Anda di halaman 1dari 34

MAKALAH

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah


Kapita Selekta Farmasi Klinik
SEPSIS

Disusun Oleh :
Budhy Indriani (1061711024)
Diana Novitasari (1061811034)
Dinar Titik Asmarani (1061811035)
Esti Dewi Lukitasari (1061811040)
Farida Ulfa Srikurniati (1061811041)

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER


SEKOLAH TINGGI ILMU FARMASI “YAYASAN PHARMASI”
SEMARANG
2018
BAB I
PENDAHULUAN

Sepsis merupakan kondisi klinis yang disebabkan oleh respon sistemik


tubuh terhadap infeksi (Hidayati dkk., 2016). Definisi sepsis yang ditetapkan
dalam consensus American College of Chest Physician and Society of Critical
Care Medicine pada tahun 1992 yang menyebutkan bahwa sepsis sebagai sindrom
respons inflamasi sistemik (systemic inflammatory response syndrome/ SIRS),
sepsis berat dan syok/renjatan sepsis (Chen dkk., 2009).
Respon imun maupun karakteristik infeksi yang disebabkan oleh
mikroorganisme mempunyai pengaruh yang besar dalam menentukan tingkat
morbiditas pada sepsis. Sepsis dengan kegagalan fungsi organ primer terjadi
ketika respon tubuh terhadap infeksi tidak cukup kuat. Permasalahan sepsis
terletak pada karakteristik dari mikroorganisme, beratnya infeksi serta adanya
superantigen maupun agen toksik lainnya yang resisten terhadap antibodi maupun
fagositosis (Russell, 2012).
Sepsis merupakan penyebab utama mortalitas dan morbiditas, terutama
selama lima hari pertama kehidupan dan di negara-negara berpenghasilan rendah
dan menengah. Sepsis merupakan satu di antara sepuluh penyebab kematian di
Amerika Serikat. Angka kejadian sepsis tercatat 750.000 setiap tahunnya dan
kematian sekitar 2% kasus terkait dengan severe sepsis (Angus dan Poll, 2013).
Tingkat penyebaran penyakit sepsis di Indonesia yang diperoleh dari rumah sakit
Sutomo adalah sepsis berat sebesar 27,08%, syok septik sebesar 14,58%,
sedangkan sisanya 58,33% hanya dalam keadaan sepsis (Irawan dkk., 2012).
Sepsis dan syok septik dapat mengenai anak yang dirawat di ruang rawat
inap dan ruang rawat intensif dengan angka kematian lebih tinggi pada anak yang
disertai imunodefisiensi. Pada orang dewasa, beberapa telah berspekulasi bahwa
kondisi medis komorbid seperti kanker, HIV, diabetes dan penyalahgunaan
alkohol dapat mempunyai efek terhadap progresivitas penyakit sepsis.
Sepsis sebagaimana telah disebutkan di atas, merupakan suatu sindrom
dengan dampak yang besar, baik dari segi morbiditas, mortalitas maupun biaya
yang dikeluarkan untuk menatalaksana pasien rawat inap. Sepsis merupakan
masalah kesehatan dunia karena patogenesisnya yang sangat kompleks dan
pengobatannya yang sulit serta angka mortalitas yang tinggi dan kejadiannya
masih terus meningkat. Pengertian sepsis baik dari segi patofisiologi maupun
manifestasi klinis serta tatalaksananya amat penting dalam hal menentukan
keberhasilan perawatan sepsis.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Sepsis


Sepsis adalah penyakit sistemik yang disebabkan oleh infeksi bakteri, virus,
jamur atau toksinnya ditandai dengan beberapa hal meliputi bukti infeksi pada
pasien, demam (>38oC atau <36oC) atau hipertermi, leukositosis atau leukopenia,
takikardia atau takipnea dan peningkatan maupun penurunan jumlah neutrofil
imatur lebih dari 10%. Standart diagnosis baku sepsis adalah ditemukannya
bakteri dalam darah ditambah dengan gejala klinis berupa gangguan multi organ
(Rudolph dkk., 2014).
Syok septik merupakan sepsis dengan tekanan darah arteri <90 mmHg atau
turun >40 mmHg di bawah tekanan darah normal pasien tersebut selama
sekurang-kurangnya 1 jam meskipun telah dilakukan resusitasi cairan atau
dibutuhkan vasopressor untuk mempertahankan agar tekanan darah sistolik tetap
≥90 mmHg atau tekanan arterial rata-rata ≥70 mmHg. Sepsis berat adalah keadaan
penyakit sistemik disebabkan oleh invasi mikroorganisme pada bagian tubuh yang
biasanya steril disertai dengan gejala hipoperfusi atau disfungsi minimal satu
sistem organ. (Lever dan Mackenzie, 2007).
2.2 Etiologi
Penyebab terbesar sepsis adalah infeksi bakteri terutama gram negatif
seperti Escherichia coli, Klebsiella dengan Enterobacter, Proteus, Pseudomonas,
Serratia, Neisseria meningitidis. Dinding bakteri akan menghasilkan berbagai
produk yang dapat menstimulasi sel imun dan memacu pelepasan mediator
inflamasi berupa lipopolisakarida (LPS) atau endotoksin glikoprotein kompleks.
Struktur lipid A dalam jaringan LPS bertanggung jawab terhadap reaksi dalam
tubuh penderita yang terinfeksi dengan merangsang peradangan jaringan, demam,
dan syok. Selain itu, bakteri gram positif (Stafilakokus, pneumococcus,
streptococcus, dll.), jamur opportunistik, virus (dengue dan herpes) atau protozoa
(Falciparum malariae) dilaporkan dapat menyebabkan sepsis (Guntur, 2009).
Contoh bakteri penyebab terjadinya sepsis diantaranya :
Tabel 1. Penyebab Umum Sepsis pada Orang Sehat (Moss dkk., 2012)
Sumber Lokasi Mikroorganisme

Kulit Staphylococcus aureus dan gram positif bentuk


cocci lainnya
Saluran kemih Eschericia coli dan gram negatif bentuk batang
lainnya
Saluran pernapasan Streptococcus pneumonia

Usus dan kantung empedu Enterococcus faecalis, E.coli dan gram negatif
bentuk batang lainnya, Bacteroides fragilis
Organ pelvis Neissseria gonorrhea, anaerob

Tabel 2. Penyebab Umum Sepsis pada Pasien yang dirawat (Moss dkk., 2012)
Masalah Klinis Mikroorganisme
Pemasangan kateter Eschericia coli, Klebsiella spp., Proteus spp.,
Serratia spp., Pseudomonas spp.
Penggunaan iv kateter Staphylococcus aureus, Staph.epidermidis,
Klebsiella spp., Pseudomonas spp., Candida
albicans
Setelah operasi :
Wound infection Staphylococcus aureus, E. Coli, anaerobes
(tergantung lokasinya)
Deep infection Tergantung lokasi anatominya
Luka bakar Coccus gram-positif, Pseudomonas spp.,
Candida albicans
Pasien Semua mikroorganisme di atas
immunocompromized

2.3 Patofisiologi
Sepsis merupakan proses infeksi dan inflamasi yang kompleks dimulai
dengan rangsangan endotoksin atau eksotoksin terhadap sistem imunologi.
Rangsangan tersebut menyebabkan aktivasi makrofag, netrofil serta sekresi
berbagai sitokin dan mediator, sehingga terjadi disfungsi dan kerusakan endotel,
aktivasi sistem koagulasi dan trombosit akibatnya terjadi gangguan perfusi ke
berbagai jaringan dan disfungsi/kegagalan organ multipel. (Widodo, 2004)
Baik bakteri gram positif maupun gram negatif dapat menimbulkan sepsis.
Pada bakteri gram negatif yang berperan adalah lipopolisakarida (LPS). Suatu
protein di dalam plasma, dikenal dengan LBP (Lipopolysacharide binding
protein) yang disintesis oleh hepatosit, diketahui berperan penting dalam
metabolisme LPS. LPS masuk ke dalam sirkulasi, sebagian akan diikat oleh faktor
inhibitor dalam serum seperti lipoprotein, kilomikron sehingga LPS akan
dimetabolisme. Sebagian LPS akan berikatan dengan LBP sehingga mempercepat
ikatan dengan CD14.1,2 Kompleks CD14-LPS menyebabkan transduksi sinyal
intraseluler melalui nuklear faktor kappaB (NFkB), tyrosin kinase (TK), protein
kinase C (PKC), suatu faktor transkripsi yang menyebabkan diproduksinya RNA
sitokin oleh sel. Kompleks LPS-CD14 terlarut juga akan menyebabkan aktivasi
intrasel melalui toll like receptor-2 (TLR2) (Widodo, 2004).

