit hati
akut. (Lawrence, 1996)
3. Kreatinin

11
Kreatinin merupakan hasil akhir metabolisme otot yang berasal dari
keratin dan Fosfokreatin yang berada dalam otot skeletal. Jumlah normal
kreatinin tergantung pada massa otot, aktivitas fisisk dan diet ( Kallenbach, et
al, 2005 Pemeriksaan ini dilakukan untuk mengetahui keadaan ginjal
seseorang, apakah ada kerusakan ginjal dengan adanya peningkatan kreatinin .
Kadar Kreatinin normal untuk pria adalah 0,6 – 1,2 mg/dl dan untuk wanita
0,5 – 1,1 mg/dl serum (Mosby dictionary, 2009). Nilai kreatinin pada pria
lebih tinggi karena jumlah massa otot pria lebih besar dibandingkan jumlah
massa otot wanita.
4. Klirens Kreatinin (KlKr)
Dalam keadaan normal, kreatinin tidak diekskresi atau direabsorpsi
oleh tubulus ginjal dalam jumlah yang bermakna. Oleh karena itu ekskresi
terutama ditentukan oleh filtrasi glomeruler, sehingga laju filtrasi glomeruler
(LFG) dapat diperkirakan melalui penentuan kliren kreatinin endogen.
Ketepatan klirens kreatinin sebagai ukuran dari laju filtrasi glomeruler
menjadi terbatas pada gangguan ginjal. Walaupun demikian, secara umum uji
klirens kreatinin masih merupakan uji fungsi ginjal yang terpilih. Pengukuran
klirens kreatinin penderita yaitu melalui:
a. Pengumpulan urin selama 24 jam Merupakan metode yang paling tepat
dalam pengukuran klirens kreatinin penderita adalah melalui
pengumpulan urin selama jangka waktu 24 jam dan pengambilan
cuplikan plasma di antara jangka waktu tersebut. Selanjutnya dapat
dihitung dengan rumus sebagai berikut :

Klkr = { } ml/menit

U = kadar kreatinin urin (mikromol/liter)


V = laju aliran urin (ml/menit)
S = kadar kreatinin serum (mikromol/liter).
b. Rumus Cockroft dan Gault Merupakan cara yang sangat berguna untuk
memperkirakan kadar kreatinin serum dan mencatat faktor yang
mempengaruhi massa otot penderita (usia, jeniskelamin dan berat

12
badan) dan memungkinkan perkiraan klirens kreatinin dari data rata-
rata populasi.
Persamaan Cockroff dan Gault:
(140 - umur) x berat badan
Pada pria: Klkr ( ml/menit) =
72 x scr
(140 - umur) x berat badan x 0,85
Pada wanita: Klkr ( ml/menit) =
72 x scr
Diketahui untuk satuan Clcr adalah ml/mnt, satuan umur adalah tahun,
satuan berat adalah kg, dan satuan Serum creatinine (Scr) adalah
mg/dL (Hakim, 2013).
c. Persamaan MDRD
Pada pria : GFR (mL/menit/1,73m2) = 175 x (Scr)-1,154 x (usia)-0,203

Pada wanita : GFR pada pria dikalikan 0,742

[Scr = kreatinin serum dalam mg/dL, usia dalam tahun] (Hakim,

2013).

5. Albumin
Pemeriksaan ini digunakan untuk mengetahui adanya albumin dalam urin.
Normal:<30 mg/24 jam. (http://prodia.co.id/kimia/microalbumin-kuantitatif).
Urin normal mengandung sejumlah kecil protein, proteinuria menunjukkan
peningkatan ekskresi albumin urin, protein spesifik lainnya atau total protein,
terminologi albuminuria menunjukkan secara khusus peningkatan ekskresi
albumin urin, terminologi mikro albuminuria menunjukkan ekskresi albumin urin
yang di atas batas normal namun di bawah dari kadar yang dapat dideteksi oleh
tes untuk ekskresi total protein urin (De Zeeuw D, 2005).
 Ultrasonografi (USG)
Ultrasonografi dilakukan untuk menilai besar dan bentuk ginjal, tebal
korteks ginjal, kepadatan parenkim ginjal, anatomi sistem pelviokalises, ureter
proksimal, kandung kemih serta prostat. Pemeriksaan ini bertujuan untuk
mencari adanya faktor yang reversibel dan menilai apakah proses sudah lanjut.
 GFR (Gromerular filtration rate)

13
Laju rata-rata penyaringan darah yang terjadi di glomerulus yaitu sekitar
25% dari total curah jantung per menit, ± 1,300 ml . GFR digunakan sebagai
salah satu indikator menilai fungsi ginjal. Biasanya digunakan untuk
menghitung bersihan kreatinin. Kreatinin adalah bahan ampas dalam darah
yang dihasilkan oleh penguraian sel otot secara normal selama kegiatan. Ginjal
yang sehat menghilangkan kreatinin dari darah dan memasukkannya pada air
seni untuk dikeluarkan dari tubuh. Bila ginjal tidak bekerja sebagaimana
mestinya, kreatinin bertumpuk dalam darah. Komposisi dari hasil filtrasi
glomerulus adalah kalsium, asam lemak, dan mineral (Roosmarinto, et. al,
2015)

2.6 Komplikasi Penyakit Gagal Ginjal


Menurut Price and Wilson (2006), penyebab utama gagal ginjal kronik
stadium akhir atau End Stage Renal Disease (ESRD) adalah hipertensi (21%).
Tekanan darah tinggi merupakan penyebab dari gagal ginjal kronik. Seiring
waktu, tekanan darah tinggi dapat menyebabkan kerusakan pembuluh darah pada
tubuh. Hal ini dapat menyebabkan berkurangnya suplai darah ke organ penting
dalam tubuh, salah satunya ginjal. Tekanan darah tinggi dapat merusak unit
penyaringan terkecil pada ginjal, akibatnya ginjal dapat mengalami penurunan
fungsi dalam hal membuang cairan dan kotoran dari dalam tubuh. Kelebihan
cairan dalam pembuluh darah akan menumpuk dan meningkatkan tekanan darah.
Tekanan darah tinggi juga dapat menjadi komplikasi dari gagal ginjal
kronik. Salah satu fungsi ginjal yang paling penting adalah menjaga tekanan
darah. Gangguan ginjal menyebabkan terganggunya pengaturan tekanan darah
dalam tubuh dan menyebabkan meningkatnya tekanan darah. Pasien dengan gagal
ginjal kronik yang komplikasi dengan hipertensi juga dapat menyebabkan
masalah pada jantung. Pasien dengan gagal ginjal diharuskan untuk menjaga
tekanan darah agar tidak memperparah ginjal dan untuk mencegah penyakit
jantung (National Kidney Foundation, 2010).
2.8 Algoritma Pada Pasien Gagal Ginjal
a. Algoritma terapi gagal ginjal dengan diabetes (Dipiro, dkk., 2015)

14
15
b. Algoritma terapi gagal ginjal dengan hipertensi (JNC 8)

Dewasa usia ≥18 th dengan HTN


Menerapkan modifikasi gaya hidup
Tetapkan sasaran TD, mulailah obat penurun TD berdasarkan algoritma

Populasi umum (Tidak Diabetes atau Diabetes atau CKD


CCKD)

Semua umur Semua umur dan Ras


Usia ≥60 th Usia <60 th Ada Diabetes Ada CKD dengan atau
Tidak CKD tanpa Diabetes

Tujuan Tujuan TD
TD<150/90 <140/90 Tujuan TD Tujuan TD
<140/90 <140/90

Tidak Hitam Hitam


Hitam Memulai ACEI
atau ARB, sendiri
Memulai thiazide, ACEI, atau kombinasi
Memulai thiazide
ARB or CCB, tunggal dengan kelas lain
atau CCB, tunggal
atau kombinasi atau kombinasi

Tujuan tekanan darah? Ya

Tidak
Memperkuat gaya hidup dan kepatuhan
titrasi obat ke dosis maksimum atau pertimbangkan untuk menambahkan obat
lain (ACEI, ARB, CCB, Thiazide)

Tujuan tekanan darah? Ya

Tidak
Memperkuat gaya hidup dan kepatuhan
tambahkan kelas obat yang belum dipilih (eg, beta blocker, antagonis aldosteron,
lainnya) dan titrasi di atas obat sampai maksimal

Tujuan tekanan darah? Ya lanjutkan perawatan


dan pemantauan
Tidak
Memperkuat gaya hidup dan kepatuhan titrasikan obat sampai dosis
maksimum, tambahkan obat lain dan atau lihat manajemen hipertensi

16
c. Algoritma terapi gagal ginjal non diabetes (Dipiro, dkk., 2005)

17
d. Algoritma terapi gagal ginjal dengan anemia (Dipiro, dkk., 2005)

18
2.8 Tujuan Terapi
Gagal ginjal kronik tidak dapat disembuhkan. Jadi tujuan terapi pada
pasien dengan gagal ginjal kronik adalah:
1. Mengatasi gejala dan tanda gagal ginjal.
2. Meningkatkan kelangsungan hidup.
3. Menurunkan morbiditas dan mortilitas.
4. Meningkatkan kualitas hidup.
5. Meminimalkan komplikasi.
6. Memperlambat perkembangan penyakit.
7. Mengobati penyebab utama gagal ginjal.

2.9 Tatalaksana dan Terapi Penyakit Gagal Ginjal Kronik


2.9.1 Terapi Non Farmakologi
a. Pengaturan diet protein
Pembatasan asupan protein dapat memperlambat perkembangan
gagal ginjal dengan atau tanpa diabetes. Jumlah protein yang
diperbolehkan adalah 0,6 – 0,75 g/Kg/hari (Dipiro, 2009), bila
pasien menerima dialisis jumlah protein yang diperbolehkan hingga
1g/Kg/hari (Price and Wilson, 2006).
b. Pengaturan diet kalium
Hiperkalemia umumnya menjadi masalah dalam gagal ginjal,
sehingga perlu dibatasi asupan kalium dalam diet. Jumlah yang
diperbolehkan dalam diet adalah 40 – 80 mEq/hari (Price and Wilson,
2006).
c. Pengaturan diet natrium
Jumlah natrium yang biasanya diperbolehkan adalah 40 – 90
mEq/hari atausekitar 1 – 2 gram (Price and Wilson, 2006).
d. Dialisis
Dialisis adalah proses pembersihan senyawa eksogen (termasuk
obat) dan metabolitnya serta metabolit endogen dari tubuh ke cairan
dialisat dengan mekanisme difusi pasif. Ada dua cara dialisis, yaitu
peritoneal dialisis dan hemodialisis.
Efektivitas dialisis (klirens dialisis) sangat diperlukan untuk
membersihkan darah dari akumulasi obat (pada over-dosis) atau racun,

19
baik yang berasal dari senyawa endogen atau eksogen. Peritoneal dialisis
merupakan dialisis yang menggunakan membran peritoneal di dalam
abdomen yang berfungsi sebagai filter dan bekerja berdasarkan difusi.
Hemodialisis, dalam pelaksanaannya diperlukan mesin dialisis
yang berfungsi mengalirkan darah yang akan dibersihkan agar tersaring
melalui filter sehingga ‘kotoran’ masuk dan larut di dalam cairan
diasilat, darah bersih masuk kembali ke dalam tubuh. Teknik dialisis ini
lebih efektif dan cepat dalam membersihkan darah, namun efektivitasnya
tergantung filter yang digunakan (Hakim, 2013).

Tabel 4. Kebutuhan Nutrisi Pada Pasien Gagal Ginjal


Nutrisi Fungsi Ginjal Stadium 1-4 Stadium 5 Stadium 5 Transplantasi
Normal Gagal Ginjal Hemodialisis Dialisis
Kronik Peritonial
35 untuk
usia<60 th
35 untuk 35 untuk 30-35
30-35 awal
Kalori usia<60 th usia<60 th untuk usia
30-37 25-30 untuk
(kcal/kg/d) 30-35 untuk 30-35 untuk ≥ 60 th
pemeliharaan
usia ≥ 60 th usia ≥ 60 th termasuk
kalori dari
dialisis
1,3-1,5 awal
Protein
0,8 0,6-0,75 1,2 1,2-1,3 1,0 untuk
(gm/kg/d)
pemeliharaan
Pasien dianggap berisiko tinggi untuk
terkena penyakit kardiovaskular, apabila
Fat (% Total < 10% lemak
30%-35% tekanan pada asam lemak tak jenuh ganda
kcal) jenuh
dan asam lemak tak jenuh tunggal, 250-
300 mg kolesterol / hari
Tidak terbatas,
Sodium Tidak
2.000 2.000 2.000 memantau
(mg/d) terbatas
efek obat
3.000-
Berhubungan 2.000-3000 Tidak terbatas,
Potassium Tidak 4.000 (8-
dengan nilai (8-17 memantau
(mg/d) terbatas 17
laboratorium mg/kg/d) efek obat
mg/kg/d)
≤ 2.000
≤ 2.000 dari dari
Kalsium Tidak
1.200 makanan dan makanan 1.200
(mg/d) terbatas
obat-obatan dan obat-
obatan
Fosfor Tidak berhubungan 800-1.000 800-1.000 tidak dibatasi

20
dengan nilai kecuali
(mg/d) terbatas
laboratorium diindikasikan
terbatas
Dipantau tidak dibatasi
Elektrolit Tidak dengan 1.000 +
1.500- kecuali
(ml/d) terbatas keluaran urin keluaran urin
2.000 diindikasikan
yang normal

e. Transplantasi Ginjal
Transplantasi ginjal adalah terapi penggantian ginjal yang
melibatkan pencangkokan ginjal dari orang hidup atau mati kepada orang
yang membutuhkan. Transplantasi ginjal menjadi terapi pilihan untuk
sebagian besar pasien dengan gagal ginjal dan penyakit ginjal stadium
akhir. Transplantasi ginjal menjadi pilihan untuk meningkatkan kualitas
hidup pasien.
Transplantasi ginjal merupakan terapi pengganti ginjal (anatomi
dan faal). Pertimbangan program transplantasi ginjal, yaitu:
1. Cangkok ginjal (kidney transplant) dapat mengambil alih seluruh
(100%) faal ginjal, sedangkan hemodialisis hanya mengambil alih 70-
80% faal ginjal alamiah.
2. Kualitas hidup normal kembali.
3. Masa hidup (survival rate) lebih lama.
4. Komplikasi (biasanya dapat diantisipasi) terutama berhubungan
dengan obat imunosupresif untuk mencegah reaksi penolakan.
5. Biaya lebih murah dan dapat dibatasi (Suwitra, 2009)

2.9.2 Terapi Farmakologi


2.9.2.1 Pasien Gagal Ginjal dengan Hipertensi dan Penyakit Vaskular lainnya
Penyakit vascular merupakan penyebab utama kematian pada gagal ginjal
kronik. Pada pasien yang tidak menyandang diabetes, hipertensi mungkin
merupakan faktor risiko yang paling penting. Sebagaian besar hipertensi pada
penyakit ginjal kronik disebabkan hipervolemia akibat retensi natrium dan air.
Keadaan ini biasanya tidak cukup parah untuk bisa menimbulkan edema, namun
mungkin terdapat ritme jantung tripel. Hipertensi seperti itu biasanya memberikan
respons terhadap restriksi natrium dan pengendalian volume tubuh melalui

