OFTALMOPATI GRAVES
Oleh:
Pembimbing:
Oftalmopati Graves disebut juga dengan penyakit mata tiroid atau orbitopati
yang berhubungan dengan tiroid (thyroid-associated orbitopathy), dan merupakan
manifestasi penyakit Graves ekstratiroidal yang paling sering ditemukan. 1,2 Kondisi
ini merupakan kelainan inflamasi autoimun yang belum diketahui penyebab yang
mendasarinya. Inflamasi yang terjadi pada oftalmopati Graves terutamaa melibatkan
otot serta lemak orbita, dan merupakan penyebab tersering terjadinya proptosis
bilateral serta unilateral pada orang dewasa.
Oftalmopati Graves lebih sering terjadi pada wanita umumnya kulit putih
(rasio 5:1) antara usia 30 sampai 50 tahun. Exophtalmus berat dan neuropati optik
kompresif agak lebih sering terjadi pada pria berusia lanjut. Hal ini menunjukkan
penyakit tiroid pada perokok relatif lebih beresiko mengalami Oftalmopati Graves
dua kali lebih tinggi dibandingkan bukan perokok.2 Alasan untuk perbedaan ini tidak
diketahui, tetapi kemungkinannya adalah penurunan imunosupresi pada perokok
dapat menyebabkan peningkatan ekspresi pada proses imun.
Definisi
Epidemiologi
Gejala dan tanda-tanda yang dialami oleh penderita GO sangat khas dan bisa
terdapat lebih dari satu gejala pada saat yang bersamaan. Pada umumnya gejala-gejala
tersebut adalah retraksi palpebra superior (90%), lid lag (50%), proptosis (60%),
restriktif miopati (40%), dan neuropati nervus optikus akibat kompresi (6%). Gejala-
gejala tersebut bisa unilateral atau bilateral. Tanda-tanda awal yang muncul adalah
retraksi palpebra superior, lid lag dan yang paling utama adalah adanya rasa nyeri
orbital yang tidak dapat ditentukan lokasi tepatnya, dan ini terdapat pada 30% pasien.
Tanda-tanda lain yang mungkin dapat dirasakan penderita adalah diplopia akibat
restriksi otot rektus mata, lakrimasi, fotofobia, dan penurunan visus (terjadi pada
7.5% penderita). Penurunan visus yang diakibatkan oleh neuropati optik adalah 2%. 3,5
Dari seluruh penderita hanya akan sekitar 5% penderita yang memiliki seluruh gejala
klasik Grave’s ophthalmopathy yaitu retraksi kelopak mata, exoptalmus, neropati
optikus, keterlibatan otot ekstraokuler, dan hipertiroidisme. 2,4
Faktor Risiko
Selain itu, jenis kelamin perempuan juga merupakan salah satu faktor risiko
oftalmopati Graves. Wanita 5 kali lebih cenderung menghidap penyakit ini, namun
hal ini mungkin disebabkan oleh tingginya insidens penyakit Graves pada wanita.
Faktor risiko lain adalah penggunaan iodin radioaktif dalam tatalaksana
hipertiroidisme yang dapat memperburuk oftalmopati Graves. Oftalmopati Graves
juga dapat terjadi pada kondisi eutiroid dan hipotiroid, meskipun angka kejadian ini
rendah dan jarang terjadi.