Gambar 1. Patofisiologi Sepsis


Pada bakteri gram positif, komponen dinding sel bakteri berupa
Lipoteichoic acid (LTA) dan peptidoglikan (PG) merupakan induktor sitokin.
Bakteri gram positif menyebabkan sepsis melalui 2 mekanisme: eksotoksin
sebagai superantigen dan komponen dinding sel yang menstimulasi imun.
Superantigen berikatan dengan molekul MHC kelas II dari antigen presenting
cells dan Vβ-chains dari reseptor sel T, kemudian akan mengaktivasi sel T dalam
jumlah besar untuk memproduksi sitokin proinflamasi yang berlebih (Bochud dan
Calandra, 2003).
Respons imun terhadap infeksi pada umumnya mengoptimalkan
kemampuan sel-sel imun (eutrophil, limfosit, dan makrofag) untuk meninggalkan
sirkulasi dan memasuki tempat infeksi. Signal oleh mediator ini terjadi melalui
sebuah reseptor trans-membran yang dikenal sebagai Toll-like receptors. Dalam
monosit, nuclear factor-kB (NF-kB) diaktifkan, yang mengarah pada produksi
sitokin pro-inflamasi, tumor necrosis factor α (TNF-α), dan interleukin 1 (IL-1).
TNF-α dan IL-1 memacu produksi toxic downstream mediators, termasuk
prostaglandin, leukotrien, platelet-activating factor, dan fosfolipase A2. Mediator
ini merusak lapisan endotel, yang menyebabkan peningkatan kebocoran kapiler.
Selain itu, sitokin ini menyebabkan produksi molekul adhesi pada sel endotel dan
neutrofil. Interaksi endotel neutrofilik menyebabkan cedera endotel lebih lanjut
melalui pelepasan komponen neutrofil. Akhirnya, neutrofil teraktivasi melepaskan
oksida nitrat (NO), vasodilator kuat. Dengan demikian memungkinkan neutrofil
dan cairan mengalami ekstravasasi ke dalam ruang ekstravaskular yang
terinfeksi.yang mengarah ke syok septik.
Oksida nitrat dapat mengganggu adhesi leukosit, agregasi trombosit, dan
mikrotrombosis, serta permeabilitas mikrovaskular. Peningkatan NO tampaknya
memberikan manfaat dalam arti meningkatkan aliran di tingkat mikrosirkulasi,
meskipun tentu saja vasodilatasi di tingkat makrosirkulasi merupakan penyebab
hipotensi yang membahayakan dan refrakter yang dapat mengakibatkan gangguan
fungsi organ dan kematian.
2.4 Klasifikasi Sepsis
Berdasarkan stadiumnya, sepsis terdiri dari;
a) SIRS (Systemic Inflamatory Respons Syndrome), merupakan semua bentuk
respon inflamasi sistemik baik terhadap adanya infeksi atau bukan infeksi
dengan tanda klinis sebagai berikut;
 Temperatur tubuh tinggi > 38 0C atau rendah < 36 0C
 Denyut jantung meningkat > 90 kali/menit waktu istirahat
 Kecepatan pernafasan yang meningkat > 20kali/menit atau PaCO 2< 32
mmHg (< 4,3 kPa)
 Leukosit > 12.000 sel/µL atau < 4000 sel/ µL bentuk imatur.
b) Sepsis, SIRS yang disertai dengan infeksi (kultur positif untuk
mikroorganisme).
c) Sepsis Berat (severe sepsis), merupakan sepsis disertai adanya gangguan
perfusi organ, yaitu perubahan akut status mental (kesadaran), oliguria,
kadar asam laktat di dalam darah diatas normal, hipoksia (tanpa adanya
penyakit paru lainnya atau penyakit kardiovaskuler).
d) Syok Sepsis, merupakan sepsis berat yang disertai dengan hipotensi
(tekanan darah sistolik < 90 mmHg atau penurunan > 40 mmHg dari
tekanan awal, bukan karena obat) (Birken & Dipiro, 2008).

2.5 Tanda dan Gejala


a) Hipotensi, tekanan darah sistolik < 90 mmHg atau turun > 40 mmHg dari
tekanan awal (bukan karena obat)
b) Temperatur tubuh tinggi > 38 0C atau rendah < 36 0C
c) Denyut jantung meningkat > 90 kali/menit waktu istirahat
d) Frekuensi pernafasan yang meningkat > 20kali/menit
e) Oliguria
f) Asidosis
g) Umumnya terjadi pada; usia lanjut, malnutrisi, penyakit berat, trauma/luka
bakar, pemakaian pipa vena atau kateter urin yang lama, penyakit infeksi
gastrointestinal, serta terapi imunosupresi (Halim-Mubin, 2001).
Diagnosis sepsis sering terlewat, khususnya pada pasien usia lanjut yang
tanda-tanda klasik sering tidak muncul. Gejala ringan, takikardia dan takipnea
menjadi satu-satunya petunjuk, Sehingga masih diperlukan pemeriksaan lebih
lanjut yang dapat dikaitkan dengan hipotensi, penurunan output urin, peningkatan
kreatinin plasma, intoleransi glukosa dan lainnya (Hinds dkk., 2012).

2.6 Diagnosa Sepsis


Tindakan tes diagnostik pada pasien dengan sindrom sepsis atau dicurigai
sindrom sepsis memiliki dua tujuan. Tes diagnostik digunakan untuk
mengidentifikasi jenis dan lokasi infeksi dan juga menentukan tingkat keparahan
infeksi untuk membantu dalam memfokuskan terapi (Shapiro dkk., 2010).
Bila pasien mengalami penurunan kesadaran, sebelum evaluasi diagnostik
lakukan penilaian awal dari pasien yang sakit, perhatikan jalan nafas (perlu untuk
intubasi), pernapasan (laju pernafasan, gangguan pernapasan, denyut nadi),
sirkulasi (denyut jantung, tekanan darah, tekanan vena, perfusi kulit), dan inisiasi
cepat resusitasi (Russell, 2012). Kemudian dilakukan anamnesis riwayat penyakit
dan juga beberapa pemeriksaan fisik untuk mencari etiologi sepsis.
Seseorang dikatakan sepsis jika dalam gejala klinik yang dialaminya
terdapat dua atau lebih tanda-tanda dari SIRS dengan suspek adanya infeksi.
Sepsis berat didiagnosis jika terdapat minimal satu disfungsi dari organ tubuh
sedangkan syok septik jika pasien mengalami sepsis maupun sepsis berat tersebut
juga mengalami hipotensi walaupun sudah diberikan resusitasi yang adekuat.
1) Kriteria umum, meliputi :
a. Hipertermia (temperatur >38°C)
b. Hipotermia (temperatur < 36°C)
c. Takikardia (heart rate> 90/ menit)
d. Takipnea (respiratory rate> 20/ menit)
e. Hiperglikemi (glukosa > 120 mg/dL pada pasien diabetes mellitus)
f. Edema (> 20 mL/ kg)
2) Kriteria inflamasi, meliputi :
a. Leukositosis (sel darah putih > 12.000/mm3)
b. Leukopenia (sel darah putih < 4000/mm3)
3) Kriteria hemodinamik, meliputi hipotensi (tekanan sistolik <90 mmHg)
4) Kriteria Sepsis berat adalah sebagai berikut:
a. Sepsis-induced hipotensi
b. Laktat diatas batas atas nilai normal laboratorium (0,5-1,5 mmol/L)
c. Jumlah urin <0,5 mL/kg/jam selama lebih dari 2 jam walaupun resusitasi
cairan adekuat
d. Acute Lung Injury dengan PaO2/FiO2 <250 dengan tidak adanya
pneumonia sebagai sumber infeksi
e. Acute Lung Injury dengan PaO2/FiO2 <200 dengan adanya pneumonia
sebagai sumber infeksi
f. Kreatinin >2,0 mg/dL (176,8 μmol/L)
g. Bilirubin >2 mg/dL (34,2 μmol/L)
h. Hitung platelet <100.000 μL
i. Koagulopati (international normalized ratio >1,5)
5) Kriteria Disfungsi Organ:
a. Hipoksemia arterial (PaO2/FiO2 < 300)
b. Oliguria akut (jumlah urin < 0,5 mL/Kg/jam selama minimal 2 jam
meskipun resusitasi cairan adekuat
c. Peningkatan kreatinin > 0,5 mg/dL atau 44,2 μmol/L
d. Koagulasi abnormal (INR > 1,5 atau aPTT > 60 s)
e. Ileus (tidak terdengar suara usus)
f. Trombositopeni (hitung trombosit < 100.000 μL–1)
g. Hiperbilirubinemia (bilirubin plasma total >4mg/dL atau 70 μmol/L)
Pemeriksaan penunjang yang digunakan foto toraks, pemeriksaan dengan
prosedur radiografi dan radioisotop lain sesuai dengan dugaan sumber infeksi
primer (Opal, 2012).

