PEMBIMBING
PENYUSUN :
Bima Aji Lazuardi 20200420039
Bimo Saefulloh Fattah 20200420040
1
LEMBAR PENGESAHAN
Laporan Kasus Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher
dengan Judul :
Surabaya
Mengetahui,
Dokter Pembimbing
2
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN 2
DAFTAR ISI 3
I.2 Anamnesa 4
I.5 Diagnosis 7
I.7 Tatalaksana 7
I.8 Resume 7
2.1 Anatomi 8
2.2 Definisi 8
2.3 Epidemiologi 8
2.5 Klasifikasi 10
2.6 Patofisiologi 10
2.8 Diagnosis 11
2.9 Tatalaksana 12
2.10 Komplikasi 12
2.11 Prognosis 13
DAFTAR PUSTAKA 14
3
BAB I
LAPORAN KASUS
I.2 Anamnesa
● Keluhan Utama
Pasien datang dengan keluhan hidung tersumbat sejak 3 minggu yang lalu
DM(-), HT (-), Asma (-) dan tidak pernah mengalami keluhan seperti ini
sebelumnya
4
● Riwayat Alergi
Pasien mengaku memiliki alergi dingin. Alergi makanan dan alergi obat-
obatan disangkal
● Riwayat Psikososial
5
• Akral hangat, kering, merah pada keempat ekstremitas. Edema -. CRT
<2 detik.
Auris eksternus D: Bentuk dan warna dalam batas normal
S: Bentuk dan warna dalam batas normal
MAE D: Lapang, serumen minimal, permukaan kulit dalam batas
normal, warna dalam batas normal
S: Lapang, serumen minimal, permukaan kulit dalam batas
normal, warna dalam batas normal
Hidung
Cavum nasi Dextra: Konka nasi inferior edema dan hiperemi, konka nasi
medius hiperemi, meatus nasi inferior menyempit, terdapat sekret,
meatus nasi media dalam batas normal.
6
Fenomena positif
palatum molle
Tenggorok
Uvula : di tengah
Tonsil : T1/T1
7
I.5 Resume
NY. SA usia 58 tahun mengeluh hidung tersumbat sejak 2 minggu yang
lalu. Selain itu pasien mengeluhkan nyeri pada pipi, tidak ada keluhan pada
telinga dan tenggorok. Keluhan ini dirasakan semakin memberat 5 hari terakir dan
penciuman menurun. Riwayat keluar lendir kental berwarna kehijauan. Pasien
mengaku sering bersin pada pagi hari terutama saat dingin semenjak 6 bulan yang
lalu. Riwayat penggunaan obat paracetamol dan dekongestan.
Status lokalis THT : hidung terdapat hiperemi dan oedem pada konka
posterior dextra dan sinistra serta pada meatus didapatkan sekret mukopurulen.
Nyeri tekan pada sinus maksilaris.
I.6 Diagnosis
Rhinosinusitis Bakterial Akut
Rhinitis Vasomotor
I.8 Tatalaksana
Medikamentosa
Non Medikamentosa
8
• Minum air putih yang cukup
I.9 Edukasi
Promosi hand hygiene
Pemberian vaksinasi influenza ataupun vaksinasi 7-valent pneumococcal
Menghindari kontak dengan orang yang sedang batuk pilek
Hindari merokok atau paparan asap rokok
Mengenakan masker untuk menutupi hidung dan mulut saat berada di
lingkungan dengan polusi udara yang tinggi atau saat berkendara
Sebisa mungkin menghindari alergen
●
9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Sinus Maksila
Sinus maksila merupakan sinus paranasal yang terbesar. Saat lahir sinus
maksila bervolume 6-8 ml, sinus kemudian berkembang dengan cepat dan
akhirnya mencapai ukuran maksimal, yaitu 15 ml saat dewasa.
10
Sinus maksila berbentuk segitiga. Dinding anterior sinus ialah
permukaan fasial os maksila yang disebut fosa kanina, dinding posteriornya
adalah permukaan infra temporal maksila, dinding medialnya ialah dinding
lateral rongga hidung, dinding superiornya adalah dasar orbita dan dinding
inferior ialah prosesus alveolaris dan palatum. Ostium sinus maksila berada
di sebelah superior dinding medial sinus dan bermuara ke hiatus semilunaris
melalui infindibulum etmoid. Dari segi klinik yang perlu diperhatikan dari
anatomi sinus maksila adalah:
a) Dasar dari anatomi sinus maksila sangat berdekatan dengan akar gigi
rahang atas, yaitu premolar (P1 dan P2), molar (M1 dan M2), kadang-
kadang juga gigi taring (C) dan gigi molar M3, bahkan akar-akar gigi
tersebut dapat menonjol ke dalam sinus, sehingga infeksi gigi geligi
mudah naik ke atas menyebabkan sinusitis.
c) Ostium sinus maksila terletak lebih tinggi dari dasar sinus, sehingga
drainase kurang baik, lagipula drainase juga harus melalui infundibulum
yang sempit. Infundibulum adalah bagian dari sinus etmoid anterior dan
pembengkakan akibat radang atau alergi pada daerah ini dapat
menghalangi drenase sinus maksila dan selanjutnya menyebabkan sinusitus.
