“APPENDICITIS ACUTE”
Oleh:
dr. Annisha Kartika
Pembimbing :
dr. Nofi Liza Meliana
dr. Henri Perwira Negara
RS SIAGA MEDIKA
PROGRAM INTERNSHIP DOKTER INDONESIA
(Periode 06 September 2018 – 06 September 2019)
1
Berita Acara Presentasi Portofolio
Pada hari ini hari Senin, tanggal 11 Maret 2019 telah dipresentasikan portofolio oleh:
Nama : dr. Annisha Kartika
Judul/ topik : Appendicitis Acute
No. ID dan Nama Pendamping : dr. Nofi Liza Meliana
dr. Henri Perwira Negara
No. ID dan Nama Wahana : RS SIAGA MEDIKA
1. 1.
2. 2.
3. 3.
4. 4.
5. 5.
6. 6.
7. 7.
8. 8.
9. 9.
10. 10.
Berita acara ini ditulis dan disampaikan sesuai dengan yang sesungguhnya.
Pendamping
2
Nama Peserta dr. Annisha Kartika
Nama Wahana RS SIAGA MEDIKA
Topik Appendicitis Acute
Tanggal (kasus) 14 Desember 2018
Nama Pasien Nn T No. RM 138xxx
dr. Nofi Liza Meliana
Tanggal Presentasi Pendamping
dr. Henri Perwira Negara
Tempat Presentasi RS SIAGA MEDIKA
Objektif Presentasi
□ Keilmuan □ Keterampilan □ Penyegaran □ Tinjauan Pustaka
□ Diagnostik □ Manajemen □ Masalah □ Istimewa
□ Neonatus □ Bayi □ Anak □ Remaja □ Dewasa □ Lansia □ Bumil
Seorang perempuan usia 16 tahun dengan keluhan nyeri perut kanan
□ Deskripsi bawah sejak 1 hari SMRS.
3
adik di rumah permanen.
Hasil Pembelajaran:
1. Penegakkan kasus Appendicitis Akut
2. Panatalaksanaan kasus Appendicitis Akut
1. Subjektif :
Pasien datang ke IGD RSU Siaga Medika pada pukul 18.45 WIB, dengan keluhan nyeri pada perut
kanan bawah sejak 1 hari SMRS. Awal nyeri dirasakan pada ulu hati namun hari ini nyeri berpindah ke
perut kanan bawah. Nyeri dirasakan seperti kram. nyeri dirasakan terus menerus. Nyeri diperberat
bila jalan kaki dan diperingan bila membungkuk.
Tidak ditemukan adanya panas pada tubuh.. Mual + muntah + 2x hari ini. Pasien
mengatakan tidak nafsu makan karena perut terasa nyeri dan muntah bila setelah makan.
Keluhan yang sama sebelumnya disangkal. Keluhan lain disangkal.
2. Objektif:
- Keadaan Umum : Sakit Sedang, Compos Mentis
- Vital sign
1. Tekanan Darah : 130/80 mmHg
2. Nadi : 82 x /menit
3. Suhu : 37,1º C
4. Respirasi : 20x /menit
5. Sp O2 : 98 %
6. BB : 51 Kg
- Kepala
1. Kepala : Normochepal
2. Mata : Conjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil isokor
3. THT : Hipertrofi tonsil (-/-), faring hiperemis (-/-)
4. Leher : Retraksi supra sternal (-), Deviasi trakhea (-), peningkatan JVP (-),
PKGB (-) Teraba massa pada bawah telinga kiri, leher sebelah kiri, dan
supraclavicula kanan.
- Thorax
Pulmo
4
Inspeksi :
Bentuk dada simetris (+)
Massa / benjolan (-)
Ketinggalan gerak (-)
Ekspirasi memanjang (-)
Palpasi : Fremitus taktil dan vesikuler notmal kanan dan kiri
Perkusi : Sonor di kedua lapang paru
Auskultasi
Depan Belakang
- COR :
Inspeksi : Tidak tampak iktus cordis
Palpasi : Iktus cordis teraba kuat angkat
Perkusi : Batas jantung kanan ICS IV linea para sternalis dextra, batas jantung kiri ICS V
linea mid clavicula sinistra, batas atas ICS II linea parasternal sinistra.
