DISUSUN OLEH :
dr. FARIS AKBAR ASHARI
PENDAMPING :
dr. ARINTA PUSPITA WATI, Sp. S
dr. NURUL FAJRI K
dr. MUH. HERMAN S
Deskripsi:
Seorang Laki-laki dengan sukar membuka mulut
Tujuan:
Menegakkan diagnosis kerja, melakukan penanganan awal serta konsultasi dengan spesialis neurologi (Sp. S) untuk penanganan lebih
lanjut terkait kasus stroke non hemoragik serta memberikan edukasi tentang penyakit pada pasien dan keluarga.
Nama klinik: RST TK IV Dr. Asmir Salatiga Telp: (0298) 314616 Terdaftar sejak: 12 Januari 2021
1. Diagnosis/Gambaran Klinis:
Pasien datang ke IGD RSTk IV dr. Asmir diantar oleh keluarganya dengan keluhan sukar membuka mulut sejak 1 hari sebelum masuk RS.
Pasien menjelaskan 1 minggu yang lalu jari kelingking tangan kanan terkena gerinda. setelah itu pasien berobat ke puskesmas terdekat,
pasien mendapat perawatan luka namun tidak mendapatkan suntikan anti tetanus. Pasien juga mengeluh seluruh sulit menelan dan nafas
terasa sesak. Tidak ada kejang, tidak ada mual atau muntah, tidak ada penurunan kesadaran, tidak ada demam, BAB dan BAK tidak ada
keluhan. Riwayat alergi obat dan makanan disangkal. Pasien tidak pernah mendapat imunisasi tetanus.
2. Riwayat Penyakit Dahulu :
Riwayat penyakit serupa : disangkal
Riwayat hipertensi : disangkal
Riwayat diabetes mellitus : (+) terkontrol
Riwayat alergi : disangkal
Riwayat jatuh / trauma : disangkal
3. Riwayat Gizi :
Nafsu makan dan minum baik, pasien makan 3x/hari
Berat badan : 60 kg
Tinggi badan : 165 cm
Indeks massa tubuh (IMT) : 22 kg/m 2 – normoweight
4. Riwayat Kebiasaan :
Merokok : disangkal
Alkohol : disangkal
5. Riwayat Penyakit Keluarga :
Riwayat penyakit serupa : disangkal
Riwayat hipertensi : disangkal
Riwayat diabetes mellitus : disangkal
Riwayat alergi : disangkal
6. Riwayat Pekerjaan :
Pasien bekerja sebagai serabutan.
7. Riwayat Sosial dan Ekonomi :
Biaya pengobatan menggunakan biaya mandiri. Aspek sosial dan ekonomi kesan cukup
8. Pemeriksaan Fisik
Dilakukan pada tanggal 12 Januari 2021 pukul 13.00
VITAL SIGN
KU : tampak sakit sedang
Tekanan darah : 168/85 mmHg
Frekuensi nadi : 80x/menit
Frekuensi nafas : 22x/menit
Suhu : 36,4oC
SpO2 : 96%
Gula Darah Sewaktu : 122 mg/dL
PEMERIKSAAN FISIK
PRIMARY SURVEY
• Airway : Bebas
• Breathing : Spontan, Frekuensi nafas 22x/ menit, regular
• Circulation : Akral hangat, CRT < 2”, frekuensi nadi 80 x/menit
• Disability : GCS 15 (E4 M6 V5)
SECONDARY SURVEY
a. Kepala : Simetris, mesosefal, risus sardonicus(-)
b. Mata : Pupil isokor, refleks cahaya (+/+) normal, konjungtiva pucat (-/-), sklera ikterik (-/-), edema palpebra (-/-)
c. Hidung : Deviasi septum (-), rhinorhea (-/-), epistaksis (-/-)
d. Telinga : Nyeri tekan tragus (-/-), sekret (-/-)
e. Mulut : Mukosa basah, tidak dapat membuka mulut secara maksimal(1 jari) tonsil & faring tidak dapat dinilai
f. Leher : KGB servikal tidak membesar, JVP tidak meningkat
g. Thoraks : simetris (+/+), retraksi (-/-)
Cor I : ictus cordis tidak tampak
I : Dinding perut sejajar dengan dinding dada, distensi (-), massa (-)
A: Bising usus (+) dalam batas normal
P : Pekak alih (-), undulasi (-)
P : Supel, nyeri tekan (-) regio epigastrium, defans muscular (-), liver span dbn, lien tidak teraba, turgor dalam batas normal.
