Anda di halaman 1dari 20

REFERAT

SEPSIS

Oleh:
Rurin Ayurinika Putri

G99142081

Rizky Hening Saputri

G99142082

Pembimbing

Dr. dr. Sugiarto, Sp.PD-KEMD, FINASIM


KEPANITERAAN KLINIK SMF ILMU PENYAKIT DALAM
FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/ RSUD DR MOEWARDI
S U R AK AR TA
2015

HALAMAN PENGESAHAN
Referat Ilmu Penyakit Dalam dengan judul:

SEPSIS

Oleh :
Rurin Ayurinika Putri

G99142081

Rizky Hening Saputri

G99142082

Telah disetujui untuk dipresentasikan pada tanggal :

Pembimbing,

Dr. dr. Sugiarto, Sp.PD-KEMD, FINASIM

DAFTAR ISI

BAB I
PENDAHULUAN

Sepsis merupakan respons sistemik terhadap infeksi dimana pathogen atau


toksin dilepaskan ke dalam sirkulasi darah sehingga terjadi aktivitas proses
inflamasi. Sepsis dibagi dalam derajat Systemic Inflammatory Response Syndrome
(SIRS), sepsis, sepsis berat, sepsis dengan hipotensi, dan syok septik. Infeksi dapat
disebabkan oleh virus, bakteri, fungi atau riketsia. Respon sistemik dapat
disebabkan oleh mikroorganisme penyebab yang beredar dalam darah atau hanya
disebabkan produk toksik dari mikroorganisme atau produk reaksi radang yang
berasal dari infeksi lokal (Dellinger dan Phillip, 2012).
Sepsis adalah salah satu alasan paling umum untuk masuk ke unit
perawatan intensif (ICU). Di seluruh dunia diperkirakan 18 juta orang mengalami
sepsis setiap tahunnya. Insidennya diperkirakan sekitar 50-95 kasus diantara
100.000 populasi dengan peningkatan sebesar 9% tiap tahunnya. Selama dua
dekade terakhir, kejadian sepsis di Amerika Serikat telah tiga kali lipat dan
sekarang merupakan penyebab kematian kesepuluh. Penelitian epidemiologi
sepsis di Amerika Serikat menyatakan insiden sepsis sebesar 3/1.000 populasi
dengan 750.000 kasus sepsis setiap tahun, sedangkan insiden sepsis di Australia
sekitar 11 tiap 1.000 populasi. Saat ini angka kematian sepsis berkisar antara 2030% di seluruh dunia tergantung beberapa faktor seperti umur, jenis kelamin, ras,
penyakit penyerta, riwayat trauma paru akut, sindrom gagal napas akut, gagal
ginjal dan jenis infeksinya yaitu nosokomial, polimikrobial atau jamur sebagai
penyebabnya (Reinhardt, Bloos dan Brunkhorst, 2005). Di Indonesia angka
kematian sepsis masih cukup tinggi yaitu berkisar antara 50-70%, apabila terdapat
syok septik dan disfungsi organ angka kematian sepsis bisa mencapai 80%. Angka
kejadian sepsis di RSUD Dr. Moewardi sendiri adalah 2,1%. Pada data tahun
2009, pasien RSUD Dr. Moewardi yang menderita sepsis sebanyak 597 orang dari
28.835 pasien rawat inap. Dari total kematian di rumah sakit sebanyak 2.288,
angka kematian karena sepsis berjumlah 409 orang (17,87%) (Guntur, 2014).

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFINISI
Sepsis adalah suatu sindroma klinik yang terjadi oleh karena adanya respon
tubuh yang berlebihan terhadap rangsangan produk mikroorganisme, ditandai
dengan panas, takikardia, takipnea, hipotensi dan disfungsi organ berhubungan
dengan gangguan sirkulasi darah (Dellinger et al, 2012). Menurut Guntur dalam
PAPDI 2009, sepsis adalah Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS)
dengan dugaan infeksi. Berikut ini adalah derajat sepsis menurut perjalanan
penyakitnya:
a. Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS), ditandai dengan 2
gejala sebagai berikut:

