Anda di halaman 1dari 42

MAKALAH TUBERKULOSIS

Oleh :

Kelompok 1

1. Ahmad Julkandri
2. Ajeng Dwi Mega Sarie
3. Fifi Candita
4. Ghifari Ihsan
5. Heryanto Butar Butar
6. Laura Nurul Alfiola
7. Mega Sutia
8. Novia Heriza
9. Novita Meqimiana

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS ABDURRAB

PEKANBARU

2018
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan karunianya serta memberikan
nikmat kesehatan dan kesempatan sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul
“Tuberkulosis”. Shalawat beriringkan salam kepada Nabi Muhammad SAW, serta keluarga
dan sahabatnya yang telah membawa umat manusia ke alam yang penuh ilmu pengetahuan.
Terimakasih kami ucapkan kepada fasilitator yang telah membimbing dan telah
mengarahkan tujuan diskusi sehingga kami dapat mencapai tujuan pembelajaran dan
menyelesaikan makalah hasil diskusi ini. Kami menyadari bahwa dalam pembuatan makalah
hasil diskusi ini masih banyak kekurangan. Untuk itu penulis mengharapkan saran dan
masukan dari tutor ataupun dari rekan mahasiswa/i untuk kesempurnaan pembuatan makalah
hasil diskusi ini.

Pekanbaru, 02 Juli 2018

Penulis,

Kelompok 1

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................................... i


DAFTAR ISI ........................................................................................................................ ii
HASIL DK 1 ....................................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ................................................................................................................. 1
1.2 Tujuan Penulisan .............................................................................................................. 1
BAB II LANDASAN TEORI ............................................................................................... 2
2.1 Definisi Tuberkulosis ....................................................................................................... 2
2.2 Epidemiologi Tuberkulosis............................................................................................... 2
2.3 Etiologi Tuberkulosis ....................................................................................................... 2
2.4 Faktor Resiko Tuberkulosis .............................................................................................. 3
2.5 Patogenesis Tuberkulosis ................................................................................................. 4
2.6 Manifestasi Klinis Tuberkulosis ....................................................................................... 8
2.6.1 Manifestasi Klinis Tuberkulosis Dewasa :................................................................. 8
2.6.2 Manifestasi Klinis Tuberkulosis Anak : .................................................................... 9
2.6.3 Diagnosis Banding .................................................................................................. 10
2.7 Klasifikasi Tuberkulosis ................................................................................................. 11
2.8 Diagnosis Tuberkulosis .................................................................................................. 13
2.8.1 Diagnosis Tuberkulosis Dewasa ............................................................................. 13
2.8.2 Diagnosis Tuberkulosis Anak ................................................................................. 17
2.9 Penatalaksanaan Tuberkulosis ........................................................................................ 21
2.9.1 Penatalaksanaan Tuberkulosis Dewasa ................................................................... 22
2.9.2 Penatalaksanaan Tuberkulosis Anak ....................................................................... 25
2.10 Pencegahan Tuberkulosis ............................................................................................. 28
2.11 Ilmu Kesehatan Masyarakat pada Tuberkulosis ............................................................ 32
2.12 Directly Observed Treatment Short Course (DOTS) ..................................................... 33
BAB III PENUTUP ............................................................................................................ 35
3.1 Simpulan ........................................................................................................................ 35
3.2 Saran .............................................................................................................................. 35
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................................... 36

ii
SKENARIO SUB MODUL 4

Bu Fatimah membawa anaknya, Ujang 5 tahun ke Puskesmas Kota Bengkalis untuk


dipeiksa dokter. Bu Fatimah khawatir karena batuk Ujang tak kunjung sembuh sudah hampir
dua bulan dan kelihatan kurus. Setelah dokter memberikan kesempatan Bu Fatimah bercerita
tentang kondisi Ujang, lalu dokter menggali lebih dalam lagi tentang ada tidaknya demam,
keringat dingin malam hari, dan beberapa kondisi lain. Selain itu, dokter juga menanyakan
tentang kondisi rumah, lingkungan, orang-orang sekitar Ujang, riwayat transfuse, dan riwayat
transfuse, dan riwayat imunisasi. Pemeriksaan fisik ditemukan Ujang tampak sakit, BB/TB =
12 kg/85 cm. pemeriksaan fisik ditemukan limfadenopaty (+) di leher kanan, juga ditemukan
perubahan pada pemeriksaan paru dan beberapa perubahan lain. Dokter mengatakan untuk
menegakkan diagnosis Ujang perlu dilakukan pemeriksaan lain seperti foto rontgen dan tes
mantoux. Setelah semua informasi yang dibutuhkan diperoleh, dokter menghitung skor TB
Ujang. Dokter menyimpulkan diagnosis dan memberikan terapi yang sesuai.

HASIL DK 1
 Step 1 (Clarifying unfamiliar terms)
Terminologi
Limfadenopaty Pembengkakan kelenjar limfe
Tuberculosis Penyakit infeksi menular yang disebabkan Mycobacterium tuberculosis
yang menyerang semua organ tubuh terutama paru
HIV Penyakit yang menyerang system kekebalan tubuh
Skor TB Pembobotan terhadap tanda dan gejala klinis untuk menegakkan
diagnosis TB
Tes mantoux Pemeriksaan untuk menegakkan diagnosis TB, dengan menyuntikkan
tuberculin secara intrakutan yang apabila positif ditandai dengan
indurasi
Foto rontgen

iii
Key Word
Tuberculosis dan HIV Usia 5 tahun
Batuk lama (2 bulan) Kurus
Ada tidaknya demam Keringat dingin malam hari
Pemeriksaan fisik Pemeriksaan penunjang
Score TB Penatalaksanaan
Kondisi rumah,lingkungan orang sekitar, riwayat transfursi, riwayat imunisasi

 Step 2 (Problem Definition)

1. Mengapa Mycobacterium tuberculosis sering berada di apex paru?


2. Begaimana hubungan dokter menanyakan kondisi rumah,lingkungan orang sekitar,
riwayat transfuse, dan riwayat imunisasi dengan TB?
3. Bagaimana hubungan ada tidaknya demam, keringat dingin malam hari dengan TB paru?
4. Apakah ada hubungan TB dan HIV?
5. Apakah ada hubungan predisposisi TB dengan usia?
6. Apa penyebab terjadinya limfadenopaty di leher sebelah kanan?
7. Apakah seseorang yang batuk lama selalu dikatakan dengan TB, mengapa?
8. Apa saja tanda dan gejala TB?
9. Mengapa batuk tidak kunjung sembuh?
10. Bagaimana cara penularan dan pencegahan TB?
11. Siapa saja yang diindikasikan untuk melakukan tes mantoux?
12. Bagaimana prinsip penatalaksanaan TB?
13. Bagaimana klasifikasi dari TB?
14. Bagaimana pathogenesis TB?
15. Bagaimana menghitung score TB?
16. Bagaimanakah gambaran rontgen orang yang terkena TB?
17. Bagaimanakah prognosis TB?
18. Mengapa pasien dengan TB menjadi kurus?
19. Bagaimana prinsi penatalaksanaan TB?
20. Bagaimana cara menegakkan diagnosis untuk TB anak dan deasa?
21. Apakah seseoarang yang pernah mengalami TB dan sembuh dapat kambuh kembali?
22. Apa yang ditemukan pada pemeriksaan fisik pada pasien TB?
 Step 3 (Brainstorm)

iv
 Step 4 (Analyzing the problem)

v
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Tuberkulosis paru adalah suatu penyakit infeksi kronik yang sudah sangat lama dikenal
pada manusia misalnya dihubungkan dengan tempat tinggal di daerah urban, lingkungan yang
padat, dibuktikan dengan adanya penemuan kerusakan tulang vertebra toraks yang khas TB
dari kerangka yang digali di Heidelberg dari kuburan zaman neolitikum, begitu juga dengan
penemuan yang berasal dari mumi dan ukiran dinding pyramid di Mesir kuno pada tahun
2000-4000 SM. Hippocrates telah memperkenalkan terminologi phthisis yang diangkat dari
bahasa Yunani yang menggambarkan tampilan TB paru.
Walaupun pengobatan TB yang efektif sudah tersedia tapi sampai saat ini TB masih
tetap menjadi problem kesehatan dunia yang utama. Pada bulan Maret 1993 WHO
mendeklarasikan TB sebagai Global Health Emergency. TB dianggap sebagai masalah
kesehatan dunia yang penting karena lebih kurang sepertiga penduduk dunia terinfeksi oleh
Mycobacterium tuberculosis. Pada tahun 1998 ada 3.616.047 kasus TB yang tercatat di
seluruh dunia.
Alasan utama munculnya atau meningkatnya beban TB global ini antara lain disebabkan
oleh kemiskinan, perubahan demografik dengan meningkatnya penduduk dunia dan
perubahan dari struktur usia manusia yang hidup, perlindungan kesehatan yang tidak
mencukupi , kurangnya ilmu pengetahuan tentang TB, kekurangan biaya untuk berobat,
adanya epidemi HIV.

