Anda di halaman 1dari 30

CASE REPORT

SEORANG PEREMPUAN BERUSIA 58 TAHUN DENGAN


OSTEOARTHRITIS DISERTAI OSTEOPOROSIS DAN DIABETES
MELLITUS TIPE 2

Disusun Oleh:
Hanifah Rizki Farmanda, S.Ked
J510170053

Pembimbing :
Dr. Bahrodin, Sp. PD

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM


RSUD Dr. HARJONO KABUPATEN PONOROGO
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2017

1
CASE REPORT

SEORANG PEREMPUAN BERUSIA 58 TAHUN DENGAN


OSTEOARTHRITIS DISERTAI OSTEOPOROSIS DAN DIABETES
MELLITUS TIPE 2

Disusun Oleh:
Hanifah Rizki Farmanda, S.Ked
J510170053

Telah disetujui dan disahkan oleh bagian Program Pendidikan Profesi Fakultas
Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta

Pembimbing
dr. Bahrodin, Sp. PD ( ..........................................)

Dipresentasikan dihadapan
dr. Bahrodin, Sp. PD ( ..........................................)

Disahkan Ka. Program Pendidikan Profesi FK UMS


dr. Dona Dewi Nirlawati ( ...........................................)

2
BAB I
STATUS PASIEN

I. IDENTITAS
Nama : Ny. T
Jenis kelamin : Perempuan
Umur : 58 tahun
Alamat : Sampung, Ponorogo
Pekerjaan : Pengumpul kayu
Agama : Islam
Status Pernikahan : Menikah
No. Rekam Medis : xx xx xx
Tanggal Masuk RS : 24 Mei 2017
Tanggal Pemeriksaan : 1 Juni 2017
Tempat Pemeriksaan : Bangsal Mawar

II. ANAMNESIS
Riwayat penyakit pasien diperoleh secara autoanamnesis dan
alloanamnesis dilakukan pada tanggal 1 Juni 2017.
A. Keluhan Utama
Nyeri pada kedua lutut kaki
B. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien adalah seorang perempuan berumur 58 tahun datang dengan
keluhan nyeri pada kedua sendi lutut sejak tiga tahun yang lalu. Awalnya
pasien mengaku nyeri diawali dari kaki bagian bawah, kemudian naik ke

bagian sendi lutut. Satu tahun yang lalu pasien mengaku kedua lutut
membengkak. Pasien mengaku tidak bisa berjalan dikarenakan nyeri yang
sangat saat bergerak. Pasien mengaku kesemutan terus menerus di telapak
kaki. Pasien juga mengaku nyeri pinggang setelah jatuh dari kamar mandi
sejak beberapa waktu yang lalu serta memiliki sakit diabetes mellitus.

3
Sejak saat itu pasien memeriksakan diri ke Puskesmas dan mendapat
diagnosis diabetes mellitus tipe 2 untuk pertama kalinya dan sudah
diterapi insulin selama 4 bulan namun berhenti sejak 1 bulan yang lalu.
Sebelum nyeri lutut muncul pasien mengaku pernah memiliki luka di
pantat yang sembuhnya lama dan mengeluh sering capek saat melakukan
aktivitas sehari-hari. Saat di rumah pasien masih sering melakukan
aktivitas mencari dan mengumpulkan kayu dari gunung.
Pasien juga mengeluh pusing, badan terasa kaku dan sakit untuk
bergerak dan nafsu makan menurun. Keluhan tersebut muncul sejak ± 1
minggu lalu sebelum masuk RS. Pasien tidak mengeluh adanya demam,
mual dan muntah.

C. Riwayat Penyakit Dahulu


1. Riwayat hipertensi : disangkal
2. Riwayat DM : diakui
3. Riwayat sakit serupa : disangkal
4. Riwayat sakit jantung : disangkal
5. Riwayat alergi obat & makanan: disangkal
6. Riwayat opname : disangkal
7. Riwayat trauma : diakui

D. Riwayat Penyakit Keluarga


1. Riwayat hipertensi : disangkal
2. Riwayat DM : disangkal
3. Riwayat sakit serupa : disangkal
4. Riwayat sakit jantung : disangkal
5. Riwayat alergi obat & makanan: disangkal
6. Riwayat menderita kanker : disangkal

