Anda di halaman 1dari 22

PORTOFOLIO INTERNSIP KASUS JIWA

“SINDROM EKSTRAPIRAMIDAL”

Oleh:
dr. Nafisa Rima Amani

Pembimbing :
dr. Maya Anggraeni, Sp. KJ

Pendamping :
dr. Nofi Liza Meliana

RSU SIAGA MEDIKA PEMALANG


PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA
(Periode November 2020 – Agustus 2021)
Berita Acara Presentasi Portofolio

Pada hari ini hari, tanggal Februari 2021 telah dipresentasikan portofolio oleh:
Nama : dr. Nafisa Rima Amani
Judul/ topik : Sindrom Ekstrapiramidal
Nama Pembimbing : dr. Maya Anggraeni, Sp. KJ
Nama Pendamping : dr. Nofi Liza Meliana
Nama Wahana : RSU Siaga Medika Pemalang

Nama Peserta Presentasi No. ID Peserta Tanda Tangan

1. 1.

2. 2.

3. 3.

4. 4.

5. 5.

6. 6.

7. 7.

8. 8.

9. 9.

10. 10.

11. 11.

Berita acara ini ditulis dan disampaikan sesuai dengan yang sesungguhnya.

Pembimbing Pendamping

dr. Maya Anggraeni, Sp. KJ dr. Nofi Liza Meliana

PORTOFOLIO INTERNSIP
Nama Peserta dr. Nafisa Rima Amani
Nama Wahana RS Siaga Medika Pemalang
Topik Sindrom Ekstrapiramidal
Tanggal (kasus) 9 Februari 2021 ; Tanggal Presentasi :
Nama Pasien Tn. S No. RM 00196951
dr. Maya Anggraeni,
Pembimbing Pendamping dr. Nofi Liza Meliana
Sp. KJ
Tempat Presentasi RS Siaga Medika Pemalang
Objektif Presentasi
□ Keilmuan □ Keterampilan □ Penyegaran □ Tinjauan Pustaka
□ Diagnostik □ Manajemen □ Masalah □ Istimewa
□ Neonatus □ Bayi □ Anak □ Remaja □ Dewasa □ Lansia □ Bumil
□ Deskripsi
□ Tujuan Menegakkan diagnosis dan penatalaksanaan awal
Bahan Bahasan □ Tinjauan Pustaka □ Riset □ Kasus □ Audit
Cara Membahas □ Diskusi □ Presentasi dan Diskusi □ E-mail □ Pos

BAB I
STATUS PASIEN

A. ANAMNESIS
1. Identitas Pasien
Nama : Tn. S
Umur : 27 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Pekerjaan :-
Agama : Islam
Alamat : Widodaren 0027/004, Petarukan
Tanggal Masuk : 9 Februari 2021
No. RM : 00196951
2. Keluhan Utama
Badan terasa kaku.
3. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke poliklinik jiwa RS Siaga Medika pada hari
Selasa, 9 Februari 2021 dengan keluhan badan terasa kaku sejak 1
minggu. Pasien mengaku badan terasa tidak nyaman dan berjalan seperti
robot. Pasien memiliki riwayat konsumsi obat-obatan jiwa, dan hari ini
merupakan jadwal kontrol pertama setelah rawat inap.
Pasien baru masuk ruang perawatan pada hari Selasa, 9 Februari
2021. Autoanamnesis dilakukan di ruang Edelweis (bangsal jiwa) pada
hari yang sama.
a. Autoanamnesis
Autoanamnesis dilakukan tanpa pendampingan keluarga. Pasien
mengaku badannya kaku dan tidak nyaman untuk beraktivitas sejak 1
minggu yang lalu. Saat ditanya tentang identitas pasien menjawab dengan
benar. Pasien mengaku diantar oleh kakak perempuannya untuk periksa
karena badannya kaku dan jalan seperti robot. Pasien mengetahui alasan
dirawat inap di bangsal jiwa dan menurutnya dokter mengatakan bahwa ia
akan dirawat selama 3 hari. Selama anamnesis, pasien cenderung tenang,
kooperatif, dan selalu menatap lawan bicara.
Pasien mengaku bahwa dulu ia pernah mengamuk. Pasien mengatakan
bahwa dulu ia pernah mendengar bisikan-bisikan yang menyuruhnya
untuk mengamuk. Pasien juga mengaku pernah melihat jin yang
bentuknya bermacam-macam. Saat ini keluhan-keluhan tersebut sudah
tidak dirasakan oleh pasien. Pasien juga mengaku pernah keluyuran sendiri
sampai Comal, tetapi bisa pulang sendiri ke rumah di hari yang sama.
Saat ditanya kapan pertama kali mengamuk, pasien mengatakan ia
mulai mengamuk setelah neneknya meninggal kira-kira 10 tahun lalu.
Kemudian saat perjalanan pulang kampung dari Purwakarta, ia mengaku
HPnya dicuri di bus dan sejak saat itu pasien menjadi sering kepikiran.
Saat ditanya tentang pekerjaan, pasien mengaku bekerja sebagai
karyawan toko di Purwakarta selama 6 tahun, dan saat ini sudah tidak
bekerja. Pasien belum menikah dan tinggal bersama kakak perempuannya
di rumah. Pasien juga mengaku bahwa dirinya sudah dua kali dirawat di
bangsal jiwa RS Siaga Medika Pemalang dan baru pulang hari Selasa
minggu lalu.
Saat ditanya apakah pasien merasa sedih atau bingung, pasien
menyangkal. Pasien mengaku selalu meminum obat setiap hari selama
bertahun-tahun, bisa tidur nyenyak, nafsu makan baik, dan mandi 1-2 kali
sehari.
b. Alloanamnesis
Alloanamnesis terhadap keluarga pasien tidak dilakukan.
4. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat cidera kepala : disangkal
Riwayat kejang : disangkal
Riwayat alergi : disangkal
Riwayat dirawat di RS : diakui
5. Riwayat Medis Umum:
Riwayat penyalahgunaan zat : disangkal
Riwayat alkohol : disangkal
Riwayat merokok : disangkal
Riwayat konsumsi obat psikotropik : diakui
6. Riwayat Kehidupan Pribadi
a. Prenatal dan Perinatal
Pasien merupakan anak ketujuh dari tujuh bersaudara. Pasien
merupakan anak yang diharapkan oleh keluarga. Proses kelahiran
normal dan cukup bulan. Kelahirannya ditolong oleh bidan setempat.
b. Masa anak awal
Pasien diasuh oleh ibu dan ayah kandungnya dan tumbuh normal
sesuai usia.
c. Masa anak pertengahan
Pasien diasuh oleh kedua orangtuanya. Pasien tumbuh dan
berkembang sesuai anak sesusianya. Pasien dapat mengikuti tingkat
pendidikan sesuai dengan kelas dan tidak pernah tinggal kelas serta
pesien dapat bergaul denga teman sebayanya. Pasien menyelesaikan
pendidikan SD dan SMP sampai lulus.
d. Riwayat Hukum
Pasien tidak pernah terlibat dalam permasalahan hukum.

