Anda di halaman 1dari 45

Berita Acara Presentasi Portofolio

Pada hari Rabu, 29 Januari 2020 telah dipresentasikan portofolio oleh:


Nama : dr. Rahardita Alidris
Judul/ topik : Stroke Hemoragik dengan
Hipertensi stage II dan Dispepsia
Nama Pembimbing : dr. Novita Khoirunnisa, Sp.S
Nama Pendamping : dr. Nofi Liza Meliana
dr. Retno Aptriwinasih
Nama Wahana : RSU Siaga Medika Pemalang

Nama Peserta No. ID Peserta Tanda Tangan


1. 1.

2. 2.

3. 3.

4. 4.

5. 5.

6. 6.

7. 7.

8. 8.

9. 9.

10. 10.

11 11.

Berita acara ini ditulis dan disampaikan sesuai dengan yang sesungguhnya.

Pembimbing Pendamping

dr. Novita Khoirunnisa, Sp.S dr. Nofi Liza Meliana dr. Retno Aptriwinasih
PORTOFOLIO INTERNSIP KASUS MEDIK

1
Nama Peserta dr. Rahardita Alidris
Nama Wahana RSU Siaga Medika Pemalang
Topik Stroke Hemoragik dengan Hipertensi stage II, Sindrom Dispepsia
Tanggal (kasus) 16 Oktober 2019
Nama Pasien Tn. W No. RM 00-07-97-18
dr. Novi Liza Meliana
Tanggal Presentasi Pendamping
dr. Retno Aptriwinasih
Tempat Presentasi RSU Siaga Medika Pemalang
Objektif Presentasi
□ Keilmuan □ Keterampilan □ Penyegaran □ Tinjauan Pustaka
□ Diagnostik □ Manajemen □ Masalah □ Istimewa
□ Neonatus □ Bayi □ Anak □ Remaja □ Dewasa □ Lansia □ Bumil
□ Deskripsi
□ Tujuan Menegakkan diagnosis dan penatalaksanaan Stroke Hemoragik
Bahan Bahasan □ Tinjauan Pustaka □ Riset □ Kasus □ Audit
Cara Membahas □ Diskusi □ Presentasi dan Diskusi □ E-mail □ Pos
Data Pasien Tn. W; 55 th; 170 cm; 65 kg No. Registrasi: 00-07-97-18
Nama Klinik - Telp. - Terdaftar sejak: 2019
Data Utama untuk Bahan Diskusi:

1. Diagnosis/Gambaran Klinis: Stroke Hemoragik dengan Hipertensi St. II dan Sindrom


Dispepsia. Pasien post kejang dan kesalahan dalam pengucapan kata dua hari sebelum masuk
rumah sakit.
2. Riwayat Pengobatan: -
3. Riwayat Kesehatan/Penyakit:
- Riwayat hipertensi diakui sejak 10 tahun yang lalu. Pasien mengaku terdapat riwayat
tekanan darah di atas 160 mmHg lebih dari satu kali dan tertinggi hingga mencapai 180
mmHg (TDS). Pasien tidak pernah berobat rutin. Obat antihipertensi dikonsumsi bila pasien
berobat dengan keluhan leher terasa kencang di puskesmas atau klinik.
- Riwayat operasi batu saluran kemih diakui 5 tahun yang lalu.
- Riwayat nyeri perut ulu hati bila terlambat makan dan makan pedas sejak 2 tahun yang lalu.
- Riwayat stroke sebelumnya disangkal.
- Riwayat diabetes disangkal.
- Riwayat sakit jantung disangkal.
- Riwayat epilepsi disangkal.
4. Riwayat Keluarga:
- Riwayat hipertensi diakui (Ayah)
- Riwayat stroke disangkal.

2
- Riwayat diabetes disangkal.
- Riwayat epilepsi disangkal.
5. Riwayat Pekerjaan dan Ekonomi: Pasien bekerja sebagai guru di sekolah dasar. Pengobatan
pasien dibiayai oleh BPJS. Kesan : sosial ekonomi cukup.
6. Kondisi Lingkungan Sosial dan Fisik: Pasien tinggal bersama istri dan 2 orang anak di rumah
permanen. Pasien merupakan seorang perokok aktif dengan konsumsi rokok setengah bungkus
hingga satu bungkus per hari sejak kuliah (Indeks Brinkman = 420). Pasien jarang berolahraga
dan gemar mengkonsumsi cemilan seperti gorengan.

7. Riwayat Imunisasi (disesuaikan dengan pasien dan kasus): tidak diketahui

Hasil Pembelajaran:
1. Penegakkan kasus Stroke Hemoragik
2. Panatalaksanaan kasus Stroke Hemoragik

1. Anamnesis :
Pasien datang ke IGD RSU Siaga Medika dengan keluhan setelah kejang. Keluhan
muncul 1 jam sebelum masuk rumah sakit. Kejang muncul secara tiba-tiba dengan posisi
kedua tangan menekuk disertai tangan, badan dan kaki kelonjotan. Saat dan setelah kejang
pasien tidak sadar selama 10 menit. Kejang berdurasi 15 menit dan merupakan kejang yang
pertama kali. Selain itu juga pasien mengeluhkan mual dan muntah berisi makanan sebanyak
satu kali tidak menyemprot. Adanya mulut merot diakui oleh pasien setelah adanya kejang.
Merot muncul pada lipatan bibir sebelah kanan.
Keluhan lain berupa adanya nyeri kepala yang mendahului kejang dan menetap setelah
kejang. Keluhan dirasakan sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit. Nyeri kepala dirasakan di
bagian kepala depan dan samping. keluhan dirasakan ringan namun semakin lama semakin
memberat.
Pasien mengeluhkan terkadang adanya kesalahan dalam mengungkapkan kata 2 hari
sebelum masuk rumah sakit. Keluhan dirasakan terkadang mengganggu aktivitas sehingga
pasien harus berbicara pelan supaya tidak mengalami kesalahan. Kesalahan pengucapan
seperti “katok” menjadi “kalok” atau “lemas” menjadi lemar”. Kesalahan pengucapan kata
tersebut muncul terkadang spontan atau saat pasien harus berbicara secara cepat. Pasien
dalam hal komunikasi lancar, mengerti dan dapat mengulang serta melakukan sesuatu yang
diucapkan dari orang lain. Pandangan buram atau ganda, kelemahan anggota gerak, kesulitan

3
menelan, gangguan pendengaran disangkal.
Pasien juga mengeluhkan adanya nyeri perut bagian ulu hati. Keluhan tersebut dirasakan
sudah sejak lama ± 2 tahun yang lalu dan sering berulang. Nyeri yang dirasakan tidak
menjalar ke bagian lain. Keluhan juga dirasakan seperti perut sebah sehingga terkadang nafsu
makan pasien menurun. Keluhan bertambah berat apabila pasien telat makan dan bila
konsumsi makanan yang pedas. Keluhan membaik bila pasien mengkonsumsi obat untuk
lambung. Riwayat keluhan muntah darah dan BAB berwarna hitam disangkal.

2. Pemeriksaan Fisik:
- Keadaan Umum/ Kesadaran : Tampak sakit sedang/ compos mentis
- Tanda Vital
a. Tekanan Darah : 150/100 mmHg
b. Nadi : 104 x /menit reguler dan tekanan cukup
c. Suhu : 36,6º C
d. Respirasi : 20 x /menit reguler
e. SpO2 : 94 %

- Kepala
a. Kepala : Normochepal, jejas (-)
b. Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil isokor 3/3 mm
c. Hidung : Deformitas (-/-), edem mukosa (-/-), hiperemis (-/-)
d. Telinga : Deformitas (-/-), nyeri tekan (-/-)
e. Mulut : Lidah deviasi (-), tonsil T1-T1 hiperemis (-), faring hiperemis (-)
f. Leher : Retraksi (-), trakea deviasi (-), peningkatan JVP (-), KGB tidak teraba (-)

- Toraks
Pulmo
Inspeksi :
Bentuk dada simetris (+), massa / benjolan (-), ketinggalan
gerak (-), retraksi dinding dada (-)
Palpasi : Vokal taktil fremitus normal kanan dan kiri
Perkusi : Sonor di kedua lapang paru
Auskultasi : SD Vesikuler +/+, Rhonki -/-, Wheezing -/-

4
Cor
Inspeksi : Tidak tampak iktus cordis
Palpasi : Iktus cordis teraba pada SIC V linea midclavicula sinistra
Perkusi : Batas jantung kanan ICS IV linea para sternalis dextra, batas jantung kiri ICS VI
linea mid clavicula sinistra, batas atas ICS II linea parasternal sinistra.

Auskultasi : Bunyi jantung I & II dalam batas normal

- Abdomen
Inspeksi : Datar
Auskultasi : Peristaltik normal
Perkusi : Timpani seluruh lapang abdomen
Palpasi : Supel, nyeri tekan regio epigastrium (+)
Hepar : Tidak teraba adanya pembesaran, tepi rata, lunak
Lien : Tidak teraba

- Ekstremitas Superior : akral dingin (-/-), edema (-/-), WPK <2 detik
Inferior : akral dingin (-/-), edema (-/-), WPK <2 detik

Status Neurologis

a. Kesadaran : GCS E4V5M6


b. Tanda Rangsang Meningeal
- Kaku kuduk (-)
- Brudzinski Sign (-)
- Kernig sign (-)
c. Nervus Cranialis
- Nervus I (Olfactorius) : tidak dilakukan evaluasi
- Nervus II (Opticus) :
Dekstra Sinistra
Tajam penglihatan Tde Tde
Lapang pandang Dbn Dbn
Fundus Tde Tde
Warna Tde Tde

5
- Nervus III (Occulomotorius) :
Dekstra Sinistra Dekstra Sinistra
Ptosis Ukuran
- - pupil 3 mm 3 mm
GBM Bentuk pupil Bulat Bulat
Medial Dbn Dbn RCL/RCTL + +
Strabismus
Atas Dbn Dbn - -
divergen
Bawah Dbn Dbn

- Nervus IV (Trochlearis)
Dekstra Sinistra
Gerak mata lateral bawah Dbn Dbn

- Nervus VI (Abdusens)
Dekstra Sinistra
Gerakan mata lateral + +
Strabismus konvergen - -

- Nervus V (Trigeminalis)
Dekstra Sinistra
Menggigit + +
Membuka mulut + +
Sensibilitas muka + +
Refleks Tde Tde

- Nervus VII (Fascialis)


Dekstra Sinistra
Mengerutkan dahi + +
Mengerutkan alis + +
Menutup mata + +
Meringis + +
Mengembungkan pipi - +
Sudut mulut Lebih rendah +
Lipatan nasolabial Datar +
Daya kecap lidah Tde Tde

- Nervus VIII (Vestibulokoklearis)


Dekstra Sinistra
Suara berbisik + +
Detak arloji + +

6
Tes Rinne Tde Tde
Tes Weber Tde Tde
Tes Schwabach Tde Tde

- Nervus IX (Glossopharyngeus) dan X (Vagus):


Dekstra Sinistra
Arkus faring Dbn Dbn
Daya kecap lidah Tde Tde
Refleks muntah Tde Tde
Fonasi Dbn Dbn
Menelan Dbn Dbn