21
dialysis. Jika fungsi ginjal memadai, pemberian furosemid dapat bermanfaat
(Callaghan,2006).
Hipertensi dapat mempercepat penurunan fungsi ginjal sehingga harus
diobati secara agresif yaitu dengan menurunkan tekanan arteri dan tekanan
hidrostatik glomerulus dengan menggunakan obat ACEI / ARB dan dapat
dikombinasi dengan diuretik (Guyton dan Hall, 2007 : 432).
a. Diuretik
1. Golongan Thiazid
Diuretik golongan thiazid digunakan untuk mengurangi edema akibat gagal
jantung dan dengan dosis yang lebih rendah, untuk menurunkan tekanan darah.
Thiazid dan senyawa-senyawa terkait merupakan diuretik dengan potensi sedang,
yang bekerja dengan cara menghambat reabsorbsi natrium pada bagian awal
tubulus distal (BPOM, 2015).
Diuretik golongan thiazid adalah obat lini pertama untuk kebanyakan pasien
dengan hipertensi. Bila terapi kombinasi diperlukan untuk mengontrol tekanan
darah, diuretic salah satu obat yang direkomendasikan (Depkes RI, 2006).
Contoh obat : Klortalidon, Hidroklorotiazid, dan Indapamid (Dipiro dkk., 2009).
Obat Kontra Indikasi Interaksi Dosis Frekuensi
(mg/day) Pemakaian
Klorthalidon Hipersensitif Thiazid dapat 12,5 – 25 1
terhadap thiazid meningkatkan efek ACE
atau derivat inhibitor, Allopurinol,
HCT sulfonamid: Amifostin, 1,25 – 5 1
anuria: Antihipertensi,
Indapamid dekompensasi Kalsitriol, Garam 1,25 – 2,5 1
ginjal: kehamilan kalsium, Karbamazepin,
Zat hipotensif, Litium,
Topiramate

2. Diuretik kuat (loop diuretic)


Diuretik golongan ini digunakan untuk edema paru akibat gagal jantung
ventrikel kiri dan pada pasien dengan gagal jantung kronik. Diuretik kuat kadang
digunakan untuk menurunkan tekanan darah terutama pada hipertensi yang
resisten terhadap terapi thiazide (BPOM, 2015).
Contoh obat : Furosemid (Dipiro dkk., 2009).

22
Dosis Frekuensi
Obat Kontra Indikasi Interaksi
(mg/day) Pemakaian
Furosemid dapat
meningkatkan efek ACE
Hipersensitif inhibitor, Allopurinol,
Furosemid terhadap Amifostin, Antihipertensi, *20-80 2
furosemid; anuria Aminoglikosida,
neuromuscular, blocking
agent, Salisilat
*sumber : Drug Information Handbook 20th edition

3. Diuretik hemat kalium


Diuretik golongan ini merupakan diuretik yang lemah. Suplemen kalium
tidak boleh diberikan bersama diuretik hemat kalium. Pemberian diuretik hemat
kalium pada pasien yang menerima suatu penghambat ACE atau antagonis
reseptor angiotensin II dapat menyebabkan hiperkalemia berat (BPOM, 2015).
Contoh obat : Spironolakton (Dipiro dkk., 2009).
Dosis Frekuensi
Obat Kontra Indikasi Interaksi
(mg/day) Pemakaian
Spironolakton dapat
Anuria,
meningkatkan efek ACE
insufisiensi
inhibitor, Amifostine,
ginjal akut,
Ammonium Klorid, zat
penurunan yang
Spironolakton hipotensif, *25-50 1-2
signifikan dari
Antihipertensi,
ekskresi fungsi
Glikosida jantung,
ginjal,
neuromuscular blocking
hiperkalemia
agent
*sumber : Drug Information Handbook 20th edition

b. Angiotensin- Converting Enzym (ACE) Inhibitor


ACE inhibitor dianggap sebagai terapi lini kedua setelah diuretik pada
kebanyakan pasien hipertensi. Beberapa studi menunjukan ACE inhibitor lebih
efektif dalam menurunkan risiko kardiovaskuler daripada obat hipertensi lainnya
(Depkes RI, 2006).
ACE inhibitor bekerja dengan cara menghambat konversi angiotensin I
menjadi angiotensin II. ACE inhibitor merupakan terapi awal yang sesuai untuk

23
hipertensi. Pada beberapa pasien, obat ini menurunkan tekanan darah dengan
sangat cepat terutama pada pasien yang juga mendapatkan terapi diuretik. ACE
inhibitor dapat menyebabkan penurunan tekanan darah yang sangat cepat, karena
itu terapi diuretik dihentikan untuk beberapa hari sebelum memulai terapi dengan
ACE inhibitor, dan dosis pertama sebaiknya diberikan sebelum tidur (BPOM,
2015).
Contoh obat : Captopril, Enalapril, Lisinopril, Perindopril, dan Ramipril (Dipiro

dkk., 2009).

Dosis Frekuensi
Obat Kontra Indikasi Interaksi
(mg/day) Pemakaian
Captopril Hipersensitif terhadap *25 – 100 2–3
Perindopril ACE inhibitor, ACE inhibitor 4–6 1
Ramipril Angioderma yang dapat 2,5 – 10 1–2
terjadi karena meningkatkan efek
Trandolapril pengobatan ACE Allopurinol, 1–4 1
inhibitor Amifostin,
Enalapril (Sama dengan Antihipertensi, 5 – 40 1–2
captopril), pasien Siklosporin, zat
Lisinopril dengan idiphatik atau hipotensif, Litium 10 – 40 1
keturunan angioderma
*sumber : Drug Information Handbook 20th edition

c. Angiotensin II Reseptor Blocker (ARB)


Angiotensin II dihasilkan dengan melibatkan dua jalur enzim yaitu RAAS
(Renin Angiotensin Aldosterone System) yang melibatkan ACE dan jalan alternatif
yang menggunakan ezim lain seperti chymase. ACE inhibitor hanya menghambat
efek angiotensin yang dihasilkan melalui RAAS, dimana ARB menghambat
angiotensin II dari semua jalan (Depkes RI, 2006).
Penghambat reseptor angiotensin II memiliki sifat mirip dengan ACE
inhibitor, tetapi obat golongan ini tidak menghambat pemecahan bradikin dan
kinin – kinin lainnya, sehingga tidak menimbulkan batuk kering persisten yang
biasanya mengganggu terapi dengan ACE inhibitor. Karena itu, obat golongan ini
merupakan alternatif berguna untuk pasien yang harus menghentikan ACE
inhibitor akibat batuk yang persisten (BPOM, 2015).
Contoh obat : Candesartan, Irbesartan, Losartan, Olmesartan, Telmisartan dan
Valsartan (Dipiro dkk., 2009).

24
Dosis Frekuensi
Obat Kontra Indikasi Interaksi
(mg/day) Pemakaian
Hipersensitif
terhadap ARB,
gangguan fungsi
Candesartan hati yang berat ARB dapat meningkatkan *4 – 32 1–2
atau kolestasis, efek dari ACE inhibitor,
kehamilan dan Amifostine, Antihipertensi,
menyusui zat hipotensif, Litium,
Eprosartan Potassium Sparing Diuretic 600 – 800 1–2
Irbesartan *150 – 300 1
Olmesartan *20 – 40 1
Valsartan *80 – 320 1
Hipersensitif
(sama dengan candesartan),
Losaran terhadap ARB 50 – 100 1–2
zat Hipoglikemik
(sama dengan
Telmisartan Candesartan), glikosida *20 – 80 1
jantung, ramipril
*sumber : Drug Information Handbook 20th edition

d. Calcium Channel Blocker (CCB)


Antagonis kalsium bekerja dnegan cara menimbulkan dilatasi pembuluh
darah perifer dan pembuluh darah jantung pada penderita hipertensi. Setelah
terjadi dilatasi, maka tekanan yang dihasilkan oleh aliran darah terhadap dinding
pembuluh darah mengalami penurunan. Obat ini tidak mempengaruhi kalsium
dalam tulang. Beberapa obat antagonis kalsium memberikan keuntungan
tambahan dengan memperlambat denyut jantung, sehingga dapat menurunkan
tekanan darah (Sheps, 2005).
CCB bukan agen lini pertama tetapi merupakan obat antihipertensi yang
efektif, terutama pada ras kulit hitam. CCB mempunyai indikasi khusus untuk
yang berisiko tinggi penyakit koroner, tetapi sebagai obat tambahan atau
pengganti (Depkes RI, 2006).
Contoh obat : Diltiazem, Verapamil, Amlodipin, Felodipin dan Nicardipin (Dipiro
dkk., 2009).
Dosis Frekuensi
Obat Kontra Indikasi Interaksi
(mg/day) Pemakaian
Diltiazem SR Dapat meningkatkan efek *120 – 360 2
Diltiazem SR Hipersensitif terhadap dari Alfentanil, Amiodarone, 120 – 480 1
diltiazem, stick sinus Antihipertensi,
syndrome, hipotensi yang Benzodiazepin,
Diltiazem ER parah, acute MI dan Carbamazepin, glikosidan 120 – 540 1
pulmonary congestion jantung,zat hipotensif, garam
magnesium, salisilat
Verapamil IR 80 – 320 2

25
Verapamil ER Hipersensitif terhadap 100 – 400 1
Verapamil ER verapamil, disfungsi Dapat meningkatkan efek 180 – 420 1
Verapamil SR ventrikel kiri yang parah, dari alcohol, Aliskiren, 180 – 480 1–2
hipotensi atau cardiogenic Amifostine, Amiodarone,
shock, sick sinus syndrome, Antihipertensi,
Wolf Parkinson Ehite Benzodiazepin,
Verapamil Sindrom, ventricular Simvastatin,Carbamazepin, 120 – 360 1
thacycardia, penggunaan Litium, zat hipotensif, garam
bersama beta blocking magnesium, salisilat
agent
Hipersensitif terhadap Dapat meningkatkan efek
Amlodipin *2,5 – 10 1
amlodipin Amifostine, Antihipertensi,
zat hipotensif, garam
Hipersensitif terhadap
Felodipin magnesium, neuromuscular 2,5 – 20 1
felodipin
blocking agent, tacrolimus
Nikardipin SR Dapat meningkatkan dari 60 – 120 2
Nikardipin inj Alfuzosin, Almotriptan, *5 – 60
Nifedipin Alosetron, Antihipertensi, zat *30 – 120 1
Hipersensitif terhadap
hipotensif, garam
nikardipin, advance aortic
magnesium,
stenosis
Nifedipin LA metilprednisolon, 30 – 90 1
neuromuscular blocking
agent, fenitoin
*sumber : Drug Information Handbook 20th edition

e. Penyekat β-adreno reseptor (β-blocker)


Golongan obat ini menghambat adrenoreseptor beta di jantung, pembuluh
darah perifer, bronkus, pankreas, dan hati. β-blocker efektif untuk menurunkan
tekanan darah namun antihipertensi lain biasanya lebih efektif untuk menurunkan
kejadian stroke, infarkmiokard, dan kematian akibat penyakit kardiovaskuler
terutama pada lansia. Oleh karena itu, antihipertensi lain lebih dipilih untuk
pengobatan awal hipertensi tanpa komplikasi (BPOM, 2015).
Pada beberapa studi menyarankan β-blocker digunakan sebagai obat
tambahan untuk menurunkan tekanan darah dan menunjukan berkurangnya risiko
kardivaskulaer apabila β-blocker digunakan pasca infark miokard, pada sindroma
coroner akut, atau pada angina stabil kronis (Depkes RI, 2006).
Contoh obat : Atenolol, Bisoprolol, dan Timolol (Dipiro dkk., 2009).
Dosis Frekuensi
Obat Kontra Indikasi Interaksi
(mg/day) Pemakaian
Atenolol Hipersensitif Dapat meningkatkan efek 25 – 100 1
Betaksolol terhadap atenolol, dari alfa/beta agonis 5 – 20 1

26
Timolol 10 – 40 2
sinus bradikardi, antihipertensi,
sinus nide amifostine, glikosida
dysfunction, jantung, zat hipotensi,
Cardiogenic shock,
gagal jantung,
Bisoprolol *2,5 – 10 1
marked sinus
(sama dengan atenolol),
bradikardi
zat antipsikotik
Metoprolol
Hipersensitif (phenothiazines) 100 – 400 2
tartrat
terdahap
Metoprolol
metoprolol 50 – 200 1
accinate
*sumber : Drug Dosing Adjustments in Patients with Chronic Kidney Disease

f. Manitol

Secara hipotesis, manitol meningkatkan translokasi cairan ke intravaskuler

sehingga dapat digunakan untuk tatalaksana GGK khususnya pada tahap

oligouria. Namun kegunaan manitol ini tidak terbukti bahkan dapat menyebabkan

kerusakan ginjal lebih jauh karena bersifat nefrotoksik, menyebabkan agregasi

eritrosit dan menurunkan kecepatan aliran darah. Efek negatif tersebut muncul

pada pemberian manitol lebih dari 250 mg/kg tiap 4 jam. Penelitian lain

menunjukkan sekalipun dapat meningkatkan produksi urin, pemberian manitol

tidak memperbaiki prognosis pasien (Sja’bani, 2008).

2.9.2.2 Pasien Gagal Ginjal dengan Anemia


Anemia pada penyakit ginjal kronik disebabkan oleh produksi eritropoietin
yang tidak adekuat oleh ginjal dan diobati dengan pemberian eritropoietin
subkutan atau intravena. Hal ini hanya bekerja bila kadar besi, folat, dan vitamin
B12 adekuat dan pasien dalam keadaan baik. Sangat jarang terjadi, antibodi dapat

27
terbentuk melawan eritropoietin yang diberikan sehingga terjadi anemia aplastik
(Callaghan, 2006).
Banyak terjadi pada sebagian besar keluhan pasien GGK dan dapat diatasi
dengan pemberian erythropoetin manusia yang diperoleh dari rekombinasi
genetik. Dosis permulaan dengan dosis 80-120 unit/kgBB/minggu SC (KDIGO,
2012).

