Anda di halaman 1dari 21

BAB I PENDAHULUAN

Kelainan mata yang menyertai hipertiroidisme mempunyai arti penting, karena sebagian besar penderita kelainan mata akibat tiroid adalah penderita penyakit Graves yang bersifat autoimun.1 pada tahun 1835 Grave mengutarakan suatu penyakit akibat naiknya metabolisme tubuh disertai dengan perubahan mata yang yang dinamakan Penyakit Grave atau exofthalmus goiter. Meningkatnya metabolisme menimbulkan perubahan, ini dinamakan tirotoksikosis, perubahan di mata dinamakan oftalmopati. Gejala tersebut disebabkan oleh karena pembentukan tiroksin yang berlebihan.2 Pada penyakit Graves dapat ditemukan kelainan mata berupa edema pretibial, kemosis, proptosis, diplopia, dan penurunan visus.3 Penderita dengan penyakit Grave klasik menunjukkan gejala pembesaran tiroid, tirotoksikosis, kelainan pada kelopak mata, dan eksoftalmus yang dapat unilateral atau bilateral.2 Angka kejadian hipertiroidisme Graves di Amerika Serikat adalah sekitar seperempat dari 1% populasi penduduknya, dimana sekitar 80% pasien hipertiroidisme Graves mengalami kelainan mata.4 Di Amerika Serikat, angka kejadian per tahun untuk oftalmopati Graves diperkirakan sekitar 16 per 100.000 penduduk untuk perempuan dan 2.9 per 100.000 penduduk untuk laki-laki. Prevalensi oftalmopati Graves lebih sering pada perempuan (2.5-6 kali lebih sering dibanding laki-laki) dengan kisaran umur 30-50 tahun.5 Tanda dan gejala yang ditemukan pada pasien oftalmopati Graves dapat bervariasi, tergantung kepada stadiumnya. Awalnya pada stadium akut atau subakut akan ditemukan tanda-tanda inflamasi, barulah setelah itu timbul tanda dan gejala lain yang menyertai sesuai dengan stadium yang mengenai pasien, umumnya akan ditemukan fibrosis.5 Sebagian besar penderita Graves akan mengunjungi ahli penyakit dalam karena keluhan kardiovaskuler, sebagian lain ke ahli bedah atau ahli THT karena keluhan benjolan di leher yang jelas, dan sebagian lagi akan mengunjungi ahli mata akibat kelainan mata khususnya eksoftalmus. Mengingat hal itu, maka sudah selayaknya apabila oftalmopati Graves harus dikenal, dari bentuk yang paling ringan sampai yang terberat.1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi Oftalmopati tiroid merupakan suatu kelainan inflamasi autoimun yang menyerang jaringan orbital dan periorbital mata, yang juga berkaitan dengan keadaan disfungsi tiroid. Definisi lain dari oftalmopati tiroid adalah suatu penyakit dengan peningkatan metabolisme tubuh dan perubahan pada mata. Pada berbagai kepustakaan,tiroid oftalmopati juga kerap dikenal dengan istilah lain serperti oftalmopati Graves, penyakit mata tiroid, oftalmopati terkait tiroid (thyroid-associated ophthalmopathy) dan dysthyroid orbitopathy. 1 Karakterikstik gangguan mata yang sering ditemukan mencakup retraksi kelopak mata atas, edema, eritem, konjungtivitis, penonjolan mata (proptosis), diplopia serta penurunan visus. 1,3 2.2. Epidemiologi dan Faktor Risiko Di Amerika Serikat, dari seluruh pasien dengan hipertiroidisme Graves, 80% ditemukan mengalami kelainan mata.3 Angka kejadian oftalmopati Graves per tahun mencapai 16 per 100.000 penduduk untuk perempuan dan 2.9 per 100.000 penduduk untuk laki-laki. Oftalmopati Graves cenderung lebih sering terjadi pada wanita (2.5-6 kali lebih sering dibanding pria), akan tetapi kasus berat lebih sering ditemukan pada pria. Penderita usia 30-50 tahun juga terbukti paling sering terkena penyakit ini, dengan kasus berat yang sering dijumpai pada pasien di atas usia 50 tahun.5 2.3. Etiologi Proses inflamasi pada oftalmopati tiroid umumnya berhubungan dengan berbagai kelainan tiroid berikut ini:6 Hipertiroidisme Graves Tiroiditis Hashimoto : 80% : 10-15%
2

