Anda di halaman 1dari 29

BAGIAN ILMU BEDAH LAPORAN KASUS

FAKULTAS KEDOKTERAN AGUSTUS 2022


UNIVERSITAS HALU OLEO

TRAUMA TUSUK ABDOMEN

OLEH:
Nurvita Rosidi, S. Ked
K1B1 20 006

PEMBIMBING:
dr. Wayan Eka Winarka, M. Biomed., Sp. B

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN ILMU BEDAH
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2022
HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertanda tangan dibawah ini menyatakan bahwa


Nama : Nurvita Rosidi, S.Ked
NIM : K1B1 20 006
Judul : Trauma Tusuk Abdomen
Bagian : Ilmu Bedah
Fakultas : Kedokteran

Telah menyelesaikan laporan kasus dalam rangka kepanitraan klinik Bagian Ilmu
Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Halu Oleo

Kendari, Agustus 2022


Pembimbing

dr. Wayan Eka Winarka, M. Biomed., Sp. B

2
BAB I

LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PASIIEN
Nama : Tn. MF
Usia : 21 tahun
Tanggal lahir : 12 Maret 2001
Jenis kelamin : Laki-laki
Alamat : Mandonga
Agama : Islam
Pekerjaan : Mahasiswa
Tanggal Masuk : 30 Mei 2022
No. RM : 59-xx-xx
B. PRIMARY SURVEY
a. Airway : Clear
b. Breathing : RR 20 x/menit, reguler, simetris, torakoabdominal, SpO2
99%
c. Circulation : TD 138/82 mmHg, nadi 84 x/menit, kuat angkat, CRT <2
detik, akral hangat
d. Disability : GCS E4M6V5
e. Exposure : Suhu 36,5ºC
C. SECONDARY SURVEY
1. Anamnesis
Keluhan utama : luka tusuk pada perut
Anamnesis terpimpin:
Pasien datang ke IGD RSU Bahteramas pukul 02:00 pagi dengan
keluhan luka tusuk pada perut setelah jatuh di kamar mandi pada jam
00:10. Keluhan lain demam, sakit kepala, pusing, batuk, mual dan muntah
disangkal. BAB dan BAK dalam batas normal. Riwayat pengobatan (+)
sebelumnya pasien dibawa ke RS Tiara Sentosa dan RSUD Kota Kendari
kemudian di rujuk ke RSU Bahteramas. Riwayat alergi makanan dan

3
obat-obatan disangkal. Riwayat penyakit hipertensi dan diabetes melitus
disangkal.
Mechanism of Trauma
Pasien terbangun ditengah malam ingin buang air kecil. Tanpa
sadar pasien memegang jarum jahit sepatu. Saat masuk ke kamar mandi,
karena lantainya licin pasien terpeleset. Saat ingin menahan badan saat
terjatuh, jarum jahit yang dipegang pasien justru menusuk perutnya.
History of Trauma
 Riwayat pingsan (-)
 Mual (-) muntah (-)
 Riwayat perdarahan dari hidung dan telinga (-)
 Riwayat konsumsi alkohol (-), obat-obatan (-)
 Riwayat pengobatan (-)
2. Status Present
a. Keadaan umum : sakit sedang
b. Kesadaran : GCS E4M6V5 Compos mentis
3. Status Vital
a. Tekanan darah : 138/82 mmHg
b. Nadi : 84 x/menit
c. Pernapasan : 20 x/menit
d. Suhu : 36.5ºC
4. Status Generalisata
Kepala Status Lokalis
Mata Konjungtiva anemis (-), Sklera ikterik(-)
Hidung Rinorrhea (-)
Mulut Bibir kering (-), pucat (-), edema (-).
Telinga otorhe (-), nyeri tekan mastoid (-)
Leher Pembesaran kelenjar getah bening (-)
Thoraks Inspeksi : normochest (+), Pergerakan hemithorax simetris
kiri dan kanan (+/+), retraksi sela iga(-/-)

4
Palpasi : Nyeri tekan (-/-), massa (-/-), vokal fremitus
dalam batas normal (+/+)
Perkusi : Sonor (+/+)
Auskultasi : Bunyi nafas vesikuler (+/+), rhonki (-/-),
Wheezing (-/-)
Jantung Inspeksi
Ictus kordis tidak tampak
Palpasi
Ictus cordis tidak teraba,
Perkusi
Batas jantung kanan pada ICS IV linea parasternal dextra,
batas jantung kiri ICS V linea midclavicularis sinistra
Auskultasi
BJ I dan II regular dan cepat, murmur (-)
Abdomen Status lokalis
Ekstremitas Inspeksi
-peteki -/-, edema -/-, deformitas -/-
-ekstremitas atas nyeri tekan (-/-), krepitasi (-/-), teraba
hangat.

5. Status Lokalis
Regio lumbar dextra
a. Inspeksi
 Tampak jarum tertancap pada perut
b. Palpasi
Nyeri tekan (+) hipoesthesia (-)

5
6. Foto Klinis

7. Pemeriksaan Penunjang
a. Laboratorium
Parameter Hasil Nilai Rujukan
Darah Rutin
WBC 9.40 x 103/ uL 4.0 – 10.0
RBC 4.75 x 106/uL 4.00 – 6.00
HB 14.1 g/dL 12 – 16 g/dL
HCT 41.4% 37.0 – 48.0
MCV 87.2 fL 80.0 – 97.0
MCH 29.7 pg 26.5 – 33.5
MCHC 34.1 g/L 31.5 – 35.5
PLT 215 x 103/uL 150 – 400
Koagulasi
Masa perdarahan 2’44” menit 1.0 – 3.0
Masa pembekuan 7’56” menit 1.0 – 9.0
Kimia darah
SGPT 10 U/L <41

