Anda di halaman 1dari 49

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Sepsis


2.1.1 Definisi Sepsis
Sepsis telah didefinisikan pertama kali pada tahun 1992 dengan
mengajukan konsep Systeminc Inflammatory Response Syndrome
(SIRS) yang di induksi oleh infeksi, berdasarkan 2 konferansi besar
untuk sepsis (American Collage of Chest Physician/Society of
Critical Care Medicine). Istilah infeksi dan sepsis sering digunakan
secara bergantian, sepsis merupakan respon penderita (host) terhadap
adanya infeksi oleh serangan mikroorganisme, dapat berupa virus,
bakteri atau jamur, hubungan antara inflamasi dan sepsis yang
dikenal dengan istilah SIRS, yang diakhibatkan oleh proses infeksi,
dengan indikator jika memiliki dua dari keempat parameter (suhu
>38 OC atau <36 OC, denyut nadi >90x/mnt, jumlah pernafasan
>20x/Mnt atau PCO2 <32mmHg, hasil hitung leukosit >12 atau <4 x
109/l) (Rello et al., 2009).

Pada tahun 2001, konferensi definisi sepsis internasional


memodifikasi model SIRS dan mengembangkan sebuah pandangan
luas mengenai sepsis. Konferensi ini mengembangkan konsep sistem
penderajatan untuk sepsis berdasarkan empat karakteristik terpisah
yang disebut sebagai PIRO. (Predisposisi, Infeksi, Respond an
Organ disfungsi) termasuk kegagalan sistem seperti sistem koagulasi
(Vicent and Abraham, 2006).

Dalam International Guidelenes for management of severe sepsis


and sepsis shock 2012 pada konferensi internasional kampanye
penaggulangan sepsis, sepsis didefinisikan sebagai adanya infeksi
(diduga atau terdokumentasi) bersamaan dengan manifestasi

13
14

sistemik dari infeksi. Sepsis berat (severe sepsis) adalah sepsis


ditambah adanya gangguan fungsi organ atau hiperfusi jaringan.
Hipotensi yang terinduksi sepsis didefinisikan sebagai tekanan darah
sistolik (SBP) < 90 mmHg atau MAP < 70 mmHg atau penurunan
SBP > 40 mmHg atau kurang dari dua standar deviasi dibawah
normal sesuai usia tanpa sebab lain sebagai penyebab hipotensi.
Sedangkan shock septic adalah sepsis berat disertai hipotensi yang
tidak membaik dengan resusitasi cairan (Dellinger et al., 2013).

Tabel 2.1 Kriteria diagnosis sepsis


Infeksi, baik terdokumentasi atau baru disangka, dengan beberapa
tanda dan gejala berikut:
Variabel Umum
Demam (suhu tubuh > 38,3OC)
Hipotermia (suhu tubuh < 36 OC)
Laju nadi >90 x/mnt
Takipneu (laju respirasi >24x/mnt)
Perubahan status mental (penurunan GCS tanpa sedasi)
Edema yang signifikan atau balance cairan positif (>20 cc/kg dalam
24 jam)
Hiperglikemik (glukosa plasma > 140 mg/dl) dengan ketiadaan
riwayat DM
Variabel inflamasi
Leukositosis (angka hitung leukosit >12.000 µ/L)
Leukopenia (angka hitung leukosit < 4.000 µ/L)
Hitung jenis leukosit dengan bentuk sel immature > 10%
C-reaktive protein (CRP) plasma lebih dari dua kali lipat atas nilai
normal (5-10 mg/L)
Procalcitonin (PCT) plasma lebih dari dua kali lipat di atas nilai
normal (<0,01 µg/L)
Variabel Hemodinamik
Hipotensi (Tekanan sistolik <90 mmHg, MAP <70 mmHg dan atau
tekanan sistolik turun >40 mmHg
Variabel Disfungsi organ
Hipoksemia arterial (PaO2/FiO2<300)
Oliguria akut (urine output <0,5 cc/kg/jam selama setidaknya 2 jam
pada kondisi cairan cukup)
Creatinine meningkat >0,5 mg/dL atau 44,2 µmol/L
Terdapat koagulasi abnormal (INR > 1,5 atau aPTT >60 detik)
Suara usus menghilang
Trombositopenia (trombosit <100.000µ/L)
Hiperbilirubinemia (Total bilirubin plasma >4mg/dL atau 70 µmol/L)
Variabel Perfusi jaringan
Hiperlaktatemia (> 1 mmol/L)
Penurunana refill kapiler (> 2 detik)
(Sumber: Dellinger et al., 2013)

Redefinisi sepsis kemudian kembali dilakukan pada tahun 2016 yang


telah disepakati oleh Society of Critical Care Medicine (SCCM) dan
European Society of Intensive Care Medicine (ESICM) sebagai
konsensus internasional ketiga untuk sepsis dan septic shock (Sepsis-
3), sepsis didefinisikan sebagai disfungsi organ yang mengancam
jiwa yang disebabkan oleh respon host yang tidak teratur terhadap
infeksi (Singer et al., 2016). Menurut Seymour et al., (2016) Sepsis
adalah kombinasi dari infeksi yang dicuriagi, yang secara kausal
terkait dengan disfungsi organ yang mengancam jiwa, dan pasien
dapat menunjukkan disfungsi organ dalam berbagai cara. Definisi
terbaru sepsis ini menegaskan pada keunggulan respon penjamu
terhadap infeksi, potensi kematian langsung dari infeksi yang
berlebihan dan pengenalan yang sifatnya urgent/segera. Dengan
adanya dugaan infeksi ditambah dengan disfungsi organ yang paling
ringan sekalipun ditemukan berkaitan dengan angka kematian di
rumah sakit lebih dari10%.

Berdasarkan definisi diatas dapat disimpulkan bahwa sepsis adalah


suatu kondisi terjadinya disfungsi organ yang mengancam jiwa dan
disebabkan oleh respon host tidak teratur terhadap infeksi.

2.1.2 Epidemologi Sepsis


Epidemologi sepsis diseluruh dunia mengalami peningkatan, di
Amerika Serikat kejadian sepsis pada tahun 1979 adalah 83 kasus
per 100.000. Pada tahun 2000 meningkat menjadi 240 kasus per
100.000, dengan mortalitasnya mencapai 70%, dan dilaporkan
setelah tahun 1987 penyebab dari sepsis yaitu dominasi kuman gram
positif yang lebih banyak dibandingkan kuman gram negative
(52%:38%) (Tjokroprawiro, dkk, 2015).

Studi oleh Martin, Greg.S (2012) memperkirakan insidens sepsis di


Amerika Serikat (AS) sebanyak 240 kasus per 100.000 orang, dan
Angus & Tom (2013) melaporkan 300 kasus sepsis berat per
100.000 orang. Insidens diperkirakan meningkat sebanyak 1,5% per
tahun. Laju mortalitas yang dilaporkan pada studi-studi ini juga
dilaporkan serupa. mulai dari 17,9% untuk sepsis sampai 28,6%
untuk sepsis berat. Angka-angka ini diterjemahkan menjadi kurang
lebih 750.000 episode baru untuk sepsis berat dengan mortalitas
tahunan berkisar 220.000 (29%) di Amerika Serikat.

Penelitian epidemologi empat rumah sakit di New York, didapatkan


data dari rekam medis sebanyak 246 orang dewasa dan 79 anak
secara keseluruhan 72% pasien memiliki faktor perawatan kesehatan
selama 30 hari dan menderita sepsis atau kondisi kronis, 82 (25%)
pasien meninggal dengan sepsis, termasuk 65 (26%) orang dewasa
dan 17 (22%) bayi dan anak-anak. (Shannon et al.,, 2016). Data dari
National Sepsis Report (2016) juga melaporkan jumlah angka
kematian terkait sepsis sebanyak 8.888 kasus dan angka kenaikan
kasus mencapai 37% pada tahun 2015 dimana tingkat kematian
akhibat sepsis meningkat seiring bertambahnya usia dan angka
morbiditas.

2.1.3 Etiologi Sepsis


Setiap infeksi yang cukup parah bisa menyebabkan kondisi sepsis,
dan biasanya disebabkan oleh infeksi bakteri (meskipun sepsis dapat
disebabkan oleh virus, atau disebabkan oleh jamur). Menurut Martin,
Gs, (2012) pada awalnya bakteri gram negatif mendominasi
penyebab sepsis, tetapi semenjak 25 tahun terakhir ini bakteri gram
positif dan jamur meningkat sebagai penyebab sepsis.

Bakteri yang resistan terhadap obat juga dapat menyebabkan


peningkatan kasus sepsis karena membuat lebih sulit untuk melawan
infeksi, selain itu sumber utama infeksi yang paling menyebabkan
sepsis adalah paru-paru dan saluran kemih seperti infeksi saluran
nafas, pneumonia atau apendisitis. Kondisi kritis seperti setelah
operasi atau saat berada di rumah sakit untuk jangka waktu yang
lama juga merupakan penyebab sepsis (Si, Xiang et al., 2016).
Mikroorganisme kausal yang paling sering ditemukan pada orang
dewasa adalah Escherichia coli, staphylococcus aureus, dan
streptococcus pneumonia. Spesies enterococcus, Klebsiella, dan
Pseudomonas juga sering ditemukan (Tjokroprawiro, dkk, 2015).
Umumnya, sepsis merupakan suatu interaksi yang kompleks antara
efek toksik langsung dari mikroorganisme penyebab infeksi dan
gangguan respon inflamasi normal dari host terhadap infeksi. Sepsis
juga dapat dipicu oleh infeksi dibagian manapun dari tubuh, dan
daerah infeksi yang paling sering menyebabkan sepsis adalah paru-
paru, saluran kemih, perut, dan panggul.

2.1.4 Patofisiologi Sepsis


Dalam kondisi normal dan sistim imun normal maka tubuh secara
fisiologik dapat mengradikasi patogen yang masuk kedalam tubuh
manusia. Reaksi tubuh normal setelah pathogen masuk, akan terjadi
proses inflamasi yang akan membatasi dan memusnahkan pathogen
yang masuk dan akan mengembalikan keadaan sistem homeostatis
yang normal. Pada keadaan sepsis, akan terjadi respon berlebihan
dan aselerasi produksi sistem imun, kemudian menyebabkan
kerusakan jaringan yang disebabkan kerusakan sel karena apoptosis
(kematian sel yang terpogram) dan nekrosis jaringan (Kurosawa,
2011).

