Anda di halaman 1dari 21

LAPORAN KASUS

“SEORANG LAKI-LAKI USIA 65 TAHUN DENGAN SNAKE BITE”

Diajukan untuk memenuhi laporan kasus untuk syarat dalam menempuh


Program Pendidikan Kepaniteraan Umum Ilmu Bedah
di Rumah Sakit Umum Daerah Tugurejo

Diajukan kepada:
dr. Antonius Suryanto, Sp.B

Disusun oleh:
Diva Zabrina Santoso
H3A021047

KEPANITERAAN KLINIK ILMU BEDAH


RSUD TUGUREJO SEMARANG
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SEMARANG
SEMARANG
2022
LEMBAR PENGESAHAN
KEPANITRAAN KLINIK ILMU BEDAH

Laporan kasus ini telah dipresentasikan dan disetujui oleh dokter pembimbing dari

Nama : Diva Zabrina Santoso


NIM : H3A021047
Fakultas : Kedokteran Umum
Universitas : Universitas Muhammadiyah Semarang
Stase : Ilmu Bedah
Judul : Seorang Laki-laki Usia 65 Tahun dengan Snake Bite
Pembimbing : dr. Antonius Suryanto, Sp.B

Semarang, November 2022


Dokter Pembimbing

dr. Antonius Suryanto, Sp.B

i
BAB I

STATUS PEMERIKSAAN PASIEN

A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. J
Usia : 65 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Suku : Jawa
Alamat : Kedungpani
Status Perkawinan : Menikah
Nomor Rekam Medis : 63-XX-XX
Tanggal Masuk RS : 13 November 2022
Cara Penerimaan : Instalasi Gawat Darurat
Ruang Perawatan : Anggrek
Jaminan Kesehatan : BPJS
B. ANAMNESIS
Dilakukan autoanamnesis di Bangsal Anggrek RSUD Tugurejo
1. Keluhan utama
Nyeri pada jari kelingking tangan kanan
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD RSUD Tugurejo pada tanggal 13 November
2022 dengan keluhan nyeri pada jari kelingking tangan kanan setelah
digigit ular satu jam sebelum masuk Rumah Sakit. Keluhan nyeri
dirasakan terus menerus seperti tertekan dan bertambah ketika digerakkan.
Skala nyeri VAS 3. Keluhan disertai rasa panas (+) di tempat gigitan
menjalar sampai siku tangan kanan, bengkak (+) sampai pergelangan
tangan kanan, muncul kehitaman dan gelembung pada jari kelingking
tangan kanan. Pusing (+), mual (+), muntah (-), perdarahan di tempat
gigitan (+) tidak aktif.

2
Pasien mengaku digigit ular ketika sedang memotong rumput di
tempat kerja. Ular berwarna kecoklatan, berukuran besar dan memiliki
motif segitiga (ular bandot). Tindakan pertama yang dilakukan pasien
adalah menghisap bisa ular, lalu pasien segera dibawa ke RS. Pasien
menyangkal adanya demam, muntah, berdebar-debar, sesak nafas,
kesemutan dan lemah anggota tubuh.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
a. Riwayat keluhan serupa : disangkal
b. Riwayat perdarahan sukar berhenti : disangkal
c. Riwayat penyakit hipertensi : disangkal
d. Riwayat penyakit jantung : disangkal
e. Riwayat penyakit DM : disangkal
f. Riwayat alergi obat : disangkal
g. Riwayat penyakit asma : disangkal
4. Riwayat Penyakit Keluarga
a. Riwayat keluhan serupa : disangkal
b. Riwayat penyakit jantung : disangkal
c. Riwayat penyakit hipertensi : disangkal
d. Riwayat penyakit DM : disangkal
e. Riwayat penyakit asma : disangkal
5. Riwayat Sosial Ekonomi
a. Kebiasaan merokok : diakui
b. Kebiasaan konsumsi alkohol : disangkal
c. Memakai APD saat bekerja : disangkal
d. Biaya PJS
C. PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan fisik dilakukan di Bangsal Anggrek RSUD Tugurejo Semarang.
1. Keadaan umum : Baik
2. Kesadaran : Compos mentis
3. Vital sign
a. TD : 146/73 mmHg