E. Riwayat Kebiasaan
1. Pekerjaan berat : diakui
4
2. Merokok : disangkal
3. Minum alkohol : disangkal

F. Riwayat Pengobatan
1. Pengobatan DM (Insulin)

III. PEMERIKSAAN FISIK


A. Vital sign
Tekanan Darah : 120/80 mmHg
Nadi : 100 x/menit
Respiration rate : 17 x/menit
Suhu : 37 °C

B. Pemeriksaan Fisik
1. Kepala :
- Mata : Konjungtiva palpebra anemis (-/-), sklera ikterik
(-/-), sianosis (-)
- Hidung : dalam batas normal
- Mulut : pucat (-)
- Telinga : dalam batas normal
2. Leher : leher simetris, retraksi suprasternal (-), deviasi trakhea (-),
Pembesaran kelenjar getah bening (-/-), ↑ JVP (-)
3. Thorax
 Pulmo
- Inspeksi
Bentuk dada simetris, pergerakan dada tertinggal (-),
benjolan (-).
- Palpasi
Deviasi trakhea (-), ketinggalan gerak (-), fremitus raba
normal
- Perkusi
5
Sonor diseluruh lapang paru
- Auskultasi
Suara dasar vesikuler (+) normal, suara tambahan :
wheezing (-/-), ronkhi (-/-)
 Jantung
a. Inspeksi : dinding dada pada daerah tidak cembung/cekung,
ictus cordis tidak tampak.
b. Palpasi : ictus cordis tidak teraba, tidak kuat angkat, di SIC
V linea midclavicula sinistra.
c. Perkusi : batas jantung
- Batas kiri jantung:
 Atas : SIC II di sisi lateral linea parasternalis sinistra
 Bawah : SIC V linea midclavicula sinistra
- Batas kanan jantung :
 Atas : SIC II linea parasternalis dextra
 Bawah : SIC IV linea parasternalis dextra
d. Auskultasi : Bunyi jantung I-II regular, bising jantung (-)
4. Abdomen :
a. Inspeksi : Dinding abdomen simetris, distended (-), tidak
terdapat benjolan.
b. Auskultasi : Peristaltik (+)
c. Perkusi : Timpani
d. Palpasi : Supel, defans muskuler (-), nyeri tekan (-), lien
tidak teraba, hepar tidak teraba, ginjal tidak teraba, nyeri ketok
costovertebrae (-), tidak teraba adanya benjolan.
5. Ekstremitas
Edema Krepitasi
- - - -

+ + + +

6
Terasa panas Deformitas
- -
- -
+ +
+ +

6. Fungsi Vegetasi
- Miksi : dalam batas normal
- Defekasi : dalam batas normal

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG


1. Laboratorium
Keterangan Hasil Unit Nilai Normal Interprestasi
Hematologi
WBC 15.9 103/uL 4.0 - 10.0 ↑
Lymph# 0.6 103/uL 0.8-4.0 Dbn
Mid # 0.7 103/uL 0.1-1.5 Dbn
Gran # 14.6 103/uL 2.0 – 7.0 ↑
Lymph% 3.9 % 20.0 – 40.0 ↓
Mid % 4.6 % 3.0 – 15.0 Dbn
Gran % 91.5 % 50.0 – 70.0 ↑
RBC 3.58 106/uL 3.50 – 5.50 Dbn
HGB 10.8 g/dL 11.0 – 16.0 ↓
HCT 31.9 % 37.0 – 54.0 ↓
MCV 89.1 fL 80.0 – 100.00 Dbn
MCH 30.2 pg 27.0 – 34.0 Dbn
MCHC 33.9 g/dL 32.0 – 36.0 Dbn
RDW-CV 16.5 % 11.0 – 16.0 ↑

7
RDW-SD 51.4 fL 35.0 – 56.0 Dbn
PLT 514 103/uL 100 – 300 ↑
MPV 8.1 fL 6.5 – 12.0 Dbn
PDW 15.5 9.0 – 17.0 Dbn
PCT 4.16 mL/L 1.08 – 2.82 ↑
P-LCC 107 103/uL 30 – 90 Dbn
P-LCR 20.8 % 11.0 – 45.0 Dbn

Kimia Darah
Glukosa
258 mg/dl < 140 ↑
sewaktu
DBIL 0.11 mg/dl 0-0.35 Dbn
TBIL 0.8 mg/dl 0.2-1.2 Dbn
CREAT 1.27 mg/dl 0.7-1.2 Dbn
UA 6.2 mg/dl 2.4-5.7 ↑
CHOL 164 mg/dl 140-200 Dbn
TG 212 mg/dl 36-165 ↑
HDL 23 mg/dl 45-150 ↓
LDL 99 mg/dl 0-190 Dbn

8
2. Foto Rontgen Genu

Kesimpulan :
Osteoarthritis genu bilateral

9
Kesimpulan : Osteoporosis scoliosis lumbalis

V. RESUME/ DAFTAR MASALAH (yang ditemukan pada pasien)


Pasien adalah seorang perempuan berumur 58 tahun datang dengan
keluhan nyeri pada kedua sendi lutut sejak tiga tahun yang lalu. Awalnya
pasien mengaku nyeri diawali dari kaki bagian bawah, kemudian naik ke

bagian sendi lutut. Satu tahun yang lalu pasien mengaku kedua lutut
membengkak. Pasien mengaku tidak bisa berjalan dikarenakan nyeri yang
sangat saat bergerak. Pasien mengaku kesemutan terus menerus di telapak
kaki. Pasien juga mengaku nyeri pinggang setelah jatuh dari kamar mandi
sejak beberapa waktu yang lalu serta memiliki sakit diabetes mellitus.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan TD 120/80 mmHg, kedua ekstremitas
bawah bagian lutut udeme,dan teraba panas.