7. Riwayat Keluarga
Pasien tidak memiliki riwayat keluarga dengan gangguan jiwa maupun
keluhan serupa dengan pasien.
8. Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien mengaku sudah tidak bekerja dan tinggal bersama kakak
perempuannya di rumah. Ayah pasien meninggal 8 tahun lalu,
sedangkan ibu pasien meninggal 2 tahun lalu. Kakak-kakak pasien yang
lain pergi merantau ke Jakarta dan Kalimantan, dan beberapa sudah
berkeluarga. Pasien menggunakan Badan Penyelenggara Jaminan
Kesehatan (BPJS-Non PBI) kelas 3.

B. PEMERIKSAAN FISIK
GCS : E4V5M6
1. Keadaan umum/kesadaran : sedang/compos mentis
2. Tinggi badan : 163 cm
Berat badan : 55 kg
IMT : 20.7 kg/m2
3. Vital sign
Tekanan Darah : 110/80 mmHg
Nadi : 80 x/menit
Respiratory Rate : 20 x/menit
Suhu : 36,60C
Saturasi Oksigen : 99%
4. Pemeriksaan kepala
Kepala : jejas (-), vulnus (-)
Mata : konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik
(-/-), jejas (-/-), edem palpebra (-/-)
Hidung : discharge (-), bekas darah (-)
Telinga : discharge (-), bekas darah (-)
Mulut : vulnus (-), sianosis (-)
5. Pemeriksaan leher
Tiroid : tak ada kelainan, jejas (-)
6. Pemeriksaan dada
Inspeksi dinding dada : jejas (-/-), tampak tertinggal gerak (-)
Palpasi : emfisema subkutis (-/-)
Perkusi : (sonor/sonor)
Auskultasi : suara dasar vesikuler (+/+), wheezing (-/-),
rhonki (-/-)
Cor : S1>S2 reguler, murmur (-), gallop (-)
7. Pemeriksaan abdomen
Dinding perut : datar, jejas (-)
Auskultasi : bising usus (+) normal
Perkusi abdomen : timpani di seluruh lapang paru
Palpasi abdomen : tidak teraba nyeri, hepar dan lien
tidak teraba pembesaran
8. Pemeriksaan ekstremitas : Jejas (-/-/-/-),
Vulnus (-/-/-/-), Edema (-/-/-/-), Deformitas
(-/-/-/-), Sianosis -/-/-/-, Tremor (+/+)
9. Pemeriksaan limphonodi : tidak ada pembesaran kelenjar getah bening
10. Pemeriksaan reflek : tidak dilakukan
11. Pemeriksaan turgor kulit : capillary refill < 2 detik
12. Pemeriksaan kulit : psoariasis (-), kelembaban kulit cukup
13. Pemeriksaan akral : hangat +/+/+/+