(Endang, 2012)
Sinus Frontal
Sinus frontal kanan dan kiri biasanya tidak simetris, satu lebih besar
dari pada lainnya dan dipisahkan oleh sekat yang terletak di garis tengah.
Kurang lebih 15% orang dewasa hanya mempunyai satu sinus frontal dan
kurang lebih 5% sinus frontalnya tidak berkembang. (Endang, 2012)
11
Ukurannya sinus frontal adalah 2.8 cm tingginya, lebarnya 2.4 cm dan
dalamnya 2 cm. Sinus frontal biasanya bersekat-sekat dan tepi sinus berleku-
lekuk. Tidak adanya gambaran septum-septum atau lekuk-lekuk dinding sinus
pada foto Rontgen menunjukkan adanya infeksi sinus. Sinus frontal
dipisahkan oleh tulang yang relatif tipis dari orbita dan fosa serebri
anterior, sehingga infeksi dari sinus frontal mudah menjalar ke daerah ini.
Sinus frontal berdrainase melalui ostiumnya yang terletak di resesus frontal.
Resesus frontal adalah bagian dari sinus etmoid anterior. (Endang, 2012)
Sinus Etmoid
Dari semua sinus paranasal, sinus etmoid yang paling bervariasi dan akhir-
akhir ini dianggap paling penting, karena dapat merupakan fokus infeksi
bagi sinus-sinus lainnya. Pada orang dewasa bentuk sinus etomid seperti
piramid dengan dasarnya di bagian posterior. Ukurannya dari anterior ke
posterior 4-5 cm, tinggi 2.4 cmn dan lebarnya 0.5 cm di bagian anterior dan
1.5 cm di bagian posterior. (Endang, 2012)
12
maksila. Atap sinus etmoid yang disebut fovea etmoidalis berbatasan dengan
lamina kribosa. Dinding lateral sinus adalah lamina papirasea yang sangat tipis
dan membatasi sinus etmoid dari rongga orbita. Di bagian belakang sinus
etmoid posterior berbatasan dengan sinus sfenoid. (Endang, 2012)
Sinus Sfenoid
Kompleks Ostio-Meatal
Pada sepertiga tengah dinding lateral hidung yaitu di meatus medius, ada
muara-muara saluran dari sinus maksila, sinus frontal dan sinus etmoid
anterior. Daerah ini rumit dan sempit dan dinamakan kompleks ostio-meatal
(KOM), terdiri dari infundibulum etmoid yang terdapat di belakang prosesus
unsinatus, resesus frontalis, bula etmoid dan sel-sel etmoid anterior dengan
ostiumnya dan ostium sinus maksila. (Endang, 2012)
13
Sampai saat ini belum ada kesesuaian pendapat mengenai fisiologi
sinus paranasal. Ada yang berpendapat bahwa sinus paranasal ini tidak
mempunyai fungsi apa-apa, karena terbentuknya sebagai akibat pertumbuhan
tulang muka. Namun ada beberapa pendapat yang dicetuskan mengenail fungsi
sinus paranasal yakni :
14
Sinus mungkin berfungsi sebagai rongga untuk resonansi suara dan
mempengaruhi kualitas suara.Akan tetapi ada yang berpendapat, posisi sinus dan
ostiumnya tidak memungkinkan sinus berfungsi sebagai resonator yang
efektif.Lagipula tidak ada korelasi antara resonansi suara dan besarnya sinus
pada hewan-hewan tingkat rendah. (Endang, 2012)
Fungsi ini berjalan bila ada perubahan tekanan yang besar dan
mendadak misalnya pada waktu bersin atau membuang ingus. (Endang, 2012)
2.2 Definisi
Sinusitis didefinisikan sebagai inflamasi mukosa sinus paranasal.
Umumnya disertai atau dipicu oleh rinitis sehingga sering disebut
rhinosinusitis. Penyebab utamanya ialah selesma (common cold) yang merupakan
infeksi virus, yang selanjutnya dapat diikuti oleh infeksi bakteri. Sinusitis
dikarakteristikkan sebagai suatu peradangan pada sinus paranasal.
