id
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Sepsis
1. Definisi
ditambah dengan adanya infeksi pada organ tertentu berdasarkan hasil biakan positif
di tempat tersebut. (Fauci AS, 2008; Guntur A, 2006) Definisi lain menyebutkan
bahwa sepsis merupakan respon sistemik terhadap infeksi, berdasarkan adanya SIRS
ditambah dengan infeksi yang dibuktikan (proven) atau dengan suspek infeksi secara
Berdasarkan Bone et al, SIRS adalah pasien yang memiliki dua atau lebih
kriteria: suhu > 380C atau < 360C, denyut jantung > 90x/ mnt, laju respirasi > 20x/
mnt atau PaCO2 < 32 mmHg, hitung leukosit > 12.103/ mm3 atau > 10% sel imatur
sebagai infeksi lokal yang tidak terkontrol sehingga menyebabkan bakteremia atau
sepsis, sepsis berat dan syok septik. Sepsis berat adalah infeksi dengan adanya bukti
commit to user
6 6
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
kegagalan organ akibat hipoperfusi. Syok septik adalah sepsis berat dengan hipotensi
jaringan. Pada 10-30% kasus syok septik didapatkan bakteremia kultur positif dengan
2. Epidemiologi
Sepsis masih merupakan salah satu penyebab utama mortalitas dan morbiditas
pada anak di negara industri dan negara berkembang. Sepsis juga merupakan
angka kematian (Goldstein B, 2005; Powel KR, 2000; Hayden WR, 1994). Sepsis
selalu terjadi pada pasien dengan kondisi kritis dan angka kematiannya tinggi
terutama di negara yang sedang berkembang (Hayden WR, 1994; Data Rekam Medis
RSCM, 2009). Insiden sepsis pada anak 1-10 per 1000 kelahiran hidup dengan
kejadian sepsis pada pasien yang dirawat di unit perawatan intensif anak (Pediatrics
Intensive Care Unit/ PICU) mencapai lebih dari 42.000 kasus dengan angka kematian
sebesar 10,3%. Di Amerika Serikat sepsis merupakan penyebab kematian urutan ke-
13 pada anak yang berumur di atas 1 tahun dan dalam satu tahun dijumpai 500.000–
Di negara kita angka kematian karena sepsis masih sangat tinggi 50%-70%
dan apabila terjadi syok septik serta disfungsi organ multipel kematian meningkat
commit to user
7
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
(80%) (Brooks GF, 2001). Setiap tahun terdapat 750.000 kasus sepsis di Amerika
Serikat. Sekitar 10% penyebab pasien dirawat di Unit Perawatan Intensif adalah
Secara umum mortalitas di rumah sakit 30% pada sepsis berat dan 50%- 60%
untuk syok septic (Mims C, 2005). Departemen Ilmu Kesehatan Anak Rumah Sakit
Umum Pusat Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta sejak awal tahun 2009 hingga
saat ini menangani 61 kasus syok septik pada anak, dan 28 kasus (45,9%) di
3. Etiologi
Sebagian besar kasus sepsis disebabkan oleh adanya infeksi bakteri, beberapa
disebabkan oleh infeksi jamur dan penyebab lain (virus dan protozoa). Bakteri
inti).DNA pada bakteri berbentuk sirkuler, panjang dan biasa disebut nukleoid.DNA
bakteri tidak mempunyai intron dan hanya tersusun atas ekson saja. Bakteri juga
Bakteri dapat diklasifikasikan menjadi dua yaitu bakteri gram positif dan gram
commit to user
8
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
larutan iodine. Semua bakteri akan terwarnai biru pada fase ini. Kemudian sediaan
diberi alkohol. Sel gram positif akan tetap mengikat senyawa kristal violet-iodine
sehingga berwarna biru, sedangkan gram negatif akan hilang warnanya oleh alkohol.
berwarna merah) sehingga sel gram negatif akan mengikat warna merah (Mims C,
dimana dari satu sel membelah menjadi dua sel yang identik. Beberapa bakteri dapat
dua sel yang baru terbentuk. Dalam laboratorium, bakteri dibiakkan melalui dua
metode yaitu menggunakan medium padat dan medium cair. Media pertumbuhan
padat seperti plat agar digunakan untuk mengisolasi kultur murni dari bakteri yang
diinginkan. Jika kita menginginkan biakan dalam jumlah besar maka kita bisa
menggunakan media cair karena sel biakan dapat dengan mudah berkembang biak
dengan membelah diri dibandingkan dengan media padat (Mims C, 2005; Kristine
MJ, 2007).
commit to user
9
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
4. Patofisiologi
proses infeksi kuman patogen, inflamasi dan jalur koagulasi yang dikarakteristikkan
antiinflamasi seperti IL-1, reseptor antagonis (IL-1α), IL-4 dan IL-10. Overproduksi
sitokin inflamasi sebagai hasil dari aktivasi nuklear faktor кB(NF-кB) akan
menyebabkan aktivasi respon sistemik berupa SIRS terutama pada paru-paru, hati,
ginjal usus dan organ lainnya yang mempengaruhi permeabilitas vaskuler, fungsi
nekrosis jaringan, Multiple Organ Failure (MOF), syok septik serta kematian (Hack
kompleks LPS-LBP ini akan berikatan dengan CD14 yang merupakan reseptor di
membrane makrofag. CD14 akan mempresentasikan LPS kepada TLR4 yaitu reseptor
untuk transduksi sinyal sehingga terjadi aktivasi makrofag (Hack GE, 2000; Wilson,
2007).
