Anda di halaman 1dari 29

TUGAS MATA KULIAH KEPERAWATAN BENCANA

Penanganan Vulnerable Group

Fasilitator :
Arina Qona’ah, S.Kep., Ns., M.Kep

KELAS AJ 2 B21
ANGGOTA KELOMPOK 1:
1. Indah Mahmudah Khusniyah 131811123006
2. Citra Danurwenda Rahmah 131811123031
3. Rosi Arista 131811123040
4. Suhartatik 131811123046
5. Paulina Lince Suwo 131811123061
6. Ira Isyuniar Sasi 131811123063
7. Restu Yogi Fahlevi 131811123072

PROGAM STUDI KEPERAWATAN


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah berkenan
memberi petunjuk dan kekuatan sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini
tepat pada waktunya sebagai salah satu tugas mata kuliah keperawatan bencana
dengan judul “Penanganan vulnerable group”.
Dalam penyelesaian makalah ini, tidak lepas dari bantuan, bimbingan,
petunjuk dan dorongan dari berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini
kami ingin menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Arina Qona’ah, S.Kep., Ns., M.Kep selaku dosen fasilitator mata kuliah
keperawatan bencana
2. Rekan-rekan mahasiswa program studi keperawatan yang telah banyak
membantu dan memberikan arahan selama penyelesaian makalah ini.
Kami menyadari bahwa dalam makalah ini masih diperlukan
penyempurnaan dari berbagai sudut, baik dari segi maupun pemakaian kalimat
dan kata-kata yang tepat. Oleh karena itu, kami mengharapkan saran dan kritik
yang membangun untuk kesempurnaan makalah ini dan masa yang akan datang.
Akhir kata kami mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah
membantu dalam melakukan penyusunan makalah ini. Semoga makalah ini dapat
memberikan manfaat bagi pembaca dan menambah wawasan serta pengetahuan.

Surabaya, 06 September 2019

Penulis

i
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ...................................................................................................... i


Daftar Isi ............................................................................................................... ii

BAB 1 Pendahuluan .......................................................................................... 1


1.1 Latar Belakang ................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ............................................................................ 3
1.3 Tujuan Penulisan ............................................................................... 3
BAB 2 Tinjauan Pustaka ................................................................................... 4
2.1 Definisi ............................................................................................. 4
2.2 Klasifikasi........................................................................................... 4
2.3 Masalah yang dialami Kelompok Rentan .......................................... 5
2.3.1 Anak .......................................................................................... 5
2.3.2 Perempuan ................................................................................. 5
2.3.3 Lansia ........................................................................................ 8
2.3.4 Penyandang disabilitas dan ODGJ ............................................ 8
2.3.5 Tahanan ..................................................................................... 9
2.4 Mekanisme Penanganan ..................................................................... 8
2.3.1 Anak ........................................................................................ 10
2.3.2 Perempuan ............................................................................... 11
2.3.3 Lansia ...................................................................................... 12
2.3.4 Penyandang disabilitas dan ODGJ .......................................... 16
2.5 Kesiapsiagaan Masyarakat Melindungi Kelompok Rentan ............. 20
2.4.1 Sumber Daya yang Tersedia di Lingkungan ........................... 22
2.4.2 Lingkungan yang Sesuai ......................................................... 23
BAB 3 Penutup .................................................................................................. 24
3.1 Kesimpulan...................................................................................... 24
3.2 Saran ................................................................................................. 24
Daftar Pustaka ................................................................................................. 25

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Indonesia yang terdiri dari gugusan kepulauan mempunyai potensi bencana
yang sangat tinggi dan juga sangat bervariasi dari aspek jenis bencana. Kondisi
alam terseut serta adanya keanekaragaman penduduk dan budaya di Indonesia
menyebabkan timbulnya risiko terjadinya bencana alam, bencana ulah manusia
dan kedaruratan kompleks, meskipun disisi lain juga kaya akan sumberdaya alam
(Teja, 2018).
Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan
mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh
faktor alam dan/atau faktor nonalam maupun faktor manusia sehingga
mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian
harta benda, dan dampak psikologis. Definisi tersebut menyebutkan bahwa
bencana disebabkan oleh faktor alam, non alam, dan manusia. Oleh karena itu,
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tersebut juga mendefinisikan mengenai
bencana alam, bencana nonalam, dan bencana sosial.
Pada kasus bencana alam, sebagian korban adalah kelompok rentan. Sebagai
gambaran, pada kasus bencana gempa di Lombok, sebagian besar pengungsi
adalah perempuan dengan jumlah 173.236 jiwa. Perinciannya sebagai berikut: di
Kabupaten Lombok Utara, jumlah pengungsi laki-laki 74.300 jiwa dan perempuan
62.882 jiwa; Lombok Timur: laki-laki sebanyak 37.832 jiwa dan perempuan
40.536 jiwa; Lombok Barat: laki-laki 59.734 jiwa dan perempuan 59.084 jiwa;
serta di Mataram: laki-laki 7.634 jiwa dan perempuan 10.734 jiwa. Lebih lanjut,
sedikitnya 4.000 ibu hamil menjadi korban dan masih berada di posko
pengungsian. Dari jumlah tersebut, 136 ibu telah melahirkan (harnas.co, 24
Agustus 2018). Data sementara dari BNPB per 14 Agustus 2018 menyebutkan, di
Lombok Utara terdapat 1.991 balita berusia nol hingga lima tahun dan 2.641
anak-anak berusia 6 hingga 11 tahun (Voaindonesia.com, 14 Agustus 2018)
Berbagai bencana telah menimbulkan korban dalam jumlah yang besar.
Banyak korban yang selamat menderita sakit dan cacat. Rumah, tempat kerja,

1
2

ternak, dan peralatan menjadi rusak atau hancur. Korban juga mengalami dampak
psikologis akibat bencana, misalnya - ketakutan, kecemasan akut, perasaan mati
rasa secara emosional, dan kesedihan yang mendalam. Bagi sebagian orang,
dampak ini memudar dengan berjalannya waktu. Tapi untuk banyak orang lain,
bencana memberikan dampak psikologis jangka panjang, baik yang terlihat jelas
misalnya depresi, psikosomatis (keluhan fisik yang diakibatkan oleh masalah
psikis) ataupun yang tidak langsung : konflik, hingga perceraian. Beberapa gejala
gangguan psikologis merupakan respons langsung terhadap kejadian traumatik
dari bencana. Namun gejala-gejala yang lain juga akan menyusul, ini adalah
dampak tidak langsung dan bersifat jangka panjang yang dapat mengancam
berbagai golongan terutama kelompok yang rentan yaitu anak-anak, remaja,
wanita dan lansia. Dalam banyak kasus, jika tidak ada intervensi yang dirancang
dengan baik, banyak korban bencana akan mengalami depresi parah, gangguan
kecemasan, gangguan stress pasca-trauma, dan gangguan emosi lainnya. Bahkan
lebih dari dampak fisik dari bencana, dampak psikologis dapat menyebabkan
penderitaan lebih panjang, mereka akan kehilangan semangat hidup, kemampuan
social dan merusak nilai-nilai luhur yang mereka miliki (Teja, 2018). Apalagi,
setiap kali terjadi bencana selalu berdampak pada kondisi sosial khususnya untuk
kelompok rentan, seperti bayi, balita, ibu hamil, dan lansia.
Menurut Departeman Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM), kelompok
rentan adalah semua orang yang menghadapi hambatan atau keterbatasan dalam
menikmati standar kehidupan yang layak bagi kemanusiaan dan berlaku umum
bagi suatu masyarakat yang berperadaban. Kelompok rentan membutuhkan
perlakuan dan perlindungan khusus supaya bisa bertahan menghadapi situasi
pasca-bencana. Konteks kerentanan merujuk kepada situasi rentan yang setiap
saat dapat mempengaruhi atau membawa perubahan besar dalam penghidupan
masyarakat. Setiap orang yang termasuk kelompok masyarakat yang rentan
berhak memperoleh perlakuan dan perlindungan lebih berkenaan dengan
kekhususannya (Teja, 2018). Kelompok masyarakat yang rentan adalah orang
lanjut usia, anak-anak, perempuan, dan penyandang cacat.
Masalah yang biasanya dialami oleh kelompok rentan seperti perempuan
dan anak perempuan yaitu menghadapi risiko yang lebih besar terhadap
3

