Anda di halaman 1dari 34

LAPORAN KASUS

“Perempuan usia 20 tahun Cidera Kepala Sedang dengan Epidural


Hematom dan Subdural Hematom”

Disusun untuk Ujian Kepaniteraan Klinik Stase Ilmu Bedah


Rumah Sakit Umum Daerah Tugurejo Semarang

Diajukan Kepada :
dr. Rizki Yulianto, Sp.BS
Disusun Oleh :
Sagita Intan
H3A019052

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SEMARANG
RSUD TUGUREJO SEMARANG
2021
KEPANITERAAN KLINIK ILMU BEDAH

Presentasi Laporan Kasus dengan judul :


“Perempuan usia 20 tahun Cidera Kepala Sedang dengan Epidural
Hematom dan Subdural Hematom”

Disusun untuk Ujian Kepaniteraan Klinik Stase Ilmu Bedah


Rumah Sakit Umum Daerah Tugurejo Semarang

Disusun Oleh:
Sagita Intan PS
H3A019052

Telah disetujui oleh Pembimbing:

Nama pembimbing Tanda Tangan Tanggal

dr. M. Rizki Yulianto, Sp.BS ..................... ......................


BAB I

LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Nn. M
Jenis kelamin : Perempuan
Usia : 20 tahun
Suku bangsa : Jawa
Agama : Islam
Alamat : Ngrau Tunggulsari Rt 01/II, Bransong Kendal
Nomor RM : 61-72-84
Tanggal Masuk RS : 16 Agustus 2021

B. ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan secara alloanamnesis pada tanggal 18 Agustus 2021
pukul 09.00 di Bangsal Alamanda RSUD Tugurejo Semarang, didapatkan
hasil:
1. Keluhan utama
Penurunan kesadaran
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD RSUD Tugurejo dengan keluhan penurunan
kesadaran sejak 3 jam SMRS. 5 jam yang lalu pasien mengalami
kecelakan lalu lintas saat sedang mengantar kakaknya kerja dan kemudian
terjatuh dari motor karena menghindari lubang, kemudian dibawa oleh
warga ke salah satu RS setempat. Posisi jatuh kepala belakang terbentur
aspal dan mengalami luka robek, setelah terbentur aspal pasien pingsan
beberapa saat dan setalah itu pasien sadar kembali. Keluarga tidak tahu
apakah pasien menggunakan helm atau tidak. Terdapat perdarahan dari
kepala bagian belakang, sudah dilakukan menanganan awal dan langsung
di rujuk ke RSUD Tugurejo. Saat sampai IGD pasien mengeluhkan nyeri
kepala, mual (+), muntah (+), keluar darah dari telinga kiri dan hidung (+),
kejang (-), dan hingga saat ini pasien belum sadar penuh.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
a. Riwayat trauma sebelumnya : disangkal
b. Riwayat penyakit hipertensi : disangkal
c. Riwayat penyakit jantung : disangkal
d. Riwayat penyakit DM : disangkal
e. Riwayat alergi obat : disangkal
4. Riwayat Penyakit Keluarga
a. Riwayat keluhan serupa : disangkal
b. Riwayat penyakit jantung : disangkal
c. Riwayat penyakit hipertensi : disangkal
d. Riwayat penyakit DM : disangkal
5. Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien tinggal bersama kedua orangtuanya. Pekerjaan pasien swasta, biaya
pengobatan menggunakan BPJS non PBI
C. PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan fisik dilakukan pada tanggal 18 Agustus 2021 pukul 09.30 di
bangsal alamnda
1. Keadaan umum : Tampak kesakitan
2. Kesadaran : Apatis/ GCS = E3M6V4
3. Vital sign
• TD : 130/74 mmHg
• Nadi : 80x/menit
• RR : 20x/menit
• Suhu : 36,50 C

D. STATUS GENERALISATA
1. Kepala : Kesan mesocephal, terdapat vulnus laceratum di regio
parieto occipitalis sinistra yang sudah dijahit dengan
panjang + 3 cm
2. Mata : Konjungtiva anemis (-/-), pupil bulat isokor, diameter
pupil ± 3mm/3mm, refleks pupil direk & indirek (+/+),
racoon eyes (-/-)
3. Hidung : Epistaksis (-), Deformitas (-)
4. Mulut : Sianosis (-/-), sekret (-/-), bleeding (-/-), jejas (-/-).
5. Telinga : Deformitas (-/-), sekret (-/-), bleeding (-/-), jejas (-/-),
battle sign (-)
6. Leher : Nyeri tekan trakea (-), pembesaran limfonodi (-),
Pembesaran kelenjar tiroid (-), jejas (-)
7. Thorax
• Pulmo
Pemeriksaan Depan Belakang

Inspeksi Kanan Gerakan dada simetris kanan dan kiri, tidak ada pernafasan
Kiri tertinggal, tidak ada jejas
Palpasi Kanan Vokal fremitus simetris kanan dan kiri
Kiri ICS : tidak melebar / menyempit, tidak nyeri tekan, tidak ada
krepitasi
Perkusi Kanan Sonor Sonor
Kiri Sonor Sonor
Auskultasi Kanan Suara dasar vesikuler
Kiri Ronki (-/-), wheezing (-/-)
• Cor
Inspeksi : ictus cordis tampak, ICS normal.
Palpasi : ictus cordis teraba, kuat angkat (+), teraba 1-2 cm
medial ICS V linea midclavikularis sinistra
Perkusi
Kanan jantung : ICS V linea sternalis dextra
Kiri bawah : ICS V 1-2 medial midclavicularis sinistra
Pinggang jantung : ICS III linea parasternalis sinistra
Kiri atas : ICS II linea parasternalis sinistra
Auskultas : Suara jantung murni: Suara I dan Suara II regular,
murmur (-), gallop (-).
8. Abdomen
a) Inspeksi : Perut tampak cembung
b) Auskultasi : Bising usus (+) normal (1x/5 detik)
c) Perkusi : Timpani pada region abdomen,
d) Palpasi : nyeri tekan (-), organomegali (-)

