Anda di halaman 1dari 28

TUGAS ILMIAH KEPANITERAAN KLINIK FK UMS

CASE REPORT

Seorang Anak Perempuan 10 Tahun dengan Tonsilitis Kronis Eksaserbasi Akut

PENYUSUN:

R. Annisa Wildani, S.Ked  J510215267

Thomas Jaya Gumilang, S.Ked J510215338

PEMBIMBING:
dr. Serafika Permoni Putri Manyakori, Sp. THT-KL

KEPANITERAAN KLINIK STASE ILMU PENYAKIT THT


RSUD DR. HARJONO S. PONOROGO
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2022
HALAMAN PENGESAHAN
CASE REPORT
Yang diajukan oleh :
R. Annisa Wildani, S.Ked  J510215267

Thomas Jaya Gumilang, S.Ked J510215338

Telah disetujui dan disahkan oleh Tim Pembimbing Ilmu Penyakit THT-KL Program
Pendidikan Profesi Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta
Pembimbing :

dr. Serafika Permoni Putri Manyakori, Sp. THT-KL


(...........................................)

Dipersentasikan dihadapan :

dr. Serafika Permoni Putri Manyakori, Sp. THT-KL (...........................................)

KEPANITERAAN KLINIK STASE ILMU PENYAKIT THT


RSUD DR. HARJONO S. PONOROGO
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2022

2
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL 1

HALAMAN PENGESAHAN 2

DAFTAR ISI 3

BAB I CATATAN MEDIS PASIEN THT 4

1.1 Anamnesis 4

1.2 Pemeriksaan fisik 5

1.3 Pemeriksaan tambahan 8

1.4 Resume 13

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 14

2.1 Anatomi 14

2.2 Definisi 15

2.3 Epidemiologi 16

2.4 Etiologi 16

2.5 Faktor risiko 17

2.6 Patogenesis 17

2.7 Diagnosis 17

2.8 Diagnosis Banding 18

2.9 Tatalaksana 19

2.10 Prognosis 20

2.11 Komplikasi 21

2.12 Edukasi 21

BAB III PEMBAHASAN 22

BAB IV KESIMPULAN 23

DAFTAR PUSTAKA 24

3
BAB I
CATATAN MEDIS PASIEN THT

1.1 Anamnesis
Anamnesis dilakukan kepada pasien pada hari Selasa tanggal 15 November 2022

I. Identitas
Nama pasien : Nn. A
Nomor RM : 489860
Tempat, tanggal lahir : Pacitan, 24 Desember 2011
Umur : 10 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : Kecamatan tulakan, pacitan
Pekerjaan : Pelajar
Status perkawinan : Belum Menikah
Agama : Islam
Suku : Jawa
Tanggal masuk RS : 15 November 2022
Tanggal pemeriksaan : 15 November 2022

II. Keluhan utama :


Amandel membesar sejak 1 minggu yang lalu
III. Riwayat Penyakit sekarang :
Amandel membesar yang disertai dengan nyeri telan sejak 1 minggu yang lalu..
Sebelumnya pasien mengalami demam dan batuk 2 minggu yang lalu. Untuk
keluhan kesulitan bernafas dan mengorok ketika tidur disangkal. Keluhan hidung
dan telinga disangkal
IV. Riwayat penyakit dahulu ;
Riwayat masuk rumah sakit : 2 minggu yang lalu, demam dan batuk.
Riwayat sakit serupa : disangkal
Riwayat HT : disangkal
Riwayat batuk pilek lama : disangkal
Riwayat alergi : disangkal

4
Riwayat trauma kepala : disangkal
Riwayat sakit gigi : disangkal
Riwayat Gastritis : disangkal
Mulut berbau : diakui
Riwayat sakit lainnya : disangkal
Merokok : disangkal
Minum alkohol : disangkal
V. Riwayat penyakit keluarga :
Riwayat DM : disangkal
Riwayat HT : disangkal
Riwayat Alergi : disangkal
Riwayat Asma : disangkal

1.2 Pemeriksaan Fisik


I. Status Generalis
Kesadaran Umum : Baik
Kesadaran
a. Kualitatif : Compos mentis
b. Kuantitatif : GCS E4V5M6
Vital Sign
a. TD : 110/80 mmHg
b. N : 80x/menit
c. RR : 20x/menit
d. S : 36,5 derajat
Pemeriksaan Fisik
a. Kepala : dbn
b. Paru-paru: dbn
c. Jantung : dbn
d. Abdomen: dbn
e. Ekstremitas : dbn
II. Status Lokalis
1. Telinga
a. Telinga luar

5
Aurikula AD/AS : (N/N)
Bentuk dan ukuran : (N/N)
Benjolan dan edema : (-/-)
Hiperemi : (-/-)
Sikatrik : (-/-)
Laserasi : (-/-)
Tragus pain : (-/-)
Nyeri tarik aurikula : (-/-)
Nyeri pre/retroaurikular : (-/-)
Pembesaran kgb sekitar : (-/-)
CAE : dbn
Serumen : (-/-)
b. Telinga tengah

Kanan Kiri

Membran timpani Intact Intact

discharge/ otorea Negatif Negatif

Antrum mastoid Tidak ada nyeri tekan Tidak ada nyeri tekan

Perforasi MT Negatif Negatif

Cone of light Positif Positif

c. Telinga dalam

Telinga dalam tidak dapat dievaluasi

d. Mastoid
Tidak terdapat nyeri tekan
2. Hidung
a. Pemeriksaan luar hidung
Kelainan kongenital : (-/-)
Jaringan parut/ sikatrik : (-/-)