Auskultasi : Bunyi jantung I & II dalam batas normal
- Abdomen
Inspeksi : Datar
Auskultasi : Peristaltik (+) Normal
5
Perkusi : Timpani
Palpasi : Supel, nyeri tekan RLQ (+)
Nyeri tekan mc burney (+) Obturator sign (+)
Rovsign sign (+) Blumberg sign (-)
Alvarado Score : 8
3. Pemeriksaan Penunjang :
1. Laboratorium
PEMERIKSAAN HASIL SATUAN NORMAL
HEMATOLOGI
Hemoglobin 13.2 gr/dl 13,0 – 17
Leukosit 13300 /uL 4.500 – 10.500
Trombosit 354000 /uL 150000 – 450000
Hematokrit 42 % 40 – 54
Eritrosit 4.75 10*6/uL 4.4 – 6.0
MCV 88.7 fL 78 – 180
MCH 27.7 pg 27 – 32
MCHC 31.3 g/dl 30 -36
ELEKTROLIT
Natrium 140.8 mmol/L 136 – 145
Kalium 4.48 mmol/L 3.5 – 5.5
Klorida 112.2 mmol/L 96 – 108
Calcium 1.28 mmol/L 1.1– 1.4
6
4. Assesment (penalaran klinis):
Pada pemeriksaan tanda vital didapatkan suhu 37.1 C dengan BB 51 kg. Pada
pemeriksaan fisik didapatkan abdomen datar peristaltik usus +, Supel, nyeri tekan RLQ (+)
Nyeri tekan mc burney (+) Obturator sign (+) Rovsign sign (+) Blumberg sign (-). Dari
pemeriksaan penunjang didapatkan leukosit yang meningkat.
Dari Anamanesa, pemeriksaan fisik dan penunjang didapatkan kesimpulan bahwa pasien
ini mengalami Appendicitis akut dan diperkuat dengan alvarado score yang didapatkan hasil
score 8 menandakan adanya appendicitis akut dan pro untuk dilakukan operasi.
5. Plan:
DIAGNOSA KERJA :
Appendicitis Akut
Terapi Medikamentosa:
1. IVFD RL 20 tpm
2. Inj Ranitidin 50 mg / 12 jam IV
3. Inj. Ondansetron 4 mg / 8 jam IV
4. Inj. Cefotaxim 1 gr / 12 jam (skin test)
5. Konsul dokter spesialis bedah
7
FOLLOW UP
Tanggal S O A P
Laporan operasi
1. Insisi kulit
2. Buka fascia
3. Identifikasi caecum, App teridentifikasi, lumen peritoneum melekat.
4. Melakukan appendektomy retrogard
5. Kontrol perdarahan
6. Jahit luka operasi lapis demi lapis
7. Operasi selsai
15/12/2018 Nyeri luka KU : Tampak sakit Appendicitis akut Inj Cefotaxim 1 gr / 12 jam
Operasi + sedang post op H-1 Inj tramadol 1 amp / 12 jam
Mual + Kes : CM Inj ranitidin 1 amp / 12 jam
muntah –
Flatus + TTV
BAB - TD : 100/80 mmhg
HR : 82 x/m
RR : 20x/m
S : 36.6 C
Abdomen : supel +
peristaltik usus +
16/12/2018 Nyeri luka KU : Tampak sakit Appendicitis akut Inj Cefotaxim 1 gr / 12 jam
operasi + sedang post op H-2 Inj tramadol 1 amp / 12 jam
berkurang Kes : CM Inj ranitidin 1 amp / 12 jam
mual (-) TTV Dulcolax supp
Flatus (+) TD : 110/90 mmhg Diet bubur
HR : 82 x/m
RR : 20x/m
Abdomen : supel +
peristaltik usus +
8
17/12/2018 Nyeri luka KU : Tampak sakit Appendicitis akut BLPL
operasi + ringan post op H-3 Ciprofloxacim
berkurang Kes : CM 2x500mg
mual (-) Asam mefenamat
Flatus (+) TTV 2x500mg
BAB (+) TD : 100/80 mmhg B comp 1x1
HR : 82 x/m Ganti balut per 2
RR : 20x/m hari
S : 36.5 C
Abdomen : supel +
peristaltik usus +
9
APPENDICITIS AKUT
DEFINISI
ETIOLOGI
10
PATOGENESIS
Appendisitis terjadi dari proses inflamasi ringan hingga perforasi, khas dalam 24-
36 jam setelah munculnya gejala, kemudian diikuti dengan pembentukkan abscess setelah
2-3 hari.