1.2 Tujuan Penulisan


1.2.1 Memberi informasi tentang epidemiologi TB
1.2.2 Memberi informasi tentang etiologi TB
1.2.3 Memberi informasi tentang faktor resiko TB
1.2.4 Memberi informasi tentang klasifikasi TB
1.2.5 Memberi informasi tentang pathogenesis TB
1.2.6 Memberi informasi tentang manifestasi klinis TB
1.2.7 Memberi informasi tentang diagnosis TB
1.2.8 Memberi informasi tentang penatalaksanaan TB
1.2.9 Memberi informasi tentang pencegahan TB

1
BAB II
LANDASAN TEORI

2.1 Definisi Tuberkulosis


Tuberkulosis adalah penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh infeksi
Mycobacterium tuberculosis.

2.2 Epidemiologi Tuberkulosis


Tuberkulosis merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting di dunia ini.
Diperkirakan terdapat 8,6 juta kasus TB pada tahun 2012 dimana 1,1juta orang diantaranya
adalah pasien TB dengan HIV positif. Sekitar 75% dari pasien tersebut berada diwilayah
afrika. Laporan WHO tahun 2004 menyebutkan bahwa jumlah terbesar kematian akibat TB
terdapat di Asia tenggara yaitu 625.000 orang atau angka mortality sebesar 39 orang per
100.000 penduduk. Angka mortality tertinggi terdapat di Afrika yaitu 83 per 100.000
penduduk, prevalensi HIV yang cukup tinggi mengakibatkan peningkatan cepat kasus TB
yang muncul. Indonesia masih menempati urutan ke 3 di dunia untuk jumlah kasus TB
setelah India dan Cina. Setiap tahun terdapat 250.000 kasus baru TB dan sekitar 140.000
kematian akibat TB. Di Indonesia tuberculosis adalah pembunuh nomor satu diantara
penyakit menular dan merupakan penyebab kematian nomor tiga setelah penyakit jantung dan
penyakit pernapasan akut pada seluruh kalangan usia.

2.3 Etiologi Tuberkulosis


Tuberkulosis disebabkan oleh Mycobacterium tuberkulosis yang merupakan familiae
Mycobacteriaceae. Sifat Mycobacterium tuberculosis antara lain adalah sebagai berikut :
 Berbentuk batang berwarna merah dengan panjang 1-10 mikron, lebar 0,2-0,6 mikron.
 Bersifat tahan asam dalam pewarnaan dengan metode Ziehl Neelsen. Hal ini
dikarenakan M. tuberculosis mempunyai dinding sel lipid sehingga tahan asam.
 Tahan terhadap suhu rendah sehingga dapat bertahan hidup dalam jangka waktu lama
pada suhu antara 4oC sampai minus 70oC.
 Rentan terhadap panas, dan sinar matahari.
 Paparan langsung terhadap sinar ultraviolet, sebagian besar kuman akan mati dalam
waktu beberapa menit.
 Dalam dahak pada suhu antara 30-37oC akan mati dalam waktu lebih kurang 1 minggu
 Kuman dapat bersifat dormant(“tidur”/tidak berkembang)

2
2.4 Faktor Resiko Tuberkulosis
1. Kuman penyebab TB.
a. Pasien TB dengan BTA positif lebih besar risiko menimbulkan penularan
dibandingkan dengan BTA negatif.
b. Makin tinggi jumlah kuman dalam percikan dahak, makin besar risiko terjadi
penularan.
c. Makin lama dan makin sering terpapar dengan kuman, makin besar risiko terjadi
penularan.

2. Faktor individu yang bersangkutan.


a. Faktor usia dan jenis kelamin:
 Kelompok paling rentan tertular TB adalah kelompok usia dewasa muda yang
juga merupakan kelompok usia produktif.

 Menurut hasil survei prevalensi TB, Laki-laki lebih banyak terkena TB dari
pada wanita.

b. Daya tahan tubuh:


Apabila daya tahan tubuh seseorang menurun oleh karena sebab apapun,
misalnya usia lanjut, ibu hamil, ko-infeksi dengan HIV, penyandang diabetes
mellitus, gizi buruk, keadaan immuno-supressive, bilamana terinfeksi dengan
M.tb, lebih mudah jatuh sakit.
c. Perilaku:

 Batuk dan cara membuang dahak pasien TB yang tidak sesuai etika akan
meningkatkan paparan kuman dan risiko penularan.
 Merokok meningkatkan risiko terkena TB paru sebanyak 2,2 kali.
 Sikap dan perilaku pasien TB tentang penularan, bahaya, dan cara pengobatan.
d. Status sosial ekonomi:
TB banyak menyerang kelompok sosial ekonomi lemah.

3. Faktor lingkungan:
a. Lingkungan perumahan padat dan kumuh akan memudahkan penularan TB.
b. Ruangan dengan sirkulasi udara yang kurang baik dan tanpa cahaya matahari akan
meningkatkan risiko penularan.

3
2.5 Patogenesis Tuberkulosis
Berdasarkan pembagian secara patologis tuberkulosis terbagi menjadi tuberkulosis
primer dan tuberkulosis sekunder. Tuberkulosis primer adalah penyakit yang timbul pada
orang yang sebelumnya belum pernah terpajan (belum tersensitisasi). Tuberkulosis sekunder
adalah penyakit yang timbul pada orang yang telah tersensitisasi.

 Tuberculosis Primer

Mycobacterium tuberculosis terhirup oleh orang yang sehat, kemudian menempel pada
saluran nafas atau jaringan paru. M.tuberculosis bisa masuk ke alveolus paru bila ukurannya
< 5 mikrometer. Karena ukurannya yang sangat kecil M.tuberculosis dapat mencapai
alveolus. Masuknya M.tuberculosis akan segera diatasi oleh mekanisme imunologik tubuh
yang non spesifik (innate immunity). Makrofag alveolus akan memfagositosis M.tuberculosis
dan biasanya sanggup menghancurkan sebagian besar M.tuberculosis. Pada sebagian kecil
kasus, makrofag tidak mampu menghancurkan M.tuberculosis, sehingga M.tuberculosis dapat
bereplikasi dalam makrofag.
Setelah berada didalam makrofag, M.tuberculosis berkembang biak di dalam fagosom
dengan menghambat fusi fagosom dan lisosom. M.tuberculosis dalam makrofag terus
berkembang biak, akhirnya membentuk koloni yang jumlahnya cukup untuk menginduksi
respon imun. Lokasi pertama koloni M.tuberculosis di jaringan paru disebut “Fokus Primer
GOHN”. Fokus primer GOHN merupakan suatu daerah konsolidasi inflamatorik putih abu-
abu berukuran 1-1,5 cm di jaringan paru.

4
M.tuberculosis menyebar secara limfogen dan
hematogen. Pada penyebaran limfogen M.tuberculosis
menyebar melalui saluran limfe menuju kelenjar limfe
regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran ke
lokasi fokus primer. Penyebaran ini menyebabkan terjadinya
inflamasi di saluran limfe (limfangitis) dan di kelenjar limfe
(limfadenitis) yang terkena. Gabungan antara fokus primer,
limfadenitis dan limfangitis disebut “Kompleks Primer”.
Sekitar 3 minggu setelah infeksi terbentuk respon Th1 Kompleks Ghon. Fokus parenkim
berwarna abu-abu putih (tanda
terhadap M.Tuberculosis yang mengaktifkan makrofag panah) terletak di bawah pleura
pada bagianbawah lobus atas.
menjadi bersifat bakterisidal. Th1 mengahsilkan IFN Gamma Kelenjar getah bening hilus dengan
yang merupakan mediator untuk merangsang pembentukan kaseosa terlihat pada sisi kiri.

fagolisosom di dalam makrofag yang terinfeksi dan merangsang pembentukan iNOS untuk
menghasilkan nitrit oksida. NO menghasilkan zat radikal bebas yang mampu menimbulkan
destruksi oksidatif berupa konstituen mikobakteri dari dinding sel hingga DNA.
Makrofag aktif yang menghasilkan TNF yang merekrut monosit. Monosit monosit ini
berdiferensiasi menjadi “histiosit epiteloid” yang menandai respon granulomatosa. Secara
histologis reaksi peradangan granulomatosa membentuk tuberkel dengan nekrosis perkijuan di
bagian tengah dan dikelilingi oleh sel epiteloid dan sel raksasa berinti banyak.

Setelah imunitas seluler terbentuk, fokus primer biasanya mengalami resolusi secara
sempurna menjadi fibrosis atau kalsifikasi setelah mengalami nekrosis perkijuan. Jika
nekrosis perkijuannya berat, bagian tengah lesi akan mencair dan keluar dari bronkus
sehingga meninggalkan rongga di jaringan paru (kavitas).
Penyebaran hematogen terjadi ketika M.tuberculosis menyebar melalui darah menuju
organ di seluruh tubuh. Organ yang biasanya dituju adalah organ yang mempunyai
vaskularisasi baik, misalnya otak, tulang, ginjal, dan paru sendiri terutama apeks paru atau
lobus atas paru.

