Anda di halaman 1dari 48

CASE REPORT

GASTRITIS DENGAN ANEMIA

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Ujian dalam Pendidikan Profesi


Dokter Stase Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Muhammadiyah Surakarta

HALAMAN JUDUL

Pembimbing :
dr. Auliya Andriyati, Sp.PD

Disusun Oleh:
Ardian Ryzki Cambodia, S.Ked
J 510 170 004

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH SUKOHARJO
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2018
LEMBAR PENGESAHAN

CASE REPORT
GASTRITIS DENGAN ANEMIA

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Ujian dalam Pendidikan Profesi


Dokter Stase Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran

Disusun Oleh:
Ardian Ryzki Cambodia, S.Ked
J 510 170 004

Telah dipresentasikan, disetujui dan di sahkan oleh bagian Program Pendidikan


Profesi Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Mengetahui :

Pembimbing :
dr. Auliya Andriyati, Sp.PD (........................................)

Dipresentasikan di hadapan :
dr. Auliya Andriyati, Sp.PD (........................................)

ii
DAFTAR ISI

iii
DAFTAR TABEL

iv
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Web of Caution.............................................................................. 18

v
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

B. Tujuan Penulisan
1. Penulisan ini bertujuan untuk memberikan informasi kepada tenaga medis
dan dokter mengenai gastritis sehingga dapat dilakukan pengobatan
dengan cepat.
2. Penulisan ini bertujuan untuk memenuhi persyaratan dalam mengikuti
kegiatan Kepaniteraan Klinik di bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUD
Sukoharjo.

C. Manfaat Penulisan
Makalah ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada penulis
dan pembaca khususnya yang terlibat dalam bidang medis agar dapat lebih
mengetahui dan memahami mengenai kasus gastritis.

1
BAB II
LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. T
Umur : 67 tahun
Alamat : Plosokerep 1/5 Bendosari Sukoharjo
Agama : Islam
Suku : Jawa
Tanggal masuk : 17 Desember 2017
Tanggal Pemeriksaan : 18 Desember 2017

B. ANAMNESIS
1. Keluhan Utama
Buang air besar berwarna hitam.

2. Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang ke IGD RSUD Sukoharjo dengan keluhan
buang air besar berwarna hitam sejak 5 hari yang lalu. Pasien
mengeluhkan nyeri perut di regio epigastrium. Nyeri perut yang
dirasakan pasien seperti tertusuk-tusuk. Pasien juga mengeluhkan
adanya mual dan muntah. Pasien mengaku merasa lemas dan pusing.
Pasien mengatakan bahwa tidak keluhan pada saat buang air kecil.
Pasien mengaku bahwa sebelumnya sering mengonsumsi obat herbal
untuk mengatasi nyeri-nyeri pada otot. Pasien sudah mengonsumsi
obat herbal ini selama 1 tahun. Pasien juga pernah mondok di RSUD
Sukoharjo dengan keluhan yang sama pada 3 bulan yang lalu.

3. Riwayat Penyakit Dahulu


a. Riwayat sakit serupa : diakui
b. Riwayat Hipertensi : disangkal
2
c. Riwayat Diabetes Mellitus : disangkal
d. Riwayat penggunaan OHO : disangkal
e. Riwayat Sakit Jantung : disangkal
f. Riwayat gangguan pernafasan : disangkal

4. Riwayat Penyakit Keluarga


a. Riwayat sakit serupa : disangkal
b. Riwayat Hipertensi : disangkal
c. Riwayat Diabetes Mellitus : disangkal
d. Riwayat sakit Jantung : disangkal
e. Riwayat gangguan Pernafasan : disangkal

C. ANAMNESIS SISTEM
Tabel 1. Anamnesis Sistem
SISTEM KETERANGAN
Sistem Cerebrospinal Gelisah (-), lemas (+), demam (-), pusing (+), penurunan
kesadaran (-)
Sistem Cardiovascular Akral dingin (-), sianosis (-), anemis (+), palpitasi (-),
nyeri dada (-), berdebar (-)
Sistem Respiratorius Sesak (-), batuk (-)
Sistem Gastrointestinal Nyeri perut epigastrik (+), spasme abdomen (-), mual
(+) , muntah (+), nafsu makan meningkat (-)
Sistem Genitourinarius Nyeri BAK dan panas (-)
Sistem Musculosceletal Badan terasa pegal (-), atrofi otot (-), nyeri pada kedua
sendi lutut (-), kaku pada ekstremitas sup & inf (-), nyeri
pada pinggang (-)