6
Nyeri tekan : (-/-)
Tumor : (-/-)
Laserasi : (-/-)
b. Rinoskopi anterior
Mukosa : dbn
Konka : dbn
Septum : dbn
Discharge : (-/-)
Tumor : (-/-)
Sinus paranasalis : -
c. Rinoskopi posterior
Dinding belakang : tidak dilakukan
Muara tuba eustachius : tidak dilakukan
Adenoid : tidak dilakukan
Tumor : -
3. Tenggorok
a. Pemeriksaan cavum oris
Bibir : dbn
Gigi : dbn
Uvula : dbn
Mukosa lidah : dbn
Palatum mole : dbn
Palatum durum : dbn
b. Orofaring
Arch. faring : dbn
Mukosa faring posterior : dbn
Tonsil

7
● Ukuran : T3/T3
● Warna : hiperemis
● Kripte : (+/+)
● Detritus : (-/-)
4. Kepala dan Leher
a. Kepala
Konjungtiva anemis : (-/-)
Sklera ikterik : (-/-)
Nafas cuping hidung : (-/-)
b. Leher
Retraksi : (-)
Deviasi trakea : -
Pembesaran kgb : -
Nyeri tekan : -
Massa : (+)

1.3 Pemeriksaan Tambahan


Tidak dilakukan

1.4 Assesment
1. Diagnosis kerja
 Tonsilitis Kronis Eksaserbasi Akut
2. Diagnosis sekunder
 Tidak ada
3. Diagnosis banding
 Tonsilitis difteri

8
 Angina plaut vincent
 Mononukleosis infeksiosa

9
1.5 Planning
1. Planning diagnosis
 Kultur swab tenggorok atau RAT
2. Planning terapi
 Cefadroxil 30 mg/kgBB 2x1 (BB pasien: 37 kg)
 Betadine kumur 2x15 ml
3. Planning monitor
 Keluhan
 Skor vas nyeri
 Ukuran tonsil

1.6 Resume
Seorang anak perempuan 10 tahun diantar oleh ibunya ke Poliklinik THT Dr. Harjono
S ponorogo pada tanggal 15 November 2022. Pasien mengeluh amandelnya
membesar dan disertai nyeri telan sejak 1 minggu yang lalu. Sebelumnya pasien
mengalami demam dan batuk 2 minggu yang lalu. Pemeriksaan vital sign didapatkan
hasil yang normal. Pada pemeriksaan THT-KL, didapatkan ukuran tonsil membesar
kanan dan kiri berwarna kemerahan. Terapi yang diberikan adalah cefadroxil dan
betadine kumur.

10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi
Tonsil merupakan suatu akumulasi dari limfonoduli permanen yang letaknya di bawah
epitel yang telah terorganisir sebagai suatu organ. Berdasarkan lokasinya, tonsil dibagi
menjadi:
1. Tonsilla lingualis, terletak pada radix linguae
2. Tonsilla palatina, terletak pada isthmus faucium antara arcus glossopalatinus dan
arcus glossopharingeu
3. Tonsilla pharingea (adenoid), terletak pada dinding dorsal dari nasofaring
4. Tonsilla tubaria, terletak pada bagian lateral nasofaring di sekitar ostium tuba
auditiva
5. Plaques dari peyer (tonsil perut), terletak pada ileum.
Dari kelima macam tonsil tersebut, tonsilla lingualis, tonsilla palatina, tonsilla pharingea,
tonsilla tubaria dan ditambah lateral pharyngeal band membentuk cincin yang dikenal
dengan cincin waldeyer (Wirawan & Putra, 2006).

Gambar 1. Tonsil
(Sumber : Netter, 2011)
Tonsilla palatina merupakan suatu massa jaringan limfoid yang terletak di dalam fossa tonsil
pada kedua sudut orofaring, dan dibatasi oleh pilar anterior (musculus palatoglosus) dan pilar
posterior (musculus palatofaringeus). Tonsilla palatina berbentuk oval dengan panjang 2-5
11
cm, masing-masing tonsil mempunyai 10-30 kriptus yang meluas kedalam jaringan tonsil
(Brody & Poje, 2008).
2.2 Vaskularisasi
Tonsil mendapat perdarahan dari cabang-cabang arteri karotis eksterna, yaitu :
1. A. Maksilaris eksterna (A. Fasialis) dengan cabangnya A. Tonsilaris dan A.
Palatina asenden
2. A. Maksilaris interna dengan cabangnya A. Palatina desenden
3. A. Lingualis dengan cabangnya A. Lingualis dorsal
4. A. Faringeal asenden (Rusmarjono & Kartosoediro, 2007).
2.3 Persarafan
Tonsil bagian atas mendapat sensais dari serabut saraf ke V (trigeminus) melalui
ganglion spenophalatina dan pada bagian bawah mendapat sensasi dari cabang serabut saraf
ke IX (nervus glosofaringeus) ( Snell, 2011).

2.4 Definisi dan Klasifikasi

2.4.1 Definisi

Tonsilitis adalah radang pada amandel. Peradangan dapat memengaruhi area lain di
belakang tenggorokan, termasuk kelenjar tiroid dan amandel lingual. Tonsilitis akut adalah
infeksi amandel yang dipicu oleh salah satu dari beberapa jenis bakteri atau virus, dan abses
peritonsil juga dapat terjadi. Tonsilitis kronis adalah infeksi amandel persisten yang dapat
menyebabkan batu amandel. Tonsilitis berulang terjadi ketika seseorang menderita beberapa
insiden tonsilitis per tahun. Tonsilitis kronis dan berulang melibatkan kejadian berulang dari
amandel yang meradang yang dapat berdampak parah pada kualitas hidup pasien. Anak-anak
sangat sering menderita tonsilitis, meskipun jarang diamati di bawah usia 2 tahun. Tonsilitis
karena bakteri Streptococcus secara klasik terjadi pada anak-anak berusia antara 5 sampai 15
tahun, sedangkan tonsilitis virus lebih banyak terjadi pada anak-anak yang lebih muda.
Beberapa studi melaporkan bahwa prevalensi rata-rata status karier anak sekolah untuk
Streptococcus grup A adalah 15,9% (Abu Bakar et al., 2018)

2.4.2 Klasifikasi

Berdasarkan lama perjalanan penyakit dan penyebabnya, tonsilitis dibagi menjadi:

a. Tonsilitis Akut (Tonsilitis Viral dan Bakterial)

