Anda di halaman 1dari 38

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.

id

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Sepsis

1. Definisi

Sepsis adalah adanya SIRS (Systemic Inflammatory Response Syndrome)

ditambah dengan adanya infeksi pada organ tertentu berdasarkan hasil biakan positif

di tempat tersebut. (Fauci AS, 2008; Guntur A, 2006) Definisi lain menyebutkan

bahwa sepsis merupakan respon sistemik terhadap infeksi, berdasarkan adanya SIRS

ditambah dengan infeksi yang dibuktikan (proven) atau dengan suspek infeksi secara

klinis (Trevino S, 2007).

Berdasarkan Bone et al, SIRS adalah pasien yang memiliki dua atau lebih

kriteria: suhu > 380C atau < 360C, denyut jantung > 90x/ mnt, laju respirasi > 20x/

mnt atau PaCO2 < 32 mmHg, hitung leukosit > 12.103/ mm3 atau > 10% sel imatur

(Trevino S, 2007; Munford RS, 2005). Penyebab infeksi sistemik dihipotesiskan

sebagai infeksi lokal yang tidak terkontrol sehingga menyebabkan bakteremia atau

toksemia (endotoksin atau eksotoksin) yang menstimulasi reaksi inflamasi di dalam

pembuluh darah dan organ lain (Munford RS, 2005).

Secara klinis, sepsis dibagi menjadi 3, berdasarkan beratnya kondisi yaitu

sepsis, sepsis berat dan syok septik. Sepsis berat adalah infeksi dengan adanya bukti

commit to user

6 6
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

kegagalan organ akibat hipoperfusi. Syok septik adalah sepsis berat dengan hipotensi

yang persisten setelah diberikan resusitasi cairan dan menyebabkan hipoperfusi

jaringan. Pada 10-30% kasus syok septik didapatkan bakteremia kultur positif dengan

mortalitas mencapai 40-50% (Guntur A, 2006).

2. Epidemiologi

Sepsis masih merupakan salah satu penyebab utama mortalitas dan morbiditas

pada anak di negara industri dan negara berkembang. Sepsis juga merupakan

kedaruratan medik sehingga memerlukan pengobatan segera untuk menurunkan

angka kematian (Goldstein B, 2005; Powel KR, 2000; Hayden WR, 1994). Sepsis

selalu terjadi pada pasien dengan kondisi kritis dan angka kematiannya tinggi

terutama di negara yang sedang berkembang (Hayden WR, 1994; Data Rekam Medis

RSCM, 2009). Insiden sepsis pada anak 1-10 per 1000 kelahiran hidup dengan

mortalitas 13%-50%. (Brooks GF, 2001) Data di Amerika Serikat menunjukkan

kejadian sepsis pada pasien yang dirawat di unit perawatan intensif anak (Pediatrics

Intensive Care Unit/ PICU) mencapai lebih dari 42.000 kasus dengan angka kematian

sebesar 10,3%. Di Amerika Serikat sepsis merupakan penyebab kematian urutan ke-

13 pada anak yang berumur di atas 1 tahun dan dalam satu tahun dijumpai 500.000–

750.000 kasus, 50%-70% dilaporkan bertahan hidup (Brooks GF, 2001).

Di negara kita angka kematian karena sepsis masih sangat tinggi 50%-70%

dan apabila terjadi syok septik serta disfungsi organ multipel kematian meningkat
commit to user

7
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

(80%) (Brooks GF, 2001). Setiap tahun terdapat 750.000 kasus sepsis di Amerika

Serikat. Sekitar 10% penyebab pasien dirawat di Unit Perawatan Intensif adalah

karena syok, dengan 3% di antaranya akan mengalami syok septik.

Secara umum mortalitas di rumah sakit 30% pada sepsis berat dan 50%- 60%

untuk syok septic (Mims C, 2005). Departemen Ilmu Kesehatan Anak Rumah Sakit

Umum Pusat Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta sejak awal tahun 2009 hingga

saat ini menangani 61 kasus syok septik pada anak, dan 28 kasus (45,9%) di

antaranya berakhir dengan kematian (Brooks GF, 2001).

3. Etiologi

Sebagian besar kasus sepsis disebabkan oleh adanya infeksi bakteri, beberapa

disebabkan oleh infeksi jamur dan penyebab lain (virus dan protozoa). Bakteri

merupakan salah satu organisme golongan prokariotik (tidak mempunyai selubung

inti).DNA pada bakteri berbentuk sirkuler, panjang dan biasa disebut nukleoid.DNA

bakteri tidak mempunyai intron dan hanya tersusun atas ekson saja. Bakteri juga

mempunyai DNA ekstrakromosomal yang tergabung menjadi plasmid yang

berbentuk kecil dan sirkuler (Mims C, 2005).

Bakteri dapat diklasifikasikan menjadi dua yaitu bakteri gram positif dan gram

negatif berdasarkan pewarnaan gram. Pewarnaan gram adalah prosedur mikrobiologi

dasar untuk mendeteksi dan mengidentifikasi bakteri. Prosedur pewarnaan gram

dimulai dengan menggunakan pewarna basa, kristal violet, kemudian ditambahkan

commit to user

8
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

larutan iodine. Semua bakteri akan terwarnai biru pada fase ini. Kemudian sediaan

diberi alkohol. Sel gram positif akan tetap mengikat senyawa kristal violet-iodine

sehingga berwarna biru, sedangkan gram negatif akan hilang warnanya oleh alkohol.

Sebagai langkah terakhir, ditambahkan counterstain (misalnya safranin yang

berwarna merah) sehingga sel gram negatif akan mengikat warna merah (Mims C,

2005; Kristine MJ, 2007).

Semua bakteri berkembang biak melalui pembelahan biner (aseksual)

dimana dari satu sel membelah menjadi dua sel yang identik. Beberapa bakteri dapat

membentuk struktur reproduktif yang lebih kompleks yang memfasilitasi penguraian

dua sel yang baru terbentuk. Dalam laboratorium, bakteri dibiakkan melalui dua

metode yaitu menggunakan medium padat dan medium cair. Media pertumbuhan

padat seperti plat agar digunakan untuk mengisolasi kultur murni dari bakteri yang

diinginkan. Jika kita menginginkan biakan dalam jumlah besar maka kita bisa

menggunakan media cair karena sel biakan dapat dengan mudah berkembang biak

dengan membelah diri dibandingkan dengan media padat (Mims C, 2005; Kristine

MJ, 2007).

commit to user

9
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

4. Patofisiologi

Patofisiologi sepsis sangat kompleks karena melibatkan interaksi antara

proses infeksi kuman patogen, inflamasi dan jalur koagulasi yang dikarakteristikkan

sebagai ketidakseimbangan antara sitokin proinflamasi seperti tumor nekrosis factor-

a (TNF-α), interleukin-1β (IL-1β), IL-6 daninterferon-γ (IFNγ) dengan sitokin

antiinflamasi seperti IL-1, reseptor antagonis (IL-1α), IL-4 dan IL-10. Overproduksi

sitokin inflamasi sebagai hasil dari aktivasi nuklear faktor кB(NF-кB) akan

menyebabkan aktivasi respon sistemik berupa SIRS terutama pada paru-paru, hati,

ginjal usus dan organ lainnya yang mempengaruhi permeabilitas vaskuler, fungsi

jantung dan menginduksi perubahan metabolik sehingga terjadi apoptosis maupun

nekrosis jaringan, Multiple Organ Failure (MOF), syok septik serta kematian (Hack

GE, 2000; Wilson, 2007).