2.7 Pemeriksaan Laboratorium


Hasil laboratorium sering ditemukan trombositopenia, penurunan kadar
fibrinogen serum dan peningkatan produk fibrin split, anemia, penurunan PaO 2
dan peningkatan PaCO2, serta perubahan morfologi dan jumlah neutrofil.
Peningkatan neutrofil serta peningkatan leukosit imatur cenderung menandakan
infeksi bakteri. Neutropenia merupakan tanda kurang baik yang menandakan
perburukan sepsis. Pemeriksaan cairan serebrospinal dapat menunjukkan neutrofil
dan bakteri. Pada pasien sepsis juga dilakukan pemeriksaan laboratorium dan
pemeriksaan penunjang dalam menegakkan diagnosis dengan indikator seperti
pada tabel 3.
Tabel 3. Indikator Laboratorium Penderita Sepsis
Tes Laboratorium Temuan Keterangan
Hitung sel darah Leukositosis atau Endotoksemia dapat
putih leukopenia menyebabkan early
Trombositosis atau leukopenia
Hitung platelet trombositopenia Nilai tinggi awal dapat dilihat
sebagai respon fase akut,
jumlah trombosit yang
rendah.
Coagulation Defisiensi Protein C; Kelainan dapat diamati
cascade defisiensi sebelum timbulnya kegagalan
antitrombin;level D- organ tanpa perdarahan yang
dimer meningkat; PT jelas
(Prothrombin Time)
dan PTT (Partial
Thromboplastin Time)
memanjang.
Level kreatinin Meningkat Doubling-menandakan cedera
ginjal akut
Level asam laktat Lactic acid > Mengindikasikan hipoksia
4 mmol/L (36 mg/Dl) jaringan
Level enzim hepar Level alkaline Mengindikasikan cedera
phosphatase, AST, hepatoseluler akut yang
ALT, bilirubin disebabkan hipoperfusi
meningkat
Level serum fosfat Hipofosfatemia Berkorelasi terbalik dengan
tingkat sitokin proinflamasi
Level C-reactive Meningkat Respon fase akut
protein (CRP)
Level prokalsitonin Meningkat Membedakan SIRS yang
infeksius dari SIRS yang non-
infeksius
2.8 Tujuan, Sasaran & Strategi Terapi
2.8.1 Tujuan
a) Ketepatan diagnosis dan identifikasi patogen
b) Ketepatan dalam mengeliminasi sumber infeksi
c) Ketepatan dalam pemberian antimikrobial awal
d) Mencegah dari gangguan patogen yang mengarah ke syok septic
e) Menghindari kegagalan organ (Birken & Dipiro, 2008).
2.8.2 Sasaran Terapi
Organ-organ yang terinfeksi seperti; saluran pernafasan, saluran urin, atau
intra abdomen.
2.8.3 Strategi Terapi
a) Menghentikan kemungkinan terjadinya syok sepsis
b) Menghindari terjadinya kegagalan organ. (Birken & Dipiro, 2008)

2.9 Tatalaksana Terapi


Guideline menurut Surviving Sepsis Campaign (SSC) sepsis memiliki suatu
tingkatan berdasarkan kekuatan rekomendasi dan kualitas bukti yang dapat dilihat
pada tabel 4. Jika pada early recognition yang ditunjukan gambar 2 pasien
mengidap sepsis berat atau syok septik maka dilanjutkan dengan Early Goal-
Directed Therapy, dapat dilihat pada gambar 3.
Tabel 4. Tingkatan kekuatan rekomendasi dan kualitas bukti untuk
guideline sepsis.
2016 Descriptor 2012 Descriptor
Kekuatan Kuat 1
Rekomendasi Lemah 2
Kualitas Bukti Tinggi A
Sedang B
Rendah C
Sangat rendah D
Ungraded Strong Best Practice Statement Ungraded Strong
Recommendation Recommendation
Gambar 2. Early Recognition Sepsis
Gambar 3. Early Goal-Directed Therapy