12
1. Pada tonsilitis akut akibat infeksi virus, gejala yang timbul menyerupai common
cold dan disertai nyeri tenggorok.
2. Infeksi bakteri yang ditandai dengan nyeri menelan, pembengkakan dan
kemerahan pada tonsil, tonsil eksudat dan limfadenopati servikal dan demam
tinggi yang timbulnya (onset) cepat, atau berlangsung dalam waktu pendek (tidak
lama), dalam kurun waktu jam, hari hingga minggu.
3. Lebih disebabkan oleh kuman streptokokus beta hemolitikus grup A, atau disebut
juga Streptococcus pneumoniae, Streptococcus viridian, Streptococcus pyogenes.
4. Penyebab infeksi virus antara lain oleh virus Epstein Barr (tersering), Haemofilus
influenzae (tonsilitis akut supuratif), dan virus coxschakie (luka-luka kecil pada
palatum disertai tonsil yang sangat nyeri).

b. Tonsilitis Akut Rekuren

Tonsilitis akut yang berulang beberapa kali dalam setahun.

c. Tonsilitis Kronik

1. Tonsilitis kronik berlangsung dalam jangka waktu yang lama (bulan atau tahun)
dan dikenal sebagai penyakit menahun.
2. Tonsilitis kronik timbul akibat rangsangan kronis dari rokok, kebersihan mulut
yang buruk, pengaruh cuaca, kelelahan fisik, beberapa jenis makanan, dan
pengobatan tonsilitis akut yang tidak adekuat.
3. Bakteri penyebab tonsilitis kronik sama halnya dengan tonsilitis akut, namun
kadang-kadang bakteri berubah menjadi bakteri golongan gram negatif.
4. Saat pemeriksaan dapat ditemukan tonsil membesar dengan permukaan tidak
rata, kripte membesar, dan terisi detritus.
5. Beberapa literatur sudah tidak menggunakan istilah tonsilitis kronik, digantikan
dengan tonsilitis akut rekuren, yaitu adanya episode berulang dari tonsilitis akut
yang diselingi dengan interval tanpa atau dengan adanya keluhan yang tidak
signifikan.

(Kemenkes, 2018)

13
2.5 Epidemiologi

Sekitar 2% dari kunjungan pasien rawat jalan di Amerika Serikat disebabkan oleh sakit
tenggorokan. Meskipun lebih sering terjadi pada musim dingin dan awal musim semi,
penyakit ini dapat terjadi kapan saja sepanjang tahun. GABHS menjadi penyebab tonsilitis
5% hingga 15% orang dewasa dengan faringitis dan 15% hingga 30% pasien antara usia 5
dan 15 tahun. Etiologi virus lebih sering terjadi pada pasien di bawah lima tahun. GABHS
jarang terjadi pada anak di bawah usia dua tahun (Anderson et al., 2022)

2.6 Etiologi

Tonsilitis umumnya disebabkan oleh infeksi virus atau bakteri. Etiologi virus adalah
yang paling umum. Penyebab virus yang paling umum biasanya yang menyebabkan flu biasa,
termasuk rhinovirus, virus pernapasan syncytial, adenovirus, dan coronavirus. Ini biasanya
memiliki virulensi rendah dan jarang menyebabkan komplikasi. Penyebab virus lain seperti
Epstein-Barr (menyebabkan mononukleosis), cytomegalovirus, hepatitis A, rubella, dan HIV
juga dapat menyebabkan tonsilitis (Anderson et al., 2022)
Infeksi bakteri biasanya disebabkan oleh grup A beta-hemolytic Streptococcus
(GABHS), tetapi Staphylococcus aureus, Streptococcus pneumoniae, dan Haemophilus
influenza juga telah dibiakkan. Tonsilitis bakteri dapat terjadi akibat patogen aerob dan
anaerob. Pada pasien yang tidak divaksinasi, Corynebacterium diphtheriae yang
menyebabkan difteri patut dipertimbangkan sebagai etiologi. Pada pasien yang aktif secara
seksual, HIV, sifilis, gonore, dan klamidia mungkin sebagai penyebab tambahan.
Tuberkulosis juga terlibat dalam tonsilitis berulang (Anderson et al., 2022)

2.7 Faktor risiko

Beberapa faktor risiko terjadinya tonsilitis meliputi


1. Beraktivitas dalam lingkungan yang penuh tekanan (70,5%)
2. Usia kurang dari 5 tahun (69,5%)
3. Hidup didaerah yang kumuh(tidak higien)/berpolusi (80%)
4. Kebiasaan makan-makanan yang pedas (70,5%) (Khan et al., 2020))

Sedangkan, untuk faktor predisposisi terjadinya tonsilitis kronis meliputi

14
1. Rangsangan menahun dari rokok dan beberapa jenis makanan
2. Higiene mulut yang buruk
3. Pengaruh cuaca
4. Kelelahan fisik
5. Pengobatan tonsilitis akut yang tidak adekuat (Nadhilla et al., 2016; Wulandari et
al., 2016)
2.8 Patogenesis

