Oleh:
dr. Fitriyah Sabrina
Pendamping:
dr. Henri Perwira Negara
dr. Nofi Liza Meliana
RS SIAGA MEDIKA
PROGRAM INTERNSHIP DOKTER INDONESIA
(Periode 06 September 2018 – 06 September 2019)
Berita Acara Presentasi Portofolio
Pada hari ini hari Kamis, tanggal Maret 2019 telah dipresentasikan portofolio oleh:
Nama : dr. Fitriyah Sabrina
Judul/ topik : (F32.01) Gangguan Depresi sedang tanpa
gejala somatik
No. ID dan Nama Pendamping : dr. Nofi Liza Meliana
dr. Henri Perwira Negara
No. ID dan Nama Wahana : RS Siaga Medika Pemalang
1. 1.
2. 2.
3. 3.
4. 4.
5. 5.
6. 6.
7. 7.
Berita acara ini ditulis dan disampaikan sesuai dengan yang sesungguhnya.
Pendamping Pendamping
No. ID dan Nama Peserta : dr. Fitriyah Presenter : dr. Fitriyah Sabrina
Sabrina
No. ID dan Nama Wahana : RS Siaga Medika Pendamping : dr. Henri Perwira Negara
Pemalang dr. Nofi Liza Meliana
OBJEKTIF PRESENTASI
o Deskripsi :
Autoanamnesis dan alloanamnesis dengan keluarga pasien dilakukan pada tanggal 22 Januari
2019 di IGD Siaga Medika Pemalang
o Tujuan:
6. Riwayat Keluarga
Pasien adalah anak keempat dari empat bersaudara. Hubungan pasien dengan sauadara
kandung dan adik-adik nya cukup baik. Pasien tidak memiliki riwayat keluarga yang
memiliki gangguan jiwa. .
7. Lain-lain : (-)
HASIL PEMBELAJARAN:
1. SUBJEKTIF
a. Alloanamnesis:
Alloanamnesis didapatkan dari Tn. U, kakak pasien, berusia 40 tahun, bekerja
sebagai wiraswasta (satu rumah dengan pasien). Tn. U menceritakan bahwa pasien
dibawa ke RS Siaga Medika karena 1 bulan pasien sering melamun dan tampak sedih.
Keluhan dialami sejak 1 bulan yang lalu, pasien terlihat sering melamun. Menurutnya,
ia sering melamun karena khawatir memikirkan biaya hidup dan pendidikan serta masa depan
kedua anaknya. Pasien saat ini tidak mempunyai pekerjaan tetap dan tidak mendapatkan
nafkah dari suaminya selama 2 tahun. Pasien sudah menikah sejak tahun 1997 dengan suami
dan sejak itu pasien tinggal bersama mertua dan bertetangga dengan tante dari suami pasien.
Pasien mengaku dijodohkan dengan suaminya yang merupakan keluarga jauhnya. Diketahui
bahwa pasien selama 2 tahun terakhir tidak mendapatkan nafkah dari suaminya dikarenakan
pasien belum resmi bercerai dengan suami, namun pasien sudah tidak tinggal bersama dengan
suami selama 2 tahun ini dikarenakan suami meninggalkan pasien karena ketidakcocokan
dengan keluarga suami, terutama dengan ibu kandung dari suami dalam hal keuangan.
Menurut pasien, hal ini karena ia selama ini tidak pernah memberi uang setiap bulan kepada
ibu kandung suaminya untuk biaya hidup ibu kandung suaminya yang sudah menjadi janda.
Menurutnya, tante suami pasien juga selalu ingin mencampuri semua urusan rumah tangga
pasien. Sejak itu hubungan pasien dengan tante dan mertuanya kurang baik. Sedang suami juga
diam saja, dan terlalu menurut kepada tantenya. Namun, menurut kakak pasien, tidak pernah
terlihat pasien dan ibu kandung suami pasien bertengkar. Dan diketahui dari kakak pasien, saat
ini suami pasien telah mengirimkan surat cerai kepada pasien karena tidak ingin melihat istri
dan ibu kandung nya bertengkar. Pasien yang mendengar hal tersebut saat selesai sholat
tarawih di Mesjid dan kemudian langsung menangis di Mesjid, dan ia menyalahkan dirinya
karena menganggap masalah yang dihadapinya sekarang adalah kesalahannya dan merasa
mungkin karena pernah berdosa kepada orang tua kandungnya. Sejak saat itu pasien jadi sering
tampak murung, jarang tersenyum, mulai putus asa dan tidak bersemangat dalam menjalani
kehidupan sehari-hari sebagai ibu rumah tangga.
Terkadang pasien mengaku pikirannya terasa kosong dan bingung harus melakukan
apa dan mengaku sulit berkonsentrasi sehingga pekerjaan atau urusan rumah tangga seperti
berbelanja di pasar, mengantarkan anak ke sekolah, dan memasak untuk anak menjadi
terganggu.
Pasien juga mengeluh sulit memulai tidur, jika tertidur, pasien sering terbangun tengah
malam, kemudian menangis dan tidak dapat tertidur lagi. Nafsu makan pasien juga menurun.
Pasien pernah berobat ke Puskesmas dan hanya di beri vitamin.
Autoanamnesis:
2. OBJEKTIF
PEMERIKSAAN STATUS MENTAL
a. Gambaran Umum
1. Penampilan: seorang wanita berusia 23 tahun, tampak sesuai umur, perawatan diri
cukup.
