Anda di halaman 1dari 33

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sepsis merupakan suatu keadaan yang ditandai dengan adanya infeksi dan sistemik

inflammatory response syndrome. Sepsis merupakan keadaan darurat medis yang bergantung

pada waktu penanganan. Semakin cepat terdiagnosa dan tertangani, maka akan semakin baik

dalam mempertahankan kehidupan (National clinical guideline,2014). Sepsis adalah respon

inflamasi sistemik tubuh terhadap infeksi mikroba yang dapat menyebabkan kerusakan organ,

shock, dan akhirnya kematian. Sepsis disebut sebagai ‘Silent killer’, Diam, karena bisa sangat

sulit untuk di identifikasi terjadi dengan cepat dengan gejala sering menunjukkan penyakit

kurang serius seperti influenza. Dengan sekitar 123.000 kasus sepsis per tahun di England dan

sekitar 36.800 meninggal dunia. Sepsis kini mengklaim kehidupan lebih dari kanker paru-paru

,pembunuh terbesar kedua setelah penyakit kardiovaskular.

Sepsis adalah keadaan disfungsi organ yang mengancam jiwa dikarenakan respon tubuh

terhadap infeksi yang mengalami disregulasi. Sepsis adalah masalah kesehatan utama di dunia

yang menyerang jutaan orang di dunia setiap tahunnya dan menyebabkan kematian pada 1 dari

4 orang.Sepsis masih merupakan salah satu utama kematian pada kasus kritis di Indonesia.

Laporan WHO pada tahun 2015 Angka kematian diakibatkan oleh sepsis dan penyakit infeksi

di Indonesia yaitu 1,8 per 1000 kelahiran hidup. Dengan penatalaksanaan yang cepat dan tepat.

menurut penelitian NHS England (2015), diperkiraan dapat menghindari 10.000 kejadian
kematian per tahun akibat sepsis. Selain itu, sepsis juga merupakan penyebab utama dari

ARDS (Susanto & Sari 2012), dan juga AKI (Sinto & Nainggolan 2010).

Berdasarkan data tersebut, sebagai perawat harus selalu meningkatkan kompetensi baik

dalam hal teori maupun praktik di lapangan, agar pemberian asuhan keperawatan lebih

maksimal. Dengan demikian diharapkan dapat membantu menurunkan angka morbiditas dan

mortalitas akibat sepsis


1.2 Rumusan Masalah

Sepsis merupakan salah satu penyumbang tingginya angka mortalitas dalam keperawatan

kritis. Untuk itu hendaknya kita mengetahui apa itu sepsis? Bagaimana etiologi, tanda gejala,

klasifikasi, patofisiologi, komplikasi, pemeriksaan penunjang dan penatalaksanaannya serta

advokasi dan pendidikan kesehatan pada pasien kritis dengan sepsis?

1.3 Tujuan

1.3.1 Tujuan umum

Untuk menjelaskan tentang keperawatan kritis pada pasien sepsis

1.3.2 Tujuan khusus

1 Menjelaskan tentang pengertian, etiologi, tanda gejala, klasifikasi, patofisiologi,

komplikasi, pemeriksaan penunjang dan penatalaksanaan sepsis.

2 Menjelaskan tentrang advokasi dan pendidikan kesehatan pada pasien sepsis


BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sepsis

2.1.1 Definisi

Sepsis merupakan infeksi yang di sebabkan oleh masuknya pathogen kedalam darah

sehingga menyebabkan adanya manifestasi Systemic Inflammation Response Syndrome

(SIRS)(sepsis = infeksi + SIRS) (Dosen Keperawatan Medikal-Bedah Indonesia 2017).

Pada tahun 1991, American College of Chest Physicians/Society of Critical Care Medicine

membuat suatu istilah dan definisi untuk menjelaskan sepsis yang lebih tepat yaitu suatu

sindroma dari respon peradangan secara sistemik (Systemic Inflammation Response

Syndrome atau SIRS),yang terdiri dari: Hyperthermia atau hypothermia (> 38 atau < 36),

tachycardia >90/menit, dan tachypnea >20/menit (Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit

Dalam Indonesia 2010). Sepsis merupakan tipe spesifik respons inflamasi sistemik terhadap

infeksi (Stillwell 2011).

2.1.2 Etiologi

Penyebab dari sepsis terbesar adalah bakteri Gram negative dengan presentase 90% kasus

yaitu Staphylococci,Pneumoccoci,Streptococcus dan bakteri Gram negative lainnya. Jamur

opoortunitik,virus (dengue dan herpes) atau protozoa (Falciparum malariae) jarang terjadi

sepsis. Komplikasi dari infeksi dalam tubuh terutama pada sistem saluran pernafasan,perut,

dan aliran darah juga sering menjadi penyebab sepsis (Dosen Keperawatan Medikal-Bedah

Indonesia 2017).
Penyebab umum sepsis pada orang sehat

Sumber/Lokasi Mikroorganisme

Kulit Staphylococcus aureus dan gram positif bentuk coccci lainnya

Saluran kemih Eschericia colli dan gram negative bentuk batang lainnya

Saluran pernapasan Streptococcus pneumonia

Usus dan kantung empedu enterococcus faecalis, E.coli dan gram negative bentuk batang

lainnya

Organ pelvis Neisseria gonorrhea, aerob

Penyebab umum sepsis pada orang yang dirawat

Masalah Klinis Sumber infeksi

Pemasangan kateter Escherichia coli, Klebsiella spp, proteus spp., serratia spp.,

pseudomonas spp

Penggunaan iv kateter Staphylococcus aureus., staph. Epidermidis, klebsiella spp,

pseudomonas spp., candida albicans


Setelah operasi:

Staph. Aureus., E.Coli

Wound infection Anaerobes (tergantung lokass)

Deep infection Tergantung loksi anatomisnya

Luka bakar Coccus gram-positif, pseudomonas spp., Candida albicans

Pasien Semua mikroorganisme di atas

immunocompromised

2.1.3 Tanda dan gejala

Kriteria untuk menentukan diagnosis sepsis didasarkan pada:

1. Variabel umum/kriteria diagnosis systemic inflammatory response syndrome (SIRS) :

Demam (>38,3 ̊ C), hipotermia (<36 ̊ C),denyut jantung (>90 denyut permenit atau >2 SD

batas atas kisaran normal berdasarkan usia),takipnea,perubahan status mental,Edema atau

keseimbangan cairan positif (>20 mL/kg berat badan selama periode 24 jam),

Hiperglikemia (glukosa plasma>140 mg/dL [7,7 mmol/liter]) dengan tidak adanya

riwayat diabetes.

2. Variable inflamasi :

Leukositosis (jumblah sel darah putih >12.000/μL), leukopenia (jumlah sel darah putih

<4000/μL), jumblah sel darah putih normal dengan >10% bentuk imatur, peningkatan

plasma C-reactive protein (>2 SD di atas batas atas kisaran normal),plasma prokalsitonin

(>2 SD di atas batas atas dari kisaran normal sesuai usia).

3. Variable hemodinamik :
Hipotensi arteri (tekanan sistolik <90 mmHg,mean arterial pressure (MAP) <70 mmHg

atau penurunan tekanan sistolik >40 mmHg atau >2 SD dibawah kisaran normal sesuai

usia),saturasi oksigen vena campuran <70%, cardiac index >3,5 liter/menit).

4. Variable disfungsi organ :

Hipoksemia arteri (PaO₂/FiO₂ <300) oliguria akut output urine <0,5 mL/kg/jam selama

≥2 jam), kreatinin >176,8 mmol/L, kelainan koagulasi (INR >1,5 atau aPTT >60

detik),ileus paralitik (tidak ada bising usus), trombisitopenia (trombosit <100.000 μL),

hiperbilirubinemia (plasma bilirubin total>34,2 mmol/L).

5. Variable perfusi jaringan :

Hiperlaktemia (laktat >1 mmol/L) dan penurunan waktu pengisian ulang kapiler.

Manifestasi klinis yang dapat dijumpai pada saat dilakukan pemeriksaan fisik yaitu:

1. Sepsis

a. Demam di atas 38,3 ̊ C atau suhu tubuh di bawah 46 ̊ C

b. Frekuensi jantung lebih dari 90 denyut permenit

c. Frekuensi pernafasan lebih dari 20 kali/menit

d. Kemungkinan atau dipastikan ada infeksi

2. Sepsis berat

a. Perubahan warna kulit

b. Penurunan jumlah haluaran urine

c. Perubahan status mental

d. Penurunan trombosit

e. Masalah pernapasan

f. Fungsi jantung abnormal


g. Menggigil

h. Tidak sadar

i. Kelemahan hebat

(Dosen Keperawatan Medikal-Bedah Indonesia 2017).

2.1.4 Klasifikasi

1. Menurut sumber infeksi

a. MRSA sepsis: disebabkan oleh bakteri Staphylococcus aureus yang resisten terhsdsp

methicillin

b. VRE sepsis : disebabkan oleh jenis bakteri enterococcus yang resisten terhadap

vancomycin

c. Urosepsis: sepsis yang berasal dari infeksi saluran kencing

d. Wound sepsis: sepsis yang berasal dari infeksi luka

e. Neonatal sepsis: sepsis yang terjadi pada bayi baru lahir, biasanya 4 minggu setelah

kelahiran

f. Sepsis abortion: aborsi yang diakibatkan adanhya infeksi pada ibu

2. Menurut tingkat keparahan

a. SIRS

SIRS merupakan suatu sindroma dari respon peradangan secara sistemik(Systemic

Inflammation Response Syndrome atau SIRS),yang terdiri dari: 1. Hyperthermia atau

hypothermia(> 38, 3 ̊ C atau < 36 ̊ C ) ; 2. Tachycardia (>90 denyut permenit atau >2

SD batas atas kisaran normal berdasarkan usia) ; 3. tachypnea >20/menit ; 4. Perubahan

status mental ; 5. Edema atau keseimbangan cairan positif (>20 mL/kg berat badan
selama periode 24 jam), 6. Hiperglikemia (glukosa plasma>140 mg/dL [7,7

mmol/liter]) dengan tidak adanya riwayat diabetes (Dosen Keperawatan Medikal-

Bedah Indonesia 2017).

b. Sepsis

Adalah sindroma klinis dimana terdapat kejadian infeksi disertai SIRS.

c. Severe sepsis

Komplikasi sepsis sudah mengarah pada disfungsi organ akut

d. Septic shock

Severe Sepsis positive disertai dengan syok sirkulasi dengan tanda-tanda disfungsi

organ atau hipoperfusi. Pada tahap ini akan tetap terjadi hipotensi meskipun telah

diberikan resusitasi cairan secara adekuat atau mewmerlukan vasopressor untuk

mempertahankan tekanan darah dan perfusi organ (National Clinical Effectiveness

Committee 2014).