10
Pada pemeriksaan penunjang didapatkan WBC 15.9, HGB 10.8, HCT
31.9, RDW-CV 16.5, PLT 514,PCT 4.16, GDS 258, UA 6.2 , TG 212

VI. ASSESMENT/ DIAGNOSIS


Osteoarthritis genu bilateral
Osteoporosis scoliosis lumbalis
Diabetes Mellitus tipe 2

VII.POMR
Temuan Assesment Planning Planning terapi Planning
abnormal diagnose monitoring
-Riwayat ulkus Diabetes mellitus - Pemeriksaan - Diet rendah gula - GDS
DM tipe 2 HbA1c dan tinggi serat
-Riwayat DM - Inj. Actrapid
+ 3x4 unit
- GDS 258 (↑)
-kesemutan

11
-nyeri kedua Osteoarthritis genu - Tirah baring
sendi bilateral dan - Inf PZ 12 tpm
lutut ,bengkak, osteoporosis - Paracetamol tab
merah 650 mg 3x1
-nyeri - Inj
pinggang Dexamethasone
-krepitasi 2x1
-foto pedis - Ca bicarbonat
menunjukkan 3x1
osteoarthritis - Neurodex tab
genu bilateral 1x1
Dan - Rujuk ke Sp
osteoporosis PD-KR
-bibir pucat Anemia - Apusan darah - Asam folat tab - Vital sign
-WBC ↑ tepi 3x1 - Darah lengkap
-HGB ↓ - Serum Fe
-HCT ↓ - Feses lengkap
-RDW-CV ↑ - Benzidine test
-PLT ↑
-UA ↑ -hiperurisemia - Allopurinol tab Cek kadar UA
- 100 mg 2x1 berkala
-TG ↑ hipertrigliseridemia - Fenofibrate tab Cek kadar TG
300 mg 1x1 berkala

12
VIII. FOLLOW UP

Tanggal Subjektif Objektif Assasment Planning


29-05-17 Nyeri lutut kaki TD : 110/80 mmHg -osteoarthritis - Inf PZ 12 tpm
kanan kiri +, N : 88 x/mnt, T : -osteoporosis - Asam folat tab
lemas, 36,6°C, RR : 20 x/mnt 3x1
kesemutan jari Mata : Konjungtiva - Neurodex 1x1
kaki, napsu palpebra anemis (+/+) - Inj Ketorolax 2x1
makan ↓, badan Thorax : dbn - Inj
kaku, nyeri Abdomen : dbn dexamethasone
pinggang Ekstremitas : lutut 2x1
bengkak,merah ,
panas (+/+) DM tipe 2
Anemia
Lab :
GDA 92 mg/dl

13
HGB 10.8
UA 6.2
TG 212
30-05-17 Nyeri lutut kaki TD : 110/70 mmHg -osteoarthritis - Terapi lanjut
kanan kiri +, N : 82 x/mnt, T : -osteoporosis - Allopurinol tab
lemas, 36°C, RR : 20 x/mnt 100 mg 2x1
kesemutan jari Thorax : dbn - Ca bicarbonat 3x1
kaki, badan Abdomen : dbn
kaku, nyeri Ekstremitas : lutut
pinggang bengkak,merah , DM tipe 2
panas (+/+)
Lab :
GDA 149 mg/dl

31-05-17 Nyeri lutut kaki TD : 120/80 mmHg -osteoarthritis -Terapi lanjut


kanan kiri +, N : 88 x/mnt, T : -osteoporosis -Inj. Actrapid 3x4
lemas, 36,6°C, RR : 20 x/mnt unit
kesemutan jari Mata : dbn
kaki, napsu Thorax : dbn
makan ↓, badan Abdomen : dbn
kaku, nyeri Ekstremitas : lutut
pinggang bengkak,merah , DM tipe 2
panas (+/+)
Lab :
GDA 258 mg/dl

14
BAB II
PEMBAHASAN

I. OSTEOARTHRITIS
Pasien sudah mengalami nyeri sendi sejak tiga tahun yang lalu, dan proses
pembengkakan sudah terjadi sejak satu tahun yang lalu, namun pasien tetap
berusaha beraktivitas seperti biasa tanpa berobat ke dokter, proses ini terus
berlanjuthingga prose inflamasi semakin tinggi dan benjolan pada lutut
semakin besar sehingga pasien datang ke rumah sakit dan di diagnosis
osteoartritis (OA). Osteoartritis merupakan penyakit sendi degeneratif kronik
non inflamasi yang berkaitan dengan kerusakan kartilago sendi. Penyakit ini
bersifat progresif lambat, ditandai dengan adanya degenerasi tulang rawan
sendi, hipertrofi tulang pada tepinya, sklerosis tulang subkondral, perubahan
pada membran sinovial, disertai nyeri, biasanya setelah aktivitas
berkepanjangan, dan kekakuan, khususnya pada pagi hari atau setelah