2. Perilaku dan psikomotor : hipoaktif
3. Sikap terhadap pemeriksa: kurang kooperatif.
b. Kesadaran
1. Kuantitatif : GCS E4V5M6
2. Kualitatif : berubah
c. Pembicaraan
1. Kuantitatif : koheren
2. Kualitatif : volume kecil, intonasi dan artikulasi tidak jelas
d. Mood dan afek:
1. Mood : hipotimia
2. Afek : depresi
3. Keserasian : serasi
4. Empati : dapat dirabarasakan
e. Pikiran:
1. Bentuk pikiran : realistik
2. Isi Pikiran : gangguan isi pikiran (-)
3. Arus pikiran : koheren
f. Persepsi
1. Halusinasi : tidak ditemukan
2. Ilusi : tidak ditemukan
3. Depersonalisasi : tidak ditemukan
4. Derealisasi : tidak ditemukan
g. Kesadaran dan kognisi
1. Orientasi
a. Orang : baik
b. Tempat : baik
c. Waktu : baik
2. Daya Ingat
a. Remote memory : baik, pasien dapat menyebutkan anggota keluarganya
dengan benar.
b. Recent past memory : baik, pasien mengetahui alasan kenapa dan kapan
pasien dibawa ke rumah sakit.
c. Recent memory : baik, pasien mampu menyebutkan menu makan
siangnya.
d. Immadiate retention and recall memory: baik, mampu menyebut angka yang
pemeriksa sebutkan berturut-turut.
3. Daya konsentrasi dan perhatian
Baik, pasien dapat saat dites dengan seven serial test.
4. Kemampuan visuospasial
Baik, pasien dapat ditanya perbedaan jeruk dan bola.
5. Pikiran abstrak
Baik, pasien mengetahui tentang peribahasa.
6. Intelegensia dan kemampuan informasi
Tidak terganggu, saat ditanya siapa nama presiden dan wakil presiden Indonesia
saat ini pasien dapat menjawab.
7. Kemampuan menolong diri sendiri
Baik
h. Pengendalian Impuls
Baik
i. Daya Nilai dan Tilikan:
1. Daya nilai sosial:
Baik ( Pasien mengatakan bahwa sholat itu harus dilakukan dan harus ditambah
sholat malam)
2. Uji Daya Nilai:
Baik (Pasien mengatakan bahwa kejujuran itu penting)
3. Penilaian Realita:
Baik
4. Tilikan Diri:
Pasien memiliki kesadaran bahwa dirinya saat ini sakit dan memiliki motivasi
keinginan untuk sembuh dan ingin mengubah sikap dan perilaku yang selama ini
salah. (Tilikan derajat VI)
2. Status Neurologis:
- Fungsi kesadaran : GCS E4V5M6
- Fungsi luhur : baik
- fungsi kognitif : dalam batas normal
- fungsi motorik : dalam batas normal
- fungsi sensorik : dalam batas normal
3. ASSESSMENT
Pada pasien ini ditemukan adanya gangguan mood dan afek yang secara klinis
bermakna dan menimbulkan suatu penderitaan (distress) dan hendaya (disability) dalam
melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari yang biasa dan fungsi pekerjaan. Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa pasien ini menderita gangguan jiwa.
Dari alloanamnesis dengan suami pasien Tn.T terungkap bahwa pasien sering
diam seperti ini sudah dimulai sejak ±1 bulan dan tidak mau berbicara sama sekali sejak 2
hari ini. Pasien juga kehilangan nafsu makan, tidak mau bergaul dengan tetangga, sering
tiba- tiba menangis tanpa sebab. Pada pemeriksaan status internus dan status neurologis
tidak ditemukan kelainan yang mengindikasikan gangguan medis umum yang berkaitan
dengan gejala psikis. Pemeriksaan laboratorium tidak didapatkan adanya kelainan. Dari
pemeriksaan status mentalis didapatkan terdapat gangguan mood dan afek yaitu mood
hipotimia dan afek depresi. Tilikan derajat VI.
Berdasarkan data-data yang telah tersebut diatas, maka sesuai dengan kriteria
PPDGJ III diusulkan diagnosis:
Aksis I : F32.1 Episode Depresi Sedang
4. PLAN
Farmakoterapi :
Inf RL 20 tpm
Inj. Diazepam 2x 1 amp
Alprazolam ( 0,25 mg – 0, 25 mg – 0,5 mg)
Non Farmakologi
Terapi individual
- Memberikan informasi dan edukasi kepada pasien mengenai penyakitnya serta hal-hal
yang dapat mencetuskan atau memperberat dan meringankan penyakit pasien sehingga
dapat memperpanjang remisi dan mencegah kekambuhan.
- Memberikan informasi dan edukasi kepada pasien mengenai pentingnya minum obat
secara teratur, adanya efek samping yang bisa timbul dari pengobatan ini.
Terapi kelompok
- Apabila kondisi pasien sudah lebih baik diberikan terapi aktivitas kelompok, yang
bertujuan untuk meningkatkan kemampuan pasien dalam pengendalian impuls saat
memberikan respon terhadap stimulus dari luar, belajar mengungkapkan komunikasi
verbal dan mengekspresikan emosi secara sehat, membantu pasien untuk
meningkatkan orientasinya realitas dan memotivasi pasien agar dapat bersosialisasi
dengan sehat.
Terhadap keluarga
- Memberi penjelasan yang bersifat komunikatif, informatif dan edukatif tentang
keadaan penyakit pasien sehingga bisa menerima dan memahami keadaan pasien, serta
mendukung proses penyembuhannya dan mencegah kekambuhan
- Memberi informasi dan edukasi kepada keluarga mengenai terapi yang diberikan
kepada pasien dan pentingnya pasien untuk kontrol dan minum obat secara teratur
- Memberikan informasi dan edukasi kepada keluarga mengenai pentingnya dukungan
dari pihak keluarga dalam keadaan pasien yang seperti ini.
GANGGUAN DEPRESI
A. Kelainan Afektif
Istilah kelainan afektif mencakup penyakit-penyakit dengan gangguan afek
(mood) sebagai gejala primer, sedangkan semua gejala lain bersifat sekunder. Afek
bisa terus menerus depresi atau gembira (dalam mania) dan kedua episode ini bisa
timbul pada orang yang sama, karena itu dinamai “psikosis manik-depresif”. Penyakit
dengan hanya satu jenis serangan disebut unipolar, dan jika episode manik dan
depresif keduanya ada disebut bipolar (Ingram dkk, 1993).