Patogenesis infeksi dan inflamasi pada tonsil dan adenoid dipengaruhi oleh lokasi tonsil
yang letaknya di orofaring, nasofaring dan dasar lidah membentuk suatu cincin pertahanan
imunitas (Waldeyer’s ring). Organ ini akan memproses antigen virus, bakteri dan
mikroorganisme lain, sehingga mudah terkena infeksi dan pada akhirnya dapat menjadi fokus
infeksi. Infeksi virus yang diikuti infeksi bakteri sekunder mungkin merupakan salah satu
mekanisme dari infeksi akut menjadi infeksi kronis, tetapi hal ini juga dipengaruhi oleh faktor
lingkungan (lingkungan padat seperti militer, sekolah, dan keluarga), pejamu, alergi dan
penggunaan antibiotik yang luas serta gizi.
Saat bakteri atau virus memasuki tubuh melalui hidung atau mulut, tonsil berperan
sebagai filter. Bakteri atau virus menginfeksi lapisan epitel tonsil. Proses peradangan dan
infeksi pada tonsil memicu pengeluaran leukosit polimorfonuklear yang akan membentuk
detritus bersama dengan kumpulan leukosit, bakteri yang mati, dan epitel yang terlepas. Dari
gambaran klinis, detritus akan mengisi kripte tonsil dan nampak sebagai bercak kekuningan.
Hal ini akan memicu tubuh untuk membentuk antibodi terhadap infeksi yang akan datang,
akan tetapi kadang-kadang tonsil sudah kelelahan menahan infeksi atau virus yang berulang.
Pada kasus infeksi yang berulang, lapisan epitel mukosa dan jaringan limfoid tonsil menjadi
terkikis. Proses penyembuhan jaringan limfoid diganti dengan jaringan parut. Jaringan ini
akan mengerut sehingga ruang antara kelompok kripte melebar yang akan diisi oleh detritus.
Proses ini meluas hingga menembus kapsul dan akhirnya timbul perlekatan dengan jaringan
sekitar fossa tonsilaris. Saat pemeriksaan ditemukan tonsil membesar dengan permukaan
tidak rata, kripte membesar dan terisi detritus.
Infeksi tonsil jarang menampilkan gejala, tetapi dalam kasus yang ekstrim, pembesaran
tonsil dapat menimbulkan gejala menelan. Infeksi tonsil yang menimbulkan gejala menelan
adalah peradangan di tenggorokan terutama pada tonsil yang mengalami abses (abses
peritonsiler). Abses besar yang terbentuk di belakang tonsil menimbulkan rasa sakit yang
intens dan demam tinggi (39°C-40°C). Abses secara perlahan akan mendorong tonsil

15
menyeberang ke bagian tengah tenggorokan. Gejala awal yang timbul ialah sakit tenggorokan
ringan dan berlanjut menjadi parah. Pasien biasanya hanya mengeluh merasa sakit
tenggorokan sehingga memilih untuk berhenti makan.
Tonsilitis dapat menyebabkan kesukaran menelan, panas, bengkak, sakit pada sendi dan
otot, nyeri pada seluruh tubuh, sakit kepala, dan dapat disertai nyeri pada telinga. Pembesaran
yang spesifik pada tonsil dan adenoid akibat infeksi berulang di hidung dan tenggorok dapat
menyebabkan obstruksi nasal dan atau gangguan bernafas, menelan, serta gangguan tidur.
(Kemenkes, 2018)

2.9 Penegakan diagnosis


Diagnosis untuk tonsillitis kronik dapat ditegakkan dengan melakukan anamnesis
secara tepat dan cermat serta pemeriksaan fisik yang dilakukan secara menyeluruh untuk
menyingkirkan kondisi sistemik atau kondisi yang berkaitan yang dapat membingungkan
diagnosis.
Pada anamnesis pasien dengan tonsilitis kronis eksaserbasi akut, penderita biasanya
datang dengan keluhan tonsillitis berulang berupa nyeri tenggorokan berulang atau menetap,
rasa ada yang mengganjal ditenggorok, ada rasa kering di tenggorok, napas berbau, iritasi
pada tenggorokan, dan obstruksi pada saluran cerna dan saluran napas, yang paling sering
disebabkan oleh adenoid yang hipertofi. Gejala-gejala konstitusi dapat ditemukan seperti
demam, namun tidak mencolok. Pada anak dapat ditemukan adanya pembesaran kelanjar
limfa submandibular (Nadhilla et al., 2016)
Pada pemeriksaan tampak tonsil membesar dengan permukaan yang tidak rata, kriptus
melebar dan beberapa kripti terisi oleh detritus. Terasa ada yang mengganjal di tenggorokan,
tenggorokan terasa kering dan napas yang berbau. Pada tonsillitis kronik juga sering disertai
halitosis dan pembesaran nodul servikal, Pada umumnya terdapat dua gambaran tonsil yang
secara menyeluruh dimasukkan kedalam kategori tonsillitis kronik berupa (a) pembesaran
tonsil karena hipertrofi disertai perlekatan kejaringan sekitarnya, kripta melebar di atasnya
tertutup oleh eksudat yang purulent. (b) tonsil tetap kecil, bisanya mengeriput, kadang-
kadang seperti terpendam dalam “tonsil bed” dengan bagian tepinya hiperemis, kripta
melebar dan diatasnya tampak eksudat yang purulent (Nadhilla et al., 2016)
Berdasarkan rasio perbandingan tonsil dengan orofaring, dengan mengukur jarak antara
kedua pilar anterior dibandingkan dengan jarak permukaan medial kedua tonsil, maka gradasi
pembesaran tonsil dapat dibagi menjadi
1. T0 : Tonsil berada di dalam fossa tonsil atau telah diangkat

16
2. T1 : Besar tonsil 1/4 jarak arkus anterior dan uvula, dimana tonsil tersembunyi di
dalam pilar tonsilar
3. T2 : Besar tonsil 2/4 jarak arkus anterior dan uvula, di mana tonsil membesar ke
ke arah pilar tonsilar
4. T3 : Besar tonsil 3/4 jarak arkus anterior dan uvula, atau terlihat mencapai luar
pilar tonsilar
5. T4 : Besar tonsil mencapai arkus anterior atau lebih, dimana tonsil mencapai garis
tengah (Brody & Poje, 2008).