commit to user
10
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
besar sel T untuk menghasilkan sitokin proinflamasi dalam jumlah yang sangat
banyak. Bakteri gram positif yang tidak mengeluarkan eksotoksin dapat menginduksi
syok dengan merangsang respon imun non spesifik melalui dua mekanisme yang
sama dengan bakteri gram negatif, namun melalui TLR2. Berbeda dengan bakteri
gram negatif, respon imun bakteri gram positif memerlukan perantaraan sel T limfosit
yang kurang menimbulkan respon inflamasi yang hebat (Hack GE, 2000; Wilson,
2007).
dari sel-sel akibat aktivasi makrofag. Pelepasan mediator ini akan mengaktivasi
sistem koagulasi dan komplemen. Infeksi akan dilawan oleh tubuh dengan imunitas
mengaktifkan jalur komplemen). Pengenalan patogen oleh CD14, TLR2 dan TLR4 di
membran monosit dan makrofag akan memicu pelepasan sitokin untuk mengaktifkan
menjadi sel T helper-1 (Th1) serta sel T helper-2 (Th2). Sel Th1 mensekresikan
sitokin proinflamasi seperti TNF dan IFNγ, IL-1β, IL-2, IL-6, IL-8 dan IL-12.Sel Th2
sitokin proinflamasi dan anti inflamasi diatur melalui mekanisme umpan balik yang
commit to user
11
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
melawan bakteri penyebab infeksi, namun jika berlebihan dapat menyebabkan syok,
gagal multi organ dan kematian. Sebaliknya sitokin anti inflamasi berperan penting
fungsi organ vital dapat berjalan dengan baik. Sitokin proinflamasi dapat
mempengaruhi organ secara langsung atau tidak langsung melalui mediator sekunder
Kerusakan akibat aktivasi makrofag terjadi pada endotel dan selanjutnya akan
trombin pada permukaan sel untuk melokalisasi koagulasi pada tempat yang
karena penurunan jumlah reseptor pada permukaan sel untuk sintesis dan ekspresi
molekul anti trombik. Selain itu inflamasi pada endotel akan menyebabkan
vasodilatasi pada otot polos pembuluh darah (Hack GE, 2000; Wilson, 2007).
5. Gejala Klinis
Menurut Doddy dan Eddy (1996), gejala dan tanda klinis pasien sepsis
berdasarkan Bone (1993) adalah: temperatur >38,30C atau <35,60C, denyut jantung
>90 kali/menit, frekuensi nafas >20 kali/menit atau PaCO2 <32mmHg, jumlah
leukosit >12.000 sel/mm³ atau <4000 sel/mm³ atau terdapat netrofil >10% (Guntur A,
commit to user
12
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
2006; Trevino S, 2007). Sepsis secara klinis dibagi berdasarkan beratnya kondisi,
yaitu sepsis, sepsis berat dan syok septik. Sepsis berat adalah infeksi dengan adanya
bukti kegagalan organ akibat hipoperfusi.Syok septik adalah sepsis berat dengan
hipoperfusi jaringan. Pada 10-30% kasus syok septik didapatkan kultur positif dengan
6. Diagnosis
a. Pemeriksaan Klinis
Tidak ada tes diagnostik yang spesifik terhadap sepsis. Temuan yang cukup sensitif
untuk mendiagnosis pasien dengan suspek sepsis antara lain demam atau hipotermia,
trombositopenia atau hipotensi. Gejala sepsis dapat bervariasi. Pada satu studi, 36%
pasien sepsis berat mempunyai suhu tubuh yang normal, 40% dengan laju respirasi
normal, 10% laju nadi normal, 33% didapatkan nilai hitung leukosit normal. Selain
itu terdapat pula kondisi- kondisi non infeksi dengan gejala seperti sepsis. Penyebab
SIRS non infeksi antara lain pankreatitis, trauma, emboli paru, overdosis obat (Fauci
AS, 2008).
dugaan atau bukti ditemukan infeksi di dalam darah. Diagnosis SIRS dapat
ditegakkan jikaditemukan minimal 2 gejala seperti instabilitas suhu (suhu lebih dari
commit to user
13
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
gejala klinis berupa gangguan multi organ (Guntur A, 2006; Munford RS, 2005).