Appendisitis dapat terjadi karena berbagai macam penyebab, antara lain obstruksi
oleh fecalith, gallstone, tumor, atau bahkan oleh cacing (Oxyurus vermicularis), akan tetapi
paling sering disebabkan obstruksi oleh fecalith dan kemudian diikuti oleh proses
peradangan. Hasil observasi epidemiologi juga menyebutkan bahwa obstruksi fecalith
adalah penyebab terbesar, yaitu sekitar 20% pada ank dengan appendicitis akut dan 30-
40% pada anak dengan perforasi appendiks. Hiperplasia folikel limfoid appendiks juga
dapat menyababkan obstruksi lumen. Insidensi terjadinya appendicitis berhubungan
dengan jumlah jaringan limfoid yang hyperplasia. Penyebab dari reaksi jaringan limfatik
baik lokal atau general misalnya akibat infeksi Yersinia, Salmonella, dan Shigella; atau
akibat invasi parasit seperti Entamoeba, Strongyloides, Enterobius vermicularis,
Schistosoma, atau Ascaris. Appendisitis juga dapat diakibatkan oleh infeksi virus enteric
atau sistemik, seperti measles, chicken pox, dan cytomegalovirus. Pasien dengan cyctic
fibrosis memiliki peningkatan insidensi appendicitis akibat perubahan pada kelenjar yang
mensekresi mucus. Carcinoid tumor juga dapat mengakibatkan obstruksi appendiks,
khususnya jika tumor berlokasi di 1/3 proksimal. Selama lebih dari 200 tahun, benda
asaning seperti pin, biji sayuran, dan batu cherry dilibatkan dalam terjadinya appendicitis.
Trauma, stress psikologis, dan herediter juga mempengaruhi terjadinya appendisitis.
Awalnya, pasien akan merasa gejala gastrointestinal ringan seperti berkurangnya
nafsu makan, perubahan kebiasaan BAB yang minimal, dan kesalahan pencernaan.
Anoreksia berperan penting pada diagnosis appendisitis, khususnya pada anak-anak.
Distensi appendiks menyebabkan perangsangan serabut saraf visceral dan
dipersepsikan sebagai nyeri di daerah periumbilical. Nyeri awal ini bersifat nyeri dalam,
tumpul, berlokasi di dermatom Th 10. Adanya distensi yang semakin bertambah
menyebabkan mual dan muntah, dalam beberapa jam setelah nyeri. Jika mual muntah
timbul lebih dulu sebelum nyeri, dapat dipikirkan diagnosis lain.
Appendiks yang obstruksi merupakan tempat yang baik bagi bakteri untuk
berkembang biak. Seiring dengan peningkatan tekanan intraluminal, terjadi gangguan
aliran limf, terjadi oedem yang lebih hebat. Akhirnya peningkatan tekanan menyebabkan
11
obstruksi vena, yang mengarah pada iskemik jaringan, infark, dan gangrene. Setelah itu,
terjadi invasi bakteri ke dinding appendiks; diikuti demam, takikardi, dan leukositosis
akibat kensekuensi pelepasan mediator inflamasi dari jaringan yang iskemik. Saat eksudat
inflamasi dari dinding appendiks berhubungan dengan peritoneum parietale, serabut saraf
somatic akan teraktivasi dan nyeri akan dirasakan lokal pada lokasi appendiks, khususnya
di titik Mc Burney’s. Nyeri jarang timbul hanya pada kuadran kanan bawah tanpa
didahului nyeri visceral sebelumnya. Pada appendiks retrocaecal atau pelvic, nyeri somatic
biasanya tertunda karena eksudat inflamasi tidak mengenai peritoneum parietale sampai
saat terjadinya rupture dan penyebaran infeksi. Nyeri pada appendiks retrocaecal dapat
muncul di punggung atau pinggang. Appendiks pelvic yang terletak dekat ureter atau
pembuluh darah testis dapat menyebabkan peningkatan frekuensi BAK, nyeri pada testis,
atau keduanya. Inflamasi ureter atau vesica urinaria pada appendisitis dapat menyebabkan
nyeri saat berkemih, atau nyeri seperti terjadi retensi urine.