3
b. Nadi : 75x/menit
c. RR : 20x/menit
d. Suhu : 36,50 C
e. SpO2 : 98%
4. Status Gizi
a. Berat badan : 60 kg
b. Tinggi badan : 165 cm
c. IMT : 22 (Normal)
5. Status Generalisata
a. Kepala : Kesan mesocephal
b. Mata : Pupil isokor (3mm/3mm), refleks cahaya (+/+),
konjungtiva anemis (-/-)
c. Hidung : Epistaksis (-), deformitas (-)
d. Mulut : Sianosis (-/-), sekret (-/-), bleeding (-/-), jejas (-/-)
e. Telinga : Deformitas (-/-), sekret (-/-), bleeding (-/-), jejas (-/-)
f. Leher : Pembesaran limfonodi (-), pembesaran kelenjar tiroid (-),
jejas (-)
g. Thorax
1) Pulmo
Pemeriksaan Anterior Posterior

Inspeksi Kanan Gerakan dada simetris kanan dan kiri, tidak


Kiri ada pernafasan tertinggal, tidak ada jejas
Palpasi Kanan ICS : tidak melebar / menyempit, tidak nyeri

Kiri tekan, tidak ada krepitasi

Perkusi Kanan Sonor Sonor


Kiri Sonor Sonor
Auskultasi Kanan Suara dasar vesikuler
Kiri Ronki (-/-), wheezing (-/-)
2) Cor
a) Inspeksi : ictus cordis tak tampak, ICS normal.
b) Palpasi : ictus cordis teraba, kuat angkat (+), teraba 1-2 cm
medial ICS V linea midclavikularis sinistra

4
c) Perkusi :
Kanan jantung : ICS V linea sternalis dextra
Kiri bawah : ICS V 1-2 medial midclavicularis sinistra
Pinggang : ICS III linea parasternalis sinistra
Kiri atas : ICS II linea parasternalis sinistra
d) Auskultasi : Suara jantung murni: Suara I dan Suara II
regular, murmur (-), gallop (-)
h. Abdomen
1) Inspeksi : Perut tampak datar
2) Auskultasi : Bising usus (+) normal (1x/5 detik)
3) Perkusi : Timpani pada region abdomen
4) Palpasi : Nyeri tekan (-), organomegali (-)
i. Ekstremitas
Superior Inferior

Deformitas -/- -/-

Jejas +/- -/-

Sianosis -/- -/-

Akral hangat +/+ +/+

Oedem +/- -/-

Capillary Refill Time <2 detik <2 detik

6. Status Lokalisata
a. Inspeksi
Jejas (+) bekas gigitan ular berbentuk dua titik, bulla (+) dan edema
lokal pada regio phalanges digiti 5 dextra sampai wrist joint dextra
b. Palpasi
Nyeri tekan (+), edema non pitting (+), akral teraba hangat, pulsasi A.
radialis dextra (+)

5
c. Move
Gerakan aktif dan pasif pada ekstremitas dextra superior terbatas
karena nyeri
d. Sindrom Kompartemen
- Pain (+)
- Pallor (+)
- Parasthesia (-)
- Pulsasi A. Radialis Dextra (+)
- Paralisis (-)
Sindrom kompartemen (-)

