Disusun Oleh:
Hanifah Rizki Farmanda, S.Ked
J510170053
Pembimbing :
Dr. Bahrodin, Sp. PD
1
CASE REPORT
Disusun Oleh:
Hanifah Rizki Farmanda, S.Ked
J510170053
Telah disetujui dan disahkan oleh bagian Program Pendidikan Profesi Fakultas
Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta
Pembimbing
dr. Bahrodin, Sp. PD ( ..........................................)
Dipresentasikan dihadapan
dr. Bahrodin, Sp. PD ( ..........................................)
2
BAB I
STATUS PASIEN
I. IDENTITAS
Nama : Ny. T
Jenis kelamin : Perempuan
Umur : 58 tahun
Alamat : Sampung, Ponorogo
Pekerjaan : Pengumpul kayu
Agama : Islam
Status Pernikahan : Menikah
No. Rekam Medis : xx xx xx
Tanggal Masuk RS : 24 Mei 2017
Tanggal Pemeriksaan : 1 Juni 2017
Tempat Pemeriksaan : Bangsal Mawar
II. ANAMNESIS
Riwayat penyakit pasien diperoleh secara autoanamnesis dan
alloanamnesis dilakukan pada tanggal 1 Juni 2017.
A. Keluhan Utama
Nyeri pada kedua lutut kaki
B. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien adalah seorang perempuan berumur 58 tahun datang dengan
keluhan nyeri pada kedua sendi lutut sejak tiga tahun yang lalu. Awalnya
pasien mengaku nyeri diawali dari kaki bagian bawah, kemudian naik ke
bagian sendi lutut. Satu tahun yang lalu pasien mengaku kedua lutut
membengkak. Pasien mengaku tidak bisa berjalan dikarenakan nyeri yang
sangat saat bergerak. Pasien mengaku kesemutan terus menerus di telapak
kaki. Pasien juga mengaku nyeri pinggang setelah jatuh dari kamar mandi
sejak beberapa waktu yang lalu serta memiliki sakit diabetes mellitus.
3
Sejak saat itu pasien memeriksakan diri ke Puskesmas dan mendapat
diagnosis diabetes mellitus tipe 2 untuk pertama kalinya dan sudah
diterapi insulin selama 4 bulan namun berhenti sejak 1 bulan yang lalu.
Sebelum nyeri lutut muncul pasien mengaku pernah memiliki luka di
pantat yang sembuhnya lama dan mengeluh sering capek saat melakukan
aktivitas sehari-hari. Saat di rumah pasien masih sering melakukan
aktivitas mencari dan mengumpulkan kayu dari gunung.
Pasien juga mengeluh pusing, badan terasa kaku dan sakit untuk
bergerak dan nafsu makan menurun. Keluhan tersebut muncul sejak ± 1
minggu lalu sebelum masuk RS. Pasien tidak mengeluh adanya demam,
mual dan muntah.
E. Riwayat Kebiasaan
1. Pekerjaan berat : diakui
4
2. Merokok : disangkal
3. Minum alkohol : disangkal
F. Riwayat Pengobatan
1. Pengobatan DM (Insulin)
B. Pemeriksaan Fisik
1. Kepala :
- Mata : Konjungtiva palpebra anemis (-/-), sklera ikterik
(-/-), sianosis (-)
- Hidung : dalam batas normal
- Mulut : pucat (-)
- Telinga : dalam batas normal
2. Leher : leher simetris, retraksi suprasternal (-), deviasi trakhea (-),
Pembesaran kelenjar getah bening (-/-), ↑ JVP (-)
3. Thorax
Pulmo
- Inspeksi
Bentuk dada simetris, pergerakan dada tertinggal (-),
benjolan (-).