9. Ekstremitas :
Superior Inferior
Deformitas -/- -/-
Gerakan Bebas/ Bebas Bebas/ Bebas
Kekuatan 5-5-5/5-5-5 5-5-5/5-5-5
Akral hangat +/+ +/+
Oedem -/- -/-
Capillary Refill Time <2 detik <2 detik

4. Status neurologis
Kesadaran
• Kualitatif : Apatis
• Kuantitatif : E3M6V4
• Orientasi : Baik
• Jalan pikiran : Baik / koheren
• Kemampuan bicara : Baik
1. Fungsi motorik Kekuatan
5,5,5 5,5,5
5,5,5 5,5,5
2. Tonus otot

N N
N N
3. Gerakan

Bebas Bebas
Bebas Bebas

• Refleks Fisiologis

Kanan Kiri

Refleks Biceps Normal Normal


Refleks Triceps Normal Normal
Refleks Ulna dan Radialis Normal Normal
Refleks Patella Normal Normal
Refleks Achilles Normal Normal

• Refleks Patologis
Kanan Kiri

Babinski - -
Chaddock - -
Oppenheim - -
Gordon - -
Schaeffer - -
Mendel Bachterew - -
Rosollimo - -
Gonda - -
Hofman Trommer - -
Klonus patella - _

• Fungsi Sensorik
Kanan Kiri
Eksteroseptif
Rasa nyeri N N
Rasa raba N N
Rasa suhu N N
Propioseptif
Rasa gerak dan sikap N N
Rasa getar N N
Diskriminatif
Rasa gramestesia N N
Rasa barognosia N N
Rasa topognosisa N N

• Pemeriksaan rangsal meningeal


Kaku kuduk -
Kernig sign -
Brudzinski I -
Brudzinski II -
Brudzinski III -
Brudzinski IV -

• Pemeriksaan motorik Nervus cranialis :


1. N. I (Olfactorius)
KANAN KIRI
Subjektif Normal Normal
Objektif Tidak dilakukan Tidak dilakukan

2. N. II (Opticus)

KANAN KIRI
Tajam
Tidak dilakukan Tidak dilakukan
penglihatan
Lapang pandang Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Melihat warna Normal Normal
Funduskopi Tidak dilakukan Tidak dilakukan

3. N. III (Okulomotorius), N. IV (Troklearis), dan N. VI


(Abducens)

KANAN KIRI

Pergerakan bulbus Normal Normal


Sikap bulbus Sentral Sentral
Strabismus (-) (-)
Nistagmus (-) (-)
Eksoftalmus (-) (-)
Ptosis (-) (-)
Ukuran pupil Diameter 3mm Diameter 3 mm
Bentuk pupil Bulat, isokor Bulat isokor
Refleks direk (+) (+)
Refleks indirek (+) (+)
Melihat kembar (-) (-)

4. N. V (Trigeminus)

KANAN KIRI
Membuka mulut Pasien dapat membuka mulut
Mengunyah Pasien dapat mengunyah
Menggigit Pasien dapat mengigit
Reflek kornea Tidak dilakukan
Sensibilitas muka Normal Normal

5. N. VII (Facialis)

KANAN KIRI
Mengerutkan dahi Asimetris
Mengangkat alis Asimetris
Menutup mata + -
Menyeringai Asimetris
Mencucu Asimetris
Pengecapan lidah 2/3
Tidak dilakukan
anterior

6. N. VIII (Vestibulokoklearis)

KANAN KIRI
Suara berbisik Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Tes Webber Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Tes Rinne Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Tes Swabach Tidak dilakukan Tidak dilakukan

7. N. IX (Glossopharyngeus)

HASIL
Pengecapan lidah 1/3
Tidak dilakukan
posterior
Refleks muntah Tidak dilakukan

8. N. X (Vagus)

HASIL
Arcus faring Simetris, uvula ditengah
Menelan Normal
Refleks muntah Tidak dilakukan
9. N. XI (Accessorius)

KANAN KIRI

Mengangkat bahu (+) (+)


Memalingkan kepala (+) (+)

10. N. XII (Hipoglossus)

HASIL

Tremor lidah (-)


Lidah menjulur Normal
Artikulasi Normal
E. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium, tanggal 16 Agustus 2021
1. Darah lengkap
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Normal
Leukosit H 28.47 10^3/ul 3.8 – 10.6
Eritrosit 4.77 10^3/ul 4.4 – 5.9
Hemoglobin 13.10 g/dl 13.2 – 17.3
Hematokrit 44.30 % 40 – 52
MCV 92.90 Fl 80 – 100
MCH 27.50 Pg 26 – 34
MCHC L 29.60 g/dl 32 – 36
Trombosit 408 10^3/ul 150 – 440
RDW 13.10 % 11.5 – 14.5
PLCR 29.8 %
Eosinofil absolute L 0.01 10^3/ul 0.045 – 0.44
Basofil absolute 0.06 10^3/ul 0 – 0.02
Neutrofil absolute H 25.57 10^3/ul 1.8 – 8
Limfosit absolute 1.69 10^3/ul 0.9 – 5.2
Monosit absolute L 1.14 10^3/ul 0.16 – 1
Eosinofil L 0.00 % 2–4
Basofil 0.20 % 0–1
Neutrofil H 89.90 % 50 – 70
Limfosit L 5.90 % 25 – 40
Monosit 4.00 % 2– 8