15
inaktivitas. Penyakit ini disebut juga degenerative arthritis, hypertrophic
arthritis, dan degenerative joint disease. Osteoartritis adalah bentuk artritis
yang paling umum terjadi yang mengenai mereka di usia lanjut atau usia
dewasa dan salah satu penyebab terbanyak kecacatan di negara berkembang.
Sendi lutut terdiri atas tiga kompartemen yaitu sendi tibiofemoral yang
terbagi menjadi kompartemen medial dan lateral, serta sendi patellofemoral.
Sendi patellofemoral adalah salah satu kompartemen yang paling sering
terkena pada kasus OA lutut. Penelitian yang dilakukan oleh R. S. Hinman
dan K. M. Crossley menunjukkan bahwa OA sendi patellofemoral tidak
hanya menjadi sumber penting dari gejala OA lutut, tetapi juga bahwa orang
yang menderita penyakit OA sendi patellofemoral menunjukkan karakteristik
yang berbeda dari OA sendi tibiofemoral. Dahulu, OA lutut dilihat sebagai
suatu kelainan yang terjadi terutama pada sendi tibiofemoral karena penilaian
radiografi cenderung hanya terfokus pada X-ray antero-posterior, yang tidak
dapat mencitrakan sendi patellofemoral dengan baik. Namun pengetahuan
akan keterlibatan sendi patellofemoral dalam proses OA semakin meningkat
seiring dengan meningkatnya penggunaan X-ray lateral dan skyline. Pada
pemeriksaan radiografi, osteofit pada sendi patellofemoral lebih banyak
dibanding pada sendi tibiofemoral. Penelitian lain pada orang dengan nyeri
lutut memperlihatkan pola radiografi yang tersering adalah kombinasi sendi
tibiofemoral dan patellafemoral, diikuti oleh OA sendi patellofemoral, OA
sendi tibiofemoral, dan sisanya menunjukkan radiografi normal.

16
Keluhan osteoartritis yang paling sering dirasakan yaitu nyeri sendi,
terutama saat sendi bergerak atau menanggung beban, dan akan berkurang
saat istirahat. Seringkali penderita merasakan nyeri pada sendi asimetris yang
meningkat secara bertahap selama beberapa tahun.16 Nyeri pada pergerakan
dapat timbul akibat iritasi kapsul sendi, periostitis dan spasme otot
periartikular.
Pada tahap awal, nyeri hanya terlokalisasi pada bagian tertentu, tetapi bila
berlanjut, nyeri akan dirasakan pada seluruh sendi yang terkena OA. Nyeri ini
seringkali disertai bengkak, penurunan ruang gerak sendi, dan abnormalitas
mekanis. Keterbatasan gerak biasanya berhubungan dengan pembentukan
osteofit, permukaan sendi yang tidak rata akibat kehilangan rawan sendi yang
berat atau spasme dan kontraktur otot periartikular. Kekakuan sendi juga
dapat ditemukan pada penderita OA setelah sendi tidak digerakkan beberapa
lama (gel phenomenon), tetapi kekakuan ini akan hilang setelah sendi
digerakkan. Kekakuan yang terjadi pada pagi hari biasanya berlangsung tidak
lebih dari 30 menit. Selain itu, juga didapatkan pembesaran tulang di sekitar
sendi, efusi sendi, dan krepitasi.
Pada OA lutut, gejala spesifik yang dapat timbul adalah keluhan
instabilitas pada waktu naik turun tangga.
Secara garis besar, faktor risiko timbulnya OA lutut meliputi usia, jenis
kelamin, ras, genetik, nutrisi, obesitas, penyakit komorbiditas, menisektomi,
kelainan anatomis, riwayat trauma lutut, aktivitas fisik, kebiasaan olah raga,
dan jenis pekerjaan.
Diagnosis OA lutut menggunakan kriteria klasifikasi dari American
College of Rheumatology seperti tercantum pada tabel berikut ini.
Kriteria Diagnosis Osteoartritis Lutut

17
Grading menurut kriteria Kellgren-Lawrence Pada OA terdapat gambaran
radiografi yang khas, yaitu osteofit. Selain osteofit, pada pemeriksaan X-ray
penderita OA biasanya didapatkan penyempitan celah sendi, sklerosis, dan
kista subkondral.
Berdasarkan gambaran radiografi tersebut, Kellgren dan Lawrence
membagi OA menjadi empat grade.
1) Grade 0 : normal
2) Grade 1 : sendi normal, terdapat sedikit osteofit
3) Grade 2 : osteofit pada dua tempat dengan sklerosis subkondral, celah
sendi normal, terdapat kista subkondral
4) Grade 3 : osteofit moderat, terdapat deformitas pada garis tulang,
terdapat penyempitan celah sendi
5) Grade 4 : terdapat banyak osteofit, tidak ada celah sendi, terdapat kista
subkondral dan sclerosis

18
Pada kasus ini pasien adalah seorang perempuan usia 58 tahun yang
memiliki pembengkakan pada kedua sendi lutut yang teraba panas ,berwarna
merah. Pada pemeriksaan penunjang menunjukkan pasien mengalami
osteoartritis grade 3 yakni, terdapat banyak osteofit, celah sendi menyempit,
terdapat kista subkondral dan sclerosis.