Abnormalitas imun kelenjar tiroid

: 5%

Beberapa keadaan yang dapat mempengaruhi perjalanan penyakit oftalmopati tiroid antara lain :1 - Keadaan hipertiroidisme yang berat dan lama. - Pengobatan dengan I131. - Merokok. - Pengobatan kelainan mata yang terlambat atau tidak tepat. - Polimorfisme genetik. - Anatomi orbita yang sempit. 2.4. Klasifikasi Klasifikasi kelainan mata tiroid menurut Werner (1977):1 0. Tidak ada gejala maupun tanda 1. Hanya gejala 2. Keterlibatan jaringan lunak, disertai dengan adanya gejala dan tanda 0. Absent a. Minimal b. Moderate c. Marked 3. Proptosis 3 mm, dengan atau tanpa gejala 0. Absent a. Proptosis 3-4 mm b. Proptosis 5-7 mm
3

c. Proptosis > 8 mm 4. Keterlibatan otot ekstraokuler, biasanya disertai dengan diplopia, serta gejala dan tanda lainnya 0. Absent a. Keterbatasan gerak (limitation of motion) b. Restriksi gerak yang nyata (evident restriction of motion) c. Fiksasi ke rongga bola mata 5. Keterlibatan kornea (lagoftalmus) 0. Absent a. Stippling of cornea b. Ulserasi c. Perforasi, nekrosis 6. Kehilangan penglihatan akibat keterlibatan nervus optikus 0. Absent a. Disc pallor, tajam penglihatan 20/20 sampai 20/60 b. Disc pallor, tajam penglihatan 20/70 sampai 20/200 c. Kebutaan, tajam penglihatan < 20/200 2.5. Patogenesis Patogenesis penyakit Graves masih belum diketahui secara pasti. Meski demikian, patogenesis diperkirakan berkaitan dengan gangguan imunologik, baik humoral maupun seluler. Autoantibodi tiroid terhadap tiroglobulin dan fraksi mikrosom sel tiroid sering dijumpai pada penyakit Hashimoto dan lebih jarang pada penyakit Graves. Sekarang diperkirakan terdapat dua komponen patogenik pada penyakit Graves. Pertama, kompleks imun tiroglobulin-anti tiroglobulin berikatan dengan otot-otot ekstra
4

okuler, sehingga menimbulkan miositis. Kedua, zat-zat penyebab eksoftalmos bekerja dengan imunoglobulin oftalmik untuk menyingkirkan thyroid stimulating hormone dari membran retro orbita, yang menyebabkan peningkatan lemak retro orbita.7 Pada penyakit mata tiroid, dapat terjadi perubahan-perubahan sebagai berikut: 1. Hipertropi otot ekstraokuler Hipertropi otot ekstraokuler umumnya disebabkan oleh peningkatan glikosaminoglikans (GACs) pada jaringan orbita. Pada beberapa kasus, otot ekstraokuler dapat membesar delapan kali lipat dari ukuran normalnya.8,9 2. Infiltrasi seluler Pada stadium kongesti, terdapat infiltrasi jaringan oleh sel limfosit, sel plasma, makrofag dan sel mast. Sel-sel tersebut akan mengenali antigen yang dikeluarkan oleh tiroid dan orbita, lalu melakukan infiltrasi pada jaringan orbita dan otot-otot ekstraokuler. Setelah infiltrasi sel-sel limfosit T, maka reseptor limfosit T pada CD4+ akan mengenali antigen dan mensekresi cytokines, yang akan mengaktifkan limfosit T CD4+ dan autoantibodyproducing B cells. Selain itu, cytokines akan merangsang terbentuknya molekul-molekul major histocompatibility complex class II heat dan shock protein 72 (HSP 72) yang berperan pada pengenalan antigen. Terakhir, cytokines juga merangsang fibroblas untuk membentuk dan mensekresi GACs yang akan menarik cairan menuju ke ruang retro orbita, sehingga terjadi pembengkakan ekstraokuler.8,9 3. Proliferasi lemak orbita Pada penderita penyakit mata tiroid juga terjadi proliferasi lemak orbita, jaringan ikat, dan kelenjar lakrimal dengan retensi cairan dan akumulasi glikosaminoglikan.7 Sel-sel preadiposit, yang merupakan bagian dari fibroblas orbita, akan mengalami diferensiasi menjadi sel-sel adiposit, sehingga menyebabkan peningkatan volume jaringan lemak retroorbita. 8,9 periorbita, proptosis, dan pembengkakan otot-otot

