KASUS ETIK
Oleh :
dr. Gita Trikartika
Narasumber :
Pendamping :
2020
Berita Acara Presentasi Kasus Etika
No. ID dan Nama Narasumber : dr. dr. Heri Agung Yulianto, Sp.B
Berita acara ini ditulis dan disampaikan sesuai dengan yang sesungguhnya.
Pendamping
2
No. ID dan Nama Peserta : dr. Gita Trikartika Presenter : dr. Gita Trikartika
Nama Wahana : RSUD dr. R. Soetijono Blora Pendamping :
dr. Rizkiyah Prabawanti
TOPIK : Penolakan Rawat Inap Atas Permintaan Sendiri
Tanggal (kasus) : 06 Juli 2020 No. RM : 443576
Nama : Ny. SL /29 tahun Pendamping : dr. Rizkiyah Prabawanti
Tanggal Presentasi : Narasumber : dr. Endah Kurnia, Sp. PK, M.
Kes
Tempat Presentasi : RSUD dr. R. Soetijono Blora
OBJEKTIF PRESENTASI
o Keilmuan o Keterampilan o Penyegaran √ Tinjauan Pustaka
o Diagnostik o Manajemen o Masalah √ Istimewa
o Neonatus o Bayi o Anak o Remaja √ Dewasa o Lansia o Bumil
o Deskripsi :
2 jam SMRS pasien terjatuh saat sedang mengendarai sepeda motor. Setelah kejadian
pasien mengeluh nyeri pada kaki kanan dan tidak bisa digerakkan. Lalu oleh keluarga
dibawa ke RSUD Blora.
3
Kesehatan Republik Indonesia. 2006.
8. The Process of Obtaining Inform Consent. Research Ethics Review Committee.
World Health Organization. Available: http://www.who.int/rpc/research_ethics .
9. Kode Etik Kedokteran Indonesia dan Pedoman Pelaksana Kode Etik Indonesia.
Majelis Kehormatan Etik Kedokteran Indonesia. Ikatan Dokter Indonesia. Jakarta.
10. Praktik Kedokteran. Dalam : Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun
2004. Dewan Perwakilan Republik Indonesia. 2004.
Deskripsi Umum
2 jam SMRS pasien terjatuh saat sedang mengendarai sepeda motor. Setelah
kejadian pasien mengeluh nyeri pada kaki kanan dan tidak bisa digerakkan. Lalu oleh
keluarga dibawa ke RSUD Blora.
.
Keluhan utama
Nyeri pada kaki kanan
Subjektive
Riwayat Penyakit Dahulu
Tanda-tanda Vital
GCS: E4 V5 M6
Pupil: 3 mm/ 3 mm, Refleks cahaya +/+
TD: 130/80mmHg
Nadi: 112 x/menit
Suhu: 36,7 ºC
Pernapasan: 21 x/menit
SpO2: 99 %
4
Objektive
Status generalis:
Keadaan umum : baik
Kesadaran : compos mentis
Kulit : sawo matang
Kepala : normochepal
Rambut : warna hitam, persebaran merata, tidak mudah dicabut.
Mata : konjungtiva anemis(-/-), sklera ikterik (-/-), refleks
cahaya (+/+), oedem palpebra (-/+)
Hidung : simetris, sekret (-/-), napas cuping hidung (-)
Mulut : tidak dilakukan pemeriksaan
Telinga : normotia, discharge (-/-)
Leher : deviasi trakea (-), massa (-), JVP tidak meningkat.
Kelenjar limfe : Tidak ada pembesaran kelenjar
getah bening submental,
submandibula, maupun aksila.
Paru :
Inspeksi:
o Statis: simetris, pelebaran ICS (-)
o Dinamis: pergerakan dinding dada saat inspirasi dan ekspirasi
simetris, retraksi intercostalis (-), retraksi supraklavikula (-),
retraksi infraklavikula (-).
Palpasi:
o Statis: simetris, nyeri tekan (-).
o Dinamis: tidak dilakukan pemeriksaan
Perkusi: Sonor di seluruh lapang paru.