- Palpasi
Deviasi trakhea (-), ketinggalan gerak (-), fremitus raba
normal
- Perkusi
5
Sonor diseluruh lapang paru
- Auskultasi
Suara dasar vesikuler (+) normal, suara tambahan :
wheezing (-/-), ronkhi (-/-)
Jantung
a. Inspeksi : dinding dada pada daerah tidak cembung/cekung,
ictus cordis tidak tampak.
b. Palpasi : ictus cordis tidak teraba, tidak kuat angkat, di SIC
V linea midclavicula sinistra.
c. Perkusi : batas jantung
- Batas kiri jantung:
Atas : SIC II di sisi lateral linea parasternalis sinistra
Bawah : SIC V linea midclavicula sinistra
- Batas kanan jantung :
Atas : SIC II linea parasternalis dextra
Bawah : SIC IV linea parasternalis dextra
d. Auskultasi : Bunyi jantung I-II regular, bising jantung (-)
4. Abdomen :
a. Inspeksi : Dinding abdomen simetris, distended (-), tidak
terdapat benjolan.
b. Auskultasi : Peristaltik (+)
c. Perkusi : Timpani
d. Palpasi : Supel, defans muskuler (-), nyeri tekan (-), lien
tidak teraba, hepar tidak teraba, ginjal tidak teraba, nyeri ketok
costovertebrae (-), tidak teraba adanya benjolan.
5. Ekstremitas
Edema Krepitasi
- - - -
+ + + +
6
Terasa panas Deformitas
- -
- -
+ +
+ +
6. Fungsi Vegetasi
- Miksi : dalam batas normal
- Defekasi : dalam batas normal
7
RDW-SD 51.4 fL 35.0 – 56.0 Dbn
PLT 514 103/uL 100 – 300 ↑
MPV 8.1 fL 6.5 – 12.0 Dbn
PDW 15.5 9.0 – 17.0 Dbn
PCT 4.16 mL/L 1.08 – 2.82 ↑
P-LCC 107 103/uL 30 – 90 Dbn
P-LCR 20.8 % 11.0 – 45.0 Dbn
Kimia Darah
Glukosa
258 mg/dl < 140 ↑
sewaktu
DBIL 0.11 mg/dl 0-0.35 Dbn
TBIL 0.8 mg/dl 0.2-1.2 Dbn
CREAT 1.27 mg/dl 0.7-1.2 Dbn
UA 6.2 mg/dl 2.4-5.7 ↑
CHOL 164 mg/dl 140-200 Dbn
TG 212 mg/dl 36-165 ↑
HDL 23 mg/dl 45-150 ↓
LDL 99 mg/dl 0-190 Dbn
8
2. Foto Rontgen Genu
Kesimpulan :
Osteoarthritis genu bilateral
9
Kesimpulan : Osteoporosis scoliosis lumbalis
bagian sendi lutut. Satu tahun yang lalu pasien mengaku kedua lutut
membengkak. Pasien mengaku tidak bisa berjalan dikarenakan nyeri yang
sangat saat bergerak. Pasien mengaku kesemutan terus menerus di telapak
kaki. Pasien juga mengaku nyeri pinggang setelah jatuh dari kamar mandi
sejak beberapa waktu yang lalu serta memiliki sakit diabetes mellitus.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan TD 120/80 mmHg, kedua ekstremitas
bawah bagian lutut udeme,dan teraba panas.