2.6. Manifestasi Klinis Oftalmopati tiroid biasanya self-limited dalam waktu satu tahun atau lebih, kemudian menjadi stabil. Oftalmopati yang stabil dapat tereaktivasi, namun hal ini jarang terjadi.10 Penderita berada dalam rentang usia dekade ke-3 hingga ke-4, dan perempuan lebih banyak daripada laki-laki.11 Manifestasi Klinis yang ditemukan pada oftalmopati Graves bervariasi bergantung pada stadium yang diderita.10 Namun, ketidaknyamanan (discomfort) pada permukaan mata merupakan gejala yang paling sering dikeluhkan penderita pada semua stadium oftalmopati tiroid. Keluhan ini biasanya disebabkan oleh keratokonjungtivitis pada daerah limbus superior.12 Gejala lain yang mungkin dikeluhkan pasien antara lain mata kering (dry eyes), bengkak pada kelopak mata, proptosis, diplopia, penurunan tajam penglihatan, penurunan lapangan pandang, kelainan pada penglihatan warna (diskromatopsia), fotopsia, dan nyeri atau tekanan pada mata.10,12 Proptosis sering terjadi bersamaan dengan retraksi palpebra, hal inilah yang membedakan oftalmopati tiroid dari penyebab proptosis yang lain. Proptosis yang disertai dengan retraksi palpebra menyebabkan lagoftalmos, yaitu penderita tidak dapat menutup mata secara maksimal, sehingga terjadilah paparan kornea terhadap lingkungan luar. Hal ini berisiko timbulnya kelainan yang lain pada kornea. Diplopia disebabkan oleh infiltrasi limfosit dan edema pada otototot rectus sehingga terjadi inflamasi. Seiring waktu, otot yang inflamasi dapat mengalami fibrosis sehingga pergerakannya menjadi terbatas secara permanen. Diplopia pertama kali muncul pada daerah atas dari lapangan pandang, namun seiring perkembangannya dapat terjadi dimana saja dan bahkan di seluruh daerah lapangan pandang. Apabila otot-otot ekstraokular membesar secara masif, maka dapat terjadi penekanan nervus optik, yang menyebabkan penurunan visus dan lapangan pandang, kelainan penglihatan warna hingga kebutaan.12 Penekanan nervus optik ini tidak selalu disertai dengan gejala proptosis. Selain gejala-gejala yang telah dijelaskan, dapat juga terjadi pembesaran pada kelenjar lakrimal.10 Selain gejala oftalmopati, pasien juga mengeluhkan gejala sistemik yang merupakan manifestasi dari tirotoksikosis, antara lain takikardia atau yang dirasakan pasien sebagai palpitasi, gugup dan irritable, diaphoresis dan tidak tahan panas, penurunan berat badan dengan nafsu makan yang baik, kelemahan dan lelah (fatigue).13

2.7. Diagnosis Diagnosis ditentukan berdasarkan manifestasi klinis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Diagnosis Oftalmopati pada Hipertiroid (Graves disease) mudah dilakukan apabila ditemukan bersamaan dengan gejala hipertiroidisme. Apabila ditemukan kelainan mata tanpa disertai gejala klinis hipertiroidisme, maka akan menjadi lebih sulit menentukan diagnosis, terutama bila hasil pemeriksaan laboratorium juga ditemukan dalam batas normal.1 2.7.1. Pemeriksaan Fisik 2.7.1.1. Pemeriksaan Oftalmologi Retraksi palpebra Retraksi palpebra merupakan tanda yang khas ditemukan pada oftalmopati tiroid. Retraksi ini dapat melibatkan palpebra superior maupun inferior.12 Namun, yang paling sering dijumpai adalah retraksi palpebra superior disebut dengan dalrymple sign, seringkali disertai dengan terpaparnya sclera pada bagian temporal mata (temporal flare).10 Retraksi palpebra dapat terjadi secara unilateral maupun bilateral.12 Eksoftalmos Eksoftalmos (proptosis) yang disertai dengan retraksi palpebra merupakan tanda khas yang membedakan oftalmopati tiroid dengan penyakit yang lain. Eksoftalmos dapat diperiksa dengan palpasi retropulsi, yaitu dengan melakukan palpasi digital bola mata di atas kelopak mata penderita yang tertutup. Pada penderita dengan eksoftalmos berat dapat dirasakan berkurangnya dorongan ke belakang orbita (retropulsi) pada palpasi.10 Untuk hasil yang lebih objektif, eksoftalmos dapat diukur dengan menggunakan Eksoftalmometer Hertel atau Krahn. Hasil pengukuran dapat menunjukkan derajat eksoftalmos mulai dari ringan, yaitu kurang dari 24 mm, hingga berat yaitu 28 mm atau lebih.12