Proses molekuler dan seluler sebagai respon terhadap sepsis adalah


berbeda-beda tergantung dari jenis organisme yang menginvasi
(organisme gram-positif, organisme gram-negatif, jamur atau virus).
Respon terhadap organisme gram-negatif dimulai dengan
dikeluarkannya lipopolisakarida, yakni endotoksin dari dalam
dinding sel bakteri gram-negatif, yang dikeluarkan saat proses lisis
(Tjokroprawiro, dkk, 2015).
Berbagai macam molekul yang bersifat adhesif akan melakukan
sekuestrasi (penangkapan dan penyimpanan CO2) dan mengaktifkan
sel netrofil pada target organ yang semuanya akan memperhebat
inflamasi dan kerusakan jaringan (Aziz et al., 2013). Selain itu,
sitokin menyebabkan produksi molekul adhesi pada sel endotel dan
neutrofil. Interaksi endotel neutrofilik menyebabkan cedera endotel
lebih lanjut melalui pelepasan komponen neutrofil. Akhirnya,
neutrofil teraktivasi melepaskan oksida nitrat (NO) dan vasodilator
kuat. Dengan demikian memungkinkan neutrofil dan cairan
mengalami ekstravasasi ke dalam ruang ekstravaskular yang
terinfeksi yang mengarah ke syok septik. Oksida nitrat dapat
mengganggu adhesi leukosit, agregasi trombosit, dan
mikrotrombosis, serta permeabilitas mikrovaskular. Peningkatan NO
menyebabkan peningkatan aliran di tingkat mikrosirkulasi dan
terjadinya vasodilatasi di tingkat makrosirkulasi dan merupakan
penyebab hipotensi membahayakan yang dapat mengakibatkan
gangguan fungsi organ dan kematian (Kresno, 2010).

Tabel 2.2 Sitokin Inflamasi Plasma & Perannya pada Sepsis


Sitokin Fungsi dalam sepsis
inflamasi
TNF-α Promoter inflamasi, inducer poten molekul adhesi endotel.
Dapat berperan secara sinergik dengan IL-1 untuk
mempromosi dan menginisiasi jalur inflamasi

IL-1β Inducer poten molekul adhesi endotel untuk dapat merekrut


sel-sel imun. Terlibat dalam promosi jalur sinyal promosi
inflamasi, IL-1β dapat juga mengaktivasi pelepasan NO dari
sel otot vaskuler dan endotel

IL-17/IL-17A Terlibat dalam rekuitmen monosit dan neutrophil ketempat


inflamasi, diekspresikan oleh sel natural killer (NK). Memiliki
kemampuan kemoatraktif tak langsung yang disebabkan oleh
up-regulasi granulocyte colony stimulating factor (G-CSF) dan
kemokin CXC

Sitokin anti-
inflamasi
TGF-β Memodulasi aktivitas sitokin lain baik melalui efek
peningkatan atau antagonis. Dapat mengurangi proliferasi dan
diferensiasi sel T dan sel β, dapat mempromosikan keadaan
perbaikan dan pemulihan.

IL-4 Aktivitas makrofag dan memiliki efek immunosupresif umum


tidak dilepaskan kealiran darah secara sistemik selama sepsis.

IL-10 Terlibat pada modulasi respon pro inflamasi, berperan


menggerakkan sel-sel sistem imun dari respon termediasi sel
kea rah respon humoral. Menghambat respon imun
innate/bawaan. Juga dapat secara tidak langsung menghambat
aktivitas sitokon pro inflamasi
IL-13 Mempengaruhi ekspresi permukaan sel pada makrofag dan
monosit. Membuat down regulasi dari ekspresi receptor CD-14
dan juga TNFα & IL-1 dimonosit
(Burkovskiy et al., 2013)
2.1.5 Syok sepsis
Syok sepsis adalah suatu keadaan dimana tekanan darah turun sampai
tingkat yang membahaya jiwa akhibat dari sepsis. Syok sepsis
digolongkan kepada salah satu jenis syok distributif bedasarkan
patofisiologisnya, yang mana pada syok ini terjadi ekstravasasi cairan
dari intravascular (Hardisman, 2015).

Menurut Abraham et al. (2016) syok septic adalah sepsis yang


disulitkan oleh difungsi organ dimana terjadi kelaianan peredaran
darah, seluler dan metabolic, sedangkan menurut The 3rd international
Consensus definitions for sepsis and septic shock (Sepsis-3) Syok
sepsis didefinisikan sebagai turunan sepsis yang mendasari
abnormalitas sirkulasi dan metabolisme sirkulasi/seluler yang sangat
berat dan meningkatkan mortalitas (Singer et al., 2016). Pada tahun
2001 satuan tugas konsensus mendefinisikan syok sepsis sebagai
sebuah keadaan gagal sirkulasi akut dengan tujuan untuk membedakan
antara disfungsi kardiovaskular dengan syok sepsis. Pasien-pasien ini
dapat diidentifikasi secara klinis dengan persyaratan vasopressor
untuk mempertahankan MAP ≥ 65mmHg dan serum lactate > 2mmol
/ L jika tidak ada hipovolemia.

Pasien shock sepsis dengan hipotensi menetap membutuhkan


vasopresor untuk menjaga MAP ≥65 mmHG dan peningkatan nilai
laktat (>2mmol/L [18mg/dl]) menandakan disfungsi seluler pada
sepsis walaupun terdapat kontribusi lain seperti hantaran oksigen ke
jaringan yang tidak cukup, gangguan respirasi anaerobic, glikolisis
aerobic yang cepat dan berkurangnya kliens hepar. Kriteria untuk
perlunya terapi vasopressor dan resusitasi cairan yang cukup
mengandalkan monitoring hemodinamik masing-masing perawatan
pada pasien ini dan angka mortalitas dirumah sakit melebihi 40%
(Pudjiadi, 2017).
2.1.6 Faktor resiko Sepsis
Terdapat banyak faktor risiko infeksi yang secara langsung/tidak
langsung menyebabkan sepsis. Faktor ini dapat dibagi menjadi dua
yaitu aspek demografik dan aspek kormobiditas. Aspek demografik,
meliputi usia, jenis kelamin, dan ras atau etnis, menurut penelitian
Jenna, M et al. (2017) insiden sepsis lebih tinggi terjadi pada anak dan
usia lanjut, sedangkan untuk jenis kelamin dan ras angka kejadian
lebih banyak pada pria dan ras kulit hitam.

Menurut literatur onkologi dalam penelitian Moss (2005), wanita


Afrika memiliki risiko lebih tinggi terkena kanker ovarium dan hasil
yang lebih buruk dari kanker payudara sehingga rentan terjadi sepsis.
Sehubungan dengan penyakit paru, sarkoidosis diperkirakan >10 kali
lebih banyak terjadi di Afrika daripada di Amerika Serikat. Selain itu,
pria di Amerika secara konsisten memiliki insidensi dan mortalitas
yang lebih tinggi karena kanker paru-paru yang rentan terjadi sepsis.

Aspek komorbiditas menurut penelitian Kimberley et al. (2017) yang


mempengaruhi insidens sepsis terutama berhubungan dengan
imunodefisiensi yaitu keganasan, penyakit diabetes melitus (DM),
penyakit paru kronik (PPK) dan HIV, selain itu juga berhubungan
dengan keadaan demam dan infeksi serius pada saluran pernafasan.
Menurut penelitian Nasa et al. (2012) terdapat banyak faktor risiko
yang menyebabkan individu usia lanjut memiliki risiko tinggi
menderita sepsis, yaitu adanya kormobiditas, malnutrisi dan defisiensi
endokrin. Selain itu sepsis juga terdapat pada pasien dengan
keganasan infeksi adalah komplikasi yang sering ditemukan karena
terdapat gangguan fungsi leukosit (William et al., 2004).

Menurut penelitian Putri (2014) faktor resiko sepsis pada pasien


dewasa adalah tempat perawatan serta dipengaruhi haemoglobin,
sedangkan menurut (Saraswati, 2014) faktor yang berperan terhadap
mortalitas sepsis adalah:
2.1.6.1 Umur yaitu pasien yang berusia kurang dari 1 tahun dan
lebih dari 65 tahun
2.1.6.2 Pemasangan alat invasif
a. Venous catheter
b. Arterial lines
c. Pulmonary artery catheters
d. Endotracheal tube
e. Tracheostomy tunes
f. Intracranial monitoring catheters
g. Urinary catheters
2.1.6.3 Prosedur invasif
a. Cystoscopic
b. Pembedahan
2.1.6.4 Medikasi/therapeutic regimens
a. Terapi radiasi
b. Corticosteroid
c. Oncologic chemotherapy
d. Immunosuppressive drugs
e. Extensive antibiotic use
2.1.6.5 Underlying conditions
a. Poor stase of health
b. Malnutrion
c. Chronic alcoholism
d. Pregnancy
e. Diabetes melitus
f. Cancer
g. Major organ disease-cardiac, hepatic, or
renal dysfunction
2.1.7 Penilaian sepsis
Penilaian sepsis merupakan hal penting dilakukan sebelum pemberian
intervensi, semakin cepat kita bisa mengidentifikasi pasien sepsis
maka akan memberikan kesempatan kita untuk memberikan
pencegahan perburukan kondisi pasien. Skor Penilaian gagal organ
yang dikenal dengan Sequential Organ Failure Asregasi (SOFA)
adalah skor prediksi kematian yang didasarkan pada tingkat disfungsi
6 sistem organ (pernafasan, kardiovaskular, hati, koagulasi, ginjal dan
neurologis), skor SOFA dapat digunakan pada semua pasien yang
dirawat pada unit perawatan intensif, peningkatan score ≥ 2 poin
dalam 24 jam diindikasikan adanya kecurigaan infeksi dan gagal
organ. (Rhodes, A et al., 2017).

Seymour et al. (2016) mempublikasikan data mengenai validitas


perubahan 2 atau lebih titik dalam skor SOFA sebagai alat untuk
mengidentifikasi sepsis di antara pasien kondisi kritis dan infeksi yang
dicurigai, dengan asumsi skore SOFA untuk pasien yang tidak
diketahui memiliki disfungsi organ yang sudah ada sebelumnya.
Pengukuran skoring SOFA secara serial berguna untuk melihat
perubahan-perubahan fungsi organ terkait sepsis dan membantu untuk
menentukan agresifitas terapi selanjutnya.

Meskipun penggunaan skore SOFA lebih direkomendasikan untuk


penggunaan diruang ICU, namun komponen SOFA (creatinin dan
bilirubin) memerlukan nilai laboratorium dan tidak dengan segera
menggambarkan disfungsi organ secara individu. Penelitian Singer et
al. (2016) mengemukakan bahwa pasien dewasa dengan infeksi yang
dicurigai diidentifikasi berisiko tinggi mengalami kematian jika
mereka memiliki skor qSOFA ≥2.
qSOFA memiliki validitas yang serupa dibandingkan skor SOFA
secara penuh. Alat ukur baru ini mampu menyediakan kriteria
sederhana untuk pasien dewasa yang dicurigai infeksi dan cenderung
memiliki luaran buruk. Pasien dengan dugaan infeksi yang cenderung
lama di ICU atau meninggal di rumah sakit bisa dikenali dengan cepat
melalui qSOFA (Singer et al., 2016). Menurut penelitian Freud et al.,
(2017) qSOFA merupakan petunjuk sederhana untuk mengidentifikasi
pasien yang terinfeksi dan cenderung septic pada pasien di ruang
rawat inap atau pasien baru di unit gawat darurat, hasil skor qSOFA ≥
2 poin dikaitkan dengan risiko kematian dan perawatan intensif yang
lebih lama.

