Anda di halaman 1dari 34

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sepsis

2.1.1 Infeksi dan Inflamasi

Infeksi adalah terminologi yang digunakan untuk keberadaan berbagai


jenis mikroorganisme yang masuk ke dalam tubuh manusia. Bila kuman
berkembang biak dan menyebabkan kerusakan disekitarnya disebut dengan
penyakit infeksi. Pada penyakit infeksi terjadi jejas sehingga menyebabkan reaksi
inflamasi dan imunologi (Baratawidjaja, 2012).

Inflamasi adalah serangkaian proses bawaan spesifik yang berkaitan


antara yang diaktifkan sebagai respon terhadap invasi benda asing, kerusakan
jaringan, atau keduanya. Tujuan akhir inflamasi adalah membawa fagosit dan
dan protein plasma ke tempat invasi atau ke lokasi jaringan yang rusak untuk
mengisolasi, menghancurkan, atau menginaktifkan penyerang, membersihkan
debris dan mempersiapkan proses penyembuhan dan perbaikan jaringan
(Sherwood, 2012).

Literatur lain menyebutkan bahwa inflamasi merupakan respon fisiologis


terhadap berbagai rangsangan seperti infeksi dan cedera jaringan melalui
mediator-mediator inflamasi seperti sitokin, sel mast, leukosit dan komplemen
yang dapat menimbulkan edema, bengkak, kemerahan, nyeri. Inflamasi dapat
membuat perubahan pada permeabilitas vaskular melalui efek dari Tumor
Necrosis Factor-α (TNF-α) dan Interleukin-1 (IL-1). Inflamasi dapat bersifat
lokal, sistemik, akut, ataupun kronis yang dapat menimbulkan kelainan patologis
(Baratawidjaja, 2012).

5
6

2.1.2 Definisi Sepsis

Sepsis didefinisikan sebagai suatu infeksi yang disertai dengan


manifestasi sistemik. Hipotensi dapat disebabkan oleh sepsis dimana nilai
tekanan darah sistolik < 90 mmHg atau tekanan darah arteri rerata/Mean Arterial
Pressure (MAP) < 70 mmHg atau penurunan tekanan darah sistolik 40 mmHg
atau lebih dari 2 standar deviasi dibawah normal. Hipoperfusi jaringan akibat
sepsis adalah hipotensi yang disebabkan oleh infeksi, peningkatan laktat, atau
oliguria (Dellinger et al, 2013).

Sepsis merupakan suatu keadaan disfungsi organ yang mengancam jiwa


dimana terjadi disregulasi respon tubuh terhadap reaksi infeksi. Secara klinis,
dapat dijabarkan bahwa disfungsi organ terlihat dari adanya peningkatan skor
Sequential Organ Failure Assessment (SOFA) > 2 poin atau lebih yang
berhubungan dengan peningkatan risiko kematian dirumah sakit mencapai >10%
(Singer et al, 2016).

Syok sepsis didefinisikan sebagai kondisi hipotensi yang persisten dan


membutuhkan vasopresor untuk mempertahankan tekanan rerata arterial 65
mmHg atau lebih dan kadar serum laktat lebih besar dari 4 mmol/L (18 mg/dL)
setelah dilakukan resusitasi cairan yang adekuat (Dellinger et al, 2013).

2.1.3 Kriteria Sepsis

Berdasarkan studi dan konsensus mengenai definisi sepsis baru oleh


European Society of Intensive Care Medicines dan The Society of Critical Care
Medicines pada tahun 2016, ditetapkan kriteria sepsis sebagai berikut (Tabel 2.1)
(Singer et al, 2016).
7

Tabel 2.1.Perbandingan kriteria diagnostik sepsis (Singer, 2016)

Lama Baru

 Takikardi ( > 90x/menit)


 Takipnea ( > 20x/menit)

SIRS  Temperature ( < 36oC) -


38oC)
 Peningkatan leukosit >11.000

µL-1 atau < 4000 µL-1


Suspek atau dengan infeksi
+ 2 dari 3 tanda qSOFA
 Hipotensi (tekanan darah
sistolik ≤ 100 mmHg)
Sepsis SIRS + Fokal Infeksi  Penurunan kesadaran (GCS ≤
13)
 Takipnea ( ≥ 22x/menit) atau
 Peningkatan skor qSOFA
≥2
Sepsis Sepsis + Disfungsi Organ
berat  Laktat > 2 mmol/L
 Kreatinin > 2 mg/dl
 Bilirubin > 2 mg/dl -
 Trombosit < 100.000 /µL
 Koagulopati (INR > 1.5)

Syok Sepsis Sepsis Sepsis + Vasopresor untuk


+ mencapai MAP > 65 mmHg
Hipotensi setelah mendapatkan +
cairan resusitasi adekuat Laktat > 4mmol/L setelah
mendapatkan cairan resusitasi
8

adekuat
9

2.1.4 Epidemiologi Sepsis

Kasus sepsis di Amerika Serikat meningkat dalam 20 tahun terakhir,


dimana setiap tahunnya dijumpai sebanyak 400.000-500.000 kasus.Selama dua
dekade, insidensi sepsis meningkat dari 83 per 100.000 populasi pada tahun 1979
menjadi 140 per 100.000 populasi pada tahun 2000. Hal ini menunjukkan bahwa
kasus sepsis mengalami peningkatan sebesar 9% setiap tahunnya. Sepsis
merupakan penyebab tertinggi kematian di ICU dan menempati urutan ke-10
penyebab tertinggi kematian di seluruh dunia secara keseluruhan dengan angka
mortalitas 28,6% untuk sepsis, 32,2% untuk sepsis berat, dan 54% untuk syok
sepsis (Oncel et al, 2012).

Di Inggris insiden kasus sepsis sebanyak 123.000 kasus setiap tahunnya


dengan angka mortalitas 36.800 kasus. Manifestasi sepsis yang dijumpai sangat
bervariasi, sehingga diagnosis dan penentuan derajat keparahan sepsis sangat
penting untuk mencegah terjadinya komplikasi (NHS, 2015).