2. Kimia Klinik (Serum) B


Glukosa sewaktu H 169 mg/dl <125
SGOT 32 U/L 0-35
SGPT H 36 U/L 0-35
Ureum 20.0 mg/dL 10.0-50.0
Creatinin L 0.29 mg/dL 0.70-1.10
Kalium L 3.43 mmol/l 3.5-5.0
Natrium 136.4 mmol/l 135-145
Chlorida 104.3 mmol/L 95.0-105
3. CT-Scan kepala tanpa kontras
Klinis: CKS
Tampak lesi hiperdens bentuk biconvex pada regio parieto occipital kiri
Lesi hiperdens bentuk semilunar tipis pada frontotemporal kanan
Lesi hiperden intra sulsii temporal kanan dan intra fissure sylvii kanan
Sulkus kortikalis dan fissure sylvii menyempit
Midline shifting (-)
System ventrikel dan sisterna baik
Pons dan cerebellum baik
Kedua oribta intake
Tampak hematosinus ethmoid kanan dan hematosinus sphenoid kanan
Tampak fraktur pada tulang temporal kiri
Tampak diskontinuitas pada dinding lateral sinus sphenoid kanan
Tampak pneumocephali fossa temporal kanan kiri

Kesan :
Epidural hematom pada regio parieto occipital kiri
Subdural hematom tipis regio fronto temporal kanan
Sub arachnoid hemorrhagic intra sulsii temporal kanan dan intra fissure
sylvii kanan
Hematosinus ethmoid kanan dan hematosinus sphenoid kanan
Pneumocephali pada fossa media kanan-kiri
Fraktur tulang temporal kiri
Suspek fraktur dinding lateral sinus sphenoid kanan
4. X- Foto thorax AP

Cor : < 50%, bentuk dan letak normal


Aorta baik
Pulmo : corakan bronchovasculer normal
Tidak tampak infiltrat pada kedua paru
Hilus tak menebal
Diafragma dan sinus costoprhenicus kanan- kiri baik
Tulang dan jaringan lunak baik

Kesan :
Cor dan pulmo dalam batas normal
Tulang dan jaringan lunak baik

F. DIAGNOSIS
CKS dengan vulnus laceratum di regio parieto occipitalis sinistra
Epidural hematom
Subdural hematom
Paralisis N. VII perifer
G. INISIAL PLAN
1. Plan Terapi
a. Terapi awal :
Pasang neck collar
Anestesi Lokal
Irigasi
Debridement
Hecting
b. Medikamentosa
Infus RL 20 tetes/menit
Inj ketorolac 3 x 30mg
Inj ceftriaxone 2x 1 mg
Inj ranitidine 2x 50mg
Asam traneksamat 3 x 500 mg oral
c. Non medikamentosa :
Kontrol KU dan TTV
Konsul dokter Sp. BS
2. Plan edukasi :
a. Menjelaskan kepada pasien dan keluarganya mengenai penyakit
pasien
b. Menjelaskan kepada pasien dan keluarganya bahwa pasien perlu
menjalani rawat inap

H. PROGNOSIS
1. Quo ad Vitam : Dubia ad bonam
2. Quo ad Sanam : Dubia ad bonam
3. Quo ad Fungsional : Dubia ad bonam
LEMBAR FOLLOW-UP

Tgl S O A P
19-08-21 Nyeri KU: baik CKS • Infus RL 20 tpm
Pukul kepala, GCS: E3M6V5 compos • Injeksi Fenitoin 3 x
06.00 mual mentis Epidural hematom 100 mg
muntah TD: 150/91 mmHg Subdural hematom • Injeksi Antalgin
HR: 82x/menit 3x1g
RR:20x/menit Paralisis N. VII perifer • Injeksi manitol
T: 36,3oC 4 x 125 cc
• Injeksi citicolin
2 x 500 mg
• Metilprednisolon 3 x
16 mg
20-08-21 Nyeri KU: baik CKS • Infus RL 20 tpm
Pukul kepala GCS: E4M6V5 compos • Injeksi Fenitoin 3 x
06.00 berkurang mentis Epidural hematom 100 mg
TD: 135/90 mmHg Subdural hematom • Injeksi Antalgin
HR: 80x/menit 3x1g
RR:20x/menit Paralisis N. VII perifer • Injeksi manitol
T: 36,5oC 4 x 125 cc
• Injeksi citicolin
2 x 500 mg
• Metilprednisolon 3 x
16 mg
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

CEDERA KEPALA

1. Definisi
Cedera kepala adalah trauma mekanik pada kepala yang terjadi baik secara
langsung atau tidak langsung yang kemudian dapat berakibat pada gangguan
fungsi neurologis, fungsi fisik, kognitif, psikososial, yang dapat bersifat temporer
ataupun permanent.1 Menurut Brain Injury Assosiation of America, cedera kepala
adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital ataupun
degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan / benturan fisik dari luar, yang dapat
mengurangi atau mengubah kesadaran, sehingga menimbulkan kerusakan
kemampuan kognitif dan fungsi fisik.2