Patofisiologi
Proptosis bola mata terjadi akibat adanya edema jaringan lunak di rongga
orbita, sehingga tekanan di dalam rongga orbita meningkat, dan sebagai mekanisme
dekompresi bola mata menonjol ke depan. Edema jaringan lunak terjadi di jaringan
lemak dan otot ekstraokuler, terutama rektus lateral dan medial, dan karena jumlah
jaringan lemak lebih banyak daripada otot sehingga dominasi edema berada di
jaringan lemak. Usia di bawah 40 tahun memiliki kecenderungan edema lebih banyak
di jaringan lemak dibandingkan otot-otot ekstraokuler, dan sebaliknya terjadi pada
mereka yang berusia 60 tahun ke atas. Tipe pembesaran pada otot rektus lateral dan
medial ini adalah “tendon sparing” yang berarti tidak terdapat pembengkakan pada
tendon bila dilihat dengan CT scan (dengan ataupun tanpa kontras) dan memberikan
gambaran khas tracking (gambaran seperti rel kereta api).1,3
Mata kering dan kornea kering akibat eksposur ke udara yang berlebihan
disebabkan oleh keadaan kelopak mata yang tidak dapat terutup dengan sempurna,
sehingga meningkatkan proses evaporasi air mata dan berkurangnya jumlah kedipan
kelopak mata. Pembengkakan periorbita bersifat kongestif dikarenakan terhambatnya
alirain venous orbita akibat pembengkakan jaringan lunak intraorbita. Hal serupa juga
terjadi pada dermopati tiroid dimana kulit pretibial mengalami edema akibat
terhambatnya aliran venous dan limfatik di kaki saat sedang berdiri lama.2
Patogenesis
Pada oftalmopati Graves, terjadi suatu reaksi autoimun spesifik organ di mana
antibodi beraksi melawan sel-sel kelenjar tiroid dan fibroblast orbita sehingga
menyebabkan inflamasi otot-otot ekstraokuler, jaringan interstitial, lemak orbita dan
kelenjar lakrimal yang ditandai dengan adanya infiltrasi pleomorfik seluler yang
berhubungan dengan peningkatan glikosaminoglika, adipogenesis dan inhibisi
osmotik air.1,2,5
Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis yang terjadi di fase aktif adalah (1) proptosis atau
eksoptalmus, dimana hal ini timbul akibat jaringan orbita yang berekspansi di dalam
ruang orbita yang sempit, sehingga secara natural akan terjadi dekompresi dengan isi
orbita menonjol ke depan. Proptosis ini kemudian dapat dibagi menjadi “true
proptosis”, dimana terjadi pemisahan dari otot levator dan pseudo-proptosis dimana
kelopak mata kontralateral mengalami retraksi sehingga timbul kesan adanya
proptosis. (2) Strabismus, terjadinya restriksi pada otot rektus terutama inferior dan
medial sehingga pada pemeriksaan akan tampak deviasi horizontal dan atau deviasi
vertikal. Restriksi pada otot rektus bola mata ini dapat ditandai dengan adanya
peningkatat tekanan intraokuler (TIO) saat diperiksa dalam keadaan mata melihat ke
atas (up gaze).
Pengukuran TIO pada pasien oftalmopati Graves diukur pada dua posisi yaitu
“primary gaze” dan “downgaze”. Hal yang dikeluhkan oleh pasien dengan adanya
strabismus adalah adanya diplopia dan “head tilt”. Diplopia ini dapat bersifat
intermiten (hanya terjadi saat bangun tidur atau kelelahan dan pada “extreme gazes”)
atau konstan (pada “primary gaze” atau pada posisi membaca). (3) Kelainan segmen
anterior mata. Kelainan pada permukaan okuler mata ini sering tidak mendapatkan
perhatian utama. Eksposur kornea, instabilitas dari kualitas dan jumlah air mata,
evaporasi air mata yang cepat dan osmolaritas air mata tinggi timbul akibat kelopak
mata yang tidak dapat menutup secara sempurna. Kelainan segmen anterior ini
biasanya mendahului keluhan yang lainnya. Injeksi konjungtiva dan kemosis
konjungtiva terutama terdapat pada area di atas otot rektus bola mata. (5) Penurunan
visus yang diakibatkan oleh distiroid optik neropati (DON) dimana terjadi kompresi
pada nervus optikus tetapi karena tidak ditandai oleh edema pada nervus optikus hal
ini biasanya tidak terdeteksi secara cepat. Peningkatan tekanan intraokuler biasanya
tinggi pada mereka yang mengalami DON.1,3,4,5
Sistem klasifikasi yang pertama dibuat oleh Werner pada tahun 1960, sistem
klasifikasi ini dapat dengan mudah diingat dengan menggunakan NOSPEC (no
physical signs or symptoms, only signs, soft tissue involvement, proptosis,
extraocular muscle signs, corneal involvement and sight loss). Klasifikasi ini cukup
ringkas dan hanya mengambarkan secara klinis apa saja yang ditemukan pada
oftalmopati Graves, tetapi tidak menjelaskan dari tingkat keparahan penyakit tersebut,
sehingga pada tahun 1977, Werner membuat modifikasi NOSPECS. Dengan adanya
modifikasi NOSPECS, pengobatan adalah berdasarkan tingkat keparahan penyakit
dan bukan pada tingkat aktivitas penyakit, sehingga tidak dapat diketahui dengan
pasti progresi dari suatu penyakit.