6
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Laboratorium Darah Lengkap (13/11/22)
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Normal
Leukosit 7.18 10^3/ul 3.8 – 10.6
Eritrosit 4.85 10^6/ul 4.4 – 5.9
Hemoglobin 14.7 g/dL 13.2 – 17.3
Hematokrit 44.0 % 40 – 52
MCV 90.7 FL 80 – 100
MCH 30.3 Pg 26 – 34
MCHC 33.4 g/dl 32 – 36
Trombosit 326 10^3/ul 150 – 440
RDW 13.1 % 11.5 – 14.5
MPV 9.7 fL 7.0 – 11.0
PLCR 22.2 %
Eosinofil absolute 0.16 10^3/ul 0.045 – 0.44
Basofil absolute 0.03 10^3/ul 0 – 0.2
Neutrofil absolute 4.31 10^3/ul 1.8 – 8
Limfosit absolute 2.16 10^3/ul 0.9 – 5.2
Monosit absolute 0.52 10^3/ul 0.16 – 1
Eosinofil 2.2 % 2–4
Basofil 0.4 % 0–1
Neutrofil 60.1 % 50 – 70
Limfosit 30.1 % 25 – 40
Monosit 7.2 % 2–8
Neutrophil Limfosit Ratio 1.00 <3.13

7
2. Laboratorium Kimia Klinik dan Elektrolit (13/11/22)
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Normal
Glukosa sewaktu H 131 Mg/dL <125
Ureum 26 Mg/dL 10.0 – 50.0
Creatinine 1.01 Mg/dL 0.70 – 1.10
Natrium 131 Mmol/L 135 - 147
Kalium 4.8 Mmol/L 3.5 – 5.0
Chlorida H 106 Mmol/L 95 – 105
3. Pemeriksaan Radiologi (13/11/22)

X-Foto Thorax AP
Klinis : Snake Bite
Cor : Ukuran, bentuk dan letak normal
Pulmo : Corakan bronchovasculer normal
Tampak gambaran infiltrate minimal apex kanan
Diafragma : Baik
Sinus Costophrenicus : Lancip
Kesan : Cor : Normal
TB Paru lesi minimal

8
E. RESUME
Pasien datang ke IGD RSUD Tugurejo pada tanggal 13 November
2022 dengan keluhan nyeri pada jari kelingking tangan kanan setelah digigit
ular satu jam sebelum masuk Rumah Sakit. Keluhan nyeri dirasakan hilang
timbul seperti tertekan dan bertambah ketika digerakkan Keluhan disertai rasa
panas (+) di tempat gigitan menjalar sampai siku tangan kanan, bengkak (+)
sampai pergelangan tangan kanan, kehitaman dan muncul gelembung pada jari
kelingking tangan kanan, pusing (+), mual (+), perdarahan di tempat gigitan
(+) tidak aktif. Tindakan pertama yang dilakukan pasien adalah menghisap
bisa ular, lalu pasien segera dibawa ke RS. Ular berwarna kecoklatan,
berukuran besar dan memiliki motif segitiga (ular bandot). Pasien menyangkal
adanya demam, muntah, berdebar-debar, sesak nafas, kesemutan dan lemah
anggota tubuh.
Pada pemeriksaan didapatkan keadaan umum baik dan pasien compos
mentis. Tanda vital didapatkan tekanan darah 146/73 mmHg, nadi 75x/menit,
frekuensi nafas 20x/menit, suhu 36,5oC dan saturasi oksigen 98%. Status
generalisata dari kepala sampai kaki dalam batas normal. Pemeriksaan status
lokalisata pada inspeksi didapatkan jejas bekas gigitan ular berbentuk 2 titik,
bulla dan edema local pada regio phalanges digiti 5 dextra sampai wrist joint
dextra. Pada palpasi didapatkan nyeri tekan (+), edema non pitting (+), akral
teraba hangat, pulsasi A. radialis dextra (+), gerakan aktif dan pasif terbatas
karena nyeri dan sindrom kompartemen (-).
F. DIAGNOSIS
Snake bite grade II
G. INITIAL PLAN
1. Tatalaksana
a. Infus RL 20 tpm
b. Injeksi ABU 1 vial bolus
c. Injeksi ABU 1 vial drip
d. Injeksi ATS 1500 IU
e. Injeksi Ketorolac 3 x 30 mg