Gambar 2.1. Oftalmopati Tiroid Berat : proptosis, retraksi palpebra, eritema konjungtiva dan edema periorbita.
(Diambil dari: Geneva Foundation of Medical Education and Research. Graves Ophthalmopathy.
http://www.gfmer.ch/genetic_diseases_v2/gendis_detail_list.php?offset=15&cat3=1342)

Miopati Restrikrif Retraksi palpebra pada oftalmopati tiroid sering pula disertai dengan miopati restriktif, yang menyebabkan gangguan atau adanya hambatan pada pergerakan bola mata. Miopati pada mulanya melibatkan musculus rectus inferior, kemudian melibatkan otot-otot rectus yang lain.12 Otot-otot yang paling sering terlibat adalah musculus rectus inferior dan musculus rectus medialis. Pada keadaan yang lebih berat, hal ini dapat pula menyebabkan strabismus dengan deviasi ke bawah (hipotropia) atau deviasi ke nasal (esotropia).10

Gambar 2.2. Hipotropia Kiri dengan Retraksi Palpebra Superior.


A. Hipotropia dalam posisi tetap. B. Mata kiri lebih turun saat pergerakan ke bawah. C. Pergerakan ke atas mata kiri terbatas.
(Diambil dari: http://telemedicine.orbis.org/bins/content_page.asp?cid=1-2161-2380-2509-2543)

Miopati restriktif dapat dikonfirmasi dengan pemeriksaan forced ductions.10 Pemeriksaan ini berguna untuk membedakan penyebab gangguan pergerakan bola mata karena gangguan neurologis atau restriksi mekanik. Pemeriksaan ini dilakukan dengan cara mendorong konjungtiva yang sudah dianestesi secara pasif dengan forsep. Jika penyebabnya adalah restriksi mekanik, maka pendorongan secara pasif tidak dapat dilakukan.14 Selain forced ductions, dapat pula dilakukan pemeriksaan tekanan intraokular, yaitu terjadinya peningkatan tekanan dengan pergerakan bola mata. Misalnya, pada pasien hipotropik, terjadi peningkatan tekanan intraokular pada saat menggerakkan bola mata ke atas.10 Kelainan pada Kornea Pada kornea dapat terjadi keratokonjungtivitis pada daerah limbus superior, yang disebabkan oleh iritasi berulang kronis oleh trauma mekanis dari palpebra superior. Keratokonjungtivitis limbus superior ini dapat dijadikan tanda prognosis (prognostic marker), bahwa

kemungkinan besar penderita sudah mengalami oftalmopati yang berat. Pada eksoftalmos berat, terjadi paparan kornea yang dapat menyebabkan ulkus kornea.10,12 Kelainan pada Retina dan Nervus Optik Pada oftalmopati tiroid dapat terjadi peningkatan tekanan intra okular yang disebabkan berkurangnya aliran vena episklera.10,12 Peningkatan tekanan intra okular ini dapat menyebabkan perubahanperubahan pada retina, salah satunya terbentuk striae.12 Neuropati optik terjadi akibat kompresi oleh otot-otot ekstraorbital yang mengalami pembesaran, atau dapat pula terjadi karena iskemia nervus optik.12 Gejala yang dialami berupa pandangan kabur, kehilangan penglihatan, diskromatopsia, atau penurunan lapangan pandang.

Neuropati kompresi tidak selalu disertai dengan eksoftalmos, namun pada

pemeriksaan retropulsi didapatkan penurunan yang bermakna. Dapat pula dilakukan pemeriksaan funduskopi untuk melihat adanya edema papil. Namun, karena juga tidak selalu terlihat edema nervus optik, maka penting untuk dilakukan pemeriksaan yang lain, seperti visus, penglihatan warna dan adanya defek pupil aferen untuk mendeteksi adanya neuropati optik.10 Selain tanda-tanda yang telah dijelaskan dapat pula terlihat tandatanda inflamasi di sekitar mata, seperti pembengkakan kelenjar lakrimal dan edema palpebra.10

Gambar 2.3. Inflamasi Aktif pada Oftalmopati Graves


Diambil dari: http://www.mayoclinic.org/medicalprofs/enlargeimage5721.html

Dapat pula ditemukan kerutan pada glabella (glabellar furrows). Tanda-tanda eponim lain yang terkait oftalmopati tiroid antara lain:10 Von Graefe sign: keterlambatan palpebra pada saat menggerakkan bola mata ke bawah. Vigouroux sign: edema palpebra Stellwag sign: penutupan mata tidak sempurna dan jarang mengedipkan mata Grove sign: adanya tahanan ketika menurunkan palpebra superior yang mengalami retraksi Joffroy sign: tidak ada lipatan dahi pada pergerakan bola mata ke atas Mbius sign: konvergensi pupil lemah Ballet sign: adanya restriksi pada satu atau lebih otot ekstraokular.