6
SGOT 18 U/L <45
Glukosa sewaktu 82 mg/dL 70 – 180
Ureum darah 15 mg/dL 10 – 44
Kreatinin darah 0.8 mg/dL 0.7 – 1.2
Imunologi
Antigen SARS-COV-2 Negatif Negatif

D. RESUME
Pasien datang ke IGD RSU Bahteramas pukul 02:00 pagi dengan
keluhan luka tusuk pada perut setelah jatuh di kamar mandi pada jam 00:10.
Keluhan lain demam, sakit kepala, pusing, batuk, mual dan muntah disangkal.
BAB dan BAK dalam batas normal. Riwayat pengobatan (+) sebelumnya
pasien dibawa ke RS Tiara Sentosa dan RSUD Kota Kendari kemudian di
rujuk ke RSU Bahteramas. Riwayat alergi makanan dan obat-obatan
disangkal. Riwayat penyakit hipertensi dan diabetes melitus disangkal.
Pemeriksaan fisik didapatkan tekanan darah : 138/82 mmHg, nadi: 84
x/menit, pernapasan: 20 x/menit, suhu : 36.5ºC. Status lokalis regio lumbar
dextra tampak jarum tertancam pada perut. Nyeri tekan (+), hipoesthesia (-)
E. DIAGNOSIS KERJA
Trauma tusuk abdomen
F. TATALAKSANA
1. Non Farmakologi
a. Edukasi pasien dan keluarga
b. Konsul ke dokter Spesialis Bedah Umum
2. Farmakologi
a. IVFD RL 20 tpm
b. Ceftriaxon 1 gr/12 j/IV
c. Ranitidine 50 mg/12j/IV
d. Ketorolac 30 mg/8j/IV
e. Tetagam 1 amp/IM

7
3. Operasi
Eksplorasi luka k/p laparotomy eksplorasi
G. PROGNOSIS
1. Quo ad vitam : Bonam
2. Quo ad functionam : Bonam
3. Quo ad sanactionam : Bonam
H. FOTO KLINIS INTRAOPERATIF

I. FOLLOW UP
Tanggal Keadaan Klinis Penatalaksanaan
30/05/2022 S: nyeri luka operasi P: IVFD RL 20 tpm
O: sakit sedang Inj. Ceftriaxon
TD: 138/82 mmHg 1gr/12j/IV
N: 84 x/menit Inj. Rantidine
P: 20 x/menit 50mg/8j/IV
S: 36.7ºC Inj. Ketorolac
SpO2: 100% 30mg/8j/IV
VAS: 5/10 Rawat luka
A: PH0 trauma tusuk abdomen
POH0 Eksplorasi luka

8
31/05/2022 S: nyeri luka operasi P: IVFD RL 20 tpm
O: sakit ringan Inj. Ceftriaxon
TD: 117/53 mmHg 1gr/12j/IV
N: 69 x/menit Inj. Rantidine
S: 36,6ºC 50mg/8j/IV
P: 20 x/menit Inj. Ketorolac
SpO2: 99% 30mg/8j/IV
VAS: 3/10 Rawat luka
A: PH1 Trauma tusuk abdomen Pasien Boleh Pulang
POH1 Eksplorasi luka

9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFINISI
Luka merupakan suatu bentuk kerusakan jaringan pada kulit yang
disebabkan kontak dengan sumber panas seperti bahan kimia, air panas, api,
radiasi, listrik, hasil tindakan medis, maupun perubahan kondsi fisiologis.
Luka menyebabkan gangguan pada fungsi dan struktur anatomi tubuh. Luka
terdapat berbagai jenis berdasarkan bentuknya yaitu laserasi, abrasi, tusukan,
insisi, avulsi dan amputasi.1
Luka tusuk atau vulnus ictum merupakan luka yang disebabkan oleh
trauma akibat tertusuk benda tajam dengan arah kurang lebih tegak lurus
terhadap kulit. Pada umumnya kedalaman luka lebih dari lebarnya. 2
B. EPIDEMIOLOGI
Studi yang dilakukan di Belgia, didapatkan 170 kasus luka tusuk
selama januari 2000 sampai Juni 2007 dengan lokasi tersering yaitu trunkus
54,5%. Di Jerman, didapatkan 4333 pasien (1.8%) pasien luka tusuk selama
tahun 2009 sampai 2018 dengan penyebab tersering berupa kasus kekerasan
(59,4%). Lokasi tersering pada kasus luka tusuk yaitu toraks (52%) dan
abdomen (37,4%).3,4
Di Swedia, terdapat 4776 kasus trauma tembus selama tahun 2012 –
2018, dengan 4113 (86%) pasien memiliki Injury Severety Score (ISS) <15
dan 663 (14%) pasien memiliki ISS >15. Dari 663 pasien dengan ISS >15,
368 (55,5%) disebabkn oleh luka tusuk, 245 (37%) disebabkan luka tembak
dan 50 (7,5%) disebabkan oleh trauma lain. Di Arab Saudi, sebuah penelitian
potong lintang di RS King Khalid dan RS Prince Sultan ditemukan 106 kasus
luka tusuk selama desember 2018 – maret 2019. 77 kasus merupakan pasien
remaja dan dewasa muda <40 tahun. Penyebab trauma tusuk 20,8%
disebabkan perkelahian, 18,9% disebabkan kekerasan rumah tangga dan
17,0% disebabkan kejahatan di jalan. 5,6
Di wilayah Asia yaitu Singapura terdapat 149 kasus luka tusuk antara
tahun 2005 – 2010 dengan 24 (16,1%) kasus luka tusuk ditimbulkan oleh diri