Mood merupakan subjetivitas peresapan emosi yang dialami dan dapat
dutarakan oleh pasien dan terpantau oleh orang lain; termasuk sebagai contoh adalah
depresi, elasi dan marah. Kepustakaan lain, mengemukakan mood, merupakan
perasaan, atau nada “perasaan hati” seseorang, khususnya yang dihayati secara
batiniah (Ismail dkk, 2010).
Pasien dalam keadaan mood terdepresi memperlihatkan kehilangan energi dan
minat, merasa bersalah, sulit berkonsentrasi, hilangnya nafsu makan, berpikir mati
atau bunuh diri. Tanda dan gejala lain termasuk perubahan dalam tingkat aktivitas,
kemampuan kognitif, bicara dan fungsi vegetative (termasuk tidur, aktivitas seksual
dan ritme biologik yang lain). Gangguan ini hampir selalu menghasilkan hendaya
(handicap) interpersonal, sosial dan fungsi pekerjaan (Ismail dkk, 2010).
Klasifikasi gangguan suasana perasaan (mood/afektif) menurut PPDGJ-III
(Depkes RI,1993):
F30 Episode Manik
F30.0 Hipomania
F30.1 Mania tanpa gejala psikotik
F30.8 Mania dengan gejala psikotik
F30.9 Episode Manik YTT
F31 Gangguan Afektif Bipolar
F31.0 Gangguan afektif bipolar, episode hipomanik
F31.1 Gangguan afektif bipolar, episode kini manik tanpa gejala psikotik
F31.2 Gangguan afektif bipolar, episode kini manik dengan gejala psikotik
F31.3 Gangguan afektif bipolar, episode kini depresif ringan atau sedang
.30 Tanpa gejala somatik
.31 Dengan gejala somatik
F31.4 Gangguan afektif bipolar, episode kini depresif berat tanpa gejala
psikotik
F31.5 Gangguan afektif bipolar, episode kini depresif berat dengan gejala
psikotik
F31.6 Gangguan afektif bipolar, episode kini campuran
F31.7 Gangguan afektif bipolar, episode kini dalam remisi
F31.8 Gangguan afektif bipolar lainnya
F31.9 Gangguan afektif bipolar ytt
F32 Episode Depresif
F32.0 Episode depresif ringan
.00 Tanpa gejala somatik
.01 Dengan gejala somatik
F32.1 Episode depresif sedang
.10 Tanpa gejala somatik
.11 Dengan gejala somatik
F32.2 Episode depresif berat tanpa gejala psikotik
F32.3 Episode depresif berat dengan gejala psikotik
F32.8 Episode depresif lainnya
F32.9 Episode depresif YTT
F33 Gangguan Depresif Berulang
F33.0 Gangguan depresif berulang, episode kini ringan
.00 Tanpa gejala somatik
.01 Dengan gejala somatik
F33.1 Gangguan depresif berulang, episode kini sedang
10 Tanpa gejala somatik
.11 Dengan gejala somatik
F33.2 Gangguan depresif berulang, episode kini berat tanpa gejala psikotik
F33.3 Gangguan depresif berulang, episode kini berat dengan gejala psikotik
F33.4 Gangguan depresif berulang, kini dalam remisi
F33.8 Gangguan depresif berulang lainnya
F33.9 Gangguan depresif berulang YTT
F34 Gangguan Suasana Perasaan (Mood/Afektif) Menetap
F34.0 Siklotimia
F34.1 Distimia
F34.8 Gangguan suasana perasaan (mood/afektif) menetap lainnya
F34.9 Gangguan suasana perasaan (mood/afektif) menetap YTT
F38 Gangguan Suasana Perasaan (Mood/Afektif) Lainnya
F38.0 Gangguan suasana perasaan (mood/afektif) tunggal lainnya
.00 Episode afektif campuran
F38.1 Gangguan suasana perasaan (mood/afektif) berulang lainnya
.10 Gangguan depresif singkat berulang
F38.8 Gangguan suasana perasaan (mood/afektif) lainnya YDT
F39 Gangguan Suasana Perasaan (Mood/Afektif) YTT
B. Definisi
Depresi adalah gangguan psikiatri yang menonjolkan mood sebagai
masalahnya, dengan berbagai gambaran klinis yakni gangguan episode depresif,
gangguan distimik, gangguan depresif mayor dan gangguan depresif unipolar serta
bipolar (Ingram dkk, 1993).
Depresi merupakan satu masa terganggunya fungsi manusia yang berkaitan
dengan alam perasaan yang sedih dan gejala penyertanya, termasuk perubahan pada
pola tidur dan nafsu makan, psikomotor, konsentrasi, anhedonia, kelelahan, rasa putus
asa dan tak berdaya, serta gagasan bunuh diri (Kaplan dkk, 1992).
Jika gangguan depresif berjalan dalam waktu yang panjang (distimia) maka
orang tersebut dikesankan sebagai pemurung, pemalas, menarik diri dari pergaulan,
karena ia kehilangan minat hampir disemua aspek kehidupannya (Ingram dkk, 1993).
C. Angka Kejadian
Gangguan depresi berat, paling sering terjadi, dengan prevalensi seumur hidup
sekitar 15 persen. Perempuan dapat mencapai 25%. Sekitar 10% perawatan primer
dan 15% dirawat di rumah sakit. Pada anak sekolah didapatkan prevalensi sekitar 2%.
Pada usia remaja didapatkan prevalensi 5% dari komunitas memiliki gangguan
depresif berat (Ismail dkk, 2010).
1. Jenis Kelamin
Perempuan 2x lipat lebih besar disbanding laki-laki. Diduga adanya perbedaan
hormon, pengaruh melahirkan, perbedaan stresor psikososial antara laki-laki dan
perempuan, dan model perilaku yang dipelajari tentang ketidakberdayaan (Ismail
dkk, 2010).