10
Pada pemeriksaan penunjang didapatkan WBC 15.9, HGB 10.8, HCT
31.9, RDW-CV 16.5, PLT 514,PCT 4.16, GDS 258, UA 6.2 , TG 212
VII.POMR
Temuan Assesment Planning Planning terapi Planning
abnormal diagnose monitoring
-Riwayat ulkus Diabetes mellitus - Pemeriksaan - Diet rendah gula - GDS
DM tipe 2 HbA1c dan tinggi serat
-Riwayat DM - Inj. Actrapid
+ 3x4 unit
- GDS 258 (↑)
-kesemutan
11
-nyeri kedua Osteoarthritis genu - Tirah baring
sendi bilateral dan - Inf PZ 12 tpm
lutut ,bengkak, osteoporosis - Paracetamol tab
merah 650 mg 3x1
-nyeri - Inj
pinggang Dexamethasone
-krepitasi 2x1
-foto pedis - Ca bicarbonat
menunjukkan 3x1
osteoarthritis - Neurodex tab
genu bilateral 1x1
Dan - Rujuk ke Sp
osteoporosis PD-KR
-bibir pucat Anemia - Apusan darah - Asam folat tab - Vital sign
-WBC ↑ tepi 3x1 - Darah lengkap
-HGB ↓ - Serum Fe
-HCT ↓ - Feses lengkap
-RDW-CV ↑ - Benzidine test
-PLT ↑
-UA ↑ -hiperurisemia - Allopurinol tab Cek kadar UA
- 100 mg 2x1 berkala
-TG ↑ hipertrigliseridemia - Fenofibrate tab Cek kadar TG
300 mg 1x1 berkala
12
VIII. FOLLOW UP
13
HGB 10.8
UA 6.2
TG 212
30-05-17 Nyeri lutut kaki TD : 110/70 mmHg -osteoarthritis - Terapi lanjut
kanan kiri +, N : 82 x/mnt, T : -osteoporosis - Allopurinol tab
lemas, 36°C, RR : 20 x/mnt 100 mg 2x1
kesemutan jari Thorax : dbn - Ca bicarbonat 3x1
kaki, badan Abdomen : dbn
kaku, nyeri Ekstremitas : lutut
pinggang bengkak,merah , DM tipe 2
panas (+/+)
Lab :
GDA 149 mg/dl
14
BAB II
PEMBAHASAN
I. OSTEOARTHRITIS
Pasien sudah mengalami nyeri sendi sejak tiga tahun yang lalu, dan proses
pembengkakan sudah terjadi sejak satu tahun yang lalu, namun pasien tetap
berusaha beraktivitas seperti biasa tanpa berobat ke dokter, proses ini terus
berlanjuthingga prose inflamasi semakin tinggi dan benjolan pada lutut
semakin besar sehingga pasien datang ke rumah sakit dan di diagnosis
osteoartritis (OA). Osteoartritis merupakan penyakit sendi degeneratif kronik
non inflamasi yang berkaitan dengan kerusakan kartilago sendi. Penyakit ini
bersifat progresif lambat, ditandai dengan adanya degenerasi tulang rawan
sendi, hipertrofi tulang pada tepinya, sklerosis tulang subkondral, perubahan
pada membran sinovial, disertai nyeri, biasanya setelah aktivitas
berkepanjangan, dan kekakuan, khususnya pada pagi hari atau setelah
15
inaktivitas. Penyakit ini disebut juga degenerative arthritis, hypertrophic
arthritis, dan degenerative joint disease. Osteoartritis adalah bentuk artritis
yang paling umum terjadi yang mengenai mereka di usia lanjut atau usia
dewasa dan salah satu penyebab terbanyak kecacatan di negara berkembang.
Sendi lutut terdiri atas tiga kompartemen yaitu sendi tibiofemoral yang
terbagi menjadi kompartemen medial dan lateral, serta sendi patellofemoral.
