RHINITIS ALERGI
Disusun oleh :
Nafisa Rima Amani
20184010121
Diajukan kepada :
dr. Bakti Setio Gustomo, Sp.THT-KL
PRESENTASI KASUS
RHINITIS ALERGI
Oleh :
Nafisa Rima Amani
20184010121
Disetujui oleh :
Dosen Pembimbing Kepaniteraan Klinik
Bagian Ilmu THT
RSUD KRT Setjonegoro, Wonosobo
2
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-
Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan presentasi kasus dengan judul “RHINITIS
ALERGI”. Presentasi kasus ini disusun untuk memenuhi sebagian persyaratan Kepaniteraan
Klinik bagian Ilmu THT di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas
Muhammadiyah Yogyakarta.
Dalam penulisan presentasi kasus ini, penulis banyak mendapatkan bantuan,
bimbingan, dan dukungan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan
terimakasih yang tulus kepada semua pihak yang telah membantu, khususnya kepada:
1. dr. Bakti Setio Gustomo, Sp.THT-KL selaku pembimbing Kepaniteraan Klinik bagian
Ilmu THT sekaligus pembimbing presentasi kasus di RSUD KRT Setjonegoro,
Wonosobo yang telah berkenan memberikan bantuan, pengarahan, dan bimbingan dari
awal sampai selesainya penulisan presentasi kasus ini.
2. Seluruh perawat, tenaga medis lainnya dan staf di bangsal bougenvil, instalasi bedah
sentral (IBS) dan poli THT yang telah berkenan membantu berjalannya Kepaniteraan
Klinik bagian Ilmu THT.
3. Ayah, Ibu beserta sanak saudara yang telah mencurahkan kasih sayang dan dukungan
yang tiada henti.
Semoga pengalaman dalam membuat presentasi kasus ini dapat memberikan hikmah
bagi semua pihak. Mengingat penyusunan presentasi kasus ini masih jauh dari kata sempurna,
penulis mengharapkan kritik dan saran yang dapat menjadi masukan berharga sehingga
menjadi acuan untuk penulisan presentasi kasus selanjutnya.
Penulis
3
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.............................................................................................................. 3
BAB I ......................................................................................................................................... 6
ANAMNESIS ................................................................................................................. 6
WORKING DIAGNOSIS............................................................................................. 10
DIAGNOSIS BANDING.............................................................................................. 10
PEMERIKSAAN PENUNJANG.................................................................................. 11
TATALAKSANA ......................................................................................................... 13
PROGNOSIS ................................................................................................................ 14
BAB II .................................................................................................................................... 15
DEFINISI ...................................................................................................................... 15
4
ANATOMI.................................................................................................................... 15
FISIOLOGI ................................................................................................................... 19
EPIDEMIOLOGI .......................................................................................................... 22
ETIOLOGI .................................................................................................................... 22
PATOFISIOLOGI......................................................................................................... 23
PEMERIKSAAN PENUNJANG.................................................................................. 25
DIAGNOSIS BANDING.............................................................................................. 25
TATALAKSANA ......................................................................................................... 26
PROGNOSIS ................................................................................................................ 27
KESIMPULAN ...................................................................................................................... 28
5
BAB I
LAPORAN KASUS
A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. R
Umur : 48 tahun
Agama : Islam
Status : Menikah
B. ANAMNESIS
1. Keluhan Utama
Seorang pasien wanita usia 48 tahun dating ke poli THT dengan keluhan hidung terasa
tersumbat sejak kurang lebih 6 bulan yang lalu. Pasien juga mengeluhkan sering
bersin-bersin ketika terkena debu atau asap kendaraan, serta banyak keluar ingus yang
encer dan terkadang mata terasa gatal. Keluhan batuk (-), pilek (+), mimisan (-),
5. Anamnesis Sistemik
kepala (-)
- Sistem respirasi : sesak (-), pilek (+), hidung terasa tersumbat, batuk (-)
- Sistem digestif : BAB lancar, lendir (-), darah (-), mual (-), muntah (-)
6. Resume Anamnesa
bersin ketika terkena debu dan asap kendaraan sejak kurang lebih 6 bulan yang
C. PEMERIKSAAN FISIK
Vital Sign
Nadi : 75 x/menit
Respirasi : 18 x/menit
Temperatur : 36,5 °C
SpO2 : 98%
7
2. STATUS GENERALISATA
KEPALA
b. Muka : tidak terdapat luka ataupun jejas, nyeri pada pipi kanan dan kiri (-
c. Mata : Konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-), pupil isokhor (+/+)
d. Hidung : tidak terdapat nafas cuping hidung, tidak ada deformitas pada
e. Telinga
f. Mulut dan Mandibula : Bibir simetris, tidak tampak pucat dan kering,
tonsil tidak edem dan tidak hiperemis, gigi lengkap tidak ada caries.