Pada pengamatan yang hampir universal, terdapat prevalensi gangguan
depresif berat yang dua kali lebih besar ada wanita dibandingkan dengan laki-laki
(Kaplan, 2010). Pada penelitian lain disebutkan bahwa wanita 2 hingga 3 kali
lebih rentan terkena depresi dibandingkan laki-laki (Akhtar, 2007). Walaupun
alasan adanya perbedaan tersebut tidak diketahui, alasan untuk perbedaan tersebut
didalilkan sebagai keterlibatan dari perbedaan hormonal, efek kelahiran,
perbedaan stressor psikososial dan model perilaku keputusasaan yang dipelajari
(Kaplan, 2010).
Pada penelitian yang dilakukan NIMH (2002) ditemukan bahwa prevalensi
yang tinggi pada wanita dibandingkan pria kemungkinan dikarenakan adanya
ketidakseimbangan regulasi hormon yang langsung mempengaruhi substansi otak
yang mengatur emosi dan mood contohnya dapat dilihat pada situasi PMS (Pre
Menstrual Syndrome). Untuk wanita yang telah menikah, depresi dapat diperparah
dengan masalah keluarga dan pekerjaan, merawat anak dan orangtua lanjut usia,
kekerasan dalam rumah tangga dan kemiskinan.
2. Usia
Rata-rata usia sekitar 40 tahun-an. Hampir 50% onset diantara usia 20-50
tahun. Gangguan depresi berat dapat timbul pada masa anak atau lanjut usia. Data
terkini menunjukkan gangguan depresi berat diusia kurang dari 20 tahun.
Mungkin berhubungan dengan meningkatnya pengguna alkohol dan
penyalahgunaan zat dalam kelompok usia tersebut (Ismail dkk, 2010).
Pada umumnya, rata-rata usia onset untuk gangguan depresif berat adalah
kira-kira 40 tahun, dimana 50% dari semua pasien mempunyai onset antara usia
20 dan 50 tahun. Gangguan depresif berat juga memiliki onset selama masa anak-
anak atau pada lanjut usia. Beberapa data epidemiologis menyatakan bahwa
insidensi gangguan depresif berat mungkin meningkat pada orang-orang yang
berusia kurang dari 20 tahun (Kaplan, 2010). Pada penelitian lain yang dilakukan
oleh Akhtar (2007) didapatkan bahwa tingkat prevalensi tertinggi terjadi pada
kelompok usia 20-24 tahun (14,3%) dan yang terendah pada kelompok usia >75
tahun (4,3%), sementara data yang didapatkan dari NIMH (2002) menyebutkan
bahwa tingkat depresi terbanyak ditemukan pada kelompok usia >18 tahun
(10%).
3. Status Perkawinan
Paling sering terjadi pada orang yang tidak mempunyai hubungan
interpersonal yang erat atau pada mereka yang bercerai atau berpisah. Wanita
yang tidak menikah memiliki kecenderungan lebih rendah untuk menderita
depresi dibandingkan dengan wanita yang menikah namun hal ini berbanding
terbalik untuk laki-laki (Ismail dkk, 2010).
Pada umumnya, gangguan depresif berat terjadi paling sering pada orang yang
tidak memiliki hubungan interpersonal yang erat, pasangan yang bercerai atau
berpisah (Kaplan, 2010). Penelitian yang dilakukan oleh Akhtar (2007)
memperlihatkan bahwa prevalensi tertinggi dari depresi didapatkan pada pasangan
yang bercerai atau berpisah.
D. Etiologi
Etiologi depresi terdiri dari:
1. Faktor genetik
Dari penelitian keluarga didapatkan gangguan depresi mayor dan gangguan
bipolar terkait erat dengan hubungan saudara; juga pada anak kembar, suatu bukti
adanya kerentanan biologik, pada genetik keluarga tersebut.
Data genetik dengan kuat menyatakan bahwa suatu faktor penting di dalam
perkembangan gangguan mood adalah genetika. Tetapi, pola penurunan genetika
adalah jelas melalui mekanisme yang kompleks. Bukan saja tidak mungkin untuk
menyingkirkan efek psikososial, tetapi faktor non genetik kemungkinan
memainkan peranan kausatif dalam perkembangan gangguan mood pada
sekurangnya beberapa orang. Penelitian keluarga menemukan bahwa sanak
saudara derajat pertama dari penderita gangguan depresif berat berkemungkinan 2
sampai 3 kali lebih besar daripada sanak saudara derajat pertama (Kaplan, 2010;
Tomb, 2004).
2. Faktor Biokmia
Sejumlah besar penelitian telah melaporkan berbagai kelainan di dalam
metabolit amin biogenik yang mencakup neurotransmitter norepinefrin, serotonin
dan dopamine (Gambar 2.1.4.1). Dalam penelitian lain juga disebutkan bahwa
selain faktor neurotransmitter yang telah disebutkan di atas, ada beberapa
penyebab lain yang dapat mencetuskan timbulnya depresi yaitu neurotransmitter
asam amino khususnya GABA (Gamma-Aminobutyric Acid) dan peptida
neuroaktif, regulasi neurendokrin dan neuroanatomis (Kaplan, 2010).
Pada regulasi neuroendokrin, gangguan mood dapat disebabkan terutama oleh
adanya kelainan pada sumbu adrenal, tiroid dan hormon pertumbuhan. Selain itu
kelainan lain yang telah digambarkan pada pasien dengan gangguan mood adalah
penurunan sekresi nocturnal melantonin, penurunan pelepasan prolaktin terhadap
pemberian tryptophan, penurunan kadar dasar FSH (Follicle Stimullating
Hormon) dan LH (Luteinizing Hormon), dan penurunan kadar testosteron pada
laki-laki (Trisdale, 2003).
Gambar 2.1.4.1. Mekanisme terjadinya depresi dengan etiologi neurotransmitter
b. Hipotesis Indolamin
Hipotesis indolamin membuat pernyataan serupa untuk 5-
hidroxitriptamin (5 HT). metabolit utamnya asam 5-hidroksi indolasetat
(5HIAA) menurun dalam LCS pasien depresi, dan 5 HIAA rendah pada otak
pasien yang bunuh diri. L-Triptofan, yang mempunyai efek antidepresi
meningkatkan 5HT otak (Ingram dkk, 1993).