2.1.5 Patofisiologi

Sepsis dipahami sebagai keadaan yang melibatkan aktivasi awal dari respon pro-

inflamasi dan anti-inflamasi tubuh. Bersamaan dengan kondisi ini, abnormalitas sirkular

seperti penurunan volume intravaskular, vasodilatasi pembuluh darah perifer, depresi

miokardial, dan peningkatan metabolisme akan menyebabkan ketidakseimbangan antara

penghantaran oksigen sistemik dengan kebutuhan oksigen yang akan menyebabkan hipoksia

jaringan sistemik atau syok Presentasi pasien dengan syok dapat berupa penurunan

kesadaran, takikardia, penurunan kesadaran, anuria. Syok merupakan manifestasi awal dari
keadaan patologis yang mendasari. Tingkat kewaspadaan dan pemeriksaan klinis yang

cermat dibutuhkan untuk mengidentifikasi tanda awal syok dan memulai penanganan awal.

Patofisiologi keadaan ini dimulai dari adanya reaksi terhadap infeksi. Hal ini akan

memicu respon neurohumoral dengan adanya respon proinflamasi dan antiinflamasi, dimulai

dengan aktivasi selular monosit, makrofag dan neutrofil yang berinteraksi dengan sel

endotelial. Respon tubuh selanjutnya meliputi mobilisasi dari isi plasma sebagai hasil dari

aktivasi selular dan disrupsi endotelial. Isi Plasma ini meliputi sitokin-sitokin seperti tumor

nekrosis faktor, interleukin, caspase, protease, leukotrien, kinin, reactive oxygen species,

nitrit oksida, asam arakidonat, platelet activating factor, dan eikosanoid.9 Sitokin

proinflamasi seperti tumor nekrosis faktor α, interleukin-1β, dan interleukin-6 akan

mengaktifkan rantai koagulasi dan menghambat fibrinolisis. Sedangkan Protein C yang

teraktivasi (APC), adalah modulator penting dari rantai koagulasi dan inflamasi, akan

meningkatkan proses fibrinolisis dan menghambat proses trombosis dan inflamasi.8Aktivasi

komplemen dan rantai koagulasi akan turut memperkuat proses tersebut. Endotelium

vaskular merupakan tempat interaksi yang paling dominan terjadi dan sebagai hasilnya akan

terjadi cedera mikrovaskular, trombosis, dan kebocoran kapiler. Semua hal ini akan

menyebabkan terjadinya iskemia jaringan. Gangguan endotelial ini memegang peranan

dalam terjadinya disfungsi organ dan hipoksia jaringan global


(Irvan *, Febyan*, 2018)

2.1.6 Komplikasi

Komplikasi-komplikasi yang dapat terjadi mencakup ARDS, iskemia jantung ,iskemia

mesenterika, nekrosis tubular akut dengan gagal ginjal, trauma hati akut (gagal hepar), DIC,

gangguan neuromuscular, dan hipoperfusi serebral.

1. ARDS (Acute respiratory distress syndrome)


ARDS tampak pada 60-70% pasien dengan sepsis berat. Hal ini ditandai dengan adanya

infiltrat paru pada rontgen tanpa adanya gagal jantung kiri dan adanya kegagalan dalam

pertukaran gas paru yang ditandai dengan rasio PaO2/FiO2 dibawah 200 mmHg.

2. Iskemia jantung

Iskemia adalah ketidakcukupan suplai darah ke jaringan atau organ tubuh. Iskemia timbul

oleh adanya permasalahan pada pembuluh darah. Kelainan intrinsik fungsi jantung

ditemukan pada 40% pasien sepsis meskipun curah jantung pada keadaan sepsis berada

dalam batas normal atau bahkan meningkat, gangguan fungsi jantung pada keadaan sepsis

dapat meningkatkan resiko terjadinya kematian karena penurunan curah jantung dan

gangguan perfusi perifer. Penurunan curah jantung pada keadaan sepsis yang disertai

gangguan respon intrinsik (neuro hormonal) organ kardiovaskular bermanifestasi pada

timbulnya gangguan hemodinamik yang ditandai oleh penurunan tonus pembuluh darah

perifer, gangguan perfusi sistem organ dan terjadinya penurunan pompa jantung (sistolik)

yang diakibatkan oleh dilatasi ruang – ruang jantung (ventrikel) disertai gangguan

compliance (diastolik). (Jurnal Kardiologi Indonesia,2010)

3. Iskemia mesenterika

Iskemia mesenterika atau sering di sebut Iskemia usus terjadi ketika aliran darah ke usus

diperlambat atau dihentikan. Karena aliran darah berkurang, maka sel-sel dalam sistem

pencernaan akan kekurangan pasokan oksigen, dan dapat menjadi lemah dan mati, hingga

merusak usus. Pada Sepsis terjadi gangguan kardiovaskular dimana suplai darah dari

jantung ke seluruh tubuh berkurang termasuk usus. Selain itu kerusakan fungsi jantung

juga bisa menyebabkan hal ini,dimana jantung mengeluarkan bekuan darah yang
mengakibatkan penyumbatan arteri mesenterika sehingga suplai darah tidak sampai ke

usus.

4. Disseminated intravascular coagulation

DIC merupakan suatu sindroma yang ditandai dengan memuncaknya aktivasi koagulasi

dalam pembentukan fibrin intravaskular dan endapan di mikrovaskular. Endapan tersebut

akan mempengaruhi suplai darah ke organ dan dapat berkontribusi dalam proses

terjadinya kegagalan multi organ.

5. Gagal hepar

Disfungsi hepar terjadi pada jam pertama sepsis. Gangguan ditandai dengan adanya

hepatomegali dan total bilirubin > 2mg/dl. Dengan penanganan yang tepat diharapkan

proses disfungsi ini tidak berlanjut, karena disfungsi hati lanjut lebih berbahaya dan lebih

tidak menyenangkan bagi penderita. Ditandai dengan perlukaan yang lebih mendalam

yang dapat memicu kegagalan multi organ.