LEHER
THORAX
Pulmo
Cor
8
Auskultasi : SI-SII reguler. Tidak ada suara tambahan.
ABDOMEN
Perkusi : timpani
EKSTREMITAS
D. WORKING DIAGNOSIS
Rhinitis alergi
E. DIAGNOSA BANDING
Sinusitis
Rhinitis vasomotor
Rhinitis medikamentosa
F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
9
Foto rontgen thorax AP
10
Kesan : sinusitis maksilaris sinistra, pembesaran concha nasales bilateral.
G. PENATALAKSANAAN
Medikamentosa
H. PROGNOSIS
11
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. RHINITIS ALERGI
A. DEFINISI
Rhinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi
pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama serta
dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen
Definisi rhinitis alergi menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and It’s Impact
on Asthma) tahun 2001 adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin,
rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang
B. ANATOMI
Hidung Luar
Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian – bagiannya dari atas ke bawah :
2. Dorsum nasi
3. Puncak hidung
4. Ala nasi
5. Kolumela
Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi kulit,
jaringan ikat dan beberapa otot kecil yaitu M. Nasalis pars transversa dan M. Nasalis
pars allaris. Kerja otot – otot tersebut menyebabkan nares dapat melebar dan
menyempit. Batas atas nasi eksternus melekat pada os frontal sebagai radiks (akar),
12
antara radiks sampai apeks (puncak) disebut dorsum nasi. Lubang yang terdapat pada
- Inferior : kartilago septi nasi, kartilago nasi lateralis, kartilago alaris mayor
Dengan adanya kartilago tersebut maka nasi eksternus bagian inferior menjadi
fleksibel.
Perdarahan :
Persarafan :
Kavum Nasi
Dengan adanya septum nasi maka kavum nasi dibagi menjadi dua ruangan yang
membentang dari nares sampai koana (apertura posterior). Kavum nasi ini berhubungan
dengan sinus frontal, sinus sfenoid, fossa kranial anterior dan fossa kranial media. Batas
13
Lantai : merupakan bagian yang lunak, kedudukannya hampir horisontal,
bentuknya konkaf dan bagian dasar ini lebih lebar daripada bagian atap. Bagian ini
Medial : septum nasi yang membagi kavum nasi menjadi dua ruangan (dekstra
dan sinistra), pada bagian bawah apeks nasi, septum nasi dilapisi oleh kulit, jaringan
subkutan dan kartilago alaris mayor. Bagian dari septum yang terdiri dari kartilago ini
Konka nasalis suprema, superior dan media merupakan tonjolan dari tulang
etmoid. Sedangkan konka nasalis inferior merupakan tulang yang terpisah. Ruangan di
atas dan belakang konka nasalis superior adalah resesus sfeno-etmoid yang
berhubungan dengan sinis sfenoid. Kadang – kadang konka nasalis suprema dan meatus
Perdarahan :
Arteri yang paling penting pada perdarahan kavum nasi adalah A.sfenopalatina yang
cabang dari A. Oftalmika. Vena tampak sebagai pleksus yang terletak submukosa yang
Persarafan :