2. Anatomi Kepala
a. Kulit kepala
Kulit kepala terdiri dari 5 lapisan yang disebut sebagai SCALP yaitu:2
➢ Skin atau kulit
➢ Connective tissue atau jaringan penyambung
➢ Aponeuris atau galea aponeurotika yaitu jaringan ikat yang berhubungan
langsung dengan tengkorak
➢ Loose areolar tissue atau jaringan penunjang longgar.
➢ Perikranium
Jaringan penunjang longgar memisahkan galea aponeurotika dari
perikranium dan merupakan tempat yang biasa terjadinya perdarahan
subgaleal. Kulit kepala memiliki banyak pembuluh darah sehingga bila
terjadi perdarahan akibat laserasi kulit kepala akan menyebabkan banyak
kehilangan darah terutama pada anak-anak atau penderita dewasa yang
cukup lama terperangkap sehingga membutuhkan waktu lama untuk
mengeluarkannya.2
b. Tulang Tengkorak
Terdiri dari kubah (kalvaria) dan basis kranii. Tulang tengkorak terdiri
dari beberapa tulang yaitu frontal, parietal, temporal dan oksipital. Kalvaria
khususnya diregio temporal adalah tipis, namun disini dilapisi oleh otot
temporalis. Basis cranii berbentuk tidak rata sehingga dapat melukai bagian
dasar otak saat bergerak akibat proses akselerasi dan deselerasi. Rongga
tengkorak dasar dibagi atas 3 fosa yaitu fosa anterior tempat lobus frontalis,
fosa media tempat temporalis dan fosa posterior ruang bagi bagian bawah
batang otak dan serebelum.2
c. Meninges
Selaput meninges menutupi seluruh permukaan otak dan terdiri dari 3 lapisan
yaitu :
1. Duramater
Duramater secara konvensional terdiri atas dua lapisan yaitu lapisan
endosteal dan lapisan meningeal. Duramater merupakan selaput yang
keras, terdiri atas jaringan ikat fibrosa yang melekat erat pada permukaan
dalam dari kranium. Karena tidak melekat pada selaput arachnoid di
bawahnya, maka terdapat suatu ruang potensial (ruang subdura) yang
terletak antara duramater dan arachnoid, dimana sering dijumpai
perdarahan subdural.2,3
Pada cedera otak, pembuluh-pembuluh vena yang berjalan pada
permukaan otak menuju sinus sagitalis superior di garis tengah atau
disebut Bridging Veins, dapat mengalami robekan dan menyebabkan
perdarahan subdural. Sinus sagitalis superior mengalirkan darah vena ke
sinus transversus dan sinus sigmoideus. Laserasi dari sinus-sinus ini
dapat mengakibatkan perdarahan hebat. Arteri meningea terletak antara
duramater dan permukaan dalam dari kranium (ruang epidural). Adanya
fraktur dari tulang kepala dapat menyebabkan laserasi pada arteri-arteri
ini dan menyebabkan perdarahan epidural. Yang paling sering
mengalami cedera adalah arteri meningea media yang terletak pada fosa
temporalis (fosa media).2,3
2. Selaput Arakhnoid
Selaput arakhnoid merupakan lapisan yang tipis dan tembus pandang.
Selaput ini dipisahkan dari dura mater oleh ruang potensial, disebut
spatium subdural dan dari pia mater oleh spatium subarakhnoid yang
terisi oleh liquor serebrospinalis. Perdarahan sub arakhnoid umumnya
disebabkan akibat cedera kepala.2
3. Pia mater
Pia mater melekat erat pada permukaan korteks serebri. Pia mater adalah
membrana vaskular yang dengan erat membungkus otak, meliputi gyri
dan masuk kedalam sulci yang paling dalam. Membrana ini membungkus
saraf otak dan menyatu dengan epineuriumnya. Arteri-arteri yang masuk
kedalam substansi otak juga diliputi oleh pia mater.2

d. Otak

Otak merupakan suatu struktur gelatin dengan berat pada orang dewasa
sekitar 14 kg. Otak terdiri dari beberapa bagian yaitu proensefalon (otak
depan) terdiri dari serebrum dan diensefalon, mesensefalon (otak tengah) dan
rhombensefalon (otak belakang) terdiri dari pons, medula oblongata dan
serebellum.2
Fisura membagi otak menjadi beberapa lobus. Lobus frontal berkaitan
dengan fungsi emosi, fungsi motorik dan pusat ekspresi bicara. Lobus parietal
berhubungan dengan fungsi sensorik dan orientasi ruang. Lobus temporal
mengatur fungsi memori tertentu. Lobus oksipital bertanggung jawab dalam
proses penglihatan. Mesensefalon dan pons bagian atas berisi sistem aktivasi
retikular yang berfungsi dalam kesadaran dan kewaspadaan. Pada medulla
oblongata terdapat pusat kardiorespiratorik. Serebellum bertanggung jawab
dalam fungsi koordinasi dan keseimbangan.2
e. Cairan serebrospinalis
Cairan serebrospinal (CSS) dihasilkan oleh plexus khoroideus dengan
kecepatan produksi sebanyak 20 ml/jam. CSS mengalir dari dari ventrikel
lateral melalui foramen monro menuju ventrikel III, dari akuaduktus sylvius
menuju ventrikel IV. CSS akan direabsorbsi ke dalam sirkulasi vena melalui
granulasio arakhnoid yang terdapat pada sinus sagitalis superior. Adanya
darah dalam CSS dapat menyumbat granulasio arakhnoid sehingga
mengganggu penyerapan CSS dan menyebabkan kenaikan tekanan
intracranial. Angka rata-rata pada kelompok populasi dewasa volume CSS
sekitar 150 ml dan dihasilkan sekitar 500 ml CSS per hari.2,4