- Nervus XI (Accesorius)
Dekstra Sinistra
Memalingkan kepala Dbn Dbn
Mengangkat bahu Dbn Dbn

- Nervus XII (Hipoglossus)


Desktra Sinistra
Sikap lidah Dbn
Artikulasi Dbn
Tremor lidah -
Menjulurkan lidah Deviasi -
Trofi lidah Eutrofi Eutrofi

d. Pemeriksaan Motorik
Kekuatan Motorik
Lengan atas Lengan bawah Tangan
Dekstra Sinistra Dekstra Sinistra Dekstra Sinistra
Gerakan Bebas Bebas Bebas Bebas Bebas Bebas
Kekuatan 5 5 5 5 5 5
Tonus Eutonu
Eutonus Eutonus Eutonus Eutonus s Eutonus
Trofi Eutrofi Eutrofi Eutrofi Eutrofi Eutrofi Eutrofi

Tungkai atas Tungkai bawah Kaki


Dekstra Sinistra Dekstra Sinistra Dekstra Sinistra
Gerakan Bebas Bebas Bebas Bebas Bebas Bebas

7
Kekuatan 5 5 5 5 5 5
Tonus Eutonus Eutonus Eutonus Eutonus Eutonus Eutonus
Trofi Eutrofi Eutrofi Eutrofi Eutrofi Eutrofi Eutrofi

e. Pemeriksaan Sensorik
Lengan atas Lengan bawah Tangan
Dekstra Sinistra Dekstra Sinistra Dekstra Sinistra
Nyeri Dbn Dbn Dbn Dbn Dbn Dbn
Taktil Dbn Dbn Dbn Dbn Dbn Dbn
Termis Tde Tde Tde Tde Tde Tde
Posisi Tde Tde Tde Tde Tde Tde

Tungkai atas Tungkai bawah Kaki


Dekstra Sinistra Dekstra Sinistra Dekstra Sinistra
Nyeri Dbn Dbn Dbn Dbn Dbn Dbn
Taktil Dbn Dbn Dbn Dbn Dbn Dbn
Termis Tde Tde Tde Tde Tde Tde
Posisi Tde Tde Tde Tde Tde Tde

f. Refleks Fisiologis
Biseps Triseps Patela Achiles
Dekstra Sinistra Dekstra Sinistra Dekstra Sinistra Dekstra Sinistra
RF ++ ++ ++ ++ ++ ++ ++ ++
Perluasa
n - - - - - - - -
Silang - - - - - - - -

g. Reflek Patologis
Dekstra Sinistra
Hoffman Tromner - -
Babinski - -
Chaddoek - -
Oppenheim - -
Schaeffer - -
Gordon - -
Gonda - -
Bing - -

8
3. Pemeriksaan Penunjang :
a. Elektrokardiografi (EKG)

1) Irama Sinus
 Gelombang P diikuti gelombang QRS
 Laju frekuensi 100 x/menit
 Interval R-R reguler
 Gelombang P + di lead II dan – di lead aVR
2) Frekuensi : 100x/menit
3) Axis : QRS + di lead I dan aVF : Normoaksis
4) Gelombang P : Lebar 0,12 s (2,5 mm), tinggi 0,08 s (2 mm), bentuk seragam
5) Interval PR : Lebar 0,2 s (5 mm)
6) Gelombang QRS : lebar 0,08 s, pembesaran ventrikel –
7) Segmen ST : terletak sejajar garis isoelektris
8) Gelombang T tinggi 6 mm

b. Rontgen Thoraks

9
Trakea lurus di tengah
Cor : tidak ada pembesaran jantung, CTR <50%, bentuk dan letak jantung normal
Pulmo : corakan vaskuler dbn
Diafragma dekstra et sinistra setinggi kosta 6 anterior
Sudut kostofrenikus desktra et sinistra lancip
Tulang : tidak ada diskontinyu tulang, tidak ada pelebaran SIC

c. Head CT-Scan Non Kontras

Tampak lesi hiperdens disertai perifokal edema pada subkortikal lobus frontal kiri
Differensiasi susbtansia alba dan grisea tampak normal

10
Sulkus kortikalis dan fissura Sylvii tampak normal
Ventrikel lateral kanan-kiri, II dan IV tampak normal
Cisterna tampak normal
Tak tampak midline shifting
Batang otak dan serebellum baik
Kesan :
Intracerebral hemorrhage pada subkortikal lobus frontal kiri
Tak tampak tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial

d. Laboratorium
Pemeriksaan Hasil Satuan Normal
Hematologi
Hemoglobin 15.2 gr/dl 13,0 – 17
Leukosit 14700* /uL 4.500 – 10.500
Eosinofil 1 % 0–3
Basofil 0 % 1–4
Batang 0 % 2–5
Segmen 71* % 50.0 – 70.0
Limfosit 35 % 20.0 – 40.0
Monosit 10* % 2–8
Trombosit 174000 /uL 150000 – 450000
Hematokrit 45 % 40 – 54
Eritrosit 5.40 10*6/uL 4.4 – 6.0
MCV 83.3 fL 78 – 180
MCH 28.1 pg 27 – 32
MCHC 33.8 g/dl 30 -36
Renal Profile
Ureum 28 mg/dl 10 – 50
Creatinin 1.6* mg/dl 0,5 - 1,5
Asam urat 6 mg/dl 3.7 – 7.1

Gula Darah
Gula Darah Sewaktu 129 mg/dl 70 – 140

Elektrolit
Natrium 148.8* mmol/L 136 – 145
Kalium 4.37 mmol/L 3.5 – 5.5
Klorida 103.5 mmol/L 96 – 108

11
Calcium 1.06* mmol/L 1.1– 1.4

4. Assesment (penalaran klinis):

Penegakan diagnosis stroke didapatkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan


pemeriksaan penunjang.
Pada anamnesis didapatkan faktor risiko utama pada pasien ini yaitu adanya penyakit
hipertensi. Berdasarkan klasifikasi JNC 8, pasien termasuk hipertensi grade II. Hal ini
dikarenakan dari anamnesis bahwa TDS pernah mencapai sekitar 180 mmHg sebanyak 2
kali. Hipertensi yang lama akan tunika intimal mengalami hiperplasia, hialinisasi dan
terjadi proses degenerasi berupa penurunan tonus dan komplians akibat tergantikan oleh
kolagen yang memudahkan terjadinya nekrosis fokal dan ruptur. Sebagian peneliti
menyebutkan cedera vaskular akan menimbulkan mikroaneurisma (aneurisma Charcot-
Bouchard) yang rawan selanjutnya ruptur, menghasilkan mikro atau makrohemoragik
(Smith dan Eskey, 2011).
Pasien mengalami kejang pada saat sebelum masuk IGD dan setelah dirawat. Kejang
paska stroke perdarahan terjadi akibat iritasi terhadap produk dari metabolisme darah,
selain itu daerah iskemik sekunder akibat dari hemoragik menyebabkan peningkatan Na +
dan Ca2+ intraselular dengan penurunan ambang batas untuk depolarisasi, eksitoksisitas
glutamat, hipoksia, disfungsi metabolik, dan hipoperfusi global telah dipostulasikan
(Cleary et al., 2004). Kejang pasca stroke dapat diklasifikasikan menjadi onset awal bila
terjadi dalam 24 jam pertama paska stroke dan onset lambat bila terjadi >24 jam setelah
stroke dan puncaknya terjadi pada 6-12 bulan paska stroke (Myint et al., 2006).
Penyebab nyeri kepala yang timbul pada pasien dengan stroke perdarahan belum dapat
diketahui dengan pasti. Beberapa peneliti menyebutkan nyeri kepala yang timbul dapat
dikaitkan dengan massa hematom yang ada menyebabkan distensi, distorsi, deformitas,
atau peregangan dari struktur sensitif-nyeri intrakranial (arteri besar sekitar circulus
Willisi, arteri serebelaris, arteri verteberalis, sinus venosus, bagian duramater serta arteri
duramater, dan nervus kranialis) (Aghangar et al., 2015). Selain itu terdapat peningkatan
konsentrasi glutamat di dalam plasma dan LCS akibat hipoperfusi pada inti infark dan
area iskemik penumbra pada pasien dengan stroke yang disertai dengan nyeri kepala. Hal
ini mensugestikan terdapat partipasi dari glutamat terhadap pembentukan nyeri.
Mekanisme lain yang mungkin mencetuskan nyeri kepala adanya mekanisme inflamatorik

12
akibat meningkatnya sitokin IL6 dan TNFα. Sitokin tersebut diketahui dikaitkan dengan
sensitisasi saraf pengindra nyeri melalui aktivasi protein kinase C-delta, fosfoinositida 3-
kinase, dan transduse sinyal Janus (Leira et al., 2005).
Mual dan muntah pada pasien stroke dapat diakibatkan karena disfungsi vestibular,
peningkatan tekanan intrakranial atau adanya keterkaitan dorsal tegmentum pada basal
ventrikel keempat. Pada hasil CT Scan tidak didapatkan adanya keterkaitan pada
vestibular atau dorsal tegmentum pada ventrikel keempat, sehingga peningkatan tekanan
intrakranial dimungkinkan menyebabkan keluhan tersebut. Tekanan intrakranial yang
tinggi akan disalurkan ke bagian medula dan menstimulus postrema (Barnett et al., 2014).
Pada pemeriksaan fisik didapatkan adanya tanda defisit neurologis fokal yang akut berupa
sudut bibir yang datar disertai adanya deviasi lidah. Mulut yang merot diakibatkan karena
adanya parese N.VII tipe sentral. Selain itu pasien juga mengaku terkadang terdapat
kesalahan pengucapan suku kata. Kelainan tersebut disebut dengan parafasia fonemik.
Parafasia merupakan pengucapan kata yang tidak substantif dimana kata tersebut sering
mengalami malformasi dan tidak seharusnya. Parafasia telah diselidiki berkaitan dengan
lesi fokal pada parenkim otak di sekitar girus prefrontal sinistra atau pada lobus temporo
parietal. Lesi pada struktur tersebut mempengaruhi pada proses berbicara.
Pada pemeriksaan penunjang dilakukan pemeriksaan head CT Scan. Didapatkan adanya
perdarahan akut yang ditandai dengan gambaran densitas yang meningkat (hiperdensitas)
dibandingkan dengan parenkimj otak. Hal ini memperkuat diagnosis dari stroke
hemoragik.

Diagnosis Topis : Subkortikal lobus frontal sinistra


Diagnosis Klinis : Parese nervus VII sinistra tipe sentral, parafasia, konvulsi
Diagnosa Etiologis : Stroke Hemoragik et causa ruptur arteri serebri media
Diagnosis Sekunder : Hipertensi stage II, Sindrom Dispepsia
5. Plan:
a. IVFD RL 20 tpm
b. O2 nasal kanul 3 lpm
c. Posisi head up 30 derajat
d. Inj. Manitol 125 cc/ 6 jam IV
e. Inj. Piracetam 1 g/ 8 jam IV
f. Inj. Sitikolin 250 mg/ 12 jam IV

13
g. Inj. Diazepam 5 mg IV bila kejang (bolus pelan)
h. Inj. Pantozol 40 mg/ 12 jam IV
i. PO Diltiazem 200 mg/ 24 jam
j. PO Sukralfat syr 1000 mg/8 jam
k. PO Domperidone 10 mg/ 8 jam
l. Fisioterapi untuk parafasia

KIE kepada pasien dan keluarga mengenai stroke hemoragik, etiologi, faktor risiko,
penanganan, prognosis, dan komplikasi; edukasi mengenai perubahan gaya hidup untuk
menghindari risiko berulang terutama pengendalian tekanan darah; edukasi tanda terjadinya
stroke berulang.