1. Anterior kavum nasi dipersarafi oleh serabut saraf dari N. Trigeminus yaitu N.
Etmoidalis anterior
2. Posterior kavum nasi dipersarafi oleh serabut saraf dari ganglion pterigopalatinum
N. Sfenopalatinus.
Mukosa Hidung
14
Rongga hidung dilapisi oleh mukosa yang secara histologik dan fungsional
dibagi atas mukosa pernafasan dan mukosa penghidu. Mukosa pernafasan terdapat pada
sebagian besar rongga hidung dan permukaannya dilapisi oleh epitel torak berlapis
semu yang mempunyai silia dan diantaranya terdapat sel – sel goblet. Pada bagian yang
lebih terkena aliran udara mukosanya lebih tebal dan kadang – kadang terjadi
metaplasia menjadi sel epital skuamosa. Dalam keadaan normal mukosa berwarna
merah muda dan selalu basah karena diliputi oleh palut lendir (mucous blanket) pada
permukaannya. Palut lendir ini dihasilkan oleh kelenjar mukosa dan sel goblet.
Silia yang terdapat pada permukaan epitel mempunyai fungsi yang penting.
Dengan gerakan silia yang teratur, palut lendir di dalam kavum nasi akan didorong ke
dirinya sendiri dan juga untuk mengeluarkan benda asing yang masuk ke dalam rongga
hidung. Gangguan pada fungsi silia akan menyebabkan banyak sekret terkumpul dan
oleh pengeringan udara yang berlebihan, radang, sekret kental dan obat – obatan.
Mukosa penghidu terdapat pada atap rongga hidung, konka superior dan
sepertiga bagian atas septum. Mukosa dilapisi oleh epitel torak berlapis semu dan tidak
tiga macam sel, yaitu sel penunjang, sel basal dan sel reseptor penghidu. Daerah
Sinus Paranasal
Sinus paranasal merupakan salah satu organ tubuh manusia yang paling sulit
didiskripsikan oleh karena bentuknya yang sangat bervariasi pada setiap individu, ada
empat pasang sinus paranasal yaitu sinus maxilla, sinus etmoid, sinus frontal dan sinus
sfenoid. Seluruh sinus dilapisi oleh epitel saluran pernafasan yang mengalami
modifikasi dan menghasilkan mukus dan silia, sekret disalurkan kedalam rongga
15
hidung melalui ostium masing-masing sinus. Secara klinis sinus paranasal dibagi
menjadi 2 kelompok, yaitu kelompok anterior yang terdiri sinus frontalis, sinus maksila
dan sinus etmoid anterior, muara sinus. kelompok ini bermuara di meatus media, dekat
infundibulum, sedangkan kelompok posterior terdiri dari sinus etmoid posterior dan
Sinus maksila atau antrum Highmore adalah suatu rongga pneumatic berbentuk
piramid yang tak teratur dengan dasarnya menghadap ke fosanasalis dan puncaknya ke
arah apeks prosesus zigomatikus os maksila. Sinus ini merupakan sinus yang terbesar
diantara sinus paranasal. Pengukuran volume sinus maksila dapat di lakukan dengan
dua cara, yaitu rontgenologik dan manometrik. Pada saat lahir volume sinus maksila
dan sekitarnya berukuran 6 – 8 ml dan penuh dengan cairan, sedangkan volume sinus
maksila orang dewasa kira -kira 15 ml. Tidak ada perbedaan kapasitas antara laki-laki
dan perempuan.
Ukuran kedua sinus maksila kanan dan kiri tidak selalu sama, tetapi diantara
sinus paranasal yang lain, sinus maksila yang paling simetris antara kanan dan kiri serta
paling sedikit mengalami variasi dalam perkembangan. Besar kecilnya rongga sinus
maksila terutama tergantung pada tebal tipisnya dinding sinus. Ukuran rata-rata pada
serta pada orang dewasa diperoleh ukuran sumbu anteroposteror 34 mm, tinggi 33 mm
os maksila, yang disebut fosa kanina. Dinding posterior dibentuk oleh permukaan
infratemporal maksila. Dinding medial dibentuk oleh dinding lateral rongga hidung.
Dinding superior dibentuk oleh dasar orbita dan dinding inferior oleh prosesus
16
Kompleks Osteomeatal (KOM)
Kompleks osteomeatal (KOM) daerah yang rumit dan sempit pada sepertiga
tengah dinding lateral hidung, yaitu di meatus media, ada muara-muara saluran dari
serambi muka bagi sinus maksila dan frontal memegang peranan penting dalam
terjadinya sinusitis. Pada potongan koronal sinus paranasal terlihat gambaran suatu
rongga antara konka media dan lamina papirasea. Isi dari KOM terdiri dari
infundibulum etmoid yang terdapat dibelakang prosesus unsinatus, sel agger nasi,
resesus frontalis, bula etmoid, dan sel-sel etmoid anterior dengan astiumnya dan ostium
sinus maksila.