5
Kompleks primer akan mengalami salah satu nasib sebagai berikut:
-Sembuh dengan tidak meninggalkan cacat sama sekali (restitution ad integrum).
-Sembuh dengan tidak meninggalkan sedikit bekas (antara lain sarang Ghon, garis fibrotic,
sarang perkapuran di hilus).
-Menyebar dengan cara :
a. Perkontinuitatum, menyebar ke sekitarnya
Salah satu contoh adalah epituberkulosis, yaitu suatu kejadian penekanan bronkus,
biasanya bronkus lobus medius oleh kelenjar hilus yang membesar sehingga
menimbulkan obstruksi pada saluran nafas bersangkutan, dengan akibat atelektasis.
b. Penyebaran secara bronkogen, baik di paru bersangkutan maupun ke paru sebelahnya.
c. Penyebaran secara hematogen dan limfogen

Kavitas pada TB paru selanjutnya dapat mengalami nasib :


-Meluas kembali dan menimbulkan sarang pneumonia baru.
-Memadat dan membungkus diri sehingga terjadi tuberkuloma. Tuberkuloma dapat
mengapur dan menyembuh atau dapat aktif kembali menjadi cair dan menjadi kavitas lagi.
-Berkomplikasi secra kronik dengan terbentuknya kolonisasi oleh ungus seperti Aspergillus
dan kemudian menjadi mycetoma.
-Menyembuh dan menjadi bersih yang disebut open healed cavity. Dapat juga menyembuh
dengan membungkus diri menjadi kecil. Kadang0kadang berakhir sebagai kavitas yang
terbungkus, menciut dan berbentuk bintang disebut stellate shaped

6
 Tuberculosis Sekunder
Mycobacterium tuberculosis yang bersifat dormant (tidur) pada TB primer akan muncul
bertahun-tahun kemudian sebagai infeksi endogen menjadi TB dewasa (TB sekunder = TB
pasca primer). TB sekunder terjadi karena imunitas tubuh menurun seperti pada penyakit
malnutrisi, DM, HIV/AIDS, kanker, gagal hinjal, alcoholism, dll.

Mycobacterium tuberculosis mempunyai komponen penting yaitu Lipoarabinomannan


(LAM) yang memiliki kemampuan luas menghambat pengaruh imunoregulator. Ada tiga
mekanisme yang menyebabkan terjadinya TB pada penderita HIV, yaitu reaktivasi, adanya
infeksi baru yang progresif serta terinfeksi. Penurunan CD4+ yang terjadi dalam perjalanan
penyakit infeksi HIV akan mengakibatkan reaktivasi kuman TB yang dorman. Pada penderita
HIV jumlah serta fungsi sel CD4+ menurun secara progresif, serta gangguan pada fungsi
makrofag dan monosit. CD4+ dan makrofag merupakan komponen yang memiliki peran
utama dalam pertahanan tubuh terhadap mikobakterium.

7
2.6 Manifestasi Klinis Tuberkulosis
Keluhan yang dirasakan pasien tuberculosis dapat bermacam-macam atau malah
banyak ditemukan pasien tuberculosis paru tanpa keluhan sama sekali. Keluhan yang
tersering adalah :
2.6.1 Manifestasi Klinis Tuberkulosis Dewasa :
1. Demam, biasanya subfebril menyerupai demam influenza. Mekanisme terjadinya
demam karen pelepasan pyrogen dari reaksi inflamasi. Tetapi kadang-kadang panas
badan dapat mencapai 40-41oC. serangan demam pertama dapat sembuh sebentar,
tetapi kemudian dapat timbul kembali. Begitulah seterusnya hilang timbulnya demam
influenza ini, sehingga pasien merasa tidak pernah terbebas dari serangan demam
influenza. Keadaan ini sangat dipengaruhi oleh daya tahan tubuh pasien dan berat
ringannya infeksi kuman tuberculosis yang masuk.

2. Batuk/batuk darah, gejala ini banyak ditemukan. Mekanisme terjadinya batuk kerena
terangsangnya reseptor batuk akibat reaksi inflamasi. Sehingga menyebabkan iritasi
pada bronkus. Batuk ini diperlukan untuk membuang produk-produk radang keluar.
Karena terlibatnya bronkus pada setiap penyakit tidak sama, mungkin saja batuk baru
ada setelah penyakit berkembang dalam jaringan paru yakni setelah berminggu-
minggu atau berbulan-bulan peradangan bermula. Sifat batuk dimulai dari batuk
kering (non-produktif) kemudian setelah timbul peradangan menjadi produktif
(menghasilkan sputum). Keadaan yang lanjut adalah berupa batuk darah karena
terdapat pembuluh darah yang pecah. Kebanyakan batuk darah pada tuberculosis
terjadi pada cavitas, tetapi dapat kjuga terjadi pada ulkus dinding bronkus.

3. Sesak napas, pada penyakit yang ringan (baru tumbuh) belum dirasakan sesak napas.
Sesak napas akan ditemukan pada penyakit yang sudah lanjut, yang inflamasinya
sudah meliputi setengah bagian paru-paru. Sehingga kebutuhan O2 pada tubuh tidak
tercukupi akibat rusaknya paru.

4. Nyeri dada, gejala ini agak jarang ditemukan. Nyeri dada timbul bila infiltrasi radang
sudah sampai ke pleura sehingga menimbulkan pleuritis. Terjadi gesekan kedua pleura
sewaktu pasien menarik/melepaskan napasnya.

5. Malaise, penyakit tuberculosis bersifat radang yang menahun. Gejala malaise sering
ditemukan berupa anoreksia tidak ada nafsu makan, badan makin kurus (berat badan
turun), sakit kepala, meriang, nyeri otot, keringat malam dll. Gejala malaise ini akan
makin lama makin berat dan hilang timbul secara tidak teratur.
8
2.6.2 Manifestasi Klinis Tuberkulosis Anak :
1. Berat badan turun tanpa sebab yanga dekuat atau berat badan tidak naik dengan
adekuat atau tidak naiak dalam 1 bulan setelah diberikan upaya perbaikan gizi yang
baik.

2. Demam lama (>2minggu) dan/atau berulang tanpa sebab yang jelas (bukan demam
tifoid, infeksi saluran kemih, malaria, dan lain-lain). Demam umumnya tidak tinggi.

3. Keringat malam pada dini hari saja bukan merupakan gejala spesifik TB pada anak
apabila tidak disertai dengan gejala-gejala sistemik/umum lain. Mekanisme terjadinya
keringat malam berkaitan dengan irama sirkadian tubuh. Suhu tubuh normalnya saat
dini hari sangat rendah, tetapi karena penyakit TB yang menyebabkan demam secara
terus menerus akibatnya terjadi perubahan iraama sirkadian stubuh sehingga tubuh
berkeringat pada malam hari.

4. Batuk lama > 3minggu, batuk bersifat non-remitting (tidak pernah reda atau intensitas
semakin lama semakin parah) dan sebab lain batuk telah dapat disingkirkan.

5. Nafsu makan tidak ada (anoreksia) atau berkurang, disertai gagal tumbuh (failure to
thrive).

6. Lesu atau malaise, anak kurang aktif bermain.

7. Diare persistern/menetap (>2 minggu) yang tidak sembuh dengan pengobatan baku
diare. Diare terjadi karena meminum susu yang terkontaminasi M.bovis yang berasal
dari sapi yang terinfeksi.

9
Gejala Spesifik Terkait Organ

Organ yang terlibat Keterangan


Tuberkulosis Terbanyak di daerah leher atau regio colli
kelenjar Pembesaran KGB multipel (>1 KGB), diameter ≥1 cm
Konsistensi kenyal, tidak nyeri, dan kadang saling melekat atau
konfluens.
Tuberkulosis otak -Meningitis TB: Gejala-gejala meningitis dengan seringkali disertai
& selaput otak gejala akibat keterlibatan saraf-saraf otak yang terkena.
-Tuberkuloma otak: Gejala-gejala adanya lesi desak ruang.
Tuberkulosis -Tulang belakang (spondilitis): Penonjolan tulang belakang (gibbus).
sistem skeletal -Tulang panggul (koksitis): Pincang, gangguan berjalan, atau tanda
peradangan di daerah panggul.
-Tulang lutut (gonitis): Pincang dan/atau bengkak pada lutut tanpa sebab
yang jelas.
-Tulang kaki dan tangan (spina ventosa/daktilitis).
Skrofuloderma Ditandai adanya ulkus disertai dengan jembatan kulit antar tepi ulkus
(skin bridge)
Tuberkulosis mata -Konjungtivitis fliktenularis (conjunctivitis phlyctenularis).
-Tuberkel koroid (hanya terlihat dengan funduskopi)
Tuberkulosis organ Misalnya peritonitis TB, TB ginjal dicurigai bila ditemukan gejala
lainnya gangguan pada organ-organ tersebut tanpa sebab yang jelas dan
disertai kecurigaan adanya infeksi TB

2.6.3 Diagnosis Banding


Penurunan berat badan Batuk Keringat malam
 Endokrinopati  Inflamasi akut Malignancy
Hyperthyroid Laryngitis Lymphoma
Diabetes mellitus Trocheobronchitis Tumor
Penyakit gastrointestinal Mycoplasma dan Pneumoni Tuberculosis
Malignancy (tumor Pneumonia bakteri Brucellosis
ganas) Bakteri ingection
HIV dan infeksi lainnya  Inflamasi kronik HIV infection
Penyakit Neurologia Postnasal drip Medication
Gangguan inflamasi Bronchitis kronik  Antidepressants
sistemik Tuberculosis paru  Cholinergic agonists
Gangguan kejiwaan Abses paru  Hypoglycemic agents
Ashma Gangguan endokrin
 Obat-obatan :  Pheochromocytoma
Resep obat-obatan  Neoplasma  Carcinoid syndrome
Penyalahgunaan zat Kanker paru  Hyperthyroidism
Gangguan Neurologic
 Gangguan kardiovaskular Menopause
Gagal ventrikel kiri atau kanan Idiopathic hyperhidrosis
Emboli paru

 Iritasi partikel, bahan kimia/gas.