Beberapa peneliti menguji hubungan antara usia dengan sepsis dan


menunjukkan bahwa resiko relatif untuk terjadinya sepsis bagi individu yang
berusia ≥ 65 tahun adalah 13,1 kali lebih tinggi dibandingkan dengan individu
yang berusia < 65 tahun. Secara keseluruhan, individu yang berusia ≥ 65 tahun
menyumbang 64,9% dari total kasus sepsis yang ada. Angka insiden sepsis
meningkat dikarenakan adanya populasi yang berusia tua, bertambahnya jumlah
pasien immunocompromised, dan meningkatnya prosedur tindakan invasif, serta
berbagai jenis kuman yang saat ini resisten terhadap antibiotik. Meskipun terdapat
kemajuan dalam hal perawatan pasien dengan sakit kritis, lebih dari 210.000
pasien tercatat meninggal dengan sepsis berat setiap tahunnya. Berikut merupakan
perbandingan angka insidensi dan mortalitas sepsis berat dengan penyakit lainnya
(Gambar 2.1) (Hommes et al, 2012).
10

Gambar 2.1 Perbandingan Angka Insidensi dan Mortalitas Sepsis Berat dengan
Penyakit Lainnya (Hommes et al, 2012)

Selain usia, kegagalan fungsi organ juga menjadi efek akumulasi yang
berdampak langsung pada peningkatan angka mortalitas pada pasien sepsis.
Angka mortalitas pasien sepsis tanpa disfungsi organ dijumpai sebesar 15%,
dengan kegagalan fungsi organ sebesar 70%, dan syok septik sebesar 45-60%.
Kejadian hipoalbuminemia dilaporkan mencapai 60-70% dari total kasus sepsis,
dimana hipoalbuminemia dikatakan juga berkaitan dengan peningkatan risiko
morbiditas dan mortalitas pada pasien sepsis (Hommes et al, 2012).

2.1.5 Patofisiologi Sepsis

Inflamasi merupakan suatu mekanisme fisiologis yang terjadi sebagai


respon terhadap organisme yang merusak integritas sel, seperti yang terjadi pada
infeksi dan trauma. Pada keadaan inflamasi, sel akan melepaskan sitokin dan
beberapa mediator yang mempunyai kontribusi terhadap penghancuran bakteri
dan perbaikan pada jaringan. Mediator-mediator tersebut dapat dibedakan antara
sitokin proinflamasi seperti Interleukin-1 (IL-1), Interleukin-6 (IL-6), TNF-α dan
sitokin antiinflamasi seperti Interleukin-10 (IL-10) dan Interleukin-4 (IL-4). Pada
tahun 2001, Palmer mengungkapkan bahwa apabila proses inflamasi lokal
didukung oleh mediator proinflamasi (SIRS atau Systemic Inflammatory Response
11

Syndrome) atau antiinflamasi (CARS atau Compensatory Anti-inflammatory


Response Syndrome) ke sistem peredaran darah, maka akan terjadi respon
sistemik yang kita kenal dengan istilah sepsis (Gentile et al, 2017).

Regulasi mekanisme lokal akibat inflamasi merupakan gambaran terhadap


pentingnya menghilangkan sumber dari kerusakan jaringan dan mempertahankan
homeostasis. Mediator humoral maupun neuronal mempunyai kontribusi terhadap
regulasi dari inflamasi. Mediator antiinflamasi humoral seperti IL-10 dan
glukokortikoid menghambat efek pelepasan sitokin proinflamasi seperti dimana
lipoxin dan resolvin berkontribusi terhadap perbaikan jaringan. Mediator humoral
mencapai sel target pada beberapa organ dengan berdifusi melalui pembuluh
darah. Substansi yang dilepaskan oleh saraf seperti norepinefrin dan asetilkolin
dapat mencapai target organ secara cepat (Ballina et al, 2009).

Sepsis merupakan suatu proses yang kompleks dan inflamasi sistemik


merupakan jawaban terhadap infeksi yang pada umumnya disebabkan oleh
bakteri. Pada tahap awal, terjadi disregulasi dan ketidakseimbangan terhadap
sitokin proinflamasi yang mengakibatkan kerusakan jaringan, organ, dan bahkan
kematian. Pelepasan sitokin proinflamasi yang berlebihan memicu pelepasan
vasoaktif amin dan kemokin maupun aktivasi sistem komplemen, koagulasi, dan
pelepasan reactive oxygen species (ROS). Mediator-mediator inilah yang
bertanggung jawab terhadap peningkatan permeabilitas vaskular, hipotensi, dan
syok septik. Pada tahap lanjut, dilepasnya mediator seperti High Protein Group
Box-1 (HMGB-1) memungkinkan reaksi inflamasi tersebut terus berlanjut
(Ballina et al, 2009).

Secara umum, telah diketahui bahwa sistem imunitas dapat dipengaruhi


oleh status neurologis dan sebaliknya. Sitokin proinflamasi seperti IL-1, IL-6, dan
TNF yang lepas di sirkulasi perifer dapat menyebabkan peningkatan permeabilitas
sawar darah otak dan mencetuskan inflamasi yang menyebabkan perubahan
perilaku akibat sepsis. Mediator proinflamasi dari sirkulasi perifer dan sistem
saraf otonom memegang peranan penting terhadap patogenesis neuroimun pada
sepsis (Weismuller et al., 2012).
12

Gambar 2.2 Respon Imun terhadap Infeksi Organisme (Baratawidjaja, 2012)

Dari berbagai mediator inflamasi yang berperan dalam proses terjadinya


sepsis, IL-6 merupakan sitokin yang paling banyak diteliti dan paling sering
ditemukan meningkat pada sepsis. IL-6 terutama diproduksi oleh monosit,
makrofag, dan sel endotel, serta berhubungan dengan derajat beratnya sepsis
sehingga peningkatan yang persisten berhubungan dengan perkembangan multiple
organ failure (MOF) dan prognosis yang buruk. Sitokin IL-6 berfungsi mengatur
diferensiasi sel limfosit B dan T disamping bersifat sebagai antiinflamasi yang
dapat menghambat produksi sitokin proinflamasi lainnya. IL-6 merupakan
pirogen endogen yang menyebabkan terjadinya demam pada pasien sepsis
(Kumar, 2012).

Pada saat invasi mikroorganisme kedam tubuh, antibodi akan menetralkan


dan menyingkirkan mikroba dan toksinnya melalui berbagai mekanisme.
Diantaranya sel Th-2 memproduksi sitokin yang merangsang respon sel B,
13

kemudian aktivasi makrofag dan inflamasi (Baratawidjaja, 2012).

Selain mediator inflamasi yang disebutkan sebelumnya, IL-8 juga


berperan penting dalam proses terjadinya sepsis. IL-8 dapat mengaktivasi dan
berfungsi sebagai kemotaksis neutrofil ke tempat inflamasi.Konsentrasi yang
tinggi dari sitokin ini dapat merangsang infiltrasi neutrofil, merusak endotel,
menyebabkan kebocoran plasma, serta mencederai jaringan lokal. Fungsi lain dari
sitokin IL-8 adalah menghambat migrasi neutrofil di dalam sirkulasi, sehingga IL-
8 bersifat sebagai pro dan antiinflamasi (Kumar, 2012).