Pemeriksaan Status Mental

1. Gambaran Umum
a. Penampilan: seorang laki-laki berusia 27 tahun, tampak sesuai umur,
perawatan diri cukup baik.
b. Perilaku dan psikomotor: tenang, jalan seperti robot
c. Sikap terhadap pemeriksa: kooperatif
2. Kesadaran
a. Kuantitatif : GCS E4V5M6
b. Kualitatif : tampak sakit jiwa
3. Pembicaraan
a. Kuantitatif : koheren
b. Kualitatif : volume cukup, intonasi dan artikulasi jelas
4. Mood dan afek:
a. Mood : eutimia
b. Afek : appropiate
5. Proses Pikir:
a. Bentuk pikiran : realistik
b. Isi Pikiran : gangguan isi pikiran (-)
c. Arus pikiran : koheren
6. Persepsi
a. Halusinasi : tidak ditemukan
b. Ilusi : tidak ditemukan
c. Depersonalisasi : tidak ditemukan
d. Derealisasi : tidak ditemukan
7. Kesadaran dan kognisi
a. Orientasi
1) Orang : baik
2) Tempat : baik
3) Waktu : baik
b. Daya Ingat
1) Remote memory : baik, pasien dapat menyebutkan anggota
keluarganya dengan benar.
2) Recent past memory : baik, pasien mengetahui alasan kenapa dan
kapan pasien dibawa ke rumah sakit.
3) Recent memory : baik, pasien mampu menyebutkan
sarapannya.
4) Immadiate retention and recall memory: baik, pasien mampu
menyebut angka yang pemeriksa sebutkan berturut-turut.
c. Daya konsentrasi dan perhatian : cukup baik
d. Kemampuan visuospasial : baik, pasien dapat ditanya perbedaan jeruk
dan bola. Pasien mengatakan bahwa jeruk untuk dimakan, dan bola
untuk mainan.
e. Pikiran abstrak : buruk, pasien tidak mengetahui tentang peribahasa.
f. Intelegensia dan kemampuan informasi : baik, saat ditanya siapa
nama presiden dan wakil presiden Indonesia saat ini pasien dapat
menjawab.
g. Kemampuan menolong diri sendiri : cukup baik
8. Pengendalian Impuls : baik dengan pengobatan
9. Daya Nilai dan Tilikan:
a. Daya nilai sosial:
Baik (Pasien mengatakan bahwa dirawat di rumah sakit agar cepat
sembuh).
b. Uji Daya Nilai:
Baik (Pasien mengatakan bahwa kejujuran itu penting)
c. Penilaian Realita : baik
d. Tilikan Diri:
Pasien mengetahui bahwa dirinya sakit dan periksa ke dokter jiwa.

Secara keseluruhan informasi diatas cukup dapat dipercaya.


C. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Saat dilakukan anamnesis, belum ada hasil pemeriksaan penunjang.

D. ASSESMENT
Berdasarkan autoanamnesis pada pasien didapatkan gangguan motorik
berupa badan terasa kaku-kaku dan jalan seperti robot. Pada saat anamnesis
pasien juga terlihat jarang berkedip. Pada pemeriksaan fisik ditemukan tremor
pada kedua tangan. Pasien dalam pengobatan skizofrenia dan mengonsumsi
obat-obatan psikotropika yaitu Haloperidol dan Diazepam yang
mengindikasikan gangguan medis umum yang berkaitan dengan efek samping
obat psikotropika.
Berdasarkan data-data yang telah tersebut diatas, maka sesuai dengan
kriteria PPDGJ III diusulkan diagnosis:
Aksis I : F20.x2 Skizofrenia episodik dengan kemunduran stabil
Aksis II : Tidak ada diagnosis
Aksis III : G25.9 Extrapyramidal & movement disorder
Aksis IV : Tidak ada diagnosis
Aksis V : Skala GAF 70-61 beberapa gejala ringan dan menetap,
disabilitas ringan dalam fungsi, secara umum masih baik.