Apendisitis mukosa
Sembuh
Apendisitis
flegmentosa (radang
akut jaringan mukosa)
Apendisitis dengan
nekrosis setempat
Apendisitis supurativa
Perforasi
(radang dengan
pembentukan nanah)
Apendisitis gangrenosa
(kematian jaringan)
12
Perforasi appendiks akan menyebabkan terjadinya abscess lokal atau peritonitis
umum. Proses ini tergantung pada kecepatan progresivitas ke arah perforasi dan
kemampuan pasien berespon terhadap adanya perforasi. Tanda perforasi appendiks
mencakup peningkatan suhu melebihi 38.6oC, leukositosis > 14.000, dan gejala peritonitis
pada pemeriksaan fisik. Pasien dapat tidak bergejala sebelum terjadi perforasi, dan gejala
dapat menetap hingga > 48 jam tanpa perforasi. Secara umum, semakin lama gejala
berhubungan dengan peningkatan risiko perforasi. Peritonitis difus lebih sering dijumpai
pada bayi karena tidak adanya jaringan lemak omentum. Anak yang lebih tua atau remaja
lebih memungkinkan untuk terjadinya abscess yang dapat diketahui dari adanya massa
pada pemeriksaan fisik.
Konstipasi jarang dijumpai tetapi tenesmus sering dijumpai. Diare sering
didapatkan pada anak-anak, dalam jangka waktu sebentar, akibat iritasi ileum terminal atau
caecum. Adanya diare dapat mengindikasikan adanya abscess pelvis.
DIAGNOSA
1. Manifestasi klinis
Nyeri merupakan gejala yang pertama kali muncul. Seringkali dirasakan sebagai
nyeri tumpul, nyeri di periumbilikal yang samar-samar, tapi seiring dengan waktu akan
berlokasi di abdomen kanan bawah. Terjadi peningkatan nyeri yang gradual seiring dengan
perkembangan penyakit. Variasi lokasi anatomis appendiks dapat mengubah gejala nyeri
yang terjadi. Pada anak-anak, dengan letak appendiks yang retrocecal atau pelvis, nyeri
dapat mulai terjadi di kuadran kanan bawah tanpa diawali nyeri pada periumbilikus. Nyeri
pada flank, nyeri punggung, dan nyeri alih pada testis juga merupakan gejala yang umum
pada anak dengan appendicitis retrocecal arau pelvis. Jika inflamasi dari appendiks terjadi
di dekat ureter atau bladder, gejala dapat berupa nyeri saat kencing atau perasaan tidak
nyaman pada saat menahan kencing dan distensi kandung kemih.
Anorexia, mual, dan muntah biasanya terjadi dalam beberapa jam setelah onset
terjadinya nyeri. Muntah biasanya ringan. Diare dapat terjadi akibat infeksi sekunder dan
iritasi pada ileum terminal atau caecum. Gejala gastrointestinal yang berat yang terjadi
sebelum onset nyeri biasanya mengindikasikan diagnosis selain appendisitis. Meskipun
13
demikian, keluhan GIT ringan seperti indigesti atau perubahan bowel habit dapat terjadi
pada anak dengan appendisitis.
0
Pada appendisitis tanpa komplikasi biasanya demam ringan (37,5 -38,5 C). Jika suhu
0
tubuh diatas 38,6 C, menandakan terjadi perforasi. Anak dengan appendisitis kadang-
kadang berjalan pincang pada kaki kanan. Karena saat menekan dengan paha kanan akan
menekan Caecum hingga isi Caecum berkurang atau kosong . Bising usus meskipun bukan
tanda yang dapat dipercaya dapat menurun atau menghilang. Anak dengan appendisitis
biasanya menghindari diri untuk bergerak dan cenderung untuk berbaring di tempat tidur
dengan kadang-kadang lutut diflexikan.
2. Pemeriksaan Fisik
Pada Apendisitis akut sering ditemukan adanya abdominal swelling, sehingga pada
pemeriksaan jenis ini biasa ditemukan distensi perut.
Secara klinis, dikenal beberapa manuver diagnostik:
Rovsing’s sign: dikatakan posiif jika tekanan yang diberikan pada LLQ abdomen
menghasilkan sakit di sebelah kanan (RLQ), menggambarkan iritasi peritoneum. Sering
positif tapi tidak spesifik.
Psoas sign: dilakukan dengan posisi pasien berbaring pada sisi sebelah kiri sendi
pangkal kanan diekstensikan. Nyeri pada cara ini menggambarkan iritasi pada otot psoas
kanan dan indikasi iritasi retrocaecal dan retroperitoneal dari phlegmon atau abscess. Dasar
14
anatomis terjadinya psoas sign adalah appendiks yang terinflamasi yang terletak
retroperitoneal akan kontak dengan otot psoas pada saat dilakukan manuver ini.