Patogenesis sepsis merupakan suatu proses yang sangat kompleks


Utamanya, sepsis adalah hasil dari interaksi antara mikroorganisme dan produk
mereka dan respon host akibat dikeluarkannya sitokin dan mediator inflamasi
lainnya. Konsekuensi dari dilepaskannya mediator-mediator tersebut dapat
menghasilkan berbagai respon tubuh yang dikenal dengan singkatan CHAOS,
yaitu:

 C = Cardiovascular Compromise (keadaan syok dimana SIRS mendominasi)


 H = Homeostasis (SIRS dan CARS dalam keadaan seimbang)
 A = Apoptosis (SIRS mendominasi)
 O = Organ dysfunction (kegagalan multiorgan dimana SIRS mendominasi)
 S = Suppression of the Immune System (anergi dimana CARS mendominasi)

Kunci dari berbagai respon tubuh yang mungkin terjadi akibat pelepasan
mediator inflamasi adalah keseimbangan antara SIRS dan CARS.Walaupun
terkadang salah satu dapat mendominasi sistem peredaran darah, namun
adakalanya SIRS dan CARS meningkat secara bersamaan sehingga
menghasilkan respon antagonis campuran (MARS atau Mixed Antagonist
Response Syndrome) (Gentile et al, 2012).
14

Gambar 2.3 Patogenesis terjadinya Multiple Organ Failure (MOF) dan Syok pada
Sepsis (Kumar, 2012)

2.1.6 Disfungsi Mikrosirkulasi pada Sepsis

Gangguan mikrosirkulasi merupakan pertanda terjadinya sepsis. Jenis sel


utama yang berperan dalam mikrosirkulasi diantaranya sel endotel, sel otot polos,
sel darah merah, leukosit, dan trombosit. Sel endotel merupakan lapisan luar dari
pembuluh darah. Sel endotel pada jaringan vaskular memegang peranan penting
untuk menjaga suplai darah yang adekuat ke organ vital (Kotsovolis, 2010).
15

Endotelium terdiri dari sekitar 1013 sel dan memiliki berat sekitar 1 kg
dengan luas area meliputi 4000-7000 m2. Selain menjaga suplai ke organ vital, sel
endotel juga penting dalam meregulasi tonus vaskular, menjaga sirkulasi nutrisi
antara intravaskular dan ekstravaskular, serta menjaga fungsi koagulasi. Proses
inflamasi menyebabkan kerusakan sel endotel, gangguan fungsi, serta terjadinya
apoptosis yang akhirnya menyebabkan edema subendotel pada daerah yang rusak
dan gangguan pada permeabilitas endotelium (Kotsovolis, 2010)

Gambar 2.4 ( A) Sel Endotel Normal; (B) Sel Endotel pada Keadaan Sepsis (Ait-
oufella, 2010)
16

Sepsis menyebabkan terjadinya inflamasi sistemik dengan mengaktifkan


leukosit yang memproduksi reactive oxygen species (ROS). ROS dapat membantu
melawan patogen, tetapi juga berdifusi dan mengaktifkan sel-sel endotel sehingga
menyebabkan migrasi P-selectin ke dalam membran endotel. Sitokin proinflamasi
dapat langsung mengaktifkan sel-sel endotel dan mencetuskan produksi ROS oleh
mitokondria, xanthine oxidase (XO), dan NADPH oxidase (NADPH-ox). ROS
juga dapat secara langsung merangsang migrasi cadangan P-selectin ke dalam
membran sel atau mengaktifkan nuclear factor-kappa B (NF-kB). Adhesi protein
expression (P-selectin dan E-selectin), intercellular adhesion molecule-1 (ICAM-
1), dan vascular adhesion molecule-1 (VCAM-1) menyebabkan adhesi leukosit
yang dapat memproduksi ROS secara local (Kumar, 2012).

Produksi ROS secara intraselular dapat menetralkan NO dan menurunkan


ketersediaannya yang mengaktifkan gangguan tonus pembuluh darah. ROS juga
dapat mempengaruhi keseimbangan antara prostanoid vasokonstriktor dan
vasodilator dengan memodifikasi aktivitas cyclooxygenase (COX). Kadar
glutathione (GSH) menurun selama sepsis, demikian juga dengan superoxide
dismutase (SOD) yang menyebabkan berkurangnya kemampuan detoksifikasi
(Kumar, 2012).

Sepsis dapat merusak proses homeostasis antara mekanisme prokoagulan


dan antikoagulan. Faktor-faktor proteksi jaringan ditingkatkan ekspresinya untuk
meningkatkan produksi protrombin yang akan diubah menjadi trombinsehingga
fibrin dapat diubah menjadi fibrinogen. Bersamaan dengan itu, peningkatan
plasminogen-activator inhibitor-1 (PAI-1) menyebabkan kegagalan produksi
plasmin sehingga mekanisme fibrinolitik tidak berjalan sebagaimana mestinya
(Kumar, 2012).

Fibrin yang seharusnya diubah menjadi fibrinogen akan berubah menjadi


fibrin degradation products (FDP). Sepsis juga mengurangi produksi dari
antikoagulan natural protein C. Protein C yang teraktivasi (aPC) akan terlepas dari
reseptor endotelnya untuk menghambat faktor Va dan VIIa serta menghambat
aktivitas PAI-1 sehingga kadar protein C yang berkurang akan meningkatkan
17

efek prokoagulan. Hasil akhir dari proses ini adalah pembentukan klot fibrin pada
sistem mikrosirkulasi yang menyebabkan disfungsi oksigenasi jaringan dan
kerusakan sel (Kumar, 2012).

Gambar 2.5 Proses Sepsis dalam Merusak Mekanisme Prokoagulan dan


Antikoagulan(Simmons,2015)
18

2.1.7 Disfungsi Mitokondria dan Proses Apoptosis pada Sepsis

Mitokondria terdapat pada semua sel berinti. Peran utama mitokondria


adalah untuk menghasilkan energi sel dalam bentuk adenosin trifosfat (ATP)
melalui siklus fosforilasi oksidatif. Pada keadaan sepsis, mediator-mediator
inflamasi yang dilepaskan akan menghambat siklus fosforilasi oksidatif.
Gangguan multiorgan yang terjadi pada sepsis belum dimengerti seluruhnya,
namun diduga terdapat hubungan dengan ambilan oksigen di dalam sel walaupun
perfusi jaringan cukup adekuat (Exline, 2011).

Gambar 2.6 Perbedaan Metabolisme Aerobik dan Anaerobik (Murray, 2011)


19

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, mitokondria berfungsi untuk


menjaga homeostasis sel, namun demikian, mitokondria juga memegang peranan
penting dalam pengaturan program kematian sel (apoptosis). Apoptosis
dicetuskan melalui jalur intrinsik dan ekstrinsik. Stres oksidatif dapat
menginduksi jalur intrinsik dari apoptosis. Zat-zat berbahaya menyebabkan
mitokondria melepaskan sitokrom C dan protein proapoptosis lainnya ke dalam
sitosol sehingga mengaktifkan kaskade apoptosis. Oleh karena metabolisme sel
bergantung pada produksi ATP, kerusakan pada mitokondria dapat mempengaruhi
fungsi respirasi dan kemampuan hidup sel (Sri, 2011).