FOLLOW UP
Tanggal Subjektif Objektif Assessment Planning

16 Okt 2019 Nyeri kepala KU/Kes : Hipertensi St. II O2 NK 3 lpm


(+) E4V5M6 =
15 Sindrom IVFD Asering 21 tpm
Salah Dispepsia
pengucapan TD : 150/100 Diet TKTP Lunak
kosa kata (+) mmHg Obs. Kejang
Inj. Pantoprazol 40 mg/12
Kejang (+) N : 104 jam IV

14
seluruh x/menit Inj. Diazepam 5 mg IV
tubuh, durasi reguler, (ekstra saat kejang)
5 menit, saat tekanan
kejang pasien cukup PO Domperidone 10 mg/8
tidak sadar, jam
setelah RR : 20
x/menit PO Diltiazem 200mg/24 jam
kejang sadar.
Kejang reguler
PO Sukralfat 3x2 C
berhenti
S : 36,6 °C
dengan Pro HCTS non kontras
sendirinya SpO2 : 98%
Konsul TS Neurologi
Merot (+)
Nyeri perut
ulu hati (+)

16 Okt 2019 Nyeri kepala KU/Kes : Stroke O2 NK 3 lpm


(+) E4V5M6 = Hemoragik
15 IVFD Asering 21 tpm
Salah Hipertensi St. I
pengucapan TD : 140/90 Diet TKTP Lunak
kosa kata (+) mmHg Sindrom
Dispepsia Inf. Manitol 125 cc/6 jam
Merot N : 82
Inj. Pantoprazol 40 mg/12
membaik x/menit
jam IV
reguler,
Kejang (-) tekanan Inj. Diazepam 5 mg IV
cukup (bolus pelan bila kejang)
Nyeri perut
ulu hati (+) RR : 18 PO Domperidone 10 mg/8
x/menit jam
reguler
PO Diltiazem 200mg/24 jam
S : 36,8 °C
PO Sukralfat 3x2 C
SpO2 : 99%
HCTS (+)

17 Okt 2019 Kejang (-) KU/Kes : Stroke IVFD RL 20 tpm


E4V5M6 = Hemoragik
Nyeri kepala 15 Inf. Manitol 125 cc/8 jam IV
membaik Hipertensi St. I
TD : 140/80 Inj. Piracetam 1 g/8 jam IV
Merot mmHg Sindrom
membaik Dispepsia Inj. Sitikolin 250 mg/12 jam
N : 84 IV
Salah x/menit
pengucapan Inj. Pantoprazol 40 mg/12
reguler
kosa kata (+) jam IV
tekanan

15
Nyeri perut cukup Inj. Diazepam 5 mg IV
ulu hati (bolus pelan bila kejang)
membaik RR : 18
x/menit PO Domperidone 10 mg/8
reguler jam
S : 36.6 °C PO Diltiazem 200mg/24 jam
SpO2 : 99% PO Sukralfat 3x2 C

18 Okt 2019 Kejang (-) KU/Kes : Stroke IVFD RL 20 tpm


E4V5M6 = Hemoragik
Nyeri kepala 15 Inf. Manitol 125 cc/12 jam
(-) Hipertensi St. I IV
TD : 130/80
Merot mmHg Sindrom Inj. Piracetam 1 g/8 jam
membaik Dispepsia
N : 76 Inj. Sitikolin 250 mg/12 jam
Nyeri ulu hati x/menit IV
membaik (+) reguler,
Inj. Pantoprazol 40 mg/12
tekanan
Salah jam IV
cukup
pengucapan
kosa kata (+) RR : 18 Inj. Diazepam 5 mg IV
(bolus pelan bila kejang)
x/menit
reguler PO Domperidone 10 mg/8
jam
S : 36.7 °C
PO Diltiazem 200mg/24 jam
SpO2 : 99%
PO Sukralfat 3x2 C

19 Okt 2019 Kejang (-) KU/Kes : Stroke BLPL


E4V5M6 = Hemoragik
Nyeri kepala 15 PO Diltiazem 200mg/24 jam
(-) Hipertensi St. I (VII)
TD : 140/80
Merot Sindrom PO Sitikolin 500 mg/12 jam
membaik N : 72 Dispepsia (XV)
x/menit
Salah reguler, PO Pirasetam 800 mg/24 jam
pengucapan tekanan (VII)
kosa kata (+) cukup
RR : 18

16
Nyeri ulu hati x/menit
(-) reguler
S : 36,6 °C
SpO2 : 99%

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Stroke didefinisikan sebagai sebuah sindrom yang memiliki karakteristik
tanda dan gejala neurologis klinis fokal dan/atau global yang berkembang
dengan cepat, adanya gangguan fungsi serebral, dengan gejala yang
berlangsung lebih dari 24 jam atau menimbulkan kematian tanpa terdapat
penyebab selain yang berasal dari vaskular (Baehr dan Frotscher, 2014). Stroke

17
dikarakteristikan sebagai defisit neurologis yang dikaitkan dengan cedera fokal
akut dari sistem saraf pusat oleh penyebab vaskular, termasuk diantaranya
infark serebral, perdarahan intraserebral (ICH), dan perdarahan subarakhnoid
(SAH) (Sacco et al., 2013).
ICH merupakan penyebab kedua yang umum dari kejadian stroke (10-
15%) dan memiliki tingkat morbiditas dan mortalitas yang tinggi dan tidak
berubah dalam 30 tahun terakhir (Rymer, 2011). Pada tahun pertama, tingkat
mortalitas mencapai 51-65% berdasarkan lokasi dari perdarahan (Flaherty et
al., 2005). Setengah dari kematian terjadi pada dua hari pertama dan tingkat
mortalitas pada 30 hari pertama mencapai 35-52% serta lima kali lebih besar
dibandingkan dengan kejadian mortalitas pada stroke iskemik. Pada 6 bulan,
hanya 20% dari pasien yang diharapkan dapat independen. Insidensi dari ICH
meningkat seiring dengan usia dan lebih banyak pada pria dibandingkan wanita
(Rymer, 2011).

B. Faktor Risiko
Faktor risiko yang dapat dimodifikasi diantaranya hipertensi, perokok,
konsumsi alkohol berlebih, trigliserid rendah, dan obat termasuk antikoagulan,
antitrombotik, dan simpatomimetik. Faktor risiko yang tidak dapat
dimodifikasi termasuk usia tua, laki-laki, etnis Asia, dan cerebral amyloid
angiopahty (Smith dan Eskey, 2011).
Hipertensi merupakan faktor risiko yang paling utama pada ICH spontan,
dan kontribusi hipertensi lebih besar dua kali pada kejadian deep ICH
dibandingkan lobar ICH (An et al., 2017). Pada penelitian lain menunjukkan
bahwa adanya hubungan antara kolesterol total dan LDL yang rendah dengan
kejadian ICH yang lebih parah. Berbeda terbalik dengan stroke iskemik,
hiperkolesterolnemia memiliki efek protektif terhadap risiko ICH (Morotti dan
Goldstein, 2017). ICH terkait dengan penggunaan antikoagulasi saat ini
meningkat karena peningkatan penggunaan antikoagulasi oral pada populasi
lanjut usia. Konsumsi antiplatelet dapat meningkatkan risiko dari ICH, pada
beberapa metaanalisis menunjukkan bahwa terapi antiplatelet dihubungkan
dengan risiko kecil namun signifikan dari ICH. Sebagai tambahan pada

18
metaanalisis juga ditemukan adanya perluasan hematoma pada awal kejadian
ICH pada penggunaan antiplatelet sebelumnya (An et al., 2017). Antiplatelet
dual-therapy meningkatkan kejadian ICH sebesar dua kali lipat dibandingkan
dengan penggunaan antiplatelet mono-therapy (0,4 vs. 0,2 persen) (Connolly,
2009). Penyakit ginjal kronis (PGK) dapat meningkatkan risiko kejadian ICH
karena PGK dapat menjadi tanda adanya penyakit serebrovaskular pada
pembuluh darah kecil, yang mana menjadi mekanisme utama pada ICH terkait
hipertensi (An et al., 2017). Genetik juga memiliki andil dalam risiko
terjadinya ICH, dimana gen yang memiliki hubungan kuat dengan ICH adalah
Apolipoprotein E (APOE) dan alelnya ε2 dan ε4 (Morotti dan Goldstein,
2017).

C. Patomekanisme
Hipertensi merupakan penyebab paling umum ICH spontan pada orang
dewasa yaitu sebanyak hampir 60% kasus (Smith dan Eskey, 2011). Hipertensi
menyebabkan induksi proliferasi otot halus pada arteriol. Seiring berjalan
waktu, otot halus akan mati dan tunika media akan digantikan oleh kolagen,
menghasilkan pembuluh darah dengan tonus yang menurun dan komplians
yang rendah menjadi faktor predisposisi untuk terjadi nekrosis fokal dan
terjadinya ruptur (An et al., 2017). Beberapa peneliti juga mensugestikan
cedera pembuluh darah akan menyebabkan mikoraneurisma (mikroaneurisma
Charcot-Bouchard). Mikroaneurisma tesebut rentan ruptur dan menjadi ICH
terutama pada deep ICH (Testai dan Aiyagari, 2008).
Penyebab ICH tersering kedua yaitu cerebral amyloid angiopathy
(CAA), sebanyak hampir 20% kasus pada pasien berusia lebih dari 70 tahun
(Testai dan Aiyagari, 2008). CAA dikarakteristikan oleh deposit β peptid
amyloid pada pembuluh darah berukuran kecil dan sedang dari leptomeninges
dan korteks. Pembuluh darah yang terkena akan mengalami degenerasi,
nekrosis dan terbentuk mikroaneurisma. Segmen yang lemah ini dapat
selanjutnya mengalami ruptur, menghasilkan perdarahan mikro atau hematom
yang besar.