i. Genitourinaria : Darah (-), Nanah (-), nyeri BAK (-)
j. Ekstremitas :
Akral Dingin CRT < 2” Edema
PEMERIKSAAN NEUROLOGIS
3) N. III, IV, VI
Kanan Kiri
Ptosis (-) (-)
Strabismus (-) (-)
Ukuran pupil 3 mm 3 mm
Refleks cahaya (+) (+)
langsung
Refleks cahaya
(+) (+)
tidak langsung
Gerakan bola mata Dalam batas normal
4) N. V
Kanan Kiri
Sensorik V1 – V3 Dalam batas normal
M. masseter dan m.
Dalam batas normal
temporalis
Refleks kornea (+) (+)
5) N. VII
Kanan Kiri
Kerutan dahi : Ada Ada
Tinggi alis : Sama tinggi Sama tinggi
Memejamkan : Normal Normal
mata
Lipatan nasolabial : Normal Normal
Meringis : Normal Normal
Simpulan : Tidak ada parese N.VII
6) N. VIII
Fungsi pendengaran dalam batas normal
Fungsi keseimbangan dalam batas normal
7) N. IX dan N. X
Inspeksi orofaring: susah dinilai
8) N. XI
Tidak ditemukan paralisis
9) N. XII
Kanan Kiri
Atrofi Lidah (-) (-)
Fasikulasi (-) (-)
Posisi Lidah Saat Diam Di tengah
Posisi Lidah Saat Di tengah
Dijulurkan
Kesimpulan Tidak terdapat paresis N. XII
d. Pemeriksaan Fungsi Motorik
Kekuatan Tonus
Normal Normal
5 5
Normal Normal
5 5
9. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan laboratorium darah rutin pada tanggal 12 Januari 2021
13. Penatalaksanaan
Usulan terapi:
Infus RL 20 tpm + drip diazepam 1amp/flabot
Injeksi Omeprazole 1x40 mg
Injeksi Ceftriaxon 1x2 gr
Injeksi Metronidazol 4x500 mg
Tetagram im 500 iu bokong kanan, 500 iu bokong kiri
Cek DR, GDS, EKG, SGOT SGPT, UR CR, Elektrolit
14. Prognosis
Ad vitam : dubia
Ad sanationam : dubia
Ad fungsionam : dubia
1. Subyektif
Pasien datang ke IGD RSTk IV dr. Asmir diantar oleh keluarganya dengan keluhan sukar membuka mulut sejak 1 hari sebelum masuk RS.
Pasien menjelaskan 1 minggu yang lalu jari kelingking tangan kanan terkena gerinda. setelah itu pasien berobat ke puskesmas terdekat,
pasien mendapat perawatan luka namun tidak mendapatkan suntikan anti tetanus. Pasien juga mengeluh sulit menelan dan nafas terasa
sesak. Tidak ada kejang, tidak ada mual atau muntah, tidak ada penurunan kesadaran, tidak ada demam, BAB dan BAK tidak ada keluhan.
Riwayat alergi obat dan makanan disangkal. Pasien tidak pernah mendapat imunisasi tetanus..
2. Objektif
Dari hasil pemeriksaan fisik didapatkan tekanan darah 145/85 mmHg, HR 80x/menit, RR 22x/menit, suhu 36,4 oC, saturasi oksigen 96%.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan mulut tidak dapat membuka secara maksimal(1jari). Pemeriksaan neurologis GCS E4M6V5
compos mentis, meningeal sign (-), Nervi craniales dalam batas normal, Kekuatan motorik kesan normal, pemeriksaan fungsi
sensoris dalam batas normal, refleks fisiologis dalam batas normal.
3. Assesment
Dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang pasien didiagnosis tetanus.
4. Plan
Diagnosis: Diagnosis klinis mengarah ke tetanus, namun perlu dilakukan pemeriksaan baku emas(kultur bakteri) untuk
menegakkan diagnosis
Pengobatan:
Edukasi dilakukan kepada pasien dan keluarganya untuk membantu latihan fisik baik aktif maupun pasif dan mengembalikan
fungsi kehidupan sehari-hari.
Konsultasi:
Dilakukan kepada dokter spesialis saraf dan penyakit dalam.
