REFERAT
SEPSIS
Disusun Oleh:
Pembimbing:
dr. Hesti Nila Mayasari, Sp. P
Telah disetujui dan disahkan oleh bagian Program Pendidikan Profesi Fakultas
Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta pada….
Pembimbing:
dr. Hesti Nila Mayasari, Sp. P
(………………………..)
Dipresentasikan di hadapan:
dr. Hesti Nila Mayasari, Sp. P
(………………………..)
2. DEFINISI
Sepsis didefinisikan sebagai suatu sindrom yang melibatkan kelainan
fisiologis, patologis, dan biokimiawi yang disebabkan oleh infeksi. Pada abad
keempat SM, Hippocrates pertama kali mengusulkan istilah “σήψις” ( sepsis),
dengan sepsis dianggap sebagai proses pembusukan atau dekomposisi bahan
organik . Aulus Cornelius Celsus dan Galen menggambarkan karakteristik
peradangan sebagai kemerahan, bengkak, demam, nyeri, dan hilangnya fungsi.
Pada tahun 1914, Schottmueller menemukan bahwa sepsis adalah suatu jenis
respon sistem pejamu yang ditimbulkan oleh mikroorganisme patogen yang
menjalani sirkulasi darah dan menyebabkan inflamasi sistemik yang berlebihan.
3. ETIOLOGI
Penyebab terbesar sepsis adalah bakteri Gram negatif (60-70% kasus).
Staphylococci, pneumococci, streptococci, dan bakteri Gram positif lain lebih
jarang menimbulkan sepsis dengan angka kejadian antara 20-40% dari seluruh
angka kejadian sepsis. Jamur oportunistik, virus, atau protozoa juga dilaporkan
dapat menimbulkan sepsis dengan kekerapan lebih jarang. Terdapatnya
lipopolisakarida (LPS) atau endotoksin glikoprotein yang merupakan komponen
utama dari membran terluar bakteri gram negatif berpengaruh terhadap stimulasi
pengeluaran mediator proinflamasi, kemudian menyebabkan terjadi inflamasi
sistemik dan jaringan. Peptidoglikan merupakan komponen dinding sel kuman
dilaporkan juga dapat menstimulasi pelepasan sitokin, juga berperan penting
dalam proses agregasi trombosit. Dari semua faktor diatas, faktor yang paling
penting adalah LPS endotoksin gram negatif dan dinyatakan sebagai penyebab
sepsis terbanyak. LPS dapat langsung mengaktifkan sistem imun selular dan
humoral, yang dapat menimbulkan perkembangan gejala septikemia. LPS sendiri
tidak mempunyai sifat toksis, tetapi merangsang pengeluaran mediator inflamasi
yang bertanggung jawab terhadap sepsis. Makrofag mengeluarkan polipeptida,
yang disebut faktor nekrosis tumor (Tumor necrosis factor/TNF) dan interleukin
1 (IL-1), IL-6 dan IL-8 yang merupakan mediator kunci dan sering meningkatkan
sangat tinggi pada penderita immunocompromise (IC) yang mengalami sepsis.
4. EPIDEMIOLOGI
Sepsis masih menjadi penyebab kematian utama di beberapa negara Eropa
setelah infark miokard akut, stroke, dan trauma. Hampir 50% pasien intensive
care unit (ICU) merupakan pasien sepsis. Angka kematian disebabkan sepsis di
ICU RSUP dr Kandou Manado sebesar 65,7%. Di RSUP dr Soetomo Surabaya,
angka syok septik sebesar 14,58%, dan 58,33% sisanya sepsis. Salah satu
penyebab kematian disebabkan karena terlambatnya penanganan awal sepsis
terutama saat masih di Unit Gawat Darurat; keterlambatan ini sering disebabkan
menunggu hasil laboratorium atau pemeriksaan penunjang lain. Penanganan
pasien syok septik harus segera dilakukan pada 1 jam awal.