Sendi patellofemoral adalah salah satu kompartemen yang paling sering
terkena pada kasus OA lutut. Penelitian yang dilakukan oleh R. S. Hinman
dan K. M. Crossley menunjukkan bahwa OA sendi patellofemoral tidak
hanya menjadi sumber penting dari gejala OA lutut, tetapi juga bahwa orang
yang menderita penyakit OA sendi patellofemoral menunjukkan karakteristik
yang berbeda dari OA sendi tibiofemoral. Dahulu, OA lutut dilihat sebagai
suatu kelainan yang terjadi terutama pada sendi tibiofemoral karena penilaian
radiografi cenderung hanya terfokus pada X-ray antero-posterior, yang tidak
dapat mencitrakan sendi patellofemoral dengan baik. Namun pengetahuan
akan keterlibatan sendi patellofemoral dalam proses OA semakin meningkat
seiring dengan meningkatnya penggunaan X-ray lateral dan skyline. Pada
pemeriksaan radiografi, osteofit pada sendi patellofemoral lebih banyak
dibanding pada sendi tibiofemoral. Penelitian lain pada orang dengan nyeri
lutut memperlihatkan pola radiografi yang tersering adalah kombinasi sendi
tibiofemoral dan patellafemoral, diikuti oleh OA sendi patellofemoral, OA
sendi tibiofemoral, dan sisanya menunjukkan radiografi normal.
16
Keluhan osteoartritis yang paling sering dirasakan yaitu nyeri sendi,
terutama saat sendi bergerak atau menanggung beban, dan akan berkurang
saat istirahat. Seringkali penderita merasakan nyeri pada sendi asimetris yang
meningkat secara bertahap selama beberapa tahun.16 Nyeri pada pergerakan
dapat timbul akibat iritasi kapsul sendi, periostitis dan spasme otot
periartikular.
Pada tahap awal, nyeri hanya terlokalisasi pada bagian tertentu, tetapi bila
berlanjut, nyeri akan dirasakan pada seluruh sendi yang terkena OA. Nyeri ini
seringkali disertai bengkak, penurunan ruang gerak sendi, dan abnormalitas
mekanis. Keterbatasan gerak biasanya berhubungan dengan pembentukan
osteofit, permukaan sendi yang tidak rata akibat kehilangan rawan sendi yang
berat atau spasme dan kontraktur otot periartikular. Kekakuan sendi juga
dapat ditemukan pada penderita OA setelah sendi tidak digerakkan beberapa
lama (gel phenomenon), tetapi kekakuan ini akan hilang setelah sendi
digerakkan. Kekakuan yang terjadi pada pagi hari biasanya berlangsung tidak
lebih dari 30 menit. Selain itu, juga didapatkan pembesaran tulang di sekitar
sendi, efusi sendi, dan krepitasi.
Pada OA lutut, gejala spesifik yang dapat timbul adalah keluhan
instabilitas pada waktu naik turun tangga.
Secara garis besar, faktor risiko timbulnya OA lutut meliputi usia, jenis
kelamin, ras, genetik, nutrisi, obesitas, penyakit komorbiditas, menisektomi,
kelainan anatomis, riwayat trauma lutut, aktivitas fisik, kebiasaan olah raga,
dan jenis pekerjaan.
Diagnosis OA lutut menggunakan kriteria klasifikasi dari American
College of Rheumatology seperti tercantum pada tabel berikut ini.
Kriteria Diagnosis Osteoartritis Lutut
17
Grading menurut kriteria Kellgren-Lawrence Pada OA terdapat gambaran
radiografi yang khas, yaitu osteofit. Selain osteofit, pada pemeriksaan X-ray
penderita OA biasanya didapatkan penyempitan celah sendi, sklerosis, dan
kista subkondral.
Berdasarkan gambaran radiografi tersebut, Kellgren dan Lawrence
membagi OA menjadi empat grade.
1) Grade 0 : normal
2) Grade 1 : sendi normal, terdapat sedikit osteofit
3) Grade 2 : osteofit pada dua tempat dengan sklerosis subkondral, celah
sendi normal, terdapat kista subkondral
4) Grade 3 : osteofit moderat, terdapat deformitas pada garis tulang,
terdapat penyempitan celah sendi
5) Grade 4 : terdapat banyak osteofit, tidak ada celah sendi, terdapat kista
subkondral dan sclerosis
18
Pada kasus ini pasien adalah seorang perempuan usia 58 tahun yang
memiliki pembengkakan pada kedua sendi lutut yang teraba panas ,berwarna
merah. Pada pemeriksaan penunjang menunjukkan pasien mengalami
osteoartritis grade 3 yakni, terdapat banyak osteofit, celah sendi menyempit,
terdapat kista subkondral dan sclerosis.