Respon inflamasi terhadap bakteri gram negatif dimulai dengan pelepasan

sejumlah besar endotoksin berupa Lipopolisakarida (LPS). LPS mengikat protein

spesifik dalam plasma yaitu LPB (Lipopolisacharide Binding Protein). Selanjutnya

kompleks LPS-LBP ini akan berikatan dengan CD14 yang merupakan reseptor di

membrane makrofag. CD14 akan mempresentasikan LPS kepada TLR4 yaitu reseptor

untuk transduksi sinyal sehingga terjadi aktivasi makrofag (Hack GE, 2000; Wilson,

2007).

commit to user

10
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Respon inflamasi bakteri gram positif melalui dua mekanisme, yaitu

menghasilkan eksotoksin yang bekerja sebagai superantigen dan dengan melepaskan

fragmen dinding sel yang merangsang sel imun.Superantigen mengaktifkan sejumlah

besar sel T untuk menghasilkan sitokin proinflamasi dalam jumlah yang sangat

banyak. Bakteri gram positif yang tidak mengeluarkan eksotoksin dapat menginduksi

syok dengan merangsang respon imun non spesifik melalui dua mekanisme yang

sama dengan bakteri gram negatif, namun melalui TLR2. Berbeda dengan bakteri

gram negatif, respon imun bakteri gram positif memerlukan perantaraan sel T limfosit

yang kurang menimbulkan respon inflamasi yang hebat (Hack GE, 2000; Wilson,

2007).

Kedua kelompok mikroorganisme di atas, memicu kaskade sepsis yang

dimulai dengan pelepasan mediator inflamasi. Mediator inflamasi primer dilepaskan

dari sel-sel akibat aktivasi makrofag. Pelepasan mediator ini akan mengaktivasi

sistem koagulasi dan komplemen. Infeksi akan dilawan oleh tubuh dengan imunitas

seluler (monosit, makrofag, neutrofil), serta humoral (membentuk antibodi dan

mengaktifkan jalur komplemen). Pengenalan patogen oleh CD14, TLR2 dan TLR4 di

membran monosit dan makrofag akan memicu pelepasan sitokin untuk mengaktifkan

sistem imunitas seluler. Pengaktifan ini akan menyebabkan sel T berdiferensiasi

menjadi sel T helper-1 (Th1) serta sel T helper-2 (Th2). Sel Th1 mensekresikan

sitokin proinflamasi seperti TNF dan IFNγ, IL-1β, IL-2, IL-6, IL-8 dan IL-12.Sel Th2

mensekresikan sitokin anti inflamasi seperti IL-4, IL-10 dan IL-13.Pembentukan

sitokin proinflamasi dan anti inflamasi diatur melalui mekanisme umpan balik yang
commit to user

11
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

kompleks. Sitokin proinflamasi terutama berperan menghasilkan sistem imun untuk

melawan bakteri penyebab infeksi, namun jika berlebihan dapat menyebabkan syok,

gagal multi organ dan kematian. Sebaliknya sitokin anti inflamasi berperan penting

untuk mengatasi inflamasi berlebihan dan mempertahankan keseimbangan tubuh agar

fungsi organ vital dapat berjalan dengan baik. Sitokin proinflamasi dapat

mempengaruhi organ secara langsung atau tidak langsung melalui mediator sekunder

(nitrit oxide, tromboksan, leukotrien, PAF, prostaglandin) dan komplemen.

Kerusakan akibat aktivasi makrofag terjadi pada endotel dan selanjutnya akan

menimbulkan migrasi leukosit serta pembentukan mikrotrombi sehingga

menyebabkan kerusakan organ. Aktivasi endotel akan meningkatkan jumlah reseptor

trombin pada permukaan sel untuk melokalisasi koagulasi pada tempat yang

mengalami cedera. Cedera endotel juga berkaitan dengan gangguan fibrinolisis,

karena penurunan jumlah reseptor pada permukaan sel untuk sintesis dan ekspresi

molekul anti trombik. Selain itu inflamasi pada endotel akan menyebabkan

vasodilatasi pada otot polos pembuluh darah (Hack GE, 2000; Wilson, 2007).

5. Gejala Klinis

Menurut Doddy dan Eddy (1996), gejala dan tanda klinis pasien sepsis

berdasarkan Bone (1993) adalah: temperatur >38,30C atau <35,60C, denyut jantung

>90 kali/menit, frekuensi nafas >20 kali/menit atau PaCO2 <32mmHg, jumlah

leukosit >12.000 sel/mm³ atau <4000 sel/mm³ atau terdapat netrofil >10% (Guntur A,
commit to user

12
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

2006; Trevino S, 2007). Sepsis secara klinis dibagi berdasarkan beratnya kondisi,

yaitu sepsis, sepsis berat dan syok septik. Sepsis berat adalah infeksi dengan adanya

bukti kegagalan organ akibat hipoperfusi.Syok septik adalah sepsis berat dengan

hipotensi yang persisten setelah diberikan resusitasi cairan dan menyebabkan

hipoperfusi jaringan. Pada 10-30% kasus syok septik didapatkan kultur positif dengan

mortalitas mencapai 40-50% (Guntur A, 2006).

6. Diagnosis

a. Pemeriksaan Klinis

Tidak ada tes diagnostik yang spesifik terhadap sepsis. Temuan yang cukup sensitif

untuk mendiagnosis pasien dengan suspek sepsis antara lain demam atau hipotermia,

takipneu, takikardia, leukositosis atau leukopenia, perubahan status mental akut,

trombositopenia atau hipotensi. Gejala sepsis dapat bervariasi. Pada satu studi, 36%

pasien sepsis berat mempunyai suhu tubuh yang normal, 40% dengan laju respirasi

normal, 10% laju nadi normal, 33% didapatkan nilai hitung leukosit normal. Selain

itu terdapat pula kondisi- kondisi non infeksi dengan gejala seperti sepsis. Penyebab

SIRS non infeksi antara lain pankreatitis, trauma, emboli paru, overdosis obat (Fauci

AS, 2008).

Sepsis adalah Systemic Inflammation Respons Syndrome (SIRS) yang disertai

dugaan atau bukti ditemukan infeksi di dalam darah. Diagnosis SIRS dapat

ditegakkan jikaditemukan minimal 2 gejala seperti instabilitas suhu (suhu lebih dari
commit to user

13
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

38,50C atau kurang dari 360C), takikardia, takipnea,danatau peningkatan maupun

penurunan jumlah leukosit,atau neutrofil imatur lebih dari 10%. Standarbaku

diagnosissepsis adalah dengan ditemukannya bakteri dalam darah ditambah dengan

gejala klinis berupa gangguan multi organ (Guntur A, 2006; Munford RS, 2005).

b. Pemeriksaan Laboratorium

Untuk mendapatkan diagnosis definitif, dibutuhkan isolasi mikroorganisme dari

darah atau situs lokal infeksi. Tidak begitu banyak studi yamg menjelasksn waktu

yang optimal untuk melakukan pengambilan spesimen kultur darah agar dapat

memaksimalkan keberadaan bakteri dalam darah. Beberapa data eksperimental

menunjukkan bahwa masuknya bakteri ke aliran darah adalah sekitar 1 jam sebelum

terjadi menggigil dan demam. Akan tetapi penelitian lain menunjukkan tidak ada

perbedaan yang bermakna dalam kepositifan kultur darah yang didapat terhadap

puncak demam dari pasien (Fauci AS, 2008).

Faktor-faktor yang mempengaruhi didapatkannya patogen dari spesimen

kultur darah antara lain volume darah. Terdapat korelasi langsung antara volume

darah yang dikultur dengan hasil yang terkait dengan jumlah Coloni Forming Unit

(CFU) per mililiter pada darah.Makin besar volume darah, makin besar kemungkinan

untuk mendeteksi bakteri/ fungi dalam darah. Pasien anak seringkali memiliki jumlah

mikroorganisme yang lebih banyak di dalam darah, dan hasil yang cukup memuaskan

bisa didapatkan dengan volume kultur darah yang lebih sedikit. Pada dewasa
commit to user

14
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

direkomendasikan untuk mengambil volume untuk kultur darah sebanyak 20-30 ml

per kultur. Pada anak-anak volume darah yang diambil tidak melebihi 1% dari total

volume darah (Mims C, 2005; Kristine MJ, 2007; Hack GE, 2000; Wilson, 2007;

Setiati TE, 2009).