E. PLANNING
1. Farmakologi
Dari dr. Maya, Sp.KJ :
- Injeksi Diazepam 1 gr/12 jam
- Trihexyphenidyl tab 2x2
- Merlopam tab 2x2
2. Non Farmakologi

a. Terapi individual
1) Memberikan informasi dan edukasi kepada pasien mengenai
penyakitnya serta hal-hal yang dapat mencetuskan atau
memperberat dan meringankan penyakit pasien sehingga dapat
memperpanjang remisi dan mencegah kekambuhan.
2) Memberikan informasi dan edukasi kepada pasien mengenai
pentingnya minum obat secara teratur, adanya efek samping yang
bisa timbul dari pengobatan ini.
b. Terhadap keluarga
1) Memberi penjelasan yang bersifat komunikatif, informatif dan
edukatif tentang keadaan penyakit pasien sehingga bisa menerima
dan memahami keadaan pasien, serta mendukung proses
penyembuhannya.
2) Memberi informasi dan edukasi kepada keluarga mengenai terapi
yang diberikan kepada pasien dan pentingnya pasien untuk kontrol
dan minum obat secara teratur
3) Memberikan informasi dan edukasi kepada keluarga mengenai
pentingnya dukungan dari pihak keluarga dalam keadaan pasien
yang seperti ini.
c. Terapi kelompok
1) Apabila kondisi pasien sudah lebih baik diberikan terapi aktivitas
kelompok, yang bertujuan untuk meningkatkan kemampuan pasien
dalam pengendalian impuls saat memberikan respon terhadap
stimulus dari luar, belajar mengungkapkan komunikasi verbal dan
mengekspresikan emosi secara sehat, membantu pasien untuk
meningkatkan orientasinya realitas dan memotivasi pasien agar
dapat bersosialisasi dengan sehat.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFINISI
Sistem ekstrapiramidal merupakan jaringan saraf yang terdapat pada otak
bagian sistem motorik yang mempengaruhi koordinasi dari gerakan. Letak dari
ekstrapimidal adalah terutama di formatio retikularis dari pons dan medulla, dan
di target saraf di medulla spinalis yang mengatur refleks, gerakan-gerakan yang
kompleks, dan kontrol postur tubuh.
Terapi antipsikotik dapat memberikan efek samping pengobatan,
utamanya penggunaan dalam jangka waktu yang panjang. Antipsikotik golongan
tipikal yang memiliki potensial tinggi dan pemberian dalam dosis tinggi paling
sering memberikan efek samping pada pasien karena memiliki afinitas yng kuat
pada reseptor muskarinik. Pendekatan farmakologi pada manifestasi psikosis ini
terpusat pada neurotransmitter yang mengontrol respon neuron-neuron terhadap
rangsangan.
Sindrom ekstrapiramidal (EPS) mengacu pada suatu gejala atau reaksi
yang ditimbulkan oleh penggunaan jangka pendek atau panjang dari medikasi
antipsikotik golongan tipikal. Obat antipsikotik tipikal yang paling sering
memberikan efek samping gejala ekstrapiramidal yakni Haloperidol,
Trifluoperazine, Pherpenazine, Fluphenazine, dan dapat pula oleh
Chlorpromazine. Gejala bermanifestasikan sebagai gerakan otot skelet, spasme
atau rigiditas, tetapi gejala-gejala tersebut di luar kendali traktus kortikospinal
(piramidal).

B. PREVALENSI
Sindrom ekstrapiramidal yang terjadi pada pemakai obat-obat neuroleptik lebih
sering pada obat golongan tipikal atau APG I (antipsikotik generasi
pertama)/FGAs (first-generation anti psychotics) dan lebih jarang pada golongan
atipikal atau APG II (anti psikotik golongan kedua)/ SGAs (second-generation
anti psychotics).
Berdasarkan penelitian Julaeha, dkk tahun 2016, mengenai gambaran efek
samping antipsikotik pada pasien skizofrenia pada bangsal rawat inap di RS
Grhasia Yogyakarta, prevalensi ekstrapiramidal akibat penggunaan antipsikotik
potensi rendah adalah 2,3-10%, sedangkan pada antipsikotik potensi tinggi
prevalensi ekstrapiramidal mengalami peningkatan hingga 64%.
Berdasarkan penelitian Susilowati tahun 2005 terhadap pasien rawat inap
Rumah Sakit Jiwa Daerah dr. Amino Gondohutomo Semarang didapatkan bahwa
setiap orang atau pasien yang menggunakan haloperidol berkemungkinan akan
mengalami efek samping ekstrapiramidal sebesar 5 kali lipat lebih sering
dibandingkan dengan orang yang tidak menggunakan haloperidol. Pada penelitian
ini juga didapatkan bahwa gejala ekstrapiramidal yang paling banyak terjadi
adalah parkinsonisme sebesar 72,73% dengan gejala yang menyertainya.