II. OSTEOPOROSIS
Dari hasil emeriksaan radiologi pasien ini terbukti mengalami osteoporosis
akibat berbagai faktor yang dimilliki pasien mulai dari gender, ras, kebiasaan
hidup dan adanya riwayat trauma. Osteoporosis adalah kelainan penulangan
akibat gangguan metabolisme dimana tubuh tidak mampu menyerap dan
memanfaatkanzat-zat yang diperlukan untuk proses pematangan tulang . Pada
osteoporosis terjadi pengurangan masa/jaringan tulang per unit volume tulang
dibandingkan dengan keadaan normal. Dengan bahasa awam
dikatakantulangmenjadi lebihringan dan lebih rapuh dari biasanya,meskipun
mungkin zat-zat dan mineral untuk pembentukan tulang di dalam darah masih
dalam batas nilai normal. Proses pengurangan ini terjadi di seluruh tulang dan
berkelanjutan sepanjang kehidupan.

19
Manusia lanjut usia (lansia) beresiko menderita osteoporosis, sehingga
setiap patah tulang pada lansia perlu diasumsikan sebagai osteoporosis,
apalagi jika disertai dengan riwayattrauma ringandankesehatan seperti
mata,jantung, dan fungsi organ lain.Padausia60-70 tahun, lebih dari 30%
perempuan menderita osteoporosis dan insidennya meningkat menjadi 70%
padausia 80 tahun ke atas. Hal ini berkaitan dengan defisiensi estrogen pada
masa menopause dan penurunan massa tulang karena proses penuaan. Pada
laki-laki osteoporosis lebih dikarenakan proses usia lanjut, sehingga
insidennya tidak sebanyak perempuan.
Di Indonesia jumlah wanita lansia penderita osteoporosis mengalami
trend yang meningkat dari tahun ke tahun. Hal ini merupakan bencana sosial
luar biasa pada masyarakat, karena peningkatan biaya pengobatan atau
perawatan serta dapat menurunkan kualitas hidup. Saat inisaja 22-55 persen
wanita lansia Indonesia menderita osteoporosis. Jika diubah dalam angka,
maka ada sekitar 8,5 juta lansia yang mencapai total 17 juta dari 222 juta
penduduk Indonesia menderita osteoporosis. Seiring meningkatnya jumlah
penduduk menjadi 261 juta pada tahun 2020 maka jumlah penderita
diperkirakan akan meningkat menjadi 5-11juta. Dan dengan penduduk 273
juta pada2050 makajumlah penderitamenjadi5,2-11,5juta.
Hal ini bukanlah masalah sepele. Sebagaimana diketahui,penderita
osteoporosis mudah sekali menderita patah tulang. Kendalanya, penanganan
patah tulang di Indonesia menyedot biaya sangat tinggi. Menurut
Ichramsjah,biaya termurah perawatanpatahtulang adalah Rpl4 juta hingga
Rp50juta. Jika 25% dari 4,25 juta lansia terkena patah tulang, maka biaya
kesehatannya diperkirakanakan mencapaiUSD1,48juta. Jumlah ini sangat
besar tentunya, selain yang bersangktuan tidak produktif, lansia patah tulang
juga harus ditunggui selalu, akibatnya orangyang tidak produktif bertambah
lagi jumlahnya.
Perubahan gaya hidup, dimana orang yang semasa mudanya kurang gerak
dikatakan berpotensi besar menderita osteoporosis. Selain karena perubahan
gaya hidup, faktor resiko terjadinya osteoporosis bisa karena nutrisi,
20
penggunaan obat-obatan tertentu dalam jangka panjang, kurang paparan sinar
matahari, dan gangguan haid pada wanita.
Bila tidak disertai dengan penyakit pemberat lain (komplikasi), penderita
osteoporosis bisa saja tidak merasakan gejala apapun.
Keluhan yang mungkin timbul hanya berupa rasa sakit dan tidak enak
dibagian punggung atau daerah tulang yang mengalami osteoporosis. Namun
perlu diwaspadai, bahwa patah tulang bisa terjadi hanya karena sedikit
goncangan atau benturan yang sering pada tulang yang manahan bebantubuh.
Rasa nyeribisa hilang sendiri setelah beberapa hari atau beberapa minggu, dan
kemudian timbul lagi bila proses osteoporosis terjadi lagi di tempat
lain.Pemadatan ruas tulang punggung yang luas (multiple compression) bisa
memperlihatkan gejala membungkuk padatulang belakang, yang terjadi
perlahan dan menahun dengan keluhan nyeri tumpul. Gejalanya, penderita
nampak bongkok sebagai akibat kekakuan pada otot punggung .
Faktor Resiko Osteoporosis
Resiko paling tidak menguntungkan penderita osteoporosis adalah
terjadinya fraktur tulang yang apabila tidak ditangani dengan tuntas sampai
dengan rehabilitasi medik,makapasien akanmengalami disabilitas, gangguan
fungsi aktivitas dari tingkat sederhana sampai berat dan mengalami
keterbatasan dalam bersosialisasi yang ujungnya dapat mempengaruhi
kualitas hidup penderitanya.
Faktor resiko osteoporosis dapat dibedakan menjadi faktor resiko yang
sifatnya tidak dapat diubah dan yang dapat diubah.
Untuk yang tidak dapat diubah diantaranya gender perempuan,
Padaumumnya perempuan mempunyai tulangyang lebihringandanlebih kecil
dibandingkan laki-laki, Usia lanjut, Riwayat osteoporosis dalam keluarga:
Umumnya tipe perawakan tubuh dalam anggota keluarga saling mirip satu
dengan lainnya. Ras perempuan Asia dan Kaukasia lebih mudah terkena
osteoporosis dibandingkan perempuan Afrika. Bentuk badan semakin kecil
dan kurus tubuh seseorang, semakin beresiko mengalami osteoporosis.
Beberapa penyakit seperti anoreksia, diabetes, diare kronis,penyakit ginjal
21
dan hati. Sedangkan untuk faktor resiko osteoporosis yang dapat diubah
diantaranya adalah
 Berhenti merokok
 Kurangi konsumsi alkohol
 Segera atasi kekurangan asupan
kalsium,Lakukanprogramlatihanfisik, Menambah berat badan bagi
yang kekurangan berat badan (kurus), Flindari penggunaan obat-
obatan steroid, fenobarbital, fenitoin.
Terapi yang juga diberikan adalah vitamin D dan tiazid, tergantung kepada
kebutuhan pasien. Vitamin D membantu tubuh menyerap dan memanfaatkan
kalsium. Dua puluh lima hidroksi vitamin D dianjurkan diminum setiap
haribagi pasien yang menggunakan suplemen kalsium.
III. DIABETES MELLITUS TIPE 2