2.9.2.3 Terapi Komplikasi


Pengelolaan komplikasi yang mungkin timbul dapat dilakukan secara
konservatif, sesuaidengan anjuran yang dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 5. Penatalaksanaan Komplikasi GGK (Robert, 2010)

2.10 Penyesuaian Dosis


Sebagian besar obat yang larut air diekskresikan dalam jumlah tertentu
dalam bentuk utuh melalui ginjal. Dosis obat–obat tersebut butuh penyesuaian
yang hati–hati, apabila obat tersebut diresepkan pada pasien dengan fungsi ginjal
yang telah menurun. Akumulasi dan toksisitas dapat meningkat dengan
cepatapabila dosis tidak disesuaikan pada pasien yang mengalami penurunan

28
fungsi. ginjal. Sebagian besar obat juga memiliki efek samping nefrotik, sehingga
dosis juga harus disesuaikan pada pasien yang mengalami penurunan fungsi ginjal
(Sukandar, 2006).
Strategi untuk menyesuaikan dosis pada pasien gagal ginjal dapat
membantu dalam terapi obat individu dan membantu meningkatkan keamanan
obat. Metode yang direkomendasikan dalam mengatur penyesuaian dosis adalah
dengan mengurangi dosis, memperpanjang interval dosis atau kombinasi
keduanya (Munar dan Singh, 2007). Pengetahuan penyesuaian dosis obat untuk
pasien dengan insufisiensi ginjal sangat penting untuk mencegah dan mengurangi
akumulasi obat tersebut dalam tubuh. Angka kejadian efek samping obat pada
pasien penyakit ginjal kronik ternyata lebih banyak dibandingkan dengan pasien
yang mempunyai faal ginjal normal (Sukandar, 2006).
Bila kreatinin klirens dibawah 60 mL/menit, maka perlu penyesuaian dosis
obat yang dikonsumsi. Penyesuaian dapat dengan cara mengurangi dosis obat atau
memperpanjang interval minum obat. Penyesuaian ini bertujuan untuk mendapat
efek terapeutik maksimal tanpa efek samping. Pedoman penyesuaian dosis obat
dibagi menjadi tiga kategori berdasarkan nilai GFR (<10 mL/menit/1,73m 2, 10-50
mL/menit/1,73m2, dan >50 mL/menit/1,73m2).
Penyesuaian dosis obat berdasarkan American Family Physician (AAFP)
dan Drug Information Handbook (DIH) untuk penderita penyakit ginjal kronik
yang dibagi berdasarkan Laju Filtrasi Glomerolus (LFG) dan untuk pasien
hemodialisa berdasarkan literatur UWHC Clinical Directive for renal
FunctionBased Dose Adjustment in Adults.

Tabel 5. Penyesuaian dosis obat berdasarkan American Family Physician (AAFP) dan Drug

Information Handbook (DIH) untuk penderita penyakit ginjal kronik berdasarkan


Laju Filtrasi Glomerolus (LFG).
Nama Obat Dosis Dewasa Normal Penyesuaian dosis Regimen
berdasarkan LFG dosis post
(mL/menit/1,73 m2) hemodiali
sa
(UWHC
CDP,
2010)
DIH AAFP >50 10-50 <10
ARB

29
Candesartan 16 mg; 1x sehari - Tidak - - -
dibutuhkan
penyesuaian
dosis
Irbesartan 150 mg; 1x sehari - Sedang-berat:
tidak
dibutuhkan
penyesuaian
dosis
Valsartan 80-160 mg; 1x - ≥ 30 Tidak < 30
sehari butuh Tidak
ada
ACEI
Captopril 25 mg2x sehari; 25 mg 100% 75% 50% tiap Hemodialis
12,5 mg 3x sehari 3x/hari tiap 12 24 jam a: 6,25-50
jam-18 mg setiap
jam hari
sekali
Ramipril 2,5 mg 1x sehari 5-10 100% 50-75% 25-50%
mg/hari maks 5
mg/hari
Lisinopril 10 mg 1 x sehari; 5 5- 100% 50-75% 25-50%
mg 1 x sehari 10mg/ha
ri
Β-Bloker
Propanolol 40 mg; 2x sehari - Tidak terdapat penyesuaian dosis Hemodialis
pada label manufaktur; Penggunaan a: tidak
dengan perhatian. terdialisa
selama
proses
hemodialisa
.
Bisoprolol 2,5-5 mg; 1x sehari 5-10 100% 50-75% 50%
mg/hari
CCB
Amlodipin 5 mg; 1x sehari Tidak ada
penyesuaian
dosis
Α2-Agonis
Clonidin 50-100 mcg 3x - Tidak ada
sehari dapat penyesuaian
ditingkatkan hingga dosis
120 mcg/hari

Diuretik Loop
Furosemid Oral: 20-80 mg Tidak Tidak
dibutuhk dibutuhkan
an penyesuaian
penyesu dosis
aian
dosis

Statin

30
Simvastatin 10-40 mg sekali 10-20 Dosis yang dianjurkan: 5 mg sehari Hemodialis
sehari pada malam mg pada orang dengan GFR kurang dari a: tidak
hari sehari. 10 mL/menit/1,73m2. terdialisa
Dosis selama
maksimu proses
m: 80 hemodialisa
mg .
sehari

Atorvastatin Oral: 10-20 mg 10 mg Tidak dibutuhkan penyesuaian dosis. Hemodialis


sekali sehari. sehari. a: tidak
Dosis terdialisa
maksimu selama
m: 80 proses
mg hemodialisa
sehari

Asam Fibrat
Gemfibrozil - - 100% (600 75% 50% (150
mg 2 x (300 mg mg 2 x
sehari) 2x sehari)
sehari)

Obat lainnya
Allopurinol 100 mg sehari 300 mg 75% 50% 25%
sehari
Lansoprazole - Tidak Tidak dibutuhkan penyesuaian dosis
dibutuhk
an
penyesu
aian
dosis
Ranitidin 150 mg 2 x sehari; 150-300 75% 50% 25% Hemodialis
300 mg sehari mg a: tidak
sesudah makan sebelum terdialisa
malam atau tidur selama
sebelum tidur proses
hemodialisa
.

Asam Folat 2mg/hari - Obat akan terdialisis selama proses


hemodialisa
N-Astilsistein - - 100% 100% 75%

Osteocal 1250 mg-3-3x - Tidak dibutuhkan penyesuaian dosis


sehari

Tercapainya kadar terapi optimal mempunyai arti bahwa kadar obat dalam
darah berada dalam kisaran terapi yaitu tidak melampaui kadar toksik minimal

31
(KTM) sehingga tidak menimbulkan efek toksik dan tidak di bawah kadar efek
minimal (KEM) yang menyebabkan kegagalan terapi (Ganiswara, 2007). Pada
gagal ginjal riwayat penyakit ginjal dan penyakit lainnya (seperti kelainan hati)
yang mempengaruhi metabolisme obat perlu diketahui dengan jelas.Juga perlu
ditelusuri riwayat pemakaian obat dan kemungkinan alergi obat.
Catatan medis harus diteliti dengan cermat terutama bila ada penambahan
obat baru. Pemeriksaan fisis seperti tinggi badan, berat badan, bentuk tubuh,
status nutrisi dan adanya edema atau dehidrasi perlu diidentifikasi untuk
pengaturan dosis obat (Nasution, et al,. 2003).

BAB III
TATA LAKSANA KASUS

Kasus
Ny. K, berusia 66 tahun dengan BB 50 kg dan TB 155 cm, masuk rumah
sakit pada 19 Februari – 15 Maret 2018 di ICU dan bangsal. Riwayat HD : 2 x
seminggu (Senin dan Kamis). Riwayat Pengobatan yaitu Amlodipine 1 x 10 mg,
Candesartan 1 x 16 mg, Furosemide 1 x 40 mg, ISDN 3 x 5 mg, Asam Folat 1 x 1
mg, CaCO3 3 x 500 mg, KSR 1 x 1 tab. Riwayat penyakit sekarang : CKD stage 5,
Oedema pulmo. Anamnesis saat MRS : Sesak napas berat, post HD

Data Laboratorium

Nilai Tanggal
No Pemeriksaan Satuan
normal 19/2 20/2 23/2 26/2 27/2 28/2 1/3 9/3 13/3
3
1 Leukosit 10 /ul 3,8-10,6 21,68 7,52 7,45 11,7 8,32 6,41 6,01 5,31
2 Eritrosit 106/ul 4,4-5,9 3,87 2,97 2,99 3,19 2,98 3,16 4 3,8

32
3 Hb g/dl 13,2-17,3 10,8 8,3 8,4 8,9 8,3 8,8 11,3 10,6
4 Ht % 40-52 33,8 26,2 26,1 27,8 26,1 27 34,3 31,8
5 MCV Fl 80-100 87,3 88,2 87,3 87,1 87,6 85,4 85,8 83,7
6 MCH Pg 26-34 27,9 27,9 28,1 27,9 27,9 27,8 28,3 27,9
7 MCHC g/dl 32-36 32 31,7 32,2 32 31,8 32,6 32,9 33,3
8 Trombosit 103/ul 150-440 235 171 150 123 116 131 170 136
9 RDW % 11,5-14,5 16,8 16,9 17,2 19,1 19,3 18,1 17,7 17,8
10 PLCR % 19,7 18,7 22,9 26,5 27,5 28,8 19,9 18,1
Eosinophil
11 103/ul 0,04-0,44 0,31 0,13 0,27 0,13 0,28 0,18 0,16 0,1
absolut
Basophil
12 103/ul 0,0-0,2 0,08 0,04 0,04 0,01 0,02 0,01 0,03 0,02
absolut
Neutrophil
13 103/ul 1,8-8,0 17,64 5,19 5,62 10,03 6,58 4,64 4,22 3,47
absolut
Limfosit
14 103/ul 0,9-5,2 2,59 1,41 1 0,86 0,65 0,86 1,04 1,15
absolut
Monosit
15 103/ul 0,16-1,0 1,06 0,75 0,52 0,67 0,79 0,72 0,56 0,57
absolut
16 Eosinofil % 2,0-4,0 1,4 1,7 3,6 1,1 3,4 2,8 2,7 1,9
17 Basofil % 0,0-1,0 0,4 0,5 0,5 0,1 0,2 0,2 0,5 0,4
18 Neutrophil % 50-70 81,4 69 75,5 85,7 79,1 72,4 70,2 65,3
19 Limfosit % 25-40 11,9 18,8 13,4 7,4 7,8 13,4 17,3 21,7
20 Monosit % 2,0-8,0 4,5 10 7,0 5,7 9,5 11,2 9,3 10,7
Kimia klinik
21 Ureum mg/dl 10-50 28,5 15,4 19,9 29,9 45,8 51,7 31,3 37,7 34,5
Kreatinin
22 mg/dl 0,7-1,1 5,29 3,34 2,89 3,97 5,18 6,02 3,3 4,36 4,46
serum
Kliren ml/meni 10,0
23 >80 8,26 13,08 15,11 11,00 8,43 7,26 13,24 9,79
kreatinin t 2
24 GDS mg/dl <125 114 93
25 Kalium mmol/L 3,5-5,0 3,57 3,21 3,15 3,72 3,51 3,19
26 Natrium mmol/L 135-145 133,5 137,5 141 138 136 139,1
27 Clorida mmol/L 95-105 98,4 99,2 105 105 97,9
28 Calcium mg/dl 8,1-10,4 7,9
29 pH 7,35-7,45 7,39 7,38 7,37 7,43
30 PCO2 mmHg 35-45 45 40 37 43
31 PO2 mmHg 86-100 149 209 119 130
32 BE mmol/L 2,0-3,0 -1,7 -3,5 3,6
33 HCO3 mmol/L 22-33 26,6 23,2 21,3 28,2

Data Tanda-tanda vital

Tanggal
No Pemeriksaan Satuan
19/2 20/2 21/2 22/2 23/2 24/2 25/2 26/2 27/2 28/2
1 KU lemah lemah baik cukup cukup cukup cukup lemah lemah lemah
2 TK sedang cm cm cm cm cm cm sedasi cm cm
3 TD mmHg 206/139 164/91 153/78 154/94 170/92 185/99 182/93 167/100 173/89 174/109
4 HR x/mnt 130 87 78 85 87 79 82 104 98 86
5 RR x/mnt 28 24 24 24 20 20 24 12 19 12
6 Suhu °C 36 36,4 36,5 36,5 36,4 36 36,4 36,9 36,9 37
7 SpO2 % 90 99 100 99 100 99 100 99 89 99

No Pemeriksaan Satuan Tanggal

33
1/3 2/3 3/3 4/4 5/3 6/3 7/3 8/3 9/3 10/3
1 KU lemah lemah lemah lemah lemah baik lemah baik baik baik
2 TK cm cm cm cm cm cm cm Cm cm cm
3 TD mmHg 153/79 148/78 147/73 134/73 135/63 110/61 140/74 140/90 173/95 140/88
4 HR x/mnt 96 83 91 90 106 86 82 82 79 88
5 RR x/mnt 21 24 18 22 24 20 22 25 20 24
6 Suhu °C 36 36 36 36 36,4 36 36 36 36 36
7 SpO2 % 100 99 100 99 100 100 100 100 99

Tanggal
No Pemeriksaan Satuan
11/3 12/3 13/3 14/4 15/3
1 KU cukup sedang baik cukup cukup
2 TK cm cm cm cm cm
3 TD mmHg 170/87 162/82 130/80 148/82 144/68
4 HR x/mnt 80 82 88 84 88
5 RR x/mnt 18 22 22 20 22
6 Suhu °C 36,5 36,2 36 36,4 36,2
7 SpO2 %

Hasil foto thorax

Tanggal Kesan
19/2 Cor: cardiomegaly
Paru: oedemapulmo relative sama
Efusi pleura kiri bertambah
27/2 Cardiomegaly, pneumonia, efusi pleura duplex
28/2 Cardiomegaly, pneumonia relative sama, efusi pleura kanan
perbaikan, efusi pleura kiri relative sama
8/3 Cardiomegaly, bronchopneumonia, efusi pleura duplex.
Cor: CTR >50%. Aspek bergeser ke latero caudal aorta baik.
Pulmo: corakan bronchovascular meningkat, infiltrate pada perihilar
kanan-kiri.