3. Faktor Hormon
Kelainan depresi mayor dihubungkan dengan hipersekresi kortisol dan
kegagalan menekan sekresi kortisol sesudah pemberian dexametason. Pasien
depresi resisten terhadap penekanan dexametason dan hasil abnormal ini
didapatkan pada sekitar 50% pasien, terutama pada pasien dengan depresi bipolar,
waham dan ada riwayat penyakit ini dalam keluarga (Ingram dkk, 1993).
Wanita dua kali lebih sering dihubungkan dengan pruerperium atau
menopause. Bunuh diri dan saat masuk rumah sakit biasanya sebelum menstruasi.
Selama penyakit afektif berlangsung sering timbul amenore. Hal ini
menggambarkan bahwa gangguan endokrin mungkin merupakan faktor penting
dalam menentukan etiologi (Ingram dkk, 1993).
5. Faktor Lingkungan
Enam bulan sebelum depresi, pasien depresi mengalami lebih banyak
peristiwa dalam hidupnya. Mereka merasa kejadian ini tidak memuaskan dan
mereka keluar dari lingkungan social. 80% serangan pertama depresi didahului
oleh stress, tetapi angka ini akan jatuh menjadi hanya 50% pada serangan
berikutnya. Pasien depresi diketahui juga lebih sering pada anak yang kehilangan
orang tua di masa kanak-kanak dibandingkan dengan populasi lainnya (Ingram
dkk, 1993).
Menurut Freud, kehilangan obyek cinta, seperti orang yang dicintai, pekerjaan
tempatnya berdedikasi, hubungan relasi, harta, sakit terminal, sakit kronis dan
krisis dalam keluarga merupakan pemicu episode gangguan depresif. Seringkali
kombinasi faktor biologik, psikologik dan lingkungan merupakan campuran yang
membuat gangguan depresif muncul (Ismail dkk, 2010).
Satu pengamatan klinis yang telah lama direplikasi adalah bahwa peristiwa
kehidupan yang menyebabkan stress lebih sering mendahului episode pertama
gangguan mood daripada episode selanjutnya (Kaplan, 2010; Slotten, 2004). Satu
teori yang diajukan untuk menjelaskan pengamatan tersebut adalah bahwa stress
yang menyertai episode pertama menyebabkan perubahan biologi otak yang
bertahan lama. Perubahan yang bertahan lama tersebut dapat meyebabkan
perubahan keadaan fungsional berbagai neurotransmitter dan sistem pemberi
sinyal intraneuronal. Hasil akhir dari perubahan tersebut akan menyebabkan
seseorang berada pada resiko yang lebih tinggi untuk menderita episode gangguan
mood selanjutnya, bahkan tanpa adanya stresor external (Kaplan, 2010).
E. Klasifikasi
1. Episode Depresif
Pada semua tiga variasi dari episode depresif khas yang tercantum di bawah
ini: ringan, sedang dan berat, individu biasanya menderita suasana perasaan
(mood) yang depresif, kehilangan minat dan kegembiraan, dan berkurangnya
energy yang menuju meningkatnya keadaan mudah lelah dan berkurangnya
aktivitas. Biasanya ada rasa lelah yang nyata sesudah kerja sedikit saja. Gejala
lazim lainnya adalah (Depkes RI, 1993):
a. Konsentrasi dan perhatian berkurang
b. Harga diri dan kepercayaan diri berkurang
c. Gagasan tentang perasaan bersalah dan tidak berguna (bahkan pada episode
tipe ringan sekalipun)
d. Pandangan masa depan yang suram dan pesimistis
e. Gagasan atau perbuatan membahayakan diri atau bunuh diri
f. Tidur terganggu
g. Nafsu makan berkurang
Suasana perasaan (mood) yang menurun itu berubah sedikit dari hari ke
hari, dan sering kali tak terpengaruh oleh keadaan sekitarnya, namun dapat
memperlihatkan variasi diurnal yang khas seiring berlalunya waktu. Sebagaimana
pada episode manik, gambaran klinisnya juga menunjukkan variasi individual
yang mencolok, dan gambaran tak khas adalah lumrah, terutama di masa remaja.
Pada beberapa kasus, anxietas, kegelisahan dan agitasi motorik mungkin pada
waktu-waktu tertentu lebih menonjol daripada depresinya, dan perubahan suasana
perasaan (mood) mungkin juga terselubung oleh cirri tambahan seperti iritabilitas,
minum alkohol berlebih, perilaku histrionik, dan eksaserbasi gejala fobik atau
obsesif yang sudah ada sebelumnya, atau oleh preokupasi hipokondrik. Untuk
episode depresif dari ketiga-tiganya tingkat keparahan, biasanya diperlukan masa
sekurang-kurangnya 2 minggu untuk penegakkan diagnosis, akan tetapi periode
lebih pendek dapat dibenarkan jika gejala luar biasa beratnya dan berlangsung
cepat (Depkes RI, 1993).
Beberapa di antara gejala tersebut di atas mungkin mencolok dan
memperkembangkan cirri khas yang dipandang secara luas mempunyai makna
klinis khusus. Contoh paling khas dari gejala somatik ialah kehilangan minat atau
kesenangan pada kegiatan yang biasanya dapat dinikmati, tiadanya reaksi
emosional terhadap lingkungan atau peristiwa yang biasanya menyenangkan,
bangun pagi lebih awal 2 jam atau lebih daripada biasanya, depresi yang lebih
parah pada pagi hari, bukti objektif dari retardasi atau agitasi psikomotor yang
nyata (disebutkan atau dilaporkan oleh orang lain), kehilangan nafsu makan secara
mencolok, penurunan berat badan (sering ditentukan sebagai 5% atau lebih dari
berat badan bulan terakhir), kehilangan libido secara mencolok. Biasanya,
sindrom somatik ini hanya dianggapp ada apabila sekitar empat dari gejala itu
pasti dijumpai (Depkes RI, 1993).