Hipertermia/ Hipotermia (> 38,3oC atau < 35,6oC)


Takikardi (> 100x/menit)
Takipneu (>20x/menit) atau Pa CO2 < 32 mmHg
Leukositosis (>12.000/mm3)
Sel imatur >10%

b. Sepsis : Infeksi disertai SIRS


c. Sepsis Berat : Sepsis yang disertai dengan MODS/MOF (Multi Organ
Dysfunction Syndrome/Multi Organ Failure), kelainan hipoperfusi yang
meliputi asidosis laktat, oligouria, anuria atau perubahan akut pada status
mental, serta hipotensi. Tanda-tanda MODS dengan komplikasi: sindroma
distress pernafasan, koagulasi intravaskular, gagal ginjal akut, perdarahan
usus, gagal hati, disfungsi SSP, gagal jantung, hingga kematian.
d. Sepsis dengan Hipotensi : Sepsis dengan hipotensi (tekanan sistolik <90
mmHg atau penurunan tekanan sitolik >40 mmHg).
e. Syok Septik : Syok septik adalah subset dari sepsis berat, yang
didefinisikan sebagai hipotensi yang diinduksi sepsis dan menetap kendati
telah mendapat resusitasi cairan, dan disertai hipoperfusi jaringan.
(Guntur, 2012)

Gambar 1. Derajat sepsis


Terdapat beberapa kriteria diagnostik baru untuk sepsis. Bagian terpenting
adalah memasukkan penanda biomoluekuler yaitu procalsitonin (PCT) dan CReactive Protein (CRP) sebagai langkah awal dalam diagnosis sepsis.
Rekomendasi

utama

adalah

implementasi

dari

suatu

sistem

tingkatan

Predisposition, Insult infection, Response and Organ dysfunction (PIRO) untuk


menentukan pengobatan secara maksimum berdasarkan karakteristik pasien
dengan modifikasi gejala dan risiko yang individual (Guntur, 2012).

Gambar 2. Sistem tingkatan PIRO

Gambar 3. Current and future perspectives for PIRO


B. ETIOLOGI
Penyebab dari sepsis terbesar adalah bakteri Gram negatif yang menghasilkan
berbagai produk yang dapat menstimulasi sel imun yang terpacu untuk
melepaskan mediator inflamasi dengan presentase 60-70% kasus. Staphylococci,
Pneumococci, Streptococci, dan bakteri Gram positif lainnya jarang menyebabkan
sepsis, dengan angka kejadian 20-40% dari seluruh kasus. Selain itu, jamur
oportunistik, Virus (Dengue dan Herpes) atau protozoa (Falciparum malariae)
dilaporkan dapat menyenbabkan sepsis namun jarang (Guntur, 2012).

Gambar 4. Etiologi penyebab sepsis

Gambar 5. Penyebab sepsis sesuai site of infection


. Produk yang berperan penting terhadap sepsis adalah lipopolisakarida
(LPS). LPS atau endotoksin glikoprotein kompleks merupakan komponen utama
membran terluar dari bakteri Gram-negatif. LPS endotoksin Gram-negatif dapat
langsung mengaktifkan sistem imun seluler dan humoral, yang dapat
menimbulkan perkembangan gejala septikemia. LPS tidak mempunyai sifat
toksik, namun merangsang pengeluaran mediator inflamasi yang bertanggung
jawab terhadap sepsis. Makrofag mengeluarkan TNF, IL-1, IL-6 dan IL-8 yang
merupakan mediator kunci dan meningkat tinggi pada pasien sepsis (Guntur,
2012).
C. PATOGENESIS
Sepsis dikatakan sebagai suatu proses peradangan intravaskular yang berat.
Hal ini dikatakan berat karena sifatnya yang tidak terkontrol dan berlangsung
terus menerus dengan sendirinya, dikatakan intravaskular karena proses ini
menggambarkan penyebaran infeksi melalui pembuluh darah dan dikatakan