Pada kasus ini pasien adalah seorang perempuan usia 58 tahun yang
memiliki riwayat DM tipe 2 yang terdiagnosis ±5 bulan lalu. Pada
pemeriksaan vital sign didapatkan TD 120/80. Pada pemeriksaan penunjang
menunjukkan adanya hipeglikemia GDA 258 mg/dl. Kondisi penyakit kronis
ini juga berkaitan dengan osteoporosis pada wanita, karena salah satu faktor
resiko osteoporosis adalah adanya penyakit kronis.

Menurut Perkeni (2011) dan ADA (2012) Diabetes Melitus adalah


suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang
terjadi karena kelainan sekresi insulin, gangguan kerja insulin atau keduanya,
yang menimbulkan berbagai komplikasi kronik pada mata, ginjal, saraf dan
pembuluh darah. Sedangkan DM tipe 2 bervariasi mulai terutama yang
predominan resistensi insulin disertai defisiensi insulin relatif sampai yang
predominan gangguan gangguan sekresi insulin bersama resistensi insulin
Faktor resiko DM tipe 2 diantaranya adalah
1. Tidak dapat dimodifikasi
a. Riwayat keluarga DM
b. Usia
22
c. Riwayat DM gestasional
d. Riwayat berat badan lahir rendah <2500 gram
2. Dapat dimodifikasi
a. Berat badan lebih (IMT >23 kg/m2)
b. Kurang aktivitas fisik
c. Hipertensi, dislipidemia (HDL <35 mg/dl dan atau trigliserid ≥250
mg/dl)
d. Riwayat penyakit kardiovaskuler
e. Diet tidak sehat dengan tinggi gula dan rendah serat (PERKENI,
2010)
Faktor resiko pasien ini adalah dapat dilihat dari usia, riwayat
hipertensi dan HDL <35mg/dl yang akan mempercepat terjadinya
diabetes mellitus tpe 2.
Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang DM.
Kecurigaan adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan klasik
DM, antara lain (PERKENI, 2006) :
- Keluhan klasik DM berupa : poliuria, polidipsi, polifagia, dan
penurunan berat badan yang tidak dijelaskan sebabnya.
- Keluhan lain dapat berupa : lemah badan, kesemutan, gatal, mata
kabur dan disfungsi ereksi pada laki-laki serta pruritus vulva pada
perempuan.
Keluhan yang ditemukan pada pasien ini adalah polisuria, polidipsi,
badan lemah dan kesemutan pada jari tangan dan kaki. Ketika glukosa
yang berlebih dieksresikan dalam urin, ekskresi ini akan disertai
pengeluaran cairan dan elektrolit yang berlebihan. Keadaan ini
dinamakan diuresis osmotik. Sebagai akibat dari kehilangan cairan yang
berlebihan, pasien akan mengalami peningkatan dalam berkemih
(poliuria) dan rasa haus (polidipsia). (Sylvia, 2005)