F. Gambaran Klinik
Episode depresi. Mood terdepresi, kehilangan minat dan berkurangnya energy
adalah gejala utama dari depresi. Pasien mungkin mengatakan perasaannya sedih,
tidak mempunyai harapan, dicampakkan, atau tidak berharga. Emosi pada mood
depresi kualitasnya berbeda dengan emosi duka cita atau kesedihan yang normal
(Ingram dkk, 1993).
Pasien dalam keadaan mood terdepresi memperlihatkan kehilangan energi dan
minat, merasa bersalah, sulit berkonsentrasi, hilangnya nafsu makan, berpikir mati
atau bunuh diri. Tanda dan gejala lain termasuk perubahan dalam tingkat aktivitas,
kemampuan kognitif, bicara dan fungsi vegetative (termasuk tidur, aktivitas seksual
dan ritme biologik yang lain). Gangguan ini hampir selalu menghasilkan hendaya
interpersonal, sosial dan fungsi pekerjaan (Ismail dkk, 2010).
Adapun gambaran klinik dari pasien depresi ini antara lain (Ingram dkk,
1993):
1. Adanya gejala psikologis berupa penurunan vitalitas umum, yang mungkin
dinyatakan pasien sebagai suatu kehilangan dan sedih. Biasanya dia menarik diri
dari kehidupan sosialnya. Segala sesuatu kelihatannya tanpa harapan, selalu
murung, ansietas mungkin ada atau pasien mungkin mencoba untuk
menyembunyikan keluhannya (depresi senyum).
2. Variasi diurnal, dimana semua gejala cenderung memburuk pada dini hari dan
membaik di siang hari.
3. Bunuh diri, dapat menjadi tanda awal penyakit. Kemungkinan bunuh diri sulit
diduga sebelumnya, tetapi selalu harus diperhitungkan. Pikiran bunuh diri
seharusnya selalu ditanyakan dan jika ada harus dianggap serius. Penderita depresi
jarang membunuh keluarganya, tetapi kalau terjadi biasanya karena dia merasa
harus menyelamatkan keluarganya dari kehidupan yang sengsara.
4. Retardasi atau perlambatan berpikir biasa ditemukan dan dicerminkan dalam
pembicaraan serta pergerakannya. Ada kemiskinan pikiran dan kesulitan
berkonsentrasi. Pada kasus lain agitasi mungkin menjadi gejala dominan, disertai
dengan adanya kegelisahan motorik yang nyata.
5. Perasaan bersalah sering ditemukan disertai mengomeli diri sendiri dan turunnya
penilaian diri. Dalam kasus berat, bisa timbul waham dimana penyakit yang
dideritanya merupakan suatu hukuman untuk dosanya di masa lampau, baik itu
dosa yang dikhayalkannya maupun kesalahan yang memang benar-benar pernah
ia lakukan. Pasien juga bisa merasa bahwa dia dipandang rendah dan dituduh
bejad oleh orang lain. Kemungkinan ada keasyikan sendiri, hipokondriasis dan
waham hipokondria. Mungkin juga ada waham kemiskinan atau waham nihilistik.
6. Halusinasi jarang ditemukan, tetapi dapat timbul pada kasus berat.
7. Depersonalisasi dan derealisasi tidak jarang terjadi. Pasien menyatakan bahwa dia
kehilangan perasaan dan mempunyai sensasi asing. Dia merasa tidak nyata dan
baginya benda-benda terlihat tidak nyata.
8. Pikiran dan tindakan berisi perasaan bersalah atau menyalahkan diri sendiri
mungkin ditemukan.
9. Insomnia sering ditemukan. Gejala khasnya pasien mula-mula bangun dini hari,
kemudian semakin lama semakin pagi dan bahkan akhirnya dapat menjadi
insomnia total.
10. Anoreksia, konstipasi, gangguan pencernaan, penurunan berat badan, amenore dan
kehilangan libido biasa ditemukan. Mungkin terjadi kelelahan dan letargi, atau
tanda autonom ansietas.
Pikiran untuk melakukan bunuh diri dapat timbul pada sekitar dua pertiga
pasien depresi, dan 10-15% melakukan bunuh diri. Mereka yang dirawat dirumah sakit
dengan percobaan bunuh diri dan ide bunuh diri mempunyai umur hidup lebih panjang
disbanding yang tidak dirawat. Beberapa pasien depresi terkadang tidak menyadari ia
mengalami depresi dan tidak mengeluh tentang gangguan mood meskipun mereka
menarik diri dari keluarga, teman dan aktifitas yang sebelumnya menarik bagi dirinya.
Hampir semua pasien depresi (97%) mengeluh tentang penurunan energi dimana
mereka mengalami kesulitan menyelesikan tugas, mengalami kendala disekolah dan
pekerjaan, dan menurunnya motivasi untuk terlibat dalam kegiatan baru. Sekitar 80%
pasien mengeluh masalah tidur, khusunya terjaga dini hari (terminal insomnia) dan
sering terbangun dimalam hari karena memikirkan masalh yang dihadapi. Kebanyakan
pasien menunjukkan peningkatan atau penurunan nafsu makan, demikian pula dengan
bertambah dan menurunnya berat badan serta mengalami tidur lebih lama dari yang
biasa (Depkes RI, 1993).
G. Diagnosis
Konsep gangguan jiwa yang terdapat dalam PPDGJ III ini merujuk kepada
DSM-IV dan konsep disability berasal dari The ICD-10 Classification of Mental and
Behavioral Disorders. Menurut PPDGJ (2003), gangguan afektif berupa depresi dapat
terbagi menjadi episode depresif dan episode depresif berulang, dimana episode
depresif sendiri terbagi menjadi episode depresif ringan, sedang, dan berat.
Sedangkan untuk episode berulang terbagi menjadi episode berulang episode kini
ringan, episode kini sedang, episode kini berat tanpa gejala psikotik, episode kini
berat dengan gejala psikotik dan episode kini dalam remisi.