7. DIAGNOSIS
Diagnosis sepsis berdasarkan pada infeksi dan kerusakan organ. Prosedur
diagnosis dasar untuk mendiagnosis infeksi pada pasien yang diduga mengalami
sepsis adalah mencari letak infeksi dan mengidentifikasi patogen penyebab.
Analisis serum melalui kultur darah dan teknik molekuler digunakan untuk
menentukan infeksi dalam diagnosis sepsis. Beberapa teknik molekuler yang
dapat digunakan untuk mengetahui patogen penyebab infeksi adalah PCR,
metode amplifikasi isotermal, dan teknik hibridisasi. Letak dari terjadinya infeksi
perlu dikonfirmasi dengan melakukan USG, X-Ray, atau CT-scan.
Membantu menentukan apakah infeksi didapatkan dari komunitas atau
nosokomial dan apakah pasien imonokompromis. rincian yang harus diketahui
meliputi paparan pada hewan, perjalanan, gigitan tungau, bahaya di tempat kerja,
penggunaan alkohol, seizure, hilang kesadaran, medikasi dan penyakit dasar yang
mengarahkan pasien kepada agen infeksius tertentu.
a) Manifestasi Klinis
Beberapa tanda terjadinya sepsis meliputi:
i. Demam atau tanda yang tak terjelaskan disertai keganasan atau
instrumentasi
ii. Hipotensi, oliguria atau anuria
iii. Ttakipnea atau hiperpnea, hipotermia tanpa penyebab jelas
iv. Perdarahan
b) Pemeriksaan Fisik
Perlu dilakukan pemeriksaan fisik yang menyeluruh. Pada semua
pasien neutropenia dan pasien dengan dugaan infeksi pelvis, pemeriksaan
fisik harus meliputi pemeriksaan rektum, pelvis, dan genital. Pemeriksaan
tersebut akan mengungkap abses rektal, perirektal, dan atau perineal,
penyakit dan atau abses inflamasi pelvis, atau prostatitis.
c) Pemeriksaan Laboratorium
Data laboratorium
Uji laboratorium meliputi complete blood count (CBC) dengan hitung
diferensial, urinalisis, gambaran koagulasi, glukosa, urea darah, nitrogen,
kreatinin, elektrolit, uji fungsi hati, kadar asam laktat, dan gas darah arteria.
Biomarker terbaik sebagai penanda terjadinya infeksi adalah prokalsitonin.
Biomarker dapat dengan mudah dideteksi menggunakan biosensor, yang
merupakan perangkat berbasis nanoteknologi. Beberapa biomarker yang
berhasil dideteksi dalam diagnosis sepsis antara lain adalah prokalsitonin
(PCT), CRP, dan IL-6.
Peningkatan PCT mencapai 2.0 ng/ml menunjukkan peningkatan
risiko terjadinya sepsis atau syok sepsis (normal < 0,05 mg/ml). Asam laktat
merupakan penanda penting adanya disfungsi organ. Level laktat > 2 mmol/L
merupakan salah satu kriteria sepsis berat, > 4 mmol/L menunjukkan
terjadinya syok sepsis. Selain IL-6, IL-8 dan IL-10 juga banyak digunakan
dalam beberapa penelitian untuk mendiagnosis sepsis. Kadar IL-6 dan IL-10
behubungan dengan angka kematian pada pasien sepsis. IL-8 telah digunakan
untuk memprediksi keparahan sepsis pada pasien anak, meskipun kegunaan
IL-8 belum dikonfirmasi pada orang dewasa.