Penatalaksanaan sepsis yang optimal mencakup eliminasi patogen


penyebab infeksi, mengontrol sumber infeksi dengan tindakan drainase atau bedah
bila diperlukan, terapi antiinfeksi/antimikroba yang sesuai, resusitasi bila terjadi
kegagalan organ, gangguan koagulasi dan terapi imunologi bila terjadi respon
imun maladaptif host terhadap infeksi. Oleh karena sepsis dimulai dari adanya
infeksi, maka pemberian antibiotika dini merupakan suatu keharusan.
1. Diagnosis dan identifikasi patogen
Sesuai dengan tujuan terapi yang ada, maka treatment sepsis diawali dengan
diagnosis dan identifikasi sepsis. Kultur secara klinik sesuai dilakukan sebelum
terapi antimikroba jika tidak ada penundaan yang signifikan (> 45 menit) pada
awal antimikroba (kelas 1C) (Surviving Sepsis Campaign, 2012).
Kumpulan spesimen harus diperiksa sebelum memulai terapi antimikroba
apapun. Umumnya, setidaknya dua set sampel darah harus diperoleh untuk kultur
aerob dan anaerobik (kelas 1 C), serta contoh urin dan dahak. Tes lebih lanjut
dapat ditunjukkan untuk menilai disfungsi organ sistemik karena sepsis berat. Tes
laboratorium harus mencakup hemoglobin, jumlah sel darah putih, jumlah
trombosit, profil kimia lengkap, parameter koagulasi, dan konsentrasi serum laktat
(Surviving Sepsis Campaign, 2012).
2. Penghapusan sumber infeksi
Setelah sumber infeksi diidentifikasi, upaya cepat untuk menghapus atau
menghilangkan sumber harus dimulai, seperti kateter intravaskular yang terinfeksi
harus dilepas dan dikultur. Kateter saluran kemih harus dilepas jika dikaitkan
dengan sepsis yang dicurigai (Dipiro dkk., 2005).
3. Resusitasi
Mencakup tindakan airway (A), breathing (B), circulation (C). Perubahan status
mental atau penurunan tingkat kesadaran akibat sepsis memerlukan perlindungan
langsung terhadap jalan nafas pasien. Intubasi diperlukan juga untuk memberikan kadar
noksigen lebih tinggi. Tujuan resusitasi pasien dengan sepsis berat atau yang mengalami
hipoperfusi dalam 6 jam pertama adalah mencapai CVP 8-12 mmHg, MAP >65 mmHg,
urine >0.5 ml/kg/jam dan saturasi oksigen >70%. Bila dalam 6 jam resusitasi, saturasi
oksigen tidak mencapai 70% dengan resusitasi cairan dengan CVP 8-12 mmHg, maka
dilakukan transfusi PRC untuk mencapai hematokrit >30% dan/atau pemberian
dobutamin (sampai maksimal 20 μg/kg/menit) (Briken & Dipiro, 2008).
4. Pemberian terapi
a. Terapi antiinfeksi broad spectrum (spektrum luas)
Pemilihan jenis antibiotika empirik sesuai dengan dugaan etiologi infeksi,
diagnosis kerja, usia, dan predisposisi penyakit. Apabila penyebab sepsis belum
jelas, antibiotik diberikan dalam 1 jam pertama sejak diduga sepsis, dengan
sebelumnya dilakukan pemeriksaan kultur darah. Upaya awal terapi sepsis adalah
dengan menggunakan antibiotika tunggal berspektrum luas. Setelah bakteri
penyebab diketahui, terapi antibiotika definitif diberikan sesuai pola kepekaan
kuman (Dellit dkk., 2007).
Apabila antibiotika diberikan kombinasi, harus dipertimbangkan kondisi
klinis, usia, kemungkinan etiologi dan tempat terjadi infeksi, mikroorganisme
penyebab, pola kuman di RS, predisposisi pasien, dan efek farmakologi-dinamik
serta kinetik obat (Simmons dkk., 2012).
Semua pasien harus diobati pada awalnya dengan antibiotik parenteral untuk
mendapatkan konsentrasi obat yang optimal. Pemberian antimikroba intravena
efektif dalam satu jam pertama pengenalan syok septik dan sepsis berat tanpa
syok septik sebagai tujuan terapi (Dellinger, 2013). Pengobatan antibakteri
berdasarkan tempat dan bakteri penyebab dapat dilihat pada tabel 5.
b. Terapi anti jamur dan anti virus
Candidemia yang dihasilkan dari candida sering dikaitkan dengan sepsis dan
tingkat kematian yang tinggi. Pengobatan invasif kandidiasis melibatkan
amfoterisin B, agen antijamur azole, echinocandin, atau kombinasi terapi dengan
flukonazol dan amfoterisin B. Pilihannya tergantung pada status klinis pasien,
spesies jamur dan kerentanannya, toksisitas relatif obat, adanya disfungsi organ
yang akan mempengaruhi pembersihan obat, dan paparan pasien sebelumnya
terhadap agen antijamur. Bila sepsis disebabkan oleh infeksi virus sistemik,
antivirus parenteral seperti asiklovir, gansiklovir, foscarnet, atau ribavirin
digunakan, tergantung pada patogen virus yang dicurigai (Dipiro dkk., 2005).
Tabel 5. Pengobatan Sepsis berdasarkan Tempat dan Bakteri Penyebab
Bakteri Terapi yang utama
Subset Alternatif terapi Secara per oral
penyebab (i.v)
Meropenem 1 g tiap Quinolon tiap 24 Quinolon selama
8 jam selama 2 jam selama 2 24 jam selama 2
minggu atau minggu dengan minggu dengan
Penyebab Imipenem 1 g tiap 6 tambahan tambahan
Enterobacter
infeksi yang jam selama 2 Metronidazole 1 g Clindamisin 300
iaaceae
tidak minggu atau tiap 24 jam mg tiap 8 jam
B. Fraagilis
diketahui Ertapenem 1 g tiap selama 2 minggu selama 2 minggu
24 jam selama 2 atau Clindamisin
minggu 600 mg selama 2
minggu
Quinolone tiap 24
S.
jam selama 2
pneumoniae Cefepime 2 g tiap
minggu atau
H. influenza 12 jam selama 2
Paru atau Doxycycline 200
Non Quinolon tiap 24 jam minggu atau
urinary tract mg tiap 12 jam
enterococcal selama 2 minggu Ceftriaxone 2 g
(SLE) selama 3 hari lalu
streptococci tiap 24 jam
100 mg tiap 12
Enterobacter selama 2 minggu
jam selama 11
iaceae
hari
Group A Cefoxamine 2 g tiap Quinolon tiap 12 Quinolone tiap 24
6 jam selama 2 jam selama 2 jam selama 2
Sreptococci minggu atau minggu atau minggu atau
ceftizoxime 2 g tiap nafcillin 2 g tiap 4 Cephalexin 500
6 jam selama 2 jam selama 2 mg tiap 6 jam
minggu minggu selama 2 minggu

Kulit atau
Vancomycin 1 g tiap Linezolide 600
jaringan
S. aureus 12 jam selama 2 mg tiap 12 jam
lemak
minggu atau Minocycline 100 selama 2 minggu
linezolid 600 mg tiap mg tiap 12 jam atau minocycline
12 jam selama 2 selama 2 minggu 100 mg tiap 12
minggu atau jam selama 2
quinupristin/dalfo minggu
pristin 7,5 mg/kg
tiap 8 jam selama
2 minggu
Multiple S. Quinolone tiap 24 Cefepime 2 g tiap Quinolone tiap 24
myeloma pneumoniae jam selama 2 12 jam selama 2 jam selama 2
H. influenza minggu minggu atau minggu
N. ceftizomine 2 g
meningitidis tiap 8 jam selama
K. 2 minggu
pneumoniae
Enterobacter Cefepime 2 g
iaceae tiap 12 jam
Grup B Quinolone tiap 24 selama 2 minggu Quinolone tiap 24
Diabetes
Streptococci jam selama 2 atau ceftriaxone 2 jam selama 2
urinary tract
minggu g tiap 24 jam minggu
selama 2 minggu

Meropenem 1 g tiap Quinolone tiap 24 Quinolone tiap 24


8 jam selama 2 jam selama 2 jam selama 2
minggu atau minggu ditambah minggu dapat
Imipenem 1 g tiap 5 dengan ditambah dengan
B. fragilis jam selama 2 clindamisin 600 clindamisin 300
Kulit,
Anaerobs Gp minggu atau mg tiap 8 jam mg tiap 6 jam
jaringan
A, B, C, G Ertapenem 1 g tiap selama 2 minggu selama 2 minggu
lunak, perut
Streptococci 24 jam selama 2 atau atau
minggu atau metronidazole 1 g metronidazole
Piperacillin/tazobact tiap 24 jam 500 mg tiap 6 jam
am 4,5 g tiap 8 jam selama 2 minggu selama 2 minggu
selama 2 minggu
Enterobacter Cefepime 2 g tiap
iaceae 12 jam selama 2
Quinolone tiap 24 Quinolone tiap 24
Sirosis P. multocida minggu atau
jam selama 2 jam selama 2
alkoholik S.aureus ceftriaxone 2 g
minggu minggu
Gr up A tiap 24 jam
Streptococci selama 2 minggu
Quinolone tiap 24 Cefepime 2 g tiap 24 jam selama 2
Hypospleni S. pneumonia jam selama 2 12 jam selama 2 minggu atau
c fungsi H. influenzae minggu atau minggu atau amoksisilin 1 g
atau N. ceftriaxone 2 g tiap ceftriaxone 2 g tiap 8 jam selama
asplenia meningitidis 24 jam selama 2 tiap 6 jam selama 2 minggu
minggu 2 minggu
Quinolone tiap 24 ceftriaxone 2 g Quinolone tiap 24
jam selama 2 tiap 24 jam jam selama 2
minggu atau selama 2 minggu minggu atau
S. pneumonia doxycycline 200 mg dapat ditambah doxycycline 200
H. influenzae tiap 12 jam selama 3 doxycycline 200 mg tiap 12 jam
HIV/AIDS
Salmonela hari lalu 100 mg tiap mg tiap 12 jam selama 3 hari lalu
Legionella 12 jam selama 11 selama 3 hari atau 100 mg tiap 12
hari aziromisin 500 jam selama 11
mg tiap 24 jam hari
selama 1 minggu
Steroids Candida Caspofungin 70 mg, Amphotericin B Itaconazole 200
(Chronic aspergilus lalu 50 mg tiap 24 1,5 mg/kg tiap 24 mg tiap 12 jam x
high dose) jam selama 1 jam sampai 1-2 2 hari, lalu 200
minggu atau gram pemberian mg tiap 24 jam x
Itraconazole 200 mg
tiap 12 jam selama 2
hari, lalu 200 mg
tiap 24 jam selama 4
atau amphoterizin
minggu atau 4 minggu atau
B 5 mg/kg tiap 24
vonconazole 6 mg vonconazole
jam x 3 minggu
kg tiap 12 jam x 1
hari, lalu 4 mg/kg
tiap 12 jam selama 4
minggu
Miliary TB
M. Pengobatan sama dengan TB paru yang ditambahkan steroid x
(disseminate
tuberculosis 1-2 minggu
d)
Bacille
Miliary Pengobatan dengan anti TB (INH, rifampisin, ethambutol,
calmate
BCG(dissemi cycloserin) tiap 24 jam x 6-12 bulan ditambah steroid
guerin
nated) (contoh : prednisone 40 mg tiap 24 jam) x 1-2 minggu
(BCG)
Gram negatif
Terapi antimikroba yang tepat pada daerah yang
Severe atau positif,
membutuhkan dengan penambahan drotrecogin alfa 24
sepsis bakteri atau
mg/kg/jam (i.v) x 96 jam
pathogen