19
Penyebab lain dari kejadian ICH yaitu malformasi vaskular serebral
dimana arteriovenous malformations (AVM) dan cavernous malformations
(CM) merupakan malformasi yang berpotensi terjadinya perdarahan (Smith
dan Eskey, 2011). AVM dikarakteristikan dengan koneksi sistem arteri dan
vena melalui nidus abnormal tanpa intervensi kapiler diantaranya. Pada AVM
rentan terjadinya aneurisma pada nidus atau arterial sekitar dari AVM tersebut
(Smith dan Eskey, 2011). Selain itu, terdapat fistula dural arteriovenosus,
trombosis sinus venosus dan neoplasma sebagai penyebab kejadian ICH
(Rymer, 2011). Perdarahan sebagai akibat dari neoplasma primer atau yang
metastasis terhitung sekitar 1-14% dari kasus ICH.
Konsekuensi dari Perdarahan Intraserebral
ICH terdiri dari 3 fase yang berbeda: (1) perdarahan inisial, (2) ekspansi
hematom, dan (3) edem perihematom. Perdarahan awal disebabkan karena
ruptur dari arteri serebral yang dipengaruhi oleh faktor risiko yang ada.
Ekspansi hematom terjadi dalam hitungan jam hingga 24 jam pertama setelah
onset gejala awal. Ekspansi hematom terjadi akibat ruptur pembuluh darah
tunggal atau pecahnya pembuluh darah sekitar akibat efek iskemik dan tekanan
oleh massa hematom awal (Elkhatib et al., 2019). Ukuran awal dari perdarahan
dan kecepatan ekspansi hematom menjadi variabel prognostik dalam
memprediksi deteriorasi neurologis. Hematom dengan ukuran >30 ml
dihubungkan dengan peningkatan ekspansi hematom dan mortalitas yang
tinggi. Faktor yang dapat meningkatkan termasuk diantaranya jumlah
perdarahan awal, penggunaan antikoagulan, spot sign pada CT Angiografi
(Brouwers dan Greenberg, 2013). Edem serebral akan terbentuk di sekitar
hematom berkembang dalam 3 jam setelah onset, sekunder terhadap inflamasi
dan mengganggu sawar darah otak. Edem perihematom merupakan etiologi
primer untuk deteriorasi neurologis dan berkembang selama berhari-hari (10-
20 hari) (Magistris et al., 2013). Jaringan otak di area perdarahan umumnya
tidak rusak total; jaringan otak yang hidup sering ditemukan ditengah-tengah
darah yang mengalami ekstravasasi. Hal ini menjelaskan mengapa defisit
neurologis pasien biasanya pulih dengan lebih cepat ketika hematoma
teresorpsi daripada oleh stroke iskemik (Baehr dan Frotscher, 2014).

20
Sekitar 40% dari kasus stroke hemoragik, terjadi ekstravasasi darah ke
sistem ventrikular yang akan mengganggu sirkulasi cairan serebrospinal (LCS),
menyebabkan hidrosefalus obstruktif; yang selanjutnya, darah dan debris
menghambat vili arakhnoid, mengganggu reabsorpsi LCS dan menyebabkan
hidrosefalus tipe communicating (Testai dan Aiyagari, 2008).
Pasien dengan ICH dapat meningkatkan TIK karena efek massa terkait
hematom, edem serebral dan hidrosefalus. Tidak seperti infark yang
meningkatkan tekanan intrakranial secara perlahan ketika edema sitotoksik
yang menyertainya bertambah berat (Baehr dan Frotscher, 2014). Lebih jauh
lagi, peningkatan tekanan daerah sekitar hematom akan menekan
mikrovaskular, meningkatkan tahanan dan menyebabkan iskemia. Gaya
mekanik yang terjadi selama pembentukan hematom dan toksisitas kimiawi
(darah dan produk plasma) akan menginduksi reaksi peradangan di
perihematom yang dapat menyebabkan nekrosis pada jaringan otak. Selain itu
perpindahan dari parenkim otak dapat menyebabkan peningkatan TIK sendiri
dengan kemungkinan sindrom herniasi yang fatal (Magistris et al., 2013; Testai
dan Aiyagari, 2008).

D. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis dari ICH dapat dibagi menjadi manifestasi secara
umum dan manifestasi berdasarkan lokasi dari hematom. Pasien dengan
hematoma yang besar biasanya menujukkan gejala nyeri kepala, muntah,
penurunan tingkat kesadaran akibat dari peningkatan tekanan intrakranial yang
sering terbukti dengan adanya triad Cushing – hipertensi, bradikardia, dan
respirasi iregular – yang dicetuskan karena refleks Cushing dan edema otak
(Fisher, 2008).
ICH primer dapat diklasifikasi menjadi tempat lokasinya menjadi lima
jenis: putaminal (tipe lateral), talamik (tipe mesial), hemisferik (tipe lobar),
serebelar dan batang otak (Fisher, 2008).
a. Putaminal
Defisit motorik dan sensorik. Hemiparese dan defisit sensorik merupakan
hal yang paling umum terlihat, dimana defisit motorik lebih predominan.

21
Hemiparese ekstermitas superior dan inferior muncul pada hampir 100%
pasien dengan perdarahan putamen dengan lebih parah pada ekstrimitas
superior. Jika perdarahan muncul pada anterior dari kapsula internal, parese
motorik relatif ringan dan membaik pada sebagian besar kasus tanpa
gangguan sensorik. Secara kontras, apabila perdarahan muncul pada
posterior, hemiparese berat dengan kerusakan hemisensorik lebih sering
terjadi. Kerusakan hemisensorik terjadi pada sekitar 80-90% pasien dan
mempengaruhi seluruh modalitas sensorik. Pada perdarahan kaudatus yang
besar menyebabkan hemiparese kontralateral tanpa disertai atau minimal
gangguan sensorik.
Manifestasi Okular. Pasien dengan perdarahan putaminal lebih jauh
menunjukkan homoanimous hemianopsia pada kontralateral, ketika
hematoma meluas ke arah posterior dan mempengaruhi radiasio optika.
Perdarahan putaminal yang besar akan menyebabkan pupil ipsilateral pada
awalnya akan mengecil, kemudian akan membesar dibandingkan
kontralateral; berkembang kelumpuhan pandangan horizontal. Perdarahan
kaudatus yang besar menyebabkan deviasi konjugasi mata ke arah lesi,
kelumpuhan pandangan konjugasi ke arah kontralateral, dan pupil yang
kecil ipsilateral atau sindrom Horner.
Disfungsi pada struktur otak lebih tinggi. Pasien dengan perdarahan
putaminal kiri biasanya memiliki afasia non-fluent akibat pemotongan pada
lobus temporal atau perluasan lesi ke atah isthmus temporal. Lesi sisi kanan
diasosiasikan dengan visual neglect sisi kiri, ketidakmampuan
mempertahankan gerakan volunter, dan dispraksia. Lesi ini diakibatkan
karena terputusnya hubungan pada zona kortikal.
2. Talamik
Defisit motorik dan sensorik. Manifestasi utama yaitu hemiplegia dan
kelainan hemisensori akibat kompresi sisi talamus pada kapsula interna
akibat hematom. Defisit sensorik muncul lebih berat dan berkembang lebih
awal dibandingkan defisit motorik apabila mengenai bagian medial dan
posterior dari kapsula internal. Adanya sensasi terbakar pada sisi badan
sebelah (nyeri thalamus) beberapa minggu atau bulan setelah onset.

22
Pergerakan involunter. Bersama dengan rasa nyeri, pasien memiliki gejala
ringan-sedang hemiparese, ataksia, gerakan involunter koreoathetoid, dan
juga memiliki sindrom tangan talamus pada kontralateral lesi.
Disfungsi otak. Pasien dengan lesi pada sisi dominan dapat menunjukkan
sindrom afasik peculiar, bermanifestasi perseverasi, palilalia dan/atau
parafasia. Secara kontras pasien dengan lesi pada sisi tidak dominan dapat
menunjukkan asomatognosia.
Manifestasi okular. Paralisis pandangan ke atas dengan mata yang lain
mengarah ke bawah. Hiperkonvergen dari satu atau kedua mata. Kelainan
okulomotor disebabkan karena perluasan hematom ke pertemuan
diensefalon-mesensefalon atau kompresi daerah quadrigeminal plate.
Miosis atau sindrom Horner, anisokoria, dan hilangnya reflek cahaya dapat
terobservasi akibat keterlibatan arkus aferen refleks pupil.
Gangguan kesadaran. Penurunan kedasaran juga merupakan hal umum
yang dapat ditemui pada perdarahan talamus akibat keterkaitan dari rostral
reticular activating system (RAS).
3. Lobar (hemisfer atau subkortikal)
Nyeri kepala. Nyeri kepala biasanya mendahului, namun jarang berkembang
setelah onset. Frekuensi bergantung pada ukuran dan lokasi hematom dan
dilaporkan 25-50%. Nyeri kepala biasanya muncul disekitar lokasi
hematom.
Mual dan muntah. 40% pasien dapat muncul keluhan mual dan muntah.
Terutama akibat ruptur pada ruang subarahnoid atau ventrikel.
Kejang awal. Perkembangan kejang pada perdarahan lobar (dalam 3 hari
dari onset) lebih sering dibandingkan perdarahan lain yaitu 6-36%.
Gangguan kesadaran. Koma dalam jarang terjadi pada perdarahan lobar.
Tingkat kesadaran pada banyak kasus yaitu baik, jika ada perubahan
kesadaran hanya sedikit.
Manifestasi neurologikal fokal. Hematom frontal anterior biasanya
menyebabkan abulia. Pasien memiliki klinis apatis, penurunan spontanitas,
proses respon yang memanjang, disertai menjawab pertanyaan dengan
singkat. Jika lesi meluas semakin dalam atau ke arah girus presentral,

23
deviasi gerakan konjugasi mata ke arah lesi dan hemiparese kontralateral
dapat ditemukan. Hematom di parasentral yaitu dekat dengan sulkus
sentralis memunculkan tanda motorik dan sensorik kontralateral, biasanya
disertai dengan afasia jika lesi berada pada hemisfer sinistra. Perdarahan
lobus parietal diikuti dengan gangguan hemisensori kontralateral, neglect
dari lapang pandang visual kontralateral. Afasia dan gangguan fungsi
membaca, menulis, dan menghitung dapat muncul apabila lesi hematom
mencakup lobus parietal inferior sisi yang dominan. Perdarahan pada sisi
non dominan inferior muncul gangguan menggambar dan menirukan serta
dapat memiliki kesulitan dalam fungsi visual-spasial. Hematom osipital
menyebabkan hemianopia kontralateral yang berat, seringkali disertai
hemisensori atau motor kontralateral dan neglect visual. Lesi lobus temporal
sering menyebabkan agitasi dan delirium. Afasia tipe Wernick mengikuti
lesi temporal sisi doniman. Hematom lobus temporal seringkali membesar
dan menyebabkan herniasi tanpa didahului hemiparese. Kompresi batang
otak dapat berkembang perlahan, seiring dengan keadaan stupor yang
semakin dalam. Dilatasi pupil ipsilateral sering terjadi.
4. Batang Otak
Perdarahan batang otak terutama berada paling sering di pons. Perdarahan
mesensefalon dan medular jarang dan ketika terjadi, biasanya disebabkan
karena diskariasis darah serta malformasi vaskular.
Tanda yang muncul pada hematom besar pons medial yaitu (1) kuadriplegia,
sering dengan kekakuan dan rigiditas tungkai; (2) koma; (3) absen gerakan
mata horizontal; (4) pupil yang berukuran kecil namun reaktif; dan (5)
respirasi ireguler atau cepat. Nyeri kepala dan muntah sesekali terjadi.
Hemiparese merupakan tanda klinis awal yang sering muncul. Tuli,
disartria, parestesia wajah, kelemahan tungkai atau wajah asimetris sesekali
mendahului koma. Beberapa pasien memiliki gejala pergerakan spasmodik
dari tungkai hingga rigiditas deserebrasi. Hipertermia terkadang muncul.
Hematom basal lateral dapat menyebabkan hemiparese murni, hemiparese
ataksik atau dysarthria-clumsy-hand syndrome. Lesi basal lateral dapat
menyebar ke tegmentum, menyebabkan tanda nervus kranialis unilateral dan