Temuan Lab Lain
i. Sepsis awal: leukositosis dengan shift kiri, trombositopenia,
hiperbilirubinemia, dan proteinuria. dapat terjadi leukopenia. neutrofil
mengandung granulosis toksik, badan dohle, atau vakuola sitoplasma.
hiperventilasi menimbulkan alkalosis respiratori. hipoksemia dapat
dikoreksi dengan oksigen. penderita diabetes dapat mengalami
hiperglikemia. lipid serum meningkat.
ii. Selanjutnya: trombositopenia memburuk disertai perpanjangan waktu
trombin, penurunan fibrinogen, dan keberadaan D-dimer yang
menunjukan DIC. azotemia dan hiperbilirubinemia lebih dominan.
aminotransferase meningkat. bila otot pernapasan lelah, terjadi
akumulasi serum laktat. asidosis metabolik terjadi setelah alkalosis
respiratori. hipoksemia tidak dapat dikoreksi bahkan dengan oksigen
100%. hiperglikemia diabetik dapat menimbulkan ketoasidosis yang
memperburuk hipotensi.
d) Pemeriksaan Penunjang
i. Foto thoraks (untuk menyingkirkan pneumonia dan mendiagnosis
penyebab lain dari infiltrat paru)
ii. CT-Scan dada (untuk mengevaluasi lebih lanjut untuk pneumonia atau
patologi paru lainnya)
iii. Ultrasonografi perut (untuk dugaan obstruksi saluran empedu)
iv. CT-Scan abdomen atau MRI (untuk menilai sumber infeksi intra-
abdomen non-bilier yang dicurigai atau menggambarkan patologi
intrarenal dan ekstrarenal)
v. Pencitraan jaringan lunak spesifik lokasi, termasuk ultrasonografi,
pemindaian CT, atau MRI (untuk menilai kemungkinan abses,
pengumpulan cairan, atau infeksi kulit nekrotikans)
vi. CT-Scan dengan kontras atau MRI otak/leher (untuk menilai
kemungkinan massa, abses, pengumpulan cairan, atau infeksi
nekrotikans)
e) SOFA Skor (The Sequential Organ Failure Assessment)
SOFA adalah sistem penilaian objektif untuk menentukan disfungsi
organ utama, berdasarkan kadar oksigen, jumlah trombosit, skor GCS, kadar
bilirubin, kadar kreatinin (atau keluaran urin), dan tekanan arteri rata-rata. Ini
secara rutin digunakan dalam praktik klinis dan penelitian untuk melacak
kegagalan organ individu dan agregat pada pasien yang sakit kritis. Tetapi
informasi yang dibutuhkan sulit untuk dikumpulkan dan biasanya tidak
tersedia di samping tempat tidur untuk membantu pengambilan keputusan
klinis. Skor SOFA mengidentifikasi kegagalan organ dalam enam sistem dan
memberikan 0–4 poin untuk setiap sistem.
f) qSOFA
Singer dkk. membandingkan SOFA dan SIRS dan mengidentifikasi 3
prediktor independen disfungsi organ yang terkait dengan hasil buruk pada
sepsis untuk menciptakan qSOFA yang disederhanakan:
i. Frekuensi pernapasan ≥ 22 kali/menit
ii. Tekanan darah sistolik ≤ 100 mm Hg atau lebih rendah
iii. Perubahan status mental (skor Skala Koma Glasgow < 15).
Skor qSOFA 2 atau lebih dengan infeksi yang dicurigai atau
dikonfirmasi diusulkan sebagai pemicu untuk pengobatan agresif, termasuk
pemantauan yang sering dan masuk ICU. qSOFA memiliki keunggulan
karena unsur-unsurnya mudah diperoleh dalam praktik klinis.
8. DIAGNOSIS BANDING
a) Emboli paru akut
Emboli paru adalah ketika gumpalan darah (trombus) bersarang di
arteri di paru-paru dan menghalangi aliran darah ke paru-paru. Pasien dengan
emboli paru dapat hadir dengan gejala atipikal. Gejala-gejala ini termasuk
kejang, sinkop, sakit perut, demam, batuk produktif, mengi, penurunan
tingkat kesadaran, awitan dini fibrilasi atrium, sakit pinggang, delirium (pada
pasien lanjut usia).