C. ETIOLOGI
Penyebab utama sindrom ekstrapiramidal termasuk obat-obatan seperti:
1. Antipsikotik.
Obat antipsikotik terdiri dari antipsikotik tipikal dan atipikal. Mekanisme
kerja obat anti-psikosis tipikal adalah memblokade dopamine pada
reseptor pasca-sinaptik neuron di otak, khususnya di sistem limbik dan
sistem ekstrapiramidal (Dopamine D2 receptor antagonists), sehingga
efektif untuk gejala positif. Sedangkan obat anti-psikosis atipikal
disamping berafinitas terhadap “Dopamine D2 Receptors”, juga terhadap
“Serotonin 5 HT2 Receptors” ( Serotonin-dopamine antagonists), sehingga
efektif juga untuk gejala negatif.
Tabel 1. Dosis dan efek samping/efek sekunder (sedasi, ekstrapiramidal)
obat anti-psikotik
Anti-psikotik Dosis (mg/hr) Sedasi Ekstrapiramidal
Chlorpromazine 150-160 +++ ++
Thioridazine 100-900 +++ +
Perphenazine 8-48 + +++
Trifluoperazine 5-60 + +++
Fluphenazine 5-60 ++ +++
Haloperidol 2-100 + ++++
Pimozide 2-6 + ++
Clozapine 25-100 ++++ -
Zotepine 75-100 + +
Sulpiride 200-1600 + +
Risperidone 2-9 + +
Paliperidone 3-12 + +
Quetiapine 50-400 + +
Olanzapine 10-20 + +
Aripiprazole 10-20 + +

2. Antidopaminergik anti-emetik. Obat ini mengurangi fungsi dari neuron-


neuron dopaminergik. Contoh obatnya ialah metoclopramide.
3. Trisiklik antidepresan. Amoxapine, obat trisiklik antidepresan juga bisa
mengakibatkan EPS.

4. Penyebab lain EPS antara lain serebral palsi dan kerusakan otak yang
efeknya pada sistem ekstrapiramidal. EPS sering terjadi setelah
pengambilan obat-obatan diatas dalam beberapa jam atau bisa beberapa
tahun setelah pengobatan (pengobatan jangka panjang).

D. PATOFISIOLOGI
Sistem ekstrapiramidal bertanggungjawab atas:
 Pergerakan involunter dan refleks sistem motorik.
 Modulasi pergerakan.
 Mengatur dan memodulasi sel tanduk anterior dari traktus spinalis,
sehingga membatasi pergerakan motor involunter.
Sistem ekstrapiramidal terletak di luar korteks motorik yang melewati saluran
corticobulbar dan kortikospinalis. Sistem piramidal bertanggung jawab atas
inervasi langsung dari motor neuron, sedangkan sistem ekstrapiramidal hanya
bertanggung jawab untuk bagian regulasi. Traktus ekstrapiramidal terutama
terletak pada formasi reticular dari medula dan pons. Ia juga dapat ditemukan di
daerah tulang belakang, yang bertanggung jawab untuk pergerakan, refleks,
kontrol postur tubuh dan gerakan kompleks.
Traktus ekstrapiramidal diregulasi secara bergantian oleh ganglia basalis, jalur
striatonigral, nucleus vestibular, area sensorik dari korteks otak dan serebelum.
Daerah-daerah dan area regulasi adalah semua bagian dari sistem ekstrapiramidal.
Sistem ekstrapiramidal mengatur aktivitas motorik bahkan dengan tidak adanya
innervasi secara langsung dengan neuron motorik.
Umumnya semua neuroleptik menyebabkan beberapa derajat disfungsi
ekstrapiramidal dikarenakan inhibisi transmisi dopaminergik di ganglia basalis.
Pada pasien skizofrenia dan pasien dengan gangguan psikotik lainnya terjadi
disfungsi pada sistem dopamin sehingga antipsikotik tipikal berfungsi untuk
menghambat transmisi dopamin di jaras ekstrapiramidal dengan berperan sebagai
inhibisi dopaminergi yakni antagonis reseptor D2 dopamin. Namun penggunaan
zat-zat tersebut menyebabkan gangguan transmisi di korpus striatum yang
mengandung banyak reseptor D1 dan D2 dopamin. Gangguan jalur striatonigral
dopamin menyebabkan depresi fungsi motorik sehingga bermanifestasi sebagai
sindrom ekstrapiramidal. Beberapa neuroleptik tipikal (seperti haloperidol,
fluphenazine) merupakan inhibitor dopamin ganglia basalis yang lebih poten,
sebagai akibatnya menyebabkan efek samping gejala ekstrapiramidal yang lebih
menonjol.