24
hemiparese kontralateral. Hal yang membedakan dengan hematom
tegmental pontin lateral yaitu adanya abnormalitas okulomotor, berupa
parese pandangan konjugasi ipsilateral, oftalmoplegia internuklear
ipsilateral, atau kombinasi dari oftalmoplegia internuklear ipsilateral dan
palsi pandangan. Hilangnya sensasi suhu, posisi, nyeri kontralateral
menyertai pada lesi ini karena lemniskus sensorik terletak di tegmentum
lateral. Ataksia tungkai biasanya muncul dan dapat bilateral atau sebagian
besar ipsilateral. Mati rasa atau kelemahan wajah unilateral, miosis
ipsilateral, dan tuli sementara juga dapat muncul. Ketika hemiparese
kontralateral muncul, biasanya ringan dan bersifat sementara.
5. Serebelar
Vertigo, muntah, dan nyeri kepala. Secara umum vertigo dan nyeri kepala
(daerah oksiput, leher atau frontal) dengan mual dan muntah muncul secara
menonjol pada onset perdarahan. Vertigo dan muntah dapat muncul seiring
dengan gerakan.
Gangguan kesadaran dan parese nervus kranialis. Gangguan kesadaran
tidak umum terlihat pada onset perdarahan, namun dapat muncul secara
progresif 1-3 jam pada sepertiga pasien, karena kompresi batang otak oleh
hematom. Medula merupakan bagian tersering yang mengalami kompresi,
sehingga abnormalitas vasomotor dan gagal nafas dapat berkembang.
Hematom serebelar juga dapat menekan struktur sudut serebelopontin,
sehingga muncul disfungsi dari nervus kranialis V, VI, VII, dan VIII disertai
dengan ataksia.
Gangguan berdiri dan gaya berjalan. Dispraksia gaya berjalan dan
gangguan berdiri tanpa paralisis tungkai menjadi karakteristik pasien
dengan perdarahan serebelar, dan hal ini menjadi poin penting untuk
membedakan dengan perdarahan batang otak. Pasien tidak dapat
mempertahankan posisi berdiri dan seringkali menyandarkan atau miring ke
arah hematom. Kesulitan berjalan muncul karena ataksia atau atonia
meskipun tidak ada parese motorik.
Gejala okular. Paralisis pandangan konjugasi ipsilateral merupakan tanda
yang dapat dipercaya. Dapat muncul nistagmus horizontal dengan fase cepat

25
pada sisi lesi dan skew deviation. Pada kasus kompresi dari tegmentum
pontin ipsilateral oleh hematom, palsi nervus abdusen, palsi nervus fasialis
tipe perifer, sindrome Horner dan pupil ipsilateral lebih kecil dapat muncul.
Kejang Post Stroke Perdarahan
Kejang setelah stroke merupakan salah satu penyebab umum dari epilepsi
pada orang dewasa, dengan kejadian sebesar 11% dari seluruh pasien. Lebih
jauh lagi, kejang lebih umum terjadi pada stroke perdarahan dibandingkan
dengan stroke iskemik (Minhas, 2018). Kejang diidentifikasi muncul hingga
30% dari pasien dengan stroke perdarahan, namun insidensi yang pasti
belum diketahui karena sulit untuk mendeteksi kejang non konvulsif. Rata-
rata, 50% dari kejang setelah stroke perdarahan hanya melalui elektrografik,
dengan tanpa adanya manifestasi klinis kejang (Mehta et al., 2018).
Patofisiologi dari kejang setelah stroke perdarahan masih belum dijelaskan
dengan pasti, penjelasan potensial yaitu deposit hemosiderin menyebabkan
iritasi fokal serebral dan karenanya menyebabkan kejang fokal. Penjelasan
lain yaitu trombin mendorong efek pada eksitabilitas neuron dan kanal
natrium-terkait voltase sehingga menyebabkan kejang. Penjelasan terakhir,
peningkatan glutamat ekstraselular dan regulasi turun dari GABA dan kanal
kalium telah dihubungkan dengan kejang post stroke (Minhas, 2018).
Lokasi perdarahan lobar merupakan daerah paling epileptogenik pada
perdarahan akut. Beberapa penelitian menunjukkan insidensi kejang
tertinggi dengan perdarahan dihubungkan dengan struktur kortikal lobar
(54%) dan terendah dengan perdarahan talamus atau ganglion basalis.
Kejang post stroke dapat berkembang pada pasien dengan lesi besar yang
mencakup multipel lobus dibandingkan dengan lobus tunggal (Silverman,
2002). Manifestasi klinis dari kejang yang muncul, karena lesi yang timbul
akibat stroke merupakan lesi fokal, kejang post stroke umumnya merupakan
kejang fokal pada onset awal. Pada sebuah penelitian kejang onset awal
pada 90 pasien, kejang fokal simpleks merupakan tipe yang paling umum
(61%) diikuti kejang fokal menjadi umum (28%). Pada penelitian lain
menunjukkan, pada kejang onset awal (< 2 minggu) lebih umum terjadi
kejang fokal, sedangkan kejang onset lambat (> 2 minggu) lebih seering

26
terjadi kejang fokal menjadi umum dan cenderung dapat berulang rata-rata
dalam 1 tahun (Silverman, 2002).

Parafasia
Bagian otak yang berkaitan dengan bahasa tersusun sepanjang dan dekat
dengan fisura Sylvian dari hemisfer kontralateral terhadap tangan yang
dominan. Area-area tersebut secara spasial berbeda dari area korteks
sensorik dan motorik primer yang berperan untuk persepsi auditorik murni
(korteks auditorik, girus transversus Heschl), persespsi visual murni
(korteks visual), performa motorik kegiatan berbicara (korteks motorik
primer), pusat bicara utama terdapat di regio basalis lobus frontalis kiri (area
Broca) dan di bagian posterior lobus temporalis pada pertautannya dengan
lobus parietalis (area Wernicke) (Baehr dan Frotscher, 2014). Area
Wernicke berkaitan dengan pemahaman informasi auditorik dan visual.
Area Wernicke memproyeksikan informasi tersebut via fasikulus arkuata ke
area Broca di lobus frontal. Area broca memproses informasi yang diterima
dari area Wernicke menjadi pola yang detail dan terkoordinasi untuk proses
vokalisasi dan memproyeksikan pola tersebut ke area artikulasi di insula ke
korteks motorik, yang mana menginisiasi pergerakan yang tepat dari bibir,
lidah dan laring untuk memproduksi suara (Baehr dan Frotscher, 2014).

Gambar 1. Model Wernicke-Geschwind (Baehr dan Frotscher, 2014).

Parafasia merupakan pengucapan kata yang tidak substantif dimana kata


tersebut sering mengalami malformasi dan tidak seharusnya. Parafasia telah

27
diselidiki berkaitan dengan lesi fokal pada parenkim otak di sekitar girus
prefrontal sinistra atau pada lobus temporo parietal. Lesi pada struktur
tersebut mempengaruhi pada proses berbicara. Parafasia fonemik dapat
disebabkan oleh asal yang berbeda di dalam proses berbicara: memanggil
dan memilih fonem. Parafasia fonemik akibat lesi lobus frontal kiri dapat
diakibatkan karena gangguan realisasi dari fonem, yang mana tidak
dipengaruhi oleh perbedaan modalitas seperti: konfrontasi nama dan
repetisi, sedangkan parafasia fonemik akibat lesi lobus temporoparietal kiri
menyebabkan gangguan dari proses memanggil, memilih, pencarian fonem
(Otsuki dan Soma, 1999). Sebuah fonem (unit minimal dari suara yang
dapat dikenal sebagai bahasa) atau suku kata dapat mengalami subtitusi
dalam suatu kata (contoh : “the grass is greel”); hal ini disebut dengan
parafasia fonemik. Penggantian satu kata ke kata lain (“the grass is blue”)
disebut sebagai parafasia verbal atau semantik dan hal ini lebih dcirikan
pada afasia Wernicke. Neologisme yaitu suku kata atau kata yang bukan
merupakan bagian dari bahasa juga dapat muncul (“the grass is grumps”).
(Caplan, 2016).
Menurut model afasia Wernicke-Lichtheim, komprehensi yang utuh tidak
mungkin jika area sensorik bicara Wernick mengalami kerusakan; sehingga,
kombinasi dari parafasia dan komprehensi yang intak dapat dijelaskan
sebagai diskoneksi antara area sensorik bicara dan area motorik bicara yang
intak. Kerusakan pada hubungan ini, selanjurnya diidentifikasi sebagai
fasikulus arkuata, mencegah gambaran suara kata dalam area Wernicke
untuk memandu area motorik, dan menghasilkan parafasia (Binder, 2017).
Sebuah pandangan alternatif, afasia konduksi dihasilkan dari kerusakan
daerah korteks yang memisahkan sistem sensorik bicara dan sistem
artikulasi bicara. Fungsi dari daerah ini (termasuk posterior girus temporal
superior dan korteks yang terkait di sulkus temporal superior dan girus
supramarginal yaitu untuk menyimpan dan mengaktivasi bentuk
fonologikal. Parafasia fonologikal terjadi ketika otak yang mengalami
kerusakan mengganggu representasi fonologikal sehingga terjadi
pengurangan, duplikasi, menata kembali, dan kelainan lainnya dalam urutan

28
fonem yang membuat representasi. Representasi fonologikal merupakan
tahapan awal pada tugas keluaran bicara, seperti bicara spontan, penamaan,
membaca keras, dan repetisi, sehingga kerusakan menyebabkan parafasia
pada seluruh tugas tersebut (Binder, 2017).
Terapi yang dapat dilakukan pada pasien dengan parafasia terdapat
beberapa. Pertama dengan pasien diminta untuk membaca dengan keras
secara untuk mengurangi frekuensi paraphasia fonemik. Pemberian stimulus
termasuk 3 set kata, frase, dan kalimat. Panjang suku kata dari kata pada set
tersebut dinaikan dari satu menjadi tiga kata pada set ketiga. Pasien
diharuskan membaca secara keras dan ketika fonemik parafasia muncul,
pasien diharuskan mengulang kembali dengan membaca perlahan dan
memikirkan bagaimana seharusnya cara membaca yang benar. Kemudian
pasien membaca secara keras kembali. Jika respon masih salah, maka
kembali diulang. Cara yang kedua yaitu dengan menuliskan kembali. Pada
awalnya pasien diharuskan membaca kata dengan keras, namun bila ada
kata yang salah, pasien diharuskan menulis kata tersebut. Kemudian
setelahnya pasien diharuskan membaca kembali dengan keras, apabila
masih terdapat kesalahan, pasien diharuskan mengulang kembali. Cara yang
lain yaitu pasien diminta menyebutkan nama benda pada gambar; kemudian
diberikan kata yang memiliki ritme yang hampir sama. Setelah itu pasien
diminta menyebutkan apakah kedua kata tersebut memiliki ritme yang sama
atau tidak. Durasi intensif dapat diberikan untuk menghasilkan efek yang
baik, yaitu durasi 5 jam sehari untuk 4-5 hari dalam satu minggu selama 4
minggu (Papathanasiou et al., 2005).