Data Pengobatan

No NamaObat Dosis Rute Tanggal


19/2 20/2 21/2 22/2 23/2 24/2 25/2 26/2 27/2 28/2 1/3 2/3 3/3 4/4
1 NaCL 0,9% 5 tpm iv √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
2 Triofusin 5 tpm iv √ √ √ √
3 Renxamin 5 tpm iv √ √ √ √ √ √ √ √
4 RL 5 tpm Iv √ √ √
5 Tutofusin 5 tpm iv √ √ √ √
6 Eas primer 5 tpm iv
7 Furosemid 6 amp/24 s/p √ √ √
jam
3 amp/12 s/p √ √ √ √ √ √ √ √
jam
3x40 mg Po
8 Furosemide extra 2 amp iv √ √
9 ISDN 5 cc/jam s/p √ √ √ √ √
3 cc/jam s/p √ √ √ √ √ √ √ √ √
7 cc/jam s/p

34
1 cc/jam
3x5 mg Oral
10 Combivent + 3x1 resp nebul √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
Pulmicort
2x1 resp nebul √ √
11 Cefoperazon 2x1 g Iv
12 Levofloxacin 1x500 mg Inf √
1x250 mg Inf √
13 Azythromicin 1x500 mg Inf √ √
+NaCl 0,9% 100
ml
14 CaCO3 3x500 mg oral √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
15 Asamfolat 1x1 mg oral √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
16 KSR 1x600 mg oral √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
17 Acetylsistein 3x200 mg oral √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
18 Amlodipin 1x10 mg oral √ √ √ √ √
19 Candesartan 1x16 mg oral √ √ √ √ √ √ √
20 Aminofilin 24 mg/10 s/p √ √ √
mg/jam
21 KCl + NaCL 1x25 meq √
0,9% 100 cc
22 MeptinSwinghaler 2x1 inhalasi
23 Dulcolax 10 mg 1x10 mg √
suppo
24 Fortanest 4 cc/ jam √ √

No NamaObat Dosis Rute Tanggal


7/3 8/3 9/3 10/3 11/3 12/3 13/3 14/3
1 NaCL 0,9% 5 tpm Iv √ √ √ √ √ √ √ √
2 Triofusin 5 tpm Iv
3 Renxamin 5 tpm Iv
4 RL 5 tpm Iv √ √ √ √ √ √ √
5 Tutofusin 5 tpm Iv √ √ √ √ √ √ √
6 Eas primer 5 tpm Iv √ √ √ √ √ √ √
7 Furosemid 6 amp/24 s/p √ √ √ √ √ √ √
jam
3 amp/12 s/p
jam
3x40 mg Po √
8 Furosemide 2 amp iv
extra
9 ISDN 5 cc/jam s/p
3 cc/jam s/p
7 cc/jam s/p √ √ √ √
1 cc/jam √ √ √
3x5 mg Oral √
10 Combivent + 3x1 resp nebul
Pulmicort
2x1 resp nebul √ √ √ √ √ √ √
11 Cefoperazon 2x1 g Iv
12 Levofloxacin 1x500 mg Inf
1x250 mg Inf √ √ √ √ √ √ √
13 Azythromici 1x500 mg Inf
n +NaCl
0,9% 100 ml
14 CaCO3 3x500 mg oral √ √ √ √ √ √ √ √
15 Asamfolat 1x1 mg oral √ √ √ √ √ √ √ √
16 KSR 1x600 mg oral √ √ √ √ √ √ √ √
17 Acetylsistein 3x200 mg oral √ √ √ √ √ √ √ √
18 Amlodipin 1x10 mg oral √ √ √ √ √ √ √ √
19 Candesartan 1x16 mg oral √ √ √ √ √ √ √ √
20 Aminofilin 24 mg/10 s/p
mg/jam
21 KCl + NaCL 1x25 meq

35
0,9% 100 cc
22 MeptinSwing 2x1 inhalas √ √ √ √ √ √
haler i
23 Dulcolax 10 1x10 mg
mg suppo
24 Fortanest 4 cc/ jam

Analisis SOAP

1. Subyektif
Nama : Ny. K
Jenis Kelamin : Perempuan
Usia : 66 tahun
Berat Badan : 50 kg
Tinggi Badan : 155 cm
Tanggal RI : 19 Februari – 15 Maret 2018 di ICU dan bangsal
Riwayat HD : 2 x seminggu (Senin dan Kamis)
Riwayat Pengobatan :
 Amlodipine 1 x 10 mg
 Candesartan 1 x 16 mg
 Furosemide 1 x 40 mg
 ISDN 3 x 5 mg
 Asam Folat 1 x 1 mg
 CaCO3 3 x 500 mg
 KSR 1 x 1 tab
Riwayat penyakit sekarang : CKD stage 5, Oedema pulmo
Anamnesis saat MRS : Sesak napas berat, post HD

2. Obyektif

Data Laboratorium

Nilai Tanggal
No Pemeriksaan Satuan
normal 19/2 20/2 23/2 26/2 27/2 28/2 1/3 9/3 13/3
1 Leukosit 103/ul 3,8-10,6 21,68 7,52 7,45 11,7 8,32 6,41 6,01 5,31
2 Eritrosit 106/ul 4,4-5,9 3,87 2,97 2,99 3,19 2,98 3,16 4 3,8
3 Hb g/dl 13,2-17,3 10,8 8,3 8,4 8,9 8,3 8,8 11,3 10,6
4 Ht % 40-52 33,8 26,2 26,1 27,8 26,1 27 34,3 31,8
5 MCV Fl 80-100 87,3 88,2 87,3 87,1 87,6 85,4 85,8 83,7
6 MCH Pg 26-34 27,9 27,9 28,1 27,9 27,9 27,8 28,3 27,9
7 MCHC g/dl 32-36 32 31,7 32,2 32 31,8 32,6 32,9 33,3

36
8 Trombosit 103/ul 150-440 235 171 150 123 116 131 170 136
9 RDW % 11,5-14,5 16,8 16,9 17,2 19,1 19,3 18,1 17,7 17,8
10 PLCR % 19,7 18,7 22,9 26,5 27,5 28,8 19,9 18,1
Eosinophil
11 103/ul 0,04-0,44 0,31 0,13 0,27 0,13 0,28 0,18 0,16 0,1
absolut
Basophil
12 103/ul 0,0-0,2 0,08 0,04 0,04 0,01 0,02 0,01 0,03 0,02
absolute
Neutrophil
13 103/ul 1,8-8,0 17,64 5,19 5,62 10,03 6,58 4,64 4,22 3,47
absolut
Limfositabs
14 103/ul 0,9-5,2 2,59 1,41 1 0,86 0,65 0,86 1,04 1,15
olut
Monositabs
15 103/ul 0,16-1,0 1,06 0,75 0,52 0,67 0,79 0,72 0,56 0,57
olut
16 Eosinofil % 2,0-4,0 1,4 1,7 3,6 1,1 3,4 2,8 2,7 1,9
17 Basofil % 0,0-1,0 0,4 0,5 0,5 0,1 0,2 0,2 0,5 0,4
18 Neutrophil % 50-70 81,4 69 75,5 85,7 79,1 72,4 70,2 65,3
19 Limfosit % 25-40 11,9 18,8 13,4 7,4 7,8 13,4 17,3 21,7
20 Monosit % 2,0-8,0 4,5 10 7,0 5,7 9,5 11,2 9,3 10,7
Kimia klinik
21 Ureum mg/dl 10-50 28,5 15,4 19,9 29,9 45,8 51,7 31,3 37,7 34,5
Kreatinin
22 mg/dl 0,7-1,1 5,29 3,34 2,89 3,97 5,18 6,02 3,3 4,36 4,46
serum
Kliren ml/meni 13,2 10,0
23 >80 8,26 13,08 15,11 11,00 8,43 7,26 9,79
kreatinin t 4 2
24 GDS mg/dl <125 114 93
25 Kalium mmol/L 3,5-5,0 3,57 3,21 3,15 3,72 3,51 3,19
26 Natrium mmol/L 135-145 133,5 137,5 141 138 136 139,1
27 Clorida mmol/L 95-105 98,4 99,2 105 105 97,9
28 Calcium mg/dl 8,1-10,4 7,9
29 pH 7,35-7,45 7,39 7,38 7,37 7,43
30 PCO2 mmHg 35-45 45 40 37 43
31 PO2 mmHg 86-100 149 209 119 130
32 BE mmol/L 2,0-3,0 -1,7 -3,5 3,6
33 HCO3 mmol/L 22-33 26,6 23,2 21,3 28,2

Data Tanda-tanda vital

Tanggal
No Pemeriksaan Satuan
19/2 20/2 21/2 22/2 23/2 24/2 25/2 26/2 27/2 28/2
1 KU Lemah lemah baik cukup cukup cukup cukup lemah lemah lemah
2 TK Sedang cm cm cm cm cm cm sedasi cm cm
3 TD mmHg 206/139 164/91 153/78 154/94 170/92 185/99 182/93 167/100 173/89 174/109
4 HR x/mnt 130 87 78 85 87 79 82 104 98 86
5 RR x/mnt 28 24 24 24 20 20 24 12 19 12
6 Suhu °C 36 36,4 36,5 36,5 36,4 36 36,4 36,9 36,9 37
7 SpO2 % 90 99 100 99 100 99 100 99 89 99

Tanggal
No Pemeriksaan Satuan
1/3 2/3 3/3 4/4 5/3 6/3 7/3 8/3 9/3 10/3
1 KU lemah lemah lemah lemah lemah baik lemah baik baik baik
2 TK cm cm cm cm cm cm cm cm cm cm
3 TD mmHg 153/79 148/78 147/73 134/73 135/63 110/61 140/74 140/90 173/95 140/88
4 HR x/mnt 96 83 91 90 106 86 82 82 79 88
5 RR x/mnt 21 24 18 22 24 20 22 25 20 24

37
6 Suhu °C 36 36 36 36 36,4 36 36 36 36 36
7 SpO2 % 100 99 100 99 100 100 100 100 99

Tanggal
No Pemeriksaan Satuan
11/3 12/3 13/3 14/4 15/3
1 KU cukup sedang baik cukup cukup
2 TK cm cm cm cm cm
3 TD mmHg 170/87 162/82 130/80 148/82 144/68
4 HR x/mnt 80 82 88 84 88
5 RR x/mnt 18 22 22 20 22
6 Suhu °C 36,5 36,2 36 36,4 36,2
7 SpO2 %

Hasil foto thorax

Tanggal Kesan
19/2 Cor: cardiomegaly
Paru: oedemapulmo relative sama
Efusi pleura kiri bertambah
27/2 Cardiomegaly, pneumonia, efusi pleura duplex
28/2 Cardiomegaly, pneumonia relative sama, efusi pleura kanan
perbaikan, efusi pleura kiri relative sama
8/3 Cardiomegaly, bronchopneumonia, efusi pleura duplex.
Cor: CTR >50%. Aspek bergeser ke latero caudal aorta baik.
Pulmo: corakan bronchovascular meningkat, infiltrate pada perihilar
kanan-kiri.

Data Pengobatan

No NamaObat Dosis Rute Tanggal


19/2 20/2 21/2 22/2 23/2 24/2 25/2 26/2 27/2 28/2 1/3 2/3 3/3 4/4
1 NaCL 0,9% 5 tpm iv √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
2 Triofusin 5 tpm iv √ √ √ √
3 Renxamin 5 tpm iv √ √ √ √ √ √ √ √
4 RL 5 tpm Iv √ √ √
5 Tutofusin 5 tpm iv √ √ √ √
6 Eas primer 5 tpm iv
7 Furosemid 6 amp/24 s/p √ √ √
jam
3 amp/12 s/p √ √ √ √ √ √ √ √
jam
3x40 mg Po
8 Furosemide extra 2 amp iv √ √
9 ISDN 5 cc/jam s/p √ √ √ √ √
3 cc/jam s/p √ √ √ √ √ √ √ √ √
7 cc/jam s/p
1 cc/jam
3x5 mg Oral
10 Combivent + 3x1 resp nebul √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
Pulmicort
2x1 resp nebul √ √
11 Cefoperazon 2x1 g Iv

38
12 Levofloxacin 1x500 mg Inf √
1x250 mg Inf √
13 Azythromicin 1x500 mg Inf √ √
+NaCl 0,9% 100
ml
14 CaCO3 3x500 mg oral √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
15 Asamfolat 1x1 mg oral √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
16 KSR 1x600 mg oral √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
17 Acetylsistein 3x200 mg oral √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
18 Amlodipin 1x10 mg oral √ √ √ √ √
19 Candesartan 1x16 mg oral √ √ √ √ √ √ √
20 Aminofilin 24 mg/10 s/p √ √ √
mg/jam
21 KCl + NaCL 1x25 meq √
0,9% 100 cc
22 MeptinSwinghaler 2x1 inhalasi
23 Dulcolax 10 mg 1x10 mg √
suppo
24 Fortanest 4 cc/ jam √ √

No NamaObat Dosis Rute Tanggal


7/3 8/3 9/3 10/3 11/3 12/3 13/3 14/3
1 NaCL 0,9% 5 tpm Iv √ √ √ √ √ √ √ √
2 Triofusin 5 tpm Iv
3 Renxamin 5 tpm Iv
4 RL 5 tpm Iv √ √ √ √ √ √ √
5 Tutofusin 5 tpm Iv √ √ √ √ √ √ √
6 Eas primer 5 tpm Iv √ √ √ √ √ √ √
7 Furosemid 6 amp/24 s/p √ √ √ √ √ √ √
jam
3 amp/12 s/p
jam
3x40 mg Po √
8 Furosemide 2 amp iv
extra
9 ISDN 5 cc/jam s/p
3 cc/jam s/p
7 cc/jam s/p √ √ √ √
1 cc/jam √ √ √
3x5 mg Oral √
10 Combivent + 3x1 resp nebul
Pulmicort
2x1 resp nebul √ √ √ √ √ √ √
11 Cefoperazon 2x1 g Iv
12 Levofloxacin 1x500 mg Inf
1x250 mg Inf √ √ √ √ √ √ √
13 Azythromici 1x500 mg Inf
n +NaCl
0,9% 100 ml
14 CaCO3 3x500 mg oral √ √ √ √ √ √ √ √
15 Asamfolat 1x1 mg oral √ √ √ √ √ √ √ √
16 KSR 1x600 mg oral √ √ √ √ √ √ √ √
17 Acetylsistein 3x200 mg oral √ √ √ √ √ √ √ √
18 Amlodipin 1x10 mg oral √ √ √ √ √ √ √ √
19 Candesartan 1x16 mg oral √ √ √ √ √ √ √ √
20 Aminofilin 24 mg/10 s/p
mg/jam
21 KCl + NaCL 1x25 meq
0,9% 100 cc
22 MeptinSwing 2x1 inhalas √ √ √ √ √ √
haler i
23 Dulcolax 10 1x10 mg
mg suppo

39
24 Fortanest 4 cc/ jam

3. Assessment

 Eas Pfrimmer Infus mengandung larutan untuk memenuhi kebutuhan


asam amino esensial pada kasus seperti pasien dengan insufisiensi ginjal
akut dan kronik, penurunan kadar urea serum, profilaksis dan terapi
azotemia, dan suplemen parenteral untuk diet rendah protein
 RL mengandung cairan elektrolit untuk mengembalikan keseimbangan
elektrolit di dalam tubuh.
 Furosemid (Lacy, 2010)
a. Indikasi : Edema pada Hipertensi

b. Dosis:
 Oral: 20-80 mg dosis awal; 20-40 mg peningkatan dosis, interval
6-8 jam, 2x1.
Oral dapat di minum tanpa atau dengan makanan, untuk diet yang
menyebabkan kehilangan potasium dapat pada perut kosing dan
gangguan GI diberikan bersama makanan.
 IM/IV: 20-40 mg dapat di ulang dalam 1-2 jam sesuai kebutuhan
dan dapat di tingkatkan 20 mg/ dosis hingga 1000 mg/hari, interval
6-12 jam.
 IV Infus: 20-40 mg dosis awal IV bolus, dosis infus 10-40 mg/jam.
Jika output urin <1 ml/kg/jam 2x yang diperlukan hingga
maksimum 80-160 mg/ jam. Resiko yang terkait dengan tingkat
infus yang lebih tinggi (80-160 mg/jam) harus dipertimbangkan
dengan strategi alternatif.
 Dosis (untuk kerusakan ginjal)
GGK 1-3 g/hari, hindari dalam keadaan oliguria.
c. Farmakalogi
 Mekanisme Kerja: menghambat reabsorbsi natrium dan klorida
pada henle dan tubulus distal, sehingga menggangu sistem

40
kotransport yang mengikat klorida sehingga meningkatkan ekskresi
air, natrium, klorida, magnesium, dan kalsium.
 Onset: oral 30-60 menit, IM 30 menit, IV 5 menit.
 T1/2: 0,5-1,1 jam pada fungsi ginjal normal dan 9 jam pada
penyakit ginjal stadium akhir.
d. Sediaan:
 Injeksi 10 mg/ mL (2 mL, 4 mL, 10 mL)
 Tablet 20 mg, 40 mg,80 mg
 Dapat menggunakan Dektrosa, Manitol 20%, RL, NaCl.
e. Efek Samping : hiperurisemia, hipokalemia, hipotensi

 ISDN (Lacy, 2010)


a. Indikasi : Angina
b. Dosis :
 Angina
Oral: 5-40 mg 4 kali / hari atau 40 mg setiap 8-12 jam.
Sublingual: 2,5-5 mg setiap 5-10 menit untuk maksimum 3 dosis
dalam 15-30 menit; dosis profilaksis 15 menit sebelum serangan.
 Gangguan spastik esofagus (off label):
Oral: 5-10 mg sebelum makan
Sublingual: 2,5 mg setelah makan
 Catatan: Toleransi terhadap efek nitrat berkembang dengan paparan
kronis. Toleransi hanya dapat diatasi dengan waktu singkat absensi
nitrat dari tubuh. Jangka waktu singkat (10-12 jam) penarikan
nitrat membantu meminimalkan toleransi. Rekomendasi umum
adalah mengambil dosis terakhir agen short-acting paling lambat
jam 7 malam; berikan 2-3 kali / hari, bukan 4 kali / hari.
c. Farmakologi :
 Mekanisme Kerja: Merangsang cyclic-GMP intraseluler
menghasilkan relaksasi otot polos pembuluh darah arteri dan vena.
Peningkatan pooling vena menurunkan tekanan ventrikel kiri
(preload) dan dilatasi arteri menurunkan resistensi arteri
(afterload). Oleh karena itu, mengurangi kebutuhan oksigen

41
jantung dengan menurunkan tekanan ventrikel kiri dan resistensi
vaskular sistemik dengan melebarkan arteri. Selain itu, pelebaran
arteri koroner meningkatkan aliran kolateral ke daerah iskemik;
otot polos esofagus dilonggarkan melalui mekanisme yang sama.
 Onset: tablet sublingual 2-10 menit, tablet kunyah 3 menit, tablet
oral 45-60 menit.
 Durasi: tablet sublingual 1-2 jam, tablet kunyah 0,5-2 jam, tablet
oral 4-6 jam.
 T1/2: 1-4 jam
d. Sediaan :
 Tablet: 5 mg, 10 mg. 20 mg
 Sublingual: 2,5 mg, 5 mg
e. Efek Samping : Hipotensi/ Bradikardi, rardiomiopati hipertrofik,
gastrointestinal.