10
sendiri dan 125 (83,9%) kasus luka tusuk disebabkan oleh orang lain. Di
Indonesia, belum ada data yang menghimpun seluruh presentase kejadian luka
tusuk. Namun, penelitian yang dilakukan di Manado tahun 2013, luka akibat
trauma tajam tertinggi adalah luka tusuk 88.9% dari seluruh total kasus. 7
C. ANATOMI ABDOMEN
Abdomen adalah bagian tubuh yang berbentuk rongga yang terletak
diantara toraks dan pelvis. Rongga ini berisi viscera dan dibungkus dinding
abdomen yang terbentuk dari oto abdomen, columna vertebralis, dan tulang
ilium. Untuk membantu menetapkan suatu lokasi di abdomen, yang paling
sering dipakai adalah pembagian abdomen oleh dua garis bayangan horizontal
dan dua garis bayangan vertikal. Bidang tersebut membagi abdomen jadi 9
regio. Dua bidang diantaranya berjalan horizontal setinggi tulang iga
kesembilan, dan dibawahnya setinggi bagian atas crista iliaca dan dua bidang
lainyya vertikal di kiri dan kaan tubuh yaitu dari tulang rawan iga ke delapan
hingga ke pertengahan ligamentum inguinale. Hypocondriaca dextra meliputi
organ: lobus kanan hati, kantung empedu, sebagian duodenum fleksuea
hepatik kolon, sebagian ginjal kanan dan kelenjar suprarenal kanan.8
1. Hypocondriaca dextra meliputi organ : lobus kanan hati, kantung empedu,
sebagian duodenum fleksura hepatik kolon, sebagian ginjal kanan dan
kelenjar suprarenal kanan.
2. Epigastrica meliputi organ: pilorus gaster, duodenum, pankreas dan
sebagian dari hepar.
3. Hypocondriaca sinistra meliputi organ: gaster, limpa, bagian kaudal
pankreas, fleksura lienalis kolon, bagian proksimal ginjal kiri dan kelenjar
suprarenal kiri.
4. Lumbalis dextra meliputi organ: kolon ascenden, bagian distal ginjal
kanan, sebagian duodenum dan jejenum.
5. Umbilical meliputi organ: Omentum, mesenterium, bagian bawah
duodenum, jejenum dan ileum.
6. Lumbalis sinistra meliputi organ: kolon ascenden, bagian distal ginjal kiri,
sebagian jejenum dan ileum.

11
7. Inguinalis dextra meliputi organ: sekum, apendiks, bagian distal ileum dan
ureter kanan.
8. Pubica/Hipogastric meliputi organ: ileum, vesica urinaria dan uterus (pada
kehamilan).
9. Inguinalis sinistra meliputi organ: kolon sigmoid, ureter kiri dan ovarium
kiri.

Untuk kepentingan klinis rongga abdomen dibagi menjadi 3:8


1. Rongga peritoneum
Dibagi menjadi dua yaitu bagian atas dan bawah. Rongga peritoneal atas
yang ditutupi tulang-tulang toraks, termasuk diafragma, liver, lien, gaster
dan kolon transversum. Area ini disebut juga torakoabdominal. Sedangkan
rongga peritoneal bawah berisi usus halus, sebagian kolon ascenden dan
descenden, kolon sigmoid, caecum dan organ reproduksi wanita.
2. Rongga retroperitoneum
Terdapat di abdomen bagian belakang, berisi aorta abdominalis, vena cava
inferior, sebagian besar duodeum, pankreas, ginjal, dan ureter,
3. Rongga pelvis
Dikelilingi oleh tulang pelvis dan berisi rektum, kandung kemih,
pembuluh darah iliaca dan organ reproduksi interna wanita

12
D. PENYEMBUHAN LUKA
Secara umum, penyembuhan luka terbagi dalam tiga fase yaitu: 9
1. Fase Inflamasi
Fase inflamasi berlangsung sejak terjadinya luka sampai kira-kira hari
kelima. Pembuluh darah yang terputus pada luka akan mneyebabkan
perdarahan dan tubuh berusaha menghentikannya dengan vasokonstriksi,
pengerutan ujung pembuluh darah yang terputus (retraksi), dan reaksi
hemostatis. Hemostatis terjadi karena trombosit yang keluar dari
pembuluh darah saling melekat dan bersama jala fibrin yang terbentuk,
membekukan darah yang keluar dari pembuluh darah. Trombosit yang
berdekatan akan berdegranulasi, melepaskan kemoatraktan yang menarik
sel radang, meleaskan fibroblast lokal dan sel endotel serta vasokontriktor.
Sementara itu, terjadi reaksi inflamasi.
Setelah hemostatis, proses koagulasi akan mengaktifkan kaskade
komplemen. Dari kaskade ini akan dikeluarkan bradikinin dan
anafilatoksin C3a dan C5a yang menyebabkan vasodilatasi dan
permeabilitas vaskular meningkat sehingga terjadi eksudasi, penyebukan
sel radang, dosertai vasodilatasi setempat yang menyebabkan udem dan
pembengkakan. Tanda dan gejala klinis reaksi radang menjelas, berupa
warna kemerahan karena kapiler melebar (rubor), rasa hangat (kalor),
nyeri (dolor), dan pembengkakan (tumor).
Aktivitas selular yang terjadi yaitu pergerakan leukosit menembus
dinding pembuluh darah (diapedesis) menuju luka karena daya
kemotaksis. Leukosit mengeluarkan enzim hidrolitik yang membantu
mencerna bakteri dan kotoran luka. Monosit dan limfosit yang kemudian
muncul, ikut menghancurkan dan memakan kotoran luka dan bakteri
(fagositosis). Fase ini disebut juga dengan fase lamban karena reaksi
pembentukan kolagen masih sedikit, dan luka hanya dipertautkan oleh
fibrin yang sangat lemah. Monosit yang berubah menjadi makrifag ini juga
mensekresikan bermacam-macam sitokin dan growth factors yang
dibutuhkan dalam proses penyembuhan luka.