b. Pemeriksaan Laboratorium
darah atau situs lokal infeksi. Tidak begitu banyak studi yamg menjelasksn waktu
yang optimal untuk melakukan pengambilan spesimen kultur darah agar dapat
menunjukkan bahwa masuknya bakteri ke aliran darah adalah sekitar 1 jam sebelum
terjadi menggigil dan demam. Akan tetapi penelitian lain menunjukkan tidak ada
perbedaan yang bermakna dalam kepositifan kultur darah yang didapat terhadap
kultur darah antara lain volume darah. Terdapat korelasi langsung antara volume
darah yang dikultur dengan hasil yang terkait dengan jumlah Coloni Forming Unit
(CFU) per mililiter pada darah.Makin besar volume darah, makin besar kemungkinan
untuk mendeteksi bakteri/ fungi dalam darah. Pasien anak seringkali memiliki jumlah
mikroorganisme yang lebih banyak di dalam darah, dan hasil yang cukup memuaskan
bisa didapatkan dengan volume kultur darah yang lebih sedikit. Pada dewasa
commit to user
14
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
per kultur. Pada anak-anak volume darah yang diambil tidak melebihi 1% dari total
volume darah (Mims C, 2005; Kristine MJ, 2007; Hack GE, 2000; Wilson, 2007;
konsentrasi faktor inhibitor dan menghambat aktivitasnya, darah harus didilusi pada
media cair dengan rasio darah-medium 1:5 sampai 1:10. Kegagalan mempertahankan
rasio ini dapat mengakibatkan hasil kultur negatif palsu. Spesimen darah anak dapat
di inokulasi pada botol pediatrik yang didesain untuk mempertahankan rasio darah-
medium dengan volume darah yang lebih sedikit (Mims C, 2005; Kristine MJ, 2007;
media cair untuk kultur darah mengandung antikoagulan. Antikoagulan yang paling
menjadi antikoagulan yang sering digunakan. Heparin, EDTA dan sitrat bersifat
commit to user
15
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
toksik terhadap mikroorganisme, sehingga darah tidak boleh di inokulasi pada media
yang menggunakan antikoagulan tersebut (Mims C, 2005; Kristine MJ, 2007; Hack
temperatur dan lamanya inkubasi. Kultur darah harus di inkubasi pada suhu 350C
standar untuk kultur darah rutin yang dikerjakan dengan sistem otomatis adalah
selama 5 hari (Mims C, 2005; Kristine MJ, 2007; Hack GE, 2000; Wilson, 2007;
7. Tata Laksana
laksana yang baik antara lain dengan pengobatan yang tepat pada sumber infeksi dan
AS, 2008).
pemeriksaan kultur belum didapatkan, maka dapat dilakukan terapi empirik yang
efektif melawan bakteri gram positif maupun gram negatif. Pemilihan antimikroba
komorbiditas, klinis dan pola resistensi lokal. Bila sudah didapatkan hasil kultur,
commit to user
16
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
dapat adekuat untuk pengobatan patogen yang diketahui (Fauci AS, 2008).
b. Efek samping dari zat antimikroba, tergantung dari toksisitas langsung terhadap
sel mamalia dan mikrobiodata normal yang terdapat pada jaringan tubuh manusia
akan tetap pada bentuk aktifnya pada jangka waktu yang cukup untuk mempunyai
d. Bahan kimia pada zat antimikroba yang menetapkan distribusinya dalam tubuh,
tergantung konsentrasi dari bahan kimia aktif antimikroba yang bermakna yang
Hampir 10% pasien tidak mendapatkan terapi antibiotik yang cepat untuk patogen
yang mendapat terapi antibiotik yang cepat dan tepat.Tempat terjadinya infeksi yang
tersembunyi, organism yang jarang atau organisme yang resisten terhadap antibiotik
cepat dan lengkap pada semua kasus. Pendekatan yang umumnya dilakukan adalah
memulai terapi antibiotika spektrum luas bila patogennya belum dapat dipastikan,
commit to user
17
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
kemudian mempersempit terapi bila telah didapatkan data mikrobiologi (Wolbink GJ,
1996).
Skor SOFA adalah suatu sistem penilaian untuk menentukan sejauh mana
organ seseorang masih berfungsi atau menentukan tingkat kegagalan fungsi organ.
perawatan intensif.Ini merupakan salah satu dari beberapa penilaian yang digunakan
di ruang perawatan intensif. Skor SOFA dinilai berdasarkan enam aspek, yaitu sistem
respirasi, sistem koagulasi, liver, sistem kardiovaskuler, sistem saraf pusat dan
ginjal.Peningkatan skor SOFA dalam 24-48 jam pertama selama perawatan di ruang
commit to user
18
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
C. C-Reaktif Protein
1. Definisi
muncul pada fase akut bila terdapat kerusakan jaringan. Protein ini diregulasi oleh IL-
terjadi di neuron, plak aterosklerotik, monosit dan limfosit (Tillet WS, 1930).
Gen CRP terletak pada kromosom pertama (1q21-Q23). Pada manusia terletak
pada kromosom 1q23,4, dan terdiri dari dua ekson dan satu intron. CRP disintesis
sebagai asam amino 206 polipeptida dan disekresikan oleh hepatosit sekitar 23
19
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
serum P. Protein ini ada dalam setiap evolusi vertebra, menunjukkan bahwa CRP
memiliki peran sentral dalam respon imun. CRP serum akan meningkat ketika ada
infeksi, baik infeksi oleh bakteri gram positif maupun gram negatif. Infeksi jamur
sistemik juga menyababkan peningkatan CRP serum, bahkan pada pasien dengan
imunodefisiensi, sebaliknya kadar CRP cenderung lebih rendah pada pasien dengan
infeksi virus yang akut. Belum ada data tentang CRP pada infeksi parasit, tetapi
meningkatkan kadar CRP serum. Pada infeksi kronis seperti tuberkulosis dan lepra,
kadar CRP akan sedikit meningkat atau normal (Yeh ET, 2005).
2. Biosintesis
CRP adalah suatu alfa-globulin yang diproduksi di hepar dan kadarnya akan
meningkat dalam 6 jam di dalam serum bila terjadi proses inflamasi akut. Kadar
CRP dalam plasma dapat meningkat dua kali lipat sekurang-kurangnya setiap 8 jam
dan mencapai puncaknya setelah kira-kira 50 jam. Setelah pengobatan yang efektif
dan rangsangan inflamasi hilang, maka kadar CRP akan turun secepatnya kira-kira 5-
7 jam waktu paruh plasma dari CRP eksogen. Protein ini disebut demikian karena
commit to user
20
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
pneumokokus, tetapi ternyata sekarang bahwa protein ini adalah suatu reaktan fase
akut, yaitu indikator nonspesifik untuk inflamasi, sama seperti LED. Berbeda dengan
LED, kadar CRP tidak dipengaruhi oleh anemia, kehamilan atau hiperglobulinemia.