eksploitasi, pelecehan seksual, kekerasan, kawin paksa, penyakit yang


berhubungan dengan kesehatan reproduksi, dan kematian akibat kurangnya
perlindungan dan tidak adanya pengiriman bantuan untuk memenuhi kebutuhan
mereka. Gangguan stress sering terjadi pada lansia dan masalah nutrisi sering
terjadi pada bayi atau anak.
Dalam konteks ini, penulis akan membicarakan lebih rinci mengenai
penanganan vulnerable group atau kelompok rentan pra, saat dan pasca terjadinya
bencana.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang diatas dapat dirumuskan masalah, “bagaimana
penanganan vulnerable group?”

1.3 Tujuan Penulisan


1.3.1. Tujuan umum
Menganalisis penanganan bencana pada vulnerable group.
1.3.2. Tujuan khusus
1. Mengidentifikasi definisi, klasifikasi, mekanisme penanganan, dan
kesiapsiagaan masyarakat melindungi kelompok rentan
2. Menganalisis penanganan bencana pada vulnerable group.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Dalam keadaan bencana, ada beberapa individu yang memiliki risiko besar
dan mendapat dampak yang signifikan dibanding orang pada umumnya. Mereka
ini adalah individu yang termasuk dalam golongan kelompok rentan (Garcia-
ortega et al., 2012)
Kelompok rentan adalah orang-orang dengan kebutuhan khusus yang
mungkin tidak merasakan kenyamanan dan akses yang aman dalam memenuhi
kebutuhannya pada situasi bencana (CalOES, 2000).
Kelompok rentan, disebut juga kelompok dengan kebutuhan khusus atau
kelompok berisiko adalah orang-orang yang memiliki risiko pada kondisi fisik,
psikologis, serta sosialnya sebelum, saat, dan setelah terjadi bencana karena
orang-orang ini memiliki kebutuhan tambahan (Hoffman, 2009).
Jadi dapat disimpulkan bahwa kelompok rentan (vulnerable group) adalah
kelompok yang memiliki risiko pada kondisi fisik, psikologis, dan social dalam
pemenuhan kebutuhan pada situasi bencana.

2.2 Klasifikasi
Menurut Rencana Aksi Nasional (RAN) HAM Indonesia tahun 2015-2019,
ruang lingkup kelompok rentan meliputi: penyandang disabilitas, kelompok lanjut
usia, fakir miskin, perempuan, anak, pengungsi, masyarakat adat, dan pekerja
migran (BPHN, 2016). Sehagaimana disebutkan dalam Pasal 55 (2) UU Nomor
24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, kelompok rentan meliputi: I).
Bayi, balita dan anak-anak; 2). Ibu yang sedang mengandung atau menyusui; 3).
Penyandang cacat; dan 4) Orang lanjut usia. Selain keempat kelompok penduduk
tersebut, dalam Peraturan Kepala BNPB Nomor 7 Tahun 2008 tentang Pedoman
Tata Cara Pemenuhan Kehutuhan Dasar ditambahkan 'orang sakit' sebagai bagian
dari kelompok rentan dalam kondisi bencana.

4
5

2.3 Masalah yang dialami Kelompok Rentan


2.3.1 Anak
Anak-anak sering menjadi korban dalam semua tipe bencana karena
ketidakmampuan mereka melarikan diri dari daerah bahaya. Ketika Pakistan
diguncang gempa Oktober 2005, sekitar 16.000 anak meninggal karena gedung
sekolah mereka runtuh. Tanah longsor yang terjadi di Leyte, Filipina, beberapa
tahun lalu mengubur lebih dari 200 anak sekolah yang tengah belajar di dalam
kelas (Indriyani 2014). Diperkirakan sekitar 70% dari semua kematian akibat
bencana adalah anak-anak baik itu pada bencana alam maupun bencana yang
disebabkan oleh manusia (Powers & Daily, 2010).
Selain menjadi korban, anak-anak juga rentan terpisah dari orang tua atau
wali mereka saat bencana terjadi. Diperkirakan sekitar 35.000 anak-anak
Indonesia kehilangan satu atau dua orang tua mereka saat kejadian tsunami 2004.
Terdapat juga laporan adanya perdagangan anak (Child-Trafficking) yang dialami
oleh anak-anak yang kehilangan orang tua/wali (Powers & Daily, 2010).
Pasca bencana, anak-anak berisiko mengalami masalah-masalah kesehatan
jangka pendek dan jangka panjang baik fisik dan psikologis karena malnutrisi,
penyakit-penyakit infeksi, kurangnya skill bertahan hidup dan komunikasi,
ketidakmampuan melindungi diri sendiri, kurangnya kekuatan fisik, imunitas dan
kemampuan koping. Kondisi tersebut dapat mengancam nyawa jika tidak
diidentifikasi dan ditangani dengan segera oleh petugas kesehatan (Powers &
Daily, 2010; Veenema, 2007). Untuk memenuhi kebutuhannya, seperti makanan,
tempat tinggal, ekonomi, dan juga dukungan sosial dan emosional, sebagian besar
anak masih tergantung pada keluarganya. Selain itu, anak-anak biasanya akan
merasakan kesulitan seperti, terpisah dari orangtua atau pengasuhnya, kesulitan
untuk tidur, ketakutan terhadap gelap, dan bermimpi buruk (Garcia-ortega et al.,
2012).
2.3.2 Perempuan
Studi kasus bencana alam yang dilakukan di Bangladesh mendapati bahwa
pola kematian akibat bencana dipengaruhi oleh relasi gender yang ada, meski
tidak terlalu konsisten. Pola ini menempatkan perempuan, terlebih lagi yang
6