b) Infark miokard akut
Infark miokard, umumnya dikenal sebagai serangan jantung, adalah
nekrosis ireversibel otot jantung sekunder akibat iskemia yang
berkepanjangan. Pasien dengan Infark miokard tipikal mungkin memiliki
gejala prodromal berupa kelelahan, ketidaknyamanan dada, atau malaise
pada hari-hari sebelum kejadian; sebagai alternatif, STEMI tipikal dapat
terjadi tiba-tiba, tanpa peringatan.
c) Pankreatitis akut
Pankreatitis adalah proses inflamasi di mana enzim pankreas
mencerna kelenjar secara otomatis. Gejala utama pankreatitis akut adalah
nyeri perut, yang secara khas tumpul, membosankan, dan menetap. Mual dan
muntah sering hadir, bersama dengan anoreksia yang menyertainya. Diare
juga bisa terjadi.
9. TATALAKSANA
a) Pengukuran Kadar Laktat
Peningkatan kadar laktat dapat menunjukkan beberapa kondisi di
antaranya hipoksia jaringan, peningkatan glikolisis aerobik yang disebabkan
peningkatan stimulasi beta adrenergik atau pada beberapa kasus lain.
Peningkatan kadar laktat >2mmol/L harus diukur pada kondisi 2-4 jam awal
dan dilakukan tindakan resusitasi segera.
b) Kultur Darah
Pengambilan kultur darah dilakukan segera, hal tersebut berguna
untuk meningkatkan optimalisasi pemberian antibiotik dan identifikasi
patogen. Kultur darah sebaiknya dalam 2 preparat terutama untuk kuman
aerobik dan anaerobik. Pengujian kultur juga dapat menyingkirkan penyebab
sepsis, apabila infeksi patogen tidak ditemukan maka pemberian antibiotik
dapat dihentikan.
c) Antibiotik Spektrum Luas
Pemberian antibiotik spektrum luas sangat direkomendasikan pada
manajemen awal. Pemilihan antibitiotik disesuaikan dengan bakteri empirik
yang ditemukan.
d) Cairan Intravena
Pemberian cairan merupakan terapi awal resusitasi pasien sepsis, atau
sepsis dengan hipotensi dan peningkatan serum laktat. Cairan resusitasi
adalah 30 ml/kgBB cairan kristaloid; tidak ada perbedaan manfaat antara
koloid dan kristaloid. Pada kondisi tertentu seperti penyakit ginjal kronis,
dekompensasi kordis, harus diberikan lebih hati-hati. Beberapa teknik untuk
menilai respon:
i. Passive leg raising test. Penilaian ini untuk menilai pasien sepsis
kategori responder atau non-responder, dengan sensitivitas 97% dan
spesifisitas 94%. Bila pulse pressure bertambah > 10% dari baseline,
dianggap responder. Penilaian ini bertujuan untuk menilai peningkatan
cardiac output dengan penambahan volume.
ii. Fluid challenge test . Mengukur kemaknaan perubahan isi sekuncup
jantung (stroke volume) atau tekanan sistolik arterial, atau tekanan nadi
(pulse pressure). Pemberian cairan dapat mengembalikan distribusi
oksigen dalam darah dan perfusi ke organ vital untuk mencegah ganguan
kerusakan organ.
iii. Stroke Volume Variation (SVV). Penilaian variasi isi sekuncup jantung
akibat perubahan tekanan intra-toraks saat pasien menggunakan ventilasi
mekanik. Syarat penilaian responsivitas cairan dengan metode ini adalah:
1. Pasien dalam kontrol ventilasi mekanis penuh
2. Volume tidal 8-10 mL/kgBB (predicted body weight),
3. Tidak ada aritmia. Pasien masuk kategori responder bila SVV ≥12%.
Selain SVV, Pulse Pressure Variation (PPV) juga dapat dipergunakan
untuk menilai responsivitas cairan.
e) Pemberian Vasopressor
Manajemen resusitasi awal bertujuan untuk mengembalikan perfusi
jaringan, terutama perfusi organ vital. Jika tekanan darah tidak meningkat
setelah resusitasi cairan, pemberian vasopressor tidak boleh ditunda.