23
Penegakan diagnosis DM

Keadaan normal kadar glukosa darah berkisar antara 70-110 mg/dl,


setelah makan kadar glukosa darah dapat meningkat 120-140 mg/dl dan
akan menjadi normal dengan cepat. Kelebihan glukosa dalam darah
disimpan sebagai glikogen dalam hati dan sel-sel otot (glicogenesis) yang
diatur oleh hormon insulin yang bersifat anabolik. (Arisman, 2011)
Hormon insulin merupakan satu-satunya hormon yang menurunkan
glukosa darah (PERKENI, 2006). Insulin adalah hormon protein dibuat
dari dua rantai peptida (rantai A dan rantai B) dihubungkan pada dua
lokasi melalui jembatan disulfida. Dalam bentuk ini lah insulin
dilepaskan ke dalam darah dan beraksi pada sel target. Insulin disintesa
di dalam sel β di reticulum endoplasmik, sebagai rantai peptida lebih
besar yang disebut proinsulin (Mardiati, 2000).
Pada diabetes melitus defisiensi atau resistensi hormon insulin
menyebabkan kadar gula darah menjadi tinggi karena menurunnya
24
ambilan glukosa oleh jaringan otot dan adiposa serta peningkatan
pengeluaran glukosa oleh hati, akibatnya otot tidak mendapatkan energi
dari glukosa dan membuat alternatif dengan membakar lemak dan protein
(Mardiati, 2000).
Penatalaksanaan pasien ini dengan pemberian insulin actrapid 3x4
unit.
Insulin actrapid merupakan insulin kerja cepat yang bermanfaat
pada kebutuhan insulin yang berubah cepat, misalnya pada infeksi atau
sesdah pembedahan.
Pada DM yang tidak terkendali dapat terjadi komplikasi metabolik
akut maupun komplikasi vaskuler kronik, baik mikroangiopati maupun
makroangiopati. Pada pasien ini menunjukkan bahwasanya sudah terjadi
komplikasi dari penyakitnya, yaitu gangren diabetik dan osteomielitis
(komplikasi vaskuler kronik).
Kerusakan pembuluh darah di perifer atau di tangan dan kaki, yang
dinamakan Peripheral Vascular Disease (PVD), dapat terjadi lebih dini
dan prosesnya lebih cepat pada penderita diabetes daripada orang yang
tidak mendertita diabetes. Denyut pembuluh darah di kaki terasa lemah
atau tidak terasa sama sekali. Bila diabetes berlangsung selama 10 tahun
lebih, sepertiga pria dan wanita dapat mengalami kelainan ini. Dan
apabila ditemukan PVD disamping diikuti gangguan saraf atau neuropati
dan infeksi atau luka yang sukar sembuh, pasien biasanya sudah
mengalami penyempitan pada pembuluh darah jantung.
Faktor utama yang berperan pada timbulnya ulkus Diabetikum
adalah angipati, neuropati dan infeksi.adanya neuropati perifer akan
menyebabkan hilang atau menurunnya sensai nyeri pada kaki, sehingga
akan mengalami trauma tanpa terasa yang mengakibatkan terjadinya
ulkus pada kaki. Adanya angiopati tersebut akan menyebabkan terjadinya
penurunan asupan nutrisi, oksigen serta antibiotika sehingga
menyebabkan terjadinya luka yang sukar sembuh

25
Glukosa darah yang tinggi mengganggu fungsi kekebalan tubuh
dalam menghadapi virus dan bakteri, sehingga penderita DM mudah
terkena infeksi. Salah satu tempat yang mudah terinfeksi adalah kulit dan
kaki.
Wagner (2000). membagi gangren kaki diabetik menjadi enam
tingkatan, yaitu:
a. Derajat 0 : Tidak ada lesi terbuka, kulit masih utuh dengan
kemungkinan disertai kelainan bentuk kaki seperti “
claw,callus “.
b. Derajat I : Ulkus superfisial terbatas pada kulit.
c. Derajat II : Ulkus dalam menembus tendon dan tulang.
d. Derajat III : Abses dalam, dengan atau tanpa osteomielitis.
e. Derajat IV : Gangren jari kaki atau bagian distal kaki dengan
atau tanpa selulitis.
f. Derajat V : Gangren seluruh kaki atau sebagian tungkai.
Pada pasien wanita berusia 58 tahun ini memiliki riwayat gangren

pada pantat namun sudah sembuh. Dimana DM merupakan salah satu

penyakit kronis yang merupakan salah satu faktor resiko terjadinya


osteoporosis pada pasien pasien yang mengalami DM menimbulkan
berbagai komplikasi kerusakan vaskuler serta terjadi penurunan nutrisi dan
oksigen ke jaringan. Pasien juga mengaku pernah mengalami uklkus di
pantat namun sudah sembuh.

IV. ANEMIA

Pada pasien ini mengalami penurunan Hb yaitu sebesar 10.8


namun secara klinis nilai tersebut kurang bermakna, namun dari
pemeriksaan ditemukan bibir pasien pucat dan badan lemas sehingga
pemberian vitamin dirasa perlu untuk mengembalikan kondisi umum
pasien supaya lebih membaik. Adapun kondisi ini adalah dimana
26
berkurangnya jumlah eritrosit atau hemoglobin (protein pembawa O2)
dari nilai normal dalam darah sehingga tidak dapat memenuhi fungsinya
untuk membawa O2 dalam jumlah yang cukup ke jaringan perifer
sehingga pengiriman O2 ke jaringan menurun atau yang kita sebut
dengan anemia.