10

2.7.1.2. Pemeriksaan Fisik Umum Pada pemeriksaan fisik umum ditemukan manifestasi

hipertiroidisme, berupa pembesaran difus kelenjar tiroid, teraba hangat pada palpasi, dan dapat terdengar bruit pada auskultasi. Hal ini disebabkan oleh hiperaktivitas kelenjar tiroid. Ditemukan juga penurunan berat badan, kulit berkeringat banyak dan hangat pada palpasi, kelemahan otot, takikardia pada saat istirahat, dispnea, gelisah, tremor, dan tandatanda lainnya yang menunjukkan adanya peningkatan laju metabolism.13 Pretibial myxedema, clubbing finger (thyroid acropachy) dan onikolisis merupakan tanda-tanda yang dapat ditemukan pada kulit, namun jarang terjadi.10,11 2.7.2. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk memastikan adanya hipertiroidisme adalah pengukuran kadar TSH dan kadar hormon tiroid, yaitu FT3 dan FT4. Biasanya hanya dilakukan pemeriksaan kadar TSH saja untuk menghemat biaya.10 Apabila manifestasi klinis tidak cukup untuk menegakkan diagnosis oftalmopati tiroid, atau apabila perlu membedakan dengan penyebab yang lain, maka dapat dilakukan pencitraan dengan USG (Ultrasonography) orbita, CT (computed-tomography) scan dan MRI (Magnetic Resonance Imaging). USG dapat melihat adanya penebalan otot atau pembesaran vena oftalmika superior. CT scan dan MRI diambil dari potongan aksial dan koronal. MRI lebih sensitif untuk melihat adanya kompresi nervus optik, sedangkan CT scan lebih baik untuk melihat adanya dekompresi pada struktur tulang.10 Pada pencitraan tiroid oftalmopati terlihat penebalan otot tanpa melibatkan tendon. Musculus rectus superior dan musculus rectus medialis adalah otot yang paling sering terlibat. Biasanya penebalan otot terjadi secara bilateral. Pada kasus unilateral ditemukan keadaan yang asimetris, namun tetap melibatkan kedua mata.10

11

Keterlibatan pada hanya musculus rectus lateral saja, adalah suatu hal yang tidak biasa pada oftalmopati tiroid, sehingga harus dicurigai ke arah yang lain, misalnya miositis orbita. Pada miositis orbita juga ditemukan keterlibatan tendon. Pada selulitis orbita biasanya didapatkan gambaran opak pada sinus-sinus paranasal.10 2.7.3. Diagnosis Banding Diagnosis banding meliputi selulitis orbita, miositis orbita hingga tumor atau keganasan. Pada selulitis orbita onset terjadinya proptosis lebih cepat, terlihat tanda-tanda infeksi, seperti demam dan leukositosis, dan pada pencitraan ditemukan opak pada sinus-sinus paranasal. Pada miositis orbita nyeri dirasakan lebih berat, perkembangan penyakit lebih cepat, dan melibatkan pula tendon. Gejala yang nampak lebih sering adalah proptosis, daripada retraksi palpebra. Pada pencitraan sering ditemukan keterlibatan satu otot saja pada musculus rectus lateral.10 2.8. Tatalaksana 2.8.1. Umum Secara umum, pasien perlu diinformasikan mengenai perjalan penyakit ini yang lama dan tidak terdapat cara penyembuhan secara cepat. Pasien juga perlu diedukasi untuk berhenti merokok untuk menurunkan resiko orbitopati kongestif. Tidur dengan kepala sedikit terangkat dapat menurukan edema palpebra pada pagi hari.10 European Group on Graves Orbitopathy (EUGOGO) merekomendasikan terapi sebagai berikut15: Secara umum untuk meringankan gejala: Mencapai eutiroid Berhenti merokok Penggunaan tetes mata dan salep mata pada malam hari untuk gejala akibat pajanan kornea Penggunaan kacamata untuk diplopia simtomatik
12

Untuk mengurangi retraksi palpebra, dapat diberikan injeksi botulinum toxin tipe A oleh dokter yang berpengalaman.