13
2. Fase Proliferasi
Fase ini disebut juga dengan fase fibroplasia karena yang menonjol
adalah proses proliferasi fibroblast. Fase ini berlangsung dari akhir fase
inflamasi sampai kira – kra akhir minggu ketiga, fibroblast berasal dari sel
mesenkim yang belum berdiferensiasi, menghasilkan mukopolisakarida,
asam amino glisin, dan prolin yang merupakan bahan dasar kolagen serat
yang akan mempertautakan tepi luka.
Pada fase ini, serat kolagen dibentuk dan dihancurkan kembali untuk
menyesuaikan dengan tegangan pada luka yang cenderung mengerut. Sifat
ini bersama dengan sifat kontraktil miofibroblast, menyebabkan tarikan
pada tepi luka. Pada akhir fase ini, kekuatan regangan luka mencapai 25%
jaringan normal. Nantinya dalam proses remodeling, kekuatan serat
kolagen bertambah karena ikatan intramolekul dan antarmolekul menguat.
Pada fase fibroplasia ini, luka dipenuhi oleh sel radang, fobroblas, dan
kolagen serta pembentukan pembuluh darah baru (angiogenesis),
membentuk jaringan berwarna merah dengan permukaan berbenjol –
benjol yang disebut denga jaringan granulasi. Epitel tepi luka yang terdiri
atas sel basal terlepas dari dasarnya dan berpindah mengisi permukaan
luka. Tempatnya kemudian diiisi oleh sel baru yang terbentuk dari proses
mitosis. Proses migrsi hanya terjadi pada orang yang lebih rendah atau
datar. Proses ini baru berhenti setelah epitel saling menyentuh dan
menutup seluruh permukaan luka, proses fibroplasia dengan pembentukan
jaringan granulasi juga akan berhenti dan mulailah proses pematangan
dalam fase remodelling.
3. Fase Remodelling
Pada fase ini terjadi proses pematangan yang terdiri dari penyerapan
kembali jaringan yang berlebih, pengerutan yang sesuai dengan gaya
gravitasi, dan akhirnya perupaan ulang jaringan baru. Fase ini dapat
brlangsung berbulan – bulan dan dinyatakan berakhir jika seluruh tanda
radang telah hilang. Tubuh berusaha menormalkan kembali semuaa yang
menjadi abnormal karena proses penyembuhan. Udem dan sel radang

14
diserap, sel muda menjadi matang, kapoler baru menutup dan diserap
kembali, kolagen yang berlebih dan sisanya mengerut sesuai dengan
besarnya regangan. Selama proses ini berlangsung, dihasilkan jaringan
parut yang pucat, tipis, dan lentur serta mudah digerakkan

E. MANIFESTASI KLINIK
Jika terjadi trauma penetrasi atau non-penetrasi kemungkinan akan
terjadi pendarahan intra abdomen yang serius, pasien akan memperlihatkan
tanda-tanda iritasi yang disertai penurunan hitung sel darah merah yang
akhirnya gambaran klasik syok hemoragik. Bila suatu organ viseral
mengalami perforasi, maka tanda-tanda perforasi, tanda-tanda iritasi
peritonium cepat tampak. Tanda-tanda dalam trauma abdomen tersebut
meliputi nyeri tekan, nyeri spontan, nyeri lepas dan distensi abdomen tanpa
bising usus bila telah terjadi peritonitis umum. Bila syok telah lanjut pasien
akan mengalami takikardi dan peningkatan suhu tubuh, juga terdapat
leukositosis. Biasanya tanda-tanda peritonitis mungkin belum tampak. Pada
fase awal perforasi kecil hanya tanda-tanda tidak khas yang muncul.9-11
Trauma tajam atau tusukan benda tajam memberi jejas pada kutis dan
subkutis, bila lebih dalam akan melibatkan otot abdomen, dan tusukan lebih
dalam akan menembus peritoneum dan mampu mencederai organ
intraperitoneal atau mungkin langsung mencederai organ retroperitoneal bila
trauma berasal dari arah belakang. Sangat jarang ditemui trauma tajam yang
menembus dari muka sampai belakang dinding abdomen atau sebaliknya.
Trauma tajam dinding abdomen akan menimbulkan perdarahan in situ, bila
trauma menembus peritoneum, mungkin terdapat polas omentum. Trauma
tajam dapat dengan mudah mencederai hepar, mesenterium dan mesokolon,
gaster, pancreas atau buli-buli, namun karena sifat mobilitasnya, jarang
mencederai usus halus, kolon, limpa dan ginjal. 9-11
Akibat dari trauma tajam pada umumnya adalah perdarahan yang
terpantau, atau bila yang terkena cedera adalah gaster, akan didapati