Obturator sign: dilakukan dengan posisi pasien terlentang, kemudian gerakan endorotasi
tungkai kanan dari lateral ke medial. Nyeri pada cara ini menunjukkan peradangan pada M.
obturatorius di rongga pelvis. Perlu diketahui bahwa masing-masing tanda ini untuk
menegakkan lokasi Appendix yang telah mengalami radang atau perforasi.
Dasar anatomis terjadinya obturator sign adalah appendiks yang terinflamasi yang terletak
retroperitoneal akan kontak dengan otot obturator internus pada saat dilakukan manuver
ini.
15
Blumberg’s sign: nyeri lepas kontralateral (tekan di LLQ kemudian lepas dan nyeri di
RLQ)
Skor Alvarado
Semua penderita dengan suspek Appendicitis acuta dibuat skor Alvarado dan
diklasifikasikan menjadi 2 kelompok yaitu: skor <6 atau >6. Selanjutnya dilakukan
Appendectomy, setelah operasi dilakukan pemeriksaan PA terhadap jaringan Appendix
dan hasilnya diklasifikasikan menjadi 2 kelompok yaitu: radang akut dan bukan radang
akut.
16
Tabel Alvarado scale untuk membantu menegakkan diagnosis
Manifestasi Skor
Gejala Adanya migrasi nyeri 1
Anoreksia 1
Mual/muntah 1
Tanda Nyeri RLQ 2
Nyeri lepas 1
Febris 1
Laboratorium Leukositosis 2
Shift to the left 1
Total poin 10
Keterangan:
0-4 : kemungkinan Appendicitis kecil
5-6 : bukan diagnosis Appendicitis
7-8 : kemungkinan besar Appendicitis
9-10 : hampir pasti menderita Appendicitis
Bila skor 5-6 dianjurkan untuk diobservasi di rumah sakit, bila skor >6 maka tindakan
bedah sebaiknya dilakukan.
3. Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium
Jumlah leukosit diatas 10.000 ditemukan pada lebih dari 90% anak dengan
appendicitis akuta. Jumlah leukosit pada penderita appendicitis berkisar antara 12.000-
18.000/mm. Peningkatan persentase jumlah neutrofil (shift to the left) dengan jumlah
normal leukosit menunjang diagnosis klinis appendicitis. Jumlah leukosit yang normal
jarang ditemukan pada pasien dengan appendicitis.
Pemeriksaan urinalisis membantu untuk membedakan appendicitis dengan
pyelonephritis atau batu ginjal. Meskipun demikian, hematuria ringan dan pyuria dapat
terjadi jika inflamasi appendiks terjadi di dekat ureter.
Ultrasonografi
Ultrasonografi sering dipakai sebagai salah satu pemeriksaan untuk menunjang
diagnosis pada kebanyakan pasien dengan gejala appendicitis. Beberapa penelitian
17
menunjukkan bahwa sensitifitas USG lebih dari 85% dan spesifitasnya lebih dari 90%.
Gambaran USG yang merupakan kriteria diagnosis appendicitis acuta adalah appendix
dengan diameter anteroposterior 7 mm atau lebih, didapatkan suatu appendicolith, adanya
cairan atau massa periappendix.
False positif dapat muncul dikarenakan infeksi sekunder appendix sebagai hasil dari
salphingitis atau inflammatory bowel disease. False negatif juga dapat muncul karena letak
appendix yang retrocaecal atau rongga usus yang terisi banyak udara yang menghalangi
appendix.
CT-Scan
CT scan merupakan pemeriksaan yang dapat digunakan untuk mendiagnosis
appendicitis akut jika diagnosisnya tidak jelas.sensitifitas dan spesifisitasnya kira-kira 95-
98%. Pasien-pasien yang obesitas, presentasi klinis tidak jelas, dan curiga adanya abscess,
maka CT-scan dapat digunakan sebagai pilihan test diagnostik.
Diagnosis appendicitis dengan CT-scan ditegakkan jika appendix dilatasi lebih dari
5-7 mm pada diameternya. Dinding pada appendix yang terinfeksi akan mengecil sehingga
memberi gambaran “halo”.
DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis banding dari Appendicitis dapat bervariasi tergantung dari usia dan jenis
kelamin.