9
f. Injeksi Ranitidin 2 x 50 mg
g. Oral : Paracetamol tab 500 mg
2. Monitoring
a. Keadaan umum
b. TTV
3. Edukasi
a. Menjelaskan kepada pasien dan keluarga pasien mengenai penyakit
yang dialami pasien
b. Menjelaskan kepada pasien dan keluarga pasien mengenai
tatalaksana lanjutan yang akan dilakukan

H. PROGNOSIS
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad bonam
Quo ad sanationam : dubia ad bonam

10
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi
Snake bite merupakan cedera yang disebabkan oleh gigitan ular.
Resiko infeksi gigitan lebih besar dari luka biasa karena toksik atau racun
dapat mengakibatkan infeksi yang lebih parah. Gigitan ular adalah suatu
keadaan darurat yang apabila tidak segera ditangani dapat menyebabkan
kematian. Pada setiap kasus yang dilaporkan sebagai gigitan ular, harus
dipastikan apakah gigitan tersebut disebabkan ular berbisa atau tidak. Hal
tersebut dapat ditentukan antara lain dari luka bekas gigitan yang terjadi. Jika
identifikasi sulit ditentukan, gejala dan tanda akibat gigitan bisa ular menjadi
dasar untuk menegakkan diagnosis. Dalam menghadapi kasus gigitan ular
berbisa diperlukan tata laksana yang cepat, baik dalam menegakkan diagnosis
maupun terapinya, oleh karena dapat menimbulkan kecacatan dan
mengancam jiwa.1
Tabel 1. Perbedaan Ular Tidak Berbisa dan Ular Berbisa
Tidak Berbisa Berbisa
Bentuk Kepala Bulat Elips, segitiga
Gigi Taring Gigi Kecil 2 gigi taring besar
Bekas Gigitan Lengkung seperti U Terdiri dari 2 titik
Warna Warna-warni Gelap

11
2.2. Epidemiologi
Menurut WHO, sekitar 5,4 juta orang mengalami gigitan ular setiap
tahunnya, dan 2,7 juta diantaranya adalah gigitan ular berbisa. Sekitar 81.000
hingga 138.000 orang meninggal setiap tahunnya akibat gigitan ular, dan tiga
kali banyaknya amputasi dan disabilitas permanen disebabkan oleh gigitan
ular tiap tahunnya. Kasus gigitan ular menjadi penyakit tropis yang
terabaikan. Jumlah akurat kasus gigitan ular di dunia sulit diketahui akibat
kesalahan pelaporan yang terjadi. Meskipun langka, beberapa negara telah
melakukan studi untuk mengidentifikasi insidensi, morbiditas dan mortalitas
kasus gigitan ular. Asia Tenggara adalah wilayah yang paling terdampak
karena kepadatan populasinya yang tinggi, besarnya aktivitas agrikultural,
dan banyaknya jenis ular berbisa serta kurangnya program kontrol yang
dibuat. Berdasarkan karakteristik korban di Asia Tenggara, petani merupakan
korban terbanyak yang diikuti oleh pelajar dan ibu rumah tangga, dengan
tingkat mortalitas 0,5% hingga 58%. Gigitan ular lebih sering terjadi pada
laki-laki dengan lokasi terbanyak di ekstremitas bawah. Insidensi gigitan ular
lebih tinggi saat musim hujan dimana aktivitas agrikultur juga lebih tinggi.
Indonesia adalah salah satu negara tropis terbesar yang memiliki kasus
gigitan ular yang cukup tinggi. Terlebih jumlah masyarakat yang bekerja di
bidang agrikultur cukup banyak, yang dikategorikan sebagai populasi berisiko
tinggi Di Indonesia, estimasi kasus gigitan ular pada tahun 2007 sebanyak
12.739-214.883 dengan 2000 - 11.581 kematian. Ketepatan laporan tersebut
juga dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti penanganan tradisional, kasus
terjadi daerah pedesaan sehingga tidak mampu mencapai rumah sakit. Data
epidemiologi nasional tidak tersedia, data yang diperoleh hanya berdasarkan
laporan rumah sakit.2
2.3. Klasifikasi
WHO mengklasifikasi ular berbisa yang penting secara medis pada
regional Asia tenggara yaitu:
1. Elapidae