6. Gangguan neuromuscular

Otot skeletal juga dipengaruhi oleh mediator inflamasi dan oksigen reaktif yang secara

simultan menurunkan sintesa protein dan proteolisis. Faktor faktor ini dapat menurunkan

kekuatan otot termasuk didalamnya otot pernapasan yang dapat menyebabkan gagal

napas akut.

7. Hipoperfusi serebral

Jika sumber infeksi diluar CNS, gangguan neurologik dapat dianggap sebagai

ensefalopati septik. Beberapa kondisi lainnya dapat menambah efek sekunder seperti

hipoksemia, gangguan metabolik, elektrolit, dan hipoperfusi serebral selama keadaan

syok. Gejal dapat bervariasi mulai dari agitasi, bingung, delirium, dan koma. Walaupun
tidak terlihat defisit neurologi tetapi dapat terjadi mioklonus dan kejang. Gangguan CNS

berat memerlukan proteksi jalan napas dan support ventilasi. (Jeffrey and Scott, 2012)

2.1.7 Pemeriksaan penunjang

1. Laboratorium

a. Hitung darah lengkap: Ht (Normal: pria 40-50%; wanita 36-46%)² meningkat pada

status hipovolemik karena hemokonsentrasi; Leukopenia (normal: 4.500-10.000 μL)²

pada awal dan di ikuti leukositosis karena peningkatan percepatan produksi sel darah

putih imatur ; Trombosit (normal: 150.000-400.000 μL)² awalnya akan meningkat

sebagai reaksiakut tetapi akan menurun pada tahap lanjut.

b. Elektrolit serum: berbagai ketidakseimbangan terjadi karena asidosis,pergeseran

cairan, dan gangguan fungsi ginjal

c. Factor pembekuan: Penurunan trombosit (trombositopenia); Masa protrombin dan

tromboplastin parsial akan memanjang karena iskemia hati,toksin dalam darah atau

status syok.

d. Produk degradasi fibrin: meningkat karena kecendrungan pada perdarahan.

e. Laktat serum: Peningkatan (normal: 0,5-2 mEq/L, 11,5 mg/dL [darah arteri]; 0,5-1,5

mEq/L, 8,1-15,3 md/dL [darah vena])² pada asidosis metabolic,disfungsi hati dan

syok.

f. Glukosa serum: terjadi hiperglikemia (normal: 70-110 mg/dL [puasa]; <140mg/dL [2

jam setelah makan])² akibat resistensi insulin dan kelaparan seluler.


g. Nitrogen urea darah /kreatinin: Kadarnya meningkat (normal: 5-25 mg/dL [nitrogen

urea darah]; 0,5-1,5mg/dL [kreatinin serum])² karena dehidrasi,gangguan atau gagal

ginjal, dan disfungsi atau gagal hati.

h. Gas darah arteri: Dapat terjadi alkalosis respiratori dini dan hipoksemia. Selanjutnya,

hipoksemia,asidosis respiratori, dan asidosis metabolic dan laktat terjadi karena

gangguan mekanisme kompensasi.

i. Culture: misalkan kutur darah, dahak, dan urin. Kultur baik dilakukan sebelum

memberikan anti biotik.

Secara Umum (General Variable) Perfusi jaringan

-suhu tubuh >38,3° atau <36° -Kadar serum laktat >1 mmol/L

-HR >90x/menit -menurunnya capillary refill

-tachypnea

-berubahnya status kesadaran

-edema yang significan atau Balance

cairan yang positif >20ml/kg dalam 24 jam

-hiperglikemia (>120mg/dL)

Inflamantory variable Penurunan Fungsi Organ

-WBC (sel darah putih) >12.000, -Pao₂/Fio₂ <300

<4.000mm³ atau >10% dari noemal -output urin <0,5 mL/kg/jam

-naiknya plasma protein C-reaktif -menurunnya creatinine >0,5 mg/dL

-naiknya plasma procalcitonin -INR >1.5 atau aPTT >60 detik

-Ileus

-Platelet <100.000 mm³


-hiperbilirubinemia (plasma total bilirubin

>4mg/Dl)

Hemodinamik

-sistolik<70 mmHg atau menurun >40

mmHg

-Svo₂ >70%

-CI >3.5 L/m/m³

(Urden, Stacy, Lough, 2010)


(Urden, Stacy, Lough, 2010)

2. Pencitraan

a. Rontgen dada dan abdomen


Menunjukan pneumonia,sumber infeksi umum,udara bebas di abdomen dapat

menunjukan perforasi organ karena infeksi.

b. USG abdomen

Merupakan modalitas pilihan ketika dicurigai adanya gangguan pada saluran empedu

c. CT Scan

Memstikan terjadinya abses abdomen atau kecurigaan gangguan pencernaan lain

3. Prosedur diagnostik

a. Kultur dan sensitivitas

Luka,sputum,urine,darah,cairan spinal,atau jalur invasive untuk mengidentifikasi

organisme penyebab dan untuk pilihan pengobatan yang tepat.

b. Urinalisis

Adanya sel darah,protein dan bakteri dalam urine menunjukan adanya infeksi (Dosen

Keperawatan Medikal-Bedah Indonesia 2017).


2.1.8 Penatalaksanaan

(Department of Health (DOH), 2014)

2.1.9 Penatalaksanaan Perawat

1. Observasi sebelum sepsis. Menurut Urden, Stacy, Lough, (2010) saat terjadi sepsis

perawat melakukan screening pada pasien dewasa sebagai berikut:

a. Infeksi:apakah pasien memiliki satu atau lebih dari tanda-tanda infeksi?