hamil, menyusui, dan lansia lebih berisiko karena keterbatasan mobilitas secara
fisik dalam situasi darurat (Enarson, 2000; Indriyani, 2014; Klynman et al, 2007).
Laporan PBB pada tahun 2001 yang berjudul "Women, Disaster Reduction,
and Sustainable Development" menyebutkan bahwa perempuan menerima
dampak bencana yang lebih berat. Dari 120 ribu orang yang meninggal karena
badai siklon di Bangladesh tahun 1991, korban dari kaum perempuan menempati
jumlah terbesar. Hal ini disebabkan karena norma kultural membatasi akses
mereka terhadap peringatan bahaya dan akses ke tempat perlindungan (Fatimah,
2009 dikutip dalam Indriyani, 2014).
Kerentanan pada perempuan sering dikaitkan dengan posisi pada struktur
sosial serta tanggung jawabnya. Selain itu, perempuan juga memiliki kebutuhan
khusus dalam perawatan fungsi reproduksinya. perempuan juga memiliki risiko
untuk menjadi korban kekerasan atau pelecehan seksual di tempat pengungsian
(Fisher, 2010). Ibu hamil memiliki kebutuhan khusus dan risiko pada ibu hamil
meningkat saat bencana terjadi, seperti kelahiran premature, BBLR, dan kematian
bayi. Beberapa ibu hamil juga mungkin tidak mendapat perawatan atau
kesempatan untuk melahirkan dengan layak atau aman (Hoffman, 2009).
Diskriminasi terhadap perempuan dalam kondisi bencana telah menjadi isu
vital yang memerlukan perhatian dan penanganan khusus. Oleh karena itu,
intervensi-intervensi kemanusiaan dalam penanganan bencana yang
memperhatikan standar internasional perlindungan hak asasi manusia perlu
direncanakan dalam semua stase penanganan bencana (Klynman, Kouppari, &
Mukhier, 2007).
Pada situasi bencana, perempuan dan anak perempuan menghadapi risiko
yang lebih besar terhadap eksploitasi, pelecehan seksual, kekerasan, kawin paksa,
penyakit yang berhubungan dengan kesehatan reproduksi, dan kematian akibat
kurangnya perlindungan dan tidak adanya pengiriman bantuan untuk memenuhi
kebutuhan mereka (BNPB, 2015).
Menurut berbagai pengalaman bencana alam di Indonesia seperti Aceh dan
Jogja, bahwa kematian perempuan lebih banyak daripada laki-laki dan perempuan
membutuhkan lebih banyak ruang untuk menjalani perannya sebagai perempuan
selama dalam pengungsian. Berikut ini adalah beberapa hal yang perlu
7

diperhatikan dan menjadi masalah umum perempuan selama dalam pengungsian,


yaitu:

1. Saat dalam pengungsian, perempuan yang sedang menyusui berkemungkinan


anaknya menghadapi masalah dengan makanan yang bergizi.
Perempuan menyusui membutuhkan asupan energi dan gizi seimbang
untuk tumbuh kembang bayi. Pemenuhan gizi seimbang dimaksud berupa
karbohidrat, protein, lemak, vitamin, dan mineral. Namun saat dalam
pengungsian, kebutuhan tersebut sangat sulit untuk didapat. Selama situasi
tanggap darurat, bantuan yang banyak diberikan kepada korban pada
umumnya berupa beras, mie instan, dan makanan kaleng. Tentu saja keadaan
ini tidak mampu memenuhi kebutuhan gizi seimbang dimaksud sebelumnya
dan menimbulkan dampak buruk bagi ibu menyusui dan bayi. Dampak
kekurangan gizi pada ibu menyusui akan menimbulkan gangguan mata,
kerusakan pada gigi dan tulang, mengalami kekurangan gizi dan darah, serta
kualitas dan kuantitas ASI yang kurang baik. Sedangkan dampak pada bayi
yaitu proses tumbuh kembang yang terganggu, bayi mudah sakit, bayi mudah
terinfeksi, dan menimbulkan gangguan pada mata dan tulang. Untuk
pemenuhan gizi bayi, dapat juga diberikan susu formula yang diberikan
melalui bantuan. Namun terkadang ditemukan susu formula yang sudah
kadaluarsa dan tidak layak untuk dikonsumsi.
2. Perempuan yang sedang hamil.
Kehamilan merupakan sebuah proses bagi perempuan yang menimbulkan
banyak perubahan, baik perubahan fisik, mental, dan sosial. Kebutuhan
perempuan hamil pun meliputi kebutuhan psikologis dan fisik. Kebutuhan
fisik perempuan hamil perlu diketahui untuk membantu tumbuh kembang
janin.
3. Perempuan yang sedang mengalami haid.
Dalam pengungsian, perempuan yang sedang mengalami haid atau menstruasi
menghadapi permasalahan dengan kebersihan diri, baik karena membutuhkan
pembalut, pakaian dalam, pakaian layak, air bersih, bahkan ruang ganti, dalam
hal ini adalah kamar mandi. Selama masa menstruasi atau haid ini, kelangkaan
8

pakaian dalam dan pembalut akan menimbulkan ancaman penyakit yang


berkaitan dengan perempuan.
4. Perempuan membutuhkan ruang privasi untuk mengganti pakaian,
menyusui, ataupun untuk beristirahat.
Ruang dan pendampingan menjadi salah satu fokus utama dalam pengungsian.
Kebutuhan dasar perempuan untuk mengganti pakaian dan beristirahat dapat
memicu pelecehan, kejahatan, dan kekerasan seksual. Beberapa kejadian yang
pernah dituliskan mengemukakan bahwa pengungsi perempuan yang tidak
didampingi oleh orang tua maupun keluarga rentan terhadap kejahatan dan
kekerasan. Termasuk di dalamnya kejahatan dan kekerasan seksual.
2.3.3 Lansia
Merupakan salah satu kelompok yang rentan secara fisik, mental, dan
ekonomik saat dan setelah bencana yang disebabkan karena penurunan
kemampuan mobilitas fisik dan/atau karena mengalami masalah kesehatan kronis
(Klynman et al., 2007). Selain itu 80% lansia menderita penyakit kronis seperti
hipertensi, diabetes, penyakit jantung. Hal-hal tersebut mengakibatkan penurunan
kemampuan untuk beradaptasi dan fungsi terutama saat terjadi bencana, sehingga
saat bencana, pada lansia sangat memungkinkan terjadi kecemasan hingga trauma
(Hoffman, 2009).
Di Amerika Serikat, lebih dari 50% korban kematian akibat dari badai
Katrina adalah lansia dan diperkirakan sekitar 1300 lansia yang hidup mandiri
sebelum kejadian badai tersebut harus dirawat di pantai jompo setelah bencana
alam itu terjadi (Powers & Daily, 2010).
Pasca bencana, kebutuhan lansia sering terabaikan dan mengalami
diskriminasi, contohnya dalam hal distribusi kebutuhan hidup dan finansial pasca
bencana. Hak-hak dan kebutuhan spesifik lansia kadang-kadang terlupakan yang
dapat memperparah masalah kesehatan dan kondisi depresi pada lansia tersebut
(Klynman et al., 2007).
2.3.4 Penyandang disabilitas dan ODGJ
Individu penyandang disabilitas akan kesulitan dalam keadaan bencana.
Misalnya, seorang tuna rungu akan kesulitan dalam memahami perintah dan
9