(Mangunkusumo, 2012)
Sinusitis diberi nama sesuai dengan sinus yang terkena. Bila mengenai
beberapa sinus disebut multisinusitis. Bila mengenai semua sinus paranasalis
disebut pansinusitis. Disekitar rongga hidung terdapat empat sinus yaitu sinus
maksilaris (terletak di pipi), sinus etmoidalis (kedua mata), sinus frontalis
(terletak di dahi) dan sinus sfenoidalis (terletak di belakang dahi).
(Mangunkusumo, 2012)
2.3 Epidemiologi
Rinosinusitis merupakan penyakit yang sering ditemukan, dengan
dampak signifikan pada kualitas hidup dan pengeluaran biaya kesehatan, dan
15
dampak ekonomi pada mereka yang produktivitas kerjanya menurun.
Diperkirakan setiap tahun 6 miliar dolar dihabiskan di Amerika Serikat untuk
pengobatan rhinosinusitis. Pada tahun 2007 di Amerika Serikat, dilaporkan
bahwa angka kejadian rhinosinusitis mencapai 26 juta individu. Di Indonesia
sendiri, data dari DEPKES RI tahun 2003 menyebutkan bahwa penyakit
hidung dan sinus berada pada urutan ke-25 dari 50 pola penyakit peringkat
utama atau sekitar 102.817 penderita rawat jalan di rumah sakit.
(Arivalagan, 2013)
Yang paling sering ditemukan adalah sinusitis maksila dan sinusitis
ethmoid, sedangkan sinusitis frontal dan sinusitis sfenoid lebih jarang
ditemukan. Pada anak hanya sinus maxilla dan sinus etmoid yang
berkembang sedangkan sinus frontal dan sinus sphenoid mulai berkembang pada
anak berusia kurang lebih 8 tahun. Sinusitis pada anak lebih banyak ditemukan
karena anak-anak mengalami infeksi saluran nafas atas 6 – 8 kali per tahun
dan diperkirakan 5%– 10% infeksi saluran nafas atas akan menimbulkan
sinusitis. (Arivalagan, 2013)
2.4 Etiologi dan Faktor Risiko
Beberapa faktor predisposisi terjadinya sinusitis antara lain ISPA
akibat virus, bermacam rinitis terutama rinitis alergi, rinitis hormonal pada
wanita hamil, polip hidung, kelainan anatomi seperti deviasi septum atau
hipertrofi konka, sumbatan kompleks ostio-meatal (KOM), infeksi tonsil, infeksi
gigi, kelainan imunologik, diskinesia silia seperti pada sindrom Kartagener, dan
di luar negeri adalah penyakit fibrosis kistik. (Arif, 2001)
Faktor predisposisi yang paling lazim adalah polip nasal yang
timbul pada rinitis alergika; polip dapat memenuhi rongga hidung dan
menyumbat sinus. Pada anak, hipertrofi adenoid merupakan faktor penting
penyebab sinusitis sehingga perlu dilakukan adenoidektomi untuk
menghilangkan sumbatan dan menyembuhkan rhinosinusitisnya. Hipertrofi
adenoid dapat didiagnosis dengan foto polos leher posisi lateral.
(Mangunkusumo, 2012)
16
Faktor lain yang juga berpengaruh adalah lingkungan berpolusi, udara
dingin dan kering serta kebiasaan merokok. Keadaaan ini lama-lama
menyebabkan perubahan mukosa dan merusak silia. (Mangunkusumo, 2012)
Berbagai faktor infeksius dan nonifeksius dapat memberikan
kontribusi dalam terjadinya obstruksi akut ostium sinus atau gangguan
pengeluaran cairan oleh silia, yang akhirnya menyebabkan sinusitis. Penyebab
nonifeksius antara lain adalah rinitis alergika, barotrauma, atau iritan kimia.
(Mangunkusumo, 2012)
Infeksi sinusitis akut dapat disebabkan berbagai organisme, termasuk
virus, bakteri, dan jamur. Virus yang sering ditemukan adalah
rhinovirus, virus parainfluenza, dan virus influenza. Bakteri yang sering
menyebabkan sinusitis adalah Streptococcus pneumoniae, Haemophilus
influenzae, dan Moraxella catarralis. Bakteri anaerob juga terkadang ditemukan
sebagai penyebab sinusitis maksilaris, terkait dengan infeksi pada gigi premolar.
Sedangkan jamur juga ditemukan sebagai penyebab sinusitis pada pasien dengan
gangguan sistem imun, yang menunjukkan infeksi invasif yang mengancam jiwa.