Auskultasi: Vesikuler (+/+), ronki (-/-), wheezing (-/-).
Jantung :
Inspeksi: ictus cordis tak tampak.
Palpasi: ictus cordis teraba, pulsus parasternal teraba, sternal
lift teraba, pulsus epigastrium teraba.
Perkusi: tidak dilakukan
Auskultasi: Bunyi jantung 1 dan 2 reguler, gallop (-), murmur (-),
5
suara S3 (-).
Abdomen :
Inspeksi: datar, sikatrik (-), kulit tidak tampak mengkilat.
Auskultasi: bising usus 1 x/menit.
Perkusi: timpani pada seluruh kuadran.
Palpasi: supel, nyeri tekan (-), nyeri tekan lepas (-).
o Hepar: tidak ditemukan pembesaran.
o Lien: tidak ditemukan pembesaran
Ekstremitas atas : edem (-), capillary refill < 2 detik di keempat
ekstremitas, akral dingin (-)
Ekstremitas bawah : edem (-), capillary refill < 2 detik di keempat
ekstremitas, akral dingin (-)
Status Lokalis
Cruris dextra
Look : tampak deformitas, oedem, hiperemis (-), vulnus eskoriasi (-), vulnus
laserasi (-), bone expose (-)
Feel : teraba hangat, nyeri tekan (+)
Move : ROM terbatas
Penunjang : Rontgen cruris dextra: tampak diskontinuitas pada 1/3 distal tulang yang
tervisualisasi, alignment baik, trabekulasi tulang tampak normal, tampak lusensi soft tissue
pada regio distal femur.
Assessment
1. Diagnosis Kerja: Close Fracture 1/3 distal femur dextra
2. Planning
a. MRS-> pasien menolak dan meminta pulang->edukasi dan motivasi(+)->pasien
menandatangani penolakan rawat inap
b. spalk
c. Terapi rawat jalan : Dexketoprofen tab 3x1, cefixime tab 2x100 mg, ranitidin tab 2x1
2.3 PROGNOSIS
Quo Ad Vitam : dubia ad bonam
Quo Ad Fungtionam : dubia ad bonam
6
Quo Ad Sanationam : dubia ad bonam
TINJAUAN PUSTAKA
7
dokter sudah mengusahakan semaksimal mungkin dan bertindak dengan sangat hati-hati.
c)
FUNGSI INFORMED CONSENT
Informed consent mempunyai beberapa fungsi sebagai berikut :
1. Penghormatan terhadap harkat dan martabat pasien selaku manusia
2. Promosi terhadap hak untuk menentukan nasibnya sendiri
3. Untuk mendorong dokter melakukan kehati-hatian dalam mengobati pasien
4. Menghindari penipuan dan misleading oleh dokter
5. Mendorong diambil keputusan yang lebih rasional
6. Mendorong keterlibatan publik dalam masalah kedokteran dan kesehatan
7. Sebagai suatu proses edukasi masyarakat dalam bidang kedokteran dan kesehatan.
Dalam keadaan gawat darurat Informed consent tetap merupakan hal yang paling penting
walaupun prioritasnya diakui paling bawah. Prioritas yang paling utama adalah tindakan
menyelamatkan nyawa. Walaupun tetap penting, namun Informed consent tidak boleh
menjadi penghalang atau penghambat bagi pelaksanaan emergency care sebab dalam
keadaan kritis dimana dokter berpacu dengan maut, ia tidak mempunyai cukup waktu untuk
menjelaskan sampai pasien benar-benar menyadari kondisi dan kebutuhannya serta
memberikan keputusannya. Dokter juga tidak mempunyai banyak waktu untuk menunggu
kedatangan keluarga pasien. Kalaupun keluarga pasien telah hadir dan kemudian tidak
menyetujui tindakan dokter, maka berdasarkan doctrine of necessity, dokter tetap harus
melakukan tindakan medik. Hal ini dijabarkan dalam PerMenKes Nomor
585/PerMenKes/Per/IX/1989 tentang Persetujuan Tindakan Medik, bahwa dalam keadaan
emergency tidak diperlukan Informed consent.