instruksi yang diberikan di pengungsian, ketidaktersediaannya akses untuk


pengguna kursi roda (Hoffman, 2009).
Menurut WHO, terdapat lebih dari 600 juta orang yang menderita kecacatan
di seluruh dunia atau mewakili sekitar 7-10% dari populasi global. 80%
diantaranya tinggal di negara berkembang. Angka ini terus meningkat seiring
dengan peningkatan jumlah penduduk, angka harapan hidup dan kemajuan di
bidang kesehatan (Klynman et al., 2007). Di Amerika Serikat, setelah kejadian
banjir di Grand Forks, North Dakota pada tahun 1997, barulah dibangun rumah
perlindungan yang dapat diakses oleh korban bencana yang menggunakan kursi
roda. Pada saat terjadi bencana kebakaran di California, tahun 2003, banyak
individu-individu cacat pendengaran tidak memahani level bahaya bencana
tersebut karena kurangnya informasi yang mereka fahami (Powers & Daily,
2010).
Orang dengan gangguan jiwa merupakan golongan kelompok rentan dan
biasa terabaikan saat situasi darurat dan bencana, namun mereka sering
mengalami diskriminasi di masyarakat dan tidak dilibatkan pada semua level
kesiapsiagaan, mitigasi, dan intervensi penanganan bencana (Klynman et al.,
2007). Korban dengan gangguan jiwa ringan mungkin akan mendapat bantuan
karena masih dapat menjelaskan keluhannya, tetapi korban dengan gangguan jiwa
berat mungkin tidak akan mencari pertolongan sama sekali karena beberapa
alasan seperti stigma, takut akan penolakan, akses yang terbatas, atau karena
ketidaksadaran atas kondisi dirinya sendiri (Garcia-ortega et al., 2012).
2.2.5 Tahanan
Keselamatan hidup para tahanan sangat bergantung pada kebijakan
pemerintah. Tahanan ini tidak dapat mengevakuasi diri, mencari perawatan medis,
atau mendapat makanan dan tempat tinggal kecuali disediakan oleh pemerintah.
Selain itu, jika pengungsiannya digabung dengan warga biasa, tidak menutup
kemungkinan para tahanan dapat melakukan penyerangan kepada pengungsi lain
(Hoffman, 2009).
10

2.4 Mekanisme penanganan


Menurut undang-undang no. 24 tahun 2007 pasal 54, penanganan
masyarakat dan pengungsi yang terkena bencana dilakukan dengan kegiatan
meliputi pendataan, penempatan pada lokasi yang aman, dan pemenuhan
kebutuhan dasar. Dan pasal 55 ayat (1) mengatakan perlindungan terhadap
kelompok rentan dilakukan dengan memberikan prioritas kepada kelompok rentan
berupa penyelamatan, evakuasi, pengamanan, pelayanan kesehatan, dan
psikososial.
Kemudahan akses dalam penyelamatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
24 huruf h dilakukan melalui pencarian, pertolongan, dan evakuasi korban
bencana. (2) Untuk memudahkan penyelamatan korban bencana dan harta benda,
Kepala BNPB dan/atau kepala BPBD mempunyai kewenangan:
1. Menyingkirkan dan/atau memusnahkan barang atau benda di lokasi bencana
yang dapat membahayakan jiwa;
2. Menyingkirkan dan/atau memusnahkan barang atau benda yang dapat
mengganggu proses penyelamatan; memerintahkan orang untuk keluar dari
suatu lokasi atau melarang orang untuk memasuki suatu lokasi
3. Mengisolasi atau menutup suatu lokasi baik milik publik maupun pribadi
4. Memerintahkan kepada pimpinan instansi/lembaga terkait untuk mematikan
aliran listrik, gas, atau menutup/membuka pintu air (PP, 2008)
Menurut (Garcia-ortega et al., 2012), berikut ini adalah beberapa tindakan
setelah bencana yang dapat dilakukan pada beberapa kelompok rentan:
2.3.1 Anak
1. Pra bencana
a. Mensosialisasikan dan melibatkan anak-anak dalam latihan
kesiagsiagaan bencana misalnya dalam simulasi bencana kebakaran
atau gempa bumi
b. Mempersiapkan fasilitas kesehatan yang khusus untuk bayi dan anak
pada saat bencana
c. Perlunya diadakan pelatihan-pelatihan penanganan bencana bagi
petugas kesehatan khusus untuk menangani kelompok-kelompok
berisiko
11

2. Saat bencana
a. Mengintegrasikan pertimbanan pediatric dalam sistem triase standar
yang digunakan saat bencana
b. Lakukan pertolongan kegawatdaruratan kepada bayi dan anak sesuai
dengan tingkat kegawatan dan kebutuhannya dengan
mempertimbangkan aspek tumbuh kembangnya, misalnya
menggunakan alat dan bahan khusus untuk anak dan tidak disamakan
dengan orang dewasa
c. Selama proses evakuasi, transportasi, sheltering dan dalam pemberian
pelayanan fasilitas kesehatan, hindari memisahkan anak dari orang tua,
keluarga atau wali mereka
3. Pasca bencana
a. Usahakan kegiatan rutin sehari-hari dapat dilakukan sesegera mungkin
contohnya waktu makan dan personal hygiene teratur, tidur, bermain
dan sekolah
b. Monitor status nutrisi anak dengan pengukuran antropometri
c. Dukung dan berikan semangat kepada orang tua
d. Dukung ibu-ibu menyusui dengan dukungan adekuat, cairan dan
emosional
e. Minta bantuan dari ahli kesehatan anak yang mungkin ada di lokasi
evakuasi sebagai voluntir untuk mencegah,
mengidentifikasi,mengurangi resiko kejadian depresi pada anak pasca
bencana.
f. Identifikasi anak yang kehilangan orang tua dan sediakan penjaga yang
terpercaya serta lingkunganyang aman untuk mereka
2.3.2 Perempuan
Dalam memberikan pelayanan keperawatan pada berbagai macam kondisi
kita harus cepat dan bertindak tepat di tempat bencana, petugas harus ingat bahwa
dalam merawat ibu hamil adalah sama halnya dengan menolong janinnya
sehingga meningkatkab kondisi fisik dan mental wanita hamil dapat melindungi
dua kehidupan, ibu hamil dan janinnya. Perubahan fisiologis pada ibu hamil,
12

seperti peningkatan sirkulasi darah, peningkatan kebutuhan oksigen, dan lain-lain