Kriteria qSOFA adalah: tingkat pernapasan ≥ 22 x/ menit, perubahan


mental status (GCS ≥ 13), atau tekanan darah sistolik <100 mmHg.
Hardisman, 2015 menjelaskan perubahan yang terjadi pada pasien
sepsis:
2.1.7.1 Peningkatan pernapasan pada pasien sepsis terjadi karena
adanya manifestasi kliniks dari disfungsi paru. Sepsis
menyebabkan kerusakan sel-sel endotel paru sehingga
menyebabkan peningkatan permeabilitas alveoli yang
menimbulkan gangguan berbagai fungsi paru. Kerusakan
seluler yang terjadi ditandai dengan adanya kerusakan sel-
sel endotel, kerusakan sel-sel pneumoniosit alveoli,
penumpukkan trombosit dan leukosit dan terjadinya respon
inflamasi.
2.1.7.2 Perubahan mental status pada pasien sepsis karena
terjadinya disfungsi pada otak ataupun saraf tepi yang
diakhibatkan. Secara kliniks keterlibatan sistem saraf pusat
dapat bermanisfetasi sebagai gangguan kesadaran akhibat
ensefalopati dan europati perifer. Pada otak tanda yang
terjadi berupa ensepalopati dengan gejala dan tanda-tanda
iskemia, perdarahan, gangguan kesadaran hingga koma,
sedangkan pada saraf tepi akan muncul neuropati akhibat
gangguan implus saraf dan kerusakan selubung saraf
(myelin).
2.1.7.3 Penurunan tekanan darah pada pasien sepsis ditandai
dengan adanya hipotensi sebagai tanda umum yang terjadi.
Sepsis yang terjadi mengakhibatkan kegagalan sirkulasi.
Hal ini di akhibat karena cairan intravaskular keluar dari
pembuluh darah sehingga tonus arterial menurun dan
meningkatkan tekanan kapiler serta permeabilitas kapiler
yang kemudian menyebabkan terjadinya dilatasivena dan
penurunan perfusi kejaringan.
Pasien dengan suspect infeksi

Monitor kondisi klinik reevaluasi untuk kemungkinan terjadinya sepsis jika ada indi
qSOFA ≥2 Sepsis masih suspect
terlihat (a)
Tidak Tidak Tidak

Ya
Ya
mencari bukti dari disfungsi organ

Ya
Memonitor kondisi klinik reevaluasi untuk kemungkinan terjadinya sepsis jika secara klinis masih terindikasi
Tidak
SOFA ≥2 ?
terlihat (b)

Ya
Tidak
SEPSIS

Ya
(a) Variabel qSOFA :
1. Respiratory rate
Meskipun resusitasi cairannya cukup 2. Status mental and
vassopresorr dibutuhkan untuk mempertahankan MAP ≥65 mmHg dan 3. Mean arteri pressure
Serum laktat level
>2mmol/L ?Y

(b) variable SOFA :


Ya PaO2/FiO2, GCS, MAP,
pemakaian vassopressor dengan
SYOK SEPSIS tipe dan dosis, serum creatinin/
urin output, bilirubin dan platelet

Gambar 2.1 Skrining Sepsis


(Sumber: Singer et al., 2016)
2.1.8 Tatalaksana Sepsis
Dua komponen penting tatalaksana sepsis yang sukses adalah
secepatnya mengontrol sumber infeksi dan secepatnya menyediakan
dukungan hemodinamik yang bertujuan untuk memperbaiki dan
mempertahankan perfusi organ. Pedoman Surviving Sepsis
Campaign (SSC) juga merekomendasikan pemberian antiobiotik
dalam waktu 1 jam setelah identifikasi sepsis berat.

Pada tahun 2001, River et al. mempublikasikan hasil dari penelitian


yang mengkaji Early Goal Direc Terapy (EGDT) pada pasien
instalasi gawat darurat dengan sepsis berat atau syok sepsis. EGDT
terdiri dari resusitasi kristaloid untuk memperbaiki preload,
vasopresor untuk mempertahankan RTA yang cukup, dan pemberian
darah/dobutamin. EGDT ini dapat menurunkan risiko absolute
kematian dirumah sakit sebanyak 16%, yang kemudian diadopsi oleh
Surviving Sepsis Campaign tahun 2012, Kemudian panduan
pentalaksanaan sepsis yang baru dikeluarkan pada bulan Januari
2017 sebagai update untuk panduan tahun 2012.

Panduan ini mencerminkan hasil uji PROSES, PROMISE, dan


ARISE (3 penelitian multisenter besar) yang meredefinisikan sepsis,
kategori sepsis berat dan syok sepsis serta merekomendasikan
pengukuran status cairan menggunakan variabel dinamis (yaitu
passive leg raising, variasi tekanan nadi, dan variasi volume stroke)
dibandingkan variabel statis. Berikut ini adalah perbedaan antara
tatalaksana pasien sepsis tahun 2012 dan tahun 2016 menurut
Surviving Sepsis Campaign; International guidelenes for
management of sepsis and septic shock (2016).
Tabel 2.4 Perbedaan tatalaksana sepsis tahun 2012 dan tahun 2016
2012 2016
Manisfestasi Disfungsi organ yang
sistemik dari infeksi mengancam jiwa
Definisi sepsis + suspect infeksi yang disebabkan
Sepsis berat = sepsis oleh respon
+ disfungsi organ disregulasi terhadap
infeksi
Paling sedikit 30 cc/kg dalam 3 jam pertama
Cairan kristaloid(tidak direkomendasikan
cairan NaCL 0,9% VS balanced solution)
Protocol perawatan Menggunakan
termasuk CVP, resusitasi parameter
Resusitasi awal ScVO2 dan dinamis (Passive leg
menormalkan kadar raising) Target MAP
laktat 65 mmHg, menilai
ulang status
hemodinamik untuk
pedoman penilain
kliniks kadar laktat
Target MAP 65 mmHg
1. Norephineprine
2. ephinephrine jika target tidak mencapai
Vasopressors MAP atau vasopressin untuk
mengurangi kebutuhan norephineprin
3. menghindari penggunaan dopamine pada
pasien
Hanya diindikasi pada pasien syok sepsis
Steroid yang tahan terhadap cairan yang memadai
dan vasopresor
Satu atau lebih Spectrum luas
antibiotic aktif antibiotic (Ex:
melawan patogen Vancomycin +
Kombinasi terapi piperacillin +
(cakupan ganda) tazobactam)
untuk pasien Melawan kombinasi
Antibiotik neutropenic dan terapi (i.e jangan
pseudomonas melipatgandakan
pseudomonas)
Bisa menggunakan
procalcinotonin
untuk panduan
eskalasi
Sumber kontrol Berhasil dengan 12 Berhasil dengan
jam jika segera mungkin
memungkinkan secara medis dan
logis
6cc/kg tidal volume
Pasien yang rentan ARDS (P/F < 150 dalam
panduan 2017)
Tidak Melawan frekuensi
Ventilator direkomendasikan osilasi tinggi
ventilasi (HFOV)
Rekomendasi lemah Tidak bis membuat
untuk ventilasi rekomendasi tentang
invasif pada pasien ventilasi non Invasif
sepsis termasuk
ARDS

2.2 Konsep Penilaian Respon Cairan


2.2.1 Definisi Responsivitas cairan
Alasan untuk melakukan resusitasi cairan pada pasien (memberikan
bolus cairan) adalah peningkatan stroke volume (SV) yang signifikan
secara klinis. Pasien dengan SV meningkat 10-15% setelah fluid
Challengge (250-500ml) dianggap responsif cairan sehingga bisa
dikatakan definisi responsivitas terhadap terapi cairan merupakan
kemampuan jantung untuk meningkatkan volume sekuncup (stroke
volume) dan juga curah jantung (cardiac output) sebesar ≥ 10 – 15%
sebagai respons terhadap peningkatan beban awal jantung / preload
(Susanto, 2016). Hal ini sesuai dengan penelitian Marik and Lemson
(2014) yang menyatakan responsivitas cairan adalah peningkatan
stroke volume sebesar 10-15% setelah pasien menerima bolus cairan
kristaloid 500ml selama 10 -15 menit.

Shujaat et al. (2012) mengatakan memprediksi respon cairan adalah


penilaian respons stroke volume terhadap pembebanan cairan. Hal ini
bertujuan untuk mengoptimalkan sirkulasi, dan perfusi organ, untuk
menghindari cairan yang sia-sia (berlebihan) dan berpotensi merusak
pada pasien dengan kondisi kritis. Makna penilaian responsivitas
cairan adalah peningkatan curah jantung akan menyebabkan
peningkatan pengiriman oksigen (DO2) dan peningkatan oksigenasi
jaringan.

Berdasarkan definisi diatas dapat disimpulkan bahwa responsivitas


terhadap terapi cairan merupakan suatu penilaian kemampuan
jantung untuk meningkatkan stroke volume sebesar ≥ 10 – 15% yang
bertujuan untuk mengoptimalkan sirkulasi, dan perfusi organ, untuk
menghindari pemberian cairan yang berlebih.

2.2.2 Parameter reponsivitas cairan


Penilaian responsivitas jantung terhadap pemberian cairan dapat
dilakukan dengan menggunakan parameter hemodinamik yang
bersifat statis maupun dinamis. Penilaian parameter statis antara lain
tekanan vena sentral (CVP), pulmonary capillary wedgw pressure
(PCWP), right ventricular end-diastolic volume index (RVEDVI),
left ventricular end-diastolic area index (LVEDVAI) dan global
end-diastolic volume (GEDV), pada metode statis tersebut penilaian
beban awal jantung berdasar atas pengukuran tekanan dan volume
yang dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti tonus pembuluh
darah, tekanan intratorakal, dan compliance ventrikel (Magner,
2010). Sedangkan penilaian menggunakan parameter dinamis
berdasar atas interaksi antara jantung dan paru pada pasien yang
bernafas spontan maupun ventilasi mekanik secara fisiologis akan
menghasilkan variasi sekuncup.