Ultrasound dapat mendeteksi adanya pembesaran otot rektus mata dan juga
adanya pembesaran vena oftalmik superior. Selain kedua hal ini ultrasound tidak
dapat digunakan untuk perencanaan ataupun persiapan operasi karena detail-detail
rongga orbita tidak dapat dilihat pada ultrasound, seperti sinus-sinus dan juga tulang
orbita.3,5
CT scan lebih berguna baik sebagai alat diagnostik maupun alat bantu
perencanaan operasi seperti dekompresi rongga orbita, karena memberikan gambaran
yang jelas mengenai sinus dan juga tulang-tulang orbita. Selain itu membantu dalam
pelaksaan radioterapi. Gambar yang perlu didapatkan baik untuk CT scan maupun
MRI adalah potongan aksial dan koronal, dimana pada potongan ini akan tampak,
pembesaran otot rektus yang berbentuk belly-shaped tanpa disertai pembesaran
tendon yang merupakan gambaran khas pada oftalmopati Graves, pembesaran vena
oftalmik superior, rongga-rongga sinus beserta batas-batasnya, peningkatan jaringan
lemak di dalam rongga orbita dan crowding nervus optikus di daerah apeks akibat
pembesaran otot. 1,2
Tatalaksana
Oftalmopati Ringan
Tatalaksana lokal dilakukan pada pasien dengan oftalmopati ringan, dimana
kebanyakan kasus berupa proses yang akan sembuh sendiri (self-limiting). Pada
pasien ringan yang tidak mendapat terapi, 50% akan mengalami perbaikan, 35%
disertai dengan gangguan penglihatan yang menetap, dan pada 15% menjadi
perburukan. Tatalaksana lokal yang dapat diberikan antaranya; lubrikan pada
keratokonjungvitis limbik superior, kekeringan, atau kornea yang tidak terlindungi,
pemberian agen anti-inflamasi (steroid/NSAIDs), elevasi kepala saat tidur untuk
mengurangi edema periobita dan perekatan kelopak mata saat tidur.1,2
Studi terbaru menunjukkan bahwa terapi 6 bulan dengan selenium oral (100µg dua
kali sehari) secara signifikan memperbaiki kualitas hidup, menurunkan risiko
keterlibatan okular, memperlambat progresi penyakit pada pasien dengan oftalmopati
Graves ringan. Penggunaan kortikosteroid oral tidak direkomendasi pada pasien
dengan oftalmopati Graves ringan. Injeksi toksin Botulinum dapat dilakukan untuk
mengurangi retraksi kelopak mata dan merupakan terapi pilihan pada fase aktif saat
operasi merupakan kontraindikasi. Operatif rehabilitative (Mullerektomi atau
blefaroplasti) dapat dilakukan pada pasien oftalmopati Graves yang stabil dan
inaktif.2,3
Pada pasien dengan oftalmopati derajat sedang-berat, penyakit mata telah menganggu
kehidupan sehari-hari hingga perlu dilakukan tatalaksana imunosupresi (jika aktif)
atau intervensi bedah (jika inaktif). Pasien dengan penyakit yang aktif akan berespon
pada pemberian kortikosteroid sistemik dan radiasi orbita. Prednisolone 60-80mg/hari
secara oral dapat diberikan di awal dan kemudian dikurangi sesuai dengan respon
terapi. Metilprednisolone intravena biasanya disimpan untuk neuropati optic
kompresif yang akut, namun tolerabilitas dan efeknya lebih baik dibandingkan
dengan terapi oral. Jika respon terapi inadekuat, terdapat beberapi pilihan terapi yang
lain yaitu:1,5,6
1. Regimen kedua glukokortikoid intravena jika pasien menunjukkan toleransi
yang baik saat pengobatan glukokortikoid yang pertama, namun tidak boleh
melebihi dosis kumulatif 8g pada saat administrasi yang kedua.
2. Kombinasi glukokortikoid oral dan radioterapi orbita. Radioterapi orbital
berpontensi menghasilkan efek sinergis bersamaan dengan glukokortikoid
oral. Dosis kumulatif 20 Gy per mata dibagi kepada 10 kali dosis harian
selama 2 minggu, atau dosis 1 Gy per minggu selama 20 minggu. Eksaserbasi
transien sedang pada symptom ocular mungkin terjadi dan dapat dikontrol
dengan penggunaan glukokortikoid oral dosis rendah. Namun, pada pasien
dengan Riwayat retinopati dan/atau diabetes tak terkontrol, radioterapi
menjadi kontraindikasi.
3. Kombinasi glukokortikoid oral dan siklosporin. Prednisone 100mg/ hari
diberikan dan tapered-down secara berperingkat selama 3 bulan, diberikan
dalam dosis tunggal atau kombinasi dengan siklosporin dosis awal
5mg/kg/hari selama 12 bulan. Pilihan lain adalah; prednisone dosis awal
60mg/hari dengan/atau siklosporin dosis awal 7.5mg/kg/hari selama 12
minggu. Sebanyak 60% tidak berespon dengan terapi tunggal.