Vasopressor harus diberikan dalam 1 jam pertama untuk mempertahankan
MAP >65 mmHg. Dalam review beberapa literatur ditemukan pemberian
vasopressor/inotropik sebagai penanganan awal dari sepsis.
f) Pemilihan Vasopressor
Norepinefrin direkomendasi sebagai vasopresor lini pertama.
Penambahan vasopressin (sampai 0,03 U/menit) atau epinefrin untuk
mencapai target MAP dapat dilakukan. Dopamin sebagai vasopresor
alternatif norepinefrin hanya direkomendasikan untuk pasien tertentu,
misalnya pada pasien berisiko rendah takiaritmia dan bradikardi relatif.
Penggunaan dopamin dosis rendah untuk proteksi ginjal sudah tidak
direkomendasikan lagi. Dobutamin disarankan diberikan pada hipoperfusi
menetap meskipun sudah diberi cairan adekuat dan vasopresor.
Dobutamine
Kontraindikasi dobutamin
Dobutamin kontraindikasi jika digunakan pada pasien dengan
riwayat hipersensitivitas terhadap obat ini. Penggunaan harus berhati-
hati karena dapat menyebabkan eksaserbasi detak ektopik ventrikular.
Dobutamin sebaiknya tidak diberikan pada ibu hamil kecuali jika
manfaat lebih besar dibanding risiko. Dobutamin kontraindikasi untuk
digunakan pada pasien dengan riwayat hipersensitivitas terhadap obat
ini atau komponen lainnya, dan pada pasien dengan idiopatik hipertrofi
subaortik stenosis.
Norepinephrine
Dosis Dewasa
Dosis norepinephrine yang direkomendasikan adalah 0,01-
3,3 mcg/ kgBB/ menit secara infus IV. Norepinephrine dapat
diberikan melalui kateter sentral segera setelah tersedia. Titrasi
dosis norepinephrine dengan peningkatan 0,02 mcg/ kgBB/ menit
atau lebih dalam kasus darurat.
Dosis Anak
Dosis norepinephrine yang direkomendasikan adalah 0,05-
0,1 mcg/ kgBB/ menit dan titrasi dilakukan dengan dosis
pemberian tidak melebihi 2 mcg/ kgBB/ menit.
Catatan :
Pertimbangkan dopamin vasopressor alternatif jika terdapat sinus
bradikardia. Pertimbangkan pemberian fenilefrin apabila timbul takiaritmia
berbahaya akibat pemberian norepinefrin atau epinefrin. Berdasarkan
penelitian seusai dengan EBM tidak ditemukan batasan pemberian
norepinefrin , epinefrin dan fenilefrin. Rentang dosis yang dicantumkan pada
alogritma ini berdasarkan pengalaman peneliti. Dosis maksimal dievaluasi
berdasarkan respons fisiologis dapat diberikan sampai dosis 20
ug/kgBB/menit atau ditambahkan bersama vasopresor lain apabila terdapat:
disfungsi miokard yang ditandai peningkatan tekanan pengisisan jantung dan
curah jantung yang rendah dan penurunan perfusi yang terus berlanjut
meskipun volume intravaskular dan tekanan rerata arteri adekuat telah
tercapai. Dobutamin tidak dipakai untuk meningkatkan indeks curah jantung
sampai supranormal. Steroid dapat digunakan apabila dengan norepinefrin
target MAP masih belum tercapai.
g) Indikator Keberhasilan Resusitasi Awal
i. Evaluasi Mean Arterial Pressure (MAP)
MAP merupakan driving pressure untuk perfusi jaringan atau
organ terutama otak dan ginjal. Batas rekomendasinya adalah 65 mmHg.