Beberapa metode yang dipakai untuk penialaian respon cairan antara


lain variasi tekanan nadi (pulse pressure variation/PPV), variasi
tekanan darah systole (systolic pressure variation/SPV), variasi isi
sekuncup (stroke volume variation/SVV), variasi gelombang
pletismograf, arterial blood flow velocity, serta variasi respirasi dari
diameter vena kava inferior dan vena kava superior.
2.2.3 Respon pasien terhadap cairan
Resusitasi cairan ditunjukkan untuk mengganti kehilangan akut
cairan tubuh, dan ditujukan untuk ekspansi cepat dari cairan
intravaskuler dan memperbaiki perfusi jaringan. Menurut Shujaat et
al. (2012) Jumlah cairan dan darah yang diperlukan untuk resusitasi
sulit diperkirakan pada evaluasi awal pasien. Respon pasien kepada
resusitasi cairan awal merupakan kunci untuk menentukan terapi
berikutnya. Beberapa penelitian terkini pada pasien kritis
menunjukkan bahwa resusitasi cairan yan berlebih, dengan balance
cairan yang positif berhubungan dengan angka kematian yang lebih
tinggi.

Sebuah penelitian observasional multisenter di Eropa menemukan


bahwa setiap kelebihan 1 liter cairan dalam perhitungan
keseimbangan cairan pada 72 jam pertama dihubungkan dengan 10%
peningkatan angka kematian (Vincent and abraham, 2006).
Pemberian cairan yang terlalu sedikit dapat memberikan efek
hipoferfusi jaringan dan menambah kerusakan organ dan pemberian
cairan yang terlalu banyak juga akan menyebabkan kejadian
morbiditas dan mortalitas yang semakin tinggi. Resusitasi cairan
yang berlebihan meningkatkan length of stay di ICU maupun rumah
sakit secara umum dan peningkatan mortalitas. Hal yang sama
didapatkan pada pasien syok septic (Marik et al., 2011). Adapun
kategori respon pasien terhadap terapi awal dapat dilihat pada tabel
berikut :
Tabel 2.5. Respon Terhadap pemberian cairan awal
Respon cepat Respon Tanpa respon
sementara
Tanda Vital Kembali ke Perbaikan Tetap abnormal
normal sementara tensi
dan nadi
kembali turun

Dengan Minimal 10- Sedang, masih Berat >40%


kehilangan 20% ada 20-40%
darah

Kebutuhan sedikit banyak Banyak


kristaloid

Kebutuhan sedikit sedang-banyak Segera


darah

Persiapan Tipe spesifik Tipe spesifik Emergensi


darah dan
crossmatch
(Kolecki, 2005)
2.2.3.1 Respon cepat
Untuk kelompok ini tidak ada indikasi bolus cairan
tambahan atau pemberian darah lebih lanjut. Jenis darahnya
dan crossmatchnya harus tetap dikerjakan. Konsultasi dan
evaluasi pembedahan diperlukan selama penilaian terapi
awal, karena intervensi operatif mungkin masih diperlukan
2.2.3.2 Respon sementara (transien)
Pemberian cairan pada kelompok ini harus diteruskan,
demikian pula pemberian darah. Respon terhadap
pemberian darah yang nantinya menentukan pasien mana
yang memerlukan operasi segera.
2.2.3.3 Respon minimal atau tanpa respon
Respon seperti ini menandakan harus segera dilakukan
operasi (cito). Walaupun sangat jarang, seperti ini
menandakan harus tetap diwaspadai kemungkinan syok
non-hemoragik, seperti tamponade jantung atau kontusio
miokard. Kemungkinan adanya syok non hemoragik harus
selalu diingat pada kelompok ini. Pemasangan CVP atau
Ekokardiografi dapat membantu membedakan kedua
kelompok ini.

2.2.4 Metode evaluasi respon cairan (Vicent et al., 2006)


2.2.4.1 Evaluasi dinamis:
Evaluasi dinamis memiliki spesifisitas yang lebih besar
dan dianggap lebih bermanfaat daripada evaluasi statis.
Metode dinamis harus digunakan sebagai panduan selama
pemberian tantangan fluida, yang termasuk metode
evaluasi dinamis adalah:
a. Variasi pernapasan pada tekanan arteri atau volume
stroke (selama mekanis ventilasi dengan tidak adanya
ventilasi dyssynchrony atau aritmia).
b. Variasi Pulse pressure atau variasi stroke volume
dengan siklus pernafasan
c. Respons positif terhadap tantangan fluida/ Passive leg
raising
2.2.4.2 Evaluasi Statis :
Evaluasi statis memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang
terbatas, yang termasuk metode evaluasi statis adalah:
a. Tanda-tanda dehidrasi: turgor kulit yang berkurang,
haus, mulut kering, hypernatraemia, hiperproteinemia,
peningkatan hemoglobin dan hematokrit.
b. Tanda-tanda sirkulasi hipovolemia: takikardi, hipotensi
arterial (MAP ≤65mmHg) dan peningkatan kadar laktat
serum.
c. Penurunan perfusi ginjal: hasil urin terkonsentrasi <0.
5mL/ kg / jam , meningkatnya nitrogen urea darah
relatif terhadap konsentrasi kreatinin dan asidosis
metabolik yang persisten.

2.2.4 Respon cairan pada pasien sepsis


Penelitian Marik et al. (2011) mengemukakan hanya sekitar 50%
dari pasien dengan hemodinamik stabil yang responsif cairan. Hal
ini adalah konsep mendasar yang bertolak belakang dengan
gagasan pemberian cairan merupakan landasan resusitasi pada
pasien. Penelitian Lammi et al. (2015) yang meneliti efek
fisiologis dari bolus cairan pada 127 pasien (mayoritas pasien
sepsis) menyebutkan hanya 23% dari pasien responsif cairan.
Penelitian Smith B et al. (2013) juga menjelaskan sebagai hasil dari
efek sepsis pada kapasitansi vena dan fungsi miokard,
kemungkinan kurang dari 40% pasien hipotensi dengana sepsis
berat dan syok sepsis responsif cairan.

Tujuan resusitasi cairan adalah untuk meningkatkan stroke volume


dan MCFP lebih dari CVP, dengan demikian meningkatkan gradien
tekanan untuk aliran balik vena. Namun demikian, kemampuan
kristaloid (cairan yang paling umum digunakan untuk resusitasi
pasien dengan sepsis) untuk memperluas volume intravaskular
sangat buruk. Hal ini dibuktikan oleh penelitian Wioedemann et al.
(2006) yang mengukur efek bolus cairan pada arterial load pada
pasien dengan syok sepsis, menyebutkan sebanyak 58% bolus
cairan yang diberikan untuk pasien syok atau output urine buruk
sirkulasi tidak efektif dan hanya terdapat peningkatan yang kecil
pada MAP. Penelitian Pierrakos et al. (2012) juga menunjukkan
penurunan SVR setelah resusitasi cairan pada pasien dengan sepsis.
Berdasarkan beberapa penelitian diatas dapat disimpulkan bahwa
mayoritas pasien dengan sepsis dan syok sepsis tidak responsif
cairan.
2.3. Konsep Passive leg raising (PLR)
2.3.1 Definisi Passive leg raising
Passive leg raising (PLR) adalah suatu tehnik reversible yang
meningkatkan volume darah di jantung dengan cara meninggikan
ekstremitas bawah setinggi 450 (Marik et al., 2011). Menurut
Wirawan (2012) PLR merupakan posisi mengangkat kedua kaki
lebih tinggi dari level jantung yang dapat mempengaruhi sistem
hemodinamik kardiovaskular. Posisi ini akan meningkatkan aliran
darah dari tungkai ke kavasitas jantung yang kemudian
meningkatkan preload jantung.

Metode PLR akan menyebabkan perpindahan darah secara


gravitasi (sekitar 300ml) dari tungkai bawah dan perut menuju intra
torakal (Monnet & Teboul, 2015). PLR menghasilkan peningkatan
sementara dan reversible di preload ventrikel melalui peningkatan
aliran balik vena dari ekstremitas bawah, yang meniru pemberian
cairan tanpa benar-benar harus memberikan cairan eksogen
(Alvarado et al., 2015).

Berdasarkan definisi diatas dapat disimpulkan bahwa passive leg


raising adalah suatu metode pengukuran fisiologis cairan dengan
cara meninggikan kaki 450 yang dapat mempengaruhi sistem
hemodinamik kardiovaskular.

2.3.2 Tujuan dan Manfaat Passive Leg Raising


Tujuan dari PLR adalah meningkatkan preload atau stroke volume,
posisi PLR tersebut membuat adanya perubahan hemodinamik
(tekanan darah, heart rate dan MAP) sesudah PLR sebagai tanda
untuk memprediksi respon cairan pada pasien dengan gangguan
status hemodinamik (Huai, W.H and Da We, 2016).
Manfaat dari PLR adalah meningkatkan stroke volume dan cardiac
output sebanyak 12% yang dapat terlihat dari adanya peningkatan
tekanan darah dan heart rate (Maizel et al., 2007). Peningkatkan
ABF (Atrial Blood Flow) dan perfusion pressure (PP) lebih dari 12
% menunjukkan bahwa PLR dapat memprediksi responsive cairan.
Menurut Monnet et al. (2013) Karakteristik kinerja PLR yaitu
dengan kenaikan stroke volume sebesar 9% memiliki sensivitas
85% sedangkan untuk kenaikan tekanan nadi 10% memiliki
sensivitas 79%.

2.3.3 Prosedur Passive Leg Raising


Menurut Monnet & Teboul (2015) Metode untuk melakukan PLR
pada dasarnya yang paling penting adalah mempengaruhi efek
hemodinamik dan reabilitasnya. Dalam prakteknya Pertama, PLR
harus dimulai dari posisi semi fowler dan bukan pada posisi
telentang (Gambar 2.1 point 1) agar dapat membantu menambah
mobilisasi darah vena dari jaringan splanchnic, sehingga
memperbesar efek kenaikan kaki dan meningkatkan preload
jantung sehingga sensitivitas tes meningkat. Jika penggunaan PLR
tidak mematuhi aturan ini maka keandalan PLR akan dinilai buruk.

Kedua, efek PLR harus dinilai dengan pengukuran langsung curah


jantung, keandalan PLR lebih buruk bila dinilai dengan
menggunakan tekanan nadi arteri dibandingkan dengan curah
jantung meskipun tekanan nadi arteri perifer berkorelasi positif
dengan stroke volume.

Ketiga, teknik yang digunakan untuk mengukur curah jantung


selama PLR harus dapat mendeteksi perubahan jangka pendek dan
transien karena efek PLR dapat hilang setelah 1 menit. Teknik
pemantauan curah jantung dalam waktu nyata, seperti analisis
kontur pulsa arteri, ekokardiografi, doppler esophagus/ analisis
kontur tekanan arteri yang diturunkan dari klem, dapat digunakan
sedangkan untuk hasil bioreaktansi telah dilaporkan bertentangan.
Respons hemodinamik terhadap PLR bahkan dapat dinilai dengan
perubahan end-tidal yang dihembuskan karbondioksida, yang
mencerminkan perubahan curah jantung pada ventilasi menit yang
konstan.