Faktor lain yang mempengaruhi adalah rasio darah-medium. Darah manusia

normal mengandung substansi yang menghambat pertumbuhan mikroba seperti

lisozime, fagosit, antibodi dan agen antimikroba (bila pasien menggunakan

antimikroba sebelum pengambilan spesimen kultur darah). Untuk mereduksi

konsentrasi faktor inhibitor dan menghambat aktivitasnya, darah harus didilusi pada

media cair dengan rasio darah-medium 1:5 sampai 1:10. Kegagalan mempertahankan

rasio ini dapat mengakibatkan hasil kultur negatif palsu. Spesimen darah anak dapat

di inokulasi pada botol pediatrik yang didesain untuk mempertahankan rasio darah-

medium dengan volume darah yang lebih sedikit (Mims C, 2005; Kristine MJ, 2007;

Hack GE, 2000; Wilson, 2007; Setiati TE, 2009).

Faktor lainnya yang berpengaruh adalah zat tambahan (antikoagulan). Semua

media cair untuk kultur darah mengandung antikoagulan. Antikoagulan yang paling

efektif yaitu SPS (Sodium Polyanetholesulfonate), dapat menetralkan lisozim,

menghambat fagositosis, meginaktivasi beberapa aminoglokosida, dan menghambat

beberapa bagian kaskade komplemen. Namun SPS juga dapat menghambat

pertumbuhan beberapa jenis bakteri, yaitu Neisseria, Peptostreptococcus anaerobius,

Moxarella catarrhalis dan Garnerella vaginalis.Walaupun demikian SPS masih

menjadi antikoagulan yang sering digunakan. Heparin, EDTA dan sitrat bersifat
commit to user

15
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

toksik terhadap mikroorganisme, sehingga darah tidak boleh di inokulasi pada media

yang menggunakan antikoagulan tersebut (Mims C, 2005; Kristine MJ, 2007; Hack

GE, 2000; Wilson, 2007; Setiati TE, 2009).

Kondisi inkubasi juga merupakan faktor yang berpengaruh, meliputi

temperatur dan lamanya inkubasi. Kultur darah harus di inkubasi pada suhu 350C

setelah pengambilan dan dikirim ke laboratorium.Untuk metode konvensional

manual, inkubasi yang direkomendasikan adalah selama 7 hari. Periode inkubasi

standar untuk kultur darah rutin yang dikerjakan dengan sistem otomatis adalah

selama 5 hari (Mims C, 2005; Kristine MJ, 2007; Hack GE, 2000; Wilson, 2007;

Setiati TE, 2009).

7. Tata Laksana

Penatalaksanaan pasien dengan sepsis harus disertai dengan pemantauan. Tata

laksana yang baik antara lain dengan pengobatan yang tepat pada sumber infeksi dan

mengeliminasi mikroorganisme penyebab disertai dengan tata laksana suportif (Fauci

AS, 2008).

Pemberian antibiotika pada sepsis harus dimulai secepatnya. Apabila hasil

pemeriksaan kultur belum didapatkan, maka dapat dilakukan terapi empirik yang

efektif melawan bakteri gram positif maupun gram negatif. Pemilihan antimikroba

merupakan hal yang kompleks dan harus memperhatikan riwayat pasien,

komorbiditas, klinis dan pola resistensi lokal. Bila sudah didapatkan hasil kultur,
commit to user

16
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

maka antimikroba disesuaikan dengan hasil kultur. Seringkali antimikroba tunggal

dapat adekuat untuk pengobatan patogen yang diketahui (Fauci AS, 2008).

Pemilihan antimikroba yang tepat untuk mengobati suatu penyakit tergantung

pada beberapa faktor, antara lain:

a. Sensitivitas mikroba penyebab terhadap zat anti mikroba tertentu

b. Efek samping dari zat antimikroba, tergantung dari toksisitas langsung terhadap

sel mamalia dan mikrobiodata normal yang terdapat pada jaringan tubuh manusia

c. Biotransformasi zat antimikroba secara in vivo, tergantung apakah zat antimikroba

akan tetap pada bentuk aktifnya pada jangka waktu yang cukup untuk mempunyai

efek toksik pada patogen infektif

d. Bahan kimia pada zat antimikroba yang menetapkan distribusinya dalam tubuh,

tergantung konsentrasi dari bahan kimia aktif antimikroba yang bermakna yang

dapat mencapai tempat infeksi untuk menghambat atau membunuh

mikroorganisme patogen penyebab infeksi (Mims C, 2005).

Hampir 10% pasien tidak mendapatkan terapi antibiotik yang cepat untuk patogen

penyebabnya, dan rata-rata mortalitasnya 10-15% lebih tinggi dibandingkan pasien

yang mendapat terapi antibiotik yang cepat dan tepat.Tempat terjadinya infeksi yang

tersembunyi, organism yang jarang atau organisme yang resisten terhadap antibiotik

serta infeksi polimikrobial memungkinkan untuk dilakukan penanganan empiris yang

cepat dan lengkap pada semua kasus. Pendekatan yang umumnya dilakukan adalah

memulai terapi antibiotika spektrum luas bila patogennya belum dapat dipastikan,

commit to user

17
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

kemudian mempersempit terapi bila telah didapatkan data mikrobiologi (Wolbink GJ,

1996).

B. Skor SOFA (Sepsis Related Organ Failure Assessment)

Skor SOFA adalah suatu sistem penilaian untuk menentukan sejauh mana

organ seseorang masih berfungsi atau menentukan tingkat kegagalan fungsi organ.

Biasanya digunakan untuk menilai keadaan pasien selama perawatan di ruang

perawatan intensif.Ini merupakan salah satu dari beberapa penilaian yang digunakan

di ruang perawatan intensif. Skor SOFA dinilai berdasarkan enam aspek, yaitu sistem

respirasi, sistem koagulasi, liver, sistem kardiovaskuler, sistem saraf pusat dan

ginjal.Peningkatan skor SOFA dalam 24-48 jam pertama selama perawatan di ruang

intensif memberikan prediksi terjadinya kematian 50-95%. Skor kurang dari 9

memberikan prediksi kematian sebesar 33%, sedangkan skor lebih dari 11

memberikan prediksi kematian sebesar 95% atau lebih (Meisner M, 1999).

commit to user

18
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Tabel 1. Skor SOFA


(Dikutip dari Meisner M, Tschikowsky K, Palmaers T, Schmidt J, 1999. Comparison of Procalcitonin
(PCT) and C-Reactive Protein (CRP) Plasms Concentrations at Different SOFA Scores During The
Course of Sepsis and MODS. Crit Care 3;45-50)

C. C-Reaktif Protein

1. Definisi

C- Reaktif Protein (CRP) merupakan protein yang disintesis di hepatosit dan

muncul pada fase akut bila terdapat kerusakan jaringan. Protein ini diregulasi oleh IL-

6 dan IL-8 yang dapat mengaktifkan komplemen. Sintesis ekstrahepatik

terjadi di neuron, plak aterosklerotik, monosit dan limfosit (Tillet WS, 1930).

Gen CRP terletak pada kromosom pertama (1q21-Q23). Pada manusia terletak

pada kromosom 1q23,4, dan terdiri dari dua ekson dan satu intron. CRP disintesis

sebagai asam amino 206 polipeptida dan disekresikan oleh hepatosit sekitar 23

monomer Kda non-glikosilasi, yang non-kovalen rekan untuk membentuk struktur


commit to user

19
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

cincin karakteristik homopentamerik, termasuk kelompok Pentraxin (Volanakis JE,

1977; Thompson D, 1999).