12
Elapidae memiliki gigi taring pendek di depan (proteroglyph). Famili ini
meliputi kobra, raja kobra, kraits, ular koral, ular Australia dan ular laut.
Elapidae secara relatif merupakan ular yang cukup panjang, kurus,
memiliki warna seragam dengan sisik simetrikal besar halus pada puncak
kepala. Beberapa kobra, meninggikan bagian depan tubuhnya dari tanah
dan melebar dan merata dari leher untuk membentuk kerudung. Beberapa
spesies kobra dapat meludahkan bisanya hingga 1 meter atau lebih
terhadap mata korbannya. Ular laut berbisa memiliki ekor yang lebar
seperti padel dan skala ventral mengecil atau hilang.

2. Viperidae
Viperidae memiliki gigi taring yang cukup panjang (solenogyph) yang
secara normal terlipat rata terhadap rahang atas, tetapi saat menyerang
akan menjadi tegang. Ada dijumpai dua subfamili, viper tipikal
(Viperinae) dan viper pit (Crotalinae). Crotalinae memiliki organ khusus
untuk mendeteksi korban berdarah panas yang terletak diantara hidung
dan mata. Viperidae merupakan ular yang relatif pendek, bertubuh tebal
dengan banyak sisik kasar pada puncak kepala dan pola warna yang khas
pada permukaan dorsal tubuh.

13
3. Colubridae
Dua spesies penting yang telah diidentifikasi pada regional Asia Tenggara
adalah Rhabdophis subminiatus berleher merah dan Rhabdophis triginus.
Piton besar (Boidae), merupakan Python reticularis di Indonesia, pernah
dilaporkan menyerang dan menelan manusia, yang biasanya petani. 3

14
2.4. Patofisiologi
Bisa ular terdiri dari campuran beberapa polipeptida, enzim dan
protein. Jumlah bisa, efek letal dan komposisinya bervariasi tergantung dari
spesies dan usia ular. Bisa ular bersifat stabil dan resisten terhadap perubahan
temperatur.
Terdapat 7 patofisiologi racun pada tubuh manusia bisa menyebabkan
beberapa gejala klinis.
1. Neurotoksin
Bisa ular yang menyerang sistem saraf disebut dengan neurotoksin.
Jenis ular dengan efek neurotoksin terdapat pada ular kobra. Efek yang
dihasilkan dapat menyebabkan kelumpuhan mendadak hingga kematian
akibat obstruksi jalan napas (kelumpuhan jalan napas).
2. Hemotoksin
Efek hemotoksin dapat menyebabkan terganggunya proses
koagulasi darah. Bisa ular akan menyebabkan trombosit menggumpal
sehingga lebih mudah terjadi perdarahan.
3. Kardiotoksin
Racun pada tubuh manusia juga dapat menyebabkan kebocoran
plasma darah, sehingga rentan terjadi perdarahan gastrointestinal yang
massif, menyebabkan hipotensi, dan syok hypovolemia.
4. Nefrotoksin
Gagal ginjal akut dapat terjadi pada pasien yang terkena gigitan
ular. Hal ini karena racun ular dapat menyebabkan nekrosis tubular ginjal.
Sehingga dapat terjadi glomerulonephritis hingga gagal ginjal akut.
5. Sitotoksin
Racun ular dapat memengaruhi aktivasi kontraksi otot yang dapat
menyebabkan otot kehilangan kekuatan dan terjadi paralisis.
6. Nekrotoksin
Efek local dari nekrotoksin adalah terjadi nyeri dan bengkak pada
ekstremitas. Akibat lain dari nekrotoksin yang lebih parah adalah dapat
terjadinya iskemik jaringan dan nekrosis.