Gambar 2. Besar ukuran tonsil


Diambil dari: Goldberg DC. Respiratory Disease or Quinsy. Canadian Health&Care Mall. Updated 15 Sept
2016. Available from: https://mycanadianhealthcaremall.com/respiratory-disease-or-quinsy.html

Dalam prakteknya, perbedaan antara tonsilitis virus dan bakteri sulit dengan tanda dan
gejala yang tumpang tindih. Beberapa sistem penilaian telah dikembangkan, salah satu sistem

17
tersebut adalah kriteria Centor. Skor Centor dapat digunakan untuk mendiagnosis infeksi
tenggorok akibat infeksi streptokokus grup A. Skor Centor ini merupakan acuan tervalidasi
untuk prediksi klinis pada infeksi streptokokus pada pasien dengan usia minimal 15 tahun.
Hal ini dikarenakan pada pasien anak, terutama satu tahun awal, memiliki manifestasi nyeri
tenggorok yang berbeda. Centor dkk, menilai 4 tanda dan gejala untuk memperkirakan
kemungkinan faringitis akut streptokokus grup A pada pasien dewasa yang mengalami nyeri
tenggorok. Empat tanda dan gejala tersebut adalah ditemukannya pembesaran dan eksudat
pada tonsil, pembesaran dan nyeri tekan kelenjar getah bening leher anterior (limfadenopati
servikal anterior), adanya riwayat demam lebih dari 38°C, dan tidak ada riwayat batuk
Masing-masing tanda dan gejala memiliki skor satu. Risiko terjadinya infeksi streptokokus
grup A tergantung jumlah skor dari tanda dan gejala. Semakin besar jumlah skor, maka
semakin besar kemungkinan infeksi streptokokus grup A. Skor Centor yang dimodifikasi,
seperti yang disarankan oleh McIsaac, mengoreksi usia, dan karenanya dapat digunakan pada
orang dewasa maupun anak-anak. (Windfuhr et al., 2016)

Tabel 1. Kriteria penilaian risiko infeksi Streptokokus grup A


Symptoms Score
Demam > 38 derajat celcius 1
Tidak batuk 1
Limfadenopati servikal anterior 1
Pembesaran tonsil atau eksudat 1

Tabel 2. Risiko infeksi Streptokokus grup A Centor Score


Jumlah gejala dan tanda Risiko infeksi Streptokokus grup A (%)
4 50 – 60
3 30 – 35
2 15
1 6–7
0 2,5
(Windfuhr et al., 2016)
Tabel 3. McIsaac score (modified Centor score)
Symptoms Score
Demam > 38 derajat celcius 1
Tidak batuk 1

18
Limfadenopati servikal anterior 1
Pembesaran tonsil atau eksudat 1
Usia (Tahun)
3 – 14 1
15 – 44 0
> 45 -1

Tabel 4. Risiko infeksi Streptokokus grup A McIsaac score


Jumlah gejala dan tanda Risiko infeksi Streptokokus grup A (%)
4 atau 5 50
3 35
2 17
1 10
-1 atau 0 1
(Windfuhr et al., 2016)
Hanya pada pasien dengan skor 3 atau lebih (Centor atau McIsaac), tes cepat atau
kultur harus dipertimbangkan, jika relevan. Ini tidak disarankan pada pasien dengan skor 2
dan kurang kecuali pasien ini datang dengan penyakit yang menetap atau temuan unilateral
(Windfuhr et al., 2016).
Gejala dan tanda ternyata tidak cukup untuk menegakkan diagnosis, diperlukan
kombinasi dari beberapa faktor untuk dapat digunakan sebagai prediksi klinik. IDSA
(Infectious Disease Society of America) dan AHA (American Heart Association)
merekomendasikan konfirmasi status bakteriologik untuk menegakkan diagnosis tonsilitis,
baik menggunakan kultur swab tenggorok maupun menggunakan rapid antigen detection test.
Tes untuk mengetahui infeksi streptokokus tidak diperlukan pada pasien anak dan dewasa
dengan tanda dan gejala yang mengarah pada infeksi virus. Gejala dan tanda tersebut antara
lain konjungtivitis, coriza atau rhinorea, stomattis anterior dan ulkus oral diskret, batuk,
serak, diare, dan exanthem atau enanthem viral. Tes juga tidak diperlukan pada anak kurang
dari 3 tahun (Kemenkes, 2018)
Pada pasien dewasa, rapid antigen detection test dan kultur swab tenggorok dianjurkan
pada tanda dan gejala yang mengarah pada infeksi streptokokus. Tanda dan gejala tersebut
ialah demam persisten, keringat malam, kaku badan, nodus limfe yang nyeri, pembengkakan
tonsil atau eksudat tonsilofaringeal, scarlatiniform rash, dan petekie palatum. CDC (Centers

19
for Disease Control and Prevention) dan ACP (American College of Physicians)
merekomendasikan kultur swab tenggorok atau RAT pada dewasa apabila gejala mengarah
pada infeksi streptokokus, seperti demam persisten, limfadenpati servikal anterior yang nyeri,
nyeri wajah, dan discharge nasal yang purulen (Kemenkes, 2018).
1. Kultur Swab Tenggorok
Pemeriksaan swab tenggorok ini dilakukan sebelum antibiotik mulai diberikan, kultur
swab tenggorok yang optimal dilakukan dengan swab tunggal pada tonsil dan faring
posterior, dengan menghindari mukosa bukal dan lidah. Hasil swab yang diperoleh
dimasukkan ke dalam media transpor berupa Stuart atau tioglikolat. Hasil swab
kemudian dioleskan pada agar darah. Hasil kultur pada agar darah yang positif
menunjukkan zona karakteristik hemolisis komplit (hemolisis beta) pada infeksi S
pyogenes dan homolisis parsial pada Streptococcus pneumoniae. Kultur swab
tenggorok atau rapid antigen test dilakukan secara rutin setelah tata laksana, tetapi
dapat dipertimbangkan untuk kondisi khusus, meliputi pasien berada dalam risiko
tinggi mengalami demam reumatik akut dan rekurennya gejala klasik yang kompatibel
dengan faringitis streptokokus grup A. Kekurangan utama kultur swab tenggorok secara
klinik adalah keterlambatan hasil pemeriksaan (18-24 jam atau lebih)
2. Rapid Antigen Tes (RAT)
Umumnya pemeriksaan RAT memiliki senstivitas 59-95% dan spesifisitas lebih dari
90% dibandingkan dengan kultur swab tenggorok pada agar darah. Nilai prediktif
negatif RAT sangat tinggi berkisar antara 93%-97% dan umumnya 95%. Sensitivitas
RAT adalah 90% (antara 86% dan 94,8%) dibandingkan dengan kultur swab tenggorok
pada agar darah. Nilai prediktif positif RAT berkisar antara 77% dan 97%, umumnya
sekitar 90%. Namun, pemeriksaan RAT untuk deteksi streptokokus grup A dipengaruhi
oleh keterampilan, pengalaman dan ekspertise tenaga medis yang mengambil swab
tenggerok dan melakukan RAT. Untuk memperbaiki akurasi RAT, maka RAT
seharusnya dilakukan oleh tenaga terlatih dan dilakukan pada dinding faring posterior
dan kedua tonsil (Windfuhr et al., 2016; Kemenkes, 2018)