5. Terapi Suportif
a) Oksigenasi; Pada keadaan hipoksemia berat dan gagal nafas bila disertai dengan
penurunan kesadaran atau kerja ventilasi yang berat, ventilasi mekanik segera
dilakukan.
b) Terapi cairan; Tujuan terapi cairan adalah memaksimalkan curah jantung dengan
meningkatkan preload ventrikel kiri, yang akhirnya akan mengembalikan perfusi
jaringan. Kristaloid sebagai cairan awal pilihan dalam resusitasi sepsis berat dan
syok septik. Kristaloid isotonik, seperti natrium klorida 0,9% (normal saline) atau
larutan Ringer laktat, biasanya digunakan untuk cairan resusitasi seorang pasien
dalam syok septik
c) Vasopresor dan Inotropik; Sebaiknya diberikan setelah keadaan hipovolemik
teratasi dengan pemberian cairan adekuat, akan tetapi pasien masih hipotensi.
Vasopresor diberikan mulai dosis rendah dan dinaikkan (titrasi) untuk mencapai
MAP 60 mmHg atau tekanan darah sistolik 90mmHg. Agen yang biasa
dipertimbangkan untuk vasopressor atau dukungan inotropik meliputi dopamin,
dobutamin, norepinefrine, fenilefrin, dan epinefrin (Dipiro dkk., 2005).
d) Bikarbonat; Secara emprik bikarbonat diberikan bila pH < 7,2 atau serum
bikarbonat < 9 mEq/L dengan disertai upaya untuk mmperbaiki keadaan
hemodinamik.
e) Nutrisi; Pada sepsis direkomendasikan untuk mencukupi kebutuhan nutrisi
meliputi kalori (asam amino), asam lemak, vitamin, dan mineral perlu diberikan
sedini mungkin. Kebutuhan protein ditingkatkan menjadi 1,5 sampai 2,5 g/kg per
hari. Kebutuhan kalori nonprotein berkisar antara 25 sampai 40 kkal/kg per hari,
dan pemberian makanan berlebih pada karbohidrat harus dihindari untuk
mengurangi kebutuhan ventilasi pasien (Dipiro dkk., 2005).
f) Kontrol Gula Darah; Kadar gula darah pada pasien sepsis dijaga pada level antara
80-110 mg/dL. Pasien dengan tingkat glukosa darah yang tinggi diberi insulin dan
dilakukan monitoring glukosa dengan frekuensi awal setiap 1 jam, dilanjutkan 2-4
jam ketika kadar glukosa sudah stabil.
g) Terapi antikoagulan; Pada sepsis berat terjadi penurunan antikoagulan dan supresi
proses fibrinolisis sehingga mikrotrobus menumpuk di sirkulasi yang
mengakibatkan kegagalan organ. Terapi antikoagulan berupa heparin dan
antitrombin.
h) Kortikosteroid; Hanya diberikan pada pasien dengan indikasi insufisiensi adrenal.
Keadaan tanpa syok, kortikosteroid sebaiknya tidak diberikan dalam terapi sepsis
(Briken & Dipiro, 2008).

2.10 Sepsis Pada Neonatus


Sepsis neonatus adalah sindrom klinik penyakit sistemik, disertai
bakteremia yang terjadi pada bayi dalam satu bulan pertama kehidupan.
2.10.1 Penggolongan Sepsis Pada Neonatus
Berdasarkan risiko infeksi bakteri pada neonatus, sepsis dibagi menjadi 3 yaitu:
a. Risiko prenatal antara lain ibu demam, infeksi tanpa demam,
korioamnionitis, persalinan kurang bulan, ketuban pecah dini (>18 jam), dan
bunyi jantung janin >160/menit.
b. Risiko neonatal antara lain berat lahir rendah, jenis kelamin (laki-laki), lahir
kembar, kelainan bawaan tertentu, luka pada kulit, nilai Apgar rendah (<5
pada 5 menit).
c. Risiko nosokomial antara lain rawat di RS terlalu lama, prosedur invasif,
ruang rawat penuh, rasio pasien: perawat kurang, cuci tangan kurang, pada
neonatus tanpa risiko infeksi yang timbul lebih dari 48 jam saat dirawat di
rumah sakit.
Pada pasien sepsis neonates menurut Pusponegoro (2000) dan Kasper
(2005), sepsis dibagi berdasarkan waktu timbulnya yaitu:
a. Sepsis Dini (Early Onset), terjadi pada 5-7 hari pertama setelah lahir dengan
manifestasi klinis yang timbul mendadak, dengan gejala sistemik yang
berat, terutama mengenai sistem saluran pernafasan, progresif dan akhirnya
syok. Mikroorganisme seperti flora vagina dan bakteri patogen lainnya
masuk melalui intrapartum atau melalui saluran genital ibu. Bakteri masuk
ke janin melalui plasenta atau melalui pecahnya selaput ketuban.
b. Sepsis Lambat (Late Onset), timbul setelah umur 7 hari dengan manifestasi
klinis kelainan system susunan saraf pusat. Sepsis lambat mudah menjadi
berat, dan sering menjadi meningitis. Bakteri penyebab berasal dari saluran
genital ibu, kontak antar manusia atau dari alat-alat yang terkontaminasi.
c. Infeksi nosokomial, yaitu infeksi yang terjadi pada neonatus tanpa resiko
infeksi yang timbul lebih dari 48 jam saat dirawat di rumah sakit.
2.10.2 Tanda dan Gejala Sepsis Neonatus
Diagnosis dini sepsis ditegakkan berdasarkan gejala klinik dan terapi
diberikan tanpa menunggu hasil kultur. Menurut Pusponegoro (2000) bayi yang
diduga menderita sepsis bila terdapat gejala:
 Letargi, iritabel,
 Tampak sakit,
 Kulit berubah warna keabu-abuan, gangguan perfusi, sianosis, pucat, kulit
bintik-bintik tidak rata, petekie, ruam, sklerema atau ikterik,
 Suhu tidak stabil demam atau hipotermi,
 Perubahan metabolik hipoglikemi atau hiperglikemi, asidosis metabolik,
 Gejala gangguan kardiopulmonal gangguan pernapasan (merintih, napas
cuping hidung, retraksi, takipneu), apneu dalam 24 jam pertama atau tiba-
tiba, takikardi, atau hipotensi (biasanya timbul lambat),
 Gejala gastrointestinal: toleransi minum yang buruk, muntah, diare,
kembung dengan atau tanpa adanya bowel loop.
2.10.3 Tatalaksana Sepsis Neonatus
Langkah-langkah dalam perencanaan penggunaan antibiotik:
1) Selalu melakukan pengambilan kultur darah (dan mungkin CSP dan/atau
urin) sebelum memulai pemberian antibiotik.
2) Sedapat-dapatnya pergunakan antibiotik dengan spektrum yang paling
sempit, hampir selalu berupa penisilin dan aminoglikosida.
3) Sebagai aturan yang umum, janganlah memberi terapi dengan sefalosporin
generasi ketiga (misalnya cefotaxime, cefftazedine) atau carbapenem
(misalnya imipenem, mesopenem).
4) Pergunakan antibiotik buatan lokal/nasional untuk mengurangi terapi
antibiotik broad spectrum yang mahal.
5) Percayai hasil kultur.
6) Peningkatan CRP tidak berarti bayi terkena sepsis.
7) Bila hasil kultur negatif dalam 2-3 hari lebih baik apabila menghentikan
pemberian antibiotik.
8) Usahakan agar tidak menggunakan antibiotik untuk jangka panjang.
9) Terapi ditujukan terhadap sepsis, bukan terhadap kolonisasi.
10) Upayakan semaksimalnya tindakan pencegahan infeksi nosokomial, dengan
menggalakkan upaya cuci tangan yang baik, pemakaian proteksi di setiap
tindakan dan peralatan yang steril.