Terapi untuk exopthalmus ringan Terapi secara umum dan kontrol adanya perubahan gejala Terapi untuk exopthalmus sedang berat Steroid IV secara Pulse Therapy dimana total dosis metilprednisolone tidak melebihi 8 g Pemeriksaan adanya disfungsi hepar, hipertensi, ulkus peptik, diabetes, infeksi saluran kemih, dan glaukoma sebelum memulai terapi steroid dosis tinggi. Apabila terapi steroid > 3 bulan, maka pertimbangkan pemberian biphosphonate. Radiasi orbita dapat dipertimbangkan pada pasien dengan diplopia atau adanya restriksi pergerakan bola mata dengan dosis kumulatif 10 Gy namun metode ini dihindari pada pasien dengan retinopati diabetik dan hipertensi berat dan hati- hati pada pasien < 35 tahun. Radiasi orbita dapat diberikan bersamaan dengan terapi steroid Analog somatostatin, azathioprine dan IVIG tidak disarankan Pemberian siklosporin akan menurunkan kebutuhan akan steroid

Terapi untuk exopthalmus berat Steroid IV dosis tinggi adalah terapi utama untuk neuropati optik distiroid Pertimbangkan dekompresi orbita pada pasien dengan neuropati optik distiroid yang tidak respon dengan terapi steroid dosis tinggi 1-2 minggu, dengan kerusakan kornea, ataupun pada pasien yang tidak mampu mentoleransi steroid. Terapi rehabilitatif dilakukan pada pasien dengan penyakit inaktif > 6 bulan dengan urutan a. Dekompresi orbita b. Pembedahan strabismus c. Pemanjangan palpebra d. Blepharoplasty

13

American Thyroid Association / American Association of Clinical Endocrinologists (ATA/AACE) memberikan beberapa rekomendasi tentang oftalmopati grave: Pada pasien hipertiroid dengan oftalmopati Grave ataupun terdapat faktor resiko terjadinya oftalmopati, maka harus dilakukan tindakan untuk mencapai keadaan eutiroid secepatnya Pada pasien non-perokok tanpa gejala klinis oftalmopati, dapat dipikirkan terapi radioiodine tanpa steroid, methimazole ataupun tiroidektomi. Anjurkan pasien untuk berhenti merokok Terapi methimazole, radioiodine, dan tiroidektomi merupakan terapi yang bermanfaat pada pasien dengan hipertiroid grave dengan oftalmopati aktif yang ringan tanpa resiko perburukan penyakit mata ataupun pasien dengan oftalmopati yang inaktif. Apabila pasien Grave dengan oftalmopati aktif ringan memilih untuk terapi radioiodine maka diberikan terapi steroid secara bersamaan Pasien dengan Grave dan oftalmopati sedang hingga berat ataupun oftalmopati yang mengancam jiwa, maka diberikan terapi dengan methimazole ataupun pembedahan.

2.8.2. Steroid Terapi dengan steroid digunakan pada pasien dengan inflamasi berat ataupun adanya neuropati optik akibat kompresi. Steroid dapat menurukan produksi mukopolisakarida oleh fibroblas. Steroid diberikan melalui intravena secara pulse therapy (mis. Metilprednisolone 1 g 2 hari sekali selama 3-6 kali pemberian). Dosis untuk neuropati optik dapat lebih besar. Apabila setelah 48 jam tidak terdapat perbaikan, maka perlu dilakukan dekompresi dan pemberian steroid tetap dilanjutkan. Apabila perlu dapat diberikan penambahan siklosporin, ocreotide dan IVIG untuk kompresi optik. Apabila respon terhadap steroid baik, maka dapat dipertimbangkan radiasi orbita. Pada kasus yang berat, terapi kombinasi steroid, radiasi dan pembedahan dapat dilakukan.

14

2.8.3. Terapi potensial lainnya Imunoterapi pada oftalmopati grave masih merupakan suatu kesulitan dikarenakan mediator imun yang berperan dalam penyakit ini juga berperan dalam sistem imun adaptif sehingga tidak dapat diprediksikan apakah suatu agen biologik yang efektif dalam penyakit imun lain dapat berguna jugapada oftalmopati grave. Agen biologik yang dapat diberikan pada oftalmopati grave dapat dilihat dalam tabel dibawah.16 Antioksidan seperti selenium 200 mcg perhari dapat bermanfaat pada oftalmopati grave.