Rujukan: -
FOLLOW UP
A:
Klinis :Trismus ec tetanus, Disfagi
Topis : Neuromuscular Junction
Etiologi : C.tetani
13 januari 2021 S : Nyeri Seluruh tubuh, gelisah, perut seperti Diet cair 4x200cc
(DPH-1) papan,sulit tidur, Kejang(-) Infus RL 20 tpm + Drip diazepam 2amp/flabot
O : kesadaran CM (E4V5M6) Injeksi Ceftriaxon 1x2 gr
Tanda vital: Injeksi Metronidazol 4x500 mg
TD : 110/70 mmHg HR : 80x/menit Inj.omeprazol 1x40 mg
RR : 20 x/menit SpO2 : 98% Injeksi ketorokac 3x1ampul
Suhu : 36
Injeksi Tetagram stop
Eperison 3x1
Status Neurologis :
GCS E4M6V5 Candesartan 1x8mg
Meningeal sign (-) Ruang sendiri tutup jendela dengan koran
Nervus cranialis
I : dbn VII : dbn
II : dbn IX : dbn
III, IV, VI : dbn X : dbn
V : dbn XI : dbn
VII : dbn XII : dbn
Motorik Tonus
Refleks Fisiologis
A:
Klinis :Trismus ec tetanus, Disfagi
Topis : Neuromuscular Junction
Etiologi : C.tetani
14 Januari 2021 S : kaku seluruh tubuh, nyeri seluruh tubuh, kejang Pindah ICU
(DPH-2) berulang, perut seperti papan, sesak nafas. Rapid TEST
12.00 O:
Tanda vital:
TD : 110/80 mmHg HR : 74x/menit
RR : 36 x/menit SpO2 : 76%
Suhu : 36.3
A:
Klinis :Trismus ec tetanus, Disfagi
Topis : Neuromuscular Junction
Etiologi : C.tetani
2. Patofisiologi
Spora kuman tetanus yang ada di lingkungan dapat berubah menjadi bentuk vegetatif yang menghasilkan tetanospasmin pada
keadaan tekanan oksigen rendah, nekrosis jaringan atau berkurangnya potensi oksigen. Masa inkubasi dan beratnya penyakit terutama
ditentukan oleh kondisi luka. Beratnya penyakit terutama berhubungan dengan jumlah dan kecepatan produksi toksin serta jumlah toksin
yang mencapai susunan saraf pusat.
Kuman ini dapat membentuk metaloexotosin tetanus, yang terpenting untuk manusia adalah tetanospasmin. Gejala klinis timbul
sebagai dampak eksotoksin pada sinaps ganglion spinal dan neuromuscular junction serta syaraf otonom. Toksin dari tempat luka
menyebar ke motor endplate dan setelah masuk lewat ganglioside dijalarkan secara intraaxonal kedalam sel saraf tepi, kemudian ke kornu
anterior sumsum tulang belakang, akhirnya menyebar ke SSP.
Manifestasi klinis terutama disebabkan oleh pengaruh eksotoksin terhadap susunan saraf tepi dan pusat. Pengaruh tersebut berupa
gangguan terhadap inhibisi presinaptik sehingga mencegah keluarnya neurotransmiter inhibisi yaitu GABA dan glisin, sehingga terjadi
eksitasi terus-menerus dan spasme. Kekakuan dimulai pada tempat masuk kuman atau pada otot masseter (trismus), pada saat toxin masuk
ke sumsum belakang terjadi kekakuan yang makin berat, pada extremitas, otot-otot bergaris pada dada, perut dan mulai timbul kejang.
Bilamana toksin mencapai korteks cerebri, penderita akan mulai mengalami kejang umum yang spontan. Tetanospasmin pada sistem
saraf otonom juga berpengaruh, sehingga terjadi gangguan pada pernafasan, metabolisme, hemodinamika, hormonal, saluran cerna, saluran
kemih, dan neuromuskular. Spame larynx, hipertensi, gangguan irama jantung, hiperpirexi, hyperhydrosis merupakan penyulit akibat
gangguan saraf otonom, yang dulu jarang dilaporkan karena penderita sudah meninggal sebelum gejala timbul. Dengan penggunaan
diazepam dosis tinggi dan pernafasan mekanik, kejang dapat diatasi namun gangguan saraf otonom harus dikenali dan dikelola dengan
teliti.