Masing-masing monomer beratnya 23027Da dan sangat tahan terhadap

proteolisis.Yang termasuk golongan pentraxin lainnya adalah komponen amiloid

serum P. Protein ini ada dalam setiap evolusi vertebra, menunjukkan bahwa CRP

memiliki peran sentral dalam respon imun. CRP serum akan meningkat ketika ada

infeksi, baik infeksi oleh bakteri gram positif maupun gram negatif. Infeksi jamur

sistemik juga menyababkan peningkatan CRP serum, bahkan pada pasien dengan

imunodefisiensi, sebaliknya kadar CRP cenderung lebih rendah pada pasien dengan

infeksi virus yang akut. Belum ada data tentang CRP pada infeksi parasit, tetapi

beberapa protozoa seperti malaria, pneumocystosis dan toxoplasmosis juga dapat

meningkatkan kadar CRP serum. Pada infeksi kronis seperti tuberkulosis dan lepra,

kadar CRP akan sedikit meningkat atau normal (Yeh ET, 2005).

2. Biosintesis

CRP adalah suatu alfa-globulin yang diproduksi di hepar dan kadarnya akan

meningkat dalam 6 jam di dalam serum bila terjadi proses inflamasi akut. Kadar

CRP dalam plasma dapat meningkat dua kali lipat sekurang-kurangnya setiap 8 jam

dan mencapai puncaknya setelah kira-kira 50 jam. Setelah pengobatan yang efektif

dan rangsangan inflamasi hilang, maka kadar CRP akan turun secepatnya kira-kira 5-

7 jam waktu paruh plasma dari CRP eksogen. Protein ini disebut demikian karena
commit to user

20
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

bereaksi dengan C-polisakarida yang terdapat pada pneumokokus. Semula disangka

bahwa timbulnya protein ini merupakan respons spesifik terhadap infeksi

pneumokokus, tetapi ternyata sekarang bahwa protein ini adalah suatu reaktan fase

akut, yaitu indikator nonspesifik untuk inflamasi, sama seperti LED. Berbeda dengan

LED, kadar CRP tidak dipengaruhi oleh anemia, kehamilan atau hiperglobulinemia.

Pada penderita dengan inflamasi yang berkaitan dengan kelainan imunologis, kadar

CRP kembali normal bila pengobatan immunosupresif berhasil 9 (Thompson D,

1999; Yeh ET, 2005; Pasceri V, 2000; Despres JP, 2008).

CRP merupakan suatu protein fase akut yang dihasilkan dominan oleh

hepatosit, merupakan suatu penanda inflamasi yang yang memberikan respon

terhadap keadaan-keadaan peradangan atau inflamasi. Respon fase akut ini dapat

berupa respon fisiologis dan biokimiawi yang mungkin saja terjadi pada kerusakan

jaringan, infeksi, inflamasi dan keganasan. Secara sederhana yang dinamakan

perubahan fase akut sebenarnya didasarkan pada perubahan konsentrasi dari protein-

protein fase akut itu sendiri, yang dapat bersifat positif atau negatif dalam artian dapat

naik ataupun turun sebanyak 25%. Protein fase akut itu sendiri terdiri dari banyak

jenis baik dari sistem komplemen, sistem koagulasi dan fibrinolitik, antiprotease,

protein transpor dan lain-lain yang akan mengalami perubahan konsentrasi baik

berupa peningkatan maupun penurunan, termasuk di dalamnya CRP (Pasceri V,

2000; Despres JP, 2008).

commit to user

21
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

CRP mengikat bakteri, jamur, parasit dan ligan intrinsik (membran sel yang

rusak, kromatin, histon, dan sel apoptosis), kemudian mengaktifkan jalur komplemen

klasik dan mengikat reseptor imunoglobulin pada fagosit. Peran fisiologis CRP

adalah untuk mengikat fosfokolin diekspresikan pada permukaan sel-sel mati (dan

beberapa jenis bakteri) untuk mengaktifkan sistem komplemen. CRP merupakan

anggota dari kelas fase akut reaktan, sebagai tingkat yang meningkat secara dramatis

selama proses peradangan yang terjadi dalam tubuh. Peningkatan ini disebabkan oleh

kenaikan konsentrasi plasma IL-6, yang diproduksi terutama oleh makrofag serta

adipose (Balci C, 2003; Harbarth S, 2001). Ada suatu korelasi positif antara kadar

CRP dan IL-6. Tumor Necrosis Factor α (TNF α) dan IL-1β juga merupakan

mediator pengaturan sintesis CRP. CRP mengikat fosfokolin pada mikroba untuk

membantu komplemen mengikat sel-sel asing yang rusak dan meningkatkan

fagositosis oleh makrofag (fagositosis yang dimediasi oleh opsonin), yang

mengekspresikan reseptor untuk CRP. Hal ini juga diyakini memainkan satu peran

penting dalam kekebalan alamiah, sebagai sistem pertahanan awal terhadap infeksi.

Sekresi CRP dimulai dalam 4-6 jam dari adanya rangsangan, dua kali lipat dalam 8

jam dan memuncak pada 36-50 jam. Dengan rangsangan yang sangat intens,

konsentrasi CRP bisa naik di atas 500 mg/l, yaitu lebih dari 1000 kali nilai referensi.

Setelah rangsangan hilang, CRP akan menurun dengan cepat, memiliki waktu paruh

19 jam (Pasceri V, 2000; Despres JP, 2008; Pepys MB, 1983).

commit to user

22
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

CRP naik sampai 50.000 kali lipat dalam peradangan akut, seperti infeksi.

Peningkatan di atas batas normal dalam waktu 6 jam, dan puncak pada 48 jam. Waktu

paruhnya konstan. Peningkatan terutama ditentukan oleh tingkat produksi (dan

tingkat keparahan penyebab/ pencetus). Kadar CRP serum pada manusia normal

memiliki rata-rata 8 mg/ l (0,3-1,7 mg/ l) dan dibawah 10 mg/ l pada 99% dari sampel

yang normal. Nilai di atas nilai normal menunjukkan adanya suatu proses penyakit

(Widman, 1995).

3. Cara Pemeriksaan

Tes CRP dapat dilakukan secara manual menggunakan metode aglutinasi atau metode

lain yang lebih maju, misalnya sandwich imunometri. Tes aglutinasi dilakukan

dengan menambahkan partikel latex yang dilapisi antibodi anti CRP pada serum atau

plasma penderita sehingga akan terjadi aglutinasi. Untuk menentukan titer CRP,

serum atau plasma penderita diencerkan dengan buffer glisin dengan pengenceran

bertingkat (1/2, 1/4, 1/8, 1/16 dan seterusnya) lalu direaksikan dengan latex. Titer

CRP adalah pengenceran tertinggi yang masih terjadi aglutinasi (Balci C, 2003).

Tes sandwich imunometri dilakukan dengan mengukur intensitas warna

menggunakan Nycocard Reader. Berturut-turut sampel (serum, plasma, whole blood)

dan konjugat diteteskan pada membran tes yang dilapisi antibodi mononklonal

spesifik CRP. CRP dalam sampel tangkap oleh antibodi yang terikat pada konjugat

commit to user

23
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

gold colloidal particle. Konjugat bebas dicuci dengan larutan pencuci (washing

solution). Jika terdapat CRP dalam sampel pada levelpatologis, maka akan terbentuk

warna merah-coklat pada area tes dengan intensitas warna yang proporsional terhadap

kadar. Intensitas warna diukur secara kuantitatif menggunakan Nycocard reader II.

Nilai rujukan normal CRP dengan metode sandwich imunometri adalah < 5 mg/L.