10
2.7 Klasifikasi Tuberkulosis
Pasien diklasifikasikan menurut:
 Lokasi anatomi dari penyakit
 Riwayat pengobatan sebelumnya
 Hasil pemeriksaan uji kepekaan obat
 Status HIV

1. Klasifikasi berdasarkan lokasi anatomi dari penyakit


a. Tuberkulosis paru
Tuberkulosis paru adalah TB yang terjadi pada parenkim (jaringan) paru. Milier TB
dianggap sebagai TB paru karena adanya lesi pada jaringan paru.
Limfadenitis TB dirongga dada (hilus dan atau mediastinum) atau efusi pleura tanpa
terdapat gambaran radiologis yang mendukung TB pada paru, dinyatakan sebagai TB
ekstra paru. Pasien yang menderita TB paru dan sekaligus juga menderita TB ekstra
paru, diklasifikasikan sebagai pasien TB paru.
b. Tuberkulosis ekstra paru
Tuberkulosis ekstra paru adalah TB yang terjadi pada organ selain paru, misalnya:
pleura, kelenjar limfe, abdomen, saluran kencing, kulit, sendi, selaput otak dan tulang.

2. Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya


a. Pasien baru TB: adalah pasien yang belum pernah mendapatkan pengobatan TB
sebelumnya atau sudah pernah menelan OAT namun kurang dari 1 bulan (< dari 28
hari).
b. Pasien yang pernah diobati TB: adalah pasien yang sebelumnya pernah menelan OAT
selama 1 bulan atau lebih (> dari 28 hari).
Pasien ini selanjutnya diklasifikasikan berdasarkan hasil pengobatan TB terakhir,
yaitu:
(1) Pasien kambuh: adalah pasien TB yang pernah dinyatakan sembuh atau
pengobatan lengkap dan saat ini didiagnosis TB berdasarkan hasil pemeriksaan
bakteriologis atau klinis (baik karena benar-benar kambuh atau karena reinfeksi).
(2) Pasien yang diobati kembali setelah gagal: adalah pasien TB yang pernah diobati
dan dinyatakan gagal pada pengobatan terakhir.
(3) Pasien yang diobati kembali setelah putus berobat (lost to follow-up) adalah pasien
yang pernah diobati dan dinyatakan lost to follow up (klasifikasi ini sebelumnya
dikenal sebagai pengobatan pasien setelah putus berobat /default).
(4) Lain-lain adalah pasien TB yang pernah diobati namun hasil akhir pengobatan
sebelumnya tidak diketahui.
c. Pasien yang riwayat pengobatan sebelumnya tidak diketahui.

11
3. Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan uji kepekaan obat
Pengelompokan pasien disini berdasarkan hasil uji kepekaan contoh uji dari
Mycobacterium tuberculosis terhadap OAT dapat berupa:
a. Mono resistan (TB MR) : resistan terhadap salah satu jenis OAT lini pertama saja.
b. Poli resistan (TB PR) : resistan terhadap lebih dari satu jenis OAT lini pertama selain
Isoniazid (H) dan Rifampisin (R) secara bersamaan.
c. Multi drug resistan (TB MDR) : resistan terhadap Isoniazid (H) dan Rifampisin (R)
secara bersamaan.
d. Extensive drug resistan ( TB XDR ) adalah TB MDR yang sekaligus juga resistan
terhadap salah satu OAT golongan fluorokuinolon dan minimal salah satu dari OAT
lini kedua jenis suntikan (Kanamisin, Kapreomisin dan Amikasin).
e. Resistan Rifampisin (TB RR) : resistan terhadap Rifampisin dengan atau tanpa
resistansi terhadap OAT lain yang terdeteksi menggunakan metode genotip (tes cepat)
atau metode fenotip (konvensional).

4. Klasifikasi pasien TB berdasarkan status HIV:


a. Pasien TB dengan HIV positif (pasien ko-infeksi TB/HIV) adalah pasien TB dengan:
 Hasil tes HIV positif sebelumnya atau sedang mendapatkan ART, atau;
 Hasil tes HIV positif pada saat diagnosis TB.

b. Pasien TB dengan HIV negatif adalah pasien TB dengan:


 Hasil tes HIV negatif sebelumnya, atau;
 Hasil tes HIV negatif pada saat diagnosis TB.
c. Pasien TB dengan status HIV tidak diketahui adalah pasien TB tanpa ada bukti
pendukung hasil tes HIV saat diagnosis TB ditetapkan.

12
2.8 Diagnosis Tuberkulosis

2.8.1 Diagnosis Tuberkulosis Dewasa

Diagnosis TB Paru
 Prinsip :
a. Dalam upaya pengendalian TB secara Nasional, maka diagnosis TB Paru pada orang
dewasa harus ditegakkan terlebih dahulu dengan pemeriksaan bakteriologis.
Pemeriksaan bakteriologis yang dimaksud adalah pemeriksaan mikroskopis langsung,
biakan dan tes cepat.
b. Apabila pemeriksaan secara bakteriologis hasilnya negative, maka penegakan
diagnosis TB dapat dilakukan secara klinis menggunakan hasil pemeriksaan klinis dan
penunjang (setidak-tidaknya pemeriksaan foto toraks) yang sesuai dan ditetapkan oleh
dokter yang telah terlatih TB.
c. Pada sarana terbatas penegakan diagnosis secara klinis dilakukan setelah pemberian
terapi antibiotika spectrum luas (Non OAT dan Non Kuinolon) yang tidak
memberikan perbaikan klinis.
d. Tidak dibenarkan mendiagnosis TB dengan pemeriksaan serologis.
e. Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan pemeriksaan foto toraks saja.
Foto toraks tidak selalu memberikan gambaran yang spesifik pada TB paru, sehingga
dapat menyebabkan terjadi overdiagnosis ataupun underdiagnosis.
f. Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya dengan pemeriksaan uji tuberkulin.

 Anamnesis
Gejala klinik tuberculosis dapat dibagi menjadi 2 yaitu gejala respiratorik dan gejala
sistemik.
Gejala Respiratorik Gejala Sistemik
Batuk 3 minggu Demam
Batuk darah Malaise
Sesak napas Keringat malam
Nyeri dada Anoreksia
Berat badan menurun

13
 Pemeriksaan Fisik
a. Ditemukan suara napas bronchial, amforik, suara napas melemah, ronki basah, tanda-
tanda penarikan paru, diafragma dan mediastinum.
b. Kadang-kadang di daerah ketiak ditemukan pembesaran kelenjar yang disebut cold
abscess.

 Pemeriksaan penunjang
a. Pemeriksaan dahak mikroskopis langsung:
 Untuk kepentingan diagnosis dengan cara pemeriksaan dahak secara mikroskopis
langsung , terduga pasien TB diperiksa contoh uji dahak SPS(Sewaktu-Pagi-
Sewaktu)
 Ditetapkan sebagai pasien TB apabila minimal 1 (Satu) dari pemeriksaan contoh uji
dahak SPS hasilnya BTA positif.
 Interpretasi hasil pemeriksaan mikroskopik dari 3 kali pemeriksaan ialah :
• Bila 2 kali positif , 1 kali negative mikroskopik positif
• Bila 1 kali positif, 2 kali negative  ulang , kemudian bila 1kali positif, 2 kali
negative maka mikroskopik positif
• Bila 3 kali negative  mikroskop negative

M.tuberculosis pewarnaan Ziehl-Neelsen

14
b. Foto toraks :
Gambaran lesi TB aktif:
 Bayangan berawan / nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas paru dan
segmen superior lobus bawah
 Kaviti, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak berawan atau
nodular

Rontgen Paru Penderita TB Fokus Gohn

Cavitas
Diagnosis TB ekstraparu :
a. Gejala dan keluhan tergantung pada organ yang terkena, misalnya :
 Kaku kuduk pada meningitis TB
 Nyeri dada pada TB Pleura( Pleuritis)
 Pembesaran kelenjar limfe superficialis pada limfadenitis TB
 Deformitas tulang belakang (gibbus) pada spondilitis TB
b. Diagnosis pasti ada pasien TB ekstra paru ditegakkan dengan pemeriksaan klinis,
bakteriologis dan atau histopatologis dari contoh uji yang diambil dari organ tubuh
yang terkena.
c. Dilakukan pemeriksaan bakteriologis apabila juga ditemukan keluhan dan gejala yang
sesuai untuk menemukan kemungkinan adanya TB paru.
15
Alur diagnosis dan tindak lanjut TB paru pada pasien dewasa
(tanpa kecurigaan/bukti: hasil tes HIV (+) atau terduga TB Resisten Obat)

16
Keterangan :
1) Pemeriksaan klinis secara cermat dan hasilnya dicatat sebagai data dasar kondisi
pasien dalam rekam medis. Untuk faskes yang memiliki alat tes cepat, pemeriksaan
mikroskopis langsung tetap dilakukan untuk terduga TB tanpa kecurigaan/bukti HIV
maupun resistensi OAT.
2) Hasil pemeriksaan BTA negatif pada semua contoh uji dahak (SPS) tidak
menyingkirkan diagnosis TB. Apabila akses memungkinkan dapat dilakukan
pemeriksaan tes cepat dan biakan. Untuk pemeriksaan tes cepat dapat dilakukan hanya
dengan mengirimkan contoh uji.
3) Sebaiknya pembacaan hasil foto toraks oleh seorang ahli radiologi.
4) Pemberian AB (antibiotika) non OAT yang tidak memberikan efek pengobatan TB
termasuk golongan Kuinolon.
5) Untuk memastikan diagnosis TB
6) Dilakukan TIPK (Test HIV atas Inisiatif Pemberi Pelayanan Kesehatan dan
Konseling)
7) Bila hasil pemeriksaan ulang tetap BTA negatif, lakukan observasi dan assessment
lanjutan oleh dokter untuk faktor-faktor yang bisa mengarah ke TB.