Observaasi klinis dan percobaan binatang menunjukkan bahwa pusat pernafasan dapat terkena oleh toksin tetanus. Paralisis
pernafasan tanpa kekakuan otot dan henti jantung dapat terjadi pada pemberian toksin dosis tinggi pada hewan percobaan. Selain itu
ditemukan bahwa penderita mengalami penurunan resistensi terhadap asfiksia. Observasi klinis yang menunjukkan kecurigaan
keterlibatan pusat pernafasan pada penderita tetanus adalah :
Adanya episode distres pernafasan akibat kesulitan bernafas yang berat tanpa ditemukan adanya komplikasi pulmonal,
bronkospasme dan peningkatan sekret pada jalan nafas. Episode ini bervariasi dalam beberapa menit sampai ½-1 jam.
Adanya apnoeic spells, tanda ini biasanya berlanjut menjadi prolonged respiratory arrest (henti nafas berkepanjangan) dan
akhirnya meninggal.
Henti nafas akut dan mati mendadak.
Sekalipun demikian gangguan pusat pernafasan disebabkan oleh penyebab sekunder seperti hipoksia rekuren/berkepanjangan,
asfiksia kaena kejang lama atau spasme laring, hipokapnia setelah serangan distres pernafasan, dan akibat gangguan keseimbangan
asam basa.
5. Gangguan hemodinamika.
Ketidakstabilan sistem kardiovaskular ditemukan penderita tetanus dengan gangguan sistem saraf autonom yang berat. Penelitian
mengenai hemodinamika pada tetanus berat masih sangat jarang dilakukan karena :
Kendala etik
Perjalanan penyakit tetanus sering diperberat oleh komplikasi seperti sepsis, infeksi paru, atelektasis, edema paru dan gangguan
keseimbangan asam-basa, yang kesemua ini mempengaruhi sistem kardio-respirasi
Pemakaian obat sedatif dosis tinggi dan pemakaian obat inotropik mempersulit penilaian dari hasil penelitian.
6. Gangguan metabolik
Metabolik rate pada tetanus secara bermakna meningkat dikarenakan adanya kejang, peningkatan tonus otot, aktifitas berlebihan
dari sistem saraf simpatik dan perubahan hormonal. Konsumsi oksigen meningkat, hal ini pada kasus tertentu dapat dikurangi dengan
pemberian muscle relaxans. Berbagai percobaan memperlihatkan adanya peningkatan ekskresi urea nitogen, katekolamin plasma dan
urin, serta penurunan serum protein terutama fraksi albumin.
Peninggian katekolamin meningkatkan metabolik rate, bila asupan oksigen tidak dapat memenuhi kebutuhan tersebut, misalnya
karena disertai masalah dalam sistem pernafasan maka akan terjadi hipoksia dengan segala akibatnya. Katabolisme protein yang
berat, ketidakcukupan protein dan hipoksia akan menimbulkan metabolisme anaerob dan mengurangi pembentukan ATP, keadaan
ini akan mengurangi kemampuan sistem imunitas dalam mengenali toksin sebagai antigen sehingga mengakibatkan tidak cukupnya
antibodi yang dibentuk. Fenomena ini mungkin dapat menerangkan mengapa pada penderita tetanus yang sudah sembuh
tidak/kurang ditemukan kekebalan terhadap toksin.
7. Gangguan Hormonal
Gangguan terhadap hipotalamus atau jaras batang otak-hipotalamus dicurigai terjadi pada penderita tetanus berat atas dasar
ditemukannya episode hipertermia akut dan adanya demam tanpa ditemukan adanya infeksi sekunder. Peningkatan alertness dan
awareness menimbulkan dugaan adanya aktifitas retikular dari batang otak yang berlebihan. Aksis hipotalamus-hipofise mengandung
serabut saraf khusus yang merangsang sekresi hormon. Aktifitas sekresi oleh serabut saraf tersebut dimodulasi monoamin neuron
lokal. Adanya penurunan kadar prolaktin, TSH, LH dan FSH yang diduga karena adanya hambatan terhadap mekanisme umpan balik
hipofise-kelenjar endokrin.
Bila pembagian derajat tetanus terdiri dari ringan, sedang dan berat, maka derajat tetanus berat meliputi derajat III dan IV
2 Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan temuan klinis dan riwayat imunisasi:
- Adanya riwayat luka yang terkontaminasi, namun 20% dapat tanpa riwayat luka.