 Cefoperazon (MIMS)
a. Indikasi : Anti infeksi
b. Dosis :
 Dewasa: 2-4 g setiap hari dalam 2 dosis terbagi, dapat ditingkatkan
12 g setiap hari dalam 2-4 dosis terbagi untuk infeksi berat yang
diberikan infus IM atau IV.
 Kerusakan Ginjal dengan kerusakan hati 1-2 g/hari.
c. Kontraindikasi : Sefalosporin
d. Farmakologi :
 Mekanisme Kerja: berikatan dengan satu atau lebih protein
penisilin (PBP) yang menghambat transpeptidasi sintesis
peptidoglikan di dinding sel bakteri, sehingga menghambat
biosintesis dan menahan perakitan dinding sel yang mengakibatkan
kematian sel bakteri.
e. Sediaan : -
f. Efek Samping : ruam kulit, urtikaria, eosinofilia, diare, mual, muntah,
phloebitis, hipotrombinaemia. Berpotensi fatal: hipersensitivitas,
neuromuskular, nefrotoksisitas.

 Levofloxacin (Lacy, 2010)


a. Indikasi : Pyelonephritis, Kerusakan Ginjal
b. Dosis :

42
 Infeksi saluran kemih
Oral; I.V :
Uncomplicated : 250 mg tiap 24 jam selama 3 hari
Complicated : 250 mg tiap 24 jam selama 10 hari atau 750
mg tiap 24 jam selama 5 hari
 Kerusakan Ginjal
Clcr 20-49 mL/minute : 500 mg dosis awal, lanjut
250 mg tiap 24 jam
Clcr 10-19 mL/minute : 500 mg dosis awal, lanjut
250 mg tiap 48 jam
Hemodialysis/CAPD : 500 mg dosis awal, lanjut 250 mg
tiap 48 jam
c. Farmakologi:
 Menghambat topoisomerase bakteri IV dan DNA gyrase sehingga
mengakibatkan kerusakan rantai DNA
 T ½ : 6-8 jam
d. Sediaan :
 Tablet : 250 mg, 500 mg, 750 mg
 Injeksi : 25 mg/mL (20 mL, 30 mL)
 Infus Dextrose: 250 mg (50 mL), 500 mg (100 mL), 750 mg (150
mL)
e. Efek Samping : nyeri dada, edema, gastrointestinal

 Ipratoprium and Albuterol (Lacy, 2010)


a. Indikasi : PPOK
b. Dosis :
 Aerosol untuk inhalasi: 8 kali / hari; dosis tambahan bila
diperlukan. Maksimal 12 kali dalam 24 jam
 Nebul : Dosis awal 3 mL setiap 6 jam (maksimum : 3 mL setiap 4
jam)
c. Farmakalogi
Ipratropium
 Mekanisme Kerja : Menghalangi aksi asetilkolin di
parasimpatis di otot polos bronkus yang menyebabkan

43
bronkodilatasi; aplikasi lokal untuk mukosa hidung menghambat
kelenjar serosa dan seromus.
 Onset : 15 menit
 Durasi : 2-5 jam
 T1/2 : 2 jam

Albuterol
 Mekanisme Kerja : Relaksasi otot polos bronkus
 Onset : 0,5 – 2 jam
 Durasi : 3 - 4 jam
 T1/2 : 3.8 jam
d. Sediaan:
 Aerosol : 18-103 mcg
 Nebul : 0,5-2,5 mg/3 mL
e. Efek Samping : Bronkitis, ISPA, Nyeri dada

 Budesonide (Lacy, 2010)


a. Indikasi : Asma, Rhinitis, Nasal polyps
b. Dosis:
 Dosis awal : 360 mcg 2x sehari (pasien tertentu dimulai pada 180
mcg 2x sehari); maksimum 720 mcg 2x sehari
c. Farmakalogi
 Mekanisme Kerja : menghambat sel dan mediator yang terlibat
dalam proses inflamasi baik yang termasuk dalam kategori alergi
non-alergi
 Onset : 15 menit
 Durasi : 2-5 jam
 T1/2 : 2 – 3.6 jam
d. Sediaan:
 Caplet : 3 mg
 Tablet : 9 mg
e. Efek Samping : Pusing, mual, muntah, gangguan GI

 Azythromicin (Lacy, 2010)


a. Indikasi : infeksi bakteri
b. Farmakologi :
 Antibakteri golongan makrolida.
 Mekanisme kerja : menghambat sintesis protein bakteri dengan
berikatan pada subunit 50S ribosom bakteri.

44
c. Sediaan : tablet salut selaput 250 mg, 500 mg ; suspensi kering 100 mg/5
ml, 200 mg/5 ml ; serbuk injeksi 500mg.
d. Dosis : 500 mg/ hari selama 3 hari.
Hati-hati penggunaan pada pasien dengan gangguan ginjal ClCr <10
ml/menit.
e. Efek samping : diare, mual, dyspepsia, muntah, sakit perut.

 CaCO3 (Lacy, 2010)


a. Indikasi : suplemen kalsium atau hiperfosfatemia pada pasien
gangguan ginjal.
b. Farmakologi :
-antasida : menetralkan asam lambung.
-suplemen makanan : mencegah keseimbangan kalsium negative,
suplemen kalsium oral dapat melindungi terhadap pembentukan batu
ginjal oleh pengkelat yang ada didalam usus dan mencegah penyerapan.
-pengikat fosfat : mengikat fosfat dalam makanan untuk membentuk
fosfat yang tidak larut yang mana akan diekskresikan dalam feses.
c. Sediaan : tablet 500 mg, 600 mg.
d. Dosis :
Oral: dinyatakan dalam mg unsur kalsium: 1-2 g atau lebih/hari dibagi
dalam 3-4 dosis.
e. Kontra indikasi : Hiperkalsemia, batu ginjal, hipofosfatemia,paseien
terdiagnosa keracunan digoxin.
f. Interaksi Obat : Calcium Channel Blockers: garam kalsium dapat
mengurangi efek terapetik dari CCB. Risiko C: Monitor therapy.
g. Efek samping : anoreksia, konstipasi, mual, muntah, hipofosfatemia.

 Asam Folat (Lacy, 2010)


a. Indikasi : anemia megaloblastik yang disebabkan defisiensi asam folat.
b. Farmakologi : folat eksogen dibutuhkan untuk sintesis nucleoprotein dan
pemeliharaan eritropoesis normal. Asam folat menstimulasi produksi sel
darah merah, sel darah putih, dan platelet pada anemia megaloblastik.
c. Sediaan : tablet 400 mcg, 800 mcg, 1 mg ; injeksi 5 mg/ml.
d. Dosis : 0,4 mg – 1 mg/hari.
e. Efek samping : pruritus, ruam, eritema.

45
 KSR (Lacy, 2010 dan MIMS)
a. Indikasi : kekurangan kalium, keseimbangan elektrolit
b. Farmakologi : masuk kedalam sel melalui transport aktif dari cairan
ekstraselular.
c. Sediaan : tablet 600mg
d. Dosis : 1-2 tablet 2-3x sehari.
e. Efek samping : mual, muntah, diare, hiperkalemia.

 Asetilsistein (Lacy, 2010)


a. Indikasi : pengencer dahak
b. Off label : pencegahan disfungsi ginjal : 600 mg 2xsehari selama 2 hari.
c. Farmakologi : memecah ikatan disulfide pada protein mucus sehingga
tingkat kekentalan mucus menurun.
d. Sediaan : kaplet 100 mg, 200 mg ; sirup kering 100mg/5ml, 200mg/ml
f. Dosis : 600mg/hari terbagi dalam 3 dosis.
g. Efek samping : mengantuk, mual, muntah, demam.

 Amlodipin (Lacy, 2010)


a. Indikasi : menurunkan tekanan darah, nyeri dada (angina), jantung koroner
b. Farmakologi : menghambat ion kalsium masuk ke sel otot jantung dan
dinding pembuluh darah sehingga memberikan efek vasodilatasi
(pelebaran pembuluh darah).
c. Sediaan : tablet 5mg, 10mg.
d. Dosis : hipertensi : dosis awal 5mg maksimal 10mg/hari.
e. Interaksi Obat : Calcium Channel Blockers: garam kalsium dapat
mengurangi efek terapetik dari CCB. Risiko C: Monitor therapy.
f. Efek samping : bengkak, sakit kepala, lemas, mual.

 Candesartan (Lacy, 2010)


a. Indikasi : Mengobati hipertensi esensial; pengobatan gagal jantung
(NYHA kelas II-IV)
b. Sediaan : 4, 8, 16, 32 mg tablet
c. Dosis :
Hipertensi: Oral: 4-32 mg sekali sehari.
Dosis awal yang dianjurkan adalah 16 mg sekali sehari digunakan sebagai
monoterapi pada pasien yang tidak mengalami penurunan volume.
d. Efek samping : Angina, takikardia, sakit kepala, angioedema, ruam
e. Farmakologi

46
Mekanisme Aksi : Candesartan adalah antagonis reseptor angiotensin.
Angiotensin II bertindak sebagai vasokonstriktor. Selain menyebabkan
vasokonstriksi langsung, angiotensin II juga menstimulasi pelepasan
aldosteron. Setelah aldosterone dilepaskan, natrium serta air diserap
kembali. Hasil akhirnya adalah peningkatan tekanan darah.
Candesartan berikatan dengan reseptor angiotensin II AT1. Pengikatan
ini mencegah angiotensin II dari pengikatan ke reseptor sehingga
menghambat vasokonstriksi dan efek sekresi aldosteron dari
angiotensin II.
Onset aksi: 2-3 jam
Efek puncak: 6-8 jam
Durasi:> 24 jam
Eliminasi paruh waktu (tergantung dosis): 5-9 jam
Waktu ke puncak: 3-4 jam
Ekskresi: Urine (26%)
Clearance: Total tubuh: 0,37 mL / kg / menit; Ginjal: 0,19 mL / kg /
menit

 Amynophyllin (Lacy, 2010)


a. Indikasi : Bronchodilator dalam obstruksi jalan napas reversibel karena
asma atau COPD; meningkatkan kontraktilitas diafragma
b. Sediaan :
Injeksi, larutan, seperti dihidrat: 25 mg / mL (10 mL, 20 mL)
Tablet 100, 200 mg
c. Dosis
Bronchodilator : Oral: dosis awal: 380 mg / hari (setara dengan
theophylline 300 mg / hari) dalam dosis terbagi setiap 6-8 jam; dosis dapat
ditingkatkan setelah 3 hari;
Dosis maksimum: 928 mg / hari (setara dengan theophylline 800 mg /
hari)
I.V. lebih dari 20-30 menit; tingkat administrasi tidak boleh melebihi 25
mg / menit (aminofilin)

47
d. Efek samping : Takikardia, gugup, gelisah, mual, muntah
e. Farmakologi
 Mekanisme Aksi : Menyebabkan bronchodilatation, diuresis, CNS dan
stimulasi jantung, dan sekresi asam lambung dengan memblokir
phosphodiesterase yang meningkatkan konsentrasi jaringan siklik
adenin monofosfat (cAMP) yang pada gilirannya meningkatkan
stimulasi katekolamin lipolisis, glikogenolisis, dan glukoneogenesis
dan menginduksi pelepasan epinefrin dari sel medula adrenal
 Dulcolax/Bisakodil (Lacy, 2010)
a. Indikasi : Pengobatan sembelit; evakuasi kolon sebelum prosedur atau
pemeriksaan
b. Sediaan : tablet 5 mg, suppositoria 10 mg
c. Dosis : Meredakan konstipasi
 Oral: 5-15 mg sebagai dosis tunggal (hingga 30 mg bila evakuasi
lengkap dari usus diperlukan)
 Rektal: Supositoria: 10 mg sebagai dosis tunggal
 Dosis atas: Lansia Rujuk ke dosis dewasa.
Anak-anak
 Oral: Anak-anak> 6 tahun: 5-10 mg (0,3 mg / kg) sebelum tidur atau
sebelum sarapan
 Rektal(supositoria):
<2 tahun: 5 mg sebagai dosis tunggal
> 2 tahun: 10 mg
d. Efek Samping : Vertigo, ketidakseimbangan elektrolit dan cairan (asidosis
metabolik atau alkalosis, hipokalsemia)
e. Farmakologi
 Mekanisme Aksi : Merangsang gerak peristaltik usus besar setalah
hidrolisis dalam usus besar, dan meningkatkan akumulasi air dan
elektrolit dalam lumen usus besar.
 Onset aksi: Oral: 6-10 jam; Rektal: 0,25-1 jam

 Fortanest/Midazolam (Lacy, 2010)


a. Indikasi : Sedasi operasi dan sedasi sadar sebelum prosedur diagnostik
atau radiografi; Sedasi ICU (infus kontinyu); anestesi intravena (induksi);
anestesi intravena (pemeliharaan)
b. Dosis