15

Tabel 2.1. Terapi Potensial pada Oftalmopati Grave


(Diambil dari Bahn RS. Graves Opthalmopathy. 2010. N Engl J Med 2010;362:726 -38)

16

2.8.4. Radiasi Orbita

Radiasi orbita dilakukan pada pasien dengan gejala sedang hingga berat, adanya diplopia, dan kehilangan penglihatan. Radiasi 1500-2000 cGy dalam 10 fraksinasi diberikan dari lateral dengan angulasi posterior. Radiasi akan meruksa fibroblas orbita dan mungkin juga limfosit. Radiasi membutuhkan beberapa minggu untuk menimbulkan efek dan dapat menyebabkan inflamasi sementara sehingga pasien perlu tetap diberikan steroid. Terapi radiasi yang dikombinasi dengan steroid memberikan hasil yang lebih baik. Terapi paling baik diberikan pada pasien dengan inflamasi aktif dalam 7 bulan sejak onset oftalmopati. Radiasi dapat menyebabkan katarak, retinopati radiasi, dan neuropati optik apabila terapi radiasi tidak diberikan secara benar. Diabetes mellitus merupakan kontraindikasi relatif pada karena dapat terjadi perburukan retinopati. Untuk mencegah progresi orbitopati akibat iodin radioaktif maka dapat diberikan steroid dosis rendah (0.5-2 mg/kg/hari) sebelum dan hingga 2 bulan setelah terapi radiasi.

2.8.5. Pembedahan Pembedahan dilakukan selama masa penyakit tenang, kecuali bila terdapat nuropati optik kompresi ataupun adanya pajanan kornea yang berat. Dilakukan pengambilan gambar dan perimetri sebelum pembedahan. Urutan pembedahan juga penting, apabila terdapat proptosis, strabismus dan kelainan palpebra, maka pembedahan dilakukan dengan urutan seperti telah dijelaskan sebelumnya.

a. Dekompresi Orbita Teknik ini dilakukan sebagai terapi awal neuropati optik kompresi atau apabila terapi medis gagal. Biasanya dekompresi dilakukan pada dinding medial dan lateral. Dekompresi dasar orbita harus dihindari karena secara teoritis dapat mengurangi resiko diplopia post-op. Apabila pembesaran dominan terjadi pada jaringan lemak, maka dilakukan dekompresi jaringan lemak orbita. b. Pembedahan Strabismus Tujuan pembedahan ini adalah untuk meminimalisir diplopia dan posisi membaca. Harus dijelaskan kepada pasien bahwa kadang memerlukan beberapa kali pembedahan untuk mencapai hasil yang diinginkan. Untuk
17

mencegah sindrom iskemik okular, maka tindakan pembedahan lebih dari 2 otot per mata dihindari. c. Pembedahan Pemanjangan palpebra (Lid-Lengthening Surgery) Tindakan ini dilakukan apabila retraksi tidak membaik setelah keadaan eutiroid. Tindakan ini bertujuan untuk mengurangi pajanan kornea dan untuk menyamarkan proptosis. Apabila pasien menolak teknik ini, maka dapat diberikan injeksi toxin botulinum pada palpebra superior dan triamsinolon subkonjungtiva. d. Blepharoplasty Teknik ini adalah fase terakhir dalam pembedahan oftalmopati tiroid. Dapat dilakukan dacryopexy apabila terjadi prolaps kelenjar lakrimal.

2.9. Prognosis Apabila tercapai keadaan eutiroid, terjadi perbaikan retraksi palpebra hingga 90% dan 30 % miopati restriktif membaik namun proptosis jarang menunjukkan adanya perbaikan. Pasien dengan klinis yang signifikan (NOSPECS kelas 3 ataupun diatasnya) menunjukkan perjalanan klinis selama 12 hingga 24 bulan sampai menjadi tenang.17 Penelitian lain menunjukkan bahwa laki-laki, hipertiroid yang tidak terkontrol dan adanya riwayat penggunaan steroid berhubungan dengan meningkatnya kebutuhan akan pembedahan strabismus dan atau dekompresi. Adanya diplopia simtomatik dimana terdapat gangguan gerak vertikal dengan atau tanpa komponen horizontal, adanya neuropati optik, dan tekanan intraokular lebih dari 21 mmHg juga merupakan penanda penyakit yang lebih berat.18