Pada penderita dengan inflamasi yang berkaitan dengan kelainan imunologis, kadar
CRP merupakan suatu protein fase akut yang dihasilkan dominan oleh
terhadap keadaan-keadaan peradangan atau inflamasi. Respon fase akut ini dapat
berupa respon fisiologis dan biokimiawi yang mungkin saja terjadi pada kerusakan
perubahan fase akut sebenarnya didasarkan pada perubahan konsentrasi dari protein-
protein fase akut itu sendiri, yang dapat bersifat positif atau negatif dalam artian dapat
naik ataupun turun sebanyak 25%. Protein fase akut itu sendiri terdiri dari banyak
jenis baik dari sistem komplemen, sistem koagulasi dan fibrinolitik, antiprotease,
protein transpor dan lain-lain yang akan mengalami perubahan konsentrasi baik
commit to user
21
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
CRP mengikat bakteri, jamur, parasit dan ligan intrinsik (membran sel yang
rusak, kromatin, histon, dan sel apoptosis), kemudian mengaktifkan jalur komplemen
klasik dan mengikat reseptor imunoglobulin pada fagosit. Peran fisiologis CRP
adalah untuk mengikat fosfokolin diekspresikan pada permukaan sel-sel mati (dan
anggota dari kelas fase akut reaktan, sebagai tingkat yang meningkat secara dramatis
selama proses peradangan yang terjadi dalam tubuh. Peningkatan ini disebabkan oleh
kenaikan konsentrasi plasma IL-6, yang diproduksi terutama oleh makrofag serta
adipose (Balci C, 2003; Harbarth S, 2001). Ada suatu korelasi positif antara kadar
CRP dan IL-6. Tumor Necrosis Factor α (TNF α) dan IL-1β juga merupakan
mediator pengaturan sintesis CRP. CRP mengikat fosfokolin pada mikroba untuk
mengekspresikan reseptor untuk CRP. Hal ini juga diyakini memainkan satu peran
penting dalam kekebalan alamiah, sebagai sistem pertahanan awal terhadap infeksi.
Sekresi CRP dimulai dalam 4-6 jam dari adanya rangsangan, dua kali lipat dalam 8
jam dan memuncak pada 36-50 jam. Dengan rangsangan yang sangat intens,
konsentrasi CRP bisa naik di atas 500 mg/l, yaitu lebih dari 1000 kali nilai referensi.
Setelah rangsangan hilang, CRP akan menurun dengan cepat, memiliki waktu paruh
commit to user
22
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
CRP naik sampai 50.000 kali lipat dalam peradangan akut, seperti infeksi.
Peningkatan di atas batas normal dalam waktu 6 jam, dan puncak pada 48 jam. Waktu
tingkat keparahan penyebab/ pencetus). Kadar CRP serum pada manusia normal
memiliki rata-rata 8 mg/ l (0,3-1,7 mg/ l) dan dibawah 10 mg/ l pada 99% dari sampel
yang normal. Nilai di atas nilai normal menunjukkan adanya suatu proses penyakit
(Widman, 1995).
3. Cara Pemeriksaan
Tes CRP dapat dilakukan secara manual menggunakan metode aglutinasi atau metode
lain yang lebih maju, misalnya sandwich imunometri. Tes aglutinasi dilakukan
dengan menambahkan partikel latex yang dilapisi antibodi anti CRP pada serum atau
plasma penderita sehingga akan terjadi aglutinasi. Untuk menentukan titer CRP,
serum atau plasma penderita diencerkan dengan buffer glisin dengan pengenceran
bertingkat (1/2, 1/4, 1/8, 1/16 dan seterusnya) lalu direaksikan dengan latex. Titer
CRP adalah pengenceran tertinggi yang masih terjadi aglutinasi (Balci C, 2003).
dan konjugat diteteskan pada membran tes yang dilapisi antibodi mononklonal
spesifik CRP. CRP dalam sampel tangkap oleh antibodi yang terikat pada konjugat
commit to user
23
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
gold colloidal particle. Konjugat bebas dicuci dengan larutan pencuci (washing
solution). Jika terdapat CRP dalam sampel pada levelpatologis, maka akan terbentuk
warna merah-coklat pada area tes dengan intensitas warna yang proporsional terhadap
kadar. Intensitas warna diukur secara kuantitatif menggunakan Nycocard reader II.
Nilai rujukan normal CRP dengan metode sandwich imunometri adalah < 5 mg/L.
Nilai rujukan ini tentu akan berbeda di setiap laboratorium tergantung reagen dan
D. Prokalsitonin
1. Definisi
Prokalsitinin (PCT) adalah suatu protein, asam amino 116 dan merupakan
prekursor hormon kalsitonin. Terdiri atas 116 asam amino dengan berat molekul 13
kDa protein, yang disandi oleh gen Calc-1 di lengan pendek kromosom 11 dan
diproduksi pada sel C kelenjar tiroid sebagai prohormon dari kalsitonin. Produksi
diatur oleh kalsitonin I (CALC I), gen pada kromosom 11p15.2-p15.1, merupakan
gen dengan enam ekson meskipun ekson pertama tidak nyata diterjemahkan.