15
penyebaran asam lambung dalam rongga peritoneum, yang akan memberi
perangsangan yang cukup hebat, berupa tanda-tanda peritonitis.9-11
F. TATALAKSANA AWAL
Berdasarkan protokol Advance Trauma Life Support (ATLS), evaluasi awal
meliputi 3 komponen:10
1. Penilaian cepat: fase ini harus mengambil waktu beberapa detik saja dan
harus dapat menentukan apakah pasien stabil, tidak stabil, meninggal
dunia atau kritis
2. Survei primer: evaluasi yang lebih detail dalam hal fungsi fisiologis yang
penting untuk kehidupan, meliputi jalan napas, pernapasan dan sirkulasi.
Jika terdapat gangguan dari ketiga fungsi ini maka tindakan penanganan
harus dilajukan segera. Penilaian disabilitas yang difokuskan untuk
pemeriksaan neurologis juga dilakukan pada fase ini
3. Survei sekunder: evaluasi yang detail dan sistemik dari setiap regio
anatomi.
Untuk tindakah awal akan dilakukan survei primer yang meliputi: 10
a. Airway
Airway harus dijaga dengan baik pada semua pasien trauma abdomen.
Periksa tanda-tanda gangguan airway, berupa suara napas tambahan yaitu
stridor, snoring, gargling. Jika terdapat snoring maka dipasang
orofaringeal tube atau menggunakan triple airway manuvers.
b. Breathing
Dengan menilai derajat pernapasan pasien berdasarkan frekuensi dan
kedalaman pernapasan atau adanya retraksi otot pernapasan. Jika terdapat
gangguan pada bagian ini maka dapat diberikan oksigen
c. Circulation
Resusitasi cairan bertujuan untuk memperbaiki sirkulasi pasien. hal ini
dapat dinilai melalui pengukuran tekanan darah, warna kulit, suhu akral
dan nadi. Pada pasien dengan trauma abdomen penetrasi, resusitasi segera
dimulai setelah pasien tiba. Pasien dapat diberikan cairan kristaloid berupa
RL dan NaCL.

16
d. Disability
Dilakukan evaluasi terhadap keadaan neurologis secara cepat yang dinilai
menggunakan GCS
e. Exposure
Pada pasien trauma dilakukan pengukuran suhu tubuh dan mencari ada
tidaknya cedera lain yang dapat memperberat morbiditas pasien
Bila pasien datang dengan keadaan hemodinamik stabil atau stabil
setelah resusitasi, maka dilakukan survei sekunder dan pemeriksaan penunjang
yang diperlukan untuk menegakkan diagnosis dan pengobatan. Pada survei
primer ini dilakukan anamnesis untuk mengetahui mekanisme trauma dan
dilakukan pemeriksaan fisik untuk mengidentifikasi cedera pada abdomen
maupun pada daerah lain.
1. Anamnesis
Pada pasien dengan luka tusuk, perlu ditanyakan mengenai waktu
terjadinya trauma, jenis senjata, mekanisme terjadinya luka, jumlah luka
dan jumlah perdarahan. Bila memungkinkan, perlu ditanyakan mengenai
nyeri pada daerah abdomen dan ada tidaknya nyeri alih. 12
2. Pemeriksaan fisik
a. Inspeksi
Umumnya pasien harus diperiksa tanpa pakaian. Pada luka tusuk perlu
dilihat apakah ada benda asing yang menancap, ukuran luka, laserasi,
eviserasi dan perdarahan aktif.10,12
2. Auskultasi
Auskultasi perlu diperiksa untuk mendengar adanya bising usus atau
tidak. Pada perdarahan retroperitoneum ataupun gastrointestinal dapat
mengikabatkan hilangnya bising usus. Pada luka tusuk dengan
eviserasi usus, tidak perlu untuk mencari bising usus. 10,12
3. Perkusi
Bila terdapat perdarahan intraabdomen, maka pada perkusi akan
terdengar pekak dan adanya undulasi. Bila terdapat udara bebas, maka

17
pada perkusi akan terdengar timpani dan mungkin menyebabkan pekak
hati menghilang10,12
4. Palpasi
Pada palpasi akan dijumpai nyeri pada perut. Bila terdapat cairan bebas
di peritoneum maka akan ditemukan undulasi.10,12
G. TATALAKSANA LUKA TUSUK ABDOMEN

Gambar 1. Algoritme tatalaksana luka tusuk berdasarkan Western Trauma


Association.

18
Tatalaksana luka tusuk abdomen anterior telah banyak berkembang
dalam dua dekade terakhir dari laparotomi wajib ke pendekatan selektif
(konservatif). Mengingat, sebagian besar pasien luka tusuk abdomen
memiliki tanda vital normal, tanpa gejala dan pemeriksaan abdomen yang
normal saat di rujuk ke RS pusat trauma. Hal ini dapat menurunkan insidens
dilakukannya operasi yang tidak perlu (laparotomi negatif), morbiditas pasca
operasi, lama perawatan di RS serta biaya rumah sakit. Tatalaksana pada
pasien luka tusuk tergantung pada kondisi klinis pasien. Jika terdapat
hemodinamik tidak stabil, eviserasi, tanda-tanda peritonitis, maka ini adalah
indikasi absolut dilakukan laparotomi. Dan jika pasien dalam keadaan stabil,
tanpa gejala dan tanda vital normal maka dapat dilakukan pendekatan selektif.
Berdasarkan algoritme Western Trauma Associated terdapat 3 jalur klinis
pada pasien luka tusuk perut depan dengan tanda vital normal dan tanpa
gejala sebelum dilakukan laparatomi yaitu:13-16

1. Local Wound Exploration (Eksplorasi Luka)


Eksplorasi luka merupakan salah satu perkembangan terbaru yang paling
awal dilakukan dalam evaluasi luka tusuk perut depan yang membantu
mengurangi insidensi laparatomi yang tidak diperlukan pada pasien.
Eksplorasi luka ini dilakukan untuk menilai apakah luka menembus fasia
anterior atau tidak. Jika terdapat penetrasi fasia, maka hal ini
menunjukkan kemungkinan terjadi penetrasi ke peritoneum dan dapat
menjadi indikasi untuk dilakukan laparatomi eksplorasi. Ada 2 hal
penting yang perlu diperhatikan pada eksplorasi luka: (1) jika LWE
negatif maka pasien akan dirawat luka dan dipulangkan, dan (2) jika LWE
positif, maka tidak boleh dianggap sebagai indikasi laparatomi, pasien
harus diperiksa dengan jalur klinis 2 atau 3 sebelum dilakukan laparatomi.
LWE tidak dapat dilakukan pada pasien dengan
2. Pemeriksaan Klinis Serial
Diantara perkembangan penting dalam tatalaksana seluruh trauma
abdomen selama beberapa dekade terakhir adalah perubahan dari