f. Tentorium
Tentorium serebeli membagi rongga tengkorak menjadi ruang
supratentorial (terdiri dari fosa kranii anterior dan fosa kranii media) dan
ruang infratentorial (berisi fosa kranii posterior).2
g. Vaskularisasi Otak
Otak disuplai oleh dua arteri carotis interna dan dua arteri vertebralis.
Keempat arteri ini beranastomosis pada permukaan inferior otak dan
membentuk sirkulus Willisi. Vena-vena otak tidak mempunyai jaringan otot
didalam dindingnya yang sangat tipis dan tidak mempunyai katup. Vena
tersebut keluar dari otak dan bermuara ke dalam sinus venosus cranialis.2

3. Fisiologi Cedera Kepala


a. Tekanan intracranial
Berbagai proses patologi pada otak dapat meningkatkan tekanan
intracranial yang selanjutnya dapat mengganggu fungsi otak yang akhirnya
berdampak buruk terhadap penderita. Tekanan intracranial yang tinggi
dapat menimbulkan konsekwensi yang mengganggu fungsi otak. TIK
Normal kira-kira sebesar 10 mmHg, TIK lebih tinggi dari 20mmHg
dianggap tidak normal. Semakin tinggi TIK setelah cedera kepala, semakin
buruk prognosisnya.2
b. Hukum Monroe-Kellie
Konsep utama Volume intrakranial adalah selalu konstan karena sifat
dasar dari tulang tengkorak yang tidak elastik. Volume intrakranial (Vic)
adalah sama dengan jumlah total volume komponen-komponennya yaitu
volume jaringan otak (V br), volume cairan serebrospinal (V csf) dan
volume darah (Vbl).2,5
Vic = V br+ V csf + V bl
c. Tekanan Perfusi otak
Tekanan perfusi otak merupakan selisih antara tekanan arteri rata-rata
(mean arterial presure) dengan tekanan intrakranial. Apabila nilai TPO
kurang dari 70mmHg akan memberikan prognosa yang buruk bagi
penderita.2
d. Aliran darah otak (ADO)
ADO normal kira-kira 50 ml/100 gr jaringan otak permenit. Bila ADO
menurun sampai 20-25ml/100 gr/menit maka aktivitas EEG akan
menghilang. Apabila ADO sebesar 5ml/100 gr/menit maka sel-sel otak
akan mengalami kematian dan kerusakan yang menetap.2,4

4. Patofisiologi Cedera Kepala

Pada cedera kepala, kerusakan otak dapat terjadi dalam dua tahap yaitu
cedera primer dan sekunder. Cedera primer merupakan cedera akibat langsung
dari suatu ruda paksa, dapat disebabkan benturan langsung kepala dengan suatu
benda keras maupun proses akselerasi deselerasi dari gerakan kepala. Dalam
mekanisme cedera kepala dapat terjadi peristiwa coup dan contrecoup. Cedera
primer yang diakibatkan oleh adanya benturan pada tulang tengkorak dan
daerah sekitarnya disebut lesi coup. Pada daerah yang berlawanan dengan
tempat benturan akan terjadi lesi yang disebut contrecoup. Akselarasi-
deselarasi terjadi karena kepala bergerak dan berhenti secara mendadak dan
kasar saat terjadi trauma. Perbedaan densitas antara tulang tengkorak (substansi
solid) dan otak (substansi semisolid) menyebabkan tengkorak bergerak lebih
cepat dari muatan intrakranialnya. Bergeraknya isi dalam tengkorak memaksa
otak membentur permukaan dalam tengkorak pada tempat yang berlawanan
dari benturan (contrecoup).
Cedera sekunder merupakan cedera yang terjadi akibat berbagai proses
patologis yang timbul sebagai tahap lanjutan dari kerusakan otak primer,
berupa perdarahan, edema otak, kerusakan neuron berkelanjutan, iskemia,
peningkatan tekanan intrakranial dan perubahan neurokimiawi.

5. Klasifikasi Cedera Kepala


Cedera kepala diklasifikasikan dalam berbagai aspek. Secara praktis dikenal 3
deskripsi kalsifikasi yaitu berdasarkan mekanisme, beratnya cedera kepala, dan
morfologinya.5
a. Mekanisme cedera
Berdasarkan mekanismenya cedera kepala dibagi atas cedera kepala
tumpul dan cedera kepala tembus. Cedera kepala tumpul biasanya
berkaitan dengan kecelakaan mobil atau motor, jatuh atau terkena pukulan
benda tumpul. Sedang cedera kepala tembuus disebabkan oleh peluru atau
tusukan.
b. Beratnya Cedera
Glasgow Coma Scale (GCS) digunakan untuk menilai secara kuantitatif
kelainan neurologis dan dipakai secara umum dalam deskripsi beratnya
penderita cedera kepala. Klasifikasi cedera kepala berdasarkan GCS,
sebagai berikut :
1. Cedera Kepala Ringan (GCS: 14-15)
2. Cedera Kepala Sedang (GCS: 9-13)
3. Cedera Kepala Berat (GCS ≤ 8)
Glasgow Glasgow Coma Scale nilai ai
Respon membuka mata (E)
Buka mata spontan 4
Buka mata bila dipanggil/rangsangan suara 3
Buka mata bila dirangsang nyeri 2
Tak ada reaksi dengan rangsangan apapun 1