Menurut Effendi (2013), pemberian antibiotik sebaiknya diklasifikasikan


menjadi 3 kategori utama:
1. Terapi Profilaksis
Pencegahan dilakukan dengan pemberian antibiotik yang bertujuan untuk
mencegah infeksi. Terapi antibiotik profilaksis tidak diindikasi untuk diberikan
hampir di setiap keadaan di bidang neonatologi. Kejadian kegagalan terapi
profilaksis ketika sesudah dilakukan pemasangan kateter umbilikal ataupun PICC.
Terapi profilaksis ini hanya dianjurkan terhadap infeksi jamur pada bayi
prematur yang mendapat antibiotik atau pemasangan PICC. Lampiran sistematis
Cochrane menganjurkan terapi antijamur oral atau topikal untuk menurunkan
kejadian infeksi jamur.
2. Terapi empirik
Terapi ini sering kali sudah dimulai sebelum agen ditemukan, terdiri atas
pemberian penisilin, biasanya ampisilin, ditambah dengan aminoglikosida seperti
gentamisin. Pada sepsis nosokomial, harus dipertimbangkan jenis flora di NICU,
pada umumnya Staphylococcal diatasi dengan memulai pemberian vancomycin
dan aminoglikosid seperti gentamisin atau amikasin.
Menurut Pusponegoro (2000), pengobatan menggunakan ampisilin
sodium/sulbaktam sodium (Unasyn), dosis sama dengan ampisilin ditambah
aminoglikosid 5mg/kg/24jam intravena diberikan tiap 12 jam. Menurut British
National Formulary for Children (2014), dosis ampisilin untuk usia dibawah 7
hari 50 mg/kg/12 jam, usia 7-21 hari 50 mg/kg/8 jam, 21-28 hari 50 mg/kg/6 jam.
Pada sepsis nosokomial, sebaiknya diberikan vankomisin dengan dosis
tergantung umur dan berat badan:
 <1,2kg umur 0-4 minggu: 15mg/kg/kali tiap 24 jam
 1,2-2kg umur 0-7 hari: 15mg/kg/kali tiap 12-18 jam
 1,2-2kg umur >7 hari: 15mg/kg/kali tiap 8-12 jam
 >2kg umur 0-7 hari: 15mg/kg/kali tiap 12 jam
 >2kg umur >7 hari: 15mg/kg/kali tiap 8 jam ditambah aminoglikosid atau
sefalosporin generasi ketiga
3. Terapi Definitif
a. Terapi terhadap sepsis neonatus:
Terapi ini berdasarkan atas hasil kultur dan sensitivitas, gejala klinis, serta
hasil laboratorium serial yang lain. Penting untuk melakukan evaluasi toksisitas
antibiotik, seperti mengukur kadar aminoglikosid dan vancomycin.
b. Pemberian antibiotik terhadap sepsis dengan meningitis:
Apabila meningitis terdeteksi dialami pada EOS, maka direkomendasikan
pemberian ampisilin dengan aminoglikosida atau sefotaksim sebagai terapi
empiris untuk mengatasi GBS, E. coli, Listeria monocytogenes, dan Klebsiella.
Untuk LOS diberikan antistaphylococus, nafsilin atau vankomisin ditambah
dengan sefotaksim atau seftazidim atau tanpa aminoglikosida.
c. Lama pemberian antibiotik:
Dengan dipandu oleh pemeriksaan C-reactive protein (CRP) yang
merupakan penanda utama untuk menegakkan diagnosis infeksi, maka penurunan
CRP menunjukkan perbaikan sepsis tersebut. Keadaan CRP normal merupakan
indikasi untuk menghentikan terapi antibiotik. Tetapi penggunaan CRP sebagai
pemandu pemberian antibiotik ini dikecualikan pada bayi yang menggunakan
PICC, ventilator, postoperasi, meningitis, asfiksia lahir dan bayi yang syok awal
kadar CRPnya tinggi.
Lama pemberian antibiotik empirik 48-72 jam sampai didapatkan hasil
kultur yang negatif. Pada sepsis neonatal tanpa meningitis, pemberian antibiotik
ini berlangsung selama 10-14 hari. Pada sepsis dengan meningitis, antibiotik
diberikan selama 14-21.
BAB III
KASUS DAN PENYELESAIAN

3.1 Kasus
29/12/2017
Seorang ibu bernama Ny. K ke sebuah rumah sakit dengan kondisi bayi
laki-lakinya (7 hari) berat badan 3400 gram demam dan kejang, ibu pasien
mengatakan bahwa anaknya mengalami demam sudah 2 hari, dan menghisap
lemah. Bayinya hanya minum 50 cc ASI/ 24 jam. Hasil pemeriksaan tanda-tanda
vital saat MRS didapatkan respiration rate 66x/menit, suhu 38,8°C, nadi
142x/menit, Kesadaran bayi somnolen, kulit terlihat ikterik. Dalam pemeriksaan
penunjang GDS 44 mg/dl, bilirubin 17,20 mg/dl. Riwayat kelahiran bayi
hipoglikemia. Pada tanggal 31/12/2017 hasil pemeriksaan kultur darah
menunjukkan positif Staphylococcus haemolyticus. Diagnosa dokter sepsis.
Pemeriksaan Tanda-tanda vital

Tanda Vital
Tanggal Nadi RR Suhu
(x/min) (x/min) (x/min)
29/12/2017 142 66 38,8
30/12/2017 138 37 37,7
31/12/2017 120 35 37,3
01/01/2018 142 44 36,8
02/01/2018 136 36 36,5

Pemeriksaan Laboratorium Darah


30-12- 02-01- Satuan
Pemeriksaan 29-12-17 31-12-17 Nilai Rujukan
17 18
GDS 44 - 111 - <200 mg/dl
Bilirubin Total 17,20 14,47 - - 0,20-1,20 mg/dl
Bilirubin Direk 2,23 2,00 - - 0,00-0,40 mg/dl
Bilirubin 14,97 14,27 - - 0,02-0,60 mg/dl
Indirek
Natrium 145,6 - 140,8 - 135-146 mmol/l
Kalium 5,1 - 5,2 - 3,4-5,4 mmol/l
Chlorida 110,6 - 108 - 95-100 mmol/l
CRP Negatif - - - <1,35 mg/l
Hemoglobin - 14,8 17,9 14,6 12-20 g/dl
Leukosit 25,9 24,4 16,6 13,4 4,0-10,5 ribu/ul
Eritrosit - 4,30 5,48 4,80 4-6 juta/ul
Trombosit 89 36 38 64 150-450 ribu/ul
Hematokrit - 42,1 51,7 41,5 42-52 vol%
RDW-CV - 15,2 16,9 15,1 11,5-14,7 %
MCV - 98,1 94,4 91,7 80-122 Fi
MCH - 34,4 32,6 30,4 33-41 Pg
MCHC - 35,1 34,6 35,1 32-38 %
Albumin - - 3,8 - 3,5-5,5 g/dl
Kalsium - - 15 - 8,8-10,6 mg/dl