Gambar 2.1 Prosedur PLR

Keempat, curah jantung harus diukur tidak hanya sebelum dan selama
PLR tetapi juga setelah PLR saat pasien dipindahkan kembali ke
posisi semifowler, untuk memeriksa apakah telah kembali ke garis
besarnya (Gambar 2.1 point 4). Pada pasien yang tidak stabil,
perubahan curah jantung saat PLR dapat terjadi akibat variasi spontan
yang melekat pada penyakit dan bukan dari perubahan preload
jantung.

Kelima, nyeri, batuk, ketidaknyamanan, dan terbangun dapat memicu


rangsangan adrenergik, yang mengakibatkan interpretasi kesalahan
perubahan curah jantung. Beberapa tindakan pencegahan sederhana
harus dilakukan untuk menghindari faktor perancu ini (Gambar 2.1
point 1). PLR harus dilakukan dengan menyesuaikan tempat tidur dan
bukan dengan mengangkat kaki secara manual. Sekresi bronkial harus
disedot dengan hati-hati sebelum PLR.

Jika terjaga, pasien harus diberitahu tentang tes. Stimulasi simpatik


yang menyesatkan dapat dicurigai jika PLR disertai dengan
peningkatan denyut jantung yang signifikan, yang biasanya tidak
boleh terjadi. Asalkan aturan sederhana ini diikuti, uji PLR dapat
memprediksi daya tanggap preload dengan andal. Karena tidak
memiliki efek samping, PLR harus dianggap sebagai pengganti
tantangan cairan klasik (Monnet et al., 2015).

2.3.4 Kontra indikasi Passive Leg Raising


Menurut penelitian Huai, W.H and Da We (2016) tes Passive Leg
Raising tidak dapat digunakan pada pasien dengan tekanan abdomen
yang tidak normal atau yang memakai stoking elastis abdomen, dan
pasien dengan kondisi nyeri atau agitasi.

2.3.5 Efek Hemodinamik Passive Leg Raising


2.3.5.1 Efek PLR terhadap tekanan darah
Mengangkat kaki pada posisi tubuh horizontal menginduksi
aliran darah dari tubuh bagian bawah ke kompartemen
sirkulasi sentral khususnya kekavasitas jantung. Pada
penelitian yang menggunakan radiolabeled erythrocyte pada
manusia mendemonstrasikan bahwa volume darah yang
berpindah dari tubuh bagian bawah selama posisi PLR adalah
sebanyak 150 ml darah (Monnet X et al, 2012).

Dengan adanya peningkatan dari cardiac output akan


menyebabkan peningkatan pada tekanan sistol. Hal ini
dipertegas oleh Sherwood (2010) dalam bukunya berjudul
“Human Physiology the blood Vessel and Blood Pressure“,
mengatakan bahwa tekanan darah sangat dipengaruhi oleh
faktor-faktor fisiologis utama yaitu : a) Pengembalian darah
melalui vena/ jumlah darah yang kembali ke jantung melalui
vena. Dengan posisi PLR yang meningikan kedua exremitas
bawah setinggi 450 memindahkan darah sebesar 300-500ml
ke intrathorak (jantung) sehingga akan menambah volume
darah jantung yang menyebabkan peningkatan ventikel pada
fase sistol, sehingga terjadi peningkatan. b) Frekuensi dan
kekuatan kontraksi, artinya bila frekuensi dan kekuatan
kontraksi meningkat (dalam batas normal), cardiac output
akan meningkat pula dan ini menyebabkan tekanan sistol
meningkat. c) Resistensi perifer. d) Elasisitas arteri besar. e)
Visikositas darah. f) Perdarahan dan hormone.

Penelitian Aelinck et al. (2003) mengenai efek perubahan


posisi pada fungsi jantung dengan doppler echocardiography
didapati penurunan darah sistolik dan peningkatan diastolic.
Tetapi pada penelitian Vicent et al. (2008) tentang efek PLR
pada pasien shok didapati peningkatan tekanan darah sistolik
dan diastolic setelah posisi PLR.

Penelitian Caille et al. (2008) dengan judul “Hemodynamic


Effects Of Passive Leg Raising” adanya peningkatan cardiac
output dan tekanan sistol sesudah dilakukannya PLR.
Sedangkan menurut Lafanechere et al. (2006) mengatakan
bahwa PLR dapat meningkatkan ABF (atrial blood flow) dan
perfusion pressure (PP) lebih dari 12% yang menunjukan
bahwa PLR dapat memprediksi responsif cairan.
2.3.5.2 Efek PLR terhadap MAP
Wong et al. (1988) melaporkan bahwa PLR menurunkan
tekanan arteri rerata karena terjadi penurunan darah diastolic.
Pada penelitian Monnet et al. (2012) mendapati bahwa PLR
meningkatkan aortic blood pressure pada 38 orang dan 71
subjek penelitian yang dalam kondisi kritis, Kweon et al.
(2012) menyatakan pada penelitiannya bahwa PLR
meningkatkan volume intravascular pada daerah
intratorakalis yang kemudian meningkatkan preload jantung
dan tekanan arteri rerata.

Menurut penelitian Jabot et al. (2008) mengatakan bahwa


posisi PLR dengan meninggikan eksremitas bawah setinggi
0
45 mentransfer darah ke jantung, sehingga akan
meningkatkan cardiac pre-load sebanyak 15% yang
menunjukan bahwa dengan meningkatnya cardiac output dan
pre-load, akan meningkatkan hemodinamik (MAP).

Berdasarkan semua penelitian mengenai efek hemodinamik


PLR, semuanya menunjukkan adanya peningkatan curah
jantung yang signifikan tapi mengenai efeknya terhadap
tekanan darah hasilnya berbeda-beda, sesuai dari kondisi dari
subjek penelitian.

2.3.5.3 Efek PLR terhadap Nadi/ Heart Rate


Perubahan denyut jantung (HR) telah digunakan untuk
mencerminkan nada simpatik, dimana variasi data
hemodinamik 5% dapat diterima sebagai variasi fisiologis
dalam praktik kliniks. Menurut penelitian Huai, W.H and Da
We (2016) Variasi besar HR ≥5% yang timbul dari PLR
dapat mengindikasi pembatalan PLR karena perubahan HR
≥5% mengindikasi adanya stimulasi simpatis.

Penelitian Irawati (2016) tentang efektifitas PLR pada pasien


hipovolemia menemukan adanya perbedaan nilai mean antara
sebelum dan sesudah PLR untuk indicator heart rate,
berdasarkan pada hasil uji statistic nilai P value 0,0001 yang
dapat disimpulkan bahwa adanya perbedaan heart rate yang
signifikan antara sebelum dilakukan PLR dan sesudah
dilakukan PLR. Penelitian meta analisis (Monnet et al., 2016)
juga menyebutkan nilai prediksi perubahan tekanan nadi
terhadap PLR dapat memprediksi respon fluida dengan
indicator peningkatan PP berkisar antara 9%-12%.

2.3.5.4 Efek PLR terhadap respirasi.


Posisi tubuh sangat berpengaruh terhadap frekuensi
pernapasan, adanya perubahan posisi akan mempengaruhi
struktur pada paru, termasuk sistem musculoskeletal dan
organ internal paru oleh adanya gaya gravitasi dan secara
otomatis berdampak pada volume paru (Wibawa, 2008).

Ostrow et al. (2006) melakukan penelitian mengenai efek


PLR pada hemodinamika pasien bedah jantung, dalam
penelitian ini tidak terdapat perubahan signifikan secara
statistic pada CO, MAP, SVR dan oksigenasi jaringan.
Sedangkan penelitian Monnet et al. (2012) menyebutkan
bahwa kemampuan variasi tekanan nadi untuk memprediksi
reposn fluida berbanding terbalik dengan kepatuhan sistem
pernafasan, sehingga bisa dikatakan dapat terjadi penuruna
respon oksigenasi pada saat PLR.
2.3.5.5 Efek PLR terhadap SpO2
Penelitian Indra (2016) yang meneliti tentang perbandingan
insiden hipotensi saat induksi intravena profol 2mg/kg pada
posisi supine dengan perlakuan dan tanpa perlakuan elevasi
tungkai menyebutkan tidak didapatkan perbedaan nilai SPO2
yang bermakna secara statistic pada kelompok (P > 0,05).

Sedangkan penelitian Susanto (2016) menyatakan efek


elevasi tungkai secara pasif akan menurunkan variasi
plestimograf (pulse oksimetry). Penurunan variasi
plestimograf yang signifikan pada responden yang memiliki
responsivitas terhadap cairan 6/30 dengan variasi
plestimograf >13% sebelum dilakukan elevasi tungkai secara
pasif dengan perbedaan bermakna secara statistic (P < 0,05).

Penelitian Klinjn et al. (2015) menyebutkan pada responden


(subjek dengan kenaikan >10% CO) HUT untuk supine
mengubah peningkatan CO, SV dan tekanan nadi sedangkan
denyut jantung, resistensi vascular sistemik dan MAP
menurun. Selain itu indeks aliran mikrovaskuler dan
konsentrasi SpO2, oksigen mikrovaskular dan konsentrasi
juga mengalami peningkatan setelah PLR.

2.4. Konsep Hemodinamik


2.4.1 Definisi Hemodinamik
Hemodinamik menurut Guyton (2012) adalah bagian yang
mempelajari prinsif-prinsif fisika aliran darah dalam pemburuh
darah dan jantung. Pengukuran hemodinamik adalah pemeriksaan
aspek fisik sirkulasi darah, fungsi jantung dan karakterisitik
fisiologis vaskular perifer (Mosby 1998, dalam Jevon and Ewens
2009). Status hemodinamik seseorang akan dimunculkan dalam
bentuk tanda dan gejala yang mampu menggambarkan proses
hemodinamik dalam tubuh. Sedangkan hemodinamik monitoring
adalah pemantauan dari hemodinamik status. Tanda dan gejala
yang diamati sebagai gambaran status hemodinamik antara lain
adalah tekanan darah dan denyut jantung.

Menurut Dewi (2016) pentingnya pemantauan terus menerus


terhadap status hemodinamik dan tanda-tanda vital akan menjamin
early detectiction dan mencegah pasien jatuh kepada kondisi yang
lebih parah. Selain itu menurut Jevon and Ewens (2009)
Pengukuran hemodinamik penting untuk menegakkan diagnosis
yang tepat, menentukan terapi yang sesuai, dan pemantauan
respons terhadap terapi yang diberikan. Sedangkan menurut
penelitian Vollman, K.M (2010) pada pasien kritis biasanya
memiliki detak yang lemah, tidak stabilnya pernapasan dan
rendahnya penerimaan kardiovaskular sehingga lebih baik
diberikan intervensi daripada ditinggalkan dalam posisi statis.
Pengukuran hemodinamik juga dapat membantu untuk mengenali
syok sedini mungkin, sehingga dapat dilakukan tindakan yang tepat
terhadap bantuan sirkulasi.