Respon verbal (V)


Berorientasi baik, dapat bercakap-cakap 5
Bingung, bicara meracau, disoreintasi tempat dan waktu 4
Bisa membentuk kata tapi tidak bisa membentuk kalimat 3
Bisa mengeluarkan suara tanpa arti (mengerang) 2
Tidak bersuara 1

Respon motorik (M)


Mengikuti perintah 6
Melokalisir nyeri (menjangkau dan menjatuhkan stimulus
saat diberi nyeri) 5
Menghindari nyeri (withdraws) 4
Respon fleksi saat diberikan rasang nyeri (decorticate) 3
Respon ekstensi saat diberikan rangsang nyeri (decerebrate
posturing) 2
Tidak berekasi 1

c. Morfologi Cedera
Secara morfologi, kejadian cedera kepala dibagi menjadi:
a) Fraktur Kranium
Fraktur kranium dapat terjadi pada atap atau dasar tengkorak, dan
dapat terbentuk garis atau bintang dan dapat pula terbuka atau
tertutup. Fraktur dasar tengkorak membutuhkan pemeriksaan CT scan
untuk memperjelas garis frakturnya. Adanya tanda-tanda klinis fraktur
dasar tengkorak menjadikan petunjuk kecurigaan untuk melakukan
pemeriksaan lebih rinci. Tanda-tanda tersebut antara lain :6
1) Ekimosis periorbital ( Raccoon eye sign)
2) Ekimosis retro aurikuler (Battle`s sign)
3) Kebocoran CSS ( rhonorrea, ottorhea)
4) Parese nervus facialis ( N VII )
b) Fraktur Basis Kranii
Fraktur basis kranii adalah suatu fraktur linier yang terjadi pada dasar
tulang tengkorak. Fraktur ini seringkali disertai dengan robekan pada
duramater yang merekat erat pada dasar tengkorak. Hal ini
memerlukan gaya yang lebih kuat dari fraktur linear pada kranium.
Insidensi kasus ini sangat sedikit dan hanya pada 4% pasien yang
mengalami trauma kepala berat. Terdapat tanda-tanda yang
menunjukkan fraktur basis kranii yaitu rhinorrhea (cairan
serobrospinal keluar dari rongga hidung) dan gejala raccoon’s eye
(penumpukan darah pada orbital mata) (Fraktur basis kranii fossa
anterior), atau ottorhea dan battle’s sign (fraktur kranii fossa media).
Tulang pada foramen magnum bisa retak sehingga menyebabkan
kerusakan saraf dan pembuluh darah. Fraktur basis kranii bisa terjadi
pada fossa anterior, media dan posterior.6
c) Lesi Intrakranial
i. Epidural Hematom7
1. Definisi
Epidural hematom (EDH) adalah adanya darah di ruang epidural
yaitu ruang potensial antara tabula interna tulang tengkorak dan
duramater.
2. Epidemiologi
EDH meyumbang sekitar 1 % dari keseluruhan kasus trauma.
Insiden lebih banyak pada laki-laki dari pada perempuan dengan
perbandingan 4:1 dengan rata-rata usia dibawah 2 tahun dan diatas
60 tahun karena pada usia tersebut duramater lebih menempel di
tabula interna.
3. Etiologi
Delapan puluh lima persen (85 %) EDH disebabkan oleh putusnya
arteri meningea media diantara tabula interna dan duramater.
Perdarahan lain dapat disebabkan oleh pecahnya vena meningeal
media atau sinus venosus duramater. Penyebab lain adalah fraktur
tulang yang menyebabkan perdarahan dari a. diploica. Predileksi
EDH antara lain di hemisfer sisi lateral (70 %) dan regio frontal,
oksipital dan fossa posterior (5-10%).
4. Gejala dan tanda klinis
Gejala yang dapat dijumpai adalah adanya suatu lucid interval (fase
sadar diantara dua fase tidak sadar karena bertambahnya volume
darah). Kemudian terjadi defisit neurologis berupa hemiparese, pupil
anisokor, dan papil edema.
Gejala lain yang ditimbulkan antara lain sakit kepala, muntah,
kejang.
5. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan adalah:
a. Foto polos kepala ( skull x ray). Dari foto polos kepala dapat
ditemukan fraktur, dan umumnya fraktur ditemukan pada usia
<30 tahun.
b. CT-Scan. Gambaran klasik EDH pada CT scan adalah gambaran
hiperintensitas bikonveks (84%). Namun dapat juga ditemukan
gambaran hiperinten yang berbentuk garis atau bulan sabit. EDH
biasanya memiliki intensitas yang homogen, berbatas tegas dan
menyatu dengan tabula interna. Lebih dari 95% terdapat
unilateral dan 90- 95% terdapat di supratentorial. Morfologi
EDH adalah gambaran bikonveks atau lentiformis ekstra aksial
pada tempat terjadinya cedera, tidak menyebrang sutura kecuali
terdapat diastasis sutura atau fraktur, tidak menyebrang faks dan
tentorium dan menekan parenkim otak dan subarakhnoid mater.
Dari CT scan dapat juga ditemukan fraktur tengkorak.8
c. MRI. Gambaran MRI yang didapat bervariasi tergantung onset
trauma dan letak perdarahan.
Gambaran CT Scan Pasien Cedera kepala tertutup. (A). Hematom epidural
regio temporal. (B). Hematom subdural8