Pemeriksaan hasil kultur darah dan sensitivitas (tanggal 31/12/2017)


Tanggal pemeriksaan 29 Desember 2017
Hasil Pemeriksaan 31 Desember 2017
Spesimen Darah
Hasil sensitivitas Staphylococcus haemolyticus.
Amoxicillin Resisten
Amikasin Intermediate
Gentamisin Sensitive
Ampisilin Sensitive
Penisillin G Sensitive
Erythromycin Intermediate
Chloramphenicol Intermediate
Ko-trimoxazole Sensitive
Fosfomycin Sensitive
Vancomicyn Sensitive
Ciprofloxacin Resisten
Meropenem Resisten

Pengobatan
29/12/2017 30/12/2017 31/12/2017 01/01/2018 02/01/2018
Terapi O2 - + + + +
IVFD D10+Nacl 0,9+ Ca
+ + + + +
gukonas+ KCL
Aminofusin + + + + +
Ivelip + + + + +
Inj. Ampisilin 3 x 100 mg + + - - -
Inj. Gentamisin 15mg/12 + + - - -
jam
Injeksi fenobarbital 40 mg
+ - - - -
bolus (loading dose)
Injeksi fenobarbital 2x7,5
- + + - -
mg (maintenance)
PO: Urdafalk 3x8mg + + + + -

Injeksi Amikasin 2x22 - + + + +


mg
Injeksi Vancomycin 3x30 - - - + +
mg
Vitamin K 1x1 mg - + + + +

3.2 Penyelesaian
Analisa kasus dengan metode SOAP
SUBYEKTIF
Pasien : Bayi (3400 g), laki-laki.
Umur : 7 hari
Keluhan pasien : Demam 2 hari, menghisap lemah (bayinya hanya minum
50cc ASI/24 jam) dan kejang.
Tanggal MRS : 29 Desember 2017
Tanggal KRS : 2 Januari 2018
Diagnosa : Sepsis neonatal
Riwayat : Riwayat kelahiran bayi
Anamnesa : Kesadaran somnolen, kulit terlihat ikterik.

OBYEKTIF
Pemeriksaan Tanda-tanda Vital
Tanda Vital
Tanggal Nadi RR Suhu
(x/min) (x/min) (x/min)
29/12/2017 142 66 38,8
30/12/2017 146 37 37,7
31/12/2017 120 35 37,3
01/02/2018 142 44 36,8
02/02/2018 136 36 36,5

Pemeriksaan Laboratorium Darah (Tanggal 29/12/2017 – 02/01/2018)


30-12- 02-01- Satuan
Pemeriksaan 29-12-17 31-12-17 Nilai Rujukan
17 18
GDS 44 - 111 - <200 mg/dl
Bilirubin Total 17,20 14,47 - - 0,20-1,20 mg/dl
Bilirubin Direk 2,23 2,00 - - 0,00-0,40 mg/dl
Bilirubin 14,97 14,27 - - 0,02-0,60 mg/dl
Indirek
Natrium 145,6 - 140,8 - 135-146 mmol/l
Kalium 5,1 - 5,2 - 3,4-5,4 mmol/l
Chlorida 110,6 - 108 - 95-100 mmol/l
CRP Negatif - - - <1,35 mg/l
Hemoglobin - 14,8 17,9 14,6 12-20 g/dl
Leukosit 25,9 24,4 16,6 13,4 4,0-10,5 ribu/ul
Eritrosit - 4,30 5,48 4,80 4-6 juta/ul
Trombosit 89 36 38 64 150-450 ribu/ul
Hematokrit - 42,1 51,7 41,5 42-52 vol%
RDW-CV - 15,2 16,9 15,1 11,5-14,7 %
MCV - 98,1 94,4 91,7 80-122 Fi
MCH - 34,4 32,6 30,4 33-41 Pg
MCHC - 35,1 34,6 35,1 32-38 %
Albumin - - 3,8 - 3,5-5,5 g/dl
Kalsium - - 15 - 8,8-10,6 mg/dl

Pemeriksaan hasil kultur darah dan sensitivitas (tanggal 31/12/2017)


Tanggal pemeriksaan 29 Desember 2017
Hasil Pemeriksaan 31 Desember 2017
Spesimen Darah
Hasil sensitivitas Staphylococcus haemolyticus.
Amoxicillin Resisten
Amikasin Intermediate
Gentamisin Sensitive
Ampisilin Sensitive
Penisillin G Sensitive
Erythromycin Intermediate
Chloramphenicol Intermediate
Ko-trimoxazole Sensitive
Fosfomycin Sensitive
Vancomicyn Sensitive
Ciprofloxacin Resisten
Meropenem Resisten

Pengobatan
29/12/2017 30/12/2017 31/12/2017 01/01/2018 02/01/2018
Terapi O2 - + + + +
IVFD D10+Nacl 0,9+
+ + + + +
Ca gukonas+ KCL
Aminofusin + + + + +
Ivelip + + + + +
Inj. Ampisilin 3 x 100
+ + - - -
mg
Inj. Gentamisin
+ + - - -
15mg/12 jam
Injeksi fenobarbital 40
+ - - - -
mg bolus (loading dose)
Injeksi fenobarbital
- + + - -
2x7,5 mg (maintenance)
PO: Urdafalk 3x8mg + + + + -
Injeksi Amikasin 2x22
- - + + +
mg
Injeksi Vancomycin
- - - + +
3x30 mg
Vitamin K 1x1 mg - + + + +

ASSESMENT

ANALISIS PENGGUNAAN OBAT


a. Terapi O2 pada neonatus merupakan sesuatu terminologi untuk penggunaan
oksigen sebagai bahan farmakologis yang berkaitan dengan gangguan
pernafasan.
b. IVFD D10% diindikasikan untuk mencukupi kebutuhan glukosa didalam
darah.
c. NaCl 0,9% + KCl + Ca glukonase diindikasikan untuk mempertahankan
elektrolit pada bayi.
d. Pemberian aminofusin sebagai nutrisi parenteral untuk mensuplai/memasok
protein, elektrolit, energi, vitamin & air.
e. Ivelip sebagai sumber energi dan asam lemak esensial untuk pasien yang
mendapat nutrisi parenteral.
f. Ampisilin adalah antibiotik golongan penisilin dengan spectrum luas yang
kerjanya merusak sintesis dinding sel bakteri selama proses replikasi aktif.

g. Gentamisin adalah antibotik golongan aminoglikosida yang bekerja dengan


merusak sintesis protein bakteri dengan berikatan pada subunit ribosomal
30S dan 50S yang menghasilkan membrane sel bakteri yang rusak.

h. Ampisilin dan Gentamisin digunakan sebagai terapi empiris pada sepsis


neonatal sebelum jenis bakteri ditemukan (Hayatullah dkk., 2017) .
i. Fenobarbital adalah golongan turunan barbiturat yang kerjanya menghambat
kejang kemungkinan melibatkan potensiasi penghambatan sinaps melalui
suatu kerja pada reseptor GABA.
j. Urdafalk (ursodeoxycholik acid) diindikasikan untuk pengobatan bayi
kuning yang dilihat dari kadar bilirubin (direk, indirek dan total) yang tinggi
pada pemeriksaan tanda-tanda vital.
k. Amikasin adalah golongan antibotik golongan aminoglikosida yang bekerja
dengan merusak sintesis protein bakteri dengan berikatan pada subunit
ribosomal 30S dan 50S yang menghasilkan membrane sel bakteri yang
rusak. Amikasin bersifat bakterisidal yang terutama aktif terhadap bakteri
gram negatif.
l. Vancomysin adalah antibiotik golongan polipeptida bekerja dengan cara
berikatan dengan dinding sel bakteri dan menghentikan polimerisasi
glikopeptida sehingga sintesis dinding sel bakteri terhambat serta
menyebabkan kerusakan membran sitoplasma. Vancomysin diindikasikan
untuk penyakit infeksi bakteri gram positif teutama yang disebabkan oleh
staphylococcus.
m. Vitamin K bekerja sebagai kofaktor enzim karboksilase yang mengubah
residu protein berupa asam glutamat (glu) menjadi gama-karboksiglutamat
(gla) pada proses pembekuan darah. Senyawa gla yang dihasilkan akan
mengubah prekursor menjadi faktor koagulasi aktif. Vitamin K di
indikasikan untuk trombositopenia.
DRP (Drug Related Problem)
1. DRP ada indikasi tidak ada obat (butuh obat) : -
2. DRP tidak ada indikasi ada obat (tidak butuh obat) :
- Pemberian Amikasin pada pasien sepsis neonatal dengan hasil kultur
darah Staphylococcus haemolitycus (bakteri gram positif) kurang tepat.
3. DRP dosis terlalu tinggi :
- Dosis Gentamisin yang diberikan kepada pasien terlalu tinggi.
4. DRP dosis terlalu rendah : -
5. DRP efek samping obat serius : -
6. DRP interaksi obat : -