Pada manusia, PCT sebagian besar terdapat pada hepar, tetapi juga didapatkan
pada paru, ginjal dan testis. Urutan lengkap rantai PCT sudah dikenal sejak tahun
1984, dan gen yang mengkode pembuatannya sudah diketahui sejak tahun 1989.Sejak
tahun 1993 diketahui bahwa peningkatan konsentrasi PCT dalam serum berkaitan
commit to user
24
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
dengan sepsis bakteri pada anak-anak. Sejak awal tahun 1990-an PCT pertama kali
digambarkan sebagai tanda spesifik infeksi bakteri. Kepekatan serum PCT meningkat
terbukti bahwa kadar PCT dalam serum meningkat secara signifikan bila terdapat
infeksi bakteri, sehingga saat ini PCT dianggap merupakan suatu penanda awal yang
spesifik untuk sepsis (Harbarth S, 2001; Meisner M, 1996; Whicher J, 2001; Flores
Prokalsitonin adalah protein yang terdiri dari 116 asam amino dengan berat molekul
kurang lebih 13 kDa, yang dikode dengan gen Calc-1 yang terletak pada kromosom
11 dan diproduksi pada sel C kelenjar tiroid sebagai prohormon dari kalsitonin
(Whicher J, 2001; Flores Juan C, 2003, Rau B, 2004; Meisner M, 2002; Simon L,
Gen Calc-1 menghasilkan dua transkripsi yang berbeda oleh tissue specific
alternative splicing. Yang pertama, didapat dari exon 1-4 dari 6 exonyang merupakan
kode untuk pre PCT, adalah sebuah rantai peptida yang terdiri dari 25 asam amino
signal hidrofobik. Pada sel C kelenjar tiroid, proses proteolitik menghasilkan sebuah
fragmen N- terminal (57 AA), kalsitonin 32 (AA) dan katakalsin 21 (AA). Kehadiran
commit to user
25
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
sinyalo peptida membuat PCT disekresikan secara intak oleh glikosilasi oleh sel lain.
Transkrip yang kedua dipotong secara terpilih yang mengandung exon 1,2,3,5,6 dan
merupakan kode untuk Calcitonin Gene- Related Peptide (CGRP), dimana CGRP di
ekspresikan secara luas pada saraf di otak, pembuluh darah dan saluran cerna. CGRP
vaskuler (Whicher J, 2001; Flores Juan C, 2003; Rau B, 2004; Simon L, 2004).
tiroid C sel bukanlah satu-satunya tempat asal PCT. PCT mensekresikan semua
produk-produk biosintetik pathway dan telah dideteksi dalam homogenates small cell
carcinoma pada paru manusia. PCT mRNA diekspresikan pada sel mononuklear
lipopolisakarida mempunyai efek stimulasi. Sekitar 1/3 limfosit dan monosit manusia
yang tidak distimulasi mengandung protein PCT yang dapat didemonstrasikan secara
imunologi. Keadaan ini dapat dipicu oleh lipopolisakarida bakteri, tetapi monosit
pasien dengan syok septik menunjukkan nilai basal yang meningkat dan peningkatan
Pada infeksi bakteri yang berat atau sepsis, proteolisis spesifik gagal sehingga
terjadi konsentrasi yang tinggi dari protein prekursor, begitu juga fragmen PCT yang
berakumulasi dalam plasma. Asal mula sintesis PCT yang dirangsang oleh inflamasi
belum diketahui dengan jelas saat ini. Sel-sel neuroendokrin di paru atau usus saat ini
commit to user
26
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
dianggap sebagai sumber utama PCT, karena pasien-pasien dengan tiroidektomi total
mampu menghasilkan PCT pada keadaan sepsis (Rau B, 2004; Reith HB, 2002).
Produksi plasma PCT dapat diinduksi dari manusia sehat dengan injeksi
terdeteksi 2 jam sesudah injeksi endotoksin dan dalam waktu 6-8 jam kadarPCT akan
meningkat dan mencapai plateau dalam waktu kurang lebih 12 jam. Setelah 2-3 hari,
kadar PCT akan kembali akan kembali normal. Induksi yang spesifik dan cepat oleh
stimulus yang adekuat akan menimbulkan produksi yang tinggi dari PCT pada pasien
dengan infeksi bakteri yang berat atau sepsis. Keadaan ini memperlihatkan
patofisiologi pada respon imun akut (Lopez AT, 2008; Bohuon C, 2002).
Pada orang sehat, PCT diubah dan tidak ada sisa yang bebas ke aliran darah,
karena itu kadar PCT tidak terdeteksi (< 0,1 ng/ml). Tetapi selama infeksi berat yang
bermanifestasi sistemik, kadar PCT dapat meningkat melebihi 100 ng/ml. Berbeda
dengan waktu paruh kalsitonin yang singkat, PCT memiliki waktu paruh yang
Kadar PCT sangat stabil baik in vivo maupun ex vivo walaupun pada suhu
ruangan. Konsentrasi PCT pada darah arteri dan vena tidak berbeda.Tidak ada
perbedaan konsentrasi PCT pada sampel serum dan plasma dengan antikoagulan yang
berbeda, perbedaan yang signifikan hanya pada plasma lithium heparin (Shafig N,
2005). Konsentrasi PCT berhubungan dengan berat atau ringannya infeksi, tetapi
commit to user
27
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
tidak dipengaruhi oleh tipe kuman.Anna Fernandez dkk, tahun 2003 melakukan
penelitian tentang PCT pada pediatri untuk diagnosis awal pada bayi yang demam
karena infeksi bakteri. Mereka mendapatkan bahwa PCT merupakan marker yang
sistemik. Infeksi yang disebabkan protozoa, infeksi non bakteri (virus), dan penyakit
autoimun tidak menginduksi PCT. Kadar PCT muncul cepat dalam 2 jam setelah
rangsangan, puncaknya setelah 12-48 jam dan secara perlahan menurun dalam 48-72
jam. Pada keadaan inflamasi akibat bakteri kadar PCT selalu >2 ng/ml. Pada kasus
akibat infeksi virus kadar PCT >0,05 ng/ml, tetapi biasanya <1 ng/ml (Oberhoffer M,
1999).