Ketiadaan informed consent dapat menyebabkan tindakan malpraktek dokter, khususnya
bila terjadi kerugian atau intervensi terhadap tubuh pasiennya. Hukum yang umum
diberbagai Negara menyatakan bahwa akibat dari ketiadaan informed consent setara dengan
kelalaian/keteledoran. Akan tetapi, dalam beberapa hal, ketiadaan informed consent tersebut
setara dengan perbuatan kesengajaan, sehingga derajat kesalahan dokter pelaku tindakan
tersebut lebih tinggi. Tindakan malpraktek dokter yang dianggap setara dengan kesengajaan
adalah sebagai berikut :
1. Pasien sebelumnya menyatakan tidak setuju terhadap tindakan dokter, tetapi dokter
tetap melakukan tindakan tersebut.
2. Jika dokter dengan sengaja melakukan tindakan misleading tentang risiko dan akibat
dari tindakan medis yang diambilnya.
8
3. Jika dokter dengan sengaja menyembunyikan risiko dan akibat dari tindakan medis
yang diambilnya.
4. Informed consent diberikan terhadap prosedur medis yang berbeda secara substansial dengan
yang dilakukan oleh dokter
1. Implied Consent
Pasien menyetujui penjelasan yang diberikan oleh dokter atau suatu tindakan oleh
dokter dengan isyarat. Sebagai contoh, ketika prosedur pengambilan darah rutin untuk
pemeriksaan, pasien memberikan implied consent dengan hanya menghulurkan tangan untuk
pengambilan darah.
2. Explicit / Express Consent
Express atau explicit consent adalah dimana patient dengan jelas menyatakan
persetujuan untuk suatu tindakan medis. Persetujuan ini bisa dalam bentuk verbal atau
tulisan.
a) Verbal consent adalah suatu bentuk dari express consent dimana pasien menyetujui tindakan
medis dokter secara verbal.
b) Written consent adalah dimana seorang pasien menyetujui tindakan medis secara bertulis
pada lembar inform consent yang telah disediakan.
9
2. Tujuan tindakan medis yang dilakukan
3. Alternatif tindakan lain dan risikonya
4. Risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi, dan
5. Prognosis terhadap tindakan yang dilakukan
Diagnosa dan tata cara tindakan kedokteran serta penjelasan mengenai diagnosis dapat
meliputi:
a. Temuan klinis dari hasil pemeriksaan medis hingga saat tersebut.
b. Diagnosis penyakit, atau dalam hal belum dapat ditegakan, maka sekurang-kurangnya
diagnosis kerja dan diagnosis banding.
c. Indikasi atau keadaan klinis pasien yang membutuhkan dilakukannya tindakan
kedokteran.
d. Prognosis apabila dilakukan tindakan dan apabila tidak dilakukan tindakan.
Tujuan tindakan kedokteran yang dilakukan dimana penjelasan tentang tindakan kedokteran yang
dilakukan meliputi :
a. Tujuan tindakan kedokteran yang dapat berupa tujuan preventif, diagnostik, terapeutik,
ataupun rehabilitative.
b. Tata cara pelaksanaan tindakan apa yang akan dialami pasien selama dan sesudah
tindakan, serta efek samping atau ketidaknyamanan yang mungkin terjadi.
Penjelasan tentang risiko dan komplikasi tindakan kedokteran adalah semua risiko dan
komplikasi yang dapat terjadi mengikuti tindakan kedokteran yang dilakukan, kecuali :
a. Risiko dan komplikasi yang sudah menjadi pengetahuan umum.
b. Risiko dan komplikasi yang sangat jarang terjadi atau yang dampaknya sangat ringan.
c. Risiko dan komplikasi yang tidak dapat dibayangkan sebelumnya.
10
Prognosis terhadap tindakan yang dilakukan dan penjelasan tentang prognosis meliputi :
11
bermanfaat bagi orang sebagai subyek hukum, dan akan terjadi perbuatan hukum yaitu
perbuatan yang akibatnya diatur oleh hukum, baik yang dilakukan satu pihak saja maupun
oleh dua pihak.