2.2 Tiamin

Tiamin adalah molekul organik penting yang berfungsi sebagai kofaktor


untuk reaksi enzimatik. Mereka umumnya tidak dapat disintesis oleh sel mamalia
dan, oleh karena itu, harus disediakan dalam makanan. Tiamin juga dikenal
sebagai Vitamin B1. Tiamin adalah nama yang saat ini diterima untuk vitamin B1
di Amerika Serikat. Nama kimia untuk vitamin yang larut dalam air ini adalah 3-
[(4-amino-2-metil-5-pirimidinil)metil]-5-(2-hidroksietil)-4-methylthiazolium.
Tiamin terdiri dari cincin pirimidin dan cincin tiazol, yang digabungkan dengan
jembatan metilen (Fattal-Valevski, 2011).

Gambar 2.7 Derivat Tiamin (Fattal-Valevski, 2011)

Tiamin (vitamin B1) adalah vitamin B pertama yang diidentifikasi.


Vitamin B1 berfungsi sebagai kofaktor untuk beberapa enzim yang terlibat dalam
metabolisme energi. Tiamin juga memainkan peran sentral dalam metabolisme
20

otak. Uptake tiamin oleh usus kecil dimediasi oleh sistem transportasi dan diserap
oleh sel-sel di dalam hati, jantung, dan berbagai jaringan lain dari darah, dengan
pengecualian jaringan saraf, dimana tiamin diangkut dari darah ke dalam darah,
cairan serebrospinal melalui sawar darah-otak (Fattal-Valevski, 2011)

Tiamin dalam tubuh manusia berupa tiamin bebas dan juga berbagai
bentuk terfosforilasi yaitu Tiamin monofosfat, Tiamin difosfat, Tiamin trifosfat
dan tiamin pirofosfat. Tiamin pirofosfat merupakan bentuk paling penting dan
aktif dari vitamin ini. Tiamin pirofosfat adalah suatu senyawa intraseluler, yang
dapat digunakan sebagai penanda status gizi tiamin dan bekerja aktif bersamaan
dengan magnesium untuk mempercepat berbagai reaksi dekarboksilasi oksidatif di
mitokondria. Tiamin pirofosfat diperlukan sebagai kofaktor untuk kompleks
esensial rantai cabang ketoacid dehydrogenase yang berfungsi untuk metabolisme
asam amino rantai cabang dan untuk dua bagian penting yang diperlukan
mitokondria untuk sintesis adenosin trifosfat (ATP) yaitu piruvat dan 2-
oxoglutarate dehydrogenase (α-ketoglutarate). Tiamin pirofosfat adalah katalis
dalam reaksi piruvat untuk asetil-Koenzim A dan α-ketoglutarat menjadi suksinil-
Koenzim A dalam siklus Krebs (Manzanares, 2011).

Tiamin pirofosfat juga berfungsi sebagai koenzim untuk transketolase,


suatu enzim sitosolik yang terlibat dalam jalur pentosa fosfat, dan berfungsi dalam
mempertahankan status redoks sel melalui produksi NADPH (Nicotinamide
Adenine Dinucleotide Phosphate) dan Glutathione. Jadi, tiamin adalah sumber
penting pembangkit energi dari glukosa, melalui konversi piruvat dari glukosa
menjadi asetil-Koenzim A untuk akses ke siklus asam trikarboksilat, oleh karena
itu defisiensi Tiamin menyebabkan perubahan pada substansi metabolisme yang
berakhir pada asidosis laktat (Manzanares, 2011).

Peran Tiamin juga dalam metabolism asam amino rantai cabang dan
bagian penting untuk pembentukan NADPH dan siklus gluthatione yang penting
untuk antioksidan (Mallat,2016)
21

Gambar 2.8. Jalur Glikolisis dan Siklus Krebs. TPP (thiamine pyrophosphate); α-
KDH (α - ketoglutarate dehydrogenase); GSH (glutathione); GSSG ( glutathione
disulfide); LDH (lactic dehydrogenase); PDH (pyruvate-dehydrogenase)
(Manzaranes,2011)

Selain fungsi koenzimatiknya dalam metabolisme, Tiamin juga memiliki


peran struktural. Tiamin terlibat dalam struktur dan fungsi membran, termasuk
membran axoplasmic, mitokondrial, dan synaptosomal, bekerja melawan
sitotoksisitas yang diinduksi oleh agen, dan memperbaiki lokasi membran. Tiamin
melakukan intervensi dalam transmisi sinaptik dan berperan dalam diferensiasi
sel, pembentukan sinaps, pertumbuhan aksonal, dan myogenogenesis (Fattal-
Valevski, 2011).
22

2.2.1 Farmakokinetik dan Farmakodinamik Tiamin

Farmakologi vitamin B1, atau Tiamin, adalah sebagai kofaktor atau


koenzim dalam siklus asam sitrat. Vitamin B1 bereaksi dengan ATP untuk
membentuk suatu koenzim yang aktif, yaitu sebagai Tiamin pirofosfat. Tiamin
pirofosfat yang diperlukan untuk kerja dari berbagai enzim, seperti piruvat
dehidrogenase dan alfa ketoglutarat, pada proses metabolisme karbohidrat, serta
enzim transketolase yang berperan penting pada jalur pentosa fosfat. Vitamin B1
juga berperan pada proses metabolisme glukosa intraseluler, yaitu menginhibisi
kerja glukosa dan insulin pada proliferasi sel otot polos arterial. Vitamin B1 juga
berperan dalam proses dekarboksilasi piruvat dan oksidasi asam alfa ketoglutamat
untuk mengkonversi karbohidrat dan lemak menjadi energy (Fattal-Valevski,
2011).

Farmakokinetik vitamin B1 secara oral diabsorpsi dengan baik, dan


didistribusikan secara luas ke hampir seluruh jaringan. Absorpsi vitamin B1
berada dalam bentuk bebas dan konsentrasi yang rendah di lumen usus. Absorpsi
utamanya terjadi di bagian proksimal usus halus. Vitamin B1 secara cepat
diabsorpsi dan ditransformasikan melalui proses fosforilasi menjadi koenzim yang
aktif yaitu Tiamin pirofosfat. Konsentrasi puncak vitamin B1 dalam plasma darah
tercapai setelah 53 menit. Absorpsi vitamin B1 yang terjadi di jejunum, pada
konsentrasi rendah, melibatkan proses fosforilasi, melalui sistem transport aktif.
Pada konsentrasi tinggi, absorpsi vitamin B1 terjadi melalui difusi pasif.
Bioavailabilitas relatif vitamin B1 adalah sekitar 5,3% (Fattal-Valevski, 2011).