48
I.V .: 0,02-0,04 mg / kg; ulangi setiap 5 menit sesuai kebutuhan untuk efek
yang diinginkan atau hingga 0,1-0,2 mg / kg
c. Efek samping : Mengantuk, oversedation, sakit kepala, mual, muntah

d. Sediaan
 Injeksi, larutan: 1 mg / mL (2 mL, 5 mL, 10 mL); 5 mg / mL (1 mL, 2
mL, 5 mL, 10 mL)
 Sirup: 2 mg / mL (118 mL)
e. Farmakologi
 Mekanisme Aksi: Berikatan dengan reseptor benzodiazepine
stereospesifik pada neuron GABA postsynaptic di beberapa tempat di
dalam sistem saraf pusat, termasuk sistem limbik, pembentukan
reticular. Peningkatan efek penghambatan GABA pada hasil
rangsangan saraf oleh peningkatan permeabilitas membran neuronal
ke ion klorida. Pergeseran ion klorida ini menghasilkan
hyperpolarization (keadaan yang kurang bersemangat) dan stabilisasi.
 Onset aksi: I.M: Sedasi: 15 menit; I.V .: 1-5 menit
 Efek puncak: I.M .: 0,5-1 jam
 Durasi: I.M .: Hingga 6 jam; Berarti: 2 jam

 Meptin/Procaterol HCl hemihydrate (MIMS)


a. Indikasi : Remisi berbagai gejala yang disebabkan oleh gangguan
obstruktif resp karena asma bronkial, bronkitis kronis dan emfisema
pulmonal
b. Dosis
 Dewasa : 2 kali sehari 1 tablet atau 1-2 tablet mini
 Anak > 6 th : 2 kali sehari 1 minitab atau 1 sdt syp
 Anak < 6 th : 2 kali sehari 1-1,25 mcg
c. Efek samping : palpitasi dan tremor
d. Sediaan :
Tablet 50 mcg
Tablet mini 25 mcg

49
Syr 25 mcg/5 ml (60 ml)

 KCl (Lacy, 2010)


a. Indikasi : Pengobatan atau pencegahan hipokalemia
b. Dosis :
Persyaratan harian normal: I.V .: 40-80 mEq/ hari
Pencegahan hipokalemia: Oral: 20-40 mEq / hari dalam 1-2 dosis
terbagi
c. Efek samping : Ruam, hiperkalemia, diare, mual, muntah

 NaCl (Lacy, 2010)


a. Kandungan : sodium chloride 0.9%
b. Indikasi :

Pengganti cairan plasma isotonic yang hilang

Pengganti cairan pada kondisi alkalosis hipokloremia

c. Kontra indikasi : hipernatremia, asidosis, hipokalemia


d. Perhatian :

Gagal jantung kongestif, gangguan fungsi ginjal, hipoproteinemia,


edema perifer atau paru, hipertensi, toxemia pada kehamilan

e. Efek samping : demam, iritasi atau infeksi, thrombosis


f. Kemasan : larutan infus Euro-Med 0.9% x 1 liter x 12’s
g. Dosis : dosis bersifat individual. Dosis lazim : 1000 ml/ 70 kg berat
badan/ hari dengan kecepatan infus sampai dengan 7.7ml/kg berat
badan/ jam.

 TRIOFUSIN
a. Komposisi:
Per liter TRIOFUSIN 500:

50
Fruktosa 60 g, glukosa 33 g, xylitol 30 g
Per liter TRIOFUSIN 1000:
Fruktosa 120 g, glukosa 66 g, xylitol 60 g
Per liter TRIOFUSIN 1600:
Fruktosa 200 g, glukosa 110 g, xylitol 100 g
b. Indikasi:
Memenuhi kebutuhan energi total dan parsial secara parenteral.
c. Dosis:
Dosis maksimal untuk:
TRIOFUSIN 500 : 50 mL/kgBB/hari
TRIOFUSIN 1000 : 25 mL/kgBB/hari
TRIOFUSIN 1600 : 15 mL/kgBB/hari
d. Kontraindikasi:
Hipersensitif, hiperglikemia, asidosis metabolik.
e. Peringatan dan Perhatian:
Gangguan ginjal dan cek kadar gula darah secara berkala, khususnya
pada pasien diabetes.
f. Efek Samping:
Demam, nyeri pada tempat injeksi, trombosis vena, flebitis,
ekstravasasi, dan hipervolemia.
g. Bentuk Sediaan:
TRIOFUSIN 500/1000/1600 tersedia dalam larutan 500 mL di dalam
botol kaca.

 RENXAMIN
a. Komposisi:
Asam amino 9%, chloride, acetate.
Kandungan per liter:
L-Leucine 5,4 g
L-Phenylalanine 2,7 g
L-Methionine 1,5 g

51
L-Lysine acetate 25,6 g
(free-base) (18,15 g)
L-Isoleucine 3,0 g
L-Valine 5,3 g
L-Histidine HCl 6,0 g
(free-base) (14,44 g)
L-Threonine 10,4 g
L-Tryptophan 1,7 g
L-Arginine 10,6 g
Glycine 6,7 g
L-Proline 3,9 g
L-Serine 4,4 g
N-Acetyl-L-Tyrosine 6,9 g
(free-base) (5,6 g)
L-Asparagine 5,7 g
Chloride 28,62 mmol
Acetate 124,13 mmol
Total asam amino bebas : 89,49 g
Asam amino esensial : 48,15 g
Asam amino non-esensial : 41,34 g
Rasio AAE : AANE : 1,2
Nitrogen : 15,2 g
BCAA : 15,3%
Osmolaritas : 860 mOsm/L
b. Bentuk Sediaan:
Larutan infus 200 mL dalam botol kaca.
c. Farmakologi:
Meningkatkan status protein dan nutrisi pada pasien dengan gangguan
ginjal dan dapat digunakan sebagai nutrisi intradialisis (IDPN) dengan
rasio AAE:AANE sesuai dengan kebutuhan pasien, yaitu 6:5.
d. Indikasi:

52
Pasien dengan gagal ginjal akut dan kronik, termasuk untuk IDPN.
e. Dosis:
Gagal ginjal tanpa dialisis : 0,4-0,6 g/kgBB/hari
Gagal ginjal dengan dialisis : 0,8-1,2 g/kgBB/hari
Diberikan dengan cara infus dengan kecepatan infus 30-40 tetes per menit.
f. Kontraindikasi:
Hipersensitif, gangguan hati berat, gangguan metabolisme protein, dan
koma hepatikum.
g. Peringatan dan Perhatian:
Insufisiensi hepar, ibu hamil dan menyusui dan anak.
h. Efek Samping:
Reaksi hipersensitivitas, demam, mual, muntah, peningkatan SGOT SGPT,
kenaikan kadar urea.

 RL
a. Komposisi

Tiap 500 ml mengandung :

Natrium Klorida................................................................... 3 g

Kalium Klorida .................................................................... 0,15 g

Kalsium Klorida.2H2O........................................................... 0,1 g

Natrium Laktat.................................................................... 1,55 g

Air untuk injeksi ad.............................................................. 500 ml

Natrium 130 mEq/l Klorida 109 mEq/l Kalium 4 mEq/l Laktat 28 mEq/l
Kalsium 2,7 mEq/l

Osmolaritas 273 mOsm/l

b. Indikasi : diindikasikan untuk pengobatan kekurangan cairan dimana


rehidrasi secara oral tidak mungkin dilakukan.

53
c. Kontra Indikasi : Hipernatremia.

 TUTOFUSIN OPS
a. Komposisi:
Per liter cairan kristaloid mengandung:
Sorbitol 50 g
NaCl 3,623 g
KCl 1,342 g
CaCl2 0,294 g
MgCl2 0,610 g
Na Acetate 5,171 g
b. Bentuk Sediaan:
Larutan infus 500 mL di dalam flexy bag.
c. Farmakologi:
Memberikan elektrolit lengkap untuk memenuhi keadaan dehidrasi
hipotonis (kehilangan cairan intraseluler).
Sorbitol berperan sebagai nitrogen-sparing melindungi dari pemecahan
protein.
d. Indikasi:
- Memenuhi kebutuhan air dan elektrolit selama masa praoperasi dan
pascaoperasi.
- Memenuhi kebutuhan air dan elektrolit pada keadaan dehidrasi isotonik
dan kehilangan cairan intraselular.
- Memenuhi kebutuhan karbohidrat secara parsial.
e. Dosis:
30 mL/kgBB/hari.
f. Kontraindikasi:
Gangguan ginjal, intoleransi terhadap fruktosa atau sorbitol,
defisiensi fruktosa-1-6-diphosphatase, keracunan methyl alcohol.

54
g. Peringatan dan Perhatian:
Gangguan fungsi ginjal, hiperkalemia, hiperhidrasi, bukan untuk terapi
syok, retensi cairan dan natrium.

h. Efek Samping:
Demam, nyeri pada tempat injeksi, trombosis vena, flebitis, ekstravasasi,
dan hipervolemia.

DRP
1. DRP ada indikasi tidak ada obat : -
2. DRP tidak ada indikasi ada obat : -

3. DRP dosis terlalu tinggi : -

4. DRP dosis terlalu rendah : -

5. DRP tidak butuh obat : RL berinteraksi dengan obat yang mengandung


kalsium (KSR) sehingga disarankan pemakaian infus RL dihentikan,
karena pasien juga mendapatkan infus NaCl.

6. DRP interaksi obat :

Tanggal 19, 20 Februari

Monitor Closely

Kalsium Karbonat + Budesonide

Kalsium Karbonat menurunkan efek Budesonide dengan meningkatkan pH


lambung. Hanya berlaku untuk bentuk oral dari kedua agen. Pemberian
bersama dengan obat-obatan yang meningkatkan pH lambung dapat
menyebabkan produk Budesonide mempengaruhi sifat pelepasan dan
penyerapan obat di duodenum.

Albuterol + Furosemide

55
Albuterol dan Furosemide menurunkan serum kalium.

Minor

Albuterol + Furosemide

Albuterol, Furosemid. Mekanisme: sinergisme farmakodinamik.


Menyebabkan Hipokalemia

Budesonid + Furosemid

Budesonide, Furosemid. Mekanisme: sinergisme farmakodinamik. Risiko


hipokalemia, terutama dengan aktivitas glukokortikoid yang kuat.

Furosemide + Kalsium Karbonat

Furosemide menurunkan kadar Kalsium Karbonat dengan meningkatkan


klirens ginjal.

Furosemide + Asam Folat

Furosemid menurunkan tingkat Asam Folat dengan meningkatkan klirens


ginjal.

Budesonide + Kalsium Karbonat

Budesonide menurunkan kadar Kalsium Karbonat dengan meningkatkan


eliminasi.

Tanggal 21 Februari

Monitor Closely

Kalium Klorida + Albuterol

Kalium Klorida meningkat dan Albuterol menurunkan serum potasium.

56
Kalium Klorida + Furosemid

Kalium Klorida meningkat dan Furosemid menurunkan serum potasium.

Kalsium Karbonat + Budesonide

Kalsium Karbonat menurunkan efek Budesonide dengan meningkatkan pH


lambung. Hanya berlaku untuk bentuk oral dari kedua agen. Pemberian
bersama dengan obat-obatan yang meningkatkan pH lambung dapat
menyebabkan produk Budesonide mempengaruhi sifat pelepasan dan
penyerapan obat di duodenum.

Albuterol + Furosemide

Albuterol dan Furosemide menurunkan serum kalium.

Minor

Albuterol + Furosemide

Albuterol, Furosemid. Mekanisme: sinergisme farmakodinamik.


Menyebabkan hipokalemia.

Budesonid + Furosemid

Budesonide, Furosemid. Mekanisme: sinergisme farmakodinamik. Risiko


hipokalemia, terutama dengan aktivitas glukokortikoid yang kuat.

Furosemide + Kalsium Karbonat

Furosemide menurunkan kadar Kalsium Karbonat dengan meningkatkan


klirens ginjal

Furosemide + Asam Folat

Furosemid menurunkan tingkat Asam Folat dengan meningkatkan klirens


ginjal.

57
Budesonide + Kalsium Karbonat

Budesonide menurunkan kadar Kalsium Karbonat dengan meningkatkan


eliminasi.

Acetylcysteine + Isosorbide Dinitrate

Acetylcysteine meningkatkan efek dari Isosorbide Dinitrate.

Tanggal 22 Februari

Monitor Closely

Kalium Klorida + Albuterol

Kalium Klorida meningkat dan Albuterol menurunkan serum potasium.

Kalsium Karbonat + Budesonide

Kalsium Karbonat menurunkan efek Budesonide dengan meningkatkan pH


lambung. Hanya berlaku untuk bentuk oral dari kedua agen. Pemberian
bersama dengan obat-obatan yang meningkatkan pH lambung dapat
menyebabkan produk Budesonide mempengaruhi sifat pelepasan dan
penyerapan obat di duodenum.

Minor

Budesonide + Kalsium Karbonat

Budesonide menurunkan kadar Kalsium Karbonat dengan meningkatkan


eliminasi.

Acetylcysteine + Isosorbide Dinitrate

Acetylcysteine meningkatkan efek dari Isosorbide Dinitrate.

58
Tanggal 23, 24 Februari

Monitor Closely

Kalium Klorida + Albuterol

Kalium Klorida meningkat dan Albuterol menurunkan serum potasium.

Kalium Klorida + Furosemid

Kalium Klorida meningkat dan Furosemid menurunkan serum potasium.

Kalsium Karbonat + Budesonide

Kalsium Karbonat menurunkan efek Budesonide dengan meningkatkan pH


lambung. Hanya berlaku untuk bentuk oral dari kedua agen. Pemberian
bersama dengan obat-obatan yang meningkatkan pH lambung dapat
menyebabkan produk Budesonide mempengaruhi sifat pelepasan dan
penyerapan obat di duodenum.

Albuterol + Furosemide

Albuterol dan Furosemide menurunkan serum kalium.

Minor

Albuterol + Furosemide

Albuterol, Furosemid. Mekanisme: sinergisme farmakodinamik.


Menyebabkan hipokalemia.

Budesonid + Furosemid

Budesonide, Furosemid. Mekanisme: sinergisme farmakodinamik. Risiko


hipokalemia, terutama dengan aktivitas glukokortikoid yang kuat.

59
Furosemide + Kalsium Karbonat

Furosemide menurunkan kadar Kalsium Karbonat dengan meningkatkan


klirens ginjal.

Furosemide + Asam Folat

Furosemid menurunkan tingkat Asam Folat dengan meningkatkan klirens


ginjal.

Budesonide + Kalsium Karbonat

Budesonide menurunkan kadar Kalsium Karbonat dengan meningkatkan


eliminasi.

Acetylcysteine + Isosorbide Dinitrate

Acetylcysteine meningkatkan efek dari Isosorbide Dinitrate

Tanggal 25 Februari

Monitor Closely

Budesonide + Midazolam

Budesonide akan menurunkan tingkat atau efek midazolam dengan


mempengaruhi metabolisme enzim CYP3A4 hati / usus.

Midazolam + Fudesonide

Midazolam akan menurunkan tingkat atau efek Budesonide oleh transporter


eflux P-glikoprotein (MDR1).

Kalium Klorida + Albuterol

Kalium Klorida meningkat dan Albuterol menurunkan serum potasium.

Kalium Klorida + Furosemid

60
Kalium Klorida meningkat dan Furosemid menurunkan serum potasium.

Kalsium Karbonat + Budesonide

Kalsium Karbonat menurunkan efek Budesonide dengan meningkatkan pH


lambung. Hanya berlaku untuk bentuk oral dari kedua agen. Pemberian
bersama dengan obat-obatan yang meningkatkan pH lambung dapat
menyebabkan produk Budesonide mempengaruhi sifat pelepasan dan
penyerapan obat di duodenum.