PLAN
1. Pemberian Amikasin sebaiknya dihentikan karena hasil kultur darah
menunjukkan positif Staphylococcus haemolitycus (bakteri gram positif),
sedangkan amikasin lebih spesifik untuk infeksi karena bakteri gram
negatif.
2. Dosis Gentamisin yang diberikan untuk terapi sepsis neonatal menurut BNF
For Children (2015) untuk bayi ≥7 hari 5mg/kgBB setiap 24 jam.
3. Injeksi vankomisin seharusnya diberikan setelah hasil kultur darah positif
mengandung Staphylococcus haemolyticus.
4. Perlu dilakukan pemeriksaan laboratorium di hari terakhir untuk kadar
bilirubin (total, direk, dan indirek) karena termasuk parameter penting
dalam kasus sepsis neonatal.

KIE
1. Membersihkan tangan sebelum memegang bayi.
2. Membersihkan alat-alat yang berhubungan dengan bayi.
3. Pemberian ASI eksklusif.
4. Membersihkan dan dekontaminasi alat-alat perawatan secara teratur
5. Persalinan bersih dan aman
6. Pemeriksaan kesehatan petugas secara berkala, disarankan untuk memakai
sarung tangan dan masker di setiap tindakan.
7. Kontrol dan identifikasi yang cepat terhadap sumber infeksi
8. Memisahkan bayi yang sakit dengan bayi yang sehat untuk menghindarkan
timbulnya infeksi nosokimial
9. Tangan dan kulit yang terkena darah atau cairan tubuh dari bayi segera
dicuci.
DAFTAR PUSTAKA

Angus, D. C. dan Van Der Poll, T. 2013. Severe Sepsis and Septic Shock. New
England Journal of Medicine. 369 (9) : 840 – 851.

Birken, S.L. dan Dipiro, J.T. 2008. Sepsis And Septic Shock, In:
Pharmacotherapy: A Pathophysiologic Approach. Edisi VII. New York :
Mc. Graw Hill.

BMJ Team. 2014. BNF for Children (British National Formulary for Children)
2014 - 2015. London : BMJ Group.

Bochud, P.Y. dan Calandra, T. 2003. Patogenesis of Sepsis : New Concepts and
Implications for Future Treatment. BMG. 326 : 262 – 266.

Chen, K., and Pohan, H.T.2009. Penatalaksanaan Syok Septik. In: Sudoyo, A.W.,
Setiyohadi, B., Alwi, I., Simadibrata, M., Setiati, S., ed. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. 5th ed. Jakarta: Interna Publishing, 252-256.

Dellinger, R.P. 2013. International Guidelines for Management of Severe Sepsis


and Septic Shock : 2012. Surviving Sepsis Campaigne. 41 (2) : 580 – 586.

Dellit TH, Owens RC, McGowan JE. 2007. Infectious Diseases Society of
America and the Society for Healthcare Epidemiology of America:
Guidelines for Developing an Institutional Program to Enhance
Antimicrobial Stewardship. Clin Infect Dis.44 : 159-77.

Dipiro, J.T., Talbert R.L., Yee, G.C., Matzke, G.R., Wells, B.G., Posey, L.M. 2005.
Pharmacotherapy: A Pathophysiologic Approach Sixth Edition. USA: The
McGraw-Hill Companies, Inc.

Effendi, S.H. 2013. Sepsis Neonatal; Penatalaksanaan Terkini Serta Berbagai Masalah
Dilematis. Simposium Ilmiah dan Workshop.
Guntur, H. A. 2009. Sepsis. Dalam : Sudoyo, A.W., Setyohadi, B., Alwii, Simadibrata,
M., Setyati, S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, jilid 3, edisi 4. Jakarta : Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UI.

Halim-Mubin, A. 2001. Ilmu Penyakit Dalam: Diagnosis dan Terapi. Cetakan I.


Jakarta: EGC, 583-586.

Hayatullah, M.K., Tjipta, G.D., Sianturi, P., Azlin, E., Lubis, B.M., Syamsidah, Wahyuni,
F. 2017. Terapi Antibiotika Empiris pada Neonatus. The Journal of Medical
School, University of Sumatera Utara. 50 (2) : 107 – 110.

Hidayati, Arifin, H. dan Raveinal. 2016. Kajian Penggunaan Antibiotik pada Pasien
Sepsis dengan Gangguan Ginjal. Jurnal Sains Farmasi dan Klinis. 2 (2) : 129 –
137.

Hinds, C.J., Moss, P.J., Lanmiet, L. dan Prestone. 2012. Kumar and Clarck’s Clinical
Medicine. 8th ed. Spanyol : Saunders Elsavior

Irawan, D., Hamidah, dan Purwati. 2012. Profil PenderitaSepsis AkibatBakteri


Penghasil ESBL. Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UNAIR/RSUD Dr.
Soetomo Surabaya. J Peny Dalam. Vol. 13 (1).
Kasper, D.L. 2005. Harrison’s Principles of Internal Medicine. 16 th ed. New
York : Mc Graw Hill.

Lever A. dan Mackenzie, I. 2007. Sepsis: Definition, Epidemiologi, and Diagnosis. BMJ.
335 : 83 – 879.

Moss, P.J., Langmead, L., Preston, S.L., Hinds, C.J., Watson, D., dan Pearse,
R.M. 2012. Kumar and Clark’s Clinical Medicine. 8th ed. Spanyol:
Saunders Elsevier.

Opal, S.M. 2012. Septicemia. In: Ferri et al., ed. Ferri’s Clinical Advisor 2012: 5 Books
in 1. Philadelphia: Elsevier Mosby, 924-925.

Pusponegoro, T.S. 2000. Sepsis pada Neonatus (Sepsis Neonatal). Sari Pediatri. 2
(2) : 96 – 102.
Rudolph, A. M., Hoffman, J.I.E., Rudolph, C.D. 2014. Infeksi Bakteri dan Virus.
In: Grossman, M., editor. Buku Ajar Pediatri Rudolph (20 th ed). Jakarta :
EGC. 7 – 595.

Russell, J.A. 2012. Shock Syndromes Related to Sepsis. In: Goldman, L., and
Schaffer, A.I., ed. Goldman’s Cecil Medicine. 24th ed. Philadelphia:
Elsevier Saunders, 658-665.

Shapiro, N.I., Zimmer, G.D., and Barkin, A.Z.2010. Sepsis Syndromes. In: Marx.
ed. Rosen’s Emergency Medicine Concepts and Clinical Practice. 7th ed.
Philadelphia: Mosby Elsevier, 1869-1879.

Simmons M.L., Durham S.H., Carter C.W. 2012. Pharmacological Management


of Pediatric Patient with Sepsis. AACN Adv Crit Care. 23 : 437-48.

Widodo, D. 2004. The Clinical, Laboratory, and Microbiological Profile of


Patients with Sepsis at The Internal Medicine in Patient Unit of Dr. Cipto
Mangunkusumo National General Hospital, Jakarta. Med J Indones. 13 :
90 – 95.

Anda mungkin juga menyukai