sehingga lebih rentan saat bencana dan setelah bencana (Farida, Ida. 2013).
Menurut Ida Farida (2013) hal-hal yang perlu diperhatikan dalam
penanggulangan ibu hamil, antara lain meningkatkan kebutuhan oksigen, yaitu
tubuh ibu hamil yang mengalami keadaan bahaya secara fisik berfungsi untuk
membantu menyelamatkan nyawanya sendiri daripada nyawa si janin dengan
mengurangi volume perdarahan pada uterus. Selain itu, persiapan melahirkan
yang aman. Dalam situasi bencana, petugas harus mendapatkan informasi yang
jelas dan terpercaya dalam menentukan tempat melahirkan adalah keamanannya.
Hal yang perlu dipersiapkan adalah air bersih, alat-alat yang bersih dan steril dan
obat-obatan, yang perlu diperhatikan adalah evakuasi ibu ke tempat perawatan
selanjutnya yang lebih memadai.
1. Pra bencana
a. Melibatkan perempuan dalam penyusunan perencanaan penanganan
bencana
b. Mengidentifikasi ibu hamil dan ibu menyusui sebagai kelompok rentan
c. Membuat disaster plans dirumah yang disosialisasikan kepada seluruh
anggota keluarga
d. Melibatkan petugas-petugas kesehatan reproduktif dalam mitigasi
bencana
2. Saat bencana
a. Melakukan usaha/bantuan penyelamatan yang tidak meningkatkan
risiko kerentanan bumil dan busui, misalnya:
1) Meminimalkan guncangan pada saat melakukan mobilisasi dan
transportasi karena dapat merangsang kontraksi pada ibu hamil
2) Tidak memisahkan bayi dan ibunya saat proses evakuasi
b. Petugas bencana harus memiliki kapasitas untuk menolong korban
bumil dan busui
3. Pasca bencana
a. Dukung ibu-ibu menyusui dengan dukungan nutrisi adekuat, cairan dan
emosional
13

b. Melibatkan petugas-petugas kesehatan reproduktif di rumah


penampungan korban bencana untuk menyediakan jasa konseling dan
pemeriksaan kesehatan untuk ibu hamil dan menyusui.
c. Melibatkan petugaspetugas konseling untuk mencegah,
mengidentifikasi, mengurangi risiko kejadian depesi pasca bencana
2.3.3 Lansia
1. Pra bencana
a. Libatkan lansia dalam pengambilan keputusan dan sosialisasi disaster
plan di rumah
b. Mempertimbangkan kebutuhan lansia dalam perencanaan penanganan
bencana.

Menurut Ida Farida (2013) keperawatan bencana pada lansia sebelum


bencana yakni
a. Memfasilitasi rekonstruksi komunitas
Sejak sebelum bencana dilaksanakan kegiatan penyelamatan
antara penduduk dengan cepat dan akurat, dan distribusi barang bantuan
setelah itu pun berjalan secara sistematis. Sebagai hasilnya, dilaporkan
bahwa orang lansia dan penyandang cacat yang disebut kelompok
rentan pada bencana tidak pernah diabaikan, sehingga mereka bisa
hidup di pengungsian dengan tenang.
b. Menyiapkan pemanfaatan tempat pengungsian
Diperlukan upaya untuk penyusun perencanaan pelaksanaan
pelatihan praktek dan pelatihan keperawatan supaya pemanfaatan yang
realistis dan bermanfaat akan tercapai. (Farida, Ida. 2013)
2. Saat bencana
a. Melakukan usaha/bantuan penyelamatan yang tidka meningkatkan
risiko kerentanan lansia, misalnya meminimalkan guncangan/trauma
pada saat melakukan mobilisasi dan transportasi untuk menghindari
trauma sekunder
b. Identifikasi lansia dengan bantuan/kebutuhan khusus contohnya kursi
roda, tongkat, dll.
14

Menurut Ida Farida (2013) keperawatan lansia saat bencana antara


lain:
a. Tempat aman
Yang diprioritaskan pada saat terjadi encana adalah memindahkan
orang lansia ke tempat yang aman. Orang lansia sulit memperoleh
informasi karena penuruman daya pendengaran dan penurunan
komunikasi dengan luar
b. Rasa setia
Selain itu, karena mereka memiliki rasa setia yang dalam pada
tanah dan ruma sendiri, maka tindakan untuk mengungsi pun
berkecenderungan terlambat dibandingkan dengan generasi yang lain.
c. Penyelamatan darurat
(Triage, treatment, and transportation) dengan cepat. Fungsi
indera orang lansia yang mengalami perubahan fisik berdasarkan proses
menua, maka skala rangsangan luar untuk memunculkan respon pun
mengalami peningkatan sensitivitas sehingga mudah terkena mati rasa.

3. Pasca Bencana
a. Program inter-generasional untuk mendukung sosialisasi komunitas
dengan lansia dan mencegah isolasi sosial lansia, diantaranya:
1) Libatkan remaja dalam pusat perawatan lansia dan kegiatan-
kegiatan sosial bersama lansia untuk memfasilitasi empati dan
interaksi orang muda dan lansia (community awareness)
2) Libatkan lansia sebagai sebagai storytellers dan animator dalam
kegiatan bersama anak-anak yang diorganisir oleh agency
perlindungan anak di posko perlindunga korban bencana
b. Menyediakan dukungan sosial melalui pengembangan jaringan sosial
yang sehat di lokasi penampungan korban bencana
c. Sediakan kesempatan belajar untuk meningkatkan pengetahuan dan
skill lansia.
15

d. Ciptakan kesempatan untuk mendapatkan penghasilan secara mandiri


e. Berikan konseling unuk meningkatkan semangat hidup dan
kemandirian lansia.

Menurut Ida Farida (2013) keperawatan bencana pada lansia setelah


bencana adalah
a. Lingkungan dan adaptasi
Dalam kehidupan di tempat pengungsian, terjadi berbagai
ketidakcocokan dalam kehidupan sehari-hari yang disebabkan oleh
fungsi fisik yang dibawa oleh setiap individu sebelum bencana dan
perubahan lingkungan hidup di tempat pengungsian. Kedua hal ini
saling mempengaruhi, sehingga mengakibtkan penurunan fungsi fisik
orang lansia yang lebih parah lagi.
b. Manajemen penyakit dan pencegahan penyakit sekunder
Lingkungan di tempat pengungsian mengundang tidak hanya
ketidakcocokan dalam kehidupan sehari-hari bagi orang lansia, tetapi
juga keadaan yang serius pada tubuh. Seperti penumpukan kelelahan
karena kurnag tidur dan kegelisahan.
c. Orang lanjut usia dan perawatan pada kehidupan di rumah sendiri
Lansia yang sudah kembali ke rumahnya, pertama membereskan
perabotannya di luar dan dalam rumah. Dibandingkan dengan generasi
muda, sering kali lansia tidak bisa memperoleh informasi mengenai
relawan, sehingga tidak bisa memanfaatkan tenaga tersebut dengan
optimal.
d. Lanjut usia dan perawatan di pemukiman sementara
Lansia yang masuk ke pemukiman sementara terpaksa
mengadaptasikan atau menyesuaikan diri lagi terhadap lingkungan baru
(lingkungan hubungan manusia dan lingkungan fisik) dalam waktu
yang singkat
e. Mental Care
Orang lansia mengalami penurunan daya kesiapan maupun daya
adaptasi, sehingga mudah terkena dampak secara fisik oleh stressor.
Namun demikian, orang lansia itu berkecenderungan sabar dengan diam
16

walaupun sudah terkena dampak dan tidak mengekspresikan perasaan


dan keluhan.