DSM-IV mendefinisikan sejumlah gangguan psikiatrik yang dapat
diidentifikasi (meskipun ada kemungkinan tumpang tindih) dan berisi kriteria
diagnostik yang spesifik untuk setiap diagnosis. Diagnosis dibuat berdasarkan
kenyataan dari riwayat pasien yang khas dan tampilan klinis yang cocok dan
memenuhi sejumlah kriteria diagnostik yang ditentukan (suatu diagnostik politetik,
tidak perlu seluruh kriteria dipenuhi untuk membuat diagnosa).
DSM-IV telah memperbaiki reabilitas diagnosis (kemungkinan orang yang
berbeda akan membuat diagnosis yang sama pada pasien yang sama), tetapi hanya
mempunyai dampak yang sederhana terhadap validitas. Hal ini boleh jadi karena DSM-
IV telah memecah kondisi psikiatrik menjadi terlalu banyak bagian-bagian dan setiap
bagian tidak mewakili suatu kondisi yang sah. Walaupun DSM-IV dapat dipergunakan
lintas kultural, penggunaannya pada situasi tertentu memerlukan kehati-hatian dalam
menginterpretasikan gejala-gejala.
Di samping kriteria yang ditentukan secara operasional, DSM-IV juga
menggunakan sistem klasifikasi multiaksial untuk menangkap informasi penting
lainnya, yaitu:
1. Aksis I : Gangguan-gangguan klinis yang digambarkan di atas.
2. Aksis II : Gangguan-gangguan kepribadian atau retardasi mental
3. Aksis III : Gangguan-gangguan fisik yang berhubungan dengan
gangguan mental
4. Aksis IV : Daftar masalah psikososial dan lingkungan, bisaanya
selama setahun sebelumnya, tetapi tidak selalu demikian, seperti tidak punya
pekerjaan, perceraian, problem keuangan, korban penelantaran anak dan lain-
lain.
DSM-IV telah menyusun gangguan mood tambahan baik di dalam badan teks dan
didalam appendiks. Gangguan-gangguan tersebut adalah sindrom yang berhubungan
dengan depresi, berupa gangguan depresif ringan (minor depressive diorder), gangguan
depresif singkat rekuren, dan gangguan disforik pramenstruasi. Pada gangguan depresif
ringan keparahan gejala tidak mencapai keparahan yang diperlukan untuk diagnosis
gangguan depresif berat. Pada gangguan depresif singkat rekuren gejala episode
depresif memang mencapai keparahan gejala yang diperlukan untuk diagnosis
gangguan depresif berat tetapi hanya untuk waktu singkat, dengan lama waktu yang
tidak memenuhi kriteria diagnostik untuk gangguan depresif berat.
DSM-IV menuliskan kriteria diagnostik untuk gangguan depresif berat secara
terpisah dari kriteria diagnostik untuk diagnosis berhubungan dengan depresi, dan juga
menuliskan deskriptor keparahan untuk episode depresif berat.
a. Depresif Berat dengan Ciri Psikotik
Adanya ciri psikotik pada gangguan depresif berat mencerminkan penyakit
yang parah dan merupakan indikator prognostik yang buruk.
H. Pemeriksaan
Selain dari klasifikasi yang telah dipaparkan di atas, ada beberapa instrumen-
instrumen pengukur tingkat depresi dapat digunakan untuk membantu memberikan
penilaian yang objektif terhadap kondisi depresi yang dialami oleh pasien. Berikut ini
adalah beberapa instrumen yang sering digunakan, yaitu:
a. Beck’s Depression Inventory
b. Hamilton Depression Scale
c. The Zung Self-Rating Depression Scale
Beck Depression Inventory (BDI) adalah tes depresi untuk mengukur keparahan
dan kedalaman dari gejala – gejala depresi seperti yang tertera dalam the American
Psychiatric Association's Diagnostik and Statistical Manual of Mental Disorders
Fourth Edition (DSM-IV) pada pasien dengan depresi klinis. BDI dapat digunakan
untuk dewasa ataupun remaja yang berumur 13 tahun ke atascan be used for both
adults and adolescents 13 years of age and older, dan merupakan sebuah ukuran
standar dari depresi yang terutama digunakan dalam penelitian dan untuk
mengevaluasi dari efekttivitas pengobatan dan terapi.
BDI tidak dapat digunakan sebagai instrumen untuk mendiagnosis, tetapi lebih
kepada identifikasi dari adanya depresi dan tingkat keparahannya sesuai dengan
criteria dari DSM-IV. Pertanyaan-pertanyaan yang tertera pada BDI II menilai gejala-
gejala khas dari depresi seperti gangguan mood, pesimisme, perasaan gagal,
ketidakpuasan diri, perasaan bersalah, merasa dihukum, ketidaksukaan terhadap diri
sendiri, pendakwaan terhadap diri, pikiran untuk bunuh diri, menangis, irittabilitas,
penarikan diri dari kehidupan sosial, gambaran tubuh, kesulitan bekerja, insomnia,
kelelahan, nafsu makan, kehilangan berat badan dan kehilangan libido.
I. Diferensial Diagnosis
Anamnesa dan pemeriksaan fisik yang tidak cermat dan teliti pada penderita
depresi, dapat menyebabkan kesalahan diagnostik sehingga menyebabkan terapi yang
inadekuat untuk pasien. Berdasarkan kepustakaan, ada beberapa kondisi yang harus
benar-benar diperhatikan sebagai diagnosa banding dari depresi (Kaplan, 2010),
diantaranya adalah:
1. Remaja yang terdepresi harus diuji untuk mononucleosis,
2. Pasien yang terdapat kelebihan berat badan atau kekurangan berat badan harus
diuji untuk disfungsi adrenal dan tiroid,
3. Homoseksual, biseksual dan pengguna zat aditif harus diuji untuk sindrom
imunodefisiensi sindrom (AIDS),
4. Pasien lanjut usia harus diuji untuk pneumonia virus dan kondisi medis lainnya,
5. Penyakit Parkinson adalah masalah neurologis yang paling umum bermanifestasi
sebagai gejala depresif,
J. Terapi
Pengobatan pasien dengan gangguan mood harus diamanahkan pada sejumlah
tujuan. Pertama, keamanan pasien harus terjamin. Kedua, pemeriksaan diagnostik
yang lengkap pada pasien harus dilakukan. Ketiga, suatu rencana pengobatan harus
dimulai yang menjawab bukan hanya gejala sementara tetapi juga kesehatan pasien
selanjutnya (Kaplan, 2010).