Sistem Neuropsikiatri Kejang (-), gelisah (-), kesemutan (-), mengigau (-),
emosi tidak stabil (-)

Sistem Integumentum Kulit Pucat (-), kulit kuning (-), Sikatriks (-),tanda
inflamasi (-), gatal pada kulit (-)

3
D. PEMERIKSAAN FISIK
1. KEADAAN UMUM
a. Keadaan Umum : Lemah
b. Kesadaran : Compos Mentis, GCS E4V5M6
c. Gizi : Kesan gizi cukup
2. VITAL SIGN
b. Tekanan Darah : 100/70 mmHg
c. HR : 80 x/menit
d. RR : 20 x/menit
e. Suhu : 36,5oC

3. STATUS GENERALIS
a) Kepala
1) Bentuk : Normocephal
2) Rambut : Rambut berwarna putih
3) Mata : Konjungtiva anemis (+/+), sklera ikterik (-/-)
4) Telinga : Normotia, serumen (+), Tragus pain (-), Mastoid
pain (-), Benjolan (-)
5) Hidung : Deformitas (-), nafas cuping hidung (-)
6) Mulut : Stomatitis (-)
b) Leher
Pembesaran KGB (-), benjolan (-), pembesaran tiroid (-),
peningkatan JVP (-).
c) Thorax (Jantung dan Paru)
1) Jantung
a) Inspeksi : Iktus cordis tidak tampak, dinding dada
simetris kanan dan kiri.
b) Palpasi : Iktus cordis teraba di SIC V linea
midclavicularis sinistra namun tidak kuat angkat.
c) Perkusi :
Batas kiri jantung

4
- Atas : SIC II linea parasternalis sinistra.
- Bawah : SIC V linea midclavicularis sinistra
Batas kanan jantung
- Atas : SIC II linea parasternalis dextra.
- Bawah : SIC IV linea parasternalis dextra.
d) Auskultasi : Bunyi jantung I dan II murni reguler,
bising (-), murmur (-).

2) Paru
Tabel 2. Pemeriksaan Fisik Paru
KANAN KIRI
Simetris (+), Ketinggalan Simetris (+), Ketinggalan
Inspeksi
gerak (-) gerak (-)
Ketinggalan Gerak (-), Ketinggalan Gerak (-),
Fremitus Kanan Kiri Sama Palpasi Fremitus Kanan Kiri Sama
(+) (+)
Sonor Perkusi Sonor
SDV (+/+) normal, SDV (+/+) normal,
Ronkhi basah halus (-/-), Auskultasi Ronkhi basah halus (-/-),
Wheezing (-/-) Wheezing (-/-)
d) Abdomen
1) Inspeksi
Dinding abdomen sejajar dengan dinding dada, distensi (-), tidak
ada sikatriks.
2) Auskultasi
Peristaltik (+), bising usus (+)
3) Perkusi
Timpani (+), pekak alih (-), undulasi (-)
4) Palpasi
Massa abnormal (-) berbenjol-benjol (-), ascites (-), nyeri tekan
(+), hepatomegali (-), splenomegali (-)
5
e) Ekstremitas
Akral hangat +/+, edema -/-

E. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Tabel 3. Pemeriksaan Laboratorium tanggal 17 Desember 2017
Pemeriksaan Nilai Satuan Nilai normal

HEMATOLOGI
Paket Darah Lengkap
Lekosit 8.4 10ˆ3/uI 3.6 – 11.0

Eritrosit 2.17 10ˆ6/uL 3.80 – 5.20

Hemoglobin 5.3 g/dL 11.7 – 15.5

Hematokrit 16.8 % 35 – 47

Index Eritrosit
MCV 77.4 fL 80 – 100
MCH 24.4 pg 26 – 34
MCHC 31.5 g/dL 32-37

Trombosit 489 10ˆ3/uI 150 – 450

RDW-CV 16.4 % 11.5 – 14.5


PDW 7.5 fL
MPV 8.6 %
P-LCR 12.8 %
PCT 0.42 %

Golongan Darah B

KIMIA KLINIK
Gula Darah Sewaktu 97 mg/gL 70 – 120
Ureum 16.4 Mg/dl 0-31
Creatinin 0.52 Mg/dl 0.50 – 0.90