Dalam masalah “informed consent” dokter sebagai pelaksana jasa tindakan medis,
disamping terikat oleh KODEKI (Kode Etik Kedokteran Indonesia) bagi dokter, juga tetap
tidak dapat melepaskan diri dari ketentuan-ketentuan hukun perdata, hukum pidana maupun
hukum administrasi, sepanjang hal itu dapat diterapkan.
Pada pelaksanaan tindakan medis, masalah etik dan hukum perdata, tolok ukur yang
digunakan adalah “kesalahan kecil” (culpa levis), sehingga jika terjadi kesalahan kecil dalam
tindakan medis yang merugikan pasien, maka sudah dapat dimintakan
pertanggungjawabannya secara hukum. Hal ini disebabkan pada hukum perdata secara umum
berlaku adagium “barang siapa merugikan orang lain harus memberikan ganti rugi”.
Sedangkan pada masalah hukum pidana, tolak ukur yang dipergunakan adalah “kesalahan
berat” (culpa lata). Oleh karena itu adanya kesalahan kecil (ringan) pada pelaksanaan
tindakan medis belum dapat dipakai sebagai tolok ukur untuk menjatuhkan sanksi pidana.
Aspek Hukum Perdata, suatu tindakan medis yang dilakukan oleh pelaksana jasa
tindakan medis (dokter) tanpa adanya persetujuan dari pihak pengguna jasa tindakan medis
(pasien), sedangkan pasien dalam keadaan sadar penuh dan mampu memberikan persetujuan,
maka dokter sebagai pelaksana tindakan medis dapat dipersalahkan dan digugat telah
melakukan suatu perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad) berdasarkan Pasal 1365
Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer). Hal ini karena pasien mempunyai hak atas
tubuhnya, sehingga dokter dan harus menghormatinya;
Aspek Hukum Pidana, “informed consent” mutlak harus dipenuhi dengan adanya pasal
351 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang penganiayaan. Suatu tindakan
invasive (misalnya pembedahan, tindakan radiology invasive) yang dilakukan pelaksana jasa
tindakan medis tanpa adanya izin dari pihak pasien, maka pelaksana jasa tindakan medis
dapat dituntut telah melakukan tindak pidana penganiayaan yaitu telah melakukan
pelanggaran terhadap Pasal 351 KUHP.
Sebagai salah satu pelaksana jasa tindakan medis dokter harus menyadari bahwa
“informed consent” benar-benar dapat menjamin terlaksananya hubungan hukum antara
pihak pasien dengan dokter, atas dasar saling memenuhi hak dan kewajiban masing-masing
pihak yang seimbang dan dapat dipertanggungjawabkan. Masih banyak seluk beluk dari
informed consent ini sifatnya relative, misalnya tidak mudah untuk menentukan apakah suatu
inforamsi sudah atau belum cukup diberikan oleh dokter. Hal tersebut sulit untuk ditetapkan
12
secara pasti dan dasar teoritis-yuridisnya juga belum mantap, sehingga diperlukan pengkajian
yang lebih mendalam lagi terhadap masalah hukum yang berkenaan dengan informed consent
ini.
Sesuai dengan Kode Etik Kedokteran Indonesia, terdapat kewajiban umum yang harus dipenuhi oleh
seorang dokter terutama pada pasal 5, dimana tiap perbuatan atau nasehat yang mungkin melemahkan
daya tahan psikis maupun fisik hanya diberikan untuk kepentingan dan kebaikan pasien, setelah
memperoleh persetujuan pasien.
Berdasarkan UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran Pasal 45 dan Pasal 25 huruf
d dan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1419/Menkes/Per/X/2005 tentang Penyelenggaraan
Praktik Dokter dan Dokter Gigi Pasal 17 bahwa :
Untuk menjalin komunikasi dua arah yang efektif dalam rangka memperoleh persetujuan tindakan
medik, baik dokter atau dokter gigi maupun pasien mempunyai hak untuk didengar dan kewajiban
untuk saling member informasi.