Penetapan target MAP yang lebih tinggi (85 mmHg dibandingkan 65
mmHg) justru meningkatkan risiko aritmia. Target MAP lebih tinggi
mungkin perlu dipertimbangkan pada riwayat hipertensi kronis.
ii. Laktat
Laktat sebagai penanda perfusi jaringan dianggap lebih objektif
dibandingkan pemeriksaan fisik atau produksi urin. Keberhasilan
resusitasi pasien sepsis dapat dinilai dengan memantau penurunan kadar
laktat, terutama jika awalnya mengalami peningkatan kadar laktat.
iii. Tekanan Vena Sentral (CVP) dan Saturasi Vena Sen- tral (SvO2)
Tekanan CVP normal adalah 8-12 mmHg. CVP sebagai
parameter panduan tunggal resusitasi cairan tidak direkomendasikan
lagi.15 Jika CVP dalam kisaran normal (8-12 mmHg), kemampuan CVP
untuk menilai responsivitas cairan (setelah pemberian cairan atau fluid
challenge) terbukti tidak akurat. Penggunaan target CVP secara absolut
seharusnya dihindari, karena cenderung mengakibatkan resusitasi cairan
berlebihan.
iv. CO2 gap (Perbedaan kadar karbondioksida arteri dan vena (Pv-a
CO2)
Peningkatan produksi CO2 merupakan salah satu gambaran
metabolisme anaerob. Jika peningkatan kadar laktat disertai peningkatan
Pv- aCO2 atau peningkatan rasio Pv-aCO2 terhadap Ca-vO2,
kemungkinan besar penyebabnya adalah hipoperfusi.
10. KOMPLIKASI
a) ARDS
ARDS sedang atau berat merupakan komplikasi utama sepsis dan
syok septik. ARDS sekunder untuk sepsis menunjukkan manifestasi dari
sepsis yang mendasari dan disfungsi organ multipel terkait. Manifestasi paru
termasuk distres pernapasan akut dan gagal napas akut akibat hipoksemia
berat yang disebabkan oleh pirau intrapulmoner. Demam dan leukositosis
dapat terjadi sekunder akibat inflamasi paru.
b) Gagal Ginjal Akut
Sepsis adalah penyebab paling umum dari GGA, yang mempengaruhi
40-70% dari semua pasien sakit kritis. GGA mempersulit terapi dan
memperburuk hasil keseluruhan. Ada peningkatan risiko kematian ketika
urosepsis hadir dengan sepsis dan syok septik; namun, prognosis global
untuk pasien dengan urosepsis lebih baik daripada mereka dengan sepsis dari
tempat infeksi lain.
c) Komplikasi lain:
i. DIC (juga terjadi pada 40% pasien dengan syok septik)
ii. Disfungsi ginjal kronis
iii. Iskemia mesenterika
iv. Iskemia dan disfungsi miokard
v. Gagal hati
vi. Komplikasi lain yang berhubungan dengan hipotensi berkepanjangan
dan disfungsi organ
11. PROGNOSIS
Prognosis pasien yang sudah mengalami syok sepsis bersifat kurang baik.
Mortalitas pada kasus sepsis berat mencapai 25-30%, dan pada syok sepsis 40-
70%. Tingkat mortalitas pada syok sepsis bergantung pada berbagai faktor,
termasuk patogen yang mendasari, sensitivitas antibiotik, organ yang terlibat, dan
usia pasien. Bukti ilmiah yang ada juga menunjukkan bahwa adanya takipnea dan
gangguan kesadaran merupakan prediktor luaran yang buruk.
12. EDUKASI
Edukasi yang perlu diberikan dokter kepada pasien sepsis adalah pencegahan
infeksi, pola hidup bersih dan sehat, dan mengenali tanda dan gejala.
Pencegahan Infeksi
Pencegahan infeksi merupakan kunci utama mencegah terjadinya sepsis.
Pencegahan yang dapat dilakukan adalah menjaga kesehatan terutama pada
pasien-pasien dengan kondisi penyakit kronik dan penggunaan agen
imunosupresan. Lakukan vaksinasi yang direkomendasikan, seperti vaksinasi
influenza dan pneumonia.