2.3.4 Penyandang disabilitas dan ODGJ


Menurut Ida Farida (2013) dampak bencana pada penyakit kronis akan
memberi pegaruh besar pada kehidupan dan lingkungan bagi orang-orang dengan
penyakit kronik. Terutama dalam situasi yang terpaksa hidup di tempat
pengungsian dalam waktu yang lama atau terpaksa memulai kehidupan yang jauh
berbeda dengan pra-bencana, sangat sulit mengatur dan memanajemen penyakit
seperti sebelum bencana. Walaupun sudah berhasil selamat dari bencana dan tidak
terluka sekalipun manajemen penyakit kronis mengalami kesulitan, sehingga
kemungkinan besar penyakit tersebut kambuh dan menjadi lebih parah lagi ketika
hidup di pengungsian atau ketika memulai kehidupan sehari-hari lagi.
Berdasarkan perubahan struktur penyakit itu sendiri, timbulnya penyakit
kronis disebabkan oleh perubahan gaya hidup sehari-hari. Bagi orang-orang yang
memiliki resiko penyakit kronis, perubahan kehidupan yang disebabkan oleh
bencana akan menjadi pemicu meningkatnya penyakit kronis seperti diabetes
mellitus dan gangguan pernapasan.
1. Pra bencana
a. Identifikasi kelompok rentan dari kelompok individu yang cacat dan
berpenyakit kronis
b. Sediakan informasi bencana yang bisa diakses oleh orang-orang dengan
keterbatasan fisik seperti: tunarungu, tuna netra, dll
c. Perlunya diadakan pelatihan-pelatihan penanganan kegawatdaruratan
bencana bagi petugas kesehatan khusus untuk menanganni korban
dengan kebutuhan khusus (cacat dan penyakit kronis)

Menurut Ida Farida (2013) keperawatan pada fase persiapan sebelum


bencana bagi korban dengan penyakit kronik antara lain mempersiapkan
catatan self-care mereka sendiri, terutama nama pasien, alamat ketika
darurat, rumah sakit, dan dokter yang merawat, membantu pasien
membiasakan dii untuk mencatat mengenai isi dari obat yang diminum,
17

pengobatan diet, dan data olahraga, memberikan pendidikan bagi pasien dan
keluarganya mengenai penanganan bencana sejak masa normal.
2. Saat bencana
a. Sediakan alat-alat emergency dan evakuasi yang khusus untuk orang
cacat dan berpenyakit kronis (HIV/AIDS dan penyakit infeksi lainnya),
alat bantu berjalan untuk korban dengan kecacatan, alat-alat BHD sekali
pakai, dll
b. Tetap menjaga dan meningkatkan kewaspadaan universal (universal
precaution) untuk petugas dalam melakukan tindakan
kegawatdaruratan.

Menurut Ida Farida (2013) keperawatan bencana pada penyandang


cacat yakni:
a. Bantuan evakuasi
Saat terjadi bencana, penyandang cacat membutuhkan waktu yang
lama untuk mengevakuasi diri sehingga supaya tidak terlambat dalam
mengambil keputusan untuk melakukan evakuasi, maka informasi
persiapan evakuasi dan lain-lain perlu diberitahukan kepada
penyandang cacat dan penolong evakuasi
b. Informasi
Dalam penyampaian informasi digunakan bermacam-macam alat
disesuaikan dengan ciri-ciri penyandang cacat, misalnya internet (email,
sms, dll) dan siaran televisi untuk tuna rungu; handphone yang dapat
membaca pesan masuk untuk tuna netra; HP yag dilengkapi dengan alat
handsfree untuk tuna daksa dan sebagainya.

Pertolongan pada penyandang cacat atau disabilitas, antara lain:


a. Tunadaksa
Kebanyakan orang yang jalannya tidak stabil dan mudah jatuh,
serta orang yang memiliki keterbatasan dalam perpindahan atau
pemakai kursi roda yang tidak dapat melangkah sendirian ketika berada
di tempat yang jalannya tidak rata dan menaiki tangga. Ada yang
menganggap kursi roda seperti satu bagian dari tubuh sehingga cara
18

mendorongnya harus mengecek keinginan si pemakai kursi roda dan


keluarga
b. Tuna netra
Dengan mengingat bahwa tuna netra mudah merasa takut karena
menyadari suasana aneh di sekitarnya, maka perlu diberitahukan
tentang kondisi sekitar rumah dan tempat aman untuk lari dan bantuan
untuk pindah di tempat yang tidak familiar. Pada waktu menolong
mereka untukpindah, peganglah siku dan pundak, atau genggamlah
secara lembut pergelangannya karena berkaitan dengan tinggi badan
mereka serta berjalanlah setengah langkah di depannya.
c. Tuna rungu
Beritahukan dengan senter ketika berkunjung ke rumahnya karena
tidak dapat menerima informasi suara. Sebagai metode komunikasi, ada
bahasa tulis, bahasa isyarat, bahasa membaca gerakan mulut lawan
bicara, dll tetapi belum tentu semuanya dapat menggunakan bahasa
isyarat
d. Gangguan intelektual
Atau perkembangannya sulit dipahami oleh orang pada umunya
karena kurang mampu untuk bertanya dan mengungkapkan
pendapatnya sendiri dan seringkali mudah menjadi panik. Pada saat
mereka mengulangi ucapan dan pertanyaan yang sama dengan lawan
bicara, hal itu menandakan bahwa mereka belum mengerti sehingga
gunakan kata-kata sederhana yang mudah dimengerti (Farida, Ida.
2013).

Menurut Ida Farida (2013) keperawatan pada penyakit kronis saat


bencana adalah
a. Fase Akut
Pada fase akut bencana ini, bisa dikatakan bahwa suatu hal yang
paling penting adalah berkeliling antara orang-orang untuk menemukan
masalah kesehatan mereka dengan cepat dan mencegah penyakit
mereka memburuk. Perawat harus mengetahui latar belakang dan
riwayat pengobatan dari orang-orang yang berada di tempat dengan
19

mendengarkan secara seksama dan memahami penyakit mereka yang


sedang dalam proses pengobatan, sebagai contoh diabetes dan
gangguan pernapasan.
Pada fase akut yang dimulai sejak sesaat terjadinya bencana,
diperkirakan munculnya gejala khas, seperti gejala gangguan jantung,
ginjal, dan psikologis yang memburuk karena kurang kontrol
kandungan gula di darah bagi pasien diabetes, pasien penyakit
gangguan pernapasan yang tidak bisa membawa keluar peralatan tabung
oksigen dari rumah
b. Penting juga perawat memberikan dukungan kepada pasien untuk
memastikan apakah mereka diperiksa dokter dan minum obat dengan
teratur. Karena banyak obat-obatan komersial akan didistribusikan ke
tempat pengungsian, maka muncullah resiko bagi pasien penyakit
kronis yang mengkonsumsi beberapa obat tersebut tanpa
memperhatikan kecocokan kombinasi antara obat tersebut dan obat
yang diberikan di rumah sakit.
3. Pasca bencana
a. Sedapat mungkin, sediakan fasilitas yang dapat mengembalikan
kemandirian individu dengan keterbatasan fisik di lokasi evakuasi
sementara. Contohnya: kursi roda, tongkat, dll
b. Libatkan agensi-agensi yang berfokus pada perlindungan individu-
individu dengan keterbatasan fisik dan penyakit kronis
c. Rawat korban dengan penyakit kronis sesuai dengan kebutuhannya.