Pada anak-anak balita
intususepsi, divertikulitis, dan gastroenteritis akut.
Intususepsi paling sering didapatkan pada anak-anak berusia dibawah 3 tahun.
Divertikulitis jarang terjadi jika dibandingkan Appendicitis. Nyeri divertikulitis hampir
sama dengan Appendicitis, tetapi lokasinya berbeda, yaitu pada daerah periumbilikal. Pada
pencitraan dapat diketahui adanya inflammatory mass di daerah abdomen tengah.
Diagnosis banding yang agak sukar ditegakkan adalah gastroenteritis akut, karena
memiliki gejala-gejala yang mirip dengan appendicitis, yakni diare, mual, muntah, dan
ditemukan leukosit pada feses.
Pada anak-anak usia sekolah
gastroenteritis, konstipasi, infark omentum.
18
Pada gastroenteritis, didapatkan gejala-gejala yang mirip dengan appendicitis, tetapi
tidak dijumpai adanya leukositosis. Konstipasi, merupakan salah satu penyebab nyeri
abdomen pada anak-anak, tetapi tidak ditemukan adanya demam. Infark omentum juga
dapat dijumpai pada anak-anak dan gejala-gejalanya dapat menyerupai appendicitis. Pada
infark omentum, dapat terraba massa pada abdomen dan nyerinya tidak berpindah
Pada pria dewasa muda
Diagnosis banding yang sering pada pria dewasa muda adalah Crohn’s disease,
kolitis ulserativa, dan epididimitis. Pemeriksaan fisik pada skrotum dapat membantu
menyingkirkan diagnosis epididimitis. Pada epididimitis, pasien merasa sakit pada
skrotumnya.
Pada wanita usia muda
Diagnosis banding appendicitis pada wanita usia muda lebih banyak berhubungan
dengan kondisi-kondisi ginekologik, seperti pelvic inflammatory disease (PID), kista
ovarium, dan infeksi saluran kencing. Pada PID, nyerinya bilateral dan dirasakan pada
abdomen bawah. Pada kista ovarium, nyeri dapat dirasakan bila terjadi ruptur ataupun
torsi.
Pada usia lanjut
Appendicitis pada usia lanjut sering sukar untuk didiagnosis. Diagnosis banding yang
sering terjadi pada kelompok usia ini adalah keganasan dari traktus gastrointestinal dan
saluran reproduksi, divertikulitis, perforasi ulkus, dan kolesistitis. Keganasan dapat terlihat
pada CT Scan dan gejalanya muncul lebih lambat daripada appendicitis. Pada orang tua,
divertikulitis sering sukar untuk dibedakan dengan appendicitis, karena lokasinya yang
berada pada abdomen kanan. Perforasi ulkus dapat diketahui dari onsetnya yang akut dan
nyerinya tidak berpindah. Pada orang tua, pemeriksaan dengan CT Scan lebih berarti
dibandingkan dengan pemeriksaan laboratorium.
TATALAKSANA
19
Penelitian menunjukkan bahwa pemberian analgetik tidak akan
menyamarkan gejala saat pemeriksaan fisik.
Pertimbangkan DD/ KET terutama pada wanita usia reproduksi.
Berikan antibiotika IV pada pasien dengan gejala sepsis dan yang
membutuhkan Laparotomy
Perawatan appendisitis tanpa operasi
Penelitian menunjukkan pemberian antibiotika intravena dapat berguna
untuk Appendicitis acuta bagi mereka yang sulit mendapat intervensi
operasi (misalnya untuk pekerja di laut lepas), atau bagi mereka yang
memilki resiko tinggi untuk dilakukan operasi
Rujuk ke dokter spesialis bedah.
Antibiotika preoperative
Pemberian antibiotika preoperative efektif untuk menurunkan terjadinya
infeksi post opersi.
Diberikan antibiotika broadspectrum dan juga untuk gram negative dan anaerob
Antibiotika preoperative diberikan dengan order dari ahli bedah.
Antibiotik profilaksis harus diberikan sebelum operasi dimulai. Biasanya digunakan
antibiotik kombinasi, seperti Cefotaxime dan Clindamycin, atau Cefepime dan
Metronidazole. Kombinasi ini dipilih karena frekuensi bakteri yang terlibat,
termasuk Escherichia coli, Pseudomonas aeruginosa, Enterococcus, Streptococcus
viridans, Klebsiella, dan Bacteroides.