19
laparatomi eksplorasi ke pendekatan yang sangat selektif untuk intervensi
operasi. Dasar dari manajemen non operatif selektif adalah pemeriksaan
klinis serial yang cermat dan teliti. Pada pemeriksaan ini dilakukan
pemeriksaan serial abdomen, pemantauan tanda-tanda vital dan penilaian
laboratorium yang bertujuan untuk mengidentifikasi tanda – tanda
perdarahan akut dan kronik, peritonitis atau cedera organ lainnya.
Pemeriksaan klinis serial ini dapat dilakukan pada setiap pasien dengan
luka tusuk abdomen dan tidak ada indikasi untuk dilakukan laparatomi
segera atau untuk pasien dengan LWE positif namun tidak ada indikasi
untuk segera dilakukan operasi.
3. Pencitraan Diagnostik
Pada pencitraan diagnosis, pasien akan melakukan pemeriksaan CT Scan
abdomen dengan resolusi tinggi (ketebalan 3mm atau lebih tipis) untuk
melihat tanda-tanda trauma. Jika terdapat tanda primer maka harus segera
dilakukan operasi sedangkan jika didapatkan tanda sekunder maka dapat
dilakuka pemeriksaan klinis serial terlebih dahulu. Jika CT scan negetif
maka pasien dapat dilakukan rawat luka dan dipulangkan. Jika CT Scan
positif yaitu ditemukan adanya cedera pada organ maka pasien harus
segera dirawat dan diobservasi tanpa melihat ukuran luka.

Pasien dengan luka tusuk diberikan antibiotik profilaksis untuk


menurunkan risiko terjadinya komplikasi septik seperti septikemia, abses
intrabdominal dan infeksi luka. Antibiotik yang diberikan berupa antibiotik
spektrum luas dengan dosis tunggal dan harus diberikan sebelum operasi pada
semua pasien yang mengalami luka tusuk abdomen. Antibiotik profilasksis
tidak boleh diberikan lebih dari 24 jam jika terjadi cedera viskus setelah
trauma tumpul ataupun trauma tembus abdomen. Selain itu, pasien dengan
cedera pada organ tidak memerlukan pemberian antibiotik pasca operasi
setelah pasien mencapai hemostasis dan berhasilnya rekonstruksi saluran
cerna. Jika terjadi indeksi atau peritoiti selama operasi maka perlu diberikan
antibiotik terapeutik untuk menatasi infeksi intraabdomen. 17,18

20
Pada pasien luka tusuk juga diberikan profilaksis tetanus. Pemberian
profilaksis tetanus ditentukan berdasarkan riwayat imunisasi sebelumnya dan
klasifikasi luka (risiko rendah atau risiko tinggi). Dikatakan tidak diimunisasi
jika pasien mendapatkan profilaksis tetanus kurang dari 3 dosis atau tidak
diketahui dan dikatakan diimunisasi jika pasien telah mendapatkan lebih dari
3 dosis vaksisn tetanus. Luka dikatakan risiko rendah jika lukanya bersih dan
kecil. Dikatakan risiko tinggi jika lukanya kotor, luka rusuk, avulsi, luka
tembak, luka bakar, gigitan hewan atau manusia dan radang dingin. 19,20

Gambar 2. Algoritme profilaksis tetanus dalam manajemen luka 19

Pada pasien dengan risiko rendah dan tidak diimunisasi maka


diindikasikan untuk pemberian profilaksis tetanus. Dan jika pasien tidak
diimunisasi dan risiko tingi maka diindikasikan pemberian vaksin da human
tetanus immune globulin (HTIG). Pada pasien diimunisasi dan berisiko
rendah, vaksin tetanus diindikasikan jika dosis terakhir diberikan lebih dari 10
tahun yang lalu. Dan jika berisiko tinggi maka vaksin diindikasikan jika
booster terakhir diberikan lebih dari 5 tahun yang lalu. 19,20

Profilaksis harus diberikan sesegera mungkin setelah terjadinya luka


atau cedera dan pada luka yang onsetnya lama mengingat masa inkubasi
tetanus yang panjang dan bervariasi. HTIG dapat diberikan hingga 21 hari
pada pasien dengan riwayat imunisasi negatif jika diindikasikan. Profilaksus

21
tetanus harus digunakan bersamaan dengan pembersihan dan debridement
luka serta segera dilakukan pembedahan jika terdapat indikasi. 19,20