peradangan karena semua tanda respon sepsis adalah perluasan dari peradangan
biasa (Leksana, 2006).
Ketika jaringan terinfeksi, terjadi stimulasi perlepasan mediator-mediator
inflamasi termasuk diantaranya sitokin. Sitokin terbagi dalam proinflamasi dan
antiinflamasi. Sitokin yang termasuk proinflamasi seperti TNF, IL-1,interferon
yang bekerja membantu sel untuk menghancurkan mikroorganisme yang
menyebabkan infeksi. Sedangkan sitokin antiinflamasi yaitu IL-1-reseptor
antagonis (IL-1ra), IL-4, IL-10 yang bertugas untuk memodulasi, koordinasi atau
represi terhadap respon yang berlebihan. Keseimbangan dari kedua respon ini
bertujuan untuk melindungi dan memperbaiki jaringan yang rusak dan terjadi
proses penyembuhan. Namun ketika keseimbangan ini hilang maka respon
proinflamasi akan meluas menjadi respon sistemik. Respon sistemik ini meliputi
kerusakan endothelial, disfungsi mikrovaskuler dan kerusakan jaringan akibat
gangguan oksigenasi dan kerusakan organ akibat gangguan sirkulasi. Sedangkan
konskuensi

dari

kelebihan

respon

antiinflamasi

adalah

alergi

dan

immunosupressan. Kedua proses ini dapat mengganggu satu sama lain sehingga
menciptakan kondisi ketidak harmonisan imunologi yang merusak (Leksana,
2006).

Gambar 6. Ketidakseimbangan homeostasis pada sepsis


Penyebab tersering sepsis adalah bakteri terutama gram negatif. Ketika
bakteri gram negatif menginfeksi suatu jaringan, dia akan mengeluarkan
endotoksin dengan lipopolisakarida (LPS) yang secara langsung dapat mengikat
antibodi dalam serum darah penderita sehingga membentuk lipo-polisakarida
antibody (LPSab). LPSab yang beredar didalam darah akan bereaksi dengan

perantara reseptor CD 14+

dan akan bereaksi dengan makrofag dan

mengekspresikan imunomodulator (Guntur, 2009).


Jika penyebabnya adalah bakteri gram positif, virus atau parasit. Mereka
dapat berperan sebagai superantigen setelah difagosit oleh monosit atau makrofag
yang berperan sebagai antigen processing cell yang kemudian ditampilkan
sebagai APC (Antigen Presenting Cell). Antigen ini membawa muatan polipeptida
spesifik yang berasal dari MHC (Major Histocompatibility Complex). Antigen
yang bermuatan MHC akan berikatan dengan CD 4+ (Limfosit Th1 dan Limfosit
Th2) dengan perantara T-cell Reseptor (Guntur,2009).
Sebagai usaha tubuh untuk bereaksi terhadap sepsis maka limfosit T akan
mengeluarkan substansi dari Th1 dan Th2. Th1 yang berfungsi sebagai
immodulator akan mengeluarkan IFN-, IL2 dan M-CSF (Macrophage Colony
Stimulating Factor), sedangkan Th2 akan mengekspresikan IL-4, IL-5, IL-6, IL10, IFN-g, IFN 1 dan TNF yang merupakan sitokin proinflamantori. IL-1
yang merupakan sebagai imuno regulator utama juga memiliki efek pada sel
endothelial termasuk didalamnya terjadi pembentukkan prostaglandin E2 (PG-E 2)
dan merangsang ekspresi intercellular adhesion molecule-1 (ICAM-1) yang
menyebabkan neutrofil tersensitisasi oleh GM-CSF mudah mengadakan adhesi.
Neutrofil yang beradhesi akan mengeluarkan lisosim yang menyebabkan dinding
endotel lisis sehingga endotel akan terbuka dan menyebabkan kebocoran kapiler.
Neutrofil juga membawa superoksidan yang termasuk kedalam radikal bebas
(nitrat oksida) sehingga mempengaruhi oksigenisasi pada mitokondria sehingga
endotel menjadi nekrosis dan terjadilah kerusakan endotel pembuluh darah.
Adanya kerusakan endotel pembuluh darah menyebabkan gangguan vaskuler dan
hipoperfusi jaringan sehingga terjadi kerusakan organ multipel (Guntur,2009).
Hipoksia sendiri merangsang sel epitel untuk melepaskan TNF-, IL-8, IL-6
menimbulkan respon fase akut dan permeabilitas epitel. Setelah terjadi reperfusi
pada jaringan iskemik, terbentuklah ROS (Spesifik Oksigen Reaktif) sebagai hasil
metabolisme xantin dan hipoxantin oleh xantin oksidase, dan hasil metabolisme
asam amino yang turut menyebabkan kerusakan jaringan. ROS penting artinya
bagi kesehatan dan fungsi tubuh yang normal dalam memerangi peradangan,
membunuh bakteri, dan mengendalikan tonus otot polos pembuluh darah, Namun