Albuterol + Furosemide

Albuterol dan Furosemide menurunkan serum kalium.

Midazolam +Albuterol

Midazolam meningkat dan Albuterol menurunkan sedasi.

Minor

Albuterol + Furosemide

Albuterol, Furosemid. Mekanisme: sinergisme farmakodinamik.


Menyebabkan hipokalemia.

Budesonid + Furosemid

Budesonide, Furosemid. Mekanisme: sinergisme farmakodinamik. Risiko


hipokalemia, terutama dengan aktivitas glukokortikoid yang kuat.

Furosemide + Kalsium Karbonat

Furosemide menurunkan kadar Kalsium Karbonat dengan meningkatkan


klirens ginjal.

Furosemide + Asam Folat

61
Furosemid menurunkan tingkat Asam Folat dengan meningkatkan klirens
ginjal.

Budesonide + Kalsium Karbonat

Budesonide menurunkan kadar Kalsium Karbonat dengan meningkatkan


eliminasi.

Acetylcysteine + Isosorbide Dinitrate

Acetylcysteine meningkatkan efek dari Isosorbide Dinitrate.

Tanggal 26 Februari

Monitor Closely

Budesonide + Midazolam

Budesonide akan menurunkan tingkat atau efek midazolam dengan


mempengaruhi metabolisme enzim CYP3A4 hati / usus.

Midazolam + Budesonide

Midazolam akan menurunkan tingkat atau efek Budesonide oleh transporter


eflux P-glikoprotein (MDR1).

Candesartan + Kalium Klorida

Candesartan dan Kalium Klorida meningkatkan serum kalium.

Kalium Klorida + Albuterol

Kalium Klorida meningkat dan Albuterol menurunkan serum potasium.

Kalium Klorida + Furosemid

Kalium Klorida meningkat dan Furosemid menurunkan serum potasium.

62
Kalsium Karbonat + Budesonide

Kalsium Karbonat menurunkan efek Budesonide dengan meningkatkan pH


lambung. Hanya berlaku untuk bentuk oral dari kedua agen. Pemberian
bersama dengan obat-obatan yang meningkatkan pH lambung dapat
menyebabkan produk Budesonide mempengaruhi sifat pelepasan dan
penyerapan obat di duodenum.

Candesartan + Furosemide

Candesartan meningkat dan Furosemid menurunkan serum potassium.

Albuterol + Furosemide

Albuterol dan Furosemide menurunkan serum kalium.

Midazolam + Albuterol

Midazolam meningkat dan Albuterol menurunkan sedasi.

Minor

Albuterol + Furosemide

Albuterol, Furosemid. Mekanisme: sinergisme farmakodinamik.


Menyebabkan Hipokalemia.

Budesonid + Furosemid

Budesonide, Furosemid. Mekanisme: sinergisme farmakodinamik. Risiko


hipokalemia, terutama dengan aktivitas glukokortikoid yang kuat.

Furosemide + Kalsium Karbonat

Furosemide menurunkan kadar Kalsium Karbonat dengan meningkatkan


klirens ginjal.

63
Furosemide + Asam Folat

Furosemid menurunkan tingkat Asam Folat dengan meningkatkan klirens


ginjal.

Budesonide + Kalsium Karbonat

Budesonide menurunkan kadar Kalsium Karbonat dengan meningkatkan


eliminasi.

Acetylcysteine + Isosorbide Dinitrate

Acetylcysteine meningkatkan efek dari Isosorbide Dinitrate.

Tanggal 27 Februari

Monitor Closely

Candesartan + Kalium Klorida

Candesartan dan Kalium Klorida meningkatkan serum kalium.

Kalium Klorida + Albuterol

Kalium Klorida meningkat dan Albuterol menurunkan serum potasium.

Kalium Klorida + Furosemid

Kalium Klorida meningkat dan Furosemid menurunkan serum potasium.

Kalsium Karbonat + Budesonide

Kalsium Karbonat menurunkan efek Budesonide dengan meningkatkan pH


lambung. Hanya berlaku untuk bentuk oral dari kedua agen. Pemberian
bersama dengan obat-obatan yang meningkatkan pH lambung dapat
menyebabkan produk Budesonide mempengaruhi sifat pelepasan dan
penyerapan obat di duodenum.

64
Candesartan + Furosemide

Candesartan meningkat dan Furosemid menurunkan serum potassium.

Albuterol + Furosemide

Albuterol dan Furosemide menurunkan serum kalium.

Minor

Albuterol + Furosemide

Albuterol, Furosemid. Mekanisme: sinergisme farmakodinamik.


Menyebabkan Hipokalemia.

Budesonid + Furosemid

Budesonide, Furosemid. Mekanisme: sinergisme farmakodinamik. Risiko


hipokalemia, terutama dengan aktivitas glukokortikoid yang kuat.

Furosemide + Kalsium Karbonat

Furosemide menurunkan kadar Kalsium Karbonat dengan meningkatkan


klirens ginjal.

Furosemide + Asam Folat

Furosemid menurunkan tingkat Asam Folat dengan meningkatkan klirens


ginjal.

Budesonide + Kalsium Karbonat

Budesonide menurunkan kadar Kalsium Karbonat dengan meningkatkan


eliminasi.

Acetylcysteine + Isosorbide Dinitrate

Acetylcysteine meningkatkan efek dari Isosorbide Dinitrate.

65
Tanggal 28 Februari

Monitor Closely

Candesartan+ Kalium Klorida

Candesartan dan Kalium Klorida meningkatkan serum kalium.

Kalsium Karbonat + Amlodipine

Kalsium Karbonat menurunkan efek Amlodipine oleh antagonisme


farmakodinamik.

Kalium Klorida + Albuterol

Kalium Klorida meningkat dan Albuterol menurunkan serum potasium

Kalium Klorida + Furosemid

Kalium Klorida meningkat dan Furosemid menurunkan serum potasium.

Kalsium Karbonat + Budesonide

Kalsium Karbonat menurunkan efek Budesonide dengan meningkatkan pH


lambung. Hanya berlaku untuk bentuk oral dari kedua agen. Pemberian
bersama dengan obat-obatan yang meningkatkan pH lambung dapat
menyebabkan produk Budesonide mempengaruhi sifat pelepasan dan
penyerapan obat di duodenum.

Candesartan + Furosemide

Candesartan meningkat dan Furosemid menurunkan serum potassium.

Albuterol + Furosemide

Albuterol dan Furosemide menurunkan serum kalium.

66
Minor

Budesonide + Amlodipine

Budesonide akan menurunkan tingkat atau efek Amlodipine dengan


mempengaruhi metabolisme enzim CYP3A4 hati / usus.

Albuterol + Furosemide

Albuterol, Furosemid. Mekanisme: sinergisme farmakodinamik.


Menyebabkan hipokalemia.

Budesonid + Furosemid

Budesonide, Furosemid. Mekanisme: sinergisme farmakodinamik. Risiko


hipokalemia, terutama dengan aktivitas glukokortikoid yang kuat.

Furosemide + Kalsium Karbonat

Furosemide menurunkan kadar Kalsium Karbonat dengan meningkatkan


klirens ginjal.

Furosemide + Asam Folat

Furosemid menurunkan tingkat Asam Folat dengan meningkatkan klirens


ginjal.

Budesonide + Kalsium Karbonat

Budesonide menurunkan kadar Kalsium Karbonat dengan meningkatkan


eliminasi.

Acetylcysteine + Isosorbide Dinitrate

Acetylcysteine meningkatkan efek dari Isosorbide Dinitrate.

67
Tanggal 1 Maret

Monitor Closely

Candesartan + Kalium Klorida

Candesartan dan Kalium Klorida meningkatkan serum kalium.

Kalsium Karbonat + Amlodipine

Kalsium Karbonat menurunkan efek Amlodipine oleh antagonisme


farmakodinamik.

Kalsium Klorida + Amlodipine

Kalsium Klorida menurunkan efek Amlodipine oleh antagonisme


farmakodinamik.

Kalium Klorida + Albuterol

Kalium Klorida meningkat dan Albuterol menurunkan serum potasium.

Kalsium Karbonat + Budesonide

Kalsium Karbonat menurunkan efek Budesonide dengan meningkatkan pH


lambung. Hanya berlaku untuk bentuk oral dari kedua agen. Pemberian
bersama dengan obat-obatan yang meningkatkan pH lambung dapat
menyebabkan produk Budesonide mempengaruhi sifat pelepasan dan
penyerapan obat di duodenum.

Minor

Budesonide + Amlodipine

68
Budesonide akan menurunkan tingkat atau efek Amlodipine dengan
mempengaruhi metabolisme enzim CYP3A4 hati / usus.

Budesonide + Kalsium Karbonat

Budesonide menurunkan kadar Kalsium Karbonat dengan meningkatkan


eliminasi.

Budesonide + Kalsium Klorida

Budesonide menurunkan kadar Kalsium Klorida dengan meningkatkan


eliminasi.

Acetylcysteine + Isosorbide Dinitrate

Acetylcysteine meningkatkan efek dari Isosorbide Dinitrate.

Tanggal 2 Maret

Monitor Closely

Budesonid + Teofilin

Budesonide akan menurunkan tingkat atau efek Teofilin dengan


mempengaruhi metabolisme enzim hati CYP3A4 hati / usus.

Candesartan + Kalium Klorida

Candesartan dan Kalium Klorida meningkatkan serum kalium.

Kalsium Karbonat + Amlodipine

Kalsium Karbonat menurunkan efek Amlodipine oleh antagonisme


farmakodinamik.

Kalsium Klorida + Amlodipine

69
Kalsium Klorida menurunkan efek Amlodipine oleh antagonisme
farmakodinamik.

Kalium Klorida + Albuterol

Kalium Klorida meningkat dan Albuterol menurunkan serum potasium.

Kalsium Karbonat + Budesonide

Kalsium Karbonat menurunkan efek Budesonide dengan meningkatkan pH


lambung. Hanya berlaku untuk bentuk oral dari kedua agen. Pemberian
bersama dengan obat-obatan yang meningkatkan pH lambung dapat
menyebabkan produk Budesonide mempengaruhi sifat pelepasan dan
penyerapan obat di duodenum.

Minor

Budesonide + Amlodipine

Budesonide akan menurunkan tingkat atau efek Amlodipine dengan


mempengaruhi metabolisme enzim CYP3A4 hati / usus.

Dekstrosa + Magnesium Klorida

Dekstrosa menurunkan kadar Magnesium Klorida dengan meningkatkan


klirens ginjal.

Budesonide + Kalsium Karbonat

Budesonide menurunkan kadar Kalsium Karbonat dengan meningkatkan


eliminasi.

Budesonide + Kalsium Klorida

70
Budesonide menurunkan kadar Kalsium Klorida dengan meningkatkan
eliminasi.

Acetylcysteine + Isosorbide Dinitrate

Acetylcysteine meningkatkan efek dari Isosorbide Dinitrate.

Tanggal 3, 4 Maret

Monitor Closely

Budesonid + Teofilin

Budesonide akan menurunkan tingkat atau efek Teofilin dengan


mempengaruhi metabolisme enzim hati CYP3A4 hati / usus.

Candesartan + Kalium Klorida

Candesartan dan Kalium Klorida meningkatkan serum kalium.

Magnesium Klorida + Levofloxacin

Magnesium Klorida menurunkan tingkat Levofloxacin dengan menghambat


penyerapan GI. Hanya berlaku untuk bentuk oral dari kedua agen.Pisahkan
dengan 2 jam.

Kalsium Karbonat + Azitromisin

Kalsium Karbonat menurunkan tingkat azitromisin dengan menghambat


penyerapan GI. Hanya berlaku untuk bentuk oral dari kedua agen. Pisahkan
dengan 2 jam.

Kalsium Karbonat + Amlodipine

Kalsium Karbonat menurunkan efek Amlodipine oleh antagonisme


farmakodinamik.

Kalsium Klorida + Amlodipine

71
Kalsium Klorida mengurangi efek Amlodipine oleh antagonisme
farmakodinamik.

Kalsium Karbonat + Levofloxacin

Kalsium Karbonat, Levofloxacin. Entah penurunan tingkat lainnya dengan


menghambat penyerapan GI. Pisahkan dengan 2 jam.

Kalsium Klorida + Levofloxacin

Kalsium Klorida, Levofloxacin. Penurunan tingkat lainnya dengan


menghambat penyerapan GI. Hanya berlaku untuk bentuk oral dari kedua
agen. Pisahkan dengan 2 jam.

Kalium Klorida + Albuterol

Kalium Klorida meningkat dan Albuterol menurunkan serum potasium

Kalium Klorida + Furosemid

Kalium Klorida meningkat dan Furosemid menurunkan serum potasium.

Kalsium Karbonat + Budesonide

Kalsium Karbonat menurunkan efek Budesonide dengan meningkatkan pH


lambung. Hanya berlaku untuk bentuk oral dari kedua agen. Pemberian
bersama dengan obat-obatan yang meningkatkan pH lambung dapat
menyebabkan produk Budesonide mempengaruhi sifat pelepasan dan
penyerapan obat di duodenum.

Candesartan + Furosemide

Candesartan meningkat dan Furosemid menurunkan serum potasium.

Albuterol + Furosemide

Albuterol dan Furosemide menurunkan serum kalium.

72
Minor

Budesonide + Amlodipine

Budesonide akan menurunkan tingkat atau efek Amlodipine dengan


mempengaruhi metabolisme enzim CYP3A4 hati / usus.

Azitromisin + Levofloxacin

Azitromisin dan Levofloxacin meningkatkan interval QTc

Albuterol + Furosemide

Albuterol, Furosemid. Mekanisme: sinergisme farmakodinamik.


Menyebabkan hipokalemia.

Budesonid + Furosemid

Budesonide, Furosemid. Mekanisme: sinergisme farmakodinamik. Risiko


hipokalemia, terutama dengan aktivitas glukokortikoid yang kuat.

Furosemide + Kalsium Karbonat

Furosemide menurunkan kadar Kalsium Karbonat dengan meningkatkan


klirens ginjal

Furosemide + Kalsium Klorida

Furosemide menurunkan kadar Kalsium Klorida dengan meningkatkan klirens


ginjal.

Furosemid + Magnesium Klorida

Furosemid menurunkan kadar Magnesium Klorida dengan meningkatkan


klirens ginjal.

Furosemide + Asam Folat

73
Furosemid menurunkan kadar Asam Folat dengan meningkatkan klirens
ginjal.

Fudesonide + Kalsium Karbonat

Budesonide menurunkan kadar Kalsium Karbonat dengan meningkatkan


eliminasi.

Budesonide + Kalsium Klorida

Budesonide menurunkan kadar Kalsium Klorida dengan meningkatkan


eliminasi.

Acetylcysteine + Isosorbide Dinitrate

Acetylcysteine meningkatkan efek dari Isosorbide Dinitrate.

Tanggal 5 Maret

Monitoring Closely

Budesonid + Teofilin

Budesonide akan menurunkan tingkat atau efek Teofilin dengan


mempengaruhi metabolisme enzim hati CYP3A4 hati / usus.