E. GEJALA KLINIS
Gejala klinis ekstrapiramidal sering di bagi dalam beberapa kategori yaitu
reaksi distonia akut, akatisia, parkinsonism (Sindrom Parkinson), dan tardive
diskinesia.
1. Distonia
Distonia adalah kontraksi otot secara terus menerus yang menyebabkan
gerakan atau postur menjadi tidak normal. Distonia akut terjadi tak lama setelah
pemberian antipsikotik dan kadang-kadang setelah peningkatan dosis atau
peralihan ke obat antipsikotik dengan potensi yang lebih tinggi, terutama
antipsikotik potensi tinggi yang diberikan secara injeksi. Distonia yang diinduksi
antipsikotik biasanya bersifat fokal, meskipun dalam kasus yang jarang, dapat
mempengaruhi beberapa kelompok otot. Reaksi distonia bervariasi dalam hal
lokasi dan tingkat keparahan serta kadang-kadang menimbulkan nyeri.
Manifestasi yang biasa terjadi adalah distonia orofasial, lengkungan punggung,
dan ekstensi leher. Laringospasme yang mengancam jiwa juga dapat terjadi.
Gejala ini dapat bermanifestasi pada otot yang berperan pada saraf kranial, faring,
serviks, dan mengarah ke krisis okulogirik, rahang kaku, lidah, tortikolis,
retrokolis, spasme faring, disartria, disfagia, dan kadang-kadang kesulitan
bernapas, sianosis, dan opistotonus.
2. Akatisia
Akatisia sangat umum terjadi (sekitar setengah dari semua kasus EPS), kurang
disadari, dan sulit diobati. Ini terjadi sebagian besar dalam tiga bulan pertama
perawatan. Sindrom ini terdiri dari komponen subjektif dan objektif. Komponen
subjektif yang dirasakan pasien adalah rasa gelisah dan keinginan untuk bergerak
yang tak tertahankan. Mereka menggambarkan adanya rasa tertekan, gugup, dan
tegang yang sangat tidak nyaman. Secara objektif, peningkatan aktivitas motorik
terdiri dari gerakangerakan yang kompleks, sering kali kurang stereotipik, dan
terjadi berulang-ulang. Ketidaktenangan motorik (motoric restlessness) biasanya
dinyatakan sebagai gerakan seluruh anggota tubuh, tetapi kadang-kadang hanya
sebagai restless legs. Pasien akan cenderung menyilangkan dan meluruskan kaki
mereka, gelisah di kursi atau tempat tidur, melompat, berdiri dan kemudian segera
kembali ke posisi sebelumnya, serta berjalan seolah-olah berbaris di tempat.
3. Parkinsonisme imbas obat.
Interval antara penggunaan obat dan timbulnya gejala-gejala parkinsonisme
berkisar beberapa hari hingga beberapa bulan. Parkinsonisme imbas obat biasanya
berkembang antara 2 minggu hingga 1 bulan setelah pemberian antipsikotik atau
peningkatan dosis. Dalam suatu penelitian, ditemukan 50-70% kasus berkembang
dalam 1 bulan dan 90% dalam 3 bulan. Manifestasinya dapat berupa trias
parkinsonisme: bradikinesia, rigiditas, dan tremor, meskipun biasanya tidak
terlalu khas. Gejala dan tanda-tanda lain termasuk gaya berjalan yang tidak stabil,
berkurangnya kekompakan anggota gerak, anteropulsi, hipomimia, dan sialore.
Tremor postural lebih umum daripada tremor istirahat. Tremor bibir dan otot
perioral dapat diamati juga, yang juga disebut "rabbit syndrome".
4. Diskinesia tardif.
Diskinesia tardif adalah gerakan tidak sadar yang abnormal setelah minimal 3
bulan perawatan antipsikotik pada pasien tanpa penyebab lain yang dapat
diidentifikasi. Sindrom ini terdiri dari gerakan stereotipik berulang berupa gerakan
memutar lidah, bibir mengerut, dan gerakan mengunyah. Otot-otot wajah bagian
atas lebih jarang dipengaruhi oleh gerakan-gerakan involunter. Namun demikian,
dapat terlihat peningkatan kedipan mata, blefarospasme, gerak mengernyit, dan
kedutan mata. Keterlibatan tambahan dari trunkus dan ekstremitas sering terjadi,
meskipun bervariasi dalam presentasi dan tingkat keparahannya. Gerakan tubuh
yang bergoyang-bergoyang bersama dengan dorongan panggul (diskinesia
kopulatorik) kadang-kadang dapat ditemukan. Pada bentuk yang meluas, pasien
terlihat menyentak kaki, dan ada fleksi-ekstensi lutu berulang yang tidak teratur.
Saat berdiri di tempat, pasien cenderung untuk menggeser berat badan mereka
dari satu kaki ke kaki yang lain atau berjalan mondar-mandir.

F. DIAGNOSIS
Sindrom ekstrapiramidal dapat dibagi menjadi sindrom akut dan tardif
(lambat). EPS akut berkembang dalam jam atau minggu setelah memulai atau
meningkatkan dosis antipsikotik. Manifestasi motorik termasuk akatisia (gelisah
dan mondarmandir), distonia akut (postur abnormal yang berkelanjutan dan
kejang otot, terutama kepala atau leher), dan parkinsonisme (tremor, rigiditas, dan
atau bradikinesia). Diskinesia dan distonia tardif adalah sindrom yang
berkembang selanjutnya. Biasanya berkembang setelah penggunaan antipsikotik
yang berkepanjangan. Dalam kebanyakan kasus, pemeriksaan laboratorium dan
pencitraan tidak diperlukan. Diagnosis cukup dibuat dari anamnesis dan
pemeriksaan fisik yang teliti. Pada anamnesis, terutama diteliti riwayat paparan
obat. EPS mungkin sulit untuk dibedakan dari gangguan gerakan idiopatik
lainnya. Kekakuan dan ketegangan otot adalah gejala nonspesifik yang dapat
diamati pada sindrom neuroleptik maligna, sindrom serotonin, dan gangguan
gerak lainnya.