Pada percobaan orang sehat, yang diberi dosis rendah secara intravena
sampai 2 jam demam dan berkembangmenggigil, kaku dan mialgia dalam waktu 1
sampai3 jam. PCT tidak dapat ditemukan dalam plasmapada 2 jam pertama, tetapi
secara tetap tertemukansetelah 4 jam, meningkat tajam pada 6 jam dan tetaptinggi
selama 8 sampai 24 jam. Kadar plasma TNF-αmeningkat secara tajam setelah 1 jam,
puncaknyasetelah 2 jam dan menurun ke garis dasar sesudah6 jam. Kadar plasma IL-
commit to user
28
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
6 mencapai puncak pada 3 jam dan kembali ke garis dasar setelah 8 jam.Peningkatan
plasma PCT terjadi secara singkatsesudah kadar sitokin mencapai puncak. Penelitian
dan mencapai puncak beberapa jam sesudah PCT. Dapat disimpulkan bahwa
peningkatan kadarserum PCT secara langsung atau tidak langsung dibantu oleh
sitokin rhTNF-α dan rhIL-6. CRP dan Serum Amiloid A Protein (SAA) tanggap
terhadap rangsangan yang sama walaupun lebih lambat (Shafig N, 2005; Oberhoffer
M, 1999).
ke katakalsin (Gambar 4). Batas untuk mengetahui pemeriksaan adalah 0,1 ng/ml dan
Pemeriksaan juga tidak dipengaruhi antibiotika, sedatif dan agen vasoaktif yang
commit to user
29
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
setelah 24 jam 10 %), pada suhu -20o C stabil selama 1 bulan, pada keadaan beku
atau cair siklus 3 kali PCT sampel menurun 3 %. Waktu paruh in vivo kira-kira 24
jam, pengukuran PCT untuk memantau penderita minimum satu kali sehari.
bila tetap atau kadar PCT meningkat tidak ada perubahan dengan pengobatan berarti
infeksi dengan risiko tinggi (paska transplantasi atau politrauma): bukan komplikasi
infeksi kadar PCT rendah atau menurun dari kadar yang tinggi (sesudah beberapa hari
paskabedah). Bila kadar PCT tetap tinggi atau kadar PCT meningkat merupakan
kepekatan PCT sampai12,4% dan 6,3% pada suhu 4°C. Untuk pemeriksaan ini hanya
dibutuhkan 20 ul sampel serum atau plasma. Kepekatan PCT yang berasal sampel
dari darah arteri atau vena tidak berbeda, paling baik menggunakan plasma EDTA.
Sampel disimpan padasuhu ruang dan harus diperiksa dalam waktu 4 jam pasca
serum (7,6% lebih tinggi). Pada penelitian lain ketelitian yang baik ditemukan
koefisien variasi (CV) antar pemeriksaan bervariasi antara 7,2% pada kepekatan
commit to user
30
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
serum PCT1,2 ng/ml dan 3,2% pada kepekatan 52 ng/ml. Pada pengamatan
(kecuali pada kasus haemolisis berat). Kadar PCT kemungkinan juga meningkat
selama24 jam pertama kehidupan. Penderita dengan carcinoma C-cell tiroid dan sel
(Oberhoffer M, 1999).
Multi Organ
1. Penanda Infeksi
Telah lama diketahui beberapa tes laboratorium yang dapat digunakan untuk
mengetahui adanya proses- proses inflamasi seperti jumlah leukosit, laju endap darah,
C-Reaktif Protein, Tumor Nekrosis Faktor α serta interleukin 1 dan 6. Akan tetapi
tes-tes tersebut tidaklah terlalu spesifik, karena itu, sulit sekali membedakan
diagnosis antara Systemic Inflamatory Response Syndrome (SIRS) dan sepsis pada
pasien-pasien di ruang rawat intensif dengan cepat karena harus menunggu hasil
kultur darah selama beberapa hari, sementara pasien harus mendapatkan pengobatan
yang tepat dalam waktu segera. Sementara itu, hasil kultur darah positif bisa juga
karena kontaminasi dan hasil kultur darah negatif belum tentu menyingkirkan sepsis
commit to user
31
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
Secara tradisional, infeksi berat dapat dikenali dari beberapa tanda klinis
data laboratorium rutin seperti hitung leukosit, kadar C- Reaktif Protein. Namun
demikian, tidak jarang ditemukan hasil laboratorium rutin dalam rentang normal.