Nilai rujukan ini tentu akan berbeda di setiap laboratorium tergantung reagen dan

metode yang digunakan (Balci C, 2003).

D. Prokalsitonin

1. Definisi

Prokalsitinin (PCT) adalah suatu protein, asam amino 116 dan merupakan

prekursor hormon kalsitonin. Terdiri atas 116 asam amino dengan berat molekul 13

kDa protein, yang disandi oleh gen Calc-1 di lengan pendek kromosom 11 dan

diproduksi pada sel C kelenjar tiroid sebagai prohormon dari kalsitonin. Produksi

diatur oleh kalsitonin I (CALC I), gen pada kromosom 11p15.2-p15.1, merupakan

gen dengan enam ekson meskipun ekson pertama tidak nyata diterjemahkan.

Pada manusia, PCT sebagian besar terdapat pada hepar, tetapi juga didapatkan

pada paru, ginjal dan testis. Urutan lengkap rantai PCT sudah dikenal sejak tahun

1984, dan gen yang mengkode pembuatannya sudah diketahui sejak tahun 1989.Sejak

tahun 1993 diketahui bahwa peningkatan konsentrasi PCT dalam serum berkaitan

commit to user

24
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

dengan sepsis bakteri pada anak-anak. Sejak awal tahun 1990-an PCT pertama kali

digambarkan sebagai tanda spesifik infeksi bakteri. Kepekatan serum PCT meningkat

saat inflamasi sistemik, khususnya ketika disebabkan oleh infeksi bakteri.Telah

terbukti bahwa kadar PCT dalam serum meningkat secara signifikan bila terdapat

infeksi bakteri, sehingga saat ini PCT dianggap merupakan suatu penanda awal yang

spesifik untuk sepsis (Harbarth S, 2001; Meisner M, 1996; Whicher J, 2001; Flores

Juan C, 2003; Rau B, 2004).

2. Biosintesis dan Patofisiologi

Prokalsitonin pertama kali diidentifikasi dari tyroid medullary carcinoma cell

Prokalsitonin adalah protein yang terdiri dari 116 asam amino dengan berat molekul

kurang lebih 13 kDa, yang dikode dengan gen Calc-1 yang terletak pada kromosom

11 dan diproduksi pada sel C kelenjar tiroid sebagai prohormon dari kalsitonin

(Whicher J, 2001; Flores Juan C, 2003, Rau B, 2004; Meisner M, 2002; Simon L,

2004; Reith HB, 2002; Lopez AT, 2008).

Gen Calc-1 menghasilkan dua transkripsi yang berbeda oleh tissue specific

alternative splicing. Yang pertama, didapat dari exon 1-4 dari 6 exonyang merupakan

kode untuk pre PCT, adalah sebuah rantai peptida yang terdiri dari 25 asam amino

signal hidrofobik. Pada sel C kelenjar tiroid, proses proteolitik menghasilkan sebuah

fragmen N- terminal (57 AA), kalsitonin 32 (AA) dan katakalsin 21 (AA). Kehadiran

commit to user

25
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

sinyalo peptida membuat PCT disekresikan secara intak oleh glikosilasi oleh sel lain.

Transkrip yang kedua dipotong secara terpilih yang mengandung exon 1,2,3,5,6 dan

merupakan kode untuk Calcitonin Gene- Related Peptide (CGRP), dimana CGRP di

ekspresikan secara luas pada saraf di otak, pembuluh darah dan saluran cerna. CGRP

ini mempunyai peranan dalam imunomodulasi, neurotransmitter dan mengontrol

vaskuler (Whicher J, 2001; Flores Juan C, 2003; Rau B, 2004; Simon L, 2004).

Peningkatan nilai PCT pada tiroidektomi yang sepsis, menjelaskan bahwa

tiroid C sel bukanlah satu-satunya tempat asal PCT. PCT mensekresikan semua

produk-produk biosintetik pathway dan telah dideteksi dalam homogenates small cell

carcinoma pada paru manusia. PCT mRNA diekspresikan pada sel mononuklear

darah perifer manusia dan bermacam-macam sitokin proinflamasi dan

lipopolisakarida mempunyai efek stimulasi. Sekitar 1/3 limfosit dan monosit manusia

yang tidak distimulasi mengandung protein PCT yang dapat didemonstrasikan secara

imunologi. Keadaan ini dapat dipicu oleh lipopolisakarida bakteri, tetapi monosit

pasien dengan syok septik menunjukkan nilai basal yang meningkat dan peningkatan

kadar PCT yang distimulasi oleh lipopolisakarida (Harbarth S, 2001; Whicher J,

2001; Flores Juan C, 2003; Rau B, 2004; Reith HB, 2002).

Pada infeksi bakteri yang berat atau sepsis, proteolisis spesifik gagal sehingga

terjadi konsentrasi yang tinggi dari protein prekursor, begitu juga fragmen PCT yang

berakumulasi dalam plasma. Asal mula sintesis PCT yang dirangsang oleh inflamasi

belum diketahui dengan jelas saat ini. Sel-sel neuroendokrin di paru atau usus saat ini
commit to user

26
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

dianggap sebagai sumber utama PCT, karena pasien-pasien dengan tiroidektomi total

mampu menghasilkan PCT pada keadaan sepsis (Rau B, 2004; Reith HB, 2002).

Produksi plasma PCT dapat diinduksi dari manusia sehat dengan injeksi

lipopolisakarida (LPS) dalam jumlah rendah. Peningkatan PCT, pertama kali

terdeteksi 2 jam sesudah injeksi endotoksin dan dalam waktu 6-8 jam kadarPCT akan

meningkat dan mencapai plateau dalam waktu kurang lebih 12 jam. Setelah 2-3 hari,

kadar PCT akan kembali akan kembali normal. Induksi yang spesifik dan cepat oleh

stimulus yang adekuat akan menimbulkan produksi yang tinggi dari PCT pada pasien

dengan infeksi bakteri yang berat atau sepsis. Keadaan ini memperlihatkan

patofisiologi pada respon imun akut (Lopez AT, 2008; Bohuon C, 2002).

Pada orang sehat, PCT diubah dan tidak ada sisa yang bebas ke aliran darah,

karena itu kadar PCT tidak terdeteksi (< 0,1 ng/ml). Tetapi selama infeksi berat yang

bermanifestasi sistemik, kadar PCT dapat meningkat melebihi 100 ng/ml. Berbeda

dengan waktu paruh kalsitonin yang singkat, PCT memiliki waktu paruh yang

panjang, yaitu 25-35 jam (Harbarth S, 2001; Whicher J, 2001).

Kadar PCT sangat stabil baik in vivo maupun ex vivo walaupun pada suhu

ruangan. Konsentrasi PCT pada darah arteri dan vena tidak berbeda.Tidak ada

perbedaan konsentrasi PCT pada sampel serum dan plasma dengan antikoagulan yang

berbeda, perbedaan yang signifikan hanya pada plasma lithium heparin (Shafig N,

2005). Konsentrasi PCT berhubungan dengan berat atau ringannya infeksi, tetapi

commit to user

27
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

tidak dipengaruhi oleh tipe kuman.Anna Fernandez dkk, tahun 2003 melakukan

penelitian tentang PCT pada pediatri untuk diagnosis awal pada bayi yang demam

karena infeksi bakteri. Mereka mendapatkan bahwa PCT merupakan marker yang

baik untuk deteksi infeksi (Oberhoffer M, 1999).