Jamur yang menyebabkan infeksi antara lain adalah dari spesies Rhizopus,
Rhizomucor, Mucor, Absidia, Cunninghamella, Aspergillus, dan Fusarium.
(Adams, 1994)
Penyebab sinusitis dibagi menjadi:
Rhinogenik
Segala sesuatu yang menyebabkan sumbatan pada hidung dapat
menyebabkan sinusitis. Contohnya rinitis akut, rinitis alergi, polip, deviasi
septum dan lain-lain. Alergi juga merupakan predisposisi infeksi sinus karena
terjadi edema mukosa dan hipersekresi. Mukosa sinus yang membengkak
menyebabkan infeksi lebih lanjut, yang selanjutnya menghancurkan epitel
permukaan, dan siklus seterusnya berulang. (Arif, 2001)
Sinusitis Dentogen
Merupakan penyebab paling sering terjadinya sinusitis kronik. Dasar sinus
maksila adala prosessus alveolaris tempat akar gigi, bahkan kadang-kadang
tulang tanpa pembatas. Infeksi gigi rahang atas seperti infeksi gigi apikal
17
akar gigi, atau inflamasi jaringan periondontal mudah menyebar secara
langsung ke sinus, atau melalui pembuluh darah dan limfe. (Arif, 2001)
Harus dicurigai adanya sinusitis dentogen pada sinusitis maksila
kronik yang mengenai satu sisi dengan ingus yang purulen dan napas
berbau busuk. Bakteri penyebabnya adalah Streptococcus pneumoniae,
Hemophilus influenza, Streptococcus viridans, Staphylococcus aureus,
Branchamella catarhalis dan lain-lain. (Arif, 2001)
Sinusitis Jamur
Sinusitis jamur adalah infeksi jamur pada sinus paranasal, suatu keadaan
yang jarang ditemukan.Angka kejadian meningkat dengan meningkatnya
pemakaian antibiotik, kortikosteroid, obat-obat imunosupresan dan radioterapi.
Kondisi yang merupakan faktor predisposisi terjadinya sinusitis jamur antara
lain diabetes mellitus, neutopenia, penyakit AIDS dan perawatan yang lama
di rumah sakit. Jenis jamur yang sering menyebabkan infeksi sinus paranasal
ialah spesies Aspergillus dan Candida. (Arif, 2001)
2.5 Klasifikasi
Secara klinis sinusitis dapat dikategorikan sebagai sinusitis akut bila
gejalanya berlangsung kurang dari 12 minggu, sedangkan kronis berlangsung
lebih dari 12 minggu. Tetapi apabila dilihat dari gejala, maka sinusitis dianggap
sebagai sinusitis akut bila terdapat tanda-tanda radang akut. (EPOS, 2007)
Sinusitis kronis adalah suatu inflamasi mukosa hidung dan sinus paranasal
yang dapat ditegakkan berdasarkan riwayat gejala yang diderita sudah lebih dari
12 minggu, dan sesuai dengan 2 kriteria mayor atau 1 kriteria mayor ditambah 2
kriteria minor. (EPOS, 2007)
Berdasarkan beratnya penyakit, rinosinusitis dapat dibagi menjadi ringan,
sedang dan berat berdasarkan total skor visual analogue scale (VAS) (0-10) :
- Ringan = VAS 0-3
- Sedang = VAS >3-7
- Berat = VAS >7-10
Untuk menilai beratnya penyakit, pasien diminta untuk menentukan
dalam VAS jawaban dari pertanyaan: Berapa besar gangguan dari gejala
rinosinusitis saudara? (EPOS, 2007)
18
2.6 Patofisiologi
Dalam keadaan fisiologis, sinus adalah steril. Sinusitis dapat terjadi bila
klirens silier sekret sinus berkurang atau ostium sinus menjadi tersumbat, yang
menyebabkan retensi sekret, tekanan sinus negatif, dan berkurangnya tekanan
parsial oksigen. Lingkungan ini cocok untuk pertumbuhan organisme patogen.
Apabila terjadi infeksi karena virus, bakteri ataupun jamur pada sinus yang berisi
sekret ini, maka terjadilah sinusitis. (Mangunkusumo, 2012)
Pada dasarnya patofisiologi dari sinusitis dipengaruhi oleh 3 faktor yaitu
obstruksi drainase sinus (sinus ostium), kerusakan pada silia, serta kuantitas dan
kualitas mukosa. Sebagian besar episode sinusitis disebabkan oleh infeksi virus.