20
2.10 Diagnosis banding
Tabel 5. Diagnosis Banding Tonsilitis

Diagnosis Banding Tanda & Gejala

Tonsilitis difteri Gejala umum seperti demam subfebris, nyeri


kepala, tidak nafsu makan, badan lemah , nyeri
menelan. Gejala lokal didapatkan
pseudomembran yang mudah berdarah saat
diangkat dan gejala akibat eksotoksin meliputi
kelainan otot seperti miokarditis atau
kelumpuhan otot pernafasan

Angina Plaut Vincent (Stomatitis Demam tinggi (39 derajat celcius), nyeri di
ulseromembranosa) mulut, gigi dan kepala, sakit tenggorok, badan
lemah, gusi berdarah, hipersalivasi. Pada
pemeriksaan tampak membran putih keabuan di
tonsil, uvula, dinding faring, gusi, dan prosesus
alveolaris, mukosa mulut dan faring hiperemis,
mulut berbau, dan pembesaran kelenjar
submandibula

Mononukleosis infeksiosa Terjadi tonsilofaringitis ulseromembranosa


bilateral. Membran semu yang menutup ulkus
mudah diangkat tanpa timbul perdarahan,
pembesaran kelenjar limfa di leher, ketiak, dan
regio inguinal. Gambaran darah khas yakni
terdapat leukosit mononukleosis dalam jumlah
besar, tanda khas lain adalah kemampuan serum
pasien untuk beraglutinasi terhadapa sel darah
merah domba
Sumber (Wulandari et al., 2016; Kemenkes, 2018)
2.11 Tatalaksana

Tata laksana tonsilitis dapat berupa tata laksana non-operatif (medikamentosa dan
non-medikamentosa) dan operatif. Tata laksana umum tonsilitis menganjurkan setiap pasien
untuk istirahat dan minum yang cukup. Terapi medikamentosa ditujukan untuk mengatasi
infeksi pada tonsilitis. Antibiotik golongan penisilin merupakan antibiotik pilihan pada
sebagian besar kasus karena efektif dan harganya lebih murah. Namun, pada anak dibawah
12 tahun, golongan sefalosporin menjadi pilihan utama karena lebih efektif terhadap
streptococcus. Golongan makrolida dapat digunakan hanya jika terdapat alergi terhadap
penisilin, hal ini disebabkan karena efek samping yang ditimbulkan golongan makrolida lebih
banyak. Sefalosporin generasi pertama seperti cephalexin dan cefadroxil diberikan selama 10

21
hari, pada beberapa penelitian didapatkan hasil yang baik. Cephalexin peroral 20 mg/kgbb
dua kali sehari (dosis maksimum 500 mg) selama 10 hari. Cefadroxil peroral 30 mg/kgbb
sekali sehari (dosis maksimum 1 g) selama 10 hari (Nadhilla et al., 2016).
Pemberian penisilin V memberikan hasil yang baik untuk mengeradikasi bakteri, serta
mengurangi risiko terjadinya komplikasi demam rematik dan glomerulonefritis. penisilin V
dapat diberikan selama 10 hari. Dosis anak ialah 250 mg PO, 2-3 kali sehari. Dosis dewasa 4
x 250 mg perhari, atau 2 x 500 mg perhari. Penggunaan penisilin V di indonesia sulit di dapat
sehingga lebih lazim menggunakan amoksisilin. Amoksisilin lebih sering digunakan pada
anak-anak karena lebih mudah ditelan, penggunaan amoksisilin sekali atau dua kali sehari
selama 6-10 hari menunjukkan hasil yang sama efektifnya dengan penggunaan penisilin tiga
kali sehari selama 10 hari. Penggunaan amoksisilin peroral di Indonesia yakni 50-60 mg/kgbb
dibagi dalam 2-3 kali pemberian dan dosis dewasa sebesar 3 x 500 mg (Kemenkes, 2018)
Analgesik diberikan untuk mengurangi nyeri pada penderita tonsillitis kronik baik
pada anak maupun dewasa, pada anak analgesik yang menjadi pilihan utama adalah
ibuprofen Hal ini dikarenakan ibuprofen memiliki efikasi yang tinggi dengan efek samping
yang minimal jika dibandingkan dengan parasetamol dan asam salisilat. Selain itu, masa kerja
ibuprofen juga lebih panjang yaitu 6-8 jam. Dewasa, dosis yang dianjurkan 200-250 mg 3-4
kali sehari. Anak 1-2 tahun, 50 mg 3-4 kali sehari. 3-7 tahun, 100-125 mg 3-4 kali sehari. 8-
12 tahun, 200-250 mg 3-4 kali sehari. Obat kumur antiseptik yang berisi chlorhexidine atau
benzydamine juga dapat diberikan karena memberikan hasil yang baik dalam mengurangi
keluhan nyeri tenggorok dan memperbaiki gejala (Nadhilla et al., 2016).
Tonsilektomi merupakan salah satu prosedur bedah paling umum di Amerika Serikat,
dengan lebih dari 530.000 prosedur dilakukan pada anak di bawah 15 tahun. Tonsilektomi
didefinisikan sebagai prosedur bedah dengan atau tanpa adenoidektomi yang menyingkirkan
tonsil secara keseluruhan, termasuk kapsulnya dengan cara diseksi ruang peritonsilar antara
kapsul tonsil dan dinding muskuler.