3. Induksi Plasma PCT

PCT diinduksi oleh endotoksin yang dihasilkan bakteri selama infeksi

sistemik. Infeksi yang disebabkan protozoa, infeksi non bakteri (virus), dan penyakit

autoimun tidak menginduksi PCT. Kadar PCT muncul cepat dalam 2 jam setelah

rangsangan, puncaknya setelah 12-48 jam dan secara perlahan menurun dalam 48-72

jam. Pada keadaan inflamasi akibat bakteri kadar PCT selalu >2 ng/ml. Pada kasus

akibat infeksi virus kadar PCT >0,05 ng/ml, tetapi biasanya <1 ng/ml (Oberhoffer M,

1999).

Pada percobaan orang sehat, yang diberi dosis rendah secara intravena

endotoksin Escherichiacoli, setelah 1 jam injeksi ia merasa sakit. Kemudiandalam 1

sampai 2 jam demam dan berkembangmenggigil, kaku dan mialgia dalam waktu 1

sampai3 jam. PCT tidak dapat ditemukan dalam plasmapada 2 jam pertama, tetapi

secara tetap tertemukansetelah 4 jam, meningkat tajam pada 6 jam dan tetaptinggi

selama 8 sampai 24 jam. Kadar plasma TNF-αmeningkat secara tajam setelah 1 jam,

puncaknyasetelah 2 jam dan menurun ke garis dasar sesudah6 jam. Kadar plasma IL-

commit to user

28
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

6 mencapai puncak pada 3 jam dan kembali ke garis dasar setelah 8 jam.Peningkatan

plasma PCT terjadi secara singkatsesudah kadar sitokin mencapai puncak. Penelitian

lain pada pemberian rhTNF-αdan melphalan melalui isolasi perfusi

tungkaimenunjukkan hasil yang hampir sama, tetapimelphalan menunjukkan

perubahan kecil. Lebihlanjut, kadarIL-6 dan IL-8 meningkat sesudah perfusirhTNF-α

dan mencapai puncak beberapa jam sesudah PCT. Dapat disimpulkan bahwa

peningkatan kadarserum PCT secara langsung atau tidak langsung dibantu oleh

sitokin rhTNF-α dan rhIL-6. CRP dan Serum Amiloid A Protein (SAA) tanggap

terhadap rangsangan yang sama walaupun lebih lambat (Shafig N, 2005; Oberhoffer

M, 1999).

4. Pemeriksaan Serum Prokalsitonin

PCT diukur pada serum dengan menggunakan pemeriksaan

imunoluminometrik. Pemeriksaan menggunakan dua antibodi monoklonal antigen

spesifik, satu diarahkan ke kalsitonin (menggunakan label luminescence) dan lainnya

ke katakalsin (Gambar 4). Batas untuk mengetahui pemeriksaan adalah 0,1 ng/ml dan

koefisien variasinya 5 sampai 10% dengan rentang 1 sampai 1000 ng/ml.

Pemeriksaan juga tidak dipengaruhi antibiotika, sedatif dan agen vasoaktif yang

secara umum digunakan di dalam unit perawatan intensif (Hatheril M, 1999).

commit to user

29
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Pemeriksaan PCT di laboratorium menggunakan bahan sampel serum atau

plasma, stabilitas in vitro pada suhu kamar (mengalami penguraian/dekomposisi

setelah 24 jam 10 %), pada suhu -20o C stabil selama 1 bulan, pada keadaan beku

atau cair siklus 3 kali PCT sampel menurun 3 %. Waktu paruh in vivo kira-kira 24

jam, pengukuran PCT untuk memantau penderita minimum satu kali sehari.

Penafsiran (interpretasi) PCT (paskabedah, bebassepsis dan pasca-awal pengobatan

antibiotika): bila 50% PCT menurun menunjukkan keberhasilan pengobatan, tetapi

bila tetap atau kadar PCT meningkat tidak ada perubahan dengan pengobatan berarti

penyakit memburuk. Penafsiran (interpretasi) PCT sesudah pemantauan penyakit

infeksi dengan risiko tinggi (paska transplantasi atau politrauma): bukan komplikasi

infeksi kadar PCT rendah atau menurun dari kadar yang tinggi (sesudah beberapa hari

paskabedah). Bila kadar PCT tetap tinggi atau kadar PCT meningkat merupakan

petunjuk ada komplikasi.O’Connormendemonstrasikan bahwa pembekuan (freezing)

dan pencairan (thawing cycles) tidak berpengaruh pada kepekatan PCT.

Sesudahpenyimpanan plasma selama 24 jam pada suhuruang, akan kehilangan

kepekatan PCT sampai12,4% dan 6,3% pada suhu 4°C. Untuk pemeriksaan ini hanya

dibutuhkan 20 ul sampel serum atau plasma. Kepekatan PCT yang berasal sampel

dari darah arteri atau vena tidak berbeda, paling baik menggunakan plasma EDTA.

Sampel disimpan padasuhu ruang dan harus diperiksa dalam waktu 4 jam pasca

pengumpulan. Penggunaan antikoagulan litium heparin akan menghasilkan perbedaan

serum (7,6% lebih tinggi). Pada penelitian lain ketelitian yang baik ditemukan

koefisien variasi (CV) antar pemeriksaan bervariasi antara 7,2% pada kepekatan
commit to user

30
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

serum PCT1,2 ng/ml dan 3,2% pada kepekatan 52 ng/ml. Pada pengamatan

kepekatan PCT tidak dipengaruhi oleh hemoglobin, bilirubin ataupun trigliserida

(kecuali pada kasus haemolisis berat). Kadar PCT kemungkinan juga meningkat

selama24 jam pertama kehidupan. Penderita dengan carcinoma C-cell tiroid dan sel

kecil kanker paru jugadilaporkan mempunyai peningkatan kepekatan serum PCT

(Oberhoffer M, 1999).

E. C-Reaktif Protein dan Prokalsitonin sebagai Penanda Sepsis dan Disfungsi

Multi Organ

1. Penanda Infeksi

Telah lama diketahui beberapa tes laboratorium yang dapat digunakan untuk

mengetahui adanya proses- proses inflamasi seperti jumlah leukosit, laju endap darah,

C-Reaktif Protein, Tumor Nekrosis Faktor α serta interleukin 1 dan 6. Akan tetapi

tes-tes tersebut tidaklah terlalu spesifik, karena itu, sulit sekali membedakan

diagnosis antara Systemic Inflamatory Response Syndrome (SIRS) dan sepsis pada

pasien-pasien di ruang rawat intensif dengan cepat karena harus menunggu hasil

kultur darah selama beberapa hari, sementara pasien harus mendapatkan pengobatan

yang tepat dalam waktu segera. Sementara itu, hasil kultur darah positif bisa juga

karena kontaminasi dan hasil kultur darah negatif belum tentu menyingkirkan sepsis

(Hatheril M, 1999; Oberhoffer M, 1999).

commit to user

31
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Secara tradisional, infeksi berat dapat dikenali dari beberapa tanda klinis

seperti hipertermia atau hipotermia, takikardi, takipnu, hipotensi, ditambah beberapa

data laboratorium rutin seperti hitung leukosit, kadar C- Reaktif Protein. Namun

demikian, tidak jarang ditemukan hasil laboratorium rutin dalam rentang normal.

Parameter lain yang digunakan antara lain sitokin pro inflamasi seperti TNF α, IL-1β

dan IL-6. Sayangnya kadar sitokin pro inflamasi biasanya hanya meningkat untuk

waktu yang relatif singkat. Oleh karena pengukuran klinis dan laboratorium yang

kurang sensitif dan spesifik, diperlukan tes yang dapat membedakan antara inflamasi

yang disebabkan karena infeksi dan non infeksi. Akhir-akhir ini telah dikembangkan

tes baru yang digunakan untuk mendeteksi inflamasi karena infeksi yaitu

prokalsitonin (PCT) (Whicher J, 2001).