Setelah menerima informasi yang cukup dari dokter atau dokter gigi dan memahami maknanya
(well informed), pasien diharapkan dapat mengambil keputusan bagi dirinya sendiri (the right to self
determination) untuk menyetujui (consent) atau menolah (refuse) tindakan medik yang akan
dilakukan padanya.
Setiap tindakan medik yang akan dilakukan kepada pasien, mensyaratkan persetujuan (otorisasi)
dari yang bersangkutan. Dalam kondisi dimana pasien tidak dapat memberikan persetujuan secara
pribadi (dibawah umur atau keadaan fisik/mental tidak memungkinkan), maka persetujuan dapat
diberikan oleh keluarga yang berwenang (suami/istri, bapak/ibu, anak atau saudara kandung) atau
wali atau pengampunya.
1. Sebagai suatu perbuatan hukum, persetujuan tindakan medik tentu harus dilatarbelakangi oleh sektor
yuridis agar dapat berlaku dan sesuai dengan aturanhukum yang berlaku.
Di Indonesia, yang menjadi dasar hukum bagi suatu transaksi persetujuan tindakan medik adalah
sebagai berikut:11
A. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
B. Undang Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran
Pasal 45
(1). Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan oleh dokter atau dokter gigi
terhadap pasien harus mendapat persetujuan.
(2). Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah pasien mendapat penjelasan
13
secara lengkap.
(3). Penjelasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sekurang-kurangnya mencakup :
a. Diagnosis dan tata cara tindakan medis;
b. Tujuan tindakan medis yang dilakukan;
c. Alternatif tindakan lain dan risikonya;
d. Risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi; dan
e. Prognosis terhadap tindakan yang dilakukan
(1). Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diberikan baik secara tertulis maupun
lisan.
(2). Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang mengandung risiko tinggi harus
diberikan dengan persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh yang berhak memberikan
persetujuan.
(3). Ketentuan mengenai tata cara persetujuan tindakan kedokteran atau kedokteran gigi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) diatur dengan
Peraturan Menteri.
C. UU Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan
(1). Tenaga kesehatan berhak memperoleh perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas sesuai
dengan profesinya.
(2). Tenaga kesehatan dalam melakukan tugasnya berkewajiban untuk mematuhi standar profesi
dan menghormati hak pasien.
(3). Ketentuan mengenai standar profesi dan hak-hak pasien sebagaimana dimaksud dalam ayat
(2) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
D. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1419/Menkes/Per/X/2005 tentang
penyelenggaraan praktik dokter dan dokter gigi:
Pasal 13 ayat (1) yang berbunyi dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktek kedokteran
didasarkan pada kesepakatan antara dokter atau dokter gigi dengan pasien dalam upaya pemeliharaan
kesehatan, pencegahan penyakit, peningkatan kesehatan, pengobatan penyakit dan pemulihan
kesehatan.
Pasal 17 ayat (1) : Dokter atau dokter gigi dalam memberikan pelayanan tindakan kedokteran atau
kedokteran gigi terlebih dahulu harus memberikan penjelasan kepada pasien tentang tindakan
kedokteran yang akan dilakukan.
Ayat (2) : Tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud ayat (1) harus mendapat persetujuan pasien.
Ayat (3) : Pemberian penjelasan dan persetujuan sebagaimana dimaksud ayat (1) dan ayat (2)
dilaksanakan sesuai ketentuan perundang-undangan.
E. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 585/Men.Kes/Per/IX/1989 tentang
Persetujuan Tindakan Medik
F. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 749a/Men.Kes/Per/XII/1989 tentang Rekam
14
Medik/ Medical Record
G. Peraturan Pemerintah No. 1 Tahun 1951 tentang Kesehatan Kerja.
H. Surat Keputusan Dirjen Yan Dik No. HK.00.06.6.5.1866 Tahun 1999 tentang Pedoman Persetujuan
Tindakan Medik ditetapkan tanggal 21 April 1999 (selanjutnya disebut Pedoman Pertindik)
I. Peraturan Menteri Kesehatan RI No.290/Menkes/Per/III/ 2008 tentang persetujuan tindakan
Kedokteran dinyatakan dalam pasal 1, 2, dan 3 yaitu:
Pasal 1
1. Persetujuan tindakan kedokteran adalah persetujuan yang diberikan oleh pasien atau keluarga
terdekat setelah mendapat penjelasan secara lengkap mengenai tindakan kedokteran atau
kedokteran gigi yang akan dilakukan terhadap pasien.