- Riwayat tidak diimunisasi atau imunisasi tidak lengkap
- Trismus, disfagia, rhisus sardonikus, kekakuan pada leher, punggung, dan otot perut (opisthotonus), rasa sakit serta kecemasan.
- Pada tetanus neonatorum keluhan awal berupa tidak bisa menetek
- Kejang umum episodik dicetuskan dengan rangsang minimal maupun spontan dimana kesadaran tetap baik.
Temuan laboratorium :
- Lekositosis ringan
- Trombosit sedikit meningkat
- Glukosa dan kalsium darah normal
- Cairan serebrospinal normal tetapi tekanan dapat meningkat
- Enzim otot serum mungkin meningkat
- EKG dan EEG biasanya normal
- Kultur anaerob dan pemeriksaan mikroskopis nanah yang diambil dari luka dapat membantu, tetapi Clostridium tetani sulit
tumbuh dan batang gram positif berbentuk tongkat penabuh drum seringnya tidak ditemukan
- Kreatinin fosfokinase dapat meningkat karena aktivitas kejang (> 3U/ml).
5. Penatalaksanaan
1 Dasar
a. Memutuskan invasi toksin dengan antibiotik dan tindakan bedah
Antibiotik
Penggunaan antibiotik ditujukan untuk memberantas kuman tetanus bentuk vegetatif. Clostridium peka terhadap
penisilin grup beta laktam termasuk penisilin G, ampisilin, karbenisilin, tikarsilin, dan lain-lain. Kuman tersebut juga peka
terhadap klorampenikol, metronidazol, aminoglikosida dan sefalosporin generasi ketiga.
Penisilin G dengan dosis 1 juta unit IV setiap 6 jam atau penisilin prokain 1,2 juta 1 kali sehari.
Penisilin G digunakan pada anak dengan dosis 100.000 unit/kgBB/hari IV selama 10-14 hari.
Pemakaian ampisilin 150 mg/kg/hari dan kanamisin 15 mg/kgBB/hari digunakan bila diagnosis tetanus belum
ditegakkan, kemudian bila diagnosa sudah ditegakkan diganti Penisilin G.
Rauscher (1995) menganjurkan pemberian metronidazole awal secara loading dose 15 mg/kgBB dalam 1 jam
dilanjutkan 7,5 mg/kgBB selama 1 jam perinfus setiap 6 jam. Hal ini pemberian metronidazole secara bermakna
menunjukkan angka kematian yang rendah, perawatan di rumah sakit yang pendek dan respon yang baik terhadap
pengobatan tetanus sedang.
Pada penderita yang sensitif terhadap penisilin maka dapat digunakan tetrasiklin dengan dosis 25-50 mg/kg/hari,
dosis maksimal 2 gr/hari dibagi 4 dosis dan diberikan secara peroral.
Bila terjadi pneumonia atau septikemia diberikan metisilin 200 mg/kgBB/hari selama 10 hari atau metisilin
dengan dosis yang sama ditambah gentamisin 5-7,5 mg/kgBB/hari.
Perawatan luka
Luka dibersihkan atau dilakukan debridemen terhadap benda asing dan luka dibiarkan terbuka. Sebaiknya dilakukan
setelah penderita mendapat anti toksin dan sedasi. Pada tetanus neonatorum tali pusat dibersihkan dengan betadine dan
hidrogen peroksida, bila perlu dapat dilakukan omphalektomi
b. Netralisasi toksin
1. Anti tetanus serum
Dosis anti tetanus serum yang digunakan adalah 50.000-100.000 unit, setengah dosis diberikan secara IM dan setengahnya lagi
diberikan secara IV, sebelumnya dilakukan tes hipersensitifitas terlebih dahulu. Pada tetanus neonatorum diberikan 10.000 unit IV.
Udwadia (1994) mengemukakan sebaiknya anti tetanus serum tidak diberikan secara intrathekal karena dapat menyebabkan
meningitis yang berat karena terjadi iritasi meningen. Namun ada beberapa pendapat juga untuk mengurangi reaksi pada meningen
dengan pemberian ATS intratekal dapat diberikan kortikosteroid IV, adapun dosis ATS yang disarankan 250-500 IU. 2.