Virus tersebut sebagian besar menginfeksi saluran pernapasan atas seperti
Rhinovirus, Influenza A dan B, Parainfluenza, Respiratory syncytial virus,
Adenovirus dan Enterovirus. Sekitar 90 % pasien yang mengalami ISPA
memberikan bukti gambaran radiologis yang melibatkan sinus paranasal.
(Mangunkusumo, 2012)
Infeksi virus akan menyebabkan terjadinya edema pada dinding
hidung dan sinus sehingga menyebabkan terjadinya penyempitan atau obstruksi
pada ostium sinus, dan berpengaruh pada mekanisme drainase dalam sinus. Selain
itu inflamasi, polip, tumor, trauma, juga menyebabkan menurunya patensi ostium
sinus. Virus yang menginfeksi tersebut dapat memproduksi enzim dan
neuraminidase yang mengendurkan mukosa sinus dan mempercepat difusi virus
pada lapisan mukosilia. Hal ini menyebabkan silia menjadi kurang aktif dan sekret
yang diproduksi sinus menjadi lebih kental, yang merupakan media yang sangat
baik untuk berkembangnya bakteri patogen. (Mangunkusumo, 2012)
Silia yang kurang aktif fungsinya tersebut terganggu oleh terjadinya
akumulasi cairan pada sinus. Terganggunya fungsi silia tersebut dapat dipengaruhi
oleh beberapa faktor seperti kehilangan lapisan epitel bersilia, udara dingin, aliran
udara yang cepat, virus, bakteri, mediator inflamasi, kontak antara dua permukaan
mukosa, parut, atau primary cilliary dyskinesia (Sindrom Kartagener).
(Mangunkusumo, 2012)
Adanya bakteri dan lapisan mukosilia yang abnormal meningkatkan
kemungkinan terjadinya reinfeksi atau reinokulasi dari virus. Konsumsi
19
oksigen oleh bakteri akan menyebabkan keadaan hipoksia di dalam sinus
dan akan memberikan media yang menguntungkan untuk berkembangnya
bakteri anaerob. Penurunan jumlah oksigen juga akan mempengaruhi pergerakan
silia dan aktivitas leukosit. Sinusitis kronis dapat disebabkan oleh fungsi lapisan
mukosilia yang tidak adekuat, obstruksi sehingga drainase sekret terganggu, dan
terdapatnya beberapa bakteri patogen. (Mangunkusumo, 2012)
Antrum maksila mempunyai hubungan yang sangat dekat dengan akar gigi
pre molar dan molar atas. Hubungan ini dapat menimbulkan problem klinis seperti
infeksi yang berasal dari gigi dan fistula oroantral dapat naik ke atas dan
menimbulkan infeksi sinus. Sinusitis maksila diawali dengan sumbatan ostium
sinus akibat proses inflamasi pada mukosa rongga hidung. Proses inflamasi ini
akan menyebabkan gangguan drainase sinus. (Mangunkusumo, 2012)
Keterlibatan antrum unilateral seringkali merupakan indikasi dari
keterlibatan gigi sebagai penyebab. Bila hal ini terjadi maka organisme yang
bertanggung jawab kemungkinan adalah jenis gram negatif yang merupakan
organisme yang lebih banyak didapatkan pada infeksi gigi daripada bakteri gram
positif yang merupakan bakteri khas pada sinus.Penyakit gigi seperti abses apikal,
atau periodontal dapat menimbulkan gambaran histologi yang didominasi oleh
bakteri gram negatif, karenanya menimbulkan bau busuk. (Mangunkusumo, 2012)
Pada sinusitis yang dentogennya terkumpul kental akan memperberat atau
mengganggu drainase terlebih bila meatus medius tertutup oleh oedem atau pus
atau kelainan anatomi lain seperti deviasi, dan hipertropi konka. Akar gigi
premolar kedua dan molar pertama berhubungan dekat dengan lantai dari
sinus maksila dan pada sebagian individu berhubungan langsung dengan mukosa
sinus maksila. Sehingga penyebaran bakteri langsung dari akar gigi ke sinus dapat
terjadi. (Mangunkusumo, 2012)
2.7 Tanda dan Gejala
Keluhan utama rinosinusitis akut ialah hidung tersumbat disertai
dengan nyeri/rasa tekanan pada muka dan ingus purulen, yang seringkali
turun ke tenggorok (post nasal drip). Dapat disertai dengan gejala sistemik
seperti demam dan lesu. (Arif, 2001)
20
Keluhan nyeri atau rasa tekanan di daerah sinus yang terkena
merupakan ciri khas sinusitis akut, serta kadang-kadang nyeri juga terasa di
tempat lain (referred pain). nyeri pipi menandakan sinusitis maksila, nyeri
di antara atau di belakang kedua bola mata menandakan sinusitis etmoida,
nyeri di dahi atau kepala menandakan sinusitis frontal, dan nyeri di kepala
yang mengarah ke vertex cranium menandakan sinusitis sfenoid. Pada sinusitis
maksila kadang-kadang terdapat nyeri alih ke gigi dan telinga. (Arif, 2001)
Gejala lain adalah sakit kepala, hiposmia/anosmia, halitosis, post-nasal
drip yang dapat menyebabkan batuk dan sesak pada anak. Keluhan sinusitis
kronik tidak khas sehingga sulit didiagnosis. Kadang-kadang hanya 1 atau 2
dari gejala-gejala di bawah ini:
a. Sakit kepala kronik
b. Post-nasal drip
c. Batuk kronik
d. Ganguan tenggorok
e. Ganguan telinga akibat sumbatan di muara tuba Eustachius
2.8 Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang.