2.8.2 Diagnosis Tuberkulosis Anak


Secara umum penegakan diagnosis TB pada anak didasarkan pada 4 hal:
1. Konfirmasi bakteriologis TB
2. Gejala klinis yang khas
3. Adanya bukti infeksi TB (Uji tuberkulin (+) atau kontak erat dengan pasien TB
4. Gambaran foto toraks sugestif TB

Pasien TB anak dapat ditemukan dengan cara melakukan pemeriksaan pada:


a. Anak yang kontak erat dengan pasien TB menular.
Yang dimaksud kontak erat adalah anak yang tinggal serumah atau sering bertemu
pasien TB menular (BTA (+) dan umunya pada pasien TB dewasa).
b. Anak yang mempunyai tanda dan gejala klinis yang sesuai dengan TB pada anak.
Tuberkulosis merupakan penyakit infeksi sistemik dan organ yang paling sering terkena
adalah paru. Gejala klinis penyakit ini berupa gejala umum/sistemik atau sesuai organ
terkait. Perlu ditekankan bahwa gejala klinis TB pada anak tidak khas,karena gejala
serupa juga dapat disebabkan oleh berbagai penyakit selain TB.
17
 Anamnesis
Pada anamnesis informasi yang didapatkan dari orang tua yaitu :
a. Berat badan anak turun/tidak naik dalam 2 bulan
b. Demam lama > 2 minggu
c. Batuk lama > 2 minggu
d. Lesu dan anak kurang aktif bermain

 Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan bakteriologi
Pemeriksaan sputum pada anak terutama dilakukan pada anak berusia lebih dari 5
tahun, HIV positif, dan gambaran kelainan paru luas. Namun demikian, karena kesulitan
pengambilan sputum pada anak dan sifat pausibasiler pada TB anak pemeriksaan
bakteriologis selama ini tidak dilakukan secara rutin pada anak yang dicurigai TB. Dengan
semakin meningkatnya kasus TB resisten obat dan TB HIV saat ini pemeriksaan
bakteriologis pada anak merupakan pemeriksaan yang seharusnya dilakukan.
Cara mendapatkan sputum anak :
-Berdahak : Pada anak usia > 5 tahun biasanya sudah bisa mengeluarkan sputum
secara langsung.
-Bilas lambung : Dengan NGT pada anak yang tidak dapat mengeluarkan dahak.
-Induksi sputum: Relatif aman dan efektif untuk dikerjakan pada anak semua umur.

b. Uji tuberkulin (Tes Mantoux)


Uji tuberkulin membantu menegakkan diagnosis TB anak. Uji tuberkulin tidak bisa
membedakan antara infeksi dan sakit TB. Hasil positif uji tuberkulin menunjukkan adanya
infeksi dan tidak menunjukkan ada tidaknya sakit TB. Sebaliknya hasil uji negatif belum
tentu menyingkirkan diagnosis TB.
Cara uji tuberkulin:
-Dosis standar : 2 TU (Tuberculin Unit) dalam 0,1 ml PPD-
RT23 secara intrakutan (gunakan suntik 1ml)
-Lokasi : Pertemuan pertengahan dan sepertiga atas dari
pada lengan bawah.

Pembacaan hasil (Setelah 3 hari atau 48-72 jam)


Reaksi (+) : Kemerahan dan indurasi berdiameter > 10mm. Pada HIV > 5 mm.
18
 Sistem Skoring
Dalam menegakkan diagnosis TB pada anak, semua prosedur diagnostik dapat
dikerjakan, namun apabila dijumpai keterbatasan sarana diagnostik yang tersedia, dapat
menggunakan suatu pendekatan lain yang dikenal sebagai sistem skoring. Sistem skoring
ini membantu tenaga kesehatan agar tidak terlewat dalam mengumpulkan data klinis
maupun pemeriksaan penunjang sederhana sehingga diharapkan dapat mengurangi
terjadinya underdiagnosis maupun overdiagnosis TB.

Penilaian/pembobotan pada sistem skoring dengan ketentuan sebagai berikut:


1. Parameter uji tuberkulin dan kontak erat dengan pasien TB menular mempunyai nilai
tertinggi yaitu 3.
2. Uji tuberkulin bukan merupakan uji penentu utama untuk menegakkan diagnosis TB
pada anak dengan menggunakan sistem skoring.

19
Alur Diagnosis TB Paru Anak

20
2.9 Penatalaksanaan Tuberkulosis

Tujuan pengobatan TB adalah:


a. Menyembuh pasien dan memperbaiki produktivitas serta kualitas hidup
b. Mencegah terjadinya kematian oleh karena TB atau dampak buruk selanjutya
c. Mencegah terjadinya kekambuhan TB
d. Menurunkan penularan TB
e. Mencegah terjadinya dan penularan TB resistan obat

Tahapan pengobatan TB:


a. Tahap Awal: Pengobatan diberikan setiap hari. Panduan pengobatan pada tahap ini
adalah dimaksudkan untuk secara efektif menurunkan jumlah kuman yang
ada dalam tubuh pasien dan meminimalisir pngaruh dari sebagian kecil
kuman yang mungkin sudah resistan sejak sebelum pasien mendapatkan
pengobatan. Pengobatan tahap awal pada semua pasien baru harus
diberikan selama 2 bulan. Pada umumnya dengan pengobatan secara
teratur dan tanpa adanya penyulit, daya penularan sudah sangat menurun
setelah pengobatan selama 2 minggu.
b. Tahap Lanjutan: Pengobatan tahap lanjutan merupakan tahap yang penting untuk
membunuh sisa-sisa kuman yang masih ada dalam tubuh kuman persister
sehingga pasien dapat sembuh dan mencegah terjainya kekambuhan.

Obat Lini Pertama Obat Lini Kedua


Isoniazid (H) Etionamid (Eto)
Rifampisin (R) Protionamid (Pto)
Pirazinamid (Z) Sikloserin (Cs)
Etambutol (E) Para amino salisilat (PAS)
Streptomisin (S) Kapreomisin (Cm)
Ofloxacin (Ofx)
Levofloxacin (Lfx)
Moxifloxacin (Mfx)
Kanamisin (Km)
Amikasin (Am)

21
2.9.1 Penatalaksanaan Tuberkulosis Dewasa
 Prinsip Pengobatan TB:
a. Pengobatan diberikan dalam bentuk OAT yang tepat mengandung minimal 4 macam
obat untuk mencegah terjadinya resistensi
b. Diberikan dalam dosis yang tepat
c. Ditelan secara teratur dan diawasi secara langsung oleh PMO (Pengawas Menelan
Obat) sampai selesai pengobatan
d. Pengobatan diberikan dalam jangka waktu yang cukup terbagi dalam tahap awal serta
tahap lanjutan mencegah kekambuhan

 Panduan OAT yang digunakan di Indonesia (sesuai rekomendasi WHO dan ISTC):
OAT kategori 1 dan kategori 2 disediakan dalam bentuk paket obat kombinasi dosis
tetap (OAT-KDT). Tablet OAT-KDT ini terdiri dari kombinasi 2 atau 4 jenis obat dalam satu
tablet. Dosisnya disesuaikan dengan berat badan pasien. Paduan ini dikemas dalam satu paket
untuk satu pasien.

a. Kategori 1: 2(HRZE)/4(HR)3
i. Tahap intensif terdiri dari HRZE diberikan setiap hari selama 2 bulan
ii. Tahap lanjutan terdiri dari HR diberikan 3 kali seminggu selama 4 bulan

Panduan OAT ini diberikan untuk pasien baru:


o Pasien TB paru terkonfirmasi bakteriologis
o Pasien TB paru terdiagnosis klinis
o Pasien TB ekstra paru
Dosis Panduan OAT KDT Kategori 1: 2(HRZE) / 4(HR)3
Tahap Intensif Tahap Lanjutan
Berat Badan Tiap hari selama 56 hari 3 kali seminggu selama 16 minggu
RHZE (150/75/400/275) RH (150/150)
30 – 37 kg 2 Tablet 4 KDT 2 Tablet 2 KDT
38 – 54 kg 3 Tablet 4 KDT 3 Tablet 2 KDT
55 – 70 kg 4 Tablet 4 KDT 4 Tablet 2 KDT
≥71 kg 5 Tablet 4 KDT 5 Tablet 2 KDT

22
b.Kategori 2: 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3
i. Tahap intensif terdiri dari HRZES diberikan setiap hari selama 2 bulan, dilanjut 1 bulan
dengan HRZE setiap hari
ii. Tahap lanjutan terdiri dari HRE diberikan 3 kali seminggu selama 5 bulan

Panduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang pernah diobati sebelumnya
(pengobatan ulang):
o Pasien kambuh
o Pasien gagal pada pengobatan dengan paduan OAT kategori 1 sebelumnya
o Pasien yang diobati kembali setelah putus berobat (lost to follow-up)

Dosis Paduan OAT KDT Kategori 2: 2(HRZE)S / (HRZE) / 5(HR)3E3


Tahap Intensif Tahap Lanjutan 3 kali
Tiap hari seminggu
Berat Badan
RHZE (150/75/400/275) + S RH (150/150) + E(400)
Selama 56 hari Selama 28 hari Selama 20 minggu
2 tab 4KDT
2 tab 2KDT
30-37 kg + 500 mg 2 tab 4KDT
+ 2 tab Etambutol
Streptomisin inj.
3 tab 4KDT
3 tab 2KDT
38-54 kg + 750 mg 3 tab 4KDT
+ 3 tab Etambutol
Streptomisin inj.
4 tab 4KDT
4 tab 2KDT
55-70 kg + 1000 mg 4 tab 4KDT
+ 4 tab Etambutol
Streptomisin inj.
5 tab 4KDT
5 tab 4KDT 5 tab 2KDT
≥71 kg + 1000 mg
( > do maks) + 5 tab Etambutol
Streptomisin inj.