20
b. Mc Burney/ Wechselschnitt/ muscle splitting
Sayatan berubah-ubah sesuai serabut otot.
B. Laparoscopic Appendectomy
Pertama kali dilakukan pada tahun 1983. Laparoscopic dapat dipakai sarana diagnosis dan
terapeutik untuk pasien dengan nyeri akut abdomen dan suspek Appendicitis acuta.
Laparoscopic kemungkinan sangat berguna untuk pemeriksaan wanita dengan keluhan
abdomen bagian bawah. Membedakan penyakit akut ginekologi dari Appendicitis acuta
sangat mudah dengan menggunakan laparoskop.
KOMPLIKASI
1. Appendicular infiltrat:
Infiltrat / massa yang terbentuk akibat mikro atau makro perforasi dari Appendix
yang meradang yang kemudian ditutupi oleh omentum, usus halus atau usus
besar.
2. Appendicular abscess:
Abses yang terbentuk akibat mikro atau makro perforasi dari Appendix yang
meradang yang kemudian ditutupi oleh omentum, usus halus, atau usus besar.
3. Perforasi
4. Peritonitis
Peritonitis disebabkan oleh kebocoran isi rongga abdomen ke dalam
rongga abdomen, biasanya diakibatkan dan peradangan, iskemia, trauma atau
perforasi peritoneal diawali terkontaminasi material. Awalnya material masuk ke
dalam rongga abdomen adalah steril (kecuali pada kasus peritoneal dialisis)
tetapi dalam beberapa jam terjadi kontaminasi bakteri. Akibatnya timbul edem
jaringan dan pertambahan eksudat. Cairan dalam rongga abdomen menjadi keruh
dengan bertambahnya sejumlah protein, sel-sel darah putih, sel-sel yang rusak
dan darah. Respon yang segera dari saluran intestinal adalah hipermotil tetapi
segera dikuti oleh ileus paralitik dengan penimbunan udara dan cairan di dalam
usus besar.
GEJALA DAN TANDA
21
•Syok (neurogenik, hipovolemik atau septik) terjadi pada beberpa penderita
peritonitis umum.
•Demam
•Distensi abdomen
•Nyeri tekan abdomen dan rigiditas yang lokal, difus, atrofi umum, tergantung
pada perluasan iritasi peritonitis.
•Bising usus tak terdengar pada peritonitis umum dapat terjadi pada daerah yang
jauh dari lokasi peritonitisnya.
•Nausea
•Vomiting
•Penurunan peristaltik.
5. Syok septik
6. Mesenterial pyemia dengan Abscess Hepar
7. Gangguan peristaltik
8. Ileus
DAFTAR PUSTAKA
22
Mansjoer, Arif, dkk (editor). 2000. Kapita Selekta Kedokteran. EGC:
Jakarta.
Price, Sylvia Anderson. 2005. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-proses
Penyakit Jilid II. EGC : Jakarta.
Sabiston, Devid C. 1994. Buku Ajar Bedah. EGC:Jakarta.
She Warts, Seymour I. 2000. Intisari Prinsip-prinsip Ilmu Bedah. EGC:
Jakarta.
Brunicardi, F.C., Anderson, D.K., Billiar, T.R., Dum, D.L., Hunter, J.G.,
Mathews, J.B., Podlock, R.E., 2010. The Appendix dalam Schwartz's
Principles of Surgery9th Ed. USA:The McGraw Hill Companies. p: 2043-
74.
Grace, P.A., Borley, N.R. Apendisitis Akut dalam At A Glance. Jakarta:
Erlangga; 2006. p:106.
Saputra, L. 2002. Mulut dan Gastrointestinal dalam Intisari Ilmu Penyakit
Dalam. Jakarta: Binarupa Aksara. h:380.
Kumar, V., Cotran, R.S., Robbins, A.L., 2007. Rongga Perut dan Saluran
Gastrointestinal dalam Buku Ajar Patologi Ed.7. Jakarta: EGC.
h:660-61.
Tjandra, J.J., 2006. The Appendix and Meckel’s Diverticulum dalam
Textbook of Surgery 3rd Ed. UK: Blackwell Publishing Ltd. p:179.
Morris, J.A., Sawyer. J.L. 1995.Abdomen Akuta dalam Buku Ajar Bedah
(Sabiston’s Essential Surgery). Jakarta:EGC. h:497.
23