 Apakah pasien punya hasil culture yang positive? (misal darah, sputum, urine)

 Terapi antiinfeksi: apakah pasien mendapat terapi antibiotic, antifugal, atau

terapi antiinfeksi ?
 Pneumonia: apakah ada dokumen/pemeriksaan yang menunjukkan

pneumonia? (misalkan pemerikaan x-ray dada)

b. SIRS (Systemic Inflamatory Response Syndrome): apakah pasien mempiliki dua

atau lebih dari kriteria SIRS?

a) Suhu Badan >38 C atau < 36

b) Heart Rate > 90x/menit

c) RR > 20x/menit

d) Hasil Leukosit lebih dari atau sama dengan 12000/mm3 atau kurang dari

4000mm3

c. Disfungsi organ akut: apakah pasien punya satu atau lebih dari disfungsi organ?ys

a) Kriteria Kardiovaskular : Apakah pasien mempunyai tekanan < 70 mmHg

b) Kriteria Respirasi : Apakah Pasien mempunyai Ratio Pao2/FI02 < 250, PEEP

> 7,5

c) Renal Kriteria : Apakah Pasien urine output yang rendah ( <0,5ml/kg/hr untuk

1 jam) , hasil kreatinin lebih dari 50% hasil normal

d) Kriteria Darah : Apakah pasien mempunyai hasil trombosit < 100,000mm3

atau PT/PTT lebih dari nilai normal

e) Kriteria Metabolik : Apakah pasien mempunyai PH yang rendah dengan kadar

laktat yang tinggi ( PH <7,30 dan Plasma Laktat lebih dari normal ?

f) Kriteria Hepatic : Apakah Pasien mempunyai enzim hati lebih dari 2 dari

kadar normal

g) Kriteria Sistem Saraf Pusat : apakah pasien mempunyai kesadaran penuh atau

terjadi penurunan Kesadaran?


Pada pasein ibu hamil : pada pasein hamil monitor riwayat dari infesksi saluran

kencing, riwayat infeksi grup B streptococcus, PPROM , ceclage, amnioncentesis.

Tanda gejala: suhu >38C atau <36C, HR >100x/menit,RR >20x/mnt, WCC >16.9

ul, kesadaran, BSL >7,7 mmol/l

2. Mengobservasi urine output: mengobservasi urin output dan dan

memmpertimbangkan caterisasi urine untuk mengukur dengan akurat untuk pasien

sepsis/ syok sepsis (Department of Health (DOH), 2014)

3. Oksigenasi: memberikan O₂, dengan memberikan oksigen hingga saturasioksigen 94-

98% atau 88-92% pada penyakit paru-paru kronik

4. Kolaborasi cairan: mulai pemberian cairan IV resusitasi jika terjadi hypovolemia dan

atau syol 500/1000 ml bolus cairan isotonic cristaloid selama 15-30 menit atau beri

maksimal 30 ml/kg, menggobservasi pada saat resusitasi cairan adanya hypovolemia,

euvolaemia ataou overload cairan.

5. Kolaborasi Antibiotic: beri antibiotic secara IV sesuai dengan antibiotic yang sesuai.

6. Pencegahan infeksi: penggunaan chlorhexidine gluconate untuk membersihkan mulut

berhubungan dengan penggunaan OA (oropharinge airway) dan mengurangi

ventilator associated pnemonia

7. Kolaborasi cairan: albumin diberikan untuk resusitasi pada syok sepsis

8. Kolaboras vasopressor: diberikan vasopressor hingga MAP 65 mmHg (Department of

Health (DOH), 2014)

2.1.10 Penatalaksanaan medi

Langkah dasar yang dilakukan untuk mengurangi kemungkinan sepsis berkembang dari

infeksi di semua kelompok berisiko:


1. Kebersihan tangan baik dan teknik mencuci tangan antara masyarakat dan profesional di

semua sektor akan membantu mengurangi penyebaran infeksi, sehingga mengurangi

kemungkinan sepsis berkembang.

2. Infeksi bakteri sekunder yang mengarah ke sepsis merupakan komplikasi yang dari

influenza (flu), khususnya di kelompok berisiko. Vaksinasi flu pada kelompok sasaran

akan mengurangi resiko sepsis pada kelompok yang menderita influenza. Ekstensi dari

program imunisasi flu nasional saat ini yaitu untuk memasukkan anak-anak sekolah pada

tahun pertama dan kedua serta anak-anak berusia 2, 3 dan 4 tahun. Ini akan melindungi

anak-anak dan juga membantu untuk mengurangi penyebaran infeksi dari mereka yang

berisiko ke populasi yang sehat.

3. Vaksinasi telah membuat kontribusi besar untuk pencegahan sepsis. Cakupan tinggi

vaksinasi masa kanak-kanak untuk Haemophilus influenzae tipe B, meningokokus

serogrup C dan infeksi pneumokokus tidak hanya melindungi anak-anak yang divaksinasi

tetapi juga telah mengurangi sirkulasi organisme ini di masyarakat yang dapat

menyebabkan sepsis. Vaksinasi terhadap infeksi virus - termasuk campak dan influenza

secara besar-besaran juga dapat mengurangi risiko infeksi bakteri sekunder (NHS

England 2015).