Parameter lain yang digunakan antara lain sitokin pro inflamasi seperti TNF α, IL-1β
dan IL-6. Sayangnya kadar sitokin pro inflamasi biasanya hanya meningkat untuk
waktu yang relatif singkat. Oleh karena pengukuran klinis dan laboratorium yang
kurang sensitif dan spesifik, diperlukan tes yang dapat membedakan antara inflamasi
yang disebabkan karena infeksi dan non infeksi. Akhir-akhir ini telah dikembangkan
tes baru yang digunakan untuk mendeteksi inflamasi karena infeksi yaitu
Multi Organ
C-Reaktif Protein (CRP) merupakan protein pentamer siklik 115 kDa yang terdiri
> 30 mg/ l didapati sensitifitas 81%, spesifisitas 89%, PPV 91% dan NPV 76%,
commit to user
32
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
namun peneliti lain mengatakan kadar CRP tidak berbeda bermakna antara sepsis
CRP merupakan reaktan fase akut yang akan meningkat jika terjadi proses
peradangan atau infeksi bakteri. Infeksi bakteri akan memicu makrofag untuk
plasma akan menyebabkan terjadinya peningkatan kadar CRP dalam plasma. Sekresi
CRP dimulai dalam 4-6 jam dari adanya rangsangan, dua kali lipat dalam 8 jam dan
Prokalsitonin (PCT) adalah polipeptida yang terdiri dari 116 asam amino dan
PCT dibentuk oleh pre PCT yang terdiri dari 141 asam amino dengan bobot molekul
PCT sangat praktis. Peningkatan PCT yang cukup besar terjadi bila terdapat reaksi
commit to user
33
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
beberapa jenis sitokin. Beberapa penyakit di luar infeksi yang dapat meningkatkan
PCT antara lain malaria, penyakit jamur sistemik, penyakit autoimun bedah jantung,
peningkatan sedikit kadar PCT pada keadaan infeksi virus, neoplastik dan penyakit
autoimun, sedangkan pada penyakit infeksi bakteri kronik tanpa inflamasi, reaksi
alergi dan infeksi bakteri yang terlokalisasi tidak didapatkan peningkatan PCT.
Konsentrasi normal PCT dalam serum plasma di bawah 0,5 ng/ml. Pada keadaan
inflamasi kronik dan penyakit autoimun, infeksi virus dan infeksi lokal kadar PCT <
0,5 ng/ ml, sedangkan pada keadaan SIRS, multipel trauma dan luka bakar kadar PCT
0,5-2 ng/ ml dan kadar PCT > 2 ng/ ml merupakan prediktor infeksi berat, sepsis dan
kegagalan beberapa organ (paling sering 10-100 ng/ ml) (Meisner M, 1996).
dan mengurangi hubungan stimulasi LPS terhadap produksi TNF pada kultur whole
blood. Menurut Whicher et al, pemberian rekombinan human PCT terhadap sepsis
pemberian netralisasi antibodi. Kemungkinan peran PCT dalam fisiologi sepsis yang
didukung oleh untaian (sequencing homolog) antara PCT dan sitokin seperti TNF, IL-
data yang telah dipublikasikan, terbukti bahwa baik infeksi virus maupun bakteri
commit to user
34
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
disertai dengan SIRS berkaitan dengan kadar PCT yang tinggi dibandingkandengan
infeksi bakteri dan virus yang bersifat lokal. Nilai 5 ng/ml pada anak-anak telah
dilaporkan untuk mengenali sepsis bakteri yang bernilai peramalan positif dan negatif
adalah 100% dan 82% (Guntur A, 2006). Kadar PCT dalam darah ≥ 10 ng/ml selalu
berhubungan dengan sepsis berat (sepsis yang disertai paling tidak 1 disfungsi organ)
commit to user
35
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
hepatosit dan muncul pada fase akut bila terdapat kerusakan jaringan. Protein ini
diregulasi oleh IL-6 dan IL-8 yang dapat mengaktifkan komplemen (Tillet
WS, 1930). Disintesis sebagai asam amino 206 polipeptida dan disekresikan oleh
36
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
adalah suatu protein, asam amino 116 dan merupakan prekursor hormon kalsitonin.
Terdiri atas 116 asam amino dengan berat molekul 13 kDa protein (Harbarth S, 2001;
Gen CRP terletak pada kromosom pertama (1q21-Q23). Pada manusia terletak pada
kromosom 1q23, 4, dan terdiri dari duaekson dan satu intron (Volanakis JE, 1977;
Thompson D, 1999), sedangkan PCT disandi oleh gen Calc-1 di lengan pendek
kromosom 11 dan diproduksi pada sel C kelenjar tiroid sebagai prohormon dari
kalsitonin. Produksi diatur oleh kalsitonin I (CALC I), gen pada kromosom 11p15.2-
p15.1, merupakan gen dengan enam ekson meskipun ekson pertama tidak nyata
CRP serum akan meningkat ketika ada infeksi, baik infeksi oleh bakteri gram
positif maupun gram negatif. Infeksi jamur sistemik juga menyababkan peningkatan
CRP serum, bahkan pada pasien dengan imunodefisiensi. Sebaliknya kadar CRP
cenderung lebih rendah pada pasien dengan infeksi virus yang akut. Belum ada data
tentang CRP pada infeksi parasit, tetapi beberapa protozoa seperti malaria,
pneumocystosis dan toxoplasmosis juga dapat meningkatkan kadar CRP serum. Pada
infeksi kronis seperti tuberkulosis dan lepra, kadar CRP akan sedikit meningkat atau
commit to user
37
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