2. Keluarga terdekat adalah suami atau istri, ayah atau ibu kandung, anak-anak kandung, saudara-
saudara kandung atau pengampunya.
3. Tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang selanjutnya disebut tindakan kedokteran adalah
suatu tindakan medis berupa preventif, diagnostik, terapeutik atau rehabilitatif yang dilakukan oleh
dokter atau dokter gigi terhadap pasien.
4. Tindakan Invasif adalah suatu tindakan medis yang langsung dapat mempengaruhi keutuhan
jaringan tubuh pasien.
5. Tindakan kedokteran yang mengandung risiko tinggi adalah tindakan medis yang berdasarkan
tingkat probabilitas tertentu, dapat mengakibatkan kematian atau kecacatan.
6. Dokter dan dokter gigi adalah dokter, dokter spesialis, dokter gigi dan dokter gigi spesialis lulusan
pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi baik di dalam maupun di luar negeri yang diakui oleh
pemerintah Republik Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
7. Pasien yang kompeten adalah pasien dewasa atau bukan anak menurut peraturan perundang-
undangan atau telah/pernah menikah, tidak
8. terganggu kesadaran fisiknya, mampu berkomunikasi secara wajar, tidak mengalami kemunduran
perkembangan (retardasi) mental dan tidak mengalami penyakit mental sehingga mampu
membuatkeputusan secara bebas.
Pasal 2
1. Semua tindakan kedokteran yang akan dilakukan terhadap pasien harus mendapat
persetujuan.
2. Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan secara tertulis maupun lisan.
3. Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah pasien mendapat
penjelasan yang diperlukan tentang perlunya tindakan kedokteran dilakukan.
Pasal 3
1. Setiap tindakan kedokteran yang mengandung risiko tinggi harus memperoleh persetujuan
tertulis yang ditandatangani oleh yang berhak memberikan persetujuan.
2. Tindakan kedokteran yang tidak termasuk dalam ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat
15
(1) dapat diberikan dengan persetujuan lisan.
3. Persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat dalam bentuk pernyataan
yang tertuang dalam formulir khusus yang dibuat untuk itu.
4. Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diberikan dalam bentuk ucapan setuju
atau bentuk gerakan menganggukkan kepala yang dapat diartikan sebagai ucapan setuju.
5. Dalam hal persetujuan lisan yang diberikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dianggap
meragukan, maka dapat dimintakan persetujuan tertulis.
Peraturan Informed Consent apabila dijalankan dengan baik antara dokter dan pasien akan sama-sama
terlindungi secara Hukum. Tetapi apabila terdapat perbuatan diluar peraturan yang sudah dibuat tentu
dianggap melanggar Hukum. Dalam pelanggaran Informed Consent telah diatur dalam pasal 19
Permenkes No. 290 Tahun 2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran, dinyatakan terhadap
dokter yang melakukan tindakan tanpa Informed Consent dapat dikenakan sanksi berupa teguran
lisan, teguran tertulis sampai dengan pencabutan Surat Ijin Praktik
Jika dilihat melalui hukum perdata, maka medcal informed consent adalah informasi kesehatan yang
diberikan kepada pasien (informed) untuk melakukan sebuat tindakan medis dan diperlukan
persetujuan pasien untuk melakukan tindakan medis tersebut (consent). dalam pasal 1320
KUHPerdata, informed sebagai bagian dari informed consent adalah hal yang diperjanjikan dalam
persetujuan tindakan medis itu sendiri karena dalam formulir persetujuan tindakan medis misalnya,
isinya sangat terbatas, yaitu hanya persetujuan pasien terhadap suatu tindakan medis tanpa dijelaskan
lebih mendetail bagaimana prosedurnya, efek samping, alternatif tindakan lain dan hal lainnya. Detail
mengenai tindakan medis tersebut berada pada informasi yang disampaikan oleh dokter tersebut.