 Efek Samping OAT


Secara umum, seorang pasien yang mengalami efek samping ringan sebaiknya
tetap melanjutkan pengobatannya dan diberikan petunjuk cara mengatasinya atau pengobatan
tambahan untuk menghilangkan keluhannya.Apabia pasien mengalami efek samping berat,
pengobatan harus dihentikan sementara dan pasien dirujuk kepada dokter atau fasyankes
rujukan guna penatalaksanaan lebih lanjut. Pasien yang mengalami efek samping berat
sebaiknya dirawat di rumah sakit.

23
a. Efek samping ringan OAT

Efek Samping Penyebab Penatalaksanaan


Tidak ada nafsu H, R, Z OAT ditelan malam sebelum tidur. Apabila keluhan tetap
makan, mual, sakit ada, OAT ditelan dengan sedikit makanan. Apabila keluhan
perut semakin hebat disertai muntah, waspada efek samping berat
dan segera rujuk ke dokter.
Nyeri Sendi Z Beri Aspirin, Parasetamol atau obat anti radang non
steroid
Kesemutan s/d rasa ter- H Beri vitamin B6 (piridoxin) 50 – 75 mg per hari
bakar di telapak kaki
atau tangan
Warna kemerahan R Tidak membahayakan dan tidak perlu diberi obat penawar tapi
pada air seni (urine) perlu penjelasan kepada pasien.

Flu sindrom (demam, R dosis Pemberian R dirubah dari intermiten menjadi setiap hari
menggigil, lemas, intermite
sakit kepala, nyeri n
tulang)

b. Efek samping berat OAT

Efek Samping Penyebab Penatalaksanaan

Bercak kemerahan kulit (rash) H, R, Z, S Pengobatan simptomatis, antihistamin


dengan atau tanpa rasa gatal dan pelembab kulit
Gangguan pendengaran (tanpa S S dihentikan
diketemukan serumen)
Gangguan keseimbangan S S dihentikan
Ikterus tanpa penyebab lain H, R, Z Semua OAT dihentikan sampai ikterus
menghilang.
Bingung, mual muntah (dicurigai Semua jenis OAT Semua OAT dihentikan,
terjadi gangguan fungsi hati apabia segera lakukan pemeriksaan fungsi hati.
disertai ikterus)
Gangguan penglihatan E E dihentikan.
Purpura, renjatan (syok), gagal R R dihentikan.
ginjal akut
Penurunan produksi urine S S dihentikan.

24
 Pemantauan kemajuan dan hasil pengobatan TB
Pemantauan kemajuan dan hasil pengobatan pada orang dewasa dilaksanakan dengan
pemeriksaan ulang dahak secara mikroskopis. Pemeriksaan dahak secara mikroskopis lebih
baik dibandingkan dengan pemeriksaan radiologis dalam memantau kemajuan pengobatan.
Untuk memantau kemajuan pengobatan dilakukan pemeriksaan dua contoh uji dahak:
(sewaktu dan pagi). Hasil pemeriksaan dinyatakan negatif bila ke 2 contoh uji dahak tersebut
negatif. Bila salah satu contoh uji positif atau keduanya positif, hasil pemeriksaan ulang
dahak tersebut dinyatakan positif.
Setelah pengobatan tahap awal, tanpa memperhatikan hasil pemeriksaan ulang dahak
apakah masih tetap BTA positif atau sudah menjadi BTA negatif, pasien harus memulai
pengobatan tahap lanjutan (tanpa pemberian OAT sisipan apabila tidak mengalami
konversi). Pada semua pasien TB BTA positif, pemeriksaan ulang dahak selanjutnya
dilakukan pada bulan ke 5. Apabila hasilnya negatif, pengobatan dilanjutkan hingga
seluruh dosis pengobatan selesai dan dilakukan pemeriksaan ulang dahak kembali pada
akhir pengobatan.

2.9.2 Penatalaksanaan Tuberkulosis Anak


Pengobatan TB pada anak terdiri dari terapi (pengobatan), profilaksis (pengobatan
dan pencegahan). Terapi TB diberikan pada anak yang sakit TB, sedangkan profilaksis TB
diberikan pada anak yang kontak TB (profilaksis primer) atau anak yang terinfeksi TB
tanpa sakit TB (profilaksis sekunder).
Beberapa hal penting dalam tatalaksana TB anak adalah:
1. Obat TB diberikan dalam panduan obat tidak boleh diberikan sebagai monoterapi
2. Pemberian gizi yang adekuat. Mencari penyakit penyerta, jika ada ditatalaksana secara
bersamaan

 Prinsip pengobatan TB:


a. OAT diberikan dalam bentuk kombinasi minimal 3 macam obat untuk mencegah
terjadinya resistensi obat dan untuk membunuh kuman intraseluler dan ekstraseluler.
b. Waktu pengobatan TB anak 6-12 bulan, pemberian obat jangka panjang selain untuk
membunuh kuman juga untuk mengurangi kemungkinan terjadinya kekambuhan.
c. Pengobatan TB anak dibagi dalam 2 tahap:
o Tahap Awal: selama 2 bulan pertama. Pada tahap intensif, diberikan minimal 3
macam obat, tergantung hasil pemeriksaan bakteriologis dan berat ringannya
penyakit.
25
o Tahap Lanjutan: selama 4-10 bulan selanjutnya, tergantung hasil pemeriksaan
bakteriologis dan berat ringannya penyakit.

Semua tahap awal dan lanjutan, OAT pada anak diberikan setiap hari untuk
mengurangi ketidakteraturan minum obat yang lebih sering terjadi jika obat tidak
diminum setiap hari.
d. Pada TB anak dengan gejala klinis yang berat, baik paru maupun ekstraparu seperti
TB milier, meningitis TB, TB tulang, dan lain-lain dirujuk ke fasilitas kesehatan
rujukan tindak lanjut.
e. Pada kasus TB tertentu yaitu TB milier, efusi peura TB, perikarditis TB, TB
endobronkial, meningitis TB dan peritonik TB, diberikan kortikosteroid (prednisone)
dengan dosis 1-2 mg/kgBB/hari, dibagi dalam 3 dosis. Dosis maksimal prednisone
adalah 60 mg/hari. Lama pemberian kortikosteroid adalah 2-4 minggu dengan dosis
penuh dilanjutkan tapering off dalam jangka waktu yang sama. Tujuan pemberian
steroid ini untuk mengurangi proses inflamasi.
f. Pada OAT untuk anak yang digunakan oleh Program Nasional Pengendalian
Tuberkulosis Indonesia adalah:
 Kategori Anak dengan 3 macam obat: 2HRZ/4HR
g. Pada kasus TB anak dengan kasus tertentu dapat diberikan panduan Kategori Anak
dengan 4 macam obat pada tahap awal yaitu: 2HRZE(S)/4-10 HR

 Panduan OAT anak


Panduan OAT kategori Anak diberikan dalam bentuk paket berupa obat Kombinasi
Dosis Tetap (OAT-KDT) yang terdiri dari 2 atau 3 jenis obat dalam satu tablet. Dosisnya
disesuaikan dengan berat badan pasien. Panduan ini dikemas dalam satu paket untuk satu
pasien
a.Kategori Anak: 2(HRZ)/4(HR) atau 2HRZE(S)/4-10HR
i. Tahap intensif terdiri dari HRZ diberikan setiap hari selama 2 bulan
ii. Tahap lanjutan terdiri dari HR diberikan setiap hari selama 4 bulan
atau
iii. Tahap intensif terdiri dari HRZE diberikan setiap hari selama 2 bulan
iv. Tahap lanjutan terdiri dari HR diberikan setiap hari selama 4 sampai 10 bulan.