2. EKG

6
Kesimpulan :
Frekwensi: 83x/menit
Irama: Sinus
Ritme: Reguler
Posisi: Normal

3. EGD

Kesan: Hiperemis pada bagian antrum


Kesimpulan: Gastritis antrum

F. DIAGNOSIS KERJA
- Gastritis anthrum
- Anemia mikrositik hipokromik

G. TERAPI
Medikamentosa
- Infus NaCl 20 tpm

7
- Inj Omeprazole/12jam
- Inj Ondancetron/8jam
- Inj Asam Tranexamat 500mg/8jam
- Inj Vitamin K/8jam
- Sucralfat syrup 3x1
- Transfusi PRC 3 kolf

H. FOLLOW UP
Tabel 4. FOLLOW UP
TANGGAL SOA PLANNING
19 Desember 2017 S/ Pasien mengeluh lemas P/
(+), mual (+), muntah - Infus NaCl 20 tpm
(-), BAB berwarna - Inj Omeprazole/12jam
hitam - Inj Ondancetron/8jam
- Inj Asam Tranexamat
500mg/8jam
O/ - Inj Vitamin K/8jam
KU : lemas - Sucralfat syrup 3x1
TD : 90/60 mmHg
T : 36,4 oC
HR : 86 kali/menit
RR : 28 kali/menit
- KL : CA (+/+)
- TH : BJ I.II Reguler,
SDV (+/+), Ronkhi
(-/-), Whezzing (-/).
- AB : Nyeri tekan
pada regio
epigastrium
Peristaltik (+)
- EK : akral hangat
(+), edema (-)
Laboratorium:
- Hb: 9,7 g/dL
- Hct: 32,7 %
- MCV: 77,3
- MCH: 27,0
- MCHC: 34,9
- Trombosit: 224

A/ Gastritis, Anemia

8
TANGGAL SOA PLANNING
20 S/ Pasien mengeluh mual, nyeri P/
pada regio epigastrium,
Desember - Infus NaCl 20 tpm
pusing, buang air besar
- Inj Ondancetron/8jam
2017 berwarna hitam sudah
stop
berhenti.
- Inj Asam Tranexamat
500mg/8jam stop
O/
- Inj Vitamin K/8jam
KU : CM
stop
TD : 110/60 mmHg
- Sucralfat syrup 3x1
T : 36,2oC
- Inj metroclopramid/8 jam
HR : 88 kali/menit
- Inj Esomeprazole 1A/hari
RR : 19 kali/menit
- Inj Antalgin 1A/8jam
- KL : CA (-/-), SI (-/ ),
KGB (-)
- TH : BJ I.II Reguler, SDV
(+/+), Ronkhi (-/-),
Whezzing (-/-).
- AB : Peristaltik (+), nyeri
tekan epigastrium (+)
- EK : akral hangat (+),
edema (-).
Laboratorium:
- Hb: 11,4 g/dL
- Hct: 32,7%
- Trombosit: 224.000
- MCV: 77,3
- MCH: 27,0
- MCHC: 34,9
A/ Gastritis antrum, anemia

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

A. Gastritis
1. Definisi
Gastritis berasal dari kata gaster yang artinya lambung dan itis
yang berarti inflamasi/peradangan. Menurut Hirlan dalam Suyono (2001:
127), gastritis adalah proses inflamasi pada lapisan mukosa dan

9
submukosa lambung, yang berkembang bila mekanisme protektif mukosa
dipenuhi dengan bakteri atau bahan iritan lain. Secara hispatologi dapat
dibuktikan dengan adanya infiltrasi sel-sel. Sedangkan, menurut Lindseth
dalam Prince (2005: 422), gastritis adalah suatu keadaan peradangan atau
perdarahan mukosa lambung yang dapat bersifat akut, kronis, difus, atau
lokal.
Gastritis berarti peradangan mukosa lambung. Peradangan dari
gastritis dapat hanya superficial atau dapat menembus secara dalam ke
dalam mukosa lambung, dan pada kasus-kasus yang berlangsung lama
menyebabkan atropi mukosa lambung yang hampir lengkap. Pada
beberapa kasus, gastritis dapat menjadi sangat akut dan berat, dengan
ekskoriasi ulserativa mukosa lambung oleh sekresi peptik lambung
sendiri (Guyton, 2001).