normal (Despres JP, 2008). PCT diinduksi oleh endotoksin yang dihasilkan bakteri
selama infeksi sistemik. Infeksi yang disebabkan protozoa, infeksi non bakteri
(virus), dan penyakit autoimun tidak menginduksi PCT (Meisner M, 1996). Terjadi
peningkatan sedikit kadar PCT pada keadaan infeksi virus, neoplastik dan penyakit
autoimun, sedangkan pada penyakit infeksi bakteri kronik tanpa inflamasi, reaksi
alergi dan infeksi bakteri yang terlokalisasi tidak didapatkan peningkatan PCT. Pola
produksi prokalsitonin tampak mirip dengan beberapa komponen tangga sitokin, dan
penanda aktivasi imunitas seluler yang menunjukkan bahwa ini merupakan pereaksi
fase akut. Kadar prokalsitonin dalam serum yang ditemukan sangat berhubungan
dengan keparahan infeksi bakteri dan SIRS. Infeksi yang terjadi terbatas di organ
tunggal tanpa ada tanggap sistemik reaksi inflamasi, kadar prokalsitonin rendah atau
CRP adalah suatu alfa-globulin yang diproduksi di hepar dan kadarnya akan
meningkat dalam 6 jam di dalam serum bila terjadi proses inflamasi akut. Kadar CRP
dalam plasma dapat meningkat dua kali lipat sekurang-kurangnya setiap 8 jam dan
mencapai puncaknya setelah kira-kira 50 jam. Setelah pengobatan yang efektif dan
rangsangan inflamasi hilang, maka kadar CRP akan turun secepatnya, kira-kira 5-7
jam waktu paruh plasma dari CRP eksogen. CRP merupakan suatu reaktan fase akut,
yaitu indikator nonspesifik untuk inflamasi, sama halnya seperti LED. Tetapi berbeda
dengan LED, kadar CRP tidak dipengaruhi oleh anemia, kehamilan atau
hiperglobulinemia (Pasceri V, 2000; Despres JP, 2008). Kadar PCT muncul cepat
commit to user
38
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
dalam 2 jam setelah rangsangan, puncaknya setelah 12-48 jam dan secara perlahan
menurun dalam 48-72 jam. Konsentrasi PCT berhubungan dengan berat atau
ringannya infeksi, tetapi tidak dipengaruhi oleh tipe kuman. PCT memiliki waktu
paruh yang panjang, yaitu 25-35 jam (Harbarth S, 2001; Meisner M, 1996; Whicher
J, 2001). Kadar prokalsitonin sangat stabil baik in vivo maupun ex vivo walaupun
pada suhu ruangan. Konsentrasi PCT pada darah arteri dan vena tidak berbeda. Tidak
ada perbedaan konsentrasi PCT pada sampel serum dan plasma dengan antikoagulan
bahwa sensitifitas PCT dalam diagnosis sepsis adalah 80%, namun spesifitasnya
rendah (Runtunuwu AL, 2008), berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh
spesifitas 70-100% dalam diagnosis sepsis (O’Connor E, 2001). Penelitian lain, yang
dilakukan oleh Gendrel, dkk serta Lopez, dkk menyatakan bahwa PCT mempunyai
spesifisitas yang tinggi, yaitu 100% dan sensitivitas 69%. Penelitian Somech, dkk
menyebutkan bahwa PCT mempunyai sensitivitas dan spesifitas yang lebih baik
daripada CRP, IL-6 dan interferon α dalam membedakan infeksi virus dan bakteri
(Lopez AT, 2008; Bohuon C, 2002; Shafig N, 2005; Oberhoffer M, 1999; Runtunuwu
Penelitian lain yang dilakukan Meynaar, dkk mendapatkan bahwa PCT lebih
baik dalam membedakan antara SIRS dan sepsis dibandingkan dengan CRP dan IL-6,
commit to user
39
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
terutama dalam 24 jam pertama, tetapi meskipun PCT adalah yang terbaik sebagai
marker sepsis, tetap harus diintegrasikan dengan data klinis yang lainnya dalam
bahwa PCT paling baik dalam membedakan infeksi yang disebabkan oleh bakteri
gram positif atau gram negatif dibandingkan dengan CRP dan jumlah leukosit
(Charles PE, 2008). Penelitian yang dilakukan oleh Hatherill, dkk menyatakan bahwa
PCT mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang lebih baik daripada CRP dan
jumlah leukosit dalam diagnosis sepsis dan mempunyai nilai prediktif yang paling
commit to user
40
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
F. Kerangka Teori
Sepsis Parasit
Bakteri Jamur
Virus
Gram (-) Gram (+)
TLR4
Aktivasi makrofag
CRP ↑ PCT ↑
commit to user
41
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
Klinis: Laboratorium:
Eksklusi:
commit to user
42
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
Pasien dengan sepsis yang dirawat di PICU berdasarkan kriteria klinis yaitu suhu >
380C, HR > 90x/mnt, RR > 20x/ mnt dan kriteria laboratorium leukosit >
12.103/mm3, dengan kriteria eksklusi disfungsi multi organ bukan akibat sepsis,
adanya keganasan dan pankreatitis. Karena adanya sepsis, terjadi aktivasi makrofag
dan sitokin pro inflamasi, sehingga bisa menyebabkan disfungsi multi organ. Hal ini
menyebabkan CRP dan PCT meningkat. Pada pasien dengan sepsis tersebut juga
liver, kardiovaskuler, saraf pusat dan ginjal. Selanjutnya peningkatan kadar CRP dan
PCT tersebut dihubungkan dengan skor SOFA untuk menilai adanya disfungsi multi
organ.
H. Hipotesis
Prokalsitonin lebih baik untuk menunjukkan disfungsi multi organ akibat sepsis pada
commit to user
43