Tabel 2. Neuroleptic-induced movement disorders


Acute Chronic/late
1.Parkinsonism/PseudoParkinsonism 1. Tardive dyskinesia/Tardive
- Muscle rigidity syndrome
- Tremor
- Bradykinesia
- Postural abnormalities
- Salivation
2. Acute dystonia
- Torticollis/retrocollis
- Trismus
- Dystonia of the trunk and limbs
- Blepharospasm
- Oculogyric crisis
- Glossopharyngeal spasmus
- Respiratory stridor/cyanosis
3. Acute akathisia
- Motor restlessness accompanied by
subjective feelings of inner tension and
discomfort, mainly in the limbs.

G. TERAPI
Pencegahan primer terjadinya sindrom ekstrapiramidal pada penggunaan
obat golongan neuroleptik atau anti-psikotik termasuk tardive dyskinesia adalah
dengan penggunaan obat anti-psikotik dosis rendah namun efektif dan durasi
penggunaan bila memungkinkan dalam waktu tidak lama. Bila timbul gejala
ekstrapiramidal ringan-sedang, turunkan dosis obat anti-psikotik mencapai dosis
minimal namun efektif, dan bila menggunakan obat anti-psikotik
konvensional/tipikal/APG I misalnya haloperidol dapat diganti dengan yang
atipikal/APG II misalnya risperidone, olanzapine, quetiapine, atau clozapine.
Hanya clozapine yang dapat mengurangi risiko terjadinya gangguan
ekstrapiramidal termasuk tardive dyskinesia. Bila timbul gejala gangguan
ekstrapiramidal berat, obat anti-psikotik segera dihentikan dan diberi terapi untuk
menghilangkan efek samping ekstrapiramidal tersebut.
Pada distonia akut yang biasanya timbul dalam 24-48 jam setelah minum
obat antipsikotik dan jarang pada orang tua, berikan antihistamin
diphenhydramine 50 mg iv/im, atau benztropine, 1-2 mg iv/im, atropine sulfate 1-
2 mg iv, atau diazepam 10 mg iv sebagai terapi alternatif, serta bila perlu dapat
lagi diulangi setelah 20-30 menit.
Pada akatisia akut atau pseudoParkinson yang biasanya timbul dalam
beberapa hari-minggu dan kebanyakan pada orang tua dapat diberikan
antikolinergik seperti trihexyphenidyl 4-15 mg/hari atau benztropine mesylate 4-6
mg/hari, amantadine 100-200 mg/hari, propranolol 30-80 mg/hari; benzodiazepin
seperti clonazepam 6-12 mg/hari, diazepam 6-25 mg/hari, atau lorazepam 3-8
mg/hari; serotonin 5HT2 antagonist seperti mirtazapine, mianserin, trazodone,
fluvoxamine, cyproheptadin; glutamate receptor blocking agent/dopamine
increaser seperti amantadine; alpha agonist: clonidine; GABAmimetic drugs:
gabapentin, zolpidem. Kerugian pemberian amantadine dapat mengeksaserbasi
gejala psikosis. Pemakaian levodopa umumnya tidak efektif.
Bila pemakaian anti-psikotik dari golongan neuroleptik poten dosis tinggi
yang diduga nantinya akan dapat timbul efek samping ekstrapiramidal, banyak
juga yang menyertakan terapi profilaksis dengan bersamaan pemberian
antikolinergik seperti misalnya trihexyphenidyl 4-15 mg/hari atau benztropine 4-6
mg/hari untuk mengurangi efek asetilkolin yang berlebihan karena penghambatan
dopamin. Pemakaian antikolinergik juga mempunyai efek samping seperti mulut
kering, konstipasi, retensi urin, gangguan memori, atau penglihatan kabur. Juga
pemberian lecithin 3-9 gr/hari, vitamin B6 1.200 mg/hari, vitamin E 400-1.600
IU/hari, branched chain amino acid (valine, isoleucine, leucine), dan N-acetyl
cysteine bermanfaat dalam pencegahan dan terapi gangguan eksrapiramidal
khususnya tardive dyskinesia karena pemakaian obat golongan neuroleptik.