Penatalaksanaan sepsis

1. Intubasi mungkin diperlukan untuk mempertahankan oksigenasi

2. Hipotensi harus dikontrolagar tidak progresif

a. Pertama kali diberikan volume besar(4-6 liter) kristaloid IV( larutan garam fisiologis atau

RL) untuk mengkompensasi terhadap peningkatan ruangan interavaskuler yang

disebabkan oleh vasodilatasi


b. Vasopressor untuk hipotensi yang refrakter (misalnya norepineprin,dopamine atau

fenilefrin) untuk mempertahankan Mean arterial Blood pressure > 65 mmHg

c. Jalur masuk vena sentral dan monitor tekanan darah arterial diindikasikan untuk

memandu terapi pada kasus-kasus yang berat

3. Segera setelah darah, urinedan sputum didapatkan untuk pemeriksaan kultur, terapi

antibiotic IV spectrum luas empirik mulai diberikan

4. Protein C yang diaktifkan (droctrecogin alfa) terbukti dapat menurunkan mortalitas pada

pasien yang sakit bert dengan sepsis

5. Jika terjadi anemia, lakukan transfuse dengan PRC yang diindikasikan untuk mendapat

hematocrit>30 (Jeffrey and Scott,2012)

Penatalaksanaan sepsis berat dan syok sepsis

1. Lakukan pengukuran serum lactace atau procalcitonin

2. Lakukan pemeriksaan kultur darah sebelum memberikan antibiotik. Dianjurkan sampel

darah harus mencukupi agar hasil positif kulturnya meningkat, 10 ccdari lengan kiri dan 10

cc dari lengan kanan. Serta sampel diambil dari tempat lain yang ada hubungannya dengan

sumber infeksinya (misalnya tenggorokan, luka, urine)

3. Berikan antibiotic broad spectrum dalam jam pertama

4. Atasi hipotensi dan atau peningkatan serum tactate dengan pemberian cairan

5. Pada keadaan tekanan darah yang tetap rendah meski sudah dilakukan resusitasi cairan

(kondisi septic syok) atau kadar asam laktat >4 mmol/1’ maka central venous pressure dan

saturasi oksigen perlu dipertahankan secara adekuat

a. Pertahankan tekanan vena central (CVP)>8 (8-12)


b. Pertahankan saturasi oksigen vena sentral (ScvO2)>70%

6. Pertimbangkan pemberian kortikosteroid dosis rendah pada penderita septic syok yang tidak

dapat diatasi oleh resusitasi cairan dan vasopressor

a. Tidak dianjurkan menggunakan deksamethasone apabila tersedia hydrocortisone, dosis

setara dengan dosis hydrocortisone perhari

b. Dosis kortikosteeroid harus tapering off bila penderita sudah tidak memerlukan

vasopressor lagi

7. Pertimbangkan pemberian ActivatedProtein C (Rh APC) pada penderita dengan sepsis berat

dan resiko kematian tinggi. Dengan aPACHE II>25 atau multiple organ failure, serta tidak

ada kontraindikasi pemberian Rh APC (meningkatnya resiko perdarahan).

Kontraindikasi pemberian Rh APC:

a. Internal bleeding active, stroke hemoragik (dalam 3 bulan)

b. Pembedahan intracranial/spinal, trauma kepala berat (2 bulan terakhir)

c. Terpasang epidural kateter

d. Alergi terhadap Rh APC

8. Pemberin insulin terapi bila ada hiperglikemia pada penderita diabetes mellitus

9. Setelah regulasi awal dari kadar gula, padapenderita sepsis bert yang dirawat di ICU

dianjurkan penggunaan insulin IV untuk menurunkan kadar gulanya (target sekitar <150

mg/dL)

10. Dianjurkan penderita yang mendapat insulin IV juga mendapat sumber energi yang berasal

dari glukosa, dan dimonitor 1-2 jam. Setelah gula stabil monitor dilanjutkan per 4 jam. Paket

terapi ini sebaiknya dilaksanakan secara lengkap dalm waktu sekitar 6 jam sejak awal

diagnosis ditegakkan (Perhimpunan Dokter SpesialisPenyakit dalam Indonesia 2010)


2.1.10 Penatalaksanaan Nutrisi

Kejadian setelah cedera dapat memengaruhi banyak sistem organ, bisa bertahan lama berjam-

jam hingga berhari-hari, dan dapat disertai dengan gangguan fungsi kekebalan tubuh dan luka

yang tertunda penyembuhan. Besarnya respons tergantung terutama pada tingkat keparahan

penyakit, dengan individu variabilitas yang dihasilkan dari penyakit khusus pasien dan variasi

genetic (Slone, 2004):

1. Tingkat katabolisme protein melebihi tingkat sintesis protein, menghasilkan negative

keseimbangan nitrogen. Ada kehilangan massa otot dan degradasi protein di organ vital.

Itu proteolisis otot rangka yang dipercepat menyebabkan pergerakan asam amino

(terutama alanin) dan glutamin) dari perifer ke visera untuk glukoneogenesis. Alanine

adalah mayor asam amino yang digunakan untuk glukoneogenesis hati. Glutamin adalah

sumber energi pilihan enterosit, sel-sel sistem kekebalan tubuh, dan sel-sel yang terlibat

dalam perbaikan jaringan. Ini berfungsi sebagai substrat untuk glukoneogenesis ginjal dan

untuk sintesis hati antioksidan intraseluler glutathione. Asam amino rantai cabang seperti

leusin, isoleusin, dan valin juga menjadi substrat oksidatif penting selama penyakit kritis.

Sitokin dilepaskan dari monosit dan makrofag menyebabkan hati memprioritaskan ulang

sintesis proteinnya, tercermin dengan meningkatnya produksi protein fase akut "positif"

(misalnya, protein C-reaktif, a1-antitrypsin) dan penurunan sintesis protein fase akut

konstitutif "negatif" (albumin, prealbumin, protein pengikat retinol, transferrin). Ada

penurunan kadar protein visceral dalam darah terlepas dari status gizi pasien.