Berdasarkan pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa


hemodinamik adalah bagian yang mempelajari prinsif-prinsif fisika
aliran darah dalam pembuluh darah dan jantung. Pengukuran
hemodinamik adalah pemeriksaan aspek fisik sirkulasi darah,
fungsi jantung dan karakterisitik fisiologis vaskular perifer yang
dapat membantu mengidentifikasi kondisi pasien, mengevaluasi
respon pasien terhadap terapi, menentukan diagnosa medis, dan
memberikan informasi mengenai keadaan pembuluh darah.
2.4.2 Komponen Hemodinamik
2.4.2.1 Tekanan Darah
Tekanan darah adalah tenaga yang digunakan oleh darah
setiap satuan daerah dinding pembuluh tersebut (Guyton,
2012). Periode pengisisan jantung dengan darah diikuti
oleh periode kontraksi disebut sitole dan periode relaksasi
disebut diastole. Satuan standar untuk tekanan darah
diukur dalam millimeter air raksa (mmHg).

Tekanan darah digambarkan sebagai rasio sitolik terhadap


tekanan diastolik. Rata-rata tekanan sistolik adalah 100-
139 mmHg sedangkan tekanan diastolik adalah 60-90
mmHg (Smeltzer & Bare 2002). Tekanan darah sangat
dipengaruhi beberapa faktor seperti curah jantung,
ketegangan arteri dan volume, laju serta kekentalan darah
(Ganong, 2008).

Tahanan/resistensi perifer berhubungan dengan perubahan


diameter pembuluh darah (semakin kecil diameter
pembuluh darah dengan volume sama maka resistensi
semakin tinggi dan tekanan darah semakin besar) (Morton
& Fontaine, 2009). Autonomic control berupa elastisitas
pembuluh darah berpengaruh terhadap vasokonstriksi
(berkontraksi) dan vasodilatasi (melemas/istirahat)
pembuluh darah. Selain itu meningkatnya tekanan darah
juga dari hasil peningkatan curah jantung/Cardiac Output
(CO) (Ganong, 2008; Morton & Fontaine, 2009).

Tekanan darah juga dipengaruhi oleh aktivitas fisik,


dimana akan lebih tinggi pada saat melakukan aktivitas
dan lebih rendah ketika beristirahat. Tekanan darah dalam
satu hari juga berbeda, paling tinggi di waktu pagi hari dan
paling rendah pada saat tidur malam hari. Selain faktor
aktivitas fisik, tekanan darah juga dipengaruhi oleh
gravitasi Terdapat 2 mekanisme kompensasi yang
menanggulangi efek gravitasi ini, yaitu sebagai berikut:
(Ganong, 2008)
a. Refleks baroreseptor (keseimbangan aktivitas sistem
simpatis-parasimpatis).
Baroreseptor/proreseptor pada dinding sinus karotis
dan arkus aorta dirangsang oleh peningkatan tekanan
dalam pembuluh. Sinyal dari sinus karotis melewati
saraf Hering ke saraf glosofaringeal kemudian
melewati traktus solitarius di medula batang otak.
Sinyal dari arkus aorta melewati nervus vagus ke area
yang sama di batang otak. Sinyal sekunder dari
traktus solitarius medula kemudian menghambat pusat
vasokonstriktor di medula dan merangsang pusat
vagus, menyebabkan:
1) vasodilatasi di seluruh sistem sirkulasi perifer
2) berkurangnya frekuensi denyut jantung dan
kekuatan kontraksi jantung.
Penurunan tekanan darah menyebabkan efek
sebaliknya. Tekanan yang menurun menyebabkan
baroreseptor menjadi inaktif. Terjadi vasokonstriksi
dan peningkatan curah jantung. Selain itu terjadi
peningkatan kadar renin dan aldosteron dalam darah
yang membantu mempertahankan tekanan darah ke
tingat semula dengan meningkatkan volume darah
melalui retensi urin.
b. Kompensasi sirkulasi serebrum
Tekanan arteri menurun ±20-40 mmHg, tetapi tekanan
vena jugularis menurun ±5-8 mmHg, sehingga
mengurangi penurunan tekanan perfusi (tekanan
arteri-vena). Resistensi vaskular serebrum berkurang
karena tekanan intrakranium menurun seiring
penurunan tekanan vena, sehingga tekanan pada
pembuluh serebrum menurun. Penurunan aliran darah
serebrum menyebabkan perubahan metabolik lokal
yang meningkatkan vasodilatasi pembuluh serebrum.
Dengan mekanisme autoregulasi ini, aliran darah
serebrum hanya turun 20% pada posisi berdiri dan
jumlah penyerapan O2 per satuan darah meningkat,
sehingga konsumsi O2 pada keadaan berbaring dan
berdiri adalah sama. Sedangankan untuk saturasi
oksigen menurut Vollman, K.M (2010) perubahan
posisi berpengaruh pada saturasi oksigen karena
ketika pasien mendapatkan perlakuan dari berbaring
menjadi duduk menyebabkan tubuh melakukan
berbagai cara untuk beradaptasi secara psikologis
untuk mempertahankan homeostatis kardiovaskular.

2.4.2.2 Denyut nadi (Heart Rate).


Denyut nadi adalah frekuensi irama denyut/detak jantung
yang dapat dipalpasi (diraba) dipermukaan kulit pada
tempat-tempat tertentu. Denyut nadi merupakan rambatan
dari denyut jantung yang dihitung tiap menitnya dengan
hitungan repetisi (kali/menit), dengan denyut nadi normal
60-100 kali/menit (Ganong, 2008).
Denyut nadi berasal dari noddus SA (irama sinus normal,
NSR= Normal Sinus Rhythim), Refleks baroreseptor
adalah reflek paling utama dalam menentukan pengaturan
pada denyut jantung dan tekanan darah yang dirangsang
oleh distensi dan peregangan dinding aorta, Impuls aferen
dari baroreseptor juga mencapai pusat jantung yang akan
merangsang aktivitas parasimpatis dan menghambat pusat
simpatis sehingga menyebabkan penurunan denyut dan
daya kontraksi jantung (Morton & Fontaine, 2009;
Muttaqin, 2009). Mengetahui kecepatan denyut jantung
seseorang dapat dilakukan dengan menggunkaan pulse
rate, yaitu dengan cara menghitung perubahan tiba-tiba
dari tekanan yang dirambatkan sebagai gelombang pada
dinding darah (Schumacher & chernecky, 2010).

2.4.3 Faktor yang mempengaruhi hemodinamik


Faktor yang mempengaruhi hemodinamik adalah curah jantung,
tahanan perifer dan tekanan darah arteri rata-rata (Schumacher &
Chernecky, 2010). Curah jantung adalah jumlah darah yang dipompa
oleh ventrikel selama satu satuan waktu, normal pada dewasa sekitar
5 L/menit dan bervariasi tergantung kebutuhan metabolisme tubuh
(Ganong, 2008).

Pengaturan curah jantung bergantung pada hasil perkalian dengan


nadi (heart rate) dengan volume sekuncup (stroke volume) (Morton
& Fontaine, 2009). Nadi yang dipengaruhi oleh saraf simpatis dan
saraf parasimpatis melalui saraf otonom. Volume sekuncup adalah
sejumlah darah yang disemburkan setiap denyut. Pada orang dewasa,
rata-rata volume sekuncup sekitar 70ml/denyut dan frekuensi jantung
istirahat sekitar 60-80 denyut/menit (Smeltzer & Bare, 2002).
Volume sekuncup ditentukan oleh tiga faktor menurut Smeltzer &
Bare (2002) dan Schumacher & Chernecky (2010) yaitu
2.4.3.1 Beban awal (preload) adalah pengisian volume ventrikel
pada akhir diastolik yang merupakan refleks dari otot
jantung yang diregangkan sebelum berkontraksi.
Peningkatan volume darah dan konstriksi vena yang
menyebabkan peningkatan preload sedangkan yang
menyebabkan penurunan beban awal adalah hipovolemia
dan vasodilatasi.
2.4.3.2 Kontraktilitas yaitu tenaga dari otot miokardium yang
memendek selama sistole.
2.4.3.3 Beban akhir (afterload) merupakan suatu tekanan yang
harus dilawan ventrikel untuk menyemburkan darah yang
dipengaruhi oleh pembuluh darah, kekentalan darah dan
pola aliran. Peninggian afterload akan mengakibatkan
penurunan volume sekuncup.

Resistensi perifer dipengaruhi oleh viskositas/kekentalan darah dan


panjang pembuluh darah. Semakin pekat/kental suatu darah maka
semakin besar resistensi terhadap aliran darah sehingga semakin
tinggi tekanan darahnya sedangkan panjang pembuluh darah
(arteriolar lumen size) semakin besar luas permukaan dalam
pembuluh yang berkontak dengan darah, semakin besar resistensi
terhadap aliran (Ganong, 2008; Morton & Fontaine, 2009).

Tekanan arteri rata-rata diatur oleh beberapa sistem yang saling


berhubungan, bila seseorang mengeluarkan darah dalam jumlah yang
banyak dan tekanan darahnya turun secara tiba-tiba, sistem pengatur
tekanan segera menghadapi dua masalah. Pertama mekanisme
pengatur tekanan berupa mekanisme baroreseptor dan mekanisme
iskemi susunan saraf pusat (untuk mengontrol tekanan arteri),
mekanisme vasokontriksi renin-angiotensin dan pergeseran cairan
melalui kapiler dari jaringan ke dalam atau keluar dari sirkulasi
untuk mengatur volume darah sesuai keperluan. Kedua mekanisme
untuk pengaturan tekanan arteri jangka panjang yang dilakukan oleh
mekanisme pengatur ginjal, volume darah dan tekanan darah
(Ganong, 2008).

2.4.4 Parameter Hemodinamik


Parameter klinis dapat dijadikan acuan untuk menilai kecukupan
curah jantung dalam memenuhi suplai oksigen, nilai curah jantung
(Cardiac Output) diukur secara langsung melalui beberapa metode
pemeriksaan (non-invasif dan invasif). Pemantauan hemodinamik
non invasif dapat dilakukan dengan cara pengukuran secara langsung
dengan melihat penurunan tingkat kesadaran, status hidrasi, edem,
pola pernafasan, waktu pengisian kapiler (perfusi perifer), selisih
suhu tubuh kulit, denyut dan irama jantung, karakteristik pulsasi
denyut jantung, jumlah urin, pembesaran hati, tekanan vena jugular,
auskultasi jantung dan paru dapat memberikan informasi ada
tidaknya penurunan perfusi organ tanpa tindakan yang invasif
(Darovic, 2002).