Dokter harus mengintegrasikan farmakoterapi dengan intervensi
psikoterapeutik. Jika dokter memandang gangguan mood pada dasarnya berkembang
dari masalah psikodinamika, ambivalensi mengenai kegunaan obat dapat
menyebabkan respons yang buruk, ketidakpatuhan, dan kemungkinan dosis yang
tidak adekuat untuk jangka waktu yang singkat. Sebaliknya, jika dokter mengabaikan
kebutuhan psikososial pasien, hasil dari farmakoterapi mungkin terganggu (NIMH,
2002).
1. Terapi Farmakologis
Antidepresan yang tersedia sekarang cukup bervariasi di dalam efek
farmakologisnya. Variasi tersebut merupakan dasar untuk pengamatan bahwa
pasien individual mungkin berespons terhadap antidepresan lainnya. Variasi
tersebut juga merupakan dasar untuk membedakan efek samping yang terlihat
pada antidepresan (Kaplan, 2010).
Pembedaan yang paling dasar diantara antidepresan adalah pada proses
farmakologis yang terjadi, dimana ada antidepresan yang memiliki efek
farmakodinamika jangka pendek utamanya pada tempat ambilan kembali
(reuptake sites) atau pada tingkat inhibisi enzim monoamine oksidasi. bekerja
untuk menormalkan neurotransmitter yang abnormal di otak khususnya epinefrin
dan norepinefrin. Antidepresan lain bekerja pada dopamin. Hal ini sesuai dengan
etiologi dari depresi yang kemungkinan diakibatkan dari abnormalitas dari sistem
neurotransmitter di otak (NIMH, 2002). Obat antidepresan yang akan dibahas
adalah antidepresi generasi pertama (Trisiklik dan MAOIs), antidepresi golongan
kedua (SSRIs) dan antidepresi golongan ketiga (SRNIs) (Arozal, 2007).
a. Trisiklik
Trisiklik merupakan antidepresan yang paling umum digunakan sebagai
pengobatan lini pertama untuk gangguan depresif berat (Kaplan, 2010).
Golongan trisiklik ini dapat dibagi menjadi beberapa golongan, yaitu trisiklik
primer, tetrasiklik amin sekunder (nortriptyline, desipramine) dan tetrasiklik
tersier (imipramine, amitriptlyne). Dari ketiga golongan obat tersebut, yang
paling sering digunakan adalah tetrasiklik amin sekunder karena mempunyai
efek samping yang lebih minimal. Obat golongan tetrasiklik sering dipilih
karena tingkat kepuasan klinisi dikarenakan harganya yang murah karena
sebagian besar golongan dari obat ini tersedia dalam formulasi generik
(Kaplan, 2010).
Golongan obat trisiklik bekerja dengan menghambat reuptake
neurotransmitter di otak. Secara biokimia, obat amin sekunder diduga bekerja
sebagai penghambat reuptake norepinefrin, sedangkan amin tersier
menghambat reuptake serotonin pada sinaps neuron.hal ini mempunyai
implikasi bahwa depresi akibat kekurangan norepinefrin lebih responsive
terhadap amin sekunder, sedangkan depresi akibat kekurangan serotonin akan
lebih responsive terhadap amin tersier (Arozal, 2007).
K. Prognosis
Gangguan mood cenderung memiliki perjalanan penyakit yang panjang dan
pasien cenderung mengalami kekambuhan. Episode depresif yang tidak diobati
berlangsung 6 sampai 13 bulan, sementara sebagian besar episode yang diobati
berlangsung kira-kira 3 bulan. Menghentikan antidepresan sebelum 3 bulan hampir
selalu menyebabkan kembalinya gejala (Kaplan, 2010).
Pasien yang dirawat di rumah sakit untuk episode pertama gangguan depresif
berat memiliki kemungkinan 50% untuk pulih dalam tahun pertama. Banyak
penelitian telah berusaha untuk mengidentifikasi indikator prognostik yang baik dan
buruk di dalam perjalanan gangguan depresif berat. Episode ringan, tidak adanya
gejala psikotik, fungsi keluarga yangstabil, tidak adanya gangguan kepribadian,
tinggal dalam waktu singkat di rumah sakit dalam waktu yang singkat, dan tidak lebih
dari satu kali perawatan di rumah sakit adalah indikator prognostik yang baik.
Prognosis buruk dapat meningkat oleh adanya penyerta gangguan distimik,
penyalahgunaan alkohol dan zat lain, gejala gangguan kecemasan, dan riwayat lebih
dari satu episode sebelumnya. (Kaplan, 2010).
1. Elvira SD, Hadisukanto G. Buku ajar psikiatri. Jakarta: FKUI; 2010. hal. 209-22.
2. Sadock BJ, Sadock VA. Buku ajar psikiatri klinis. Edisi ke-2. Jakarta: EGC; 2010. hal.
189-97.
3. Amir N. Derpresi. Aspek neurobiologi diagnosis dan tatalaksana. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia; 2005.
4. Maslim R. Diagnosa gangguan jiwa, rujukan ringkas dari PPDGJ III. Jakarta: Bagian
Ilmu Kedokteran Jiwa FK Unika Atma Jaya; 2001. hal. 60-5.
5. Maslim R. Penggunaan klinis obat psikotropik. Edisi ke-3. Jakarta: Bagian Ilmu
Kedokteran Jiwa FK Unika Atma Jaya; 2007. hal. 23-30.