II. OSTEOPOROSIS
Dari hasil emeriksaan radiologi pasien ini terbukti mengalami osteoporosis
akibat berbagai faktor yang dimilliki pasien mulai dari gender, ras, kebiasaan
hidup dan adanya riwayat trauma. Osteoporosis adalah kelainan penulangan
akibat gangguan metabolisme dimana tubuh tidak mampu menyerap dan
memanfaatkanzat-zat yang diperlukan untuk proses pematangan tulang . Pada
osteoporosis terjadi pengurangan masa/jaringan tulang per unit volume tulang
dibandingkan dengan keadaan normal. Dengan bahasa awam
dikatakantulangmenjadi lebihringan dan lebih rapuh dari biasanya,meskipun
mungkin zat-zat dan mineral untuk pembentukan tulang di dalam darah masih
dalam batas nilai normal. Proses pengurangan ini terjadi di seluruh tulang dan
berkelanjutan sepanjang kehidupan.
19
Manusia lanjut usia (lansia) beresiko menderita osteoporosis, sehingga
setiap patah tulang pada lansia perlu diasumsikan sebagai osteoporosis,
apalagi jika disertai dengan riwayattrauma ringandankesehatan seperti
mata,jantung, dan fungsi organ lain.Padausia60-70 tahun, lebih dari 30%
perempuan menderita osteoporosis dan insidennya meningkat menjadi 70%
padausia 80 tahun ke atas. Hal ini berkaitan dengan defisiensi estrogen pada
masa menopause dan penurunan massa tulang karena proses penuaan. Pada
laki-laki osteoporosis lebih dikarenakan proses usia lanjut, sehingga
insidennya tidak sebanyak perempuan.
Di Indonesia jumlah wanita lansia penderita osteoporosis mengalami
trend yang meningkat dari tahun ke tahun. Hal ini merupakan bencana sosial
luar biasa pada masyarakat, karena peningkatan biaya pengobatan atau
perawatan serta dapat menurunkan kualitas hidup. Saat inisaja 22-55 persen
wanita lansia Indonesia menderita osteoporosis. Jika diubah dalam angka,
maka ada sekitar 8,5 juta lansia yang mencapai total 17 juta dari 222 juta
penduduk Indonesia menderita osteoporosis. Seiring meningkatnya jumlah
penduduk menjadi 261 juta pada tahun 2020 maka jumlah penderita
diperkirakan akan meningkat menjadi 5-11juta. Dan dengan penduduk 273
juta pada2050 makajumlah penderitamenjadi5,2-11,5juta.
Hal ini bukanlah masalah sepele. Sebagaimana diketahui,penderita
osteoporosis mudah sekali menderita patah tulang. Kendalanya, penanganan
patah tulang di Indonesia menyedot biaya sangat tinggi. Menurut
Ichramsjah,biaya termurah perawatanpatahtulang adalah Rpl4 juta hingga
Rp50juta. Jika 25% dari 4,25 juta lansia terkena patah tulang, maka biaya
kesehatannya diperkirakanakan mencapaiUSD1,48juta. Jumlah ini sangat
besar tentunya, selain yang bersangktuan tidak produktif, lansia patah tulang
juga harus ditunggui selalu, akibatnya orangyang tidak produktif bertambah
lagi jumlahnya.
Perubahan gaya hidup, dimana orang yang semasa mudanya kurang gerak
dikatakan berpotensi besar menderita osteoporosis. Selain karena perubahan
gaya hidup, faktor resiko terjadinya osteoporosis bisa karena nutrisi,
20
penggunaan obat-obatan tertentu dalam jangka panjang, kurang paparan sinar
matahari, dan gangguan haid pada wanita.