15
7. Miotoksin
Myotoksin adalah racun yang memengaruhi otot-otot tubuh,
Paling sering yang terjadi akibat racun ini adalah kelemahan saluran napas,
akut hiperkalemia, dan gagal ginjal akut.
2.5. Penegakan Diagnosis
Diagnosis definitif gigitan ular berbisa ditegakkan berdasarkan
identifikasi ular yang menggigit dan adanya manifestasi klinis. Manifestasi
klinis yang dapat terjadi berupa nyeri bekas gigitan, bengkak yang menjalar,
dan ekimosis. Pada kasus berat dapat timbul bula dan jaringan nekrotik, serta
gejala sistemik berupa mual, muntah, kelemahan otot, gatal sekitar wajah dan
kejang. Pasien jarang mengalami syok, edem generalisata atau aritmia
jantung, tetapi perdarahan sering terjadi.
Pemeriksaan laboratorium biasanya menunjukkan peningkatan jumlah
neutrofil, limfopenia, koagulopati dengan PT dan PTT memanjang, serta
penurunan jumlah fibrinogen. Kadar kreatinin kinase serum normal pada hari
pertama dan kedua setelah perawatan.5
Berdasarkan gejala klinis dan gambaran luka gigitan, snake bite dapat
diklasifikasikan berdasarkan derajatnya, seperti pada tabel berikut.
Tabel 2 . Klasifikasi snake bite menurut Schwartz

16
2.6. Penatalaksanaan
Panduan penanganan gigitan ular di Asia Tenggara oleh WHO adalah
sebagai berikut:
1. Penanganan Bantuan Dasar
Bantuan dasar diberikan secepatnya setelah gigitan, sebelum pasien
mencapai rumah sakit atau penyedia kesehatan. Langkah-langkah
pertolongan yang dapat dilakukan adalah menenangkan korban yang
cemas dan imobilisasi bagian tubuh yang tergigit dengan mengikat/
menyangga dengan kayu agar tidak terjadi kontraksi otot. Hal ini dapat
dilakukan oleh korban gigitan ular sendiri atau orang lain yang ada dan
mampu. Metode bantuan dasar tradisional, popular, yang tersedia dan
terjangkau seringkali tidak bermanfaat atau bahkan membahayakan.
Metode-metode tersebut meliputi: insisi lokal, atau tusukan pada area
gigitan, usaha untuk menghisap bisa dari luka, mengikat erat tourniquet di
sekitar gigitan, shock elektrik, penggunaan bahan kimiawi atau topikal,
tanaman atau es batu. Prinsip utama dari bantuan dasar adalah usaha
untuk memperlambat sistemik absorpsi bisa, menyelamatkan hidup dan
mencegah komplikasi sebelum pasien mendapat layanan kesehatan,
memantau simptom awal bisa yang membahayakan, mengatur
transportasi pasien ke penyedia kesehatan, dan diatas semua itu tujuan
utama adalah tidak membahayakan/ melukai korban.
2. Transportasi ke Rumah Sakit
Korban harus secepatnya ditransfer ke penyedia kesehatan/ rumah
sakit, tetapi dengan sedapat mungkin aman dan nyaman. Pergerakan
terutama pada daerah gigitan dikurangi hingga seminimal mungkin untuk
mencegah peningkatan absorpsi sistemik bisa. Kontraksi otot dapat
meningkatkan penyebaran bisa dari daerah gigitan. Bila mungkin, pasien
ditempatkan pada posisi terlentang, kecuali kalau muntah pasien dapat
diposisikan miring (recovery position)
3. Penilaian klinis dan resusitasi segera