4. Rituximab 1000mg diberikan 2 kali dalam 2 minggu, atau rituximab 100mg
diikuti injeksi 500mg dalam dosis tunggal. Efek samping ubat dapat dicegah
dengan pemberian premedikasi antihistamin. Efek samping yang bisa muncul
adalah edema periorbital dan inflamasi.7
5. Terapi lain:5
- Injeksi triamcinolone periocular 20mg/minggu selama 4 minggu berturut-
turut terbukti dapat mengurangi diplopia dan ukuran otot ekstraokuler
pada kasus baru GO aktif tanpa efek samping lokal atau sistemik.
- Injek triamcinolone subkonjungtiva efektif dalam mengurangan
pembengkakan dan retraksi sedang kelopak mata pada kasus onset baru
GO dengan peningkatan transien TIO.
- Jika gejala relaps setelah pemberian glukokortikoid di tapered down atau
tidak ada pembaikan secara klinis setelah pemberian glukokortikoid, dapat
diberikan bromocriptine 1.25-7.5mg/hari, dinaikkan secara berperingkat
selama 3-10 bulan dosis tunggal atau bersamaan dengan glukokortikoid.
Prognosis dari graves oftalmopati dipengaruhi oleh beberapa faktor dan usia
juga berperan penting. Anakanak dan remaja umumnya memiliki penyakit yang
ringan tanpa cacat yang bermakna sampai batas waktu yang lama. Pada orang dewasa
manifestasinya sedang sampai berat dan lebih sering menyebabkan perubahan
struktur disebabkan oleh karena gangguan fungsional dan juga merubah gambaran
kosmetik.1,3 Diagnosis dini orbitopati dan laporan pasien dengan resiko berat,
progresifitas penyakit diikuti intervensi dini terhadap perkembangan proses penyakit
dan mengontrol perubahan jaringan lunak dapat mengurangi morbiditas penyakit dan
mempengaruhi prognosis dalam jangka waktu lama.5
Kesimpulan
Gejala dan tanda yang umumnya terjadi adalah retraksi palpebra superior, “lid
lag”, proptosis, restriktif miopati, dan neuropati nervus optikus akibat kompresi.
Pengobatan pada oftalmopati Graves bergantung pada fase penyakit (fase aktif atau
fase inaktif) dan juga berdasarkan tingkat keparahan penyakit (ringan, sedangberat,
atau mengancam penglihatan). Oftalmopati Graves dapat berakhir dengan kebutaan
bila tidak dikenali dengan cepat dan tidak mendapatkan penanganan oleh ahli dalam
bidang ini. Kebutaan dapat disebabkan oleh kerusakan parah pada kornea akibat
eksposur yang lama dan juga akibat kerusakan pada nervus optikus. Manajemen pada
penderita oftalmopati Graves mulai dari terapi obat tetes mata hingga pembedahan.
DAFTAR PUSTAKA
1. Sitorus RS, Sitompul R, Widyawati S, Bani AP. Buku ajar oftalmologi. Badan
Penerbitan FKUI. Jakarta; 2017. Hal 352-62
2. Kanski JJ. Bowling B. Thyroid eye disease. Dalam: Clinical Opthalmology A
Systematic Approach. Edisi 8. Australia; 2016. Hal 82-7.
3. Wastitiamurti RA. Patofisiologi, klasifikasi dan tatalaksana pada Grave’s
Ophtalmopathy. Jurnal Kedokteran Meditek. 2018 Dec 20.
4. Maheswari R, Weis E. Thyroid associated orbitopathy. Indian J Opthamol.
2012. Vol 60 (2). Hal 87-93
5. Subekti I, Soewondo P, Soebardi S, Darmowidjojo B, Harbuwono DS,
Purnamasari D, Tarigan TJ, Wisnu W, Tahapary DL, Kurniawan F, Sidik M.
Practical Guidelines Management of Graves Ophthalmopathy. Acta Medica
Indonesiana. 2019 Oct 1;51(4):364-71.
6. Barrio-Barrio J, Sabater AL, Bonet-Farriol E, Velázquez-Villoria Á, Galofré
JC. Graves’ ophthalmopathy: VISA versus EUGOGO classification,
assessment, and management. Journal of ophthalmology. 2015 Jul;2015.
7. Bartalena L, Baldeschi L, Boboridis K, et al. The 2016 European Thyroid
Association/European Group on Graves’ Orbitopathy Guidelines for the
Management of Graves’ Orbitopathy. Eur Thyroid J. 2016; 5:9–26.