E. Penegakan Diagnosis
Manifestasi Klinis

29
Gejala tidak spesifik untuk membedakan antara stroke iskemik atau
stroke hemoragik. Namun gejala umum seperti mual, muntah, dan nyeri kepala
disertai dengan penurunan kesadaran, mengindikasikan adanya peningkatan
tekanan intrakranial dan merupakan hal yang lebih umum pada stroke
hemoragik dan stroke iskemik yang masif. Kejang umum terjadi pada stroke
perdarahan dibandingkan stroke iskemik. Kejang terjadi hampir 28% pada
stroke perdarahan, dengan onset rata-rata saat terjadi stroke atau dalam 24 jam
pertama. Defisit neurologis fokal yang dapat terjadi seperti (Tsai et al., 2018) :
1. Kelemahan atau parese pada salah satu, setengah badan atau
keempat ekstrimitas
2. Kelumpuhan muka
3. Pandangan buram
4. Disartria atau masalah pada pemahaman pengucapan
5. Vertigo atau ataksia
6. Afasia
Terdapat alat bantu diagnosis dengan menggunakan sistem skoring
seperti Siriraj Stroke Score.
(2.5 x kesadaran) + (2 x muntah) + ( 2 x sakit kepala) + (0.1 x TD
diastolik) - (3 x atheroma) – 12

Variabel Gejala klinis Skor


Kesadaran (GCS) 15 0 x 2.5
9-14 1 x 2.5
3-8 2 x 2.5
Muntah Tidak 0x2
Ya 1x2
Nyeri kepala (dalam 2 jam) Tidak 0x2
Ya 1x2
TDD x 0.1
Tanda aterom (DM, angina pektoris, Tidak 0x3
klaudikasio intermiten, riwayat TIA)
Satu atau lebih 1x3
Konstanta -12
Skor di atas 1 mengindikasikan perdarahan inraserebral supratentorial,
sedangkan skor di bawah -1 mengindikasikan infark. Skor antara 1 dan -1
merepresentasikan hasil ekuivokal yang membutuhkan scan otak
terkompeterisasi untuk memastikan diagnosis. Sensitivitas diagnosis untuk
stroke hemoragik dan non hemoragik secara berurutan yaitu 89,3% dan 93,2

30
%, dengan akurasi prediksi secara keseluruhan sebesar 90,3%. Skor
(Poungvarin et al., 1991).
Pemeriksaan penunjang
Semua pasien dengan suspek stroke akut jarus dilakukan beberapa
pemeriksaan seperti dibawah ini saat masuk ke unit gawat darurat yang
meliputi (Misbach et al., 2011):
1. Elektrokardiogram (EKG)
2. Pencitraan otak : CT non kontras atau MRI direkomendasikan
untuk membedakan stroke iskemik dengan perdarahan intrakranial.
Angiografi CT dan CT dengan kontras dapat dipertimbangkan untuk
membantu mengidentifikasi pasien dengan risiko perluasan hematom. Bila
secara klinis atau radiologis terdapat kecurigaan lesi struktural dapat
dilakukan angiografi CT, venografi CT, CT dengan kontras, MRI dengan
kontras, MRA, dan venografi MR (Hemphill et al., 2015).
3. Pemeriksaan laboratorium darah antara lain, hematologi rutin, gula
darah sewaktu, fungsi ginjal (ureum, kreatinin), Activated Partial Thrombin
Time (APTT), Prothrhombin Time (PT), INR. Pemeriksaan laboratorium di
ruang gawat antara lain gula darah puasa dan 2 jam setelah makan, profil
lipid, C-Reactive Protein (CRP), laju endap darah, dan pemeriksaan atas
indikasi seperti : enzim jantung (troponin / CKMB), serum elektrolit,
analisis hepatik dan pemeriksaan elektrolit.
Pemeriksaan tambahan yang disesuaikan dengan indikasi (sebagian dapat
dilakukan di ruang rawat) meliputi:
1. Duplex/ Doppler ultrasound ekstrakranial dan transkranial
2. Ekokardiografi (transthoracic clan/ atau transoesophageat)
3. Foto rontgen dada
4. Saturasi oksigen dan analisis gas darah
5. Pungsi lumbal jika dicurigai adanya perdarahan
subaraknoid dan CT scan tidak ditemukan adanya perdarahan
6. EEG jika dicurigai adanya kejang
F. Diagnosis Banding
1. Trascient Ischemic Attack

31
2. Stroke Non Hemoragik
3. Perdarahan Subarakhnoid
4. Ensefalitis
5. Meningitis
6. Nyeri kepala primer
7. Hipernatremia/hiponatremia
8. Hipoglikemia
9. Neoplasma otak

G. Penatalaksanaan
Tatalaksana pasien stroke hemoragik mencakup tatalaksana secara umum
dan khusus (Misbach et al., 2011).
1. Tatalaksana Umum
a. Stabilisasi Jalan Napas dan Pernapasan
1) Pemantauan secara terus menerus terhadap status neurologis, tanda
vital dan saturasi oksigen dianjurkan dalam 72 jam pada pasien
dengan defisit neurologis yang nyata.
2) Pemberian oksigen dianjurkan pada keadaan saturasi oksigen <95%
3) Perbaiki jalan napas termasuk pemasangan pipa orofaring pada pasien
tidak sadar. Bantuan ventilasi diberikan pada pasien penurunan
kesadaran atau disfungsi bulbar dengan ganggun jalan napas. Intubasi
ETT atau LMA diperlukan pada pasien dengan hipoksia (pO2 <60
mmHg atau pCO2 >50 mmHg) atau syok atau pada pasien yang
berisiko terjadi aspirasi. Bila pipa ETT terpasang >2 minggu, maka
dianjurkan trakeostomi.
b. Stabilisasi Hemodinamik
1) Cairan kristaloid atau koloid intravena (hindari pemberian cairan
hipotonik)
2) Dianjurkan pemasangan CVC (usahakan CVC 5-12 mmHg)
3) Optimalisasi tekanan darah

32
4) Bila TDS <120 mmHg dan cairan sudah mencukupi, maka obat-obat
vasopressor dapat diberikan secara titrasi dengan target TDS berkisar
140 mmHg.
5) Hipotensi arterial harus dihindari dan dicari penyebabnya. Hipovolemi
harus dikoreksi dengan larutan normal salin dan aritmia jantung yang
mengakibatkan penurunan curah jantung sekuncup harus dikoreksi.
c. Pengendalian Peninggian Tekanan Intrakranial (TIK)
1) Tinggikan posisi kepala 20-30 derajat
2) Posisi kepala pasien hendaklah menghindari penekanan pada vena
jugular
3) Hindari pemberian cairan glukosa atau hipotonik, dan jaga
normovolemia
4) Hindari hipertermia
5) Osmoterapi atas indikasi :
a) Manitol 0,25 – 0,50 g/kgBB selama >20 menit, diulangi 4-6 jam
dengan target <310 mOsm/L;
b) Bila perlu, berikan furosemid dengan dosis inisial 1 mg/kgBB IV
6) Intubasi untuk menjaga normoventilasi (pCO2 35-40 mmHg).
7) Paralisis neuromuskular yang dikombinasikan dengan sedasi yang
adekuat dapat mengurangi naiknya TIK dengan cara mengurangi
naiknya tekanan intratorakal dan tekanan vena akibat batuk, suction,
bucking ventilator.
d. Pengendalian kejang
1) Bila kejang, berikan diazepam bolus lambat intravena 5-20 mg dan
diikuti oleh fenitoin loading dose 15-20 mg/kg bolus dengan
kecepatan maksimum 50 mg/menit. Bila kejang belum teratasi, perlu
dirawat di ICU
2) Pemberian profilaksis dapat diberikan pada pasien dengan risiko
tinggi terjadi kejang seperti perdarahan dengan keterlibatan korteks,
ICH lobar, usia muda, dan stroke berat (Yao et al., 2016). Menurut
Morroti dan Goldstein (2017) dan AHA/ASA (2018), pemberian
profilaksis antikonvulsan akan memberikan keluaran yang buruk.

33
Profilaksis antikonvulsan hanya diberikan pada pasien dengan klinis
atau gambaran EEG kejang.
e. Pengendalian Suhu Tubuh
Berikan asetaminofen 650 mg bila suhu lebih dari 37,5℃ (ESO
Guideline) atau 38,5℃ (Hemphill et al., 2015).
f. Gastroprotektor bila diperlukan
1) Sitoprotektor atau penghambat reseptor H2 dapat diberikan untuk
mecegah perdarahan lambung. Tidak ada perbedaan hasil antara
pemberian penghambat reseptor H2, sitoprotektor agen ataupun
inhibitor pompa proton. Antasida tidak perlu diberikan pada
profilaksis stress ulcer.
2) Pasien dengan stress ulcer harus dilakukan penatalaksanaan ABC
adekuat. Pada perdarahan >30% dari volume sirkulasi, penggantian
dengan darah diperlukan. Pasang pipa nasogastrik dan lakukan irigasi
dengan air es tiap 6 jam sampai darah berhenti. Pemberian PPI seperti
omeprazole atau pantoprazole diberikan secara IV dengan dosis 80 mg
bolus, kemudian diikuti pemberian infus 8 mg/jam selama 72 jam
berikutnya. Pemberian nutrisi diit cair jernih paska hem atemesis
sangat membantu percepatan proses penyembuhan stress ulcer.
Pemberian nutrisi harus dengan kadar serat yang tinggi.
g. Pencegahan DVT
1) Pemakaian stoking dilakukan pada pasien kelemahan tungkai.
2) Mobilisasi segera dapat membantu mencegah terjadinya trombosis
vena dalam.

2. Tatalaksana Khusus
a. Pentalaksanaan Tekanan Darah
1) Pada pasien stroke perdarahan intraserebral akut, apabila TDS>200
mmHg atau MAP >150 mmHg, tekanan darah diturunkan dengan
menggunakan obat antihipertensi intravena secara kontinyu dengan
pemantauan tekanan darah setiap 5 menit.

34
2) Apabila TDS >180 mmHg atau MAP >130 mmHg disertai dengan
gejala dan tanda peningkatan TIK, tekanan darah diturunkan dengan
menggunakan obat antihipertensi IV secara kontinyu atau intermiten
hingga MAP 110 mmHg atau TD 160/90 mmHg. Penurunan TDS
hingga 140 mmHg masih diperbolehkan.
3) Menurut AHA/ASA (2015), pasien dengan TDS antara 150-220
mmHg dan tanpa kontraindikasi penurunan TD, penurunan TDS
hingga 140 mmHg menunjukkan adanya perbaikan dalam fungsional
pasien, karena menunjukkan adanya ekspansi hematom yang paling
kecil dibandingkan TDS 150 atau 160 mmHg. Untuk pasien dengan
SBP >220 mmHg, dilakukan terapi penurunan TD yang agresif
dengan intravena berkelanjutan dan memonitor TD secara berkala.
4) Pemakaian obat antihipertensi parenteral golongan beta blocker
(labetolol dan esmolol), penyekat kanal kalsium (nikardipin dan
diltiazem) IV dapat digunakan. Hidralazin dan nitroprusid sebaiknya
tidak digunakan karena mengakibatkan peningkatan TIK.
Tabel 1. Obat antihipertensi intravena pada stroke akut (Miscbach,
2011).