2. Epidemiologi
Pada negara yang sedang berkembang infeksi diperoleh pada usia
dini dan pada negara maju sebagian besar dijumpai pada usia tua. Angka
kejadian infeksi Gastritis Helicobacter pylori pada beberapa daerah di
Indonesia menunjukkan data yang cukup tinggi. Kota Surabaya dengan
angka kejadian Gastritis sebesar 31,2%, Denpasar 46%, sedangkan di
Medan angka kejadian infeksi cukup tinggi sebesar 91,6%.
Dari hasil penelitian para pakar, didapatkan jumlah penderita
gastritis antara pria dan wanita, ternyata gastritis lebih banyak pada
wanita dan dapat menyerang sejak usia dewasa muda hingga lanjut usia.
Di Inggris 6-20% menderita Gastritis pada usia 55 tahun dengan
prevelensi 22% insiden total untuk segala umur pada tahun 1988 adalah
16 kasus/1000 pada kelompok umur 45-64 tahun. Insiden sepanjang usia
untuk gastritis adalah 10%.
Kejadian gastritis kronik, meningkat sesuai dengan peningkatan
usia. Di negara Barat, populasi yang usianya pada dekade ke-6 hampir
80% menderita gastritis kronik dan menjadi 100% pada saat usia
mencapai dekade ke-7.
10
3. Etiologi
a. Pola Makan
Menurut Yayuk Farida Baliwati (2004), terjadinya gastritis
dapat disebabkan oleh pola makan yang tidak baik dan tidak teratur,
yaitu frekuensi makan, jenis, dan jumlah makanan, sehingga lambung
menjadi sensitif bila asam lambung meningkat.
1) Frekuensi Makan
Frekuensi makan adalah jumlah makan dalam sehari-hari
baik kualitatif dan kuantitatif.  Secara alamiah makanan diolah
dalam tubuh melalui alat-alat pencernaan mulai dari mulut sampai
usus halus. Lama makanan dalam lambung tergantung sifat dan
jenis makanan. Jika rata-rata, umumnya lambung kosong antara 3-
4 jam. Maka jadwal makan ini pun menyesuaikan dengan
kosongnya lambung (Okviani, 2011).
Orang yang memiliki pola makan tidak teratur mudah
terserang penyakit gastritis. Pada saat perut harus diisi, tapi
dibiarkan kosong, atau ditunda pengisiannya, asam lambung akan
mencerna lapisan mukosa lambung, sehingga timbul rasa
nyeri (Ester, 2001).
Secara alami lambung akan terus memproduksi asam
lambung setiap waktu dalam jumlah yang kecil, setelah 4-6 jam
sesudah makan biasanya kadar glukosa dalam darah telah banyak
terserap dan terpakai sehingga tubuh akan merasakan lapar dan
pada saat itu jumlah asam lambung terstimulasi. Bila seseorang
telat makan sampai 2-3 jam, maka asam lambung yang diproduksi
semakin banyak dan berlebih sehingga dapat mengiritasi mukosa
lambung serta menimbulkan rasa nyeri di seitar
epigastrium (Baliwati, 2004).
Kebiasaan makan tidak teratur ini akan membuat lambung
sulit untuk beradaptasi. Jika hal itu berlangsung lama, produksi
asam lambung akan berlebihan sehingga dapat mengiritasi dinding
11
mukosa pada lambung dan dapat berlanjut menjadi tukak peptik.
Hal tersebut dapat menyebabkan rasa perih dan mual. Gejala
tersebut bisa naik ke kerongkongan yang menimbulkan rasa panas
terbakar (Nadesul, 2005). Produksi asam lambung diantaranya
dipengaruhi oleh pengaturan sefalik, yaitu pengaturan oleh otak.
Adanya makanan dalam mulut secara refleks akan merangsang
sekresi asam lambung. Pada manusia, melihat dan memikirkan
makanan dapat merangsang sekresi asam lambung (Ganong 2001).