Tiamin ditemukan terutama dalam makanan mentah, tetapi kandungannya


relatif rendah. Tiamin diserap di jejunum oleh dua proses. Pada usus kecil kadar
Tiamin rendah dan terjadi penyerapan melalui transport aktif. Saat konsentrasi
Tiamin tinggi, penyerapan terjadi oleh difusi pasif. Fosforilasi terjadi di mukosa
jejunal untuk menghasilkan Tiamin firofospat. Penyerapan maksimal Tiamin oleh
usus kecil adalah 5 mg. Tiamin dibawa oleh darah portal ke hati dan ditransfer ke
sel darah merah dengan cara difusi. Tubuh tidak dapat memproduksi Tiamin dan
hanya dapat menyimpan hingga 30 mg dengan 80% sebagai Tiamin firofosfat dan
23

sisanya sebagai Tiamin monofosfat. Sekitar 50% dari cadangan tubuh ditemukan
di otot rangka dengan sisanya di jantung, hati, ginjal, dan jaringan sistem saraf,
termasuk otak. Tiamin memiliki regulasi cepat, oleh karena itu sulit untuk
mempertahankan cadangannya tanpa suplementasi terus-menerus dari makanan
atau sumber daya lainnya (Mallat, 2016).

Distribusi vitamin B1 tersebar secara luas ke hampir seluruh jaringan


tubuh, termasuk ke ASI. Vitamin B1 tidak disimpan dalam tubuh. Transportasi
vitamin B1 terjadi melalui darah, baik pada eritrosit maupun plasma. Sekitar 90-
94% vitamin B1 terikat dengan protein (Fattal-Valevski, 2011).

Metabolisme vitamin B1 dimetabolisme di hepar, dan menghasilkan


metabolit-metabolit aktif, yaitu Tiamin pirofosfat, Tiamin monofosfat, dan Tiamin
trifosfat. Tiamin difosfat merupakan metabolit aktif utama, yang bertindak
sebagai koenzim dalam proses metabolisme karbohidrat, melalui reaksi
transketolasi (Fattal-Valevski, 2011).

Eliminasi atau proses defosforilasi vitamin B1 terjadi di ginjal. Apabila


terdapat kelebihan vitamin B1 bentuk bebas, maka akan segera dikeluarkan
melalui urin. Pada pemberian vitamin B1 dosis normal, sebagian besar
ekskresinya ke urin adalah dalam bentuk yang tidak berubah (Fattal-Valevski,
2011).

Dalam kondisi kekurangan tiamin, vitamin ini berkurang dengan cepat di


semua jaringan, kecuali otak. Pengurangan Tiamin pirofospat dalam sel darah
merah serupa dengan penurunan koenzim ini di jaringan lain. Perkembangan
defisiensi Tiamin, ekskresi Tiamin urin turun mendekati nol untuk
mempertahankan stok endogen dan waktu paruh Tiamin adalah 9-18 hari (Mallat,
2016)
24

2.2.2 Pemberian Tiamin pada Pasien Sepsis

Tiamin (vitamin B1) adalah vitamin yang larut dalam air yang merupakan
komponen penting dari sejumlah proses metabolisme seluler. Dalam bentuk
terfosforilasi, Tiamin pirofosfat, berfungsi sebagai kofaktor untuk piruvat
dehidrogenase, enzim yang diperlukan untuk mengubah piruvat menjadi asetil-
koenzim A untuk masuk ke dalam siklus Krebs. Ketika kadar Tiamin tidak
mencukupi, piruvat tidak dapat dikonversi menjadi asetil koenzim A, yang
mengakibatkan gangguan respirasi aerobik dan mengaktifkan jalur anaerob,
sehingga menghasilkan peningkatan kadar laktat serum (Manzaranes, 2011).

Tiamin juga berperan dalam metabolisme asam amino rantai cabang dan
merupakan komponen penting dari jalur pentosa fosfat, yang penting bagi regulasi
NADPH karena berperan dalam siklus Glutathione, dan berperan penting untuk
jalur antioksidan. Sindrom defisiensi Tiamin, beri-beri, memiliki beberapa
kesamaan dengan sepsis, termasuk vasodilatasi perifer, disfungsi jantung, dan
peningkatan kadar laktat (Malat, 2016).

Defisiensi Tiamin sering terjadi pada populasi pasien yang sakit kritis dan
dihubungkan dengan peningkatan mortalitas pada beberapa kasus. Selanjutnya,
kadar Tiamin berkurang selama perjalanan penyakit kritis dan pemberian Tiamin
selama penyakit kritis dapat memperbaiki disfungsi organ (Moskowitz, 2017).

Predisposisi terjadi defisiensi Tiamin dapat disebabkan dari beberapa hal,


yang berhubungan dengan gangguan nutrisi dan penyakit komorbid. Karena
Beberapa yang dapat mengurangi kadar Tiamin lebih lanjut seperti gangguan
metabolisme karbohidrat, peningkatan kebutuhan metabolik nutrisi parenteral atau
enteral, diuretik, dan hemodiafiltrasi. Beberapa penelitian telah menemukan
adanya defisiensi tiamin pada pasien yang sakit kritis. Defisiensi Tiamin dikaitkan
dengan hasil progonosa yang jelek (Costa, 2014).
25

Gambar 2.9 Beberapa mekanime yang menunjukkan fungsi Tiamin, Asam


Askorbat, dan Kortikosteroid pada sepsis. PDH: pyruvate dehydrogenase; ATP:
adenosine triphosphate; NADPH: nicotinamide adenine dinucleotide phosphate;
PP2A ;protein phosphatase-2; ROS: reactive oxygen species; BH4:
tetrahydrobiopterin; ICAM: Intracellular Adhesion Molecule (Marik, 2016)

Defisiensi Tiamin juga lazim pada pasien syok septik, dijumpai pada 20%
hingga 70% tergantung pada nilai cut off yang digunakan untuk menentukan
adanya defisiensi Tiamin. Kurangnya Tiamin mengurangi fluks piruvat ke siklus
Krebs, sehingga meningkatkan produksi laktat dengan mengubah metabolisme
aerob (Costa, 2014).
26

Dalam studi observasional prospektif Donnino et al,meneliti hubungan


antara kadar Tiamin dan asidosis laktat pada 30 pasien syok septik, dan tidak
menemukan korelasi antara kedua variabel ini. Namun, setelah mengecualikan
pasien dengan tes fungsi hati yang abnormal, penulis mengamati korelasi negatif
yang signifikan antara konsentrasi tiamin dan asidosis laktat (r = -0,53, P = 0,01),
menyiratkan hubungan potensial antara kadar tiamin dan asidosis laktat pada
pasien syok septik dengan fungsi hati normal. Dengan demikian, kemungkinan
dengan mengurangi aktivitas kompleks piruvat dehidrogenase, defisiensi Tiamin
dapat berkontribusi pada peningkatan produksi asam laktat pada pasien septik
(Donnino, 2010).