C. FISIOLOGI
Pada inspirasi, udara masuk melalui nares anterior, lalu naik ke atas setinggi konka
media dan kemudian turun ke bawah ke arah nasofaring, sehingga aliran udara ini
berbentuk lengkungan atau arkus. Pada ekspirasi, udara masuk melalui koana dan
kemudian mengikuti jalan yang sama seperti udara inspirasi. Akan tetapi di bagian
depan aliran udara memecah, sebagian lain kembali ke belakang membentuk pusaran
Fungsi hidung sebagai pengatur kondisi udara perlu untuk mempersiapkan udara
yang akan masuk ke dalam alveolus. Fungsi ini dilakukan dengan cara :
a. Mengatur kelembaban udara. Fungsi ini dilakukan oleh palut lendir. Pada musim
panas, udara hampir jenuh oleh uap air, penguapan dari lapisan ini sedikit, sedangkan
17
b. Mengatur suhu. Fungsi ini dimungkinkan karena banyaknya pembuluh darah di
bawah epitel dan adanya permukaan konka dan septum yang luas, sehingga radiasi
dapat berlangsung secara optimal. Dengan demikian suhu udara setelah melalui
Fungsi ini berguna untuk membersihkan udara inspirasi dari debu dan bakteri dan
dilakukan oleh :
Silia
Palut lendir (mucous blanket). Debu dan bakteri akan melekat pada palut
lendir dan partikel – partikel yang besar akan dikeluarkan dengan refleks
bersin. Palut lendir ini akan dialirkan ke nasofaring oleh gerakan silia.
lysozime.
4. Indra penghidu
Hidung juga bekerja sebagai indra penghidu dengan adanya mukosa olfaktorius
pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian atas septum. Partikel
bau dapat mencapai daerah ini dengan cara difusi dengan palut lendir atau bila
5. Resonansi suara
Penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan menyanyi. Sumbatan hidung
akan menyebabkan resonansi berkurang atau hilang, sehingga terdengar suara sengau.
6. Proses bicara
Proses pembentukan kata dengan konsonan nasal (m,n,ng) dimana rongga mulut
tertutup dan rongga hidung terbuka, palatum molle turun untuk aliran udara.
7. Refleks nasal
18
Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan dengan saluran
refleks bersin dan nafas terhenti. Rangsang bau tertentu menyebabkan sekresi kelenjar
D. EPIDEMIOLOGI
yang tepat tentang prevalensi rinitis alergi agak sulit yaitu berkisar 4-40%. Penyebab
belum bisa dipastikan, tetapi nampaknya berkaitan dengan meningkatnya polusi udara,
populasi dust mite, kurangnya ventilasi di rumah atau kantor, dan lain-lain (Ikawati,
2011). Lebih dari 500 juta orang di dunia menderita rinitis alergi, dengan 50%
penderitanya adalah remaja. Usia rata-rata terjadinya rinitis alergi adalah antara usia 8-
11 tahun, dan 80% rinitis alergi berkembang pada usia 20 tahun, namun di Amerika
Serikat rinitis alergi biasanya dimulai pada usia di bawah 20 tahun (Pinto and Jeswani,
2010).
E. ETIOLOGI
berperan pada ekspresi rinitis alergi (Adams, Boies and Higler., 1997). Penyebab rinitis
alergi tersering adalah allergen inhalan pada dewasa dan ingestan pada anak-anak.
Beberapa pasien sensitif terhadap beberapa allergen sekaligus. Penyebab rinitis alergi
dapat berbeda tergantung dari klasifikasi. Allergen yang menyebabkan rinitis alergi
musiman biasanya berupa serbuk sari atau jamur. Berbagai pemicu yang bisa berperan
dan memperberat adalah beberapa faktor nonspesifik di antaranya asap rokok, polusi
udara, bau aroma yang kuat atau merangsang dan perubahan cuaca (Becker et al.,
1994).