2. C-Reaktif Protein dan Prokalsitonin Sebagai Penanda Sepsis dan Disfungsi

Multi Organ

C-Reaktif Protein (CRP) merupakan protein pentamer siklik 115 kDa yang terdiri

dari 5 protomer.Masing- masing protomer terdiri dari 206 asam amino.Dinamakan

CRP karena mempunyai kemampuan untuk mengikat somatik C polisakarida dari

Streptococcus pneumonia. Beberapa penelitian mengatakan bahwa pemeriksaan CRP

> 30 mg/ l didapati sensitifitas 81%, spesifisitas 89%, PPV 91% dan NPV 76%,

commit to user

32
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

namun peneliti lain mengatakan kadar CRP tidak berbeda bermakna antara sepsis

dan SIRS (Thompson D, 1999; Yeh ET, 2005).

Tabel 2. CRP pada Beberapa Keadaan Tertentu


(Dikutip dari RuntunuwuAL, Manopo JI, Rampengan NH, Kosim S, 2008.Sari Pediatri 9(5);319-22)

CRP merupakan reaktan fase akut yang akan meningkat jika terjadi proses

peradangan atau infeksi bakteri. Infeksi bakteri akan memicu makrofag untuk

memproduksi sitokin-sitokin pro inflamasi. Peningkatan kadar sitokin di dalam

plasma akan menyebabkan terjadinya peningkatan kadar CRP dalam plasma. Sekresi

CRP dimulai dalam 4-6 jam dari adanya rangsangan, dua kali lipat dalam 8 jam dan

memuncak pada 36-50 jam (Pasceri V, 2000).

Prokalsitonin (PCT) adalah polipeptida yang terdiri dari 116 asam amino dan

merupakan prohormon kalsitonin. Kalsitonin terdiri dari 32 asam amino, sedangkan

PCT dibentuk oleh pre PCT yang terdiri dari 141 asam amino dengan bobot molekul

16 KDa. Pemecahan terjadi di sel C kelenjar tiroid. Pemeriksaan semi kuantitatif

PCT sangat praktis. Peningkatan PCT yang cukup besar terjadi bila terdapat reaksi
commit to user

33
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

peradangan sistemik yang disebabkan oleh endotoksin bakteri, eksotoksin dan

beberapa jenis sitokin. Beberapa penyakit di luar infeksi yang dapat meningkatkan

PCT antara lain malaria, penyakit jamur sistemik, penyakit autoimun bedah jantung,

pankreatitis, luka bakar, penyakit kawasaki dan syok kardiogenik. Terjadi

peningkatan sedikit kadar PCT pada keadaan infeksi virus, neoplastik dan penyakit

autoimun, sedangkan pada penyakit infeksi bakteri kronik tanpa inflamasi, reaksi

alergi dan infeksi bakteri yang terlokalisasi tidak didapatkan peningkatan PCT.

Konsentrasi normal PCT dalam serum plasma di bawah 0,5 ng/ml. Pada keadaan

inflamasi kronik dan penyakit autoimun, infeksi virus dan infeksi lokal kadar PCT <

0,5 ng/ ml, sedangkan pada keadaan SIRS, multipel trauma dan luka bakar kadar PCT

0,5-2 ng/ ml dan kadar PCT > 2 ng/ ml merupakan prediktor infeksi berat, sepsis dan

kegagalan beberapa organ (paling sering 10-100 ng/ ml) (Meisner M, 1996).

PCT menghambat prostaglandin dan sintesis tromboksan pada limfosit in vitro

dan mengurangi hubungan stimulasi LPS terhadap produksi TNF pada kultur whole

blood. Menurut Whicher et al, pemberian rekombinan human PCT terhadap sepsis

pada tupai menghasilkan peningkatan mortalitas yang berbanding terbalik dengan

pemberian netralisasi antibodi. Kemungkinan peran PCT dalam fisiologi sepsis yang

didukung oleh untaian (sequencing homolog) antara PCT dan sitokin seperti TNF, IL-

6 dan granulocyte colony stimulating factor (Guntur A, 2006).

PCT merupakan penanda diagnostik infeksi bakteri populasi anak. Didasari

data yang telah dipublikasikan, terbukti bahwa baik infeksi virus maupun bakteri
commit to user

34
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

disertai dengan SIRS berkaitan dengan kadar PCT yang tinggi dibandingkandengan

infeksi bakteri dan virus yang bersifat lokal. Nilai 5 ng/ml pada anak-anak telah

dilaporkan untuk mengenali sepsis bakteri yang bernilai peramalan positif dan negatif

adalah 100% dan 82% (Guntur A, 2006). Kadar PCT dalam darah ≥ 10 ng/ml selalu

berhubungan dengan sepsis berat (sepsis yang disertai paling tidak 1 disfungsi organ)

(Trevino S, 2007). Kadar PCT ≥ 20 ng/ml hampir selalu berhubungan dengan

terjadinya syok septik (Watson RS, 2003).

commit to user

35
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Kondisi Penderita Kadar PCT (ng/ml)


Normal <0,5
Inflamasi kronik dan penyakit <0,5
autoimun
Infeksi virus <0,5
Infeksi lokal s.d berat <0,5
SIRS, multiple trauma, luka bakar 0,5-2
Infeksi berat, sepsis, kegagalan >2
beberapa organ (multiple organ (paling sering 10-100)
failure)

Tabel 3. Daftar Rujukan Kadar PCT pada Beberapa Keadaan Tertentu


(Dikutip dari Oberhoffer M, Vogelsang H, Russwurm S, Hartung T, Reinhart K, 1999. Outcame
Prediction by Traditional and New Markers of Inflamation in Patients with Sepsis. Clin Chem Med
37;363-8)

3. Perbandingan Antara C-Reaktif Protein dan Prokalsitinin sebagai

Penanda Dini Sepsis dan Disfungsi Multi Organ

Berdasarkan definisi, C-reaktif protein (CRP) adalah protein yang disintesis di

hepatosit dan muncul pada fase akut bila terdapat kerusakan jaringan. Protein ini

diregulasi oleh IL-6 dan IL-8 yang dapat mengaktifkan komplemen (Tillet

WS, 1930). Disintesis sebagai asam amino 206 polipeptida dan disekresikan oleh

hepatosit sekitar 23 monomer Kda non-glikosilasi, yang non-kovalen rekan untuk


commit to user

36
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

membentuk struktur cincin karakteristik homopentamerik, termasuk kelompok

Pentraxin (Yeh ET, 2005; Pasceri V, 2000). Masing-masing monomer beratnya

23027Da dan sangat tahan terhadap proteolisis. Sedangkan prokalsitonin (PCT)

adalah suatu protein, asam amino 116 dan merupakan prekursor hormon kalsitonin.

Terdiri atas 116 asam amino dengan berat molekul 13 kDa protein (Harbarth S, 2001;

Meisner M, 1996; Whicher J, 2001; Flores Juan C, 2003; Rau B, 2004).

Gen CRP terletak pada kromosom pertama (1q21-Q23). Pada manusia terletak pada

kromosom 1q23, 4, dan terdiri dari duaekson dan satu intron (Volanakis JE, 1977;

Thompson D, 1999), sedangkan PCT disandi oleh gen Calc-1 di lengan pendek

kromosom 11 dan diproduksi pada sel C kelenjar tiroid sebagai prohormon dari

kalsitonin. Produksi diatur oleh kalsitonin I (CALC I), gen pada kromosom 11p15.2-

p15.1, merupakan gen dengan enam ekson meskipun ekson pertama tidak nyata

diterjemahkan (Harbarth S, 2001; Meisner M, 1996; Whicher J, 2001; Flores Juan C,

2003; Rau B, 2004).