Tabel 1 : Tanda dan gejala sinusitis
21
Rhinosinusitis task force, 1996
22
Pada rhinoskopi anterior tampak mukosa konka hiperemis dan
edema,
pada sinusitis maksila, sinusitis frontal dan sinusitis ethmoid anterior
tampak nanah di meatus medius, sedangkan pada sinusitis ethmoid posterior
dan sinusitis sphenoid nanah tampak keluar dari meatus superior. (Pada
sinusitis akut tidak ditemukan polip, tumor maupun komplikasi sinusitis. Jika
ditemukan maka kita harus melakukan penatalaksanaan yang sesuai).
(Mangunkusumo, 2012)
Pada rinoskopi posterior tampak pus di nasofaring (post nasal
drip). Pada posisional test yakni pasien mengambil posisi sujud selama
kurang lebih 5 menit, dan provokasi test, yakni suction dimasukkan pada hidung,
pemeriksa memencet hidung pasien kemudian pasien disuruh menelan ludah
dan menutup mulut dengan rapat. Jika positif sinusitis maksilaris, maka akan
keluar pus dari hidung. (Mangunkusumo, 2012)
Pemeriksaan penunjang yang penting adalah foto polos atau CT-Scan.
Foto polos posisi Waters, PA, lateral, umumnya hanya mampu menilai
kondisi sinus-sinus besar seperti sinus maksila dan frontal. Kelainan akan
terlihat perselubungan, air-fluid level , atau penebalan mukosa. Rontgen sinus
dapat menunjukkan kepadatan parsial pada sinus yang terlibat akibat
pembengkakan mukosa atau dapat juga menunjukkan cairan apabila sinus
mengandung pus. Pilihan lain dari rontgen adalah ultrasonografi terutama
pada ibu hamil untuk menghindari paparan radiasi. (Mangunkusumo, 2012)
CT-Scan sinus merupakan gold standard diagnosis sinusitis karena
mampu menilai secara anatomi hidung dan sinus, adanya penyakit dalam
hidung dan sinus secara keseluruhan dan perluasannya. CT scan mampu
memberikan gambaranyang bagus terhadap penebalan mukosa, air-fluid level,
struktur tulang, dan kompleks osteomeatal. Namun karena mahal hanya
dikerjakan sebagai penunjang diagnosis sinusitis kronis yang tidak membaik
dengan pengobatan atau pra-operasi sebagai panduan operator saat melakukan
operasi sinus. (Mangunkusumo, 2012)
2.9 Tatalaksana
Tujuan utama penatalaksanaan sinusitis adalah:
23
Mempercepat penyembuhan
Mencegah komplikasi
Mencegah perubahan menjadi kronik. (EPOS, 2007)
Sinusitis akut dapat diterapi dengan pengobatan (medikamentosa) dan
pembedahan (operasi). Penatalaksanaan yang dapat diberikan pada pasien sinusitis
akut, yaitu:
Antibiotik. Berikan golongan penisilin selama 10-14 hari meskipun
gejala klinik sinusitis akut telah hilang.
Dekongestan lokal. Berupa obat tetes hidung untuk memperlancar
drainase hidung.
Analgetik. Untuk menghilangkan rasa sakit.
Irigasi Antrum. Indikasinya adalah apabila terapi diatas gagal dan
ostium sinus sedemikian edematosa sehingga terbentuk abses sejati. Irigasi antrum
maksilaris dilakukan dengan mengalirkan larutan salin hangat melalui fossa
incisivus ke dalam antrum maksilaris. Cairan ini kemudian akan mendorong pus
untuk keluar melalui ostium normal.