19
F. PATOFISIOLOGI
a. Sensitisasi
Respon imun dalam alergi diawali dengan proses sensitisasi di mana ketika
suatu allergen terhirup, maka Antigen Presenting Cells (APC) seperti sel langerhans
pada epitelium yang melapisi saluran paru-paru dan hidung, akan memproses dan
mengekpresikan alergen tersebut pada permukaan sel. Allergen tersebut kemudian akan
dipresentasikan kepada sel lain yang terlibat dalam respon imun, khususnya sel t-
limfosit. Melalui beberapa interaksi sel spesifik kemudian sel b-limfosit akan
DiPiro et al., 2009). Pada respon alergi, sel plasma tersebut memproduksi antibodi IgE
yang seperti isotip imunoglobulin lainnya, mampu berikatan dengan allergen spesifik
melalui sisi Fab-nya. Ketika IgE sudah terbentuk dan memasuki sirkulasi, ia akan
berikatan melalui sisi Fc-nya dengan reseptor afinitas tinggi di sel mast, sementara sisi
reseptornya yang bersifat spesifik terhadap allergen akan siap untuk berinteraksi
dengan allergen pada paparan berikutnya. Sel lain yang telah diketahui mampu
mengekspresikan reseptor afinitas tinggi kepada IgE antara lain adalah basofil, sel
langerhans, dan monosit yang teraktivasi. Produksi antibody IgE yang bersifat allergen-
spesific inilah yang menimbulkan respon imun yang disebut sensitisasi (World Allergy
Organization, 2003).
Merupakan reaksi cepat yang terjadi dalam beberapa menit, dapat berlangsung
sejak kontak dengan allergen sampai 1 jam setelahnya. Mediator yang berperan pada
fase ini yaitu histamin, triptase, dan mediator lain seperti leukotrien, prostaglandin
dari pembuluh darah dan dilatasi dari anastomosis arteri yang menyebabkan terjadi
edema, berkumpulnya darah pada karvenous sinusoid dengan gejala klinis berupa
hidung tersumbat dan oklusi dari saluran hidung. Rangsangan terhadap kelenjar
20
mukosa dan sel goblet menyebabkan hipersekresi dan permeabilitas kapiler meningkat
sehingga terjadi rinore. Rangsangan pada ujung saraf sensoris (vidianus) menyebabkan
rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin (Schwinghammer in DiPiro et al., 2009).
Reaksi alergi fase lambat terjadi 4-8 jam setelah fase cepat. Reaksi ini
disebabkan oleh mediator yang dihasilkan oleh fase cepat beraksi terhadap sel endotel
mana molekul ini menyebabkan sel leukosit seperti eosinofil menempel pada dinding
eosinofil, sel mast, limfosit, neutrofil, dan makrofag ke dalam mukosa hidung. Sel-sel
ini kemudian menjadi teraktivasi dan menghasilkan mediator lain seperti Eosinophilic
Cationic Protein (ECP), Eosinophilic Derived Protein (EDP), Major Basic Protein
dan hiperresponsivitas hidung. Gejala klinis yang ditimbulkan pada fase ini lebih
allergen non-musiman seperti dust mites, bulu hewan, jamur, dan biasanya
berlangsungnya, yaitu:
mengganggu.
disebut diatas.
H. PENEGAKAN DIAGNOSIS
a. Anamnesis
berulang. Bersin ini merupakan gejala pada RAFC dan kadang-kadang pada
ingus (rinore) yang encer dan banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata gatal,
gejala yang timbul tidak legkap, terutama pada anak. Kadang-kadang keluhan
dikeluhkan pasien.
b. Pemeriksaan Fisik
hidung yang bervariasi dari tampak normal sampai edema, basah, berwarna
pucat atau keabuan disertai rinore encer dengan jumlah bervariasi. Meskipun
22
tidak selalu ditemukan, tetapi merupakan gejala/tanda yang khas pada rinitis
alergi ini adalah allergic shiner, allergic solute, dan allergic crease. Allergic
shiner
adalah warna kehitaman pada daerah infra orbita yang terjadi karena
adanya stasis dari vena yang mengakibatkan edema mukosa hidung dan sinus.