Menurut Ida Farida (2013) keperawatan bencana pada penyandang


cacat:
a. Kebutuhan rumah tangga.
Air minum, susu bayi, sanitasi, air bersih, dan sabun untuk MCK
(mandi, cuci, kakus), alat-alat untuk memasak, pakaian, selimut, dan
tempat tidur, pemukiman sementara dan kebutuhan budaya dan adat.
b. Kebutuhan kesehatan
20

Kebutuhan kesehatan umum – seperti perlengkapan medis (obat-


obatan, perban, dll), tenaga medis, pos kesehatan dan perawatan
kejiwaan
c. Tempat ibadah sementara
d. Keamanan wilayah
e. Kebutuhan air
f. Kebutuhan sarana dan prasarana
Kebutuhan saranan dan prasarana yang mendesak – seperti air
bersih, MCK untuk umum, jalan ke lokasi bencana, alat komunikasi
dalam masyarakat dan pihak luar, penerangan/listrik, sekolah
sementara, alat angkut/transport, gudang penyimpanan persediaan,
tempat pemukiman sementara, pos kesehatan alat dan bahan-bahan.

Keperawatan bagi pasien diabetes:


a. Mengkonfirmasi apakan pasien yang bersangkutan harus minum obat
untuk menurunkan kandungan gula darah (contoh: insulin, dll) atau
tidak, dan identifikasi obat apa yang dimiliki pasien tersebut.
b. Mengkonfirmasi apakah pasein memiliki penyakit luka fisik atau
infeksi, dan jika ada, perlu pengamatan dan perawatan pada gejala
infeksi (untuk mencegah komplikasi kedua dari penyakit diabetes)
c. Memahami situasi manajemen diri (self-management) melalui kartu
penyakit diabetes (catatan pribadi)
d. Memberikan instruksi tertentu mengenai konsumsi obat, makanan yang
tepat, dan memberikan pedoman mengenai manajemen makanan
e. Mengatur olahraga dan relaksasi yang tepat

Keperawatan bagi pasien gangguan pernapasan kronis:


a. Konfirmasikan volume oksigen yang tepat dan mendukung untuk
pemakaian tabung oksigen untuk berjalan yang dimilikinya dengan
aman
b. Menghindari narcosis CO2 dengan menaikkan konsentrasi oksigen
karena takut peningkatan dysphemia
21

c. Mengatur pemasokan tabung oksigen (ventilator) dan transportasi jika


pasien tersebut tidak bisa membawa sendiri.
d. Membantu untuk manajemen obat dan olahraga yang tepat
e. Mencocokkan lingkungan yang tepat (contoh: suhu udara panas/dingin,
dan debu)

2.5 Kesiapsiagaan Masyarakat Melindungi Kelompok Rentan


Kesiapsiagaan bencana penting dilihat sebagai upaya pengurangan risiko
bencana. Kesiapsiagaan merupakan salah satu upaya yang dilakukan untuk
mengantisipasi kemungkinan terjadi bencana guna menghindari adanya korban
jiwa,kerugian harta benda, dan perubahan tata kehidupan masyarakat di kemudian
hari. Kesiapsiagaan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk
mengantisipasi bencana melalui pengorganisasian serta melalui langkah yang
tepat dan berdaya guna. Kesiapsiagaan adalah meminimalisasi akibat-akibat yang
merugikan dari suatu bahaya melalui tindakan pencegahan yang efektif,
rehabilitasi, dan pemulihan untuk memastikan pengaturan serta pengiriman
bantuan dan pertolongan setelah terjadi bencana secara tepat waktu dan efektif.
Untuk itu, masyarakat perlu meningkatkan kapasitas pengetahuan mengenai
bagaimana menghadapi situasi bencana bagi dirinya sendiri, keluarga, tetangga,
dan kelompok rentan yang ada dalam lingkungannya. Pengetahuan kebencanaan
perlu diberikan kepada masyarakat rawan bencana sedini dan serutin mungkin,
baik melalui media sekolah, informal, maupun media social. pendekatan yang
sesuai dalam penanganan bencana adalah pendekatan yang berbasis budaya
setempat atau mengangkat kearifan lokal di wilayah tersebut, mengingat
masyarakat hidup dan berkembang dengan pola pikir budaya setempat.
Penanganan trauma pasca bencana di Indonesia yang cenderung memiliki
budaya kolektif adalah mendekatkan anak pada keluarga dan komunitasnya.
Penelitian pada keluarga korban bencana gempa di Bantul menemukan bahwa
semakin erat hubungan keluarga, maka tingkat kebahagiaan anak semakin tinggi.
Selain mendekatkan anak pada keluarga, kegiatan gotong-royong merupakan
bentuk kearifan lokal lain yang bisa digunakan untuk menghadapi kondisi pasca-
bencana. Dalam istilah lokal, gotong-royong atau bekerja sama menyelesaikan
22

masalah fisik. Semua kegiatan gotong-royong dilakukan dari, oleh, dan untuk
masyarakat atau komunitas itu sendiri. Gotongroyong merupakan energi positif di
antara korban bencana, termasuk kelompok rentan. Kekuatan untuk saling bantu
dalam keadaan yang kurang menguntungkan saling ditularkan melalui gotong-
royong untuk bersama-sama bangkit dari masalah bencana alam (Teja, 2018).

2.5.1 Sumber Daya yang Tersedia di Lingkungan


Untuk mengurangi dampak yang lebih berat akibat bencana terhadap
kelompok – kelompok beresiko saat bencana baik itu dampak jangka pendek
maupun jangka panjang, maka petugas kesehatan yang terlibat dalam penanganan
bencana perlu mengidentifikasikan sumber daya apa saja yang tersedia di
lngkungan yang dapat digunakan saat bencana terjadi, diantaranya (Enarson,
2000; Federal Emergency Management Agency (FEMA), 2010; Powers & Daily,
2010; Veenema, 2007 ) :
1. Terbentuknya desa siaga dan organisasi kemasyarakatan yang terus
mensosialisasikan kesiapsiagaan terhadap bencana terutama untuk area yang
rentan terhadap kejadian bencana.
2. Kesiapan rumah sakir atau fasilitas kesehatan menerima korban bencana
dari kelompok berisiko baik itu dari segi fasilitas maupun ketenagaan
seperti : beberapa jumlah incubator untuk bayi baru lahir, tempat tidur untuk
pasien anak, ventilator anak, fasilitas persalinan, fasilitas perawatan pasien
dengan penyakit kronis, dsb
3. Adanya symbol – symbol atau bahasa yang bisa dimengerti oleh individu-
individu dengan kecacatan tentang peringatan bencana, jalur evakuasi,
lokasi pengungsian dll.
4. Adanya system support berpa konseling dari ahli-ahli voluntir yang khusus
menangani kelompok beresiko untuk mencegah dan mengidentifikasi dini
kondisi depresi pasca bencana pada kelompok tersebut sehingga intervensi
yang sesuai dapat diberikan untuk merawat mereka.
5. Adanya agensi-agensi baik itu dari pemerintah maupun non pemerintah
(NGO) yang membantu korban bencana terutama kelompok-kelompok
23

beresiko seperti : agensi perlindungan anak dan perempuan, agency


pelacakan keluarga korban bencana ( tracking centre), dll.