bila dihasilkan melebihi batas kemampuan proteksi antioksidan seluler, maka dia
akan menyerang isi sel itu sendiri sehingga menambah kerusakan jaringan dan
bisa menjadi disfungsi organ multipel yang meliputi disfungsi neurologi,
kardiovaskuler, respirasi, hati, ginjal dan hematologi (Guntur, 2009).

Gambar 7. Skema patogenesis sepsis


D. DIAGNOSIS
Untuk dapat mendiagnosis sepsis diperlukan indeks dugaan tinggi,
pengambilan riwayat medis yang cermat, pemeriksaan fisik, uji laboratorium yang
sesuai dan tindak lanjut status hemodinamik. Pada Gambar 8 dan Gambar 9 akan
dijelaskan mengenai kriteria diagnosis sepsis dan hasil laboratorium yang
mungkin ditemukan pada pasien sepsis.

DAFTAR PUSTAKA

Gambar 8. Kriteria diagnosis sepsis


Pada sepsis awal didapatkan temuan laboratorium yaitu leukositosis dengan
shift kiri, trombositopenia, hiperbilirubinemia, dan proteinuria. Dapat terjadi
leukopenia. Neutrophil mengandung granulasi toksik atau vakuola sitoplasma.
Hiperventilasi menimbulkan alkalosis respiratorik. Hipoksemia dapat dikoreksi
dengan oksigen. Penderita diabetes dapat mengalami hiperglikemi. Kemudian
terdapat peningkatan lipid serum.
Selanjutnya, trombositopenia memburuk disertai perpanjangan waktu
thrombin, penurunan fibrinogen, dan keberadaan D-dimer yang menunjukkan
DIC. Azotemia dan hiperbilirubinemia lebih dominan. Aminotransferase (enzim
liver) meningkat. Bila otot pernapasan lelah, terjadi akumulasi serum laktat.
Asidosis metabolik (peningkatan anion gap) terjadi setelah alkalosis respiratorik.
Hipoksemia tiak dapat dikoreksi bahkan dengan oksigen 100%. Hiperglikemia
diabetik dapat menimbulkan ketoasidosis yang memperburuk hipotensi.

Mortalitas meningkat sejalan dengan peningkatan jumlah gejala SIRS dan


beratnya proses penyakit (Guntur, 2012).

Gambar 9. Indikator laboratoris pada sepsis


E. PENATALAKSANAAN
Prioritas utama dalam penatalaksanaan sepsis terdiri dari:
1. Stabilisasi pasien
Pemberian resusitasi awal (ABC: airway, breathing, circulation) sangat
penting pada pasien sepsis. Perubahan status mental atau penurunan
kesadaran akibat sepsis memerlukan penanganan terhadap jalan nafas
pasien. Intubasi diperlukan untuk memberikan kadar oksigen yang lebih