Parameter hemodinamik invasif merupakan pengukuran yang


diperoleh dari perangkat pemantau invasif dikalkulasi berdasarkan
variabel yang diukur secara langsung sesuai luas permukaan tubuh.
Nilai-nilai tersebut meliputi: Indeks jantung (CI), indeks sekuncup
(SI), indeks resistensi vaskular sistemik (SVRI), indeks kerja
sekuncup ventrikel kiri (LVSWI), indeks kerja sekuncup ventrikel
kanan (RVSWI), kandungan oksigen arteri (CaO2), suplai oksigen
(DO2), konsumsi oksigen sesuai prinsip Fick (VO2) dan rasio
ekstraksi oksigen (O2ER) (Evans et al., 2006). Kombinasi dari
kemampuan penilaian klinis, interpretasi nilai pengukuran langsung
dan yang dikalkulasi berdasarkan data dari pemantau invasif, secara
keseluruhan akan membantu evaluasi hemodinamik yang real-time
dan efektif sehingga mengurangi pemeriksaan invasif.

2.4.5 Monitoring Hemodinamik


Monitoring hemodinamik bertujuan untuk mengenali dan
mengevaluasi perubahan-perubahan fisiologis hemodinamik pada
saat yang tepat, agar segera dilakukan terapi koreksi. Selain itu,
monitoring hemodinamik juga bertujuan untuk membantu
penegakkan diagnosis berbagai gangguan kardiovaskular, panduan
terapi untuk meminimalkan disfungsi kardiovaskular dan
mengevaluasi respon terhadap terapi (Gonce et al. 2013).

Metode monitoring menurut Jevon and Ewens (2007) yaitu non


invasif dan invasif. Yang merupakan metode non invasif adalah
manual blood pressure, EKG, pulse oxymetry, urine output,
pengukuran temperatur dan respirasi; dan yang termasuk invasif
adalah Arteri line (canulasi), central venous pressure (CVP) dan PA
kateter (Swan Ganz). Pemasangan monitor adalah suatu cara yang
dilakukan terhadap pasien untuk memonitoring status hemodinamik
(TTV) dalam 24 jam yang bertujuan untuk mengetahui perubahan
status hemodinamik (TTV) baik terjadi peningkatan atau penurunan
sehingga dapat segera ditangani. Indicator yang biasa ditemui setelah
pemasangan elektroda pada bagian dada dan manset NIBV yaitu TD,
MAP, RR, HR, gambar irama jantung dan SpO2.
2.4.5.1 Monitoring tekanan darah
Tekanan darah merupakan daya yang dihasilkan oleh darah
terhadap setiap satuan luas dinding pembuluh. Bila
seseorang mengatakan bahwa tekanan dalam pembuluh
adalah 100 mmHg hal itu berarti bahwa daya yang
dihasilkan cukup untuk mendorong kolom air raksa
melawan gravitasi sampai setinggi 100 mm (Guyton and
Hall, 2008). Tekanan darah juga didefinisikan sebagai
kekuatan lateral pada dinding arteri oleh darah yang
didorong dengan tekanan dari jantung (Ganong, 2008).

Tekanan puncak terjadi saat ventrikel berkontraksi dan


disebut tekanan sistolik. Tekanan diastolik adalah tekanan
terendah yang terjadi saat jantung beristirahat. Tekanan
darah biasanya digambarkan sebagai rasio tekanan sistolik
terhadap tekanan diastolik, dengan nilai dewasa normalnya
berkisar dari 100/60 sampai 140/90. Rata-rata tekanan darah
normal biasanya 120/80 (Smeltzer dan Bare, 2001).

2.4.5.2 Monitoring Mean Arteri Pressure (MAP).


Pada pasien yang terpasang monitor pemantauan tekanan
darah biasanya menggunakan Non Invasif Blood Pressure
(NIBV) dengan metode Oscillometric yaitu metode
pengukuran tekanan darah menggunakan sensor tekanan
untuk mendeteksi tekanan darah manusia. Metode ini
mengandalkan sinyal yang berosilasi akibat detak jantung
yang terjadi dan nilai tekanan darah karena nilai tersebut
umumnya ditampilkan secara elektronik melalui LED atau
pada bedside monitor. Data status hemodinamik yang bisa
didapatkan adalah tekanan sistolik, tekanan diastolik, dan
tekanan rata-rata arteri (Mean Arteri Pressure/ MAP).

MAP mengambarkan perfusi rata-rata dari peredaran darah


sistemik. Sangat penting untuk mempertahankan MAP
diatas 60 mmHg, untuk menjamin perfusi otak, perfusi
arteri coronaria, dan perfusi ginjal tetap terjaga, sedangkan
untuk tekanan darah menurut WHO (2009) batas tekanan
darah yang masih dianggap normal adalah kurang dari
130/85 mmHg sedangkan bila lebih dari 140/90 mmHg
dinyatakan sebagai hipertensi; dan diantara nilai tersebut
disebut normal-tinggi; dinyatakan hipotensi jika dibawah
angka normal yaitu dengan nilai rendah 90/60 mmHg.

2.4.5.3 Monitoring Respirasi Rate (RR)


Pernapasan (respiration) adalah proses yang menyebabkan
oksigen masuk ke paru-paru dan mencapai sel-sel tubuh,
serta proses (dalam arah sebaliknya) yang menyebabkan
karbon dioksida keluar dari tubuh melalui hidung atau
mulut (British Medical Association, 2005). Sedangkan laju
pernapasan didefinisikan sebagai jumlah total napas, atau
siklus pernapasan, yang terjadi tiap menit (Open stax,
2013). Laju pernapasan yang abnormal, seperti laju
pernapasan yang terlalu tinggi (takipnea), terlalu rendah
(bradypnea), atau bahkan terhenti beberapa saat (apnea),
merupakan indikator yang sensitif bagi pasien dengan
kondisi kritis.

Monitoring respirasi diruang intensife care unit bertujuan


mengidentifikasi penyakit dan menilai beratnya penyakit.
Parameter yang diperlukan untuk laju pernafasan per menit
adalah volume tidal, oksigenasi dan karbondioksida.
Metode yang biasanya digunakan adalah impedance
monitor yang dapat mengukur laju pernafasan, volume tidal
dan alaram apnea. Frekuensi pernafasan normal adalah 16-
24 x/mnt, dikatakan takepnea bila frekuensinya lebih dari
24x/mnt dan bradipneu bila kurang dari 16x/mnt, sedangkan
apneu adalah keadaan terhentinya pernafasan.
2.4.5.4 Monitoring Heart Rate (HR).
Status hemodinamik tekanan darah dan frekuensi denyut
nadi sangat dipengaruhi oleh aktivitas hormonal dan
persyaratan. Menurut Ganong (2008) syaraf otonom
simpatis membuat vasokontriksi arteriol dan vena serta
meningkatkan frekunesi denyut jantung dan isi sekuncup
melepaskan muatan dengan cara tonik, dan tekanan darah
disesuaikan dengan variasi kecepatan muatan tonik ini.
Selanjutnya vasodilatasi jantung dan pembuluh darah juga
diatur oleh sistem otonom parasimpatis. Simpatis dan
parasimpatis bekerja secara berlawanan dalam rangka
memperoleh penyesuaian frekuensi denyut jantung dan
tekanan darah.

Monitoring terhadap nadi merupakan keharusan, karena


gangguan sirkulasi sering terjadi selama kondisi kritis.
Pemantauan frekuensi dan irama nadi dapat dilakukan
dengan meraba arteri temporalis, arteri radialis, arteri
femoralis atau arteri karotis untuk mendapat informasi
tentang kuat lemahnya denyut nadi, teratur tidaknya irama
nadi, frekuensi denyut nadi jika denyut lambat dikatakan
bradikardi dan jika cepat dikatakan takikardi, dan kondisi
bradikardi menurunkan curah jantung. Monitoring nadi
secara kontinyu dapat dilakukan dengan peralatan
elektronik seperti EKG atau oksimeter yang disertai dengan
alarm.

2.4.5.5 Monitoring saturasi oksigen


Saturasi oksigen adalah presentasi hemoglobin yang
mengikat oksigen dibandingkan dengan jumlah total
hemoglobin yang ada dalam tubuh, saturasi oksigen normal
adalah antara 95 – 100 %. Oksigen saturasi (SO2), sering
disebut sebagai "SATS", untuk mengukur persentase
oksigen yang diikat oleh hemoglobin didalam aliran darah.
Pada tekanan parsial oksigen yang rendah, sebagian besar
hemoglobin terdeoksigenasi, maksudnya adalah proses
pendistribusian darah beroksigen dari arteri ke jaringan
tubuh (Hidayat, 2007)

Saturasi oksigen bisa diukur melalui dua cara, secara


langsung dan secara tidak langsung, pengukuran secara
langsung dilakukan dengan prosedur invasif dengan cara
mengambil darah arteri radial di lengan atau arteri femoral
pada tungkai dengan analisa gas darah. Hasilnya akan
dinyatakan dalam SaO2 (Saturasi Asterial O2) dalam %.
Sedangkan untuk pengukuran tidak langsung, pengukuran
tanpa dilakukan mengambil darah tetapi menggunakan alat
yang mengukur saturasi oksigen dipembuluh-pembuluh
darah permukaan (perifer) yang hasilnya dinyatakan dengan
SpO2 (Saturasi Peripheral O2) dalam %.