Adanya website atau homepage bencana dan publikasi penelitian yang berisi
informasi – informasi tentang bagaimana perencanaan legawatdaruratan dan
bencana pada kelompok-kelompok dengan kebutuhan khusus dan beresiko.

2.5.2 Lingkungan yang Sesuai


Setelah kejadian bencana , adalah penting sesegera mungkin untuk
menciptakan lingkungan yang kondusif yang memungkinkan kelompok berisiko
untuk berfungsi secara mandiri sebagaimana sebelum kejadian bencana,
diantaranya (Enarson, 2000; Federal Emergency Management Agency (FEMA),
2010; Indriyani, 2014; Klynman et al., 2007; Powers & Daily, 2010; Veenema,
2007) :
1. Menciptakan kondisi/ lingkungan yang memungkinkan ibu menyusui untuk
terus memberikan ASI kepada anaknya dengan cara memberikan dukungan
moril, menyediakan konsultasi laktasi dan pencegahan depresi.
2. Membantu anak kembali melakukan aktivitas-aktivitas regular sebagaimana
sebelum kejadian bencana seperti : penjagaan kebersihan diri, belajar/
sekolah, dan bermain.
3. Melibatkan lansia dalam aktivitas-aktivitas social dan program lintas
generasi misalnya dengan remaja dan anak-anak untuk mengurangi resiko
isolasi social dan depresi.
4. Menyediakan informasi dan lingkungan yang kondusif untuk individu
dengan keterbatasan fisik, misalnya area evakuasi yang dapat diakses oleh
mereka.
5. Adanya fasilitas-fasilitas perawatan untuk korban bencana dengan penyakit
kronis dan infeksi.
BAB 3
PENUTUP

3.1 Simpulan
Kelompok rentan adalah semua orang yang menghadapi hambatan atau
keterbatasan dalam menikmati standar kehidupan yang layak bagi kemanusiaan
dan berlaku umum bagi suatu masyarakat yang berperadaban. Jadi kelompok
rentan dapat didefinisikan sebagai kelompok yang harus mendapatkan
perlindungan dari pemerintah karena kondisi sosial yang sedang mereka hadapi.
Kelompok masyarakat yang rentan adalah orang lanjut usia, anak-anak,
perempuan, dan penyandang cacat. Untuk mengurangi dampak bencana pada
individu dari kelompok-kelompok rentan diatas, petugas-petugas yang terlibat
dalam perencanaan dan penanganan bencana perlu Mempersiapkan peralatan-
peralatan kesehatan sesuai dengan kebutuhan kelompok-keompok rentan
tersebut, contohnya ventilisator untuk anak, alat bantu untuk individu yang cacat,
alat-alat bantuan persalinan, dll, melakukan pemetaan kelompok-kelompok
rentan, merencanakan intervensi-intervensi untuk mengatasi hambatan informasi
dan komunikasi, menyediakan transportasi dan rumah penampungan yang dapat
diakses, menyediakan pusat bencana yang dapat diakses.

3.2 Saran
Dalam penulisan makalah ini, penulis menyarankan kepada para pembaca
agar memahami secara mendalam materi yang telah dipaparkan dalam makalah
ini, karena dalam kehidupan sehari-hari hal tersebut sangat bermanfaat untuk
meningkatkan taraf hidup kelompok rentan.

24
DAFTAR PUSTAKA

BNPB. (2015). Penduduk Rentan dalam Situasi Bencana.

BPHN. (2016). Laporan Akhir Kelompok Kerja Analisis dan Evaluasi Hukum
Dalam Rangka Melindungi Kelompok Rentan Fokus Kesejahteraan Anak.

CalOES. (2000). Meeting the Needs of Vulnerable People in Times of Disaster: A


Guide for Emergency Managers.

Enarson, E. (2000). Infocus Programme on Crisis Response and Reconstruction


Working paper I : Gender and Natural Disaster. Geneva: Recovery and
Reconstruction Department.

Farida, Ida. 2013. Manajemen Penanggulangan Bencana Kegiatan Belajar I:


Keperawatan Bencana pada Ibu dan Bayi. Jakarta: Badan Pengembangan
dan Pemberdayaan Sumber Daya Manusia, Pusat Pendidikan dan Pelatihan
Tenaga Kesehatan.

Fisher, S. (2010). Violence Against Women and Natural Disasters: Findings From
Post-Tsunami Sri Lanka. Violence Against Women, 16(8), 902–918.
https://doi.org/10.1177/1077801210377649.

Garcia-ortega, I., Kutcher, S., Abel, W., Alleyne, S., Baboolal, N., & Chehil, S.
(2012). Support for Vulnerable Groups Following a Disaster. In Mental
Health and Psychosocial Support in Disaster Situations in the Caribbean
(pp. 73–88).

Hoffman, S. (2009). Preparing for Disaster : Protecting the Most Vulnerable in


Emergencies (Vol. 42).

Iskandar Husein. 2003. Perlindungan Terhadap Kelompok Rentan (Wanita, Anak,


Minoritas, Suku Terasing, dll) Dalam Perspektif Hak Asasi Manusia,
Makalah Disajikan dalam Seminar Pembangunan Hukum Nasional ke VIII,
Denpasar, Bali.

25
26

Klynman, Y., Kouppari, N., & Mukhier, M., (Eds.). 2007. World Disaster Report
2007: Focus on Discrimination. Geneva, Switzerland: International
Federation of Red Cross and Red Crescent Societies.

Pemerintah, P. (2008). Peraturan pemerintah Ri Nomor 21 Tahun 2008 Tentang


Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana. Retrieved from
www.bpkp.go.id.

Powers, R., & Daily, E., (Eds.). 2010. International Disaster Nursing. Cambridge,
UK: The World Association for Disaster and Emergency Medicine &
Cambridge University Press.

Teja, M. (2018). Kesiapsiagaan Masyarakat Terhadap Kelompok Rentan Dalam


Menghadapi Bencana Alam Di Lombok. Puslit Badan Keahlian DPR RI,
X(17), 13–14.

Undang-Undang No. 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana.

Veenema, T.G. 2007. Disaster Nursing and Emergency Preparedness for


Chemical, Biological, and Radiological Terorism and Other Hazards (2nd
ed.). New York, NY: Springer Publishing Company, LLC.

World Health Organization (WHO) & International Council of Nursing (ICN).


2009. ICN Framework of Disaster Nursing Competencies. Geneva,
Switzerland: ICN.

Anda mungkin juga menyukai