Candesartan + Kalium Klorida

Candesartan dan Kalium Klorida meningkatkan serum kalium.

Magnesium Klorida + Levofloxacin

Magnesium Klorida menurunkan tingkat Levofloxacin dengan menghambat


penyerapan GI. Hanya berlaku untuk bentuk oral dari kedua agen. Pisahkan
dengan 2 jam.

Kalsium Karbonat + Azitromisin

74
Kalsium Karbonat menurunkan tingkat azitromisin dengan menghambat
penyerapan GI. Hanya berlaku untuk bentuk oral dari kedua agen. Pisahkan
dengan 2 jam.

Kalsium Karbonat + Amlodipine

Kalsium Karbonat menurunkan efek Amlodipine oleh antagonisme


farmakodinamik.

Kalsium Klorida + Amlodipine

Kalsium Klorida mengurangi efek Amlodipine oleh antagonisme


farmakodinamik.

Kalsium Karbonat + Levofloxacin

Kalsium Karbonat, Levofloxacin. Penurunan tingkat lainnya dengan


menghambat penyerapan GI. Hanya berlaku untuk bentuk oral dari kedua
agen. Pisahkan dengan 2 jam.

Kalsium Klorida + Levofloxacin

Kalsium Klorida, Levofloxacin. Entah penurunan tingkat lainnya dengan


menghambat penyerapan GI. Hanya berlaku untuk bentuk oral dari kedua
agen. Pisahkan dengan 2 jam.

Kalium Klorida + Albuterol

Kalium Klorida meningkat dan Albuterol menurunkan serum potasium.

Kalsium Karbonat + Budesonide

Kalsium Karbonat menurunkan efek Budesonide dengan meningkatkan pH


lambung. Hanya berlaku untuk bentuk oral dari kedua agen. Pemberian
bersama dengan obat-obatan yang meningkatkan pH lambung dapat
menyebabkan produk Budesonide mempengaruhi sifat pelepasan dan
penyerapan obat di duodenum.

75
Minor

Budesonide + Amlodipine

Budesonide akan menurunkan tingkat atau efek Amlodipine dengan


mempengaruhi metabolisme enzim CYP3A4 hati / usus.

Azitromisin + Levofloxacin

Azitromisin dan Levofloxacin meningkatkan interval QTc.

Budesonide + Kalsium Karbonat

Budesonide menurunkan kadar Kalsium Karbonat dengan meningkatkan


eliminasi.

Budesonide + Kalsium Klorida

Budesonide menurunkan kadar Kalsium Klorida dengan meningkatkan


eliminasi.

Acetylcysteine + Isosorbide Dinitrate

Acetylcysteine meningkatkan efek dari Isosorbide Dinitrate.

Tanggal 6 Maret

Monitor Closely

Candesartan + Kalium Klorida

Candesartan dan Kalium Klorida meningkatkan serum kalium.

Magnesium Klorida + Levofloxacin

Magnesium Klorida menurunkan tingkat Levofloxacin dengan menghambat


penyerapan GI. Hanya berlaku untuk bentuk oral dari kedua agen. Pisahkan
dengan 2 jam.

76
Kalsium Karbonat + Amlodipine

Kalsium Karbonat menurunkan efek Amlodipine oleh antagonisme


farmakodinamik.

Kalsium Klorida + Amlodipine

Kalsium Klorida mengurangi efek Amlodipine oleh antagonisme


farmakodinamik.

Kalsium Karbonat + Levofloxacin

Kalsium Karbonat, Levofloxacin. Entah penurunan tingkat lainnya dengan


menghambat penyerapan GI. Hanya berlaku untuk bentuk oral dari kedua
agen. Pisahkan dengan 2 jam.

Kalsium Klorida + Levofloxacin

Kalsium Klorida, Levofloxacin. Penurunan tingkat lainnya dengan


menghambat penyerapan GI. Hanya berlaku untuk bentuk oral dari kedua
agen. Pisahkan dengan 2 jam.

Kalium Klorida + Albuterol

Kalium Klorida meningkat dan Albuterol menurunkan serum potasium.

Kalsium Karbonat + Budesonide

Kalsium Karbonat menurunkan efek Budesonide dengan meningkatkan pH


lambung. Hanya berlaku untuk bentuk oral dari kedua agen. Pemberian
bersama dengan obat-obatan yang meningkatkan pH lambung dapat
menyebabkan produk Budesonide mempengaruhi sifat pelepasan dan
penyerapan obat di duodenum.

Minor

77
Budesonide + Amlodipine

Budesonide akan menurunkan tingkat atau efek Amlodipine dengan


mempengaruhi metabolisme enzim CYP3A4 hati / usus.

Budesonide + Kalsium Karbonat

Budesonide menurunkan kadar Kalsium Karbonat dengan meningkatkan


eliminasi.

Budesonide + Kalsium Klorida

Budesonide menurunkan kadar Kalsium Klorida dengan meningkatkan


eliminasi.

Tanggal 7-13 Maret

Monitor Closely

Candesartan + Kalium Klorida

Candesartan dan Kalium Klorida meningkatkan serum kalium.

Magnesium Klorida + Levofloxacin

Magnesium Klorida menurunkan tingkat Levofloxacin dengan menghambat


penyerapan GI. Hanya berlaku untuk bentuk oral dari kedua agen. Pisahkan
dengan 2 jam.

Kalsium Karbonat + Amlodipine

Kalsium Karbonat menurunkan efek Amlodipine oleh antagonisme


farmakodinamik.

Kalsium Klorida + Amlodipine

78
Kalsium Klorida mengurangi efek Amlodipine oleh antagonisme
farmakodinamik.

Kalsium Karbonat + Levofloxacin

Kalsium Karbonat, Levofloxacin. Entah penurunan tingkat lainnya dengan


menghambat penyerapan GI. Hanya berlaku untuk bentuk oral dari kedua
agen. Pisahkan dengan 2 jam.

Kalsium Klorida + Levofloxacin

Kalsium Klorida, Levofloxacin. Penurunan tingkat lainnya dengan


menghambat penyerapan GI. Hanya berlaku untuk bentuk oral dari kedua
agen.Pisahkan dengan 2 jam.

Kalium Klorida + Albuterol

Kalium Klorida meningkat dan Albuterol menurunkan serum potasium.

Kalium Klorida + Furosemid

Kalium Klorida meningkat dan Furosemid menurunkan serum potasium.

Kalsium Karbonat + Budesonide

Kalsium Karbonat menurunkan efek Budesonide dengan meningkatkan pH


lambung. Hanya berlaku untuk bentuk oral dari kedua agen. Pemberian
bersama dengan obat-obatan yang meningkatkan pH lambung dapat
menyebabkan produk Budesonide mempengaruhi sifat pelepasan dan
penyerapan obat di duodenum.

Candesartan + Furosemide

Candesartan meningkat dan Furosemid menurunkan serum potasium.

Albuterol + Furosemide

Albuterol dan Furosemide menurunkan serum kalium.

79
Minor

Budesonide + Amlodipine

Budesonide akan menurunkan tingkat atau efek Amlodipine dengan


mempengaruhi metabolisme enzim CYP3A4 hati / usus.

Albuterol + Furosemide

Albuterol, Furosemid. Mekanisme: sinergisme farmakodinamik.

Budesonide + Furosemid

Budesonide, Furosemid. Mekanisme: sinergisme farmakodinamik. Risiko


hipokalemia, terutama dengan aktivitas glukokortikoid yang kuat.

Furosemide + Kalsium Karbonat

Furosemide menurunkan kadar Kalsium Karbonat dengan meningkatkan


klirens ginjal.

Furosemide + Kalsium Klorida

Furosemide menurunkan kadar Kalsium Klorida dengan meningkatkan klirens


ginjal.

Furosemid + Magnesium Klorida

Furosemid menurunkan kadar Magnesium Klorida dengan meningkatkan


klirens ginjal.

Furosemide + Asam Folat

Furosemid menurunkan kadar Asam Folat dengan meningkatkan klirens


ginjal.

Budesonide + Kalsium Karbonat

80
Budesonide menurunkan kadar Kalsium Karbonat dengan meningkatkan
eliminasi.

Budesonide + Kalsium Klorida

Budesonide menurunkan kadar Kalsium Klorida dengan meningkatkan


eliminasi.

Acetylcysteine + Isosorbide Dinitrate

Acetylcysteine meningkatkan efek dari Isosorbide Dinitrate.

Tanggal 14 Maret

Monitor Closely

Candesartan + Kalium Klorida

Candesartan dan Kalium Klorida meningkatkan serum kalium.

Kalsium Karbonat + Amlodipine

Kalsium Karbonat menurunkan efek Amlodipine oleh antagonisme


farmakodinamik.

Kalium Klorida + Furosemid

Kalium Klorida meningkat dan Furosemid menurunkan serum potasium.

Candesartan + Furosemide

Candesartan meningkat dan Furosemid menurunkan serum potasium.

Minor

Furosemide + Kalsium Karbonat

81
Furosemide menurunkan kadar Kalsium Karbonat dengan meningkatkan
klirens ginjal.

Furosemide + Asam Folat

Furosemid menurunkan kadar Asam Folat dengan meningkatkan klirens


ginjal.

Acetylcysteine + Isosorbide Dinitrate

Acetylcysteine meningkatkan efek dari Isosorbide Dinitrate.

4. Plan
 Penggunaan RL dihentikan. Infus menggunakan NaCl saja.
 Pengobatan tetap dilanjutkan dengan pemantauan kadar elektrolit
rutin.
 Perlu dilakukan pengecekan tekanan darah setelah HD dan setelah
mendapat obat hipertensi (sehari 2x).

5. KIE
a. Konsumsi air minum jangan berlebihan disesuaikan dengan volume air
kencing. Sebisa mungkin cairan yang keluar tubuh sama dengan cairan
yang masuk tubuh.
b. Mengurangi konsumsi makan dengan kadar garam yang tinggi,
contoh : ikan asin.
c. Diet tinggi kalori dan rendah protein.
d. Rutin menjalani hemodialisa 2 kali seminggu.
e. Jangan melakukan aktivitas yang berat.
f. Istirahat yang cukup.
g. Perlu dilakukan cek tekanan darah secara rutin.
h. Hindari konsumsi makanan tinggi kalium, misalnya buah pisang,
tomat, dan jeruk.

82
DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2017. Situasi Penyakit Ginjal Kronis. Jakarta: Pusat Data dan Informasi
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.

Badan Pengawasan Obat dan Makanan. 2015. Informatorium Obat Nasional


Indonesia. Jakarta: CV Sagung Seto.

Collaghan, Chris. 2007. At a Glace Sistem Ginjal Edisi Kedua. Jakarta: EMS
Press.

Corwin, E. 2001. Buku Saku Patofisiologi. Edisi Revisi III. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC.

Corwin, Elizabeth J. 2008. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: Buku Kedokteran


EGC.

Corwin, E.J.. 2009. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: ECG.

Dipiro, J, T.,et al. 2005. Pharmacotherapy Handbook, Seven edition. USA: Mc


Graw Hill.

83
Dipiro, T. J dkk.2008. Pharmacotherapy A Pathophysiologic Approach sevent
edition. America : McGraw-Hill.

Dipiro, J.T. 2009. Pharmacotheraphy Handbook 7th edition. USA: Mc Graw Hill
Medical.

Dipiro, J, T.,et al. 2015. Pharmacotherapy Handbook, Ninth edition. USA: Mc


Graw Hill.

Depkes RI. 2006. Pharmaceutical Care Untuk Penyakit Hipertensi. Jakarta:


Depkes RI.

Guyton, A. C. dan Hall, J. E. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran edisi 11.
Jakarta: EGC.

Hakim, L. 2013. Farmakokinetik Klinik. Yogyakarta: UGM Press.

Hudson, J.Q. 2008. Chronic Kidney Disease: Management of Complications, dalam


Dipiro, J. T., Talbert, R. L., Wells, B.G., and Pryes, L. M., Pharmacotheraphy A
Pathophysiologic Approach Seventh Edition, 1956-1958. USA: the Mc Graw Hill
Companies.

Jama. 2004. The Eighth Report of the Joint National Committee on Prevention,
Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure, Eighth. Paul
A. James , ed., United States of Amerika: NIH Publication.

Kallenbach, J.Z., Gutch, C.F., Martha, S.H., & Corca, A.L. 2005. Review of
hemodialysis for nurses anf dialysis personal 7th edition. St Louis:
Elsevier Mosby.

KemenKes. 2011. Pedoman Interpretasi Data Klinik. Jakarta : Dirjen Bina


Kefarmasian dan Alat Kesehatan.

Lacy, C.F., Amstrong, L.L., Goldman, M.P., dan Lance, L.L. 2010. Drug
Information Handbook International 20th Ed. USA : Lexi Comp.

Lim, SS., Vos, T., Flaxman, AD., Danaei, G., Shibuya, K., Adair-Rohani, H. (2012) A
comparative risk assessment of burden of disease and injury attributable to 67 risk
factors and risk factor clusters in 21 regions, 1990-2010: a systematic analysis for
the Global Burden of Disease Study 2010. Lancet. 380 (9859) : 2224–2260

Longmore, M., Ian B.W., Edward H. D., Alexander F., dan Ahmad R. M. 2013.
Buku Saku Kedokteran Klinis. Eighth Edition. Diterjemahkan oleh
Aryandhito W.N., Dian R., Aryana Diani. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC.

84
Mahreswati, E. 2012. Pharmacotherapy A A Pathophysiologic Approach Sevent
Edition. America : McGraw-Hill.

Manurung, N., Manurung, R., dan Bolon, C. M. T., 2017. Buku Sistem Endokrin.
Yogyakarta: Deepublish

National Kidney Foundation. 2010. High Blood Pressure and Chronic Kidney
Disease. New York : National Kidney Foundation.

Nursalam. 2006. Asuhan keperawatan pada Pasien dengan Gangguan Sistem


Perkemihan Ed 1. Jakarta : Salemba Medika.

Pernefri (Perkumpulan Nefrologi Indonesia). 2014. 7th Report of Indonesian


Renal Registry.

Price, S. A dan Wilson, L. M. 2006. Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi


6. Vol. 2. Jakarta : EGC.

Roosmarinto., Rahayu, M., dan Jasati, R. I., 2015. Jurnal Teknologi Laboratorium
Volum 4 No. 2. Yogyakarta: Politeknik Kesehatan Kemenkes Yogyakarta

Rendi, M. C dan Margareth T.H. 2012. Asuhan Keperawatan Medikal Bedah Dan
Penyakit Dalam. Edisi 1. Yogjakarta : Nuha Medika.

Singh AK. 2008. Anemia of Chronic Kidney Disease. Clin J Am; vol. 3: 3-6

Sja’bani M. Batu Saluran Kemih In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,K MS, Setiati S,
editors. Buku ajar ilmu Penyakit Dalam. IV ed. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu
Penyakit Dalam FKUI; 2008

Suwitra K. 2009. Penyakit Ginjal Kronik. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi
V. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. 1035- 1040

Verdiansah. 2016. Pemeriksaan Fungsi Ginjal. CDK-237 Program Pendidikan


Dokter Spesialis Patologi Klinik Volume 43 No. 2. Bandung : RS Hasan
Sadikin.

85

Anda mungkin juga menyukai