Dalam studi kohort di Australia terhadap 129 pasien, Corcoran et al tidak


dijumpai hubungan antara status Tiamin plasma, peradangan sistemik, dan
kematian pada orang yang sakit kritis. Selain itu, penulis menunjukkan bahwa
tingkat asupan Tiamin pada pasien yang belum menerima suplementasi Tiamin
sebelum masuk ke ICU tidak berbeda antara pasien yang meninggal dan mereka
yang selamat [masing-masing: 264 berbanding 268 nanomol/l, (nilai normal: 190-
400 nanomol/l), P = 0,891]. Selain itu, korelasi lemah antara kadar Tiamin dan
indeks keparahan penyakit. Faktanya, korelasi dengan the Spearman’s rank test
pada hari 1 antara konsentrasi Tiamin dan Acute Physiology and Chronic Health
Evaluation (APACHE) II, skor Sequential Organ Failure Assessment (SOFA),
skor SOFA maksimum, delta SOFA (DSOFA), dan C-Reactive Protein (CRP)
tidak signifikan secara statistik (Corcoran, 2009).

European Society for Clinical Nutrition and Metabolism (ESPEN) untuk


panduan nutrisi parenteral dalam perawatan intensif, yang diterbitkan pada tahun
2009, merekomendasikan suplementasi Tiamin (100-300 mg/hari) selama 3 hari
pertama di ICU untuk semua pasien dengan dugaan defisiensi Tiamin, terutama
alkoholik, untuk mencegah Wernicke’s Encephalopathy (Singer, 2009).

Pemberian parenteral Tiamin 250 mg satu kali sehari selama 3-5 hari
berturut-turut adalah pengobatan yang disarankan ketika diduga defisiensi Tiamin.
Infus lambat Tiamin yang diencerkan dalam saline isotonik atau 5% dekstrosa
27

terbukti aman. Namun, tidak ada konsensus tentang dosis harian Tiamin yang
optimal, formulasinya, dan durasi pengobatan (Galvin,2010).

Waktu paruh darah Tiamin bebas adalah 96 jam. Oleh karena itu, dua atau
tiga dosis harian dapat mencapai konsentrasi yang lebih baik di otak daripada
dosis harian tunggal. Pada pasien non alkohol, dosis harian intravena 100 atau 200
mg bisa cukup. Meski demikian, pasien pecandu alkohol dengan Ensefalopati
Wernicke mungkin perlu dosis setinggi 500 mg tiga kali sehari (Galvin, 2010).

Tiamin parenteral umumnya aman, meskipun reaksi anafilaksis sporadis


telah dilaporkan. Beberapa penulis telah menyarankan bahwa Tiamin intravena
harus disiapkan dalam fasilitas resusitasi. Meskipun demikian, karena sifat
ensefalopati Wernicke yang mengancam jiwa, pedoman EFNS (European
Federation of Neurological Society) merekomendasikan pengobatan segera
dimulai, bahkan tanpa adanya fasilitas untuk resusitasi (Galvin, 2010).

Tabel 2.2 Indikasi dan Dosis Tiamin


28

2. 3 Laktat

Glikolisis dalam sitoplasma menghasilkan piruvat metabolit intermediet.


Dalam kondisi aerobik, piruvat dikonversi menjadi asetil CoA untuk memasuki
siklus Kreb. Dibawah kondisi anaerob, piruvat dikonversi oleh laktat
dehidrogenase (LDH) menjadi asam laktat. Dalam larutan air, asam laktat
terdisosiasi hampir sepenuhnya menjadi laktat dan H+ (pKa 7,4 = 3,9). Akibatnya,
istilah asam laktat dan laktat digunakan secara bergantian. Laktat merupakan
buffer dalam plasma oleh NaHCO3. Sumber jaringan produksi laktat termasuk
eritrosit, hepatosit perivenous, miosit skeletal dan kulit. Produksi laktat basal
adalah 0,8 mmol/kg/jam (1300 mmol/hari) (Phypers, 2006)

Gambar 2.10 Glikolisis,Siklus Kreb, Fosforilasi Oksidatif


29

2.3.1 Metabolisme Laktat

Dalam kondisi normal, laktat dihasilkan sekitar 1,5 mol per hari; dengan
demikian, laktat bukan hanya produk limbah yang menunjukkan metabolisme
anaerob. Sebaliknya, teori " lactate shuttle " menyoroti peran laktat dalam
distribusi oksidatif dan glukoneogenik serta pensinyalan sel (Brooks, 2000).

Laktat yang diproduksi di satu tempat produksi dapat digunakan sebagai


bahan bakar yang diproses untuk respirasi mitokondria oleh banyak jaringan yang
lain atau dapat digunakan oleh hati dalam proses glukoneogenesis. Produksi
normal laktat muncul terutama dari otot rangka, kulit, otak, usus, dan eritrosit
(Levy, 2006).

Paru-paru dapat membuat laktat selama cedera paru akut tanpa hipoksia
jaringan, dan leukosit juga menghasilkan laktat selama fagositosis atau ketika
diaktifkan dalam sepsis. Dalam kondisi patologis di mana pengiriman oksigen
terbatas, produksi laktat berkembang di jaringan lain (Iscra, 2002)

Laktat muncul dari metabolisme glukosa. Glikolisis memetabolisme


glukosa menjadi piruvat, yang dikatalisis oleh fosfofruktokinase dalam jalur
Embden-Meyerhof. Metabolisme piruvat selanjutnya terdiri dari dua rute.
Pertama, dalam kondisi aerob, piruvat memasuki mitokondria dan dikonversi
menjadi asetil koenzim A oleh piruvat dehidrogenase, dan memasuki siklus asam
tricarboxylic (Krebs). Tiamin difosfat adalah koenzim yang dibutuhkan untuk
aktivitas katalitik beberapa enzim yang terlibat dalam transfer dua karbon,
termasuk piruvat dehidrogenase. Begitu berada dalam siklus Krebs, metabolisme
bertahap asetil koenzim A terjadi bersamaan dengan perpindahan bertahap
elektron dalam keadaan energi tinggi ke keadaan energi lebih rendah dengan
produksi molekul adenosin trifosfat (ATP). Oksigen memberikan elektron
berenergi sangat rendah di ujung rantai transpor elektron, memungkinkan
pembentukan 38 molekul ATP untuk setiap molekul glukosa yang dimetabolisme.
(Suetrong, 2016).
30