2. Metabolisme glukosa Selama stres, peningkatan produksi glukosa endogen adalah hasil

dari peningkatan hormon dan sitokin yang mengatur regulasi yang menstimulasi

glikogenolisis dan glukoneogenesis. Substrat utama untuk glukoneogenesis adalah


gliserol (dari adipose jaringan), alanin (dari otot rangka), dan laktat (dari jaringan perifer

dan otot rangka). Respons ini diyakini dapat memenuhi kebutuhan glukosa otak, leukosit,

dan sel-sel yang terlibat dalam perbaikan jaringan. Hiperglikemia mungkin ada bahkan

dengan kadar insulin darah normal atau meningkat, seperti resistensi insulin adalah

karakteristik dari stres umum. Pasien septik memiliki peningkatan yang signifikan dalam

glukagon, mediator hormon primer glukoneogenesis.Perubahan dalam pengambilan

glukosa seluruh tubuh dan oksidasi glukosa dalam sepsis adalah kompleks. Penyerapan

dan oksidasi glukosa seluruh tubuh dapat ditingkatkan pada tahap awal sepsis dan

endotoksemia. Ini mungkin hasil dari peningkatan sitokin yang diinduksi serapan glukosa

yang tidak dimediasi insulin oleh jaringan yang kaya akan fagosit mononuklear (misalnya,

hati, limpa, ileum, paru-paru).

3. Lipolisis dipercepat dengan mobilisasi gliserol dan asam lemak bebas, dan ada

peningkatan oksidasi asam lemak. Secara keseluruhan, simpanan energi pasien berkurang.

4. Penyakit kritis juga ditandai dengan aktivasi poros hipotalamus-hipofisis-adrenal dengan

pelepasan kortisol dari kelenjar adrenal. Ini tanggapan penting terhadap penyakit dan stres

berkontribusi pada pemeliharaan homeostasis seluler dan organ.

5. Gangguan cairan dan elektrolit yang signifikan dapat terjadi pada pasien yang sakit kritis,

tergantung pada masalah medis yang mendasari pasien, status gizi, dan obat atau resusitasi

terapi. Tinjauan terperinci tentang gangguan cairan dan elektrolit dapat ditemukan di

tempat lain

6. Respon fisiologis terhadap stres dan cedera serta efeknya pada metabolisme dan nutrisi

status pasien anak yang sakit kritis mirip dengan orang dewasa. Karena terbatasnya
mereka cadangan jaringan, pasien anak-anak dapat mengembangkan malnutrisi lebih

cepat daripada orang dewasa.

Penatalaksanaan nutrisi pada pasien kritis Penatalaksanaan nutrisi pasien dengan penyakit

kritis pada umumnya dan sepsis pada khusunya diawali dengan penilaian status gizi, yang

kemudian dilanjutkan dengan menentukan kebutuhan/jumlah, jenis, jalur pemberian nutrisi

(Slone, 2004)

American Collage of Chest Physicans Calories-Per kilogram merekomdasikan 25

kkalkg/BB actual/hari untuk pasein kritis secara umum, namun pada pasein obe

(IMT>25kg/m2) digunakan BB ideal, dan pada pasein malnutrisi (IMT<16kg/m2) Digunakan

bb aktual selama 7-10 hari selanjutnya mengguankan BB ideal (Walker & Heuberger, 2009)

Jalur pemberian nutrisi dibedakan menjadi 3 yaitu oral, enteral dan pariental (Moenajat, 2009).

Makronutrient yang dibutuhkan oleh tubuh adalah protein untuk mencegah terjadinya imbang

nitrogen negative. Pemberiannya pada pasein kritis adalah 1.5-2 gram/kgBB ideal/hari

(Sanjith, 2012). Asam amino juga dibuthkan terutama untuk menggulagi katabolisme otot.

Pada nutrisi parenteral lipid sebesar 0,7-1,5 gram/kg BB/hari. Untuk karbohidrat diperlukan

100-150 gram per hari untuk mencegah protein sparing effect. Dalam bentuk parenteral

seharusnya pemberian tidak melebihi 4-5 mg/kg BB/menit

Micronutrient diperlukan untuk menanggulangi hipermetabolisme dimana kebutuhan

minronutrient juga meningkat. mikronutrient yang diperlukan adalah vitamin b1, asam

askorbat, tembaga, selenium, dan seng. ESPEN merekomendasikan pasien kritis mendapatkan

nutrisi parenteral untuk mendapatkan sedikirnya multivitamin dan mineral sebesar 1x angka

kecukupan gizi.
Bagi pasein yang menggunakan ventilator utrisi yang diberikan sebesar 120% resting energy

expenditure (REE). Nutrisi diberikan untuk mempercepat weaning serta menurunkan masa

rawat di ICU (Kan et al., 2003). Imunonutrisi diberikan bertujuan unutk meningkatkan respon

imun pada pasien. Senyawa yang diberikan adalah gluatamin, arganin, asam lemak omega 3,

dan nukleotida (Trujillo, Robinson, Jacobs, Han-markey, & Wesley, n.d.).

2.2 Pendidikan Kesehatan Dan Advokasi

Advokasi membantu orang lain untuk tumbuh dan mengaktualisasikan diri. Tindakan

advokat adalah menginformasikan klien tentang hak mereka dan memastikan bahwa klien

memiliki informasi yang cukup untk mendasari keputusan mereka. Penyakit menyebabkan

penurunan kemandirian, hilangnya kebebasan melakukan tindakan, dan gangguan

kemampuan membuat pilihan. Oleh karena itu, advokasi menjadi landasan dan inti

keperawatan dan keperawatan bertanggung jawab mendukung advokasi manusia.