26
Dosis KDT OAT TB pada Anak
Berat Badan 2 bulan 4 bulan
(kg) RHZ (75/50/150) RH (75/50)
5-7 1 tablet 1 tablet
8-11 2 tablet 2 tablet
12-16 3 tablet 3 tablet
17-22 4 tablet 4 tablet
23-30 5 tablet 5 tablet
Keterangan: BB >30 kg diberikan 6 tablet atau menggunakan KDT dewasa

 Efek Samping

Nama Obat Efek samping


Isoniazid (H) Hepatitis, neuritis perifer, hipersensitivitas
Rifampisin (R) Gastrointestinal, reaksi kulit, hepatitis, trombositopenia,
peningkatan enzim hati, cairan tubuh berwarna oranye kemerahan
Pirazinamid (Z) Toksisitas heapar, arthralgia, gastrointestinal
Etambutol (E) Neuritis optic, ketajaman mata berkurang, buta warna merah hijau,
hipersensitivitas, gastrointestinal
Streptomisisn (S) Ototoksik, nefrotoksik

 Pemantauan Kemajuan Pengobatan TB Anak


Pada tahap awal pasien TB anak konrol tiap minggu, untuk melihat kapatuhan, toleransi
dan kemungkinan adanya efek samping obat. Pada tahap lanjutan pasien kontrol tiap bulan.
Setelah diberi OAT selama 2 bulan, respon pengobatan pasien harus dievaluasi. Respon
pengobatan dikatakan baik bila gejala klinis pada awal diagnosis berkurang. Apabila respon
pengobatan baik maka pemberian OAT dilanjutkan sampai dengan 6 bulan. Sedangkan
apabila respon pengobatan kurang atau tidak baik maka pengobatan TB tetap dilanjutkan tapi
pasien harus dirujuk ke sarana yang lebih lengkap. Setelah pemberian obat selama 6 bulan,
OAT dapat dihentikan dengan melalukan evaluasi baik klinis maupun pemeriksaan penunjang
lain seperti foto rongent dada.

27
 Pengobatan Pencegahan
a. Vaksin BCG (Bacille Calmette-Guerin)
Vaksin BCG merupakan strain dari Mycobacterium bovis. Rute pemberian yang
dianjurkan intradermal. Beberapa studi menunjukkan BCG memilki proteksi 80% -
90% terhadap TB. Banyak bayi yang mendapatkan BGC tidak pernah memiliki respon
uji tuberculin yang positif. Jika respon uji tuberculin positif, maka indurasi biasanya
kurang dari 10 mm, dan reaksi menghilang seteleh beberapa tahun.

b. Pengobatan Pencegahan dengan Isoniazid (PP-INH)


Sekitar 50-60 % anak yang tinggal dengan pasien TB paru dewasa dengan BTA
dahak positif akan terinfeksi TB juga. Kira-kita 10% dari jumlah tersebut akan
mengalami sakit TB sehingga diperlukan pemberian kemoprofilaksis untuk mencegah
terjadinya sakit TB.
Obat yang diberikan adalah INH (Isoniazid) dengan dosis 10 mg/kgBB (7-15
mg/kg) setiap hari selama 6 bulan. Setiap bulan saat pengambilan obat INH dilakukan
pemantauan terhadap adanya gejala TB. Jika terdapat gejala TB pada bulan ke 2, ke 3,
ke 4, ke 5 atau ke 6, maka harus segera dievaluasi terhadap sakit TB dan jika terbukti
sakit TB, pengobatan harus segera ditukar ke regimen terapi TB anak dimulai dari
awal. Jika PP-INH selesai di berikan dengan tidak ada gejala TB selama bulan maka
pemberian INH dapat dihentikan dan bila anak belum pernah mendapat vaksin BCG,
maka BCG diberikan setelah PP-INH selesai diberikan.

2.10 Pencegahan Tuberkulosis


Salah satu risiko utama terkait dengan penularan TB di tempat pelayanan kesehatan
adalah yang berasal dari pasien TB yang belum teridentifikasi. Akibatnya pasien tersebut
belum sempat dengan segera diperlakukan sesuai kaidah PPI TB yang tepat. Semua tempat
pelayanan kesehatan perlu menerapkan upaya PPI TB untuk memastikan berlangsungnya
deteksi segera, tindakan pencegahan dan pengobatan seseorang yang dicurigai atau dipastikan
menderita TB.
Upaya tersebut berupa pengendalian infeksi dengan 4 pilar yaitu :
1. Pengendalian Manajerial
2. Pengendalian administratif
3. Pengendalian lingkungan
4. Pengendalian dengan Alat Pelindung Diri
28
PPI TB pada kondisi/situasi khusus adalah pelaksanaan pengendalian infeksi
padarutan/lapas, rumah penampungan sementara, barak-barak militer, tempat-tempat
pengungsi, asrama dan sebagainya. Misalnya di rutan/lapas skrining TB harus dilakukanada
saat WBP baru, dan kontak sekamar.
1. Pengendalian Manajerial
Pihak manajerial adalah pimpinan Fasilitas Pelayanan Kesehatan, Kepala
DinasKesehatan Propinsi dan Kabupaten /Kota dan/atau atasan dari institusi terkait.
Komitmen, kepemimipinan dan dukungan manajemen yang efektif berupa penguatan dari
upaya manajerial bagi program PPI TB yang meliputi:
a. Membuat kebijakan pelaksanaan PPI TB
b. Membuat SPO mengenai alur pasien untuk semua pasien batuk, alur pelaporan dan
surveilans
c. Membuat perencanaan program PPI TB secara komprehensif
d. Memastikan desain dan persyaratan bangunan serta pemeliharaannya sesuai PPI TB
e. Menyediakan sumber daya untuk terlaksananya program PPI TB (tenaga, anggaran,
sarana dan prasarana) yang dibutuhkan
f. Monitoring dan evaluasi
g. Melakukan kajian di unit terkait penularan TB
h. Melaksananakan promosi perlibatan masyarakat dan organisasi masyarakat terkait
PPI TB

2. Pengendalian Administratif
Adalah upaya yang dilakukan untuk mencegah/mengurangi pajanan kuman M.
tuberculosis kepada petugas kesehatan, pasien, pengunjung dan lingkungan dengan
menyediakan, mendiseminasikan, dan memantau pelaksanaan standar prosedur dan alur
pelayanan. Upaya ini mencakup:
a. Strategi TEMPO (TEMukan pasien secepatnya, Pisahkan secara aman, Obati secara
tepat)
b. Penyuluhan pasien mengenai etika batuk
c. Penyediaan tisu dan masker, tempat pembuangan tisu serta pembuangan dahak yang
benar
d. Pemasangan poster, spanduk, dan bahan untuk KIE
e. Screening bagi petugas yang merawat pasien TB

29
Pengendalian administrative lebih mengutamakan strategi TEMPO yaitu penjaringan,
diagnosis dan pengobatan TB dengan cepat dan tepat sehingga dapat mengurangi penularan
TB secara efektif. Penerapannya mudah dan tidak membutuhkan biaya besar, dan ideal untuk
diterapkan. Dengan menggunakan strategi TEMPO akan mengurangi risiko penularan kasus
TB dan TB Resisten Obat yang belum teridentifikasi.
Langkah- Langkah Strategi TEMPO sebagai berikut:
a. Temukan pasien secepatnya
Strategi TEMPO secara khusus memanfaatkan petugas surveilans batuk untuk
mengidentifikasi terduga TB segera mencatat di TB 06 dan mengisi TB 05 dan
dirujuk ke laboratorium.
b. Pisahkan secara aman
Petugas surveilans batuk segera mengarahkan pasien yang batuk ke tempat khusus
dengan area ventilasi yang baik, yang terpisah dari pasien lain,serta diberikan
masker. Untuk alasan kesehatan masyarakat, pasien yang batuk harus didahulukan
dalam antrian(prioritas).
c. Obati secara tepat.
Pengobatan merupakan tindakan paling penting dalam mencegah penularan TB
kepada orang lain. Pasien TB dengan terkonfirmasi bakteriologis, segera diobati
sesuai dengan panduan nasional sehingga menjadi tidak infeksius.

3. Pengendalian Lingkungan
Merupakan upaya peningkatan dan pengaturan aliran udara/ventilasi dengan
menggunakan teknologi untuk mencegah penyebaran dan mengurangi/ menurunkan kadar
percik renik di udara. Upaya pengendalian dilakukan dengan menyalurkan percik renik kearah
tertentu (directional airflow) dan atau ditambah dengan radiasi ultraviolet sebagai germisida.
Sistem ventilasi ada 2 jenis, yaitu:
a. Ventilasi Alamiah
b. Ventilasi Mekanik
c. Ventilasi campuran

Pemilihan jenis sistem ventilasi tergantung pada jenis fasilitas dan keadaan setempat.
Pertimbangan pemilihan sistem ventilasi suatu fasyankes berdasarkan kondisi lokal yaitu
struktur bangunan, iklim-cuaca, peraturan bangunan, budaya, dana dan kualitas udara luar
ruangan serta perlu dilakukan monitoring dan pemeliharaan secara periodik.
30
4. Pengendalian Dengan Alat Pelindung Diri
Penggunaan alat pelindung diri pernapasan oleh petugas kesehatan di tempat pelayanan
sangat penting untuk menurunkan risiko terpajan, sebab kadar percik renik tidak dapat
dihilangkan dengan upaya administratif dan lingkungan.
Petugas kesehatan menggunakan respirator dan pasien menggunakan masker bedah.
Petugas kesehatan perlu menggunakan respirator particulat (respirator) pada saat melakukan
prosedur yang berisiko tinggi, misalnya bronkoskopi, intubasi, induksi sputum, aspirasi sekret
saluran napas, dan pembedahan paru. Selain itu, respirator ini juga perlu digunakan saat
memberikan perawatan kepada pasien atau saat menghadapi/menangani pasien tersangka
MDR-TB dan XDR-TB di poliklinik.
Petugas kesehatan dan pengunjung perlu mengenakan respirator jika berada bersama
pasien TB di ruangan tertutup. Pasien atau tersangka TB tidak perlu menggunakan respirator
tetapi cukup menggunakan masker bedah untuk melindungi lingkungan sekitarnya dari
droplet.