Pola Hidup Bersih dan Sehat
Selalu mencuci tangan sebelum dan setelah makan atau buang air.
Apabila terdapat luka sebaiknya dilakukan perawatan luka dengan baik sampai
luka benar-benar sembuh.
Mengenali Tanda dan Gejala
Pasien dan keluarga dengan faktor risiko perlu diedukasi adanya tanda
dan gejala systemic inflammatory response syndrome (SIRS) atau sepsis berupa
peningkatan denyut jantung, demam tinggi, menggigil, disorientasi, dyspnea,
nyeri yang berat, atau diaphoresis. Periksakan diri ke dokter apabila dirasa timbul
tanda dan gejala tersebut atau mengalami sakit infeksi yang tidak kunjung
sembuh.
13. KESIMPULAN
Sepsis didefinisikan sebagai suatu sindrom yang melibatkan kelainan
fisiologis, patologis, dan biokimiawi yang disebabkan oleh infeksi yang sebagian
besar disebabkan oleh bakteri gram negatif. Diagnosis sepsis dapat ditentukan
dengan menggunakan skor SOFA atau qSOFA. Sepsis harus segera ditangani.
Beberapa komplikasi penyakit dapat terjadi apabila sepsis tidak segera ditangani
bahkan sampai dapat menyebabkan kematian.
DAFTAR PUSTAKA
Bokhari, A. M., 2019. Bacterial Sepsis. URL:
https://emedicine.medscape.com/article/234587-overview. Diakses tanggal 01
Agustus 2022
Centers for Disease Control and Prevention. How Can I Get Ahead of Sepsis.
Available from: https://www.cdc.gov/sepsis/prevention/index.html
Dugar, S., Choudhary, C. and Duggal, A., 2020. Sepsis and septic shock: Guideline-
based management. Cleveland Clinic Journal of Medicine, 87(1), pp.53-64.
Evans, T., 2018. Diagnosis and management of sepsis. Clinical Medicine, 18(2),
p.146.
Gauer R. Early Recognition and Management of Sepsis in Adults: The First Six
Hours. AFP. 2013 Jul 1;88(1):44–53.
Gyawali, B., Ramakrishna, K. and Dhamoon, A.S., 2019. Sepsis: The evolution in
definition, pathophysiology, and management. SAGE open medicine, 7,
p.2050312119835043.
Huang M, Cai S, Su J. The Pathogenesis of Sepsis and Potential Therapeutic Targets.
Int J Mol Sci. 2019 Oct 29;20(21):5376. doi: 10.3390/ijms20215376. PMID:
31671729; PMCID: PMC6862039.
Kalil, A., 2020. Septic Shock. URL: https://emedicine.medscape.com/article/168402-
overview. Diakses tanggal 01 Agustus 2022.
Mahapatra S, Heffner AC. Septic Shock. [Updated 2020 Nov 21]. In: StatPearls.
Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2020 Jan-. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK430939/
Pant, A., Mackraj, I. and Govender, T., 2021. Advances in sepsis diagnosis and
management: a paradigm shift towards nanotechnology. Journal of Biomedical
Science, 28(1), pp.1-30.
Pirozzi, N., Rejali, N., Brennan, M., Vohra, A., McGinley, T., & Krishna, M. G.
(2016). Sepsis: epidemiology, pathophysiology, classification, biomarkers and
management.
Singer M, Deutschman CS, Seymour CW, Shankar-Hari M, Annane D, Bauer M, et al.
The Third International Consensus Definitions for Sepsis and Septic Shock
(Sepsis-3). JAMA. 2016 Feb 23;315(8):801–10.
Toker, A.K., Kose, S. and Turken, M., 2021. Comparison of SOFA Score, SIRS,
qSOFA, and qSOFA+ L Criteria in the Diagnosis and Prognosis of Sepsis. The
Eurasian journal of medicine, 53(1), p.40.