Pada pasien ini mengeluh badan lemas, nafsu makan menurun dan
nyeri kepala. Pada pemeriksaan fisik didapatkan konjungtiva anemis (+/+),
bibir pucat.
Gejala anemia disebut juga sebagai sindrom anemia atau Anemic
syndrome. Gejala umum anemia atau sindrom anemia adalah gejala yang
timbul pada semua jenis Anemia pada kadar hemoglobin yang sudah
menurun sedemikian rupa di bawah titik tertentu. Gejala ini timbul karena
anoksia organ target dan mekanisme kompensasi tubuh terhadap
penurunan hemoglobin. Gejala-gejala tersebut apabila diklasifikasikan
menurut organ yang terkena adalah:
a. Sistem Kardiovaskuler: lesu, cepat lelah, palpitasi, takikardi, sesak
napas saat beraktivitas, angina pektoris, dan gagal jantung.
b. Sistem Saraf: sakit kepala, pusing, telinga mendenging, mata
berkunang-kunang, kelemahan otot, iritabilitas, lesu, serta perasaan
dingin pada ekstremitas.
c. Sistem Urogenital: gangguan haid dan libido menurun.
d. Epitel: warna pucat pada kulit dan mukosa, elastisitas kulit menurun,
serta rambut tipis dan halus
Pada pemeriksaan darah lengkap menunjukkan HGB 10.8, HCT 31.9,
RDW-CV 16.5, PLT 514.
Pada anemia ini kemungkinan diakibatkan karen defisiensi zat besi
yang terjadi karena pada umumnya masyarakat Indonesia lebih banyak
mengkonsumsi makanan nabati yang kandungan zat besinya sedikit,
dibandingkan dengan makanan hewani, sehingga kebutuhan tubuh akan
zat besi tidak terpenuhi.

27
Penatalaksanaan pada pasien ini diberikan asam folat 3x1

DAFTAR PUSTAKA

Panjaitan, R. Pharmaceutical care untuk pasien penyakit artritis rematik. Jakarta:


Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik, Ditjen Bina Kefarmasian
dan Alat Kesehatan, Departemen Kesehatan; 2006.

28
Andriyasa, K, Tjokorda Raka Putra. Korelasi antara derajat beratnya osteoartritis
lutut dan cartilage oligomeric matrix protein serum. J Peny Dalam. 2012:
13(1):10.

M.A., Sabara-Saga. Diet intensif dan aktifitas fisik untuk wanita lansia penderita
osteoartritis dengan obesitas. Medula. 2013: 2(1):115.

Nursyarifah, R.S. Hubungan antara obesitas dengan kejadian osteoartritis lutut di


RSUP dr. Kariadi Semarang. Semarang: Universitas Muhammadiyah
Semarang; 2012.

Koentjoro, Sara Listyani, J. Adji Suroso, Bantar Suntoko. Hubungan antara indeks
massa tubuh (IMT) dengan derajat osteoartritis lutut menurut Kellgren-
Lawrence. Semarang: Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro; 2010.

Altman, R.D. Criteria for the classification of osteoarthritis of the knee and hip.
Scand J Rheumatology. 1987; (Suppl.65):31-39.

Soeroso J, Isbagio H, Kalim H, Broto R, Pramudiyo R. Osteoartritis. In: Sudoyo


AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, editors. Buku ajar
ilmu penyakit dalam. 4th ed. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit
Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2006. p. 1195-1201.

Firestein Gary S, Ralph C.Budd, Edward D. Harris, Iain B.McInnes, Shaun


Ruddy, John S.Sergent. Kelley’s textbook of rheumatology 8th edition
volume II. Canada: Saunders Elsevier; 2009.

Yatim, F, 2000. Osteoporosis Penyakit Kerapuhan Tulang PadaLansia.


DepkesRI,Jakarta.

Nuhonni,SA,2000. Osteoporosis dan Pencegahannya. FKUI,Jakarta

American Diabetes Association. Diagnosis And Classification Of Diabetes


Mellitus. Diabetes Care 2011;34:s62-9.
29
Depkes. 2013. Departemen Kesehatan Republik Indonesia

http://www.depkes.go.id//
index.php?.option=news&task=viearticle&id=2310&Itemid=2

Ndraha S., 2014. Diabetes Melitus Tipe 2 dan Tatalaksana Terkini. Vol 27 no 2.
Departemen Penyakit Dalam FK Universitas Krida Wacana Jakarta

PB PERKENI. 2006. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Mellitus


Tipe 2 di Indonesia 2006. Jakarta
Pbpapdi. 2010. Guidline : Petunjuk Praktis Terapi Insulin pada Pasien Diabetes
Melitus.
http://www.pbpapdi.org/images/file_guidelines/13_Petunjuk%20Praktis
%20Terapi%20Insulin%20pada%20Pasien%20Diabetes%20Melitus.PDF
Riskesdas. 2013. Riset Kesehatan Daerah

Soegondo, S.,2006.Farmakoterapi Pada Pengendalian Glikemia Diabetes Melitus


Tipe2.Dalam:Sudoyo, A.W., ed Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid
III.Edisi ke 4. Jakarta:Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,1860-
1863.
Sylvia A., 2005. Buku Ajar Patofisiologi. EGC. Jakarta.
Yunir E., 2006. Terapi Non-farmakologis pada Diabetes Melitus. Dalam :
Sudoyo, A.W., ed. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III. Edisi ke 4.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1864-66.

30

Anda mungkin juga menyukai