Informasi kesehatan tersebut tidak diberikan tertulis dalam formulir persetujuan tindakan medis
karena tiap-tiap pasien, penjelasan mengenai kesehatan dan tindakan medisnya pasti berbeda,
walaupun penyakitnya sama. Perbedaan penjelasan tersebut bisa disebabkan oleh faktor usia,
ketahanan tubuh, parah tidaknya penyakit dan lain-lain.
Consent dalam medical informed consent merupakan persetujuan yang diberikan oleh pasien
setelah diberikan informasi kesehatan oleh dokter. Dalam Pasal 1320 KUHPerdata, ada 4 syarat
sahnya perjanjian yaitu: kesepakatan, kecakapan untuk membuat perikatan, adanya hal tertentu yang
diperjanjikan dan sebab yang halal. Dalam informed consent sudah terpenuhi seluruh syarat sahnya
perjanjian. Informed consent sendiri sudah memenuhi syarat kesepakatan dan hal tertentu, kemudian
suatu tindakan medis harus dilakukan dengan tidak melanggar hukum yang ada dan memnuhi syarat
sebab yang halal. Syarat terakhir, pihak pihak yang melakukan perjanjian harus cakap dapat terpenuhi
dalam perjanjian medis karena bagi pihak-pihak yang tidak cakap dapat diwakili oleh keluarganya
dalam memberikan persetujuan tindakan medis.
16
kewajiban yang harus diperhatikan. Hak dan kewajiban ini diatur dalam Paragraf 6 Pasal 50-51 UU
RI No.29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran. Adapun hak dan kewajiban tersebut ialah :
Pasal 50
Dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran mempunyai hak :
a. Memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan standar profesi
dan standar prosedur operasional;
b. Memberikan pelayanan medis menurut standar profesi dan standar prosedur operasional;
c. Memperoleh informasi yang lengkap dan jujur dari pasien atau keluarganya; dan
d. Menerima imbalan jasa.
Pasal 51
Dokter atau dokter gigi dlam melaksanakan praktik kedokteran mempunyai kewajiban :
a. Memberikan pelayanan medis
b. sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional serta kebutuhan medis pasien;
c. Merujuk pasien ke dokter atau dokter gigi lain yang mempunyai keahlian atau kemampuan yang
lebih baik, apabila tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan;
d. Merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang pasien, bahkan juga setelah pasien itu
meninggal dunia;
e. Melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang lain
yang bertugas dan mampu melakukannya; dan
f. Menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu kedokteran atau kedokteran
gigi.
17
Pasien, dalam menerima pelayanan pada praktik kedokteran, mempunyai kewajiban;
a. Memberikan informasi yang lengkap dan jujur tentang masalah kesehatannya;
b. Mematuhi nasihat dan petunjuk dokter atau dokter gigi;
c. Mematuhi ketentuan yang berlaku di sarana pelayanan kesehatan; dan memberikan
Terhadap dokter yang melakukan tindakan medis tanpa persetujuan pasien atau keluarganya
Seorang tenaga kesehatan yang melakukan tindakan medik terhadap pasien tanpa persetujuan pasien
atau keluarganya, dapat dianggap melakukan penganiayaan yang sanksinya diatur dalam pasal 351
KUHP. Yang berbunyi :
1. Penganiayaan dihukum dengan hukuman penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau denda
paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
2. Jika penganiayaan itu berakibat luka berat, yang bersalah dipidana dengan pidana penjara paling lama
lima tahun.
3. Jika perbuatan itu berakibat matinya orang, maka yang bersalah dipidana dengan pidana penjara
paling lama tujuh tahun.
4. Dengan penganiayaan disamakan merusak kesehatan orang dengan sengaja.
5. Percobaan melakukan kejahatan itu tidak dipidana.
18