Anda di halaman 1dari 2

SERAGAM SEKOLAH YANG RUSAK

Siang yang terik, udara begitu panas, jalanan begitu berdebu dan terlihat
gersang. Ratih berjalan sambil terus melihat jempol kakinya yang menyembul
keluar dari sepatu kain miliknya Sesekali ia juga tampak meraba baju bagian
lengan yang ia kenakan, tanpa jelas lengan baju itu telah dijahit sampai pada
bagian ketiak. Ketika berpapasan dengan orang Ratih tampak memperhatikan
langkahnya dengan baik, ia menyembunyikan jari kaki yang keluar itu seraya
mempercepat langkahnya seolah ingin sekali cepat sampai rumah. Setelah
setengah jam lebih ia berjalan akhirnya ia sampai di sebuah rumah kecil semi
permanen. Kemudian ia segera masuk ke dalam, “bu aku pulang”, ucapnya
sambil terus menuju ke kamar. Ibunya yang sedang sibuk di belakang tidak
mendengar suara Ratih. Setelah ganti pakaian, Ratih pun segera menemui
ibunya. “Bu… aku beli seragam baru ya, yang ini sudah jelek!”, ucap Ratih
“Eh, kamu ini pulang-pulang kok sudah minta-minta, makan dulu”, ucap
Martinah. Ratih pun kembali ke dapur dan mencari makan. Melihat anaknya
ke dalam Martinah sekilas melemparkan pandangannya pada putrinya yang
sudah mulai remaja itu, “Kasihan Ratih, dia pasti malu memakai seragam
sekolah yang sudah banyak jahitan seperti itu”, gumamnya dalam hati.

Martinah pun segera menyelesaikan pekerjaannya dan menemui anaknya


di meja makan. Tampak Ratih sangat lahap menyantap makan siang itu meski
hanya sayur daun singkong, sambal dan ikan asin.

“Heh… anak gadis itu makannya pelan-pelan, tidak baik…”


“Lapar abis bu….”
“Gimana tadi sekolahnya?”
“Ya begitu bu, oh iya tadi aku terpilih mewakili lomba sain bu…”

“Oh, bagus itu, itu baru anak ibu…”


“Oh iya bu, ayah belum pulang ya?”
“Belum nak, kata bapak kamu ini lagi sepi jadi mungkin bapak kamu
pulangnya malam…”
“Kasihan bapak, yang lain sudah tidur bapak masih narik angkot”

Mendengar perkataan anaknya ia pun langsung membelai kepala Ratih.


Martinah kemudian menanyakan kepada anaknya tentang seragam sekolah
yang tadi ia minta. “Oh iya nak, kamu tadi bilang apa, beli seragam baru,
memang seragam kamu sobek lagi ya?”
“Iya, kalau sobek sih enggak bu, tapi kadang Ratih malu, apalagi besok mau
lomba…”
“Em… ya sudah, besok ibu jualkan ayam biar kamu bisa beli baju sekolah…”
“Enggak usah deh bu, beli sepatu aja, sepatuku sobek soalnya…”
“La…kok bisa, jangan lari-lari geh kalau jalan…”
“Ya…ibu, kan memang sepatunya sudah tua, kayak ibu….”

Mereka pun kemudian tertawa. Setelah Ratih selesai makan, ia pun


kemudian membereskan meja makan, tak lupa ia membantu sang ibu mencuci
piring kotor dan mempersiapkan dagangan untuk besok. Melihat anaknya
sedang mencuci piring, Martinah segara ke kamar Ratih. Ia kemudian
mencari sepatu putrinya yang katanya sobek. Diambilnya sepatu kain itu,
kemudian ia ke kamarnya dan keluar dengan membawa benang dan jarum. Ia
pun langsung menjahit sepatu putrinya yang sudah menganga cukup lebar.
Malam harinya, Martinah meminta sang suami untuk memegang beberapa
ayam yang ia pelihara untuk dijual guna membeli sepatu Ratih yang sudah
sobek dan seragam sekolah. Hanya itu yang bisa ia lakukan karena dagangan
dia memang juga sedang sepi apalagi sang suami yang bekerja sebagai sopir
angkot sering kali pulang tidak membawa uang sama sekali. Ratih memang
terlahir di keluarga sederhana yang kurang mampu. Untuk sekolah saja ia
harus sering menunggak iuran. Jangankan untuk kebutuhan lain, untuk
makan saja mereka harus irit dan mengandalkan kebun kecil di belakang
rumah. Mereka sangat jarang membeli sayuran, mereka hanya mengandalkan
daun singkong, talas, dan beberapa sayuran lain yang ada di
pekarangan. Meski begitu Ratih selalu bersyukur karena masih bisa makan
tiga kali sehari. Ia juga selalu giat belajar agar kelak ia bisa menjadi orang
yang sukses.

Anda mungkin juga menyukai