Obat Dosis Keuntungan Kekurangan


Nikardipin 5 mg/jam Awitan cepat (1- Takikardi atau
IV 5 menit) tidak bradikardi,
terjadi rebound hipotensi, durasi
bermakna, lama (4-6 jam)
eliminasi tidak
dipengaruhi hati
atau renal
Diltiazem 2,5 mg /jam Awitan cepat <1
tiap 15 menit, tidak
menit dapat terjadi rebound
dinaikkan atau takiflaksis
higga 15
mg/jam
Hidralazin 2,5-10 mg Serum sikness
IV bolus like, drug induced
(sampaai 40 lupus, durasi lama
mg) (3-4 jam), awitan

35
lambat 15-30
menit
Nitrogliserin 5-100 Awitan 1-2 Produksi
mcg/kg/men menit, durasi 3- methemoglobin,
it IV 5 menit refleks takikardia

5) Hipotensi arterial (TDS <100 mmHg atau TDD <70 mmHg) dapat
diberikan obat vasopresor dalam bentuk infuse (fenilefrin, dopamin,
dan norepinefrin). Tekanan darah dipertahankan optimal yaitu TDS
berkisar 140 mmHg pada kondisi stroke akut.
b. Penatalaksanaan Gula Darah
Sasaran kadar glukosa darah yaitu 80 – 180 mg/dl, hiperglikemia
dan hipoglikemia harus dihindari. Hiperglikemia dapat menyebabkan
apoptosis sel dengan menginduksi respon peradangan. Selain itu
hiperglikemia juga dapat menimbulkan edem serebral dengan mendorong
pembentukan radikal bebas dan menginduksi bradikinin (Sun et al.,
2017). Kontrol gula darah selama fase stroke akut dapat menggunaan
insulin reguler skala luncur atau infus IV apabila hiperglikemia refrakter.
1) Insulin reguler SC menurut sliding scale
Sangat bervariasi dan harus disesuaikan dengan kebutuhan tiap
penderita (tidak disebutkan berapa jam sekali).
Tabel 2. Skala luncur insulin reguler manusia (Misbach, 2011)

Gula darah (mg/dL) Dosis insulin subkutan (Unit)


150-200 2
201-250 4
251-300 6
301-350 8
≥ 351 10

2) Protokol pemberian insulin intravena


Standar drip insulin 100 U/100 ml NaCl 0,9% via infus (1 U/1 ml).
Infus insulin harus dihentikan apabila penderita dapat konsumsi
makan dan menerima dosis pertama dari insulin subkutan. Gula darah
kapiler diperiksa tiap jam sampai pada sasaran glukosa selama 4 jam

36
kemudian diturunkan tiap 2 jam. Bila gula darah tetap stabil, infus
insulin dapat dikurangi tiap 4 jam.
Tabel 3. Infus insulin intravena (Misbach, 2011)

Kecepatan infus insulin (U/jam)


Gula darah Algoritma Algoritma Algoritma Algoritma
1 2 3 4
<70 0 0 0 0
70-109 0,2 0,5 1 1,5
110-119 0,5 1 2 3
120-149 1 1,5 3 5
150-179 1,5 2 4 7
180-209 2 3 5 9
210-239 2 4 6 12
240-269 3 5 8 16
270-299 3 6 10 20
300-329 4 7 12 24
330-359 4 8 14 28
>360 6 12 16 28

c. Neurorestorasi/ Neurorehabilitasi
Pemulihan puncak neurologis setelah stroke terjadi dalam 3 bulan
pertama dan terkait dengan usia dan besarnya lesi. Beberapa studi
menunjukkan pemulihan dapat berlanjut namun pada tingkat yang lambat
hingga 6 bulan. Sekitar 5% pasien, masa pemulihan berlanjut hingga 1
tahun, khususnya pada pasien dengan kelumpuhan berat saat
pemeriksaan pertama. Pemulihan paska stroke berkaitan terutama dengan
plastisitas dari bagian otak yang berdekatan (Teasell dan Hussein, 2018).
Neurorehabilitasi harus memperhatikan prinsip seperti latihan repetitif,
dosis, latihan spesifik, peningkatan tingkat kesulitan, stimulus
multisensorik, dan latihan yang berorientasi dengan tujuan (goal-
oriented) (Maier et al., 2019).
d. Neuroprotektor
Pemakaian obat-obatan neuroprotektor belum menunjukkan hasil yang
efektif, sehingga sampai saat ini belum dianjurkan (Hemphill et al.,
2015).

37
1) Sitikolin. Efek terapetik sitikolin yaitu stabilisasi membran sel
dengan meningkatkan sintesis fosatidilkolin dan spingomielin,
menghambat pelepasan glutamat selama iskemia. Sitikolin juga
meningkatkan sintesis asam nukleat, protein, asetilkolin dan
neurotransmiter lain, serta mengurangi pembentukan radikal bebas.
Selain itu sitikolin mendorong proses recovery dengan meningkatkan
pertumbuhan sinaps dan neuroplastisitas sehingga mengurangi defisit
neurologis serta memperbaiki kemampuan belajar dan memori
(Alvarez-Sabin dan Roman, 2013). Sebuah studi menujukkan efek
sitikolin pada pasien dengan stroke perdarahan yaitu menujukkan
pasien dapat mencapai tahap independen sebesar 27,8% dengan
pemberian sitikolin 1g/12 jam iv dilanjut oral selama 12 minggu
dibandingkan dengan kelompok kontrol yaitu 6,7% (Alvarez-Sabin et
al., 2006).
2) Pirasetam. Pirasetam diketahui dapat berinteraksi pada membran
fosfolipid dan memperbaiki integritas dari membran sel. Pada tingkat
neuron, pirasetam memodulasi neurotransmiter sehingga
mempengaruhi proses belajar dan memori, efek antikonvulsan, dan
memperbaiki neuroplastisitas. Selain itu pirasetam juga memiliki efek
memperbaiki afasia melalui peningkatan kapasitas sekitar lesi
iskemik untuk diintegrasikan kembali menjadi jaringan yang
berfungsi melalui perbaikan dari membran neuron sehingga
memperbaiki fungsi dan pelepasan neurotransmiter neuron (Winblad,
2005). Sebuah penelitian menunjukkan perbaikan afasia dengan dosis
pirasetam 4,8 g selama 6-12 minggu (Kessler et al., 2000).
3) Statin. Efek statin pada stroke perdarahan telah diteliti secara
preklinik dan klinik. Mekanisme statin dalam mempengaruhi hasil
outcome yaitu melalui percepatan resolusi hematom melalui beberapa
jalur seperti aktivasi dan rekruitmen mikroglia atau makrofag
sehingga memfasilitasi resorpsi dan fagositosis hematom. Serta
melalui pengurangan sawar darah otak pada zona batas ICH sehingga
mengurangi edema perihematom. Statin juga mengurangi infiltrasi sel

38
inflamatorik yang berada pada zona batas ICH ditandai dengan
pengurangan serum TNF-α dan peningkatan IL-10. Mekanisme yang
lain dari statin yaitu meningkatkan produksi NO dan proliferasi
vaskular yang meningkatkan perfusi jaringan otak. Melalui jalur
aktivasi jalur PI3K/Akt, statin mengurangi apoptosis dan
meningkatkan neurogenesis pada zona batas ICH. Sehingga efek
neuroprotektor statin yaitu antioksidatif, antiinflamatorik,
antiapoptosis, neurogenik, dan angiogenik (Chen et al., 2019).
Banyak studi menunjukkan adanya hasil outcome yang baik pada
pasien ICH dengan melanjutkan atau penggunaan baru statin
(Siddiqui et al., 2017). Hasil outcome dinilai dengan menggunakan
skor NIHSS yang lebih rendah, mRS yang lebih rendah pada 3 bulan
pertama. Penggunaan statin pada pasien ICH juga menunjukkan
tingkat mortalitas dalam 30 hari dan satu tahun pertama yang lebih
rendah. Namun efek benefit tersebut tidak selalu dilaporkan pada
beberapa penelitian (Chen et al., 2019).
Selain itu, terdapat penelitian yang menunjukkan adanya peningkatan
risiko ICH rekuren pada pasien dengan penggunaan statin melalui
mekanisme perubahan integritas membran selular dari endotel
serebrovaskular (Mattre et al., 2016). Pada trial SPARCL dan studi
yang lain merekomendasikan untuk menghindari penggunaan statin
pada pasien dengan ICH sebelumnya, terutama pada ICH tipe lobar.
Hasil yang kontra ditemukan oleh beberapa penelitian menunjukkan
efek yang tidak terlalu signifikan antara risiko stroke perdarahan pada
penggunaan statin dengan plasebo (1.3% vs 0.7%), sehingga efek
antara penggunaan statin dengan risiko ICH rekuren masih belum
jelas (Chen et al., 2019).

e. Prosedur Operasi
Pasien dengan perdarahan sereberal yang mengalami perburukan
neurologis atau yang terdapat kompresi batang otak dan atau hidrosefalus
akibat obstruksi ventrikel sebaiknya menjalani operasi evakuasi hematom

39
secepatnya. Pada pasien dengan hematom di lobus >30 cm 3 atau >20 cm3
(Baehr dan Frotscher, 2014) dan terdapat di 1 cm dari permukaan,
evakuasi perdarahan intrakranial supratentorial dengan kraniotomi
standar dapat dipertimbangkan. Pengangkatan hematom yang lebih kecil
dapat merugikan karena dapat merusak lebih banyak jaringan otak yang
viabel dibandingkan jaringan otak yang diselamatkan. Pengangkatan
hematoma di bagian otak yang dalam selalu menimbulkan desktruksi
sebagian jaringan otak yang normal di sepanjang jalur pembedahan saraf
ke hematoma. Waktu dari operasi sebaiknya dilakukan pada rentang 4
hingga 21 jam setelah iktus. Operasi lebih awal dari waktu tersebut akan
meningkatkan risiko perdarahan ulang (Hemphill et al., 2015). Apabila
operasi >36 jam, hematom akan lebih keras dan lebih sulit untuk
dilakukan evakuasi (Caplan, 2016). Pengangkatan hematom yang sangat
besar (>60 cm3) tidak akan memperoleh manfaat karena terlalu banyak
jaringan otak yang telah rusak (Baehr dan Frotscher, 2014). Operasi
kraniektomi dekompresi dengan/tanpa evakuasi hematom dapat
mengurangi mortalitas pada pasien dengan ICH supratentorial yang
memiliki kondisi koma, hematoma yang besar dengan midline shift yang
signifikan, atau TTIK refrakter dengan medikamentosa (Hemphill et al.,
2015).

H. Pencegahan
Pasien dengan ICH memiliki risiko tinggi terjadi berulang dan terkena penyakit
vaskular mayor yang lain. Risiko kumulatif dari ICH rekuren sebesar 1-5%
pertahun. Walaupun risiko ICH rekuren terjadi paling tinggi pada tahun
pertama setelah kejadian inisial, risiko stroke berulang dapat berjalan hingga
bertahun-tahun, terutama pasien dengan ICH lobar (Hemphill et al., 2015).
1. Penentuan risiko pasien untuk mengalami ICH berulang yang dapat
mempengaruhi penentuan tatalaksana dapat mengikuti faktor risiko yang
menyebabkan ICH berulang : lokasi ICH awal yaitu pada lobar, usia tua,
adanya dan jumlah perdarahan mikro pada MRI, konsumsi antikoagulan,
terdapat alel apolipoprotein E ε2 or ε4 (Hemphill et al., 2015).