Bila tidak disertai dengan penyakit pemberat lain (komplikasi), penderita
osteoporosis bisa saja tidak merasakan gejala apapun.
Keluhan yang mungkin timbul hanya berupa rasa sakit dan tidak enak
dibagian punggung atau daerah tulang yang mengalami osteoporosis. Namun
perlu diwaspadai, bahwa patah tulang bisa terjadi hanya karena sedikit
goncangan atau benturan yang sering pada tulang yang manahan bebantubuh.
Rasa nyeribisa hilang sendiri setelah beberapa hari atau beberapa minggu, dan
kemudian timbul lagi bila proses osteoporosis terjadi lagi di tempat
lain.Pemadatan ruas tulang punggung yang luas (multiple compression) bisa
memperlihatkan gejala membungkuk padatulang belakang, yang terjadi
perlahan dan menahun dengan keluhan nyeri tumpul. Gejalanya, penderita
nampak bongkok sebagai akibat kekakuan pada otot punggung .
Faktor Resiko Osteoporosis
Resiko paling tidak menguntungkan penderita osteoporosis adalah
terjadinya fraktur tulang yang apabila tidak ditangani dengan tuntas sampai
dengan rehabilitasi medik,makapasien akanmengalami disabilitas, gangguan
fungsi aktivitas dari tingkat sederhana sampai berat dan mengalami
keterbatasan dalam bersosialisasi yang ujungnya dapat mempengaruhi
kualitas hidup penderitanya.
Faktor resiko osteoporosis dapat dibedakan menjadi faktor resiko yang
sifatnya tidak dapat diubah dan yang dapat diubah.
Untuk yang tidak dapat diubah diantaranya gender perempuan,
Padaumumnya perempuan mempunyai tulangyang lebihringandanlebih kecil
dibandingkan laki-laki, Usia lanjut, Riwayat osteoporosis dalam keluarga:
Umumnya tipe perawakan tubuh dalam anggota keluarga saling mirip satu
dengan lainnya. Ras perempuan Asia dan Kaukasia lebih mudah terkena
osteoporosis dibandingkan perempuan Afrika. Bentuk badan semakin kecil
dan kurus tubuh seseorang, semakin beresiko mengalami osteoporosis.
Beberapa penyakit seperti anoreksia, diabetes, diare kronis,penyakit ginjal
21
dan hati. Sedangkan untuk faktor resiko osteoporosis yang dapat diubah
diantaranya adalah
Berhenti merokok
Kurangi konsumsi alkohol
Segera atasi kekurangan asupan
kalsium,Lakukanprogramlatihanfisik, Menambah berat badan bagi
yang kekurangan berat badan (kurus), Flindari penggunaan obat-
obatan steroid, fenobarbital, fenitoin.
Terapi yang juga diberikan adalah vitamin D dan tiazid, tergantung kepada
kebutuhan pasien. Vitamin D membantu tubuh menyerap dan memanfaatkan
kalsium. Dua puluh lima hidroksi vitamin D dianjurkan diminum setiap
haribagi pasien yang menggunakan suplemen kalsium.
III. DIABETES MELLITUS TIPE 2
Pada kasus ini pasien adalah seorang perempuan usia 58 tahun yang
memiliki riwayat DM tipe 2 yang terdiagnosis ±5 bulan lalu. Pada
pemeriksaan vital sign didapatkan TD 120/80. Pada pemeriksaan penunjang
menunjukkan adanya hipeglikemia GDA 258 mg/dl. Kondisi penyakit kronis
ini juga berkaitan dengan osteoporosis pada wanita, karena salah satu faktor
resiko osteoporosis adalah adanya penyakit kronis.
23
Penegakan diagnosis DM
25
Glukosa darah yang tinggi mengganggu fungsi kekebalan tubuh
dalam menghadapi virus dan bakteri, sehingga penderita DM mudah
terkena infeksi. Salah satu tempat yang mudah terinfeksi adalah kulit dan
kaki.