Tabel 3. Obat-obatan yang digunakan untuk mengobati gangguan gerak yang disebabkan
obat
Medication Dosis Indication
Trihexyphenidyl 5-15 mg/hari Acute or tardive dystonia,
Parkinsonism or tardive
Parkinsonism, acute or tardive
akathisia.
Benztropin 4-6 mg/hari Acute or tardive dystonia,
Parkinsonism or tardive
Parkinsonism, Acute or tardive
akathisia.
Diphenhydramine 75-300 mg/hari Acute dystonia
Propranolol 30-80 mg/hari Acute or tardive akathisia.
Clonazepam 6-12 mg/hari Acute or tardive akathisia,
tardive dyskinesia.
Lorazepam 3-8 mg/hari Acute or tardive akathisia.
Mirtazapine 7,5-45 mg/hari Acute or tardive akathisia.
Amantadine 100-200 mg/hari Parkinsonism or tardive
Parkinsonism
Tetrabenazine 25-200 mg/hari Tardive dyskinesia, tardive
dystonia, tardive akathisia.
Valbenazine 40-80 mg/hari Tardive dyskinesia, tardive
dystonia, tardive akathisia.
Reserpine 1-9 mg/har Tardive akathisia, tardive
dyskinesia, tardive dystonia.
Baclofen 30-40 mg/hari Tardive dystonia.
Levetiracetam 1000-3000 mg/hari Tardive dyskinesia.
Piracetam 4800 mg/hari Tardive dyskinesia.
Ginkgo bilaba 2400 mg/hari Tardive dyskinesia
Branched chain animo acid 225 mg/BB/8 jam Tardive dyskinesia.
(valine, isoleucine, leucine)

H. PROGNOSIS

Sindrom akut dari EPS biasanya akan mengalami perbaikan dengan intervensi
farmakologis. Pengobatan dengan antikolinergik memiliki hasil yang cukup
efektif. Pada kasus distonia, penggunaan obat antikolinergik memberikan hasil
yang baik. Kemungkinan remisi spontan pada distonia tetap ada, tetapi dalam
banyak kasus, distonia bertahan selama bertahun-tahun. Demikian pula dengan
akatisia dan parkinsonisme imbas obat, meskipun dalam beberapa kasus gangguan
gerakan tetap bertahan setelah obat pencetus diberhentikan, pemilihan regimen
obat yang tepat dapat memperbaiki gejala. Diskinesia tardif dapat bertahan setelah
penghentian pengobatan atau bahkan tidak dapat dikembalikan lagi. Dalam suatu
penelitian, ditemukan hanya 5 dari 42 pasien yang mencapai remisi setelah
penghentian DRBAs hingga 6-7 tahun.
DAFTAR PUSTAKA
Berawi, K. N., & Umar, F. S. (2017). Sindrom Ekstra Piramidal pada Laki-laki 29
tahun dengan Skizofrenia Paranoid. AgromedUnila, 109-113.

Julaeha, Ananda, V. D., & Pradana, D. A. (2016). Gambaran Efek Samping


Aantipsikotik Pada Pasien Skizofrenia pada Bangsal Rawat Inap di RS. Grhasia
Yogyakarta. Farmasains, 36-41.

Maslim, R. (2013). Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan Ringkas dari
PPDGJ-III dan DSM-5. Jakarta: BIKJ FK UNIKA Atmajaya.

Maslim, R. (2014). Panduan Praktis Penggunaan Klinis Obat Psikotropik.


Jakarta: BIKJ FK UNIKA Atmajaya.

Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran (PNPK) Jiwa/Psikiatri. (2012).


Jakarta: Pengurus Pusat Perhimpunan Dokter Spesialis Kesehatan Jiwa Indonesia.

Rompis, N. N., Mawuntu, A. H., Jasi, M. T., & Tumewah, R. (2020). Sindrom
Ekstrapiramidal. Jurnal Sinaps Unsrat, 42-48.

Sadock, B. J. (2001). Pocket Hand book of Psychiatric Drug Treatment. USA:


Lippincott Williams & Wilkins.

Sendika, N. C., Nurmainah, & Untari, E. K. (2019). Profil Penggunaan


Antipsikotik Tipikal pada Pasien Skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa Daerah Sungai
Bangkong Pontianak. Fakultas Farmasi Universitas Tanjungpura, 1-7.

Susilowati, S. (2005). Penyidikan Efek Samping Haloperidol dan


Chlorpromazine: Studi Kasus pada Pasien Rawat Inap Rumah Sakit Jiwa Daerah
dr. Amino Gondohutomo Semarang Periode 2005. Fakultas Farmasi Universitas
Wahid Hasyim Semarang, 4-9.

Swayami, I. G. (2014). Aspek Biologi Triheksifenidil di Bidang Psikiatri. Jurnal


Ilmiah Kedokteran FK UNUD, 88-92.

UNUD (2017). Neurotrauma and Movement Disorders: Improving Knowledge for


Saving Lives. The 5th Bali Neurology Update 2017. Denpasar: Udayana
University Press.

Anda mungkin juga menyukai