Menghilangkan faktor predisposisi dan kausanya jika diakibatkan
oleh gigi.
Diatermi gelombang pendek selama 10 hari dapat membantu
penyembuhan sinusitis dengan memperbaiki vaskularisasi sinus. (Katzung, 2008)
a. Antibiotik
Antibiotik merupakan kunci dalam penatalaksanaan sinusitis supuratif
akut. Amoksisilin merupakan pilihan tepat untuk kuman gram positif dan
negatif.
Vankomisin untuk kuman S. pneumoniae yang resisten terhadap
amoksisilin.
Pilihan terapi lini pertama yang lain adalah kombinasi eritromisin
dan dulfonamide atau cephalexin dan sulfonamide. (Gunawan, 2007)
Terapi antibiotik harus diteruskan minimum 1 minggu setelah gejala
terkontrol. Karena banyaknya distribusi ke sinus-sinus yang terlibat, perlu
mempertahankan kadar antibiotika yang adekuat bila tidak, mungkin terjadi
sinusitis supuratif kronik. (Gunawan, 2007)
24
Tindakan lain yang dapat dilakukan untuk membantu memperbaiki
drainase dan pembersihan sekret dari sinus. Untuk sinusitis maxilaris
dilakukan pungsi dan irigasi sinus, sedangkan untuk sinusitis ethmoidalis
frontalis dan sinusitis sfenoidalis dilakukan tindakan pencucian Proetz. Irigasi
dan pencucian dilakukan 2 kali dalam seminggu. Bila setelah 5 atau 6 kali
tidak ada perbaikan dan klinis masih tetap banyak sekret purulen, maka perlu
dilakukan bedah radikal. (Gunawan, 2007)
Antibiotik parenteral diberikan pada sinusitis yang telah mengalami
komplikasi seperti komplikasi orbita dan komplikasi intrakranial, karena
dapat menembus sawar darah otak. Ceftriakson merupakan pilihan yang baik
karena selain dapat membasmi semua bakteri terkait penyebab sinusitis,
kemampuan menembus sawar darah otaknya juga baik. (Gunawan, 2007)
Pada sinusitis yang disebabkan oleh bakteri anaerob dapat digunakan
metronidazole atau klindamisin. Klindamisin dapat menembus cairan
serebrospinal. Antihistamin hanya diberikan pada sinusitis dengan
predisposisi alergi. Analgetik dapat diberikan. Kompres hangat dapat juga
dilakukan untuk mengurangi nyeri. (Gunawan, 2007)
Untuk pasien yang menderita alergi, pengobatan alergi yang dijalani
bermanfaat. Pengontrolan lingkungan, steroid topikal, dan imunoterapi dapat
mencegah eksesarbasi rhinitis sehingga mencegah perkembangannya menjadi
sinusitis. (Gunawan, 2007)
b. Dekongestan
Dekongestan Oral (Lebih aman untuk penggunaan jangka panjang) berupa
Phenylproponolamine dan pseudoephedrine, yang merupakan agonis alfa
adrenergik. Obat ini bekerja pada osteomeatal komplek .Dekongestan topikal
yaitu Phenylephrine Hcl 0,5% dan oxymetazoline Hcl 0,5 % bersifat
vasokonstriktor lokal. Obat ini bekerja melegakan pernapasan dengan mengurangi
oedema mukosa. (Gunawan, 2007)
c. Antihistamin
Antihistamin golongan II yaitu Loratadine. Anti histamin golongan II
mempunyai keunggulan, yaitu lebih memiliki efek untuk mengurangi rhinore, dan
25
menghilangkan obstruksi, serta tidak memiliki efek samping menembus sawar
darah otak. (Gunawan, 2007)
d. Kortikosteroid
bisa diberi oral ataupun topikal, namun pilihan disini adalah kortikosteroid
oral yaitu metil prednisolon, efek samping berupa retensi air sangat minimal,
begitupula dengan efek terhadap lambung juga minimal. (Gunawan, 2007)
Skema 1 : Penatalaksanaan Rinosinusitis Akut Pada Dewasa Untuk
Pelayanan Kesehatan Primer.
26
European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyposis.
Rhinology,2007; www.rhinologyjournal.com
27
terkendali dari penyakit bakteri atau jamur mengarah kepada invasi struktur
sekitarnya terutama orbital dan otak. (Mangunkusumo, 2012)
Sinusitis merupakan suatu penyakit yang tatalaksananya berupa rawat
jalan. Pengobatan rawat inap di rumah sakit merupakan hal yang jarang kecuali
jika ada komplikasi dari sinusitis itu sendiri. Walaupun tidak diketahui secara
pasti, insiden dari komplikasi sinusitis diperkirakan sangat rendah. Salah satu
studi menemukan bahwa insiden komplikasi yang ditemukan adalah 3%.