Rute kedua untuk piruvat adalah konversi ke atau dari laktat dalam sitosol.
Reaksi ini dikatalisis dua arah oleh laktat dehidrogenase, menghasilkan rasio
laktat: piruvat normal sekitar 10:1. Ketika oksigen yang cukup tidak tersedia,
siklus Krebs tidak dapat memetabolisme piruvat sehingga laktat dihasilkan. Hal
ini merupakan hipoksia jaringan. Namun, produksi laktat terlepas dari hipoksia
jaringan juga dapat terjadi. Masuknya piruvat ke dalam siklus Krebs, dikatalisis
oleh piruvat dehidrogenase, dapat terbata bila terjadi defisiensi Tiamin, yang
menyebabkan pengalihan piruvat ke arah produksi laktat (Gambar 2.11 B).
Konversi piruvat menjadi laktat membutuhkan Nicotinamide Adenine
Dinucleotide Hydride (NADH) dan H+. Pada kondisi lingkungan seluler yang
berkurang (peningkatan NADH/bentuk teroksidasi dari nikotinamid adenin
dinukleotida [NAD +]), seperti konsumsi etanol dan ketoasidosis, mendorong
produksi laktat independen dari oksigenasi jaringan (Suetrong, 2016).

Gambar 2.11 Jalur glikolisis merubah piruvat menjadi laktat (Suetrong, 2016).
31

Hal penting ini terjadi pada pasien sepsis, dimana peningkatan fluks
glikolitik menghasilkan peningkatan produksi piruvat dan juga produksi laktat
produksi piruvat dan juga produksi laktat, dengan rasio laktat : piruvat normal
(Gambar 2.11D). Peningkatan fluks glikolitik yang melebihi kapasitas oksidatif
mitokondria dapat terjadi pada olahraga berat (misalnya, kerja pernapasan),
selama pemberian katekolamin, dan selama sepsis. Rasio adenosine difosfat dan
fosfat anorganik: ATP dan NADH: NAD + yang meningkat juga dapat
meningkatkan fluks glikolitik. (Suetrong, 2016).

Hati memetabolisme 70% laktat. Penyerapan melibatkan transporter


monokarboksilat dan proses difusi yang kurang efisien (konsentrasi penting > 2
mmol/liter). Ion hidrogen yang dilepaskan dari disosiasi asam laktat dapat
digunakan dalam produksi ATP oleh fosforilasi oksidatif. Kerusakan jalur
oksidatif selama produksi laktat menghasilkan keuntungan bersih H+ dan asidosis
terjadi. Fosforilasi oksidatif selama olahraga berat mencegah asidosis meskipun
produksi laktat besar-besaran. (Phypers, 2006)

Glikolisis membutuhkan NAD +


yang diproduksi, sebagian, oleh konversi
piruvat menjadi laktat. Pasokan NADH mengontrol laju konversi piruvat menjadi
laktat. Jaringan seperti jantung, memerlukan ATP dalam jumlah besar,
memerlukan konversi dari piruvat menjadi asetil KoA. Untuk menjaga agar level
NADH tetap rendah, proses penghantaran balik digunakan untuk membantu
mengangkut elektron melintasi mitokondria membran dan oksidasi NADH
kembali ke NAD+ proses penghantaran balik malate-aspartat adalah mekanisme
utama sedangkan gliserol-fosfat merupakan peran sekunder (Phypers, 2006)

Mereka dikenal secara kolektif sebagai “shuttle” ox-phos. Jika laju


glikolisis naik ke titik di mana “shuttle” ox-phos berlebihan, konsentrasi NADH
naik dan produksi laktat meregenerasi NAD+, sehingga meningkatkan konsentrasi
laktat (Phypers, 2006).
32

Gambar 2.12 The ox-phos shuttle.

Laktat adalah metabolit yang dapat ditranspor kemudian dimetabolisme


untuk produksi energi oleh mitokondria (piruvat dan kemudian siklus Krebs) atau
sebagai substrat untuk glukoneogenesis (siklus Cori). Laktat dimetabolisme
terutama oleh hati dan juga oleh ginjal. Miosit jantung menggunakan laktat
sebagai bahan bakar dalam beberapa keadaan, seperti saat berolahraga, stimulasi
b-adrenergik, dan syok. Otak juga mengonsumsi laktat ketika kebutuhan
metabolik meningkat. Oleh karena itu, penurunan laju pembersihan laktat adalah
penyebab tambahan dari peningkatan konsentrasi laktat yang tidak berhubungan
langsung dengan hipoksia jaringan (Gambar 2.11E) (Suetrong, 2016).

Hiperlaktasemia ( > 5 mmol/1) secara konvensional dibagi menjadi Tipe


A, di mana hipoksia jaringan menghasilkan produksi lebih cepat daripada
pengeluaran, dan Tipe B, di mana hipoksia jaringan tidak berperan. Tipe B telah
dibagi lagi tergantung pada apakah itu disebabkan oleh penyakit yang mendasari
(B1), obat-obatan dan racun (B2) atau gangguan metabolisme bawaan (B3)
(Phypers,2006).
33

2.3.2 Laktat dan Sepsis

Pada sindrom respons inflamasi sistemik (SIRS) atau sepsis dini,


hiperlaktemia dapat mencerminkan hipoksia jaringan. Peningkatan awal
pengiriman (delivery) oksigen meningkatkan outcome. Penilaian konsentrasi
laktat pada pasie sepsis cukup sulit. Pasien septik yang stabil memiliki
peningkatan pengiriman (delivery) oksigen dan kebutuhan kadar oksigen jaringan
biasanya lebih banyak yang mencetuskan metabolisme anaerob. Gangguan laktat
biasanya lebih signifikan daripada peningkatan produksi. Produksi laktat aerobik
pada pasien tersebut mungkin terlibat dalam modulasi metabolisme karbohidrat
dengan stress metabolik (Phypers, 2006).

Sampai saat ini, syok septik dianggap terdiri dari tiga komponen, termasuk
hipotensi arteri sistemik, hipoperfusi jaringan yang terkait dengan disfungsi organ,
dan hiperlaktatemi. Menurut definisi tersebut, syok septik dapat didiagnosis
dalam dua kondisi. Kondisi pertama adalah hipotensi persisten setelah resusitasi
cairan dan membutuhkan vasopresor untuk mempertahankan MAP> 65 mmHg.
Kedua kondisinya adalah kadar serum laktat> 2 mmol / L. Karena detak jantung,
laju respirasi, dan data laboratorium lainnya tidak dimasukkan, diagnosis dan
penegakan diagnosa syok septik telah disederhanakan. Definisi ini menyiratkan
bahwa peningkatan kadar laktat serum dapat mewakili hipoperfusi jaringan yang
terkait dengan tanda-tanda disfungsi organ pada pasien yang sakit kritis. Selain
itu, perlu dicatat bahwa tingkat pemutusan laktat serum menurun dari 4 menjadi 2
mmol / L(Suetrong, 2016).