2.Human Tetanus Immunuglobulin (HTIG)
Human tetanus imunoglobulin merupakan pengobatan utama pada tetanus dengan dosis 3000-6000 unit secara IM, HTIG
harus diberikan sesegera mungkin. Kerr dan Spalding (1984) memberikan HTIG pada neonatus sebanyak 500 IU IV dan 800-2000
IU intrathekal. Pemberian intrathekal sangat efektif bila diberikan dalam 24 jam pertama setelah timbul gejala. Namun penelitian
yang dilakukan oleh Abrutyn dan Berlin (1991) menyatakan pemberian immunoglobulin tetanus intratekal tidak memberikan
keuntungan karena kandungan fenol pada HTIG dapat menyebabkan kejang bila diberikan secara intrathekal. Pemberian HTIG
500IU IV atau IM mempunyai efektivitas yang sama. Dosis HTIG masih belum dibakukan, Miles (1993) mengemukakan dosis yang
dapat diberikan adalah 30-300IU/kgBB IM, sedangkan Kerr (1991) mengemukakan HTIG sebaiknya diberikan 1000 IU IV dan 2000
IU IM untuk meningkatkan kadar antitoksin darah sebelum debridemen luka.
2. Umum
Penderita perlu dirawat dirumah sakit, diletakkan pada ruang yang tenang pada unit perawatan intensif dengan stimulasi yang
minimal. Pemberian cairan dan elektrolit serta nutrisi harus diperhatikan. Pada tetanus neonatorum, letakkan penderita di bawah
penghangat dengan suhu 36,2-36,5oC (36-37oC), infus IV glukosa 10% dan elektrolit 100-125 ml/kgBB/hari. Pemberian makanan
dibatasi 50 ml/kgBB/hari berupa ASI atau 120 kal/kgBB/hari dan dinaikkan bertahap. Aspirasi lambung harus dilakukan untuk
melihat tanda bahaya. Pemberian oksigen melalui kateter hidung dan isap lendir dari hidung dan mulut harus dikerjakan.
Trakheostomi dilakukan bila saluran nafas atas mengalami obstruksi oleh spasme atau sekret yang tidak dapat hilang oleh
pengisapan. Trakheostomi dilakukan pada bayi lebih dari 2 bulan. Pada tetanus neonatorum, sebaiknya dilakukan intubasi
endotrakhea. Bantuan ventilator diberikan pada :
a.Semua penderita dengan tetanus derajat IV
b.Penderita dengan tetanus derajat III dimana spasme tidak terkendali dengan terapi konservatif dan PaO2 < >
c.Terjadi komplikasi yang serius seperti atelektasis, pneumonia dan lain-lain.
6. Prognosis
Rata-rata angka kematian akibat tetanus berkisar antara 25-75%, tetapi angka mortalitas dapat diturunkan hingga 10-30 persen dengan
perawatan kesehatan yang modern. Banyak faktor yang berperan penting dalam prognosis tetanus. Diantaranya adalah masa inkubasi, masa
awitan, jenis luka, dan keadaan status imunitas pasien. Semakin pendek masa inkubasi, prognosisnya menjadi semakin buruk. Semakin
pendek masa awitan, semakin buruk prognosis. Letak, jenis luka dan luas kerusakan jaringan turut memegang peran dalam menentukan
prognosis. Jenis tetanus juga memengaruhi prognosis. Tetanus neonatorum dan tetanus sefalik harus dianggap sebagai tetanus berat, karena
mempunyai prognosis buruk. Sebaliknya tetanus lokal yang memiliki prognosis baik. Pemberian antitoksin profilaksis dini meningkatkan
angka kelangsungan hidup, meskipun terjadi tetanus.
7. Tata Laksana
Pencegahan sangat penting, mengingat perawatan kasus tetanus sulit dan mahal. Untuk pencegahan, perlu dilakukan
1 Imunisasi aktif
Imunisasi dengan toksoid tetanus merupakan salah satu pencegahan yang sangat efektif. Angka kegagalannya relatif
rendah. Terdapat dua jenis toksoid tetanus yang tersedia –adsorbed (aluminium salt precipitated) toxoid dan fluid toxoid. Toksoid
tetanus tersedia dalam kemasan antigen tunggal, atau dikombinasi dengan toksoid difteri sebagai DT atau dengan toksoid difteri
dan vaksin pertusis aselular sebagai DPT. Kombinasi toksoid difteri dan tetanus (DT) yang mengandung 10-12 Lf dapat diberikan
pada anak yang memiliki kontraindikasi terhadap vaksin pertusis. Jenis imunisasi tergantung dari golongan umur dan jenis
kelamin.