Selain itu, ANA Standards for Organized Nursing Service, standar IX (1993, hlm.19),

menyatakan bahwa layanan keperawatan membela penerimaan layanan dan personal serta

membantu iklim yang memberikan asuhan dengan cara sensitive terhadap keberagaman

sosial budaya.
BAB 3

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN KRITIS DENGAN SEPSIS

3.1 Pengkajian
Menggunakan pendekatan ABCDE.
1. Airway

a. yakinkan kepatenan jalan napas


b. berikan alat bantu napas jika perlu (guedel atau nasopharyngeal)
c. jika terjadi penurunan fungsi pernapasan segera kontak ahli anestesi dan bawa segera
mungkin ke ICU
2. Breathing
a. kaji jumlah pernasan lebih dari 24 kali per menit merupakan gejala yang signifikan
b. kaji saturasi oksigen
c. periksa gas darah arteri untuk mengkaji status oksigenasi dan kemungkinan asidosis
d. berikan 100% oksigen melalui non re-breath mask
e. auskulasi dada, untuk mengetahui adanya infeksi di dada
f. periksa foto thorak
3. Circulation
a. kaji denyut jantung, >100 kali per menit merupakan tanda signifikan
b. monitoring tekanan darah, tekanan darah <>
c. periksa waktu pengisian kapiler
d. pasang infuse dengan menggunakan canul yang besar
e. berikan cairan koloid – gelofusin atau haemaccel
f. pasang kateter
g. lakukan pemeriksaan darah lengkap
h. siapkan untuk pemeriksaan kultur
i. catat temperature, kemungkinan pasien pyreksia atau temperature kurang dari 36oC
j. siapkan pemeriksaan urin dan sputum
k. berikan antibiotic spectrum luas sesuai kebijakan setempat.
4. Disability
Bingung merupakan salah satu tanda pertama pada pasien sepsis padahal sebelumnya tidak ada
masalah (sehat dan baik). Kaji tingkat kesadaran dengan menggunakan AVPU.
5. Exposure
Jika sumber infeksi tidak diketahui, cari adanya cidera, luka dan tempat suntikan dan tempat
sumber infeksi lainnya.

3.2 Diagnosa
1. Domain 2 kelas 5 kode diagnose 00027 Defesiensi volume cairan
2. Domain 2 kelas 5 kode diagnose 000195 Risiko keseimbangan elektrolit
3. Domain 2 kelas 4 kode dignose 00179 risikoketidak stabilan kadar glukosa darah
4. Domain 4 kelas 4 kode diagnose 00092 intoleransi aktivitas
5. Domain 4 kelas 4 kode diagnose 00032 ketidak efektifan pola nafas
6. Domain 4 kelas 4 kode diagnosis penurunan curah jantung
7. Domain 4 kelas 4 kode diagnose 00033 hambatan ventilasi spontan
DAFTAR PUSTAKA

Basham, Kimberly.A & Vickie.A. Samuels Miracle. 1998. Critical CareInterdiciplinary


Outcome Pathways.Philadelphia: W>B> Saunders Company

Department of Health (DOH). (2014). Sepsis Management, National Clinical Guideline No. 6,

(6), 110.

Dosen Keperawatan Medikal-Bedah Indonesia, 2017. Rencana asuhan keperawatan Medikal-


Bedah Diagnosa Nanda-1 2015-2017 Intervensi NIC Hasil NOC. D. Yasmara, Nursiswati,&R.
Arafat,eds,Jakarta

Irvan *, Febyan*, S. (2018). Sepsis dan Tata Laksana Berdasar Guideline Terbaru. Jurnal

Anestesiologi Indonesia, X, 62–73.

Kan, M.-N., Chang, H.-H., Sheu, W.-F., Cheng, C.-H., Lee, B.-J., & Huang, Y.-C. (2003).

Estimation of energy requirements for mechanically ventilated, critically ill patients using

nutritional status. Critical Care (London, England), 7(5), R108-115.

https://doi.org/10.1186/cc2366

Moenajat Y. Luka Bakar Masalah dan Tata Laksana. Edisi ke-4. Balai Penerbit FKUI. Jakarta.

2009

Sinto, R. & Nainggolan,G., 2010. Acute Kidney Injury : Pendekatan Klinis dan Tata Laksana

Slone, D. S. (2004). Nutritional support of the critically ill and injured patient. Critical Care

Clinics, 20(1), 135–157. https://doi.org/10.1016/S0749-0704(03)00093-9

Susanto,Y.S & Sari, F.R., 2012. Penggunaan Ventilasi Mekanis invasive pada Acute Respiratory
Distress Syndrome (ARDS). Jurnal respirasi Indonesia

Trujillo, E. B., Robinson, M. K., Jacobs, D. O., Han-markey, T. L., & Wesley, J. R. (n.d.).

Critical Care Nutrition and Immunonutrition Critical Care Nutrition and Immunonutrition,
1–14.

Urden, Linda D, Kathleen .M.Stacy & Mary. E. Lough. 2006.Critical care Nursing Diagnosis
and managemen,ed.6. 2010. USA: Mosby Elsevier

Walker, R. N., & Heuberger, R. A. (2009). Predictive equations for energy needs for the

critically ill. Respiratory Care, 54(4), 509–521. Retrieved from

http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/19327188

Anda mungkin juga menyukai