tinggi. Ventilasi mekanis dapat membantu menurunkan konsumsi oksigen


oleh otot pernapasan dan pningkatan ketersediaan oksigen untuk jaringan
lain. Untuk mempertahankan stabilisasi hemodinamik, pasien sepsis dapat
diberikan kristaloid. Pasien dengan hipovolemi diberikan minimal 30
ml/kgBB kristaloid. Peningkatan hemodinamik dapat dipantau melalui
variabel dinamis (perubahan tekanan nadi dan variasi stroke volume) serta
peningkatan statis (tekanan arteri dan heart rate). Peredaran darah
terancam dan penurunan tekanan darah yang bermakana memerlukan
terapi empirik gabungan yang agresif dengan cairan (kristaloid/koloid) dan
inotropin/vasopressor (dopamine, dobutamin, fenilefrin, epinefrin, atau
norepinefrin). Tujuan pencapaian resusitasi awal pada 6 jam pertama
adalah a) Central Venous Pressure (CVP) 8-12 mmHg; b) Mean Arterial
Pressure (MAP) 65 mmHg; c) Urin output 0.5mL/kgBB/jam; d)
Central venous (superior vena cava) oxygen saturation 70% atau mixed
venous 65%. Terdapat pertimbangan dialysis untuk membantu fungsi
ginjal.
2. Pemberian antibiotik yang adekuat
Agen antimikrobial tertentu dapat memperburuk keadaan pasien karena
menyebabkan pelepasan LPS lebih banyak. Antimikrobial yang tidak
memperburuk keadaan pasien yaitu: karbapenem, ceftriaxone, sefepim,
glikopeptida, aminoglikosida, dan kuinolon. Terapi empirik diberikan
sebelum hasil kultur dan tes sensitivitas didapatkan dan maksimal
pemberian 3-5 hari. Pemberian antimikroba secara dini terbukti
menurunkan perkembangan syok dan angka mortalitas. Setelah hasil
kultur dan tes sensitivitas didapatkan, maka terapi empirik diubah menjadi
terapi rasional dengan regimen antimikrobial spektrum luas yang sesuai
dengan hasil kultur dan lama terapi 7-10 hari atau lebih sesuai dengan
respon klinis pasien. Obat yang digunakan juga tergantung sumber sepsis,
seperti:

a. Untuk pneumonia dapatan komunitas digunakan 2 regimen obat yaitu


sefalosporin generasi ketiga (ceftriaxone) atau keempat (sefepim)
dengan aminoglikosida (gentamycin).
b. Pneumonia nosokomial: Sefepim atau imipenem-silastatin dan
aminoglikosida
c. Infeksi abdomen: imipenem-silastatin atau piperasilin-tazobaktam dan
aminoglikosida
d. Infeksi

abdomen

nosokomial:

imipenem-silastatin

dengan

aminoglikosida atau piperasilin-tazobaktam dengan amfoterisin B


e. Kulit/ jaringan lunak: vankomisin dan imipenem-silastatin atau
piperasilin-tazobaktam
f. Kulit/ jaringan lunak nosokomial: vankomisin dan sefepim
g. Infeksi traktus urinarius: ciprofloxacine dan aminoglikosida
h. Infeksi traktus urinarius nosokomial: vankomisin dan sefepim
i. Infeksi CNS: vankomisin dan sefalosporin generasi ketiga atau
meropenem
j. Infeksi CNS nosokomial: meropenem dan vankomisin
3. Fokus infeksi awal harus dieliminasi
Fokus infeksi dieliminasi dengan menghilangkan benda asing. Organ yang
terinfeksi dihilangkan atau memotong jaringan yang gangrene. Untuk
infeksi anaerob bisa menyalurkan eksudat purulen.
4. Pemberian nutrisi yang adekuat
Pemberian nutrisi enteral dan glukosa parenteral merupakan terapi
tambahan yang sangat penting. Nutrisi dapat diberikan dalam bentuk
makronutrient (omega-3 dan golongan nukleotida yaitu glutamin) dan
mikroutrient (vitamin dan trace element).
5. Terapi suportif
a. Drotrecogin alfa (protein C teraktivasi rekombinan, Zovant) terbukti
menurunkan risiko relatif kematian akibat sepsis dengan disfungsi
organ akut terkait. Sedangkan Zovant merupakan antikoagulan.
b. Transfusi darah