ke atas karena gatal, sedangkan allergic crease adalah timbulnya garis melintang
c. Pemeriksaan Penunjang
pemeriksaan eosinofil sekret hidung, jumlah eosinofil dalam darah tepi, kadar
murah, cepat, aman, cukup sensitif dan spesifik. Dasar tes kulit adalah
menguji ekstrak alergen yang terikat pada sel mast di jaringan kulit. Teknik
tes kulit ada 2 macam yaitu tes epidermal dan tes intra dermal. Diantara
kedua tes tersebut yang sering dilakukan adalah yang epidermal yaitu skin
prick test.
I. TATALAKSANA
1) Terapi non-farmakologi
23
memungkinkan, perlu digunakan penyaring udara berupa Air
2) Terapi farmakologi
2011).
gejala rinitis yang diperantarai oleh histamin, seperti rinore, bersin, hidung
gatal dan gejala-gejala pada mata, tapi kurang efektif untuk mengatasi
hidung tersumbat. Obat golongan ini terbukti aman untuk anak-anak. Oral
24
mengurangi gejala alergi di mata. Onset aksi obat golongan ini adalah
sekitar 20 menit, dengan aturan pakai dua kali sehari (ARIA, 2008).
c. Lokal glukokortikosteroid
penanganan rinitis alergi adalah konsentrasi obat yang tinggi pada nasal
mukosa dapat tercapai tanpa adanya efek sistemik yang tidak diinginkan.
Obat golongan ini efektif memperbaiki semua gejala rinitis alergi maupun
lain sering diderita pasien, maka obat golongan ini adalah first line therapy
mekanisme aksinya, efek obat ini baru muncul 7-8 jam setelah pemakaian,
d. Oral/intramuskular glukokortikosteroid
Pada beberapa kasus, pasien dengan gejala yang parah dan tidak merespon
25
bermakna. Penggunaan intramuskular glukokortikosteroid tidak
Obat golongan ini dikenal sebagai penstabil sel mast, karena bekerja
Efek sampingnya yang paling sering adalah iritasi lokal yaitu bersin dan
f. Dekongestan
g. Intranasal antikolinergik
adalah ipratropium.
26
h. Antileukotrien
3) Imunoterapi
rinitis alergi. Tetapi obat ini hanya efektif jika allergen spesifiknya
asma yang tidak stabil, penyakit paru atau kardiovaskuler yang berat,
4) Operatif
dipikirkan bila konka inferior hipertrofi berat dan tidak berhasil dikecilkan
27
BAB III
KESIMPULAN
Rhinitis alergi adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore,
rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh
IgE.
Etiologi rhinitis alergi terbanyak pada dewasa adalah alergen inhalan sedangkan
encer dan banyak, bersin-bersin setelah terkena debu atau asap kendaraan, rasa gatal
pada mata.
dari alergen, sehingga pasien diberi saran untuk selalu memakai masker ketika
28
DAFTAR PUSTAKA
Adams, George. Boies, Lawrence. Higler, Peter. Buku Ajar Penyakit Telinga Hidung
Tenggorok. W.B. Saunders, Philadelphia 1989.
Ballenger, John Jacob. Diseaes of The Nose Throat Ear Head and Neck. Lea & Febiger 14th
edition. Philadelphia 1991.
Hamadi, Fauziah. Gambaran Histopatologi Polip Nasi, Referat. Jakarta: Bagian THT FKUI;
2002. P1-14.
Kapita Selekta Kedokteran edisi III jilid I hal. 113 – 114. Penerbit Media Aesculapius FK-UI
2000.
Sherwood et al, 2001. Fisiologi Manusia : Dari sel ke Sistem, edisi ke 2, Jakarta :EGC.
Soepardi, Efiaty. Iskandar, Nurbaiti. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok
edisi IV cetakan I. Balai Penerbit FK-UI, Jakarta 2000.
Soepardi, Efiaty. Hadjat, Fachri. Iskandar, Nurbaiti. Penatalaksanaan dan Kelainan Telinga
Hidung Tenggorok edisi II. Balai Penerbit FK-UI, Jakarta 2000.
29
30
31
32