2.12 Prognosis

Prognosis tonsilitis akut tanpa adanya komplikasi sangat baik. Sebagian besar kasus
adalah infeksi yang sembuh sendiri pada populasi pasien sehat yang membaik dan memiliki
gejala sisa yang minimal. Mereka yang mengalami infeksi berulang mungkin memerlukan

22
pembedahan tetapi prognosis jangka panjang baik. Di zaman antibiotik, pasien dengan
komplikasi, termasuk abses peritonsillar dan sindrom Lemierre, memiliki hasil jangka
panjang yang sangat baik. Pada kasus dengan komplikasi GABHS, termasuk demam rematik
dan glomerulonefritis, pasien dapat mengalami gejala sisa jangka panjang, termasuk penyakit
katup jantung dan penurunan fungsi ginjal. Entitas ini sangat langka di negara maju, dan
kejadiannya menurun dengan munculnya pengobatan penisilin. Jika gejala tidak membaik,
diagnosis lain harus dipertimbangkan, termasuk HIV, TB, gonore, klamidia, sifilis,
mononukleosis, penyakit Kawasaki, abses, dan sindrom Lemierre. Prognosis keseluruhan
dalam kasus ini terkait dengan kondisi yang mendasarinya (Anderson et al., 2022)

2.13 Komplikasi

Komplikasi jarang terjadi pada tonsilitis yang mendapat pengobatan simptomatis


dengan klinis yang baik. Beberapa komplikasi pada tonsilitis yaitu abses, demam rematik,
demam berdarah, dan glomerulonefritis akut. Abses peritonsillar adalah kumpulan nanah
antara otot konstriktor faring dan kapsul tonsil, dan gejala tonsilitis sering mendahului
kemunculannya. Perlu diketahui bahwa perkembangan gejala ini tidak membuktikan sebab-
akibat. Meskipun kedua diagnosis tersebut berbeda secara klinis, pengobatan antibiotik untuk
tonsilitis mengurangi risiko perkembangan abses.Remaja dan dewasa muda adalah yang
paling sering terkena. Perokok memiliki risiko lebih tinggi. Sebagian besar infeksi bersifat
polimikrobial dan berespon baik terhadap kombinasi antibiotik, steroid, dan drainase.
Tonsilitis akut yang disebabkan oleh streptokokus beta-hemolitik grup A, dalam kasus
yang jarang, menyebabkan demam rematik dan penyakit jantung rematik. Demam rematik
adalah peradangan, penyakit imunologi yang terjadi setelah infeksi Streptococcus grup A. Ini
paling sering muncul pada pasien berusia antara 5 hingga 18 tahun. Meskipun jarang terjadi
di negara maju, di negara berkembang, insidensinya mencapai 24 per 1000. Penyakit ini
menyerang banyak sistem organ, paling sering menyebabkan artritis, yang muncul di
persendian besar sebagai berpindah-pindah, asimetris, dan nyeri. Karditis mempengaruhi
hampir 50% pasien dan sering menyebabkan patologi katup, dengan katup mitral yang paling
sering terkena. Sydenham chorea adalah presentasi tertunda klasik dari gerakan tak sadar dari
anggota badan dan otot wajah dengan kelainan bicara dan gaya berjalan yang terkait. Pasien
mungkin datang dengan ruam yang dikenal sebagai eritema marginatum dan nodul subkutan.

23
Glomerulonefritis pasca-streptokokus adalah gangguan yang dimediasi oleh sistem
imun setelah infeksi dengan Streptococcus Grup A. Pasien datang dengan edema, hipertensi,
kelainan pada sedimen urin, hipoproteinemia, peningkatan penanda inflamasi, dan kadar
komplemen yang rendah. Ini mempengaruhi sekitar 470.000 orang secara global, dengan
perkiraan 5.000 kematian. Anak-anak di negara berkembang paling sering terkena; namun,
setiap individu dengan tempat tinggal yang padat memiliki risiko yang lebih tinggi. Ini
umumnya terjadi pada wabah penyakit karena strain nefritogenik Streptococcus Grup A.
Sebagian besar pasien akan sembuh secara spontan dari penyakitnya dan kembali ke fungsi
ginjal normal meskipun prognosisnya lebih buruk pada pasien yang lebih tua. Antibiotik
sebenarnya tidak mengubah perjalanan penyakit tetapi membantu mengurangi penularan
penyakit.
Penyakit Lemierre adalah komplikasi langka dari infeksi orofaringeal. Biasanya muncul
sebagai sepsis setelah sakit tenggorokan disertai trombosis vena jugularis interna dan emboli
septik. Ini paling sering dikaitkan dengan Fusobacterium necrophorum, meskipun juga terjadi
dengan infeksi Staphylococcal dan Streptococcal. Di era antibiotik modern, angka kematian
rendah meskipun komplikasi dapat berupa ARDS, osteomielitis, dan meningitis.