22
BAB III

ANALISIS KASUS

KASUS TEORI
Pasien datang ke IGD RSU Luka tusuk atau vulnus ictum merupakan luka yang
Bahteramas pukul 02:00 disebabkan oleh trauma akibat tertusuk benda tajam
pagi dengan keluhan luka dengan arah kurang lebih tegak lurus terhadap
tusuk pada perut setelah kulit.
jatuh di kamar mandi pada Jika terjadi trauma penetrasi atau non-penetrasi
jam 00:10. Keluhan lain kemungkinan akan terjadi pendarahan intra
demam, sakit kepala, abdomen yang serius, pasien akan memperlihatkan
pusing, batuk, mual dan tanda-tanda iritasi yang disertai penurunan hitung
muntah disangkal. BAB dan sel darah merah yang akhirnya gambaran klasik
BAK dalam batas normal. syok hemoragik. Bila suatu organ viseral
Riwayat pengobatan (+) mengalami perforasi, maka tanda-tanda perforasi,
sebelumnya pasien dibawa tanda-tanda iritasi peritonium cepat tampak. Tanda-
ke RS Tiara Sentosa dan tanda dalam trauma abdomen tersebut meliputi
RSUD Kota Kendari nyeri tekan, nyeri spontan, nyeri lepas dan distensi
kemudian di rujuk ke RSU abdomen tanpa bising usus bila telah terjadi
Bahteramas. Riwayat alergi peritonitis umum. Bila syok telah lanjut pasien
makanan dan obat-obat akan mengalami takikardi dan peningkatan suhu
tubuh, juga terdapat leukositosis. Biasanya tanda-
tanda peritonitis mungkin belum tampak. Pada fase
awal perforasi kecil hanya tanda-tanda tidak khas
yang muncul.
Pemeriksaan fisik Tatalaksana luka tusuk abdomen anterior telah
didapatkan tanda vital dan banyak berkembang dalam dua dekade terakhir dari
status generalis dalam batas laparotomi wajib ke pendekatan selektif
normal. Status lokalis regio (konservatif). Mengingat, sebagian besar pasien
iliaca dextra tampak luka tusuk abdomen memiliki tanda vital normal,
vulnus ictum dengan jarum tanpa gejala dan pemeriksaan abdomen yang

23
tertancam pada perut. Nyeri normal saat di rujuk ke RS pusat trauma. Hal ini
tekan (+), hipoesthesia (-). dapat menurunkan insidens dilakukannya operasi
Hasil pemeriksaan yang tidak perlu (laparotomi negatif), morbiditas
laboratorium pasien dalam pasca operasi, lama perawatan di RS serta biaya
batas normal. Pasien rumah sakit. Tatalaksana pada pasien luka tusuk
dikonsul ke dokter spesialis tergantung pada kondisi klinis pasien. Jika terdapat
bedah umum dan hemodinamik tidak stabil (syok), eviserasi, tanda-
direncanakan tindakan tanda peritonitis, maka ini adalah indikasi absolut
eksplorasi luka k/p dilakukan laparotomi. Dan jika pasien dalam
laparotomi eksplorasi keadaan stabil, tanpa gejala dan tanda vital normal
maka dapat dilakukan pendekatan selektif.
Berdasarkan algoritme Western Trauma Associated
terdapat 3 jalur klinis pada pasien luka tusuk perut
depan dengan tanda vital normal dan tanpa gejala
sebelum dilakukan laparatomi yaitu LWE,
Pemeriksaan klinis serial dan pencitraan diagnostik
a. IVFD RL 20 tpm Pasien dengan luka tusuk diberikan antibiotik
b. Ceftriaxon 1 gr/12 j/IV profilaksis untuk menurunkan risiko terjadinya
c. Ranitidine 50 mg/12j/IV komplikasi septik seperti septikemia, abses
d. Ketorolac 30 mg/8j/IV intrabdominal dan infeksi luka. Antibiotik yang
e. Tetagam 1 amp/IM diberikan berupa antibiotik spektrum luas dengan
dosis tunggal dan harus diberikan sebelum operasi
pada semua pasien yang mengalami luka tusuk
abdomen.
Pada pasien luka tusuk juga diberikan profilaksis
tetanus. Pemberian profilaksis tetanus ditentukan
berdasarkan riwayat imunisasi sebelumnya dan
klasifikasi luka (risiko rendah atau risiko tinggi).
Dikatakan tidak diimunisasi jika pasien
mendapatkan profilaksis tetanus kurang dari 3 dosis
atau tidak diketahui dan dikatakan diimunisasi jika

24
pasien telah mendapatkan lebih dari 3 dosis vaksisn
tetanus. Luka dikatakan risiko rendah jika lukanya
bersih dan kecil. Dikatakan risiko tinggi jika
lukanya kotor, luka rusuk, avulsi, luka tembak, lka
bakar, gigita hewan atau manusia dan radang
dingin.18,19
Pada pasien dengan risiko rendah dan tidak
diimunisasi maka diindikasikan untuk pemberian
profilaksis tetanus. Dan jika pasien tidak
diimunisasi dan risiko tingi maka diindikasikan
pemberian vaksin da human tetanus immune
globulin (HTIG). Pada pasien diimunisasi dan
berisiko rendah, vaksin tetanus diindikasikan jika
dosis terakhir diberikan lebih dari 10 tahun yang
lalu. Dan jika berisiko tinggi maka vaksin
diindikasikan jika booster terakhir diberikan lebih
dari 5 tahun yang lalu.
Profilaksis harus diberikan sesegera mungkin
setelah terjadinya luka atau cedera dan pada luka
yang onsetnya lama mengingat masa inkubasi
tetanus yang panjang dan bervariasi. HTIG dapat
diberikan hingga 21 hari pada pasien dengan
riwayat imunisasi negatif jika diindikasikan.
Profilaksus tetanus harus digunakan bersamaan
dengan pembersihan dan debridement luka serta
segera dilakukan pembedahan jika terdapat
indikasi.
Pada saat dilakukan Berdasarkan algoritme Western Trauma
eksplorasi luka didapatkan Association, eksplorasi luka merupakan salah satu
luka tidak mencapai fascia perkembangan terbaru yang paling awal dilakukan
anterior sehingga tidak dalam evaluasi luka tusuk perut depan yang

25
dilakukan laparotomi membantu mengurangi insidensi laparatomi yang
eksplorasi tidak diperlukan pada pasien. Eksplorasi luka ini
dilakukan untuk menilai apakah luka menembus
fasia anterior atau tidak. Jika terdapat penetrasi
fasia, maka hal ini menunjukkan kemungkinan
terjadi penetrasi ke peritoneum dan dapat menjadi
indikasi untuk dilakukan laparatomi eksplorasi.
Ada 2 hal penting yang perlu diperhatikan pada
eksplorasi luka: (1) jika LWE negatif maka pasien
akan dirawat luka dan dipulangkan, dan (2) jika
LWE positif, maka tidak boleh dianggap sebagai
indikasi laparatomi, pasien harus diperiksa dengan
jalur klinis 2 atau 3 sebelum dilakukan laparatomi.