Gambar : Jenis respirator untuk petugas kesehatan

Respirator partikulat untuk pelayanan kesehatan N95 atau FFP2 (health care particular
respirator), merupakan masker khusus dengan efisiensi tinggi untuk melindungi seseorang
dari partikel berukuran < 5 mikron yang dibawa melalui udara. Pelindung ini terdiri dari
beberapa lapisan penyaring dan harus dipakai menempel erat pada wajah tanpa ada
kebocoran. Masker ini membuat pernapasan pemakai menjadi lebih berat. Harganya lebih
mahal daripada masker bedah. Bila cara pemeliharaan dan penyimpanan dilakukan dengan
baik, maka respirator ini dapat digunakan kembali (maksimal 3 hari). Sebelum memakai
masker ini, petugas kesehatan perlu melakukan fit test.

31
2.11 Ilmu Kesehatan Masyarakat pada Tuberkulosis

1. Promotif
Promosi TB selain dapat dilakukan oleh petugas khusus juga dapat dilakukan oleh kader
organisasi kemasyarakatan yang menjadi mitra penanggulangan TB.
a. Melakukan penyuluhan langsung yaitu kunjungan rumah, pertemuan umum,
pertemuan diskusi terarah (FGD), dan sebagainya

b. Melakukan penyuluhan tidak langsung dilakukan melalui media seperti pemutaran


iklan layanan masyarakat di televisi, radio, youtube dan media sosial lainnya
c. Meningkatkan pengetahuan yang benar dan komprehensif mengenai pencegahan
penularan, pengobatan, pola hidup bersih dan sehat (PHBS), sehingga terjadi
perubahan sikap dan perilaku masyarakat

2. Preventif
Pengendalian faktor risiko TB ditujukan untuk mencegah, mengurangi penularan dan
kejadian penyakit TB. Pengendalian faktor risiko TB dilakukan dengan cara:
a. Membudayakan perilaku hidup bersih dan sehat
b. Membudayakan perilaku etika berbatuk
c. Melakukan pemeliharaan dan perbaikan kualitas perumahan dan lingkungannya
sesuai dengan standar rumah sehat
d. Peningkatan daya tahan tubuh
e. Penanganan penyakit penyerta TB
f. Penerapan pencegahan dan pengendalian infeksi tb di fasilitas pelayanan kesehatan,
dan di luar fasilitas pelayanan kesehatan

3. Kuratif
Penanganan kasus dalam Penanggulangan TB dilakukan melalui kegiatan tata laksana
kasus untuk memutus mata rantai penularan dan/atau pengobatan pasien. Tata laksana
tersebut terdiri atas:
a. pengobatan dan penanganan efek samping di Fasilitas Pelayanan Kesehatan
b. pengawasan kepatuhan menelan obat
c. pemantauan kemajuan pengobatan dan hasil pengobatan
d. pelacakan kasus mangkir

32
2.12 Directly Observed Treatment Short Course (DOTS)
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan bahwa kunci keberhasilan program
penanggulangan tuberkulosis adalah dengan menerapkan strategi DOTS, yang juga telah
dianut oleh negara kita. Oleh karena itu pemahaman tentang DOTS merupakan hal yang
sangat penting agar TB dapat ditanggulangi dengan baik.
 Tujuan DOTS :
a. Mencapai angka kesembuhan yang tinggi
b. Mencegah putus berobat
c. Mengatasi efek samping obat
d. Mencegah resistensi
 DOTS mengandung lima komponen, yaitu :
1. Komitmen pemerintah untuk menjalankan program TB nasional
2. Penemuan kasus TB dengan pemeriksaan BTA mikroskopik
3. Pemberian obat jangka pendek yang diawasi secara langsung, dikenal dengan istilah
DOT (Directly Observed Therapy)
4. Pengadaan OAT secara berkesinambungan
5. Monitoring serta pencatatan dan pelaporan yang (baku/standar) baik

Istilah DOT diartikan sebagai pengawasan langsung menelan obat jangka pendek setiap
hari oleh Pengawas Menelan Obat (PMO).
 Persyaratan PMO:
a. Seseorang yang dikenal, dipercaya dan disetujui, baik oleh petugas kesehatan maupun
pasien, selain itu harus disegani dan dihormati oleh pasien
b. Seseorang yang tinggal dekat dengan pasien
c. Bersedia membantu pasien dengan sukarela
d. Bersedia dilatih dan atau mendapat penyuluhan bersamasama dengan pasien.
 PMO dilakukan oleh :
a. Penderita berobat jalan
1. Langsung di depan dokter
2. Petugas kesehatan
3. Orang lain (kader, tokoh masyarakat dll)
4. Suami/Istri/Keluarga/Orang serumah
b. Penderita dirawat
PMO adalah petugas RS, selesai perawatan PMO sesuai dengan berobat jalan.
33
 Tugas seorang PMO
a. Mengawasi pasien TB agar menelan obat secara teratur sampai selesai pengobatan
b. Memberi dorongan kepada pasien agar mau berobat teratur
c. Mengingatkan pasien untuk periksa ulang dahak pada waktu yang telah ditentukan
d. Memberi penyuluhan pada anggota keluarga pasien TB yang mempunyai gejala-gejala
mencurigakan TB untuk segera memeriksakan diri ke Unit Pelayanan Kesehatan.

DOTS PLUS
a. Merupakan strategi pengobatan dengan menggunakan 5 komponen DOTS
b. Plus adalah menggunakan obat antituberkulosis lini 2
c. DOTS Plus tidak mungkin dilakukan pada daerah yang tidak menggunakan strategi
DOTS
d. Strategi DOTS Plus merupakan inovasi pada pengobatan MDRTB (Multi Drug
Resisten Tuberculosis)

34
BAB III
PENUTUP

3.1 Simpulan
3.1.1 Tuberculosis adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium
tuberculosis.
3.1.2 Indonesia masih menempati urutan ke 3 di dunia untuk jumlah kasus TB setelah
India dan Cina.
3.1.3 Faktor risiko terbesar dari TB adalah lingkungan hidup yang sangat padat.
3.1.4 Berdasarkan patologi TB terbagi menjadi TB primer dan TB sekunder.
3.1.5 Manifestasi klinis umum TB yaitu demam lama, keringat malam hari, batuk tak
kunjung sembuh, penurunan berat badan.
3.1.6 TB dapat diklasifikasikan berdasarkan lokasi anatomi, riwayat pengobatan, hasil
pemeriksaan uji kepekaan obat, dan status HIV.
3.1.7 Diagnosis TB dapat ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan BTA, rontgen thoraks, dan skor Tb
(khusus anak-anak).
3.1.8 Prinsip penatalaksanaan TB menggunakan panduan KDT-OAT
3.1.9 WHO menyatakan keberhasilan penaggulangan TB dengan menggunakan sistem
DOTS.

3.2 Saran
Adapun saran yang dapat kami berikan adalah dengan kita telah mengetahui apa itu

penyakit tuberculosis, kita dapat lebih memahami bagaimana penyakit Tuberculosis ini dapat

menular, berkembang, dan juga bagaimana cara pengobatan dan pencegahannya karena

penyakit ini adalah penyakit yang sangat berbahaya dan angka kematiannya cukup tinggi

sehingga peran dokter sangat diperlukan untuk menanggulanginya.

35
DAFTAR PUSTAKA

Asik, Hastuti B. Endang. Petunjuk Teknis Manajemen dan Tatalaksana TB Anak.

KEMENKES RI-Dikretorat Jendral Pengendalian Penyakit dan Penyehat Lingkungan.

Jakarta

Dihari T. Novita, dkk. (2011). Pedoman Nasional Pengendalian Tuberculosis. KEMENKES

RI-Dikretorat Jendral Pengendalian Penyakit dan Penyehat Lingkungan. Diakses pada

Juni 20, 2018, dari http://www.tbindonesia.or.id/opendir/buku/bpn_p-tb_2014.pdf

Dihari T. Novita, dkk. (2014). Pedoman Nasional Pengendalian Tuberculosis. KEMENKES

RI-Dikretorat Jendral Pengendalian Penyakit dan Penyehat Lingkungan. Diakses pada

Juni 20 2018, dari, http://www.tbindonesia.or.id/opendir/buku/bpn_p-tb_2014.pdf

Kumar V, Abbas A.K, Fausto N, eds.(2015). Robbins and Cotran. Pathologic Basis of

Disease. 7 th ed. Phiadelphia: Elsevier/Saunders

Marcdante, K. J., & Kliegman, R. (2015). Nelson Essensial of Pediatrics (7 th edition).

Phiadelphia:Elsevier/Saunders

Master C. (2018). Chest X-ray - Pulmonal disease – Tuberculosis. Diakses pada Juni 22,

2018, dari http://www.radiologymasterclass.co.uk/gallery/chest/pulmonary-

disease/tuberculosis_tb

Pawlowski A, dkk.(2012). Tuberculosis and HIV co-infection. Diakses pada Juni 22,2018,

dari, http://www.ncbi.nlm.nih.gov/m/pubmed/22363214/

Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. (2009). Buku Ajar Ilmu

Penyakit Dalam Jilid III edisi V. Jakarta:Interna Publishing

Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. (2009). Buku Ajar Ilmu

Penyakit Dalam Jilid I edisi VI. Jakarta:Interna Publishing

36

Anda mungkin juga menyukai