2.14 Edukasi
1. Menjelaskan perjalanan penyakit dan komplikasi yang timbul
2. Menjelaskan rencana pengobatan, indikasi operasi dan komplikasinya
3. Menjaga kebersihan rongga mulut, misalnya: menganjurkan sikat gigi dan kumur
– kumur teratur, bila perlu konsultasi ke dokter gigi

24
BAB III
PEMBAHASAN
Abses leher dalam ditandai dengan penumpukan pus atau cairan nanah dalam ruangan
potensial yang terletak diantara fascia leher dalam. Abses leher dalam dibagi atas tempat
infeksinya. Salah satunya adalah abses parafaring. Abses ini terjadi akibat penyebaran infeksi
yang bisa terjadi berbagai sumber seperti mulut, gigi, tenggorok, sinus paranasal, telinga
tengah dan leher. Kuman penyebab paling sering adalah Streptococcus beta–hemolyticus
group A (paling sering). Ada beberapa faktor risiko yang bisa menyebabkan seseorang mudah
terkena abses parafaring. Pada pasien ini yang menjadi faktor risiko yaitu diabetes melitus
dan infeksi molar gigi bawah. Pada anamnesis, umumnya pasien mengeluhkan demam,
kesulitan membuka mulut, nyeri tenggorokan, nyeri menelan, kesulitan menelan, nyeri leher,
kesulitan menggerakkan leher, dan perubahan suara. Hal ini sesuai dengan yang dirasakan
pasien pada kasus yaitu, adanya nyeri telan, nyeri leher, leher kaku dan riwayat demam.
Dalam teori disebutkan bahwa pada pemeriksaan leher dapat ditemukan penonjolan pada
dinding posterior faring tanpa adanya trismus. Hal ini sesuai dengan yang dirasakan pasien
yaitu tidak terdapat gejala trismus sehingga mengarah pada abses parafaring posterior. Dari
hasil pemeriksaan penunjang laboratorium terjadi peningkatan leukosit yang menandakan
adanya infeksi, rontgen thorax terdapat deviasi trakea dan CT Scan cervical kontras
didapatkan soft tissue mass coli anterior sinistra uk : 3,6x4 dengan batas tak tegas. Massa
tersebut mendesak arteri carotis communis dan menempel pada musculus
sternocleidomastoideus sinistra. Terapi yang bisa diberikan adalah antibiotik dan insisi
drainase untuk mengeluarkan pus, pada pasien sudah sesuai karena sudah diberikan
ceftriaxon dan metronidazol. Setelah dilakukan aspirasi pungsi didapatkan pus, maka, terapi
dilanjutkan pada insisi drainase. Prognosis pasien dubia ad bonam karena tidak ada gejala
komplikasi yang muncul. Edukasi yang diberikan kepada pasien adalah diminta menjaga
higienitas mulut sentiasa menggosok gigi sebelum tidur, menjelaskan terkait penyakit pasien
baik kepada pasien maupun keluarga pasien.

25
BAB IV
KESIMPULAN
Abses parafaring disebabkan karena infeksi yang menjalar dari infeksi gigi molar
bawah. Komorbid diabetes mellitus yang juga menyebabkan mudahnya seseorang terkena
infeksi. Untuk menunjang diagnosis maka dilakukan rontgen, darah lengkap, dan Ct scan.
Terapi antibiotik dosis tinggi ditambah dengan insisi drainase diperlukan untuk
mengevakuasi pus supaya infeksi tidak semakin menjalar.

26
DAFTAR PUSTAKA
Abu Bakar M, McKimm J, Haque SZ, Majumder MAA, Haque M. Chronic tonsillitis and
biofilms: a brief overview of treatment modalities. J Inflamm Res. 2018 Sep 5;11:329-
337. doi: 10.2147/JIR.S162486. Erratum in: J Inflamm Res. 2018 Sep 28;11:375.
PMID: 30233227; PMCID: PMC6134941.
Anderson J, Paterek E. Tonsillitis. [Updated 2022 Sep 18]. In: StatPearls [Internet]. Treasure
Island (FL): StatPearls Publishing; 2022 Jan-. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK544342/
Kementerian Kesehatan: Tatalaksana Tonsilitis. 2018. Available From :
https://www.google.com/url?
sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=&cad=rja&uact=8&ved=2ahUKEwjpyL-
RwM77AhWB5nMBHcFfBa8QFnoECAoQAQ&url=https%3A%2F
%2Fyankes.kemkes.go.id%2Funduhan
%2Ffileunduhan_1610421914_976971.pdf&usg=AOvVaw1IAeyouiSpd-jD2V3VO9a-
Wirawan, S. & Putra, I.G.A.G. Arti fungsi dari elemen histologi tonsil, dalam : Masna, P.W.
(ed) Tonsilla palatina dan permasalahannya, FK UNUD, Denpasar. 2006
Brody L. Poje C. Tonsilitis, Tonsilectomy and Adenoidectomy. In: Bailey BJ. Johnson JT.
Head and Neck surgery. Otolaryngology. 4rd Edition. Philadelphia: Lippinscott
Williams Wilkins Publishers. 2008. p1183-1208
Rusmarjono & Kartosoediro, S. Odinofagi, dalam buku Ajar Ilmu Penyakit Telinga Hidung
Tenggorok Kepala Leher, FKUI, Jakarta; 2007
Snell, R.S. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran, bagian 3, edisi 9, Penerbit Buku
Kedokteran EGC, Jakarta; 2011
Khan, D. M., Hamraz, M., Khattak, A. Z., Ali, I., Khalil, U., & Khan, Z. (2020). The analysis
of risk factors associated with tonsillitis in district Mardan, Pakistan. Journal of the
Pakistan Medical Association, 70(7), 1169–1172. https://doi.org/10.5455/JPMA.15375
Nadhilla, N. F., Sari, M. I., Kedokteran, F., & Lampung, U. (2016). Tonsilitis Kronik
Eksaserbasi Akut pada Pasien Dewasa A 29 Year Old Man with Acute Exacerbation of
Chronic Tonsilitis. Jurnal Medula Unila, 5(1), 107–112.
Windfuhr, J. P., Toepfner, N., Steffen, G., Waldfahrer, F., & Berner, R. (2016). Clinical
practice guideline: tonsillitis I. Diagnostics and nonsurgical management. European
Archives of Oto-Rhino-Laryngology, 273(4), 973–987. https://doi.org/10.1007/s00405-
015-3872-6
Wulandari, H. I., Kedokteran, F., & Lampung, U. (2016). Anak Perempuan Berusia 10 Tahun

27
dengan Tonsilitis Kronik Eksaserbasi Akut A 10 Years Old Girl with Acute Exacerbation
of Chronic Tonsillitis. 5, 67–71.

28

Anda mungkin juga menyukai