SpO2 (Saturation of Peripheral Oxygen) adalah estimasi


dari tingkat kejenuhan oksigen yang biasanya diukur
dengan perangkat Pulse Oximetry. Fungsi dari oksigen
saturasi arteri (SpO2) digambarkan sebagai perbandingan
HbO2 dengan total jumlah Hb arteri yang tersedia untuk
melepas oksigen. Pulse Oximetry merupakan alat noninvasif
yang mengukur saturasi oksigen darah arteri pasien yang
dipasang pada ujung jari, ibu jari, hidung, daun telinga atau
dahi dan oksimetri nadi dapat mendeteksi hipoksemia
sebelum tanda dan gejala klinismuncul (Kozier, 2010).
Oksimetri nadi merupakan pengukuran diferensial
berdasarkan metode absorpsi spektofotometri yang
menggunakan hukum Beer-Lambert. Probe oksimeter
terdiri dari dua diode pemancar cahaya Light Emitting
Diode (LED) satu merah dan yang lainnya infra merah yang
mentransmisikan cahaya melalui kuku, jaringan, darah
vena, darah arteri melalui fotodetektor yang diletakkan di
depan LED. Fotodetektor tersebut mengukur jumlah cahaya
merah dan infamerah yang diabsorbsi oleh hemoglobin
teroksigenasi dan hemoglobin deoksigenasi dalam darah
arteri dan dilaporkan sebagai saturasi oksigen (Kozier,
2010). Semakin darah teroksigenasi, semakin banyak
cahaya merah yangdilewatkan dan semakin sedikit cahaya
inframerah yang dilewatkan,dengan menghitung cahaya
merah dan cahaya infamerah dalam suatu kurun waktu,
maka saturasi oksigen dapat dihitung (Guiliano K. , 2006)

Kozier (2010) menjelaskan beberapa faktor yang


mempengaruhi bacaan saturasi :
a. Hemoglobin (Hb)
Jika Hb tersaturasi penuh dengan O2 walaupun nilai Hb
rendah maka akan menunjukkan nilai normalnya.
Misalnya pada klien dengan anemia memungkinkan
nilai SpO2 dalam batas normal.
b. Sirkulasi
Oksimetri tidak akan memberikan bacaan yang akurat
jika area yang dibawah sensor mengalami gangguan
sirkulasi.
c. Aktivitas
Menggigil atau pergerakan yang berlebihan pada area
sensor dapat menggangu pembacaan SpO2 yang akurat.
Perubahan saturasi oksigen adalah tanda akhir dari
gangguan pernapasan. Kondisi tidak adekuatnya oksigen di
jaringan bisa dilihat melalui tanda klinis berupa
meningkatnya frekuensi pernafasan, tanda hipoksia (pucat)
pada kulit, mukosa dan akral dingin. Kemudian jika
dilakukan pengukuran dengan alat oksimetri maka akan
didapatkan hasil saturasi < 95 % (Guyton, 2012 ).

2.4.6 Hemodinamik pada pasien sepsis


Proses inflamasi pada sepsis merupakan proses homeostasis
dimana terjadi keseimbangan antara inflamasi dan antiinflamasi.
Bila proses inflamasi melebihi kemampuan homeostasis, maka
terjadi proses inflamasi yang maladaptif, sehingga terjadi berbagai
proses inflamasi yang destruktif, kemudian menimbulkan gangguan
pada tingkat sesluler pada berbagai organ. Pada patofisiologi sepsis
endotoksin yang dilepaskan oleh mikroba akan menyebabkan
proses inflamasi yang melibatkan berbagai mediator inflamasi,
yaitu sitokin, neutrofil, komplemen, NO, dan berbagai mediator
lain (Lalisang dan yefta, 2015) Terjadinya disfungsi endotel
disebabkan oleh vasodilatasi akibat pengaruh NO yang
menyebabkan maldistribusi volume darah sehingga terjadi
hipoperfusi jaringan dan syok.

Lanjutan proses inflamasi menyebabkan gangguan fungsi berbagai


organ yang dikenal sebagai disfungsi/gagal organ multipel
(MODS/MOF). Proses MOF merupakan kerusakan pada tingkat
seluler (termasuk difungsi endotel), gangguan perfusi jaringan,
iskemia reperfusi, dan mikrotrombus. Berbagai faktor lain yang
diperkirakan turut berperan adalah terdapatnya faktor humoral
dalam sirkulasi (myocardial depressant substance), malnutrisi
kalori protein, translokasi toksin bakteri, gangguan pada eritrosit,
dan efek samping dari terapi yang diberikan (Chen and Pohan,
2007).

Penurunan tahapan vaskular sistemik karena vasodilatasi arteri,


peningkatan curah jantung, penurunan kontraktilitas miokard,
peningkatan volume ventrikel, dan perubahan respons ventrikel
terhadap rangsangan simpatis serta respons ventrikel terhadap
pemberian cairan merupakan perubahan hemodinamik yang terjadi
pada sepsis (Kontra, 2006). Laju irama jantung meningkat dan
tahanan vaskular paru sedikit meningkat (Dellinger et al., 2013)
secara umum pada sepsis ditemukan maldistribusi dan penurunan
aliran darah kapiler yang mengakibatkan ketidakcukupan gradien
untuk perfusi oksigen sehingga menyebabkan hipoksemia sel.

Menurut penelitian Marik and R bellomo (2013) patofisiologis


sepsis ditandai dengan terjadinya vasoplegia yang menyebabkan
hilangnya tonus arteri dan terjadinya venodilasi yang menyebabkan
perubahan tekanan di kompartemen pembuluh darah dan perubahan
fungsi ventrikel sehingga mengurangi volume preload secara
responsif. Pengaruh mediator juga menyebabkan disfungsi miokard
sehingga terjadi penurunan curah jantung. Menurut penelitian arabi
et al. (2013) salah satu penyebab ketidakmampuan tubuh untuk
memenuhi kebutuhan oksigen jaringan pada pasien sepsis adalah
insufiensi kardiovaskular. Hipoksis menyeluruh akhibat insufiensi
kardiovaskular disebabkan oleh menurunnya preload, disfungsi
vasoregulatori, depresi miokard, meningkatnya kebutuhan
metabolism serta disfungsi mikrosirkulasi dan hipoksia sitopatik.

Depresi miokardial pada pasien dengan syok sepsis pertama kali


didokumentasikan oleh Parker dan Institusinya pada tahun 1984
menggunakan radionuclide cineangiography. Pada laporan kasus
dengan 20 pasien, peneliti melaporkan 50% insiden dari disfungsi
ventrikel kiri. Sedangkan penelitian Marik and R. belllo (2013)
menyebutkan fraksi ejeksi awal dan volume ventrikel normal pada
pasien yang tidak selamat tidak berubah selama penelitian,
kemungkinan pasien tersebut memiliki disfungsi diastolic dimana
pada studi awal penelitian mengevaluasi fungsi jantung pada pasien
sepsis khususnya pada fungsi ventrikel kiri.

Pengisian darah yang adekuat pada saat diastol merupakan


komponen penting agar fungsi pompa ventrikel bekerja secara
efektif sedangkan pada pasien sepsis menurut penelitian Sanfillipo
et al. (2015) menyatakankan bahwa disfungsi diastolik ventrikel
kiri akan ditemukan pada pasien yang mengalami syok sepsis dan
syok septic serta hal paling yang dominan muncul, setidaknya dua
kali lebih sering terjadi pada pasien dengan sepsis. Disfungsi
diastolik mengacu pada abnormal distensibilitas ventrikel kiri,
pengisian atau relaksasi, kelainan fraksi ejeksi ventrikel kiri.

Studi terbesar (n = 262), Landesberg et al. (2012) melaporkan


disfungsi diastolik pada 54% pasien dengan sepsis sedangkan 23%
pasien mengalami disfungsi sistolik. Tidak seperti disfungsi sistolik
ventrikel kiri, disfungsi diastolik merupakan penanda prognostik
penting pada pasien dengan sepsis (Brown, et al 2012). Menurut
penelitian Cheitlin (2003) Disfungsi diastolik menjadi semakin
diketahui terutama pada penderita hipertensi, diabetes, obesitas dan
dengan orang dengan usia lanjut Kondisi ini berhubungan dengan
peningkatan risiko sepsis dan meningkatkan prevalensi dan
keparahan disfungsi diastolik pada pasien dengan sepsis.

Pada sepsis berat kemampuan kontraksi otot jantung melemah,


mengakibatkan fungsi jantung intrinsik (sistolik dan diastolik)
terganggu. Meskipun curah jantung meningkat (terlebih karena
takikardia daripada peningkatan volume sekuncup), tetapi aliran
darah perifer tetap berkurang. Status hemodinamika pada sepsis
berat dan syok septik yang dulu dikira hiperdinamik (vasodilatasi
dan meningkatnya aliran darah), pada stadium lanjut kenyataannya
lebih mirip status hipodinamik (vasokonstriksi dan aliran darah
berkurang). Menurut Guntur (2008) menyebutkan tanda
karakterisik lain pada sepsis berat dan syok septik adalah gangguan
ekstraksi oksigen perifer. Hal ini disebabkan karena menurunnya
aliran darah perifer, sehingga kemampuan untuk meningkatkan
ekstraksi oksigen perifer terganggu, akibatnya VO2 (pengambilan
oksigen dari mikrosirkulasi) berkurang. Kerusakan ini pada syok
septik dipercaya sebagai penyebab utama terjadinya gangguan
oksigenasi jaringan.

Penelitian Osbron TM (2006) menyebutkan perubahan dasar


hemodinamika yang terjadi pada pasien sepsis adalah kelainan
patologik arterial. Walaupun kadar katekolamin dalam darah pada
sepsis meninggi, respons vaskular terhadap stimulasi reseptor alfa
adrenergik tampaknya terganggu. Beberapa mediator yang diduga
bertanggung jawab terhadap mekanisme vasodilatasi ini antara lain
adalah interleukin 1 (IL-1), Tumor Necrosis Factor (TNF), nitric
oxide (NO), dan prostaglandin aktivitas komplemen (C3a, C5a).
Kemungkinan lain sebagai penyebab adalah perubahan dalam
metabolisme pembuluh darah sendiri. Gambaran yang khas pada
pasien sepsis dengan syok adalah hipotensi yang terjadi karena
dilatasi pembuluh darah arteri. Resistensi vaskular sistemik sangat
rendah dan curah jantung akan meningkat. Frekuensi denyut
jantung akan meningkat pula, demikian juga resistensi vaskular
paru akan meningkat, karena kompensasi terhadap kekurangan O2.
(Dellinger et al., 2013) Keadaan ini disebabkan karena adanya
produksi NO yang meningkat berlebihan. Terjadinya peningkatan
permeabilitas dinding pembuluh darah yang disebabkan
peningkatan aktivitas komplemen (C3a, C5a), sehingga banyak
cairan plasma yang menuju keluar (ekstravasasi).
2.5 Kerangka teori

Infeksi pra sepsis: Kriteria qSOFA


Gejala khas: Perubahan status mental (neuro)
WBC > 12 ribu atau RR>< 4ribu
20x / mnt
Temperatur > 38 oCTekanan
atau < 36darah
oC sistolik <100 mmHg atau tekanan darah sistolik turun > 40 mmHg dari
Diagnosis klinikal infeksi berdasarkan gejala atipikal

Infeksi + 2 qSOFA criteria = SEPSIS

Tes Passive Leg Raising

Perpindahandarahvena secara gravitasi 300 mlBolus cairan secara endogen


Input

Peningkatan Tekanan darah Peningkatan atrial


Proses
blood flow (ABF)
Peningkatan Heart rate
Peningkatanperfusion preasure

Peningkatan Respirasi rate

Peningkatan variasi SV dan variasi pulse pressure


Peningkatan CO yang dapat dilihat dari MAP
Output

Responsivitas Cairan

Skema 2.1 Konsep teori penelitian


Sumber Monnet (2015) dan sepsis management in the SNF (2017).

Anda mungkin juga menyukai