Epidural hematom yang diindikasikan untuk operasi karena mendesak garis


tengah.9
6. Tatalaksana EDH
Indikasi bedah pada EDH adalah:
a. Volume hematoma >30 cm3 pada hasil CT-scan dengan GCS
berapapun.
b. Pada pasien dengan GCS <9, harus dilakukan evakuasi
pembedahan secepatnya.
c. Hematoma epidural yang progresif
Bila volume hematoma < 30 cm3, ketebalan < 15 mm dan midline
shift < 5 mm pada pasien dengan GCS > 8 dan tanpa defisit
neurologi, dapat diterapi konservatif dengan pemeriksaan CT-scan
serial. Yang perlu diperhatikan adalah risiko pembesaran lesi. CT-
scan untuk follow up pada pasien yang tidak dioperasi, harus
dilakukan dalam 6-8 jam. Sekitar 23% kasus hematoma epidural
mengalami pembesaran, paling sering dalam 8 jam setelah trauma.
Pembesaran tidak terjadi lagi 36 jam setelah trauma. Hasil operasi
biasanya baik, kecuali pada fraktur yang panjang dan laserasi sinus
venosus. Prevalensi hematoma epidural bilateral adalah 2- 5%. Pada
pasien koma, biasanya terdapat refleks Babinski bilateral, spastisitas,
rigiditas, menunjukkan kompresi mesensefalon, dan prognosisnya
buruk. Pada pasien seperti ini, pembedahan tidak boleh
ditunda.

ii. Subdural Hematom


Subdural Hematom (SDH) merupakan salah satu jenis lesi masa
intrakranial. SDH terbentuk dari akumulasi darah pada ruang antara arachnoid dan
duramater yang terbentuk ketika terjadi robekan vena atau arteri yang berada
diantara duramater dan arachnoid. Perdarahan ini dapat berasal dari robeknya
bridging veins, terutama yang terletak dekat dengan sinus sagittal superior.
Perdarahan dapat terjadi akibat dari akselerasi dan deselerasi pada kepala, baik
disebabkan oleh direct impact / trauma maupun non impact.10

Subdural hematom (SDH) berdasarkan Brain Trauma Foundation dibagi


menjadi lesi akut dan kronis. Brain Trauma Foundation mendefinisikan Subdural
hematom (SDH) akut sebagai SDH yang didiagnosis dalam waktu kurang dari 14
hari setelah cidera otak traumatis. Sedangkan bila diatas 14 hari maka disebut
sebagai SDH Kronis.11

Berdasarkan waktu kejadian dan gambaran CT Scan, SDH terbagi menjadi 3


bagian:10,12

SDH Akut

Etiologi:

• Laserasi Parenkim (umumnya pada lobus frontal atau temporal)


• Robekan bridging vein atau vena superficial saat terjadi gaya akselerasi –
deselerasi serebral karena benturan kepala yang hebat.10

SDH Kronis

SDH Kronis paling sering dijumpai pada orang tua yang berusia diatas 63 tahun.
Otak pada orang tua umumnya mengalami atrofi otak ringan, sehingga
menghasilkan rongga subdural yang lebih besar, akibatnya impak / benturan yang
kecil pada orang tua dapat beresiko menyebabakan SDH. Pasien yang
menkonsumsi terapi antikoagulan dalam waktu lama juga memiliki factor resiko
tinggi terjadi SDH kronis.13

Pada beberapa kasus, SDH tidak selalu disebabkan oleh benturan kepala, terdapat
istilah terjadinya SDH Spotan. Beberapa factor resiko trejadinya SDH Spotan
antara lain hipertensi, abnormalitas vascular, tumor, infeksi, alkoholik,
hipovitaminosis, koagulopati, hipotensi intracranial (post anestesi
epidural, lumbal pungsi, VP shunt), dan Riwayat pengobatan antikoagulan.14
Manifestasi Klinik

Pada SDH gejala dapat diakibatkan oleh efek massa dari perdarahan. Beberapa
tanda dan gejala antara lain:

1. Nyeri Kepala
2. Mual muntah
3. Penurunan kesadaran
4. Kejang
5. Lateralisasi
6. Pupil bulat anisokor satu sisi dan refleks cahaya menurun

Gambaran CT Scan Kepala non kontras pada SDH.14

1. Tampak gambaran SDH Akut di area parietal kanan dan kiri berupa lesi
hiperdens, homogen dan berbentuk crescent-shaped (bulan sabit). Sering
terjadi di supra tentorial sepanjang falx dan tentorium.
2. Tampak gambaran hiperdens bercampur dengan isodens/hipodens di area
frontoparietal kanan dan kiri. Merupakan suatu gambaran SDH Sub akut
3. Tampak gambaran bulan sabit yang lebih gelap (hipodense) daripada
parenkim otak. Keadaan ini kita sebut dengan gambaran hipodense.
Keadaan ini sangat khas terjadi pada kasus SDH Kronis.
Manajemen Tatalaksana:15

1. Primary Survey: Stabilisasi Airways, Breathing, Circulation, Dissability,


Exposure
2. Secondary Survey dan assessment neurologis
3. Evaluasi Radiologis
4. Terapi dan manajemen susuai derajat cedera kepala / GCS