Tranfusi dibutuhkan apabila konsentrasi hemoglobin <7 g/dL hingga


target konsentrasi hemoglobin 7-9 g/dL pada orang dewasa. Transfusi
platelet profilaksis dibutuhkan pada pasien tanpa perdarahan
(<10.000/mm3) dan dengan risiko perdarahan yang signifikan
(<20.000/mm3). Untuk perdarahan aktif, pembeahan, dan prosedur
yang invasif membutuhkan platelet 50.000 mm3.
c. Profilaksis Deep Vein Thrombosis (DVT)
Pasien

sepsis

diberikan

farmakoprofilaksis

untuk

mencegah

tromboemboli vena. Obat yang digunakan adalah low-molecular


weight heparin (LMWH) secara subkutan. Apabila creatinine
clearance <30 mL/min bisa menggunakan dalteparin. Pasien sepsis
dengan trombositopeni, koagulopati, perdarahan aktif, dan perdarahan
intracerebral merupakan kontraindikasi farmakoprofilaksis.
d. Profilaksis Stress Ulcer
Pasien dengan risiko perdarahan menggunakan profilaksis H2 blocker
atau proton pump inhibitor.
6. Kortikosteroid
Penggunaan kostikosteroid yang direkomendasikan adalah dengan low
doses corticosteroid <300mg hydrocortisone per hari dalam keadaan syok
septik. Penggunaan high dose corticosteroid tidak efektif sama sekali pada
keadaan sepsis dan septic shock (Guntur,). Kostikosteroid intravena tidak
perlu diberikan terhadap pasien syok septik apabila resusitasi cairan dan
vasopressor dapat mengembalikan stabilitas hemodinamik (Dellinger et al,
2012)
7. Glukosa Kontrol
Pada pasien sepsis sering terjadi peningkatan gula darah, baik pada pasien
DM maupun Non-DM. sebaiknya kadar gula darah dipertahankan sampai
dengan <150 mg/dL. Lalu dilakukan monitoring gula darah setiap 1-2 jam
dan dipertahankan minimal sampai dengan 4 hari. Apabila pasien sepsis
memiliki gula darah >180 dalam 2 kali pengecekan maka dapat diberikan

insulin. Dalam protocol, target gula darah adalah 180 mg/dL dengan
target atas 110 mg/dL.
(Dellinger et al, 2012 dan Guntur, 2012).
F.

PENCEGAHAN
1. Hindari trauma pada permukaan mukosa yang biasanya dihuni Gramnegatif
2. Gunakan trimethoprim-sulfametokszol secara profilaktik pada pasien
leukemia
3. Gunakan nitrit perak topical, sulfadiazine perak, atau sulfamilon secara
profilaktik pada luka bakar
4. Berikan polimiksin spray pada faring posterior untuk mencegah
pneumonia Gram-negatif nosocomial
5. Sterilisasi flora aerobik lambung dengan polimiksin dan gentamisin
dengan vankomisin dan nistatin efektif dalam mengurangi sepsis Gramnegatif pada pasien neutropenia.
6. Lingkungan yang protektif bagi pasien yang berisiko kurang berhasil
karena sebagian besar infeksi berasal dari endogen
7. Untuk mencegah sepsis strep Grup B pada neonatus, lakukan swab
vagina/rectum pada kehamilan 35-37 minggu. Jika positif untuk strep B,
berikan penisilin intrapartum pada ibu hamil untuk menurunkan infeksi
Grup B sebesar 78%.
(Guntur, 2014)