Tetanus Toxoid harus diberikan jika riwayat booster terakhir lebih dari 10 tahun dan jika riwayat imunisasi tidak
diketahui. Jika riwayat imunisasi terakhir lebih dari 10 tahun yang lalu, maka HTIG (Human Tetanus Immunoglobulin) juga
harus diberikan. Dosis TT (tetanus toxoid) pada usia > 7 tahun adalah 0,5 ml IM. Untuk usia< 7 tahun, gunakan DPT atau DtaP
sebagai pengganti TT. Jika kontraindikasi terhadap pertusis, berikan DT dengan dosis 0,5 ml IM. Semua individu dewasa yang
imun secara parsial atau tidak sama sekali hendaknya mendapatkan vaksin tetanus. Serial vaksinasi untuk dewasa terdiri atas tiga
dosis:
- Dosis pertama dan kedua diberikan dengan jarak 4-8 minggu
- Dosis ketiga diberikan 6-12 bulan setelah dosis pertama.
- Dosis ulangan diberikan tiap 10 tahun dan dapat diberikan pada usia dekade pertengahan seperti 35, 45 dan seterusnya.
2. Perawatan Luka
Perawatan luka harus segera dilakukan terutama pada luka tusuk, luka kotor atau luka yang diduga tercemar dengan spora
tetanus. Perawatan luka dilakukan guna mencegah timbulnya jaringan anaerob. Jaringan nekrotik dan benda asing harus dibuang.
Untuk pencegahan kasus tetanus neonatorum sangat bergantung pada penghindaran persalinan yang tidak aman, aborsi serta
perawatan tali pusat selain dari imunisasi ibu. Pada perawatan tali pusat, penting diperhatikan hal-hal berikut ini :
- Jangan membungkus punting tali pusat/mengoleskan cairan/bahan apapun ke dalam punting tali pusat
-Mengoleskan alkohol/povidon iodine masih diperkenankan tetapi tidak dikompreskan karena menyebabkan tali pusat lembab.
DAFTAR PUSTAKA
1. Ningsih S, Witarti N. Tetanus. 2007. Available from: www.pediatrik.com/pediatrik/061031-joiq163.doc. Accessed: 18 Agustus 2015.
2. MS, Herry Garna, Aleh Ch, Djatnika S. Penyakit Infeksi dan Tropis. Dalam : Herry Garna, Heda Melinda, Sri Endah Rahayuningsih. Lubis
UN. Tetanus Lokal pada Anak. 2004. Available from: www.kalbe.co.id/files/cdk/files/15. Accessed: 18 Agustus 2015. Azhali Pedoman
Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak, edisi FKUP/RSHS, Bandung, 2005 ; 209-213.
3. Azhali MS, Herry Garna, Aleh Ch, Djatnika S. Penyakit Infeksi dan Tropis. Dalam : Herry Garna, Heda Melinda, Sri Endah
Rahayuningsih. Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak, edisi 3. FKUP/RSHS, Bandung, 2005 ; 209-213
4. Rauscher LA. Tetanus. Dalam :Swash M, Oxbury J, penyunting. Clinical Neurology. Edinburg : Churchill Livingstone, 1991 ; 865-871
5. Behrman, Richard E., MD; Kliegman, Robert M.,MD ; Jenson Hal. B.,MD, Nelson Textbook of Pediatrics Vol 1” 17th edition W.B.
Saunders Company. 2004
6. Udwadia FE, Tetanus. Bombay: Oxford University Press, 1993 : 305
7. Soedarmo, Sumarrno S.Poowo; Garna, Herry; Hadinegoro Sri Rejeki S, Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak, Infeksi & Penyakit Tropis, Edisi
pertama, Ikatan Dokter Anak Indonesia.
8. WHO News and activities. The Global Eliination of neonatal tetanus : progress to date, Bull WHO 1994; 72 : 155-157
9. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid III Edisi IV. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Jakarta.2006.p 1777-1784
10. Widoyono. Penyakit Tropis epidemiology, penularan, pencegahan dan pemberantasannya. Edisi I Penerbit Erlangga. 2008 : p 29-33.