26
BAB IV

KESIMPULAN

Pada laporan kasus ini, berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang, ditegakkan diagnosis kerja pasien ini yaitu vulnus ictum
abdomen anterior. Pasien diberi tatalaksana farmakologi berupa antibiotik untuk
mencegah terjadinya infeksi, ketorolac, ranitidine dan vaksin tetanus. Setelah itu
dilakukan rencana tindakan operasi eksplorasi luka, jika diperlukan dilakukan
laparatomi eksplorasi bila ditemukan luka melewati fasia dan terjadi trauma pada
organ intraperitoneal. Saat intraoperatif, luka pasien tidak menembus fasia
anterior abdomen sehingga hanya dilakukan tindakan eksplorasi luka. Setelah
operasi pasien hanya dilakukan evaluasi luka selama 1 hari dan pasien diijinkan
rawat jalan.

27
DAFTAR PUSTAKA

1. Purnama, H., Sriwidodo, S., & Mita, S. R. (2017). Proses Penyembuhan dan
Perawatan Luka: Review Sistematik. Farmaka, 15(2), 251-258.
2. Putri, YD. (2020). Intensitas nyeri vulnus punctum serta pengobatan analgetik
di RS Bhayangkara Kota Makassar. Skripsi. FK UNHAS, 11.
3. Bieler, D., Kollig, E., Hackenberg, L., Rathjen, J. H., Lefering, R., & Franke,
A. (2021). Penetrating injuries in Germany–epidemiology, management and
outcome an analysis based on the TraumaRegister DGU®. Scandinavian
journal of trauma, resuscitation and emergency medicine, 29(1), 1-14.
4. El-Abdellati, E., Messaoudi, N., & Van Hee, R. (2011). Assault induced stab
injuries: epidemiology and actual treatment strategy. Acta Chirurgica Belgica,
111(3), 146-154.
5. Günther, M., Dahlberg, M., Rostami, A., Arborelius, U., Linder, F., &
Rostami, E. (2021). Incidence, demographics, and outcomes of penetrating
trauma in Sweden during the past decade. Frontiers in Neurology, 1986.
6. Alenazi, A. K., Almutairi, N. A., Alhuzaimi, Y. K., Altamimi, S. S., Alayed,
Y. S., & Alanazi, Z. G. (2019). The nature and severity of stab wounds at
tertiary care hospitals in Kingdom of Saudi Arabia. The Pan African Medical
Journal, 34.
7. Leow, J. J., Lingam, P., Lim, V. W., Go, K. T., Chiu, M. T., & Teo, L. T.
(2016). A review of stab wound injuries at a tertiary trauma centre in
Singapore: are self-inflicted ones less severe?. Singapore medical journal,
57(1), 13.
8. Rosidah, S. (2019). Anatomi abdomen. FK UNDIP.
9. Sjamsuhidajat, R., De Jong. (2013). Buku ajar ilmu bedah. Ed 3. 95-96.
10. American College of Surgeons. 2004. Advanced Trauma Life Support For
Doctors. 7th ed. IKABI
11. King M., Bewes P. 2008. Bedah Primer Trauma. Jakarta : EGC.
12. Ahmadsyah, I. Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah. Jakarta: Binarupa Aksara
Publisher, 2009, Bab 2; Digestive.

28
13. Martin, M. J., Brown, C. V., Shatz, D. V., Alam, H. B., Brasel, K. J., Hauser,
C. J., ... & Inaba, K. (2018). Evaluation and management of abdominal stab
wounds: A Western Trauma Association critical decisions algorithm. Journal
of Trauma and Acute Care Surgery, 85(5), 1007-1015.
14. Loulah, M. A., Mostafa, A. F., El-Balky, O. S., & El, A. R. M. M. M. (2019).
Conservative management of penetrating abdominal trauma (stab wound).
International Surgery Journal, 6(8), 2686-2691.
15. Biffl, W. L., & Leppaniemi, A. (2015). Management guidelines for
penetrating abdominal trauma. World journal of surgery, 39(6), 1373-1380.
16. Sanei, B., Mahmoudieh, M., Talebzadeh, H., Shahabi Shahmiri, S., & Aghaei,
Z. (2013). Do patients with penetrating abdominal stab wounds require
laparotomy?. Archives of trauma research, 2(1), 21–25.
https://doi.org/10.5812/atr.6617
17. Yuan, K. C., & Huang, H. C. (2017). Antimicrobial prophylaxis in patients
with major trauma. Current Trauma Reports, 3(4), 292-299.
18. Brand, M., & Grieve, A. (2019). Prophylactic antibiotics for penetrating
abdominal trauma. Cochrane Database of Systematic Reviews, (12).
19. Summary Guide to Tetanus Prophylaxis in Routine Wound Management-
Minnesota Dept. of Health. 2007.
20. Callison, C., & Nguyen, H. (2021). Tetanus Prophylaxis. In StatPearls
[Internet]. StatPearls Publishing.

29

Anda mungkin juga menyukai