Tujuan utama dari resusitasi dan penanganan dalam trauma kepala yaitu (1)
mencegah hipotensi (2) mencegah hipoksia, (3) mempertahankan eucapnia atau
hipokapnia ringan, (4) kontrol tekanan intracranial (TIK), dan (5) diagnostik dan
dekompresi lesi massa segera.15

Indikasi Pembedahan Pada SDH.10

1. SDH dengan ketebalan > 10 mm atau midline shift (MLS) > 5 mm pada
CT Scan, tanpa melihat GCS.
2. SDH dengan ketebalan < 10 mm dan MLS < 5 mm, dilakukan
pembedahan evakuasi perdarahan bila :
3. Terjadi penurunan GCS lebih dari 2 poin atau lebih antara saat kejadian
dengan saat MRS
4. Dan atau jika didapatkan pupil yang asimetri atau fixed dan dilatasi
5. Dan/atau TIK > 20 mmHg
6. Monitor ICP pada SDH Akut dengan GCS < 9.

iii. Subarachnoid Hematom


Terjadi pada ruang subarachnoid (piameter dan arachnoid). Etiologi yang
paling sering menyebabkan perdarahan subarakhnoid adalah ruptur aneurisma
salah satu arteri di dasar otak dan adanya malformasi arteriovenosa (MAV).
Kondisi ini juga dapat disebabkan oleh trauma yang merusak pembuluh
darah. Perdarahan subarachnoid juga sering terjadi pada kondisi nontrauma
seperti aneurisma dan malformasi arteri-vena. Gejala yang ditimbulkan antara
lain nyeri kepala yang hebat dan mendadak, hilangnya kesadaran, fotofobia,
meningismus, mual, dan muntah. Pemeriksaan CT scan untuk kondisi ini
memiliki spesifitas yang rendah. Oleh karena itu seringkali dilakukan CT
angiografi untuk mengecek perdarahan subarachnoid. Komplikasi yang
paling sering pada perdarahan subarachnoid adalah vasospasme dan
perdarahan ulang. Tanda dan gejala vasospasme dapat berupa status mental,
deficit neurologis fokal. Vasospasme akan menyebabkan iskemia serebral
tertunda dengan dua pola utama, yaitu infark kortikal tunggal dan lesi
multiple luas. Perdarahan ulang mempunyai mortalitas 70%. Untuk
mengurangi risiko perdarahan ulang sebelum dilakukan perbaikan aneurisma,
tekanan darah harus dikelola hati-hati dengan diberikan obat fenilefrin,
norepinefrin, dan dopamine (hipotensi), labetalol, esmolol, dan nikardipi
(hipertensi). Tekanan darah sistolik harus dipertahankan >100 mmHg untuk
semua pasien selama ±21 hari. Sebelum ada perbaikan, tekanan darah sistolik
harus dipertahankan dibawah 160 mmHg dan selama ada gejala vasospasme,
tekanan darah sistolik akan meningkat sampai 1200-220 mmHg.Selain
vasopasme dan perdarahan ulang, komplikasi lain yang dapat terjadi adalah
hidrosefalus, hiponatremia, hiperglikemia dan epilepsi.
DAFTAR PUSTAKA

1. Utama Herry SY. Diagnosis and Treatment of Head Injury. 2012


2. American College of Surgeon Committee on Trauma. Cedera Kepala.
Dalam: Advanced Trauma Life Support fo Doctors. Ikatan Ahli Bedah
Indonesia. Komisitrauma IKABI, 2004.
3. Netter FH, Machado CA. Atlas of Human Anatomy. Version 3. Icon
Learning System LLC, 2003.
4. Chusid, Neuroanatomi Korelatif dan Neurology Fungsional, bagian dua.
Gajah Mada University Press, 2004.
5. Arif Mansjoer dkk Editor, Trauma Susunan Saraf dalam Kapita Selekta
Kedokteran edisi Ketiga jilid 2, Media Aesculapius, Jakarta, 2000
6. Wahjoepramono, Eka. (2005). Cedera Kepala. Lippokarawaci: Universitas
Pelita Harapan
7. Sadewo, Wismaji. 2011. Sinopsis Ilmu Bedah Saraf Cetakan Pertama.
Sagung Seto: Jakarta.
8. Acosta, Jose. 2007. Sabiston Textbook of Surgery, 18th ed. Saunders, An
Imprint of Elsevier:
9. Brunicardi, charles. Dkk. 2004. Schwartz's Principles of Surgery 8 th
edition. The McGraw- Hill Companies. United States of America.
10. Greenberg MS. Handbook Of Neurosurgery. Seventh edition. New York :
Thieme Medical Publisher, Inc ; 2010.
11. Brain Trauma Foundation. Surgical Management of Acute Subdural
Hematomas. 2006. Hal 16-20. Diambil dari http://tbiguidelines.org
12. Kaye AH. Essential Neurosurgery. 3rd edition. Massachusetts : Blackwell
Publishing LTD ; 2005.
13. Satyanegara. Ilmu Bedah Saraf. V edition. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama ;2014.
14. Apriawan T. Cedera Otak : Seri perdarahan Intra Kranial dan Manajemen
Pembedahan. Surabaya : Universitas Airlangga ; 2017.
15. Winn HR, Md. Youmans Neurosurgical Surgery, Volume 4. 6th Edition.
Philadeplhia : Elsevier Saunders ; 2011.

Anda mungkin juga menyukai