40
2. Tekanan darah harus dikontrol pada semua pasien ICH. Tujuan terapi
jangka panjang yaitu TDS <130 mmHg dan TDD <80 mmHg (Hemphill et
al., 2015; Tsai et al., 2018).
3. Modifikasi gaya hidup termasuk menghindari konsumsi alkohol lebih dari 2
gelas per hari, merokok, dan obat-obat terlarang serta penanganan
obstructive sleep apnea (OSA) (Hemphill et al., 2015).
4. Pengendalian gula darah terkait ICH berulang masih terbatas. Salah satu
penelitian kohort menemukan, gula darah puasa <72 atau >110 mg/dL,
mempengaruhi peningkatan insidensi risiko ICH pada follow up selama 9
tahun. Menjaga euglikemik pasien dapat menjadi potensi yang
menguntungkan pada pencegahan penyakit arteri kecil serebral (Tsai et al.,
2018).
5. Peningkatan homosisteinemia dapat menyebabkan respons inflamasi
endotelial dan kerusakan endotel yang diinduksi oleh stres oksidatif.
Penggunaan suplementasi multivitamin untuk penanganan
hiperhomosisteinemia (asam folat oral, vitamin B6 dan B12), dapat
menyediakan pencegahan tambahan yang baik (Tsai et al., 2018).
6. Penghindaran obat antikoagulan jangka panjangan dengan warfarin sebagai
terapi untuk AF non valvular direkomendasikan setelah ICH spontan lobaris
terkait warfarin, karena memilki risiko tinggi untuk terjadi ICH ulang
(Hemphill et al., 2015).
7. Waktu yang optimal untuk penggunaan antikoagulasi oral setelah ICH
terkait antikoagulan tidak dapat ditentukan. Penghindaran antikoagulan oral
untuk minimal 4 minggu, pada pasien tanpa gangguan katup jantung,
mungkin dapat mengurangi risiko ICH berulang. Jika diindikasikan,
monoterapi aspirin dapat diulang dalam beberapa hari setelah ICH,
walaupun waktu yang optimal belum diketahui (Hemphill et al., 2015).

I. Prognosis
Prognosis pada pasien dengan ICH dapat diperkirakan dengan
menggunakan ICH Score untuk tingkat mortalitas dalam 30 hari pertama. Bila
total nilai ICH score yang didapatkan 3 dan >4 menunjukkan tingkat kematian

41
sekitar 70% dan 100% dalam 30 hari pertama. FUNC Score dapat digunakan
untuk memprediksi perbaikan fungional dalam 3 bulan pertama. Bila hasil
yang didapat >7, menunjukkan kemungkinan perbaikan fungsional hingga
lebih dari 70%. Namun bagaimanapun juga, alat prediksi tersebut tidak dapat
digunakan secara sendiri untuk memprediksi hasil (outcome). Pedoman
AHA/ASA merekomendasikan dukungan medis secara penuh untuk seluruh
pasien ICH minimal hingga hari kedua rawat inap, dan pembatasan
pertolongan medis pada awal kasus menunjukkan adanya prognosis yang jelek
(Morotti dan Goldstein, 2017).

Gambar 2. ICH Score (Kiri) dan FUNC Score (Kanan) untuk memprediksi
prognosis pada pasien ICH (Morotti dan Goldstein, 2017).

42
DAFTAR PUSTAKA

Aghangar, A.A., B. Bazoyar, R. Mortazavi, M. Jalali. 2015. Prevalence of


headache at the initial stage of stroke and its relation with site of vascular
involvement: A clinical study. Caspian J Intern Med 6(3) : 156-160
An, S.J., Kim, T.J., Yoon, B. 2017. Epidemiology, Risk Factors, and Clinical
Features of Intracerebral Hemorrhage: An Update. Journal of Stroke 19 (1) :
3-10.
Baehr, M. dan M. Frotscher.2014. Diagnosis Topik Neurologi DUUS. Jakarta :
EGC.
Barnett, D.L., R.A. Roenbaum, J.R. Diaz. 2016. Refractory Nausea and Vomitting
in The Setting of Well-Controlled Idiopathic Intracranial Hypertension. 2014.
BMJ Case Report.
Binder, J.R. Current Controversies on Wernickes Area and its Role in Language.
Curr Neurol Neuroscien Rep 17(58) : 1-10.
Brouwers, H.B. dan S.M. Greenberg. 2013. Hematoma Expansion Following
Acute Intracerebral Hemorrhage. Cerebrovas Dis 35(3) : 195-201.
Caplan, L.R. 2016. Caplan’s Stroke A Clinical Approach. Philadelphia : Elsevier.
Chen, C. D. Ding, N. Ironside, T.J. Buell, L.J. Elder, A.Warren, et al. 2019.
Statins for Neuroprotection in Spontaneous Intracerebral Hemorrhage.
Neurolgy 93:1-11
Cleary P., S. Sharvon, R. Tallis. Late-onset seizure as a predictor of subsuquent
stroke. Lance 363: 1184-1186.
Elkhatin, E.H.M., N.Shehta, A.A. Bessar. 2019. Hematoma Expansion Predictors:
Laboratory and Radiological Risk Factors in Patients with Acute Intracerebral
Hemorrhage: A Prospective Observational Study. Journal of Stroke and
Cerebrovascular Diseases 28(8) : 2177-2186.
Fisher, M. 2008. Stroke Part II : Clinical Manifestations and Pathogenesis,
Volume 93. Elsevier : USA
Flaherty, M.L., D. Woo, M. Haverbusch, P. Sekar, J. Khoury, L. Saerbeck, et al.
2005. Racial Variations in Location and Risk of Intracerebral Hemorrhage.
American Heart Association 36 : 934-937
Hemphill, J.C., S.M. Greenberg, C.S. Anderson, K. Becker, B.R. Bendok, M.
Cushman et al. 2015. Guidelines of the Management of Spontaneous
Intracerebral Hemorrhage. Stroke : American Heart Association/American
Stroke Association 46: 2032-2060.

43
Kessler, J. A. Thiel, H. Karbe, W.D. Heiss. 2000. Piracetam Improves Activated
Blood Flow and Facilitates Rehabilitation of Poststroke Aphasic Patients.
Stroke 31 (9): 2112-2116.
Leira, R. M. Castellanis, J. Alavrez-Sabin, E. Diez-Tejedor, A. Davalos, J.
Castillo. 2005. Headache in Cerebral Hemorrhage Is Associated With
Inflammatory Markers and Higher Residual Cavity. American Headache
Society 45: 1236-1243.
Magistris, F., S. Bazak, J. Martin. 2013. Intracerebral Hemorrhage:
Pathophysiology, Diagnosis and Management. MUMJ 10 (1) 15-22.
Maier, M., B.R. Ballester, P.F.M.J. Verschure. 2019. Principles of
Neurorehabilitation After Stroke Based on Motor Learning and Brain
Plasticity Mechanisms. Front. Syst. Neurosci. 13 (74) : 1-18
Matre, E.T.V., D.S. Sherman, T.H. Kiser. 2016. Management of Intracerebral
Hemorrhage-Use of Statins. Vasc Health Rsik Manag 12 : 153-161.
Mehta, A. B.E. Zusman, R. Choxi, L.A. Shutter, A. Yassin, A. Antony et al. 2018.
Seizures After Intracerebral Hemorrhage: Incidence, Risk Factors and Impact
on Mortality and Morbidity. World Neurosurgery 112 : 385-392

Minhas, J.S. Early Seizures in Acute Intracerebral Haemorrhage: Consideration


for Non Convulsive Status Epilepticus. Clinical Review ESO

Misbach, J., R. Lamsudin, A. Allah, A. Bsyiruddin, Suroto, A.Y. Alfa, et al. 2011.
Guideline Stroke. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia.
Morotti, A., Glodstein, J.N. 2016. Diagnosis and Management of Acute
Intracerebral Hemorrhage. Emergency Medicine Clinical North America 34
(4) : 883-899.
Myint, P.K., E.F.A Staufenberg, K. Sabanathan. 2006. Post-stroke seizure and
post-stroke epilepsy. Postgrad Med J. 82: 568-572.
Otsiko, M. dan Y. Soma. 1999. Paraphasia due to Focal Lesions. Higher Brain
Function Research 19(3) : 1

Papathanasiou, I., P. Coppens, C. Potagas. 2005. Aphasia and Related Neurogenic


Communication Disorders. Dapat diakses pada
https://books.google.co.id/books?
id=ZvN3wHnyiYQC&printsec=frontcover&hl=id#v=onepage&q&f=false
Pungvarin, N., A. Viriyavejakul, C. Komontri. 1991. Siriraj Stroke Score and
Validation Study to Distinguish Supratentorial Intracerebral Haemorrhage
form Infarction. BMJ 302(6792) : 1565-1567.
J, Alvarez-Sabin dan G.C. Roman. 2013. The Role of Citicoline in
Neuprotection and Neurorepair in Ischemic Stroke. Brain Sci 3 : 1395-14-14.
Rymer, M.M. 2011. Hemorrhagic Stroke: Intracerebral Hemorrhage. Missouri
Medicine. 108 (1) : 51-56.

44
Sacco, R.L., S.E. Kasner, J.P. Broderick, L.R. Caplan, J.J. Connors, A. Culebras,
et al., 2013. An Updated Definition of Stroke for 21st Century: A Statement
for Healthcare Professionals from AHA/ASA. Stroke 44 (7) : 2046-2089
Silverman, I.E., L Restrepo, G.C. Mathews. 2002. Poststroke Seizure. Arch
Neurol 59 : 195-201.

Smith, S.D., C.F. Eskey. 2011. Hemorrhage Stroke. Radiology Clinical North
America 49 : 27-45.
Sun, C., W. Liao, W. Jiang, P. Gao, W. Pan. 2019. The Pathophysiological
Mechanism and Treatment of Secondary Brain Insult of Hypertensive
Intracerebral Hemorrhage. Integr Med Int 4: 107-114.
Teasell, R. dan N. Hussein. 2016. Stroke Rehabilitation Clinician Handbook.
Testai, F.D., Aiyagari, V. 2008. Acute Hemorrhagic Stroke Pathophysiology and
Medical Interventions: Blood Pressure Control, Management of
Antikoagulan-Associated Brain Hemorrhage and General Management
Principles. Neurology Clinical 26 : 963-985
Tsai, H., J.S. Kim, E. Jouvent, M.E. Gurol. 2018. Updates on Prevention of
Hemorrhagic and Lacunar Stroke. Journal of Stroke 20(2) : 167-179.
Winblad,B. 2005. Piracetam: A Review of Pharmacological Properties and
Clinical Uses. CNS Drug Rev 11(2): 169-182.
Yao, Z., L. Ma, C. You. 2016. Antiepileptic Dugs for Patients with Intracerebral
Hemorrhage: A Meta-Analysis. Turk Neurosurg 8:1-5

45

Anda mungkin juga menyukai