Sebagai tambahan, studi lain menemukan bahwa hanya beberapa pasien yang
mengalami komplikasi dari sinusitis setiap tahunnya. Komplikasi dari sinusitis ini
disebabkan oleh penyebaran bakteri yang berasal dari sinus ke struktur di
sekitarnya. (Mangunkusumo, 2012)
Penyebaraan yang tersering adalah penyebaran secara langsung
terhadap area yang mengalami kontaminasi. Komplikasi dari sinusitis tersebut
antara lain :
1. Komplikasi lokal
a) Mukokel
b) Osteomielitis (Pott’s puffy tumor)
2. Komplikasi orbital
a) Inflamatori edema
b) Abses orbital
c) Abses subperiosteal
d) Trombosis sinus cavernosus.
3. Komplikasi intrakranial
a) Meningitis
b) Abses Subperiosteal
Komplikasi sinusitis telah menurun secara nyata sejak ditemukannya
antibiotik. Komplikasi berat biasanya terjadi pada sinusitis akut atau pada sinusitis
kronis dengan eksaserbasi akut, berupa komplikasi orbita atau intrakranial. CT
scan merupakan suatu modalitas utama dalam menjelaskan derajat penyakit
sinus dan derajat infeksi di luar sinus, pada orbita, jaringan lunak dan
kranium. Pemeriksaan ini harus rutin dilakukan pada sinusitis refrakter,
kronik atau berkomplikasi. (Mangunkusumo, 2012)
28
2.11 Prognosis
Sinusitis tidak menyebabkan kematian yang signifikan dengan
sendirinya. Namun, sinusitis yang berkomplikasi dapat menyebabkan morbiditas
dan dalam kasus yang jarang dapat menyebabkan kematian. Sekitar 40 % kasus
sinusitis akut membaik secara spontan tanpa antibiotik. Perbaikan spontan
pada sinusitis virus adalah 98 %.Pasien dengan sinusitis akut, jika diobati
dengan antibiotik yang tepat, biasanya menunjukkan perbaikan yang cepat.
Tingkat kekambuhan setelah pengobatan yang sukses adalah kurang dari 5
%. Jika tidak adanya respon dalam waktu 48 jam atau memburuknya gejala,
pasien dievaluasi kembali. (Arivalagan, 2013)
29
DAFTAR PUSTAKA
1. Mangunkusumo E, Soetjipto D. Sinusitis. Buku ajar ilmu kesehatan
telinga, hidung, tenggorok, kepala dan leher. Edisi ketujuh. Jakarta :
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2012
2. Arivalagan, Privina. The Picture Of Chronic Rhinosinusitis in RSUP Haji
Adam Malik in Year 2011. E – Jurnal FK-USU Volume 1 No. 1 Tahun
2013
3. Anonim, Sinusitis, dalam ; Arif et all, editor. Kapita Selekta Kedokteran,
Ed.3, Penerbit Media Ausculapius FK UI, Jakarta 2001, 102 – 106
4. Damayanti dan Endang. Sinus Paranasal. Buku ajar ilmu kesehatan
telinga, hidung, tenggorok, kepala dan leher. Edisi ketujuh. Jakarta :
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2012
5. Snell, Richard S. Anatomi Klinik Edisi 7. Jakarta:EGC. 2010
6. Guyton AC, Hall JE. Textbook of Medical Physiology. Dalam : Rachman
LY, editor. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11. Jakarta :EGC ; 2008
7. Posumah, AH . Gambaran Foto Waters Pada Penderita Dengan dugaan
Klinis Sinusitis Maksilaris Di Bagian Radiologi Fkunsrat/Smf Radiologi
Blu Rsup Prof. Dr. R. D. Kandou Manado Jurnal e-Biomedik (eBM),
Volume 1, Nomor 1, Maret 2013, hlm. 129-134
8. Adams GL, Boies LR, Higler PH. Hidung dan sinus paranasalis. Buku ajar
penyakit tht. Edisi keenam. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC;
1994.h.173-240
9. European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyposis.
Rhinology,Supplement 20, 2007; www.rhinologyjournal.com;
www.eaaci.net.
10. Katzung, B.G., 2008. Farmakologi Dasar dan Klinik. 6th ed. Jakarta:
Appleton and Lange.
11. Gunawan, S. G dkk. Farmakologi Dan Terapi, Edisi 5. Departemen
Farmakologi Dan Terapeutik FKUI. 2007
30