CRP serum akan meningkat ketika ada infeksi, baik infeksi oleh bakteri gram

positif maupun gram negatif. Infeksi jamur sistemik juga menyababkan peningkatan

CRP serum, bahkan pada pasien dengan imunodefisiensi. Sebaliknya kadar CRP

cenderung lebih rendah pada pasien dengan infeksi virus yang akut. Belum ada data

tentang CRP pada infeksi parasit, tetapi beberapa protozoa seperti malaria,

pneumocystosis dan toxoplasmosis juga dapat meningkatkan kadar CRP serum. Pada

infeksi kronis seperti tuberkulosis dan lepra, kadar CRP akan sedikit meningkat atau
commit to user

37
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

normal (Despres JP, 2008). PCT diinduksi oleh endotoksin yang dihasilkan bakteri

selama infeksi sistemik. Infeksi yang disebabkan protozoa, infeksi non bakteri

(virus), dan penyakit autoimun tidak menginduksi PCT (Meisner M, 1996). Terjadi

peningkatan sedikit kadar PCT pada keadaan infeksi virus, neoplastik dan penyakit

autoimun, sedangkan pada penyakit infeksi bakteri kronik tanpa inflamasi, reaksi

alergi dan infeksi bakteri yang terlokalisasi tidak didapatkan peningkatan PCT. Pola

produksi prokalsitonin tampak mirip dengan beberapa komponen tangga sitokin, dan

penanda aktivasi imunitas seluler yang menunjukkan bahwa ini merupakan pereaksi

fase akut. Kadar prokalsitonin dalam serum yang ditemukan sangat berhubungan

dengan keparahan infeksi bakteri dan SIRS. Infeksi yang terjadi terbatas di organ

tunggal tanpa ada tanggap sistemik reaksi inflamasi, kadar prokalsitonin rendah atau

sedang (Hatheril M, 1999).

CRP adalah suatu alfa-globulin yang diproduksi di hepar dan kadarnya akan

meningkat dalam 6 jam di dalam serum bila terjadi proses inflamasi akut. Kadar CRP

dalam plasma dapat meningkat dua kali lipat sekurang-kurangnya setiap 8 jam dan

mencapai puncaknya setelah kira-kira 50 jam. Setelah pengobatan yang efektif dan

rangsangan inflamasi hilang, maka kadar CRP akan turun secepatnya, kira-kira 5-7

jam waktu paruh plasma dari CRP eksogen. CRP merupakan suatu reaktan fase akut,

yaitu indikator nonspesifik untuk inflamasi, sama halnya seperti LED. Tetapi berbeda

dengan LED, kadar CRP tidak dipengaruhi oleh anemia, kehamilan atau

hiperglobulinemia (Pasceri V, 2000; Despres JP, 2008). Kadar PCT muncul cepat

commit to user

38
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

dalam 2 jam setelah rangsangan, puncaknya setelah 12-48 jam dan secara perlahan

menurun dalam 48-72 jam. Konsentrasi PCT berhubungan dengan berat atau

ringannya infeksi, tetapi tidak dipengaruhi oleh tipe kuman. PCT memiliki waktu

paruh yang panjang, yaitu 25-35 jam (Harbarth S, 2001; Meisner M, 1996; Whicher

J, 2001). Kadar prokalsitonin sangat stabil baik in vivo maupun ex vivo walaupun

pada suhu ruangan. Konsentrasi PCT pada darah arteri dan vena tidak berbeda. Tidak

ada perbedaan konsentrasi PCT pada sampel serum dan plasma dengan antikoagulan

yang berbeda (Oberhoffer M, 1999).

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Runtunuwu, dkk didapatkan hasil

bahwa sensitifitas PCT dalam diagnosis sepsis adalah 80%, namun spesifitasnya

rendah (Runtunuwu AL, 2008), berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh

O’Connor, dkk yang menyatakan PCT mempunyai sensitifitas 82-100% dan

spesifitas 70-100% dalam diagnosis sepsis (O’Connor E, 2001). Penelitian lain, yang

dilakukan oleh Gendrel, dkk serta Lopez, dkk menyatakan bahwa PCT mempunyai

spesifisitas yang tinggi, yaitu 100% dan sensitivitas 69%. Penelitian Somech, dkk

menyebutkan bahwa PCT mempunyai sensitivitas dan spesifitas yang lebih baik

daripada CRP, IL-6 dan interferon α dalam membedakan infeksi virus dan bakteri

(Lopez AT, 2008; Bohuon C, 2002; Shafig N, 2005; Oberhoffer M, 1999; Runtunuwu

AL, 2008; Gendrel D, 1997).

Penelitian lain yang dilakukan Meynaar, dkk mendapatkan bahwa PCT lebih

baik dalam membedakan antara SIRS dan sepsis dibandingkan dengan CRP dan IL-6,
commit to user

39
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

terutama dalam 24 jam pertama, tetapi meskipun PCT adalah yang terbaik sebagai

marker sepsis, tetap harus diintegrasikan dengan data klinis yang lainnya dalam

mendiagnosis sepsis (Meynaar IA, 2011). Penelitian Charles, dkk menyebutkan

bahwa PCT paling baik dalam membedakan infeksi yang disebabkan oleh bakteri

gram positif atau gram negatif dibandingkan dengan CRP dan jumlah leukosit

(Charles PE, 2008). Penelitian yang dilakukan oleh Hatherill, dkk menyatakan bahwa

PCT mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang lebih baik daripada CRP dan

jumlah leukosit dalam diagnosis sepsis dan mempunyai nilai prediktif yang paling

baik untuk syok septik (Hatheril M, 1999).

commit to user

40
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

F. Kerangka Teori
Sepsis Parasit

Bakteri Jamur

Virus
Gram (-) Gram (+)

LPB LPS Eksotoksin

Kompleks LPB-LPS Sel T

CD14 Sitokin proinflamasi

TLR4

Aktivasi makrofag

Disfungsi multi organ

CRP ↑ PCT ↑

Gambar 1. Kerangka Teori

commit to user

41
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

G. Kerangka Pikir Penelitian

Pasien dengan sepsis di PICU:

Klinis: Laboratorium:

1. Suhu >380C Leukosit > 12.103/ mm3


2. HR > 90x/ mnt atau < 3.103/ mm3
3. RR > 20x/ mnt

Eksklusi:

Disfungsi multi organ bukan akibat


Aktivasi makrofag dan sepsis, keganasan, pankreatitis
sitokin pro inflamasi

Disfungsi multi organ

CRP↑ Prokalsitonin↑ Skor SOFA, dengan parameter:


sistem respirasi, koagulasi, liver,
kardiovaskuler, saraf pusat dan
ginjal
Kadar CRP dan PCT
dihubungkan dengan
skor SOFA

Keterangan: Ruang lingkup penelitian

Gambar 2. Kerangka Pikir Penelitian

commit to user

42
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Pasien dengan sepsis yang dirawat di PICU berdasarkan kriteria klinis yaitu suhu >

380C, HR > 90x/mnt, RR > 20x/ mnt dan kriteria laboratorium leukosit >

12.103/mm3, dengan kriteria eksklusi disfungsi multi organ bukan akibat sepsis,

adanya keganasan dan pankreatitis. Karena adanya sepsis, terjadi aktivasi makrofag

dan sitokin pro inflamasi, sehingga bisa menyebabkan disfungsi multi organ. Hal ini

menyebabkan CRP dan PCT meningkat. Pada pasien dengan sepsis tersebut juga

dilakukan perhitungan skor SOFA dengan parameter sistem respirasi, koagulasi,

liver, kardiovaskuler, saraf pusat dan ginjal. Selanjutnya peningkatan kadar CRP dan

PCT tersebut dihubungkan dengan skor SOFA untuk menilai adanya disfungsi multi

organ.

H. Hipotesis

Prokalsitonin lebih baik untuk menunjukkan disfungsi multi organ akibat sepsis pada

anak dibandingkan dengan C-Reaktif Protein.

commit to user

43

Anda mungkin juga menyukai