Kadar laktat serum> 2 mmol / L menunjukkan kondisi yang mirip dengan


sepsis dengan tekanan darah rendah dalam edisi Journal of American Medical
Association (JAMA). Basis data Surviving Sepsis Campaign (n = 18.840 pasien)
menunjukkan bahwa angka mortalitas rumah sakit pada kelompok 3, 4 dan 5
(kadar laktat serum> 2 mmol / L dan tanpa memerlukan vasopresor) serupa
dengan pada pasien hipotensi yang membutuhkan vasopresor dengan kadar serum
laktat <2 mmol / L . Dengan demikian, kadar laktat serum> 2 mmol / L mungkin
merupakan tanda vital baru dari syok septic (Mi Lee, 2016)
34

Tabel 2.3 Peningkatan produksi dan penurunan Laktat clearance penyebab


hiperlaktatemia.

Tingkat serum laktat sebagai alat klinis telah dijelaskan sekitar setengah
abad yang lalu oleh Broder dan Weil . Pada saat itu, kadar laktat serum > 4
mmol / L dikaitkan dengan status syok. Karena tingkat serum laktat menurun
menjadi 2 mmol / L, tingkat laktat serum adalah penanda yang lebih sensitif untuk
syok septik. (Mi Lee, 2016).

Hal penting yaitu kadar serum laktat dapat sangat meningkat dalam
kondisi tekanan darah rendah yang membutuhkan vasopresor karena vasopresor
mengerutkan pembuluh yang mengakibatkan hipoksia jaringan. Berdasarkan
patofisiologi ini, definisi baru syok septik dapat dijelaskan meskipun kadar laktat
serum 2 mmol/l (18,2 mg/dL) adalah nilai normal. Karena itu, jika seorang pasien
memiliki tingkat laktat serum > 2 mmol / L, tekanan darah atau serum laktat harus
dimonitor dengan cermat (Lee, 2015)
35

Gambar 2.13 Prinsip pengeluaran laktat dari plasma (Phypers, 2006).

Pada hipoksia jaringan, laktat diproduksi berlebihan oleh peningkatan


glikolisis anaerob. Pembersihan laktat biasanya terjadi di hati (60%), diikuti oleh
ginjal (30%) dan pada tingkat lebih rendah oleh organ lain (jantung dan otot
rangka). Pembersihan laktat tidak dapat mengatasi produksi laktat dan dapat
diperburuk selama status sakit kritis. Status syok septik dengan disfungsi hati dan
cedera ginjal akut meningkatkan kadar laktat karena penurunan pembersihan
laktat. Pembersihan laktat pada titik waktu diskrit merupakan faktor prognostik
penting dibandingkan dengan kadar serum laktat awal pada sepsis berat. Beberapa
pasien yang pulih dari syok septik menunjukkan kadar laktat serum yang normal,
meskipun vasopresor masih diperlukan untuk mempertahankan MAP 65 mmHg
atau lebih besar. Selain itu, penurunan atau tingkat laktat yang normal adalah
tanda-tanda penting pemulihan dari syok septik. (Lee, 2015).
36

Temuan klinis ini mendukung bahwa kadar laktat serum adalah tanda vital
yang lebih sensitif yang mencerminkan metabolisme anaerob dan asidosis
daripada tekanan darah. Diperlukan studi klinis lebih lanjut untuk mendukung hal
ini. Pada keadaan syok, seperti syok kardiogenik atau septik, merupakan sumber
penting produksi laktat. Kondisi asam yang disebabkan oleh asidosis laktat
menekan fungsi jantung dan menurunkan respons vasopresor. Oleh karena itu,
deteksi dini syok septik sangat penting karena manajemen infeksi dini dapat
membalikkan asidosis laktat dan status syok (Suetrong, 2006).

Syok septik terjadi ketika sirkulasi tidak cukup untuk mempertahankan


metabolisme yang memadai karena sepsis. Peningkatan produksi laktat yang
disebabkan oleh metabolisme anaerob dapat mencerminkan status syok. Sepsis
menyebabkan gangguan kemampuan jaringan untuk mengekstraksi oksigen.
Biasanya, sebagian besar jaringan dapat mengekstraksi sebanyak 70% oksigen
yang dikirim sebelum metabolisme anaerob dan pembentukan laktat terjadi.
Selama sepsis, rasio ekstraksi oksigen kritis ini berkurang hingga 50% atau
kurang sehingga pembentukan asam laktat meningkat pada pengiriman oksigen
yang biasanya cukup untuk memenuhi kebutuhan oksigen aerobik (Suetrong,
2006).

Proses inflamasi endotel mengakibatkan disfungsi mikrosirkulasi sehingga


pengiriman oksigen regional dan mikroregional tidak sesuai dengan permintaan.
Daerah hipoksia jaringan heterogen yang dihasilkan menghasilkan laktat. Selain
itu, disfungsi mitokondria terjadi selama sepsis sehingga, bahkan dalam jaringan
yang memadai oksigenasi, metabolisme anaerobik terjadi dan piruvat bisa
pencetus produksi laktat. Jadi, bahkan ketika pengiriman oksigen seluruh tubuh
dan organ memadai, metabolisme anaerob dapat terjadi (Suetrong, 2006).
37

2.4 Kerangka Konsep

Sepsis Pelepasan Mediator Inflamasi

Kerusakan Disfungsi Gangguan aliran


Sel Endotel Mitokondria mikrovaskularisasi

Glukosa Siklus
Pentos
a
Glukosa – 6 – Fosfat +
Fosfat NADP

Gliseraldehid – 3 – Fosfat Transketolase

Piruvat NADPH
NAD + H+ NAD
Tiamin
Pirofosfat PDH Laktat
LDH Siklus Glutation
Asetil Ko-A

Oksalasetat ROS
Malat

Sitrat
Fumarat
Apoptosis Disfungsi
Siklus Kreb Sel Endotel
Isositrat
Suksina
Disfungsi
Mikrovaskular
Asam α-Ketoglutarat
Suksinil Ko-A

α-Ketoglutarate
Dehydrogenase

Gambar 2.14 Kerangka Teori


38

2.5 Kerangka Konsep

Tiamin

Pasien Laktat
Sepsis

Plasebo

Gamabr 2.15 Kerangka Konsep

Keterangan :

Variabel Bebas

Variabel Tergantung

Anda mungkin juga menyukai