Wagner (2000). membagi gangren kaki diabetik menjadi enam
tingkatan, yaitu:
a. Derajat 0 : Tidak ada lesi terbuka, kulit masih utuh dengan
kemungkinan disertai kelainan bentuk kaki seperti “
claw,callus “.
b. Derajat I : Ulkus superfisial terbatas pada kulit.
c. Derajat II : Ulkus dalam menembus tendon dan tulang.
d. Derajat III : Abses dalam, dengan atau tanpa osteomielitis.
e. Derajat IV : Gangren jari kaki atau bagian distal kaki dengan
atau tanpa selulitis.
f. Derajat V : Gangren seluruh kaki atau sebagian tungkai.
Pada pasien wanita berusia 58 tahun ini memiliki riwayat gangren
IV. ANEMIA
Pada pasien ini mengeluh badan lemas, nafsu makan menurun dan
nyeri kepala. Pada pemeriksaan fisik didapatkan konjungtiva anemis (+/+),
bibir pucat.
Gejala anemia disebut juga sebagai sindrom anemia atau Anemic
syndrome. Gejala umum anemia atau sindrom anemia adalah gejala yang
timbul pada semua jenis Anemia pada kadar hemoglobin yang sudah
menurun sedemikian rupa di bawah titik tertentu. Gejala ini timbul karena
anoksia organ target dan mekanisme kompensasi tubuh terhadap
penurunan hemoglobin. Gejala-gejala tersebut apabila diklasifikasikan
menurut organ yang terkena adalah:
a. Sistem Kardiovaskuler: lesu, cepat lelah, palpitasi, takikardi, sesak
napas saat beraktivitas, angina pektoris, dan gagal jantung.
b. Sistem Saraf: sakit kepala, pusing, telinga mendenging, mata
berkunang-kunang, kelemahan otot, iritabilitas, lesu, serta perasaan
dingin pada ekstremitas.
c. Sistem Urogenital: gangguan haid dan libido menurun.
d. Epitel: warna pucat pada kulit dan mukosa, elastisitas kulit menurun,
serta rambut tipis dan halus
Pada pemeriksaan darah lengkap menunjukkan HGB 10.8, HCT 31.9,
RDW-CV 16.5, PLT 514.
Pada anemia ini kemungkinan diakibatkan karen defisiensi zat besi
yang terjadi karena pada umumnya masyarakat Indonesia lebih banyak
mengkonsumsi makanan nabati yang kandungan zat besinya sedikit,
dibandingkan dengan makanan hewani, sehingga kebutuhan tubuh akan
zat besi tidak terpenuhi.
27
Penatalaksanaan pada pasien ini diberikan asam folat 3x1
DAFTAR PUSTAKA
28
Andriyasa, K, Tjokorda Raka Putra. Korelasi antara derajat beratnya osteoartritis
lutut dan cartilage oligomeric matrix protein serum. J Peny Dalam. 2012:
13(1):10.
M.A., Sabara-Saga. Diet intensif dan aktifitas fisik untuk wanita lansia penderita
osteoartritis dengan obesitas. Medula. 2013: 2(1):115.
Koentjoro, Sara Listyani, J. Adji Suroso, Bantar Suntoko. Hubungan antara indeks
massa tubuh (IMT) dengan derajat osteoartritis lutut menurut Kellgren-
Lawrence. Semarang: Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro; 2010.
Altman, R.D. Criteria for the classification of osteoarthritis of the knee and hip.
Scand J Rheumatology. 1987; (Suppl.65):31-39.
http://www.depkes.go.id//
index.php?.option=news&task=viearticle&id=2310&Itemid=2
Ndraha S., 2014. Diabetes Melitus Tipe 2 dan Tatalaksana Terkini. Vol 27 no 2.
Departemen Penyakit Dalam FK Universitas Krida Wacana Jakarta
30