18

BAB III KESIMPULAN

Kelainan mata tiroid dapat menyertai hipertiroidisme. Banyak istilah yang digunakan untuk menyatakan keadaan ini, namun istilah oftalmopati Graves lebih sering dipakai. Klasifikasi untuk kelainan mata tiroid yang sering digunakan adalah klasifikasi menurut Werner, dimana kelainan mata tiroid dibagi menjadi 6 kelas berdasarkan manifestasi klinisnya. Proses inflamasi pada kelainan mata tiroid berhubungan dengan hipertiroidisme Graves dan abnormalitas imun kelenjar tiroid. Patogenesis penyakit Graves sampai saat ini masih belum diketahui. Penatalaksanaan oftalmopati tiroid terdiri atas pengobatan medis, pembedahan, dan radiasi. Prognosis oftalmopati tiroid ditentukan oleh beberapa faktor seperti jenis kelamin, hipertiroid tidak terkontrol, riwayat penggunaan steroid, dan adanya diplopia, neuropati optik, dan tekanan intraokular.

19

DAFTAR PUSTAKA 1. Adam JMF, Adam-Sampelan MJ. Oftalmopati Graves, Epidemiologi, Klasifikasi, dan Penatalaksanaan. http://med.unhas.ac.id/index2.php?option=com_content&do_pdf=1&id=173. [diakses 29 Maret 2012] 2. Ilyas, Sidarta et al. Ilmu Penyakit Mata untuk Dokter Umum dan Mahasiswa Kedokteran. 2010. Jakarta: CV Sagung Seto 3. Moeljanto RD. Kelenjar Tiroid, Hipotiroidisme, dan Hipertiroidisme. Dalam: Sudoyo AW dkk, Editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan IPD FKUI, 2007.1933-43 4. Swierzeski SJ. Graves Ophthalmopathy (GO). 2005.

http://www.visionchannel.net/graves/index.shtml. 2 Januari 2002 [diakses 29 Maret 2012] 5. Ing E. Thyroid Ophthalmopathy. http://www.emedicine.com/NEURO/topic476.htm. 6 Juli 2005 [diakses 29 Maret 2012] 6. de Jong AL. Graves Ophthalmopathy. http://www.bcm.edu/oto/51393.htm. 2006 [diakses 29 Maret 2012] 7. Sanders, Graham ME. Gangguan Mata yang Menyertai Penyakit Sistemik.

Dalam:Vaughan DG, Asbury T, Riordan-Eva P, Suyono J, Editor. Oftalmologi Umum Edisi 14. Jakarta: EGC, 2000.330-2 8. Kanski JJ. Dysthyroid Ophthalmopathy. Dalam: Clinical Ophthalmology, Third Edition. London: Butterworth-Heinemann, 1994.32-7 9. Ophthalmologic Aspects of Thyroid Eye Disease dalam Endokrin-Metabolik Kapita Selekta Tiroidologi Cet. 1-. Surabaya: Airlangga University Press, 2006. 38-37-46 10. Ing E, Roy. H. Thyroid-Associated Orbitopathy. http://emedicine.medscape.com/article/1218444-overview#aw2aab6b5. Updated: January 17, 2012. [diakses: 25 Maret 2012] 11. Kanski JJ, Jayant M. Clinical Ophthalmology. 5th ed. London: Butterworth Heinemann. 2006.
20

12. Riordan-Eva P, Whitcher JP. Vaughan & Asburys General Ophthalmology, Seventeenth Edition. USA: McGraw-Hill Companies. 2008. 13. McCance KL, Huether SE, Brashers VL, Editor, Rote NS, Editor. Pathophysiology: The Biologic Basis for Disease in Adults and Children. 5th edition. Missouri: Mosby Elsevier. 2010. 14. Kunimoto D, Kanitkar K & Makar M. The Wills Eye Manual. Office and Emergency Room Diagnosis and Treatment of Eye Disease. Fourth Edition. Lippincott Williams & Wilkins. 2004. 15. http://web.ebscohost.com/dynamed/detail?vid=3&hid=119&sid=a80807a5-ad4b-48a68415a777e218a93a%40sessionmgr10&bdata=JnNpdGU9ZHluYW1lZC1saXZlJnNjb3BlPXN pdGU%3d#db=dme&AN=115280 16. Bahn RS. Graves Opthalmopathy. 2010. N Engl J Med 2010;362:726-38 17. Chong KL. Thyroid Eye Disease : A Comprehensive Review. 2010. HongKong Medical Diary 2010;15(10):4-8 18. Looi ALG et al. Factors Associated with Decompression and Strabismus Surgery in Thyroid Eye Disease. Ann Acad Med Singapore 2005;34:154-7

21

Anda mungkin juga menyukai