17
Resusitasi kardiopulmonari dapat dilakukan, termasuk penggunaan
oksigen dan pemasangan akses intravena. Penanganan klinis dan
resusitasi segera mengikuti pendekatan ABCDE: Airway, Breathing,
Circulation, Disabilitas sistem saraf, Exposure dan kontrol lingkungan.
4. Penilaian klinis mendetail dan diagnosis spesies
Riwayat gigitan ular, progresi simptom, tanda lokal, dan sistemik
sangat penting. Petunjuk-petunjuk yang menandakan pasien dengan
envenomasi berat, pemeriksaan fisik di daerah gigitan dan secara umum,
tanda envenomasi neurotoksik (paralisis bulbar dan pernapasan), serta
rhabdomiolisis menyeluruh harus diperhatikan pada pasien. Diagnosis
terhadap spesies dapat dilakukan apabila ular dibawa untuk diidentifikasi,
misalnya ular yang telah mati; namun pada kondisi tanpa bukti ular,
identifikasi secara tidak langsung dari deskripsi pasien, bentuk luka
gigitan, dan sindrom klinis gejala dan tanda dapat dilakukan.
5. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan 20 WBCT dan pemeriksaan lainnya dapat membantu
pada kasus gigitan ular berbisa.
6. Pengobatan antivenom
Antivenom merupakan satu-satunya pengobatan antidotum spesifik
terhadap bisa ular. Keputusan paling penting dalam penanganan gigitan
ular adalah perlu atau tidaknya memberikan antivenom. Dalam hal ini,
antivenom hanya diberikan pada pasien dengan mempertimbangkan
manfaat melebihi resikonya, karena antivenom cukup mahal dan sulit
diperoleh dan resiko reaksinya harus turut dipertimbangkan.
Dosis antivenom yang diberikan pada gigitan ular pada dewasa dan
anak-anak adalah sama, karena ular juga menginjeksikan bisa dengan
dosis yang sama. Di Indonesia, antivenom yang tersedia adalah serum
antivenom polivalen (Calloselasma rhodostoma, B fasciatus, N sputatrix)
yang diproduksi oleh Bio Farma dengan sediaan ampul 5 mL. Dosis awal
antivenom yang disarankan dapat diberikan berdasarkan spesies ular.

18
Adapun pedoman terapi pemberian antivenom dapat mengacu pada
Schwartz dan Way:
a. Derajat 0 dan I: tidak diperlukan antivenom, dilakukan evaluasi
dalam 12 jam, bila derajat meningkat maka diberikan antivenom.
b. Derajat II: 3-4 vial antivenom
c. Derajat III: 5-15 vial antivenom
d. Derajat IV: berikan penambahan 6-8 vial antivenom.
7. Fasciotomy
Fasciotomy dilakukan bila ada edem yang makin luas dan terjadi
compartment syndrome (keadaan iskemik berat pada tungkai yang
mengalami revaskularisasi dan menimbulkan edem, disebabkan
peningkatan permeabilitas kapiler dan keadaan hiperemia).
8. Pemberian Antibiotik dan Kortikosteroid
Antibiotik diberikan secara rutin, karena dapat terjadi infeksi pada
tempat gigitan. Sedangkan pemberian kortikosteroid masih
diperdebatkan.6
2.7. Prognosis
Gigitan ular berbisa berpotensi menyebabkan kematian dan keadaan
yang berat, sehingga perlu pemberian antibisa yang tepat untuk mengurangi
gejala. Ekstremitas atau bagian tubuh yang mengalami nekrosis pada
umumnya akan mengalami perbaikan, fungsi normal, dan hanya pada kasus-
kasus tertentu memerlukan skin graft.7

19
DAFTAR PUSTAKA

1. Niasari N dan Latief A. Gigitan ular berbisa. Jurnal Sari Pediatri. 2003;5(3)
2. Chippaux JP. Snake bite : Appraisal of the global situations. Bulletin World
Health Org. 1998;76(5)
3. Adiwinata R, Nelwan EJ. Snakebite in Indonesia. Acta Med Indonesia.
2015;47(4)
4. Wintoko R. Manajemen gigitan ular. Jurnal JUKE Unila. 2020;1
5. Luman A, Endang. Gigitan ular berbisa. Divisi Penyakit Tropik dan Infeksi.
Universitas Sumatera Utara. 2020
6. Ministry of Health and Family Welfare. Management of snake bite. Standart
Treatment Guideliness. 2016
7. Isbister GK, Brown SGA, Page CB, et al. Snakebite in Australia: a practical
approach to diagnosis and treatment. Med J Australia. 2013

20

Anda mungkin juga menyukai