BAB III
PENUTUP
Sepsis adalah penyebab tersering perawatan pasien di unit perawatan
intensif. Sepsis dapat mengenai siapa saja namun paling rentan pada orang-orang
yang mengalami imunokompromis dengan penyakit kronik.Sepsis adalah sindrom
inflamasi sistemik yang sangat mengancam jiwa.Permulaan dari infeksi yang
berlanjut dengan SIRS lalu terjadilah sepsis yang apabila terlambat ditangani
dapat menjadi sepsis yang berat yang kemudian berakibat syok septik yang
menyebabkan komplikasi-komplikasi seperti disfungsi organ multipel yang
berakhir dengan kematian. Ketika seseorang mengalami infeksi, tubuh akan
kompensasi dengan mengeluarkan respon-respon infeksi seperti proinflamasi dan
antiinflamasi.
Keseimbangan faktor-faktor ini dalam melawan infeksi akan menciptakan
suatu proses perbaikan tubuh namun apabila terjadi ketidakseimbangan prosesproses ini dimana proses-proses ini akan saling mempengaruhi maka akan
menimbulkan ketidakharmonisan imunologi yang merusak tubuh sendiri. Etiologi
sepsis disebabkan oleh berbagai macam agen infeksi seperti bakteri, virus maupun
parasit. Agen infeksi yang paling sering menyebabkan sepsis berdasarkan
epidemiologi adalah bakteri gram negatif dan positif dimana mereka
menghasilkan toksin-toksin yang menyebabkan kerusakan sel tubuh terutama
pembuluh darah karena penyebaran mereka terutama hematogen.
Untuk mendiagnosis sepsis diperlukan pemeriksaan fisik maupun
laboratorium seperti darah lengkap, faktor-faktor pembekuan darah, konsentrasi
laktat dalam darah dan lain-lain. Penatalaksanaan penting dari sepsis ini adalah
perbaikan hemodinamik, pemberian antibiotik, focus infeksi harus diobati dan
terapi suportif seperti nutrisi, albumin dan lain-lain. Kegawatan yang paling
umum disebabkan sepsis adalah kerusakan multipel organ yang disebabkan karena
adanya kerusakan pembuluh darah akibat proses inflamasi-inflamasi sehingga
perfusi pembuluh darah terganggu yang berakibat organ-organ akan mengalami
kelainan fungsinya karena saluran nutrisi mereka terganggu oleh karena proses

infeksi. Kelainan multipel organ akibat sepsis dapat mengenai otak, paru, ginjal,
hati, jantung maupun darah yang dapat menyebabkan kematian.
Penatalaksanaan syok septik merupakan bagian dari penatalaksanaan sepsis
yang komprehensif, mencakup eliminasi patogen penyebab infeksi, eliminasi
sumber infeksi dengan tindakan drainase atau bedah bila diperlukan, terapi
antimikroba yang sesuai, resusitasi bila terjadi kegagalan organ atau renjatan,
vasopresor dan inotropik, terapi suportif terhadap kegagalan organ, gangguan
koagulasi dan terapi imunologi bila terjadi respons imun maladaptif pejamu
terhadap

infeksi.

Resusitasi

dilakukan

secara

intensif

dalam

jam

pertama,dimulai sejak pasien tiba unit gawat darurat. Tindakan mencakup airway:
a). breathing; b). circulation; c). oksigenisasi, terapi cairan (kristaloid dan/ atau
koloid),vasopresor/inotropik dan transfusi bila diperlukan.Pernantauan dengan
kateter vena sentral sebaiknya dilakukan untuk mencapai tekanan vena sentral
(CVP) 8-12 mmHg, tekanan arteri rata-rata (MAP)>65 mmHg dan produksi urin
>0,5 ml/kg/jam.

DAFTAR PUSTAKA
Dellinger, R. Phillip et al. 2012. Surviving Sepsis Campaign: International
Guidelines for Management of Severe Sepsis and Septic Shock. 20:580631.
Reinhardt K, Bloos K, Brunkhorst FM. 2005. Pathophysiology of sepsis and
multiple organ dysfunction. In: Fink MP, Abraham E, Vincent JL, eds.
Textbook of critical care. 15th ed. London: Elsevier Saunders Co. p: 124957
A.Guntur.H. Sepsis. Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III . Edisi V.
Jakarta : Pusat Penerbit IPD FK UI. 2009;1840-43.
A.Guntur.H. Sepsis. Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I . Edisi VI.
Jakarta : Pusat Penerbit IPD FK UI. 2014;692-699.
Leksana, Ery. 2006. SIRS, Sepsis, Keseimbangan Asam-Basa, Syok dan Terapi
cairan. Bagian Anestesi dan Terapi Intensif RSUP.dr.Kariadi. Semarang:
Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro
PB PAPDI. 2010. Panduan Tatalaksana Kegawatdaruratan di Bidang Ilmu
Penyakit
FKUI.123-5.

Dalam Edisi I. Jakarta : Departemen Ilmu Penyakit Dalam

Anda mungkin juga menyukai