2) Jenis Makanan
Jenis makanan adalah variasi bahan makanan yang kalau
dimakan, dicerna, dan diserap akan menghasilkan paling sedikit
susunan menu sehat dan seimbang. Menyediakan variasi
makanan bergantung pada orangnya, makanan tertentu dapat
menyebabkan gangguan pencernaan, seperti halnya makanan pedas
(Okviani, 2011).
Mengkonsumsi makanan pedas secara berlebihan akan
merangsang sistem pencernaan, terutama lambung dan usus untuk
berkontraksi. Hal ini akan mengakibatkan rasa panas dan nyeri
di ulu hati yang disertai dengan mual dan muntah. Gejala tersebut
membuat penderita makin berkurang nafsu makannya. Bila
kebiasaan mengkonsumsi makanan pedas lebih dari satu
kali dalam seminggu selama minimal 6 bulan dibiarkan terus-
menerus dapat menyebabkan iritasi pada lambung yang disebut
dengan gastritis (Okviani, 2011).
Gastritis dapat disebabkan pula dari hasil makanan yang
tidak cocok. Makanan tertentu yang dapat menyebabkan penyakit
gastritis, seperti buah yang masih mentah, daging mentah, kari, dan
makanan yang banyak mengandung krim atau mentega. Bukan
berarti makanan ini tidak dapat dicerna, melainkan karena lambung
membutuhkan waktu yang labih lama untuk mencerna makanan
tadi dan lambat meneruskannya kebagian usus selebih-nya.
12
Akibatnya, isi lambung dan asam lambung tinggal di dalam
lambung untuk waktu yang lama sebelum diteruskan ke dalam
duodenum dan asam yang dikeluarkan menyebabkan rasa panas di
ulu hati dan dapat mengiritasi (Iskandar, 2009).
3) Porsi Makan
Porsi atau jumlah merupakan suatu ukuran maupun takaran
makanan yang dikonsumsi pada tiap kali makan. Setiap orang
harus makan makanan dalam jumlah benar sebagai bahan bakar
untuk semua kebutuhan tubuh. Jika konsumsi makanan berlebihan,
kelebihannya akan disimpan di dalam tubuh dan menyebabkan
obesitas (kegemukan). Selain itu, Makanan dalam porsi besar dapat
menyebabkan refluks isi lambung, yang pada
akhirnya membuat kekuatan dinding lambung menurun. Kondisi
seperti ini dapat menimbulkan peradangan atau luka pada lambung
(Baliwati, 2004).

b. Kopi
Kopi diketahui merangsang lambung untuk memproduksi
asam lambung sehingga menciptakan lingkungan yang lebih asam dan
dapat mengiritasi lambung. Ada dua unsur yang bisa mempengaruhi
kesehatan perut dan lapisan lambung, yaitu kafein dan asam
chlorogenic.
Studi yang diterbitkan dalam Gastroenterology menemukan
bahwa berbagai faktor seperti keasaman, kafein atau kandungan
mineral lain dalam kopi bisa memicu tingginya asam lambung.
Sehingga tidak ada komponen tunggal yang harus bertanggung
jawab (Anonim, 2011).
Kafein dapat menyebabkan stimulasi sistem saraf pusat
sehingga dapat meningkatkan aktivitas lambung dan sekresi hormon
gastrin pada lambung dan pepsin. Hormon gastrin yang dikeluarkan
oleh lambung mempunyai efek sekresi getah lambung yang sangat
asam dari bagian fundus lambung. Sekresi asam yang meningkat dapat
13
menyebabkan iritasi dan inflamasi pada mukosa lambung (Okviani,
2011).

c. Rokok
Efek rokok pada saluran gastrointestinal antara lain
melemahkan katup esofagus dan pilorus, meningkatkan refluks,
mengubah kondisi alami dalam lambung, menghambat sekresi
bikarbonat pankreas, mempercepat pengosongan cairan lambung, dan
menurunkan pH duodenum. Sekresi asam lambung meningkat sebagai
respon atas sekresi gastrin atau asetilkolin. Selain itu, rokok juga
mempengaruhi kemampuan cimetidine (obat penghambat asam
lambung) dan obat-obatan lainnya dalam menurunkan asam lambung
pada malam hari, dimana hal tersebut memegang peranan penting
dalam proses timbulnya peradangan pada mukosa lambung. Rokok
dapat mengganggu faktor defensif lambung (menurunkan sekresi
bikarbonat dan aliran darah di mukosa), memperburuk peradangan,
dan berkaitan erat dengan komplikasi tambahan karena infeksi H.
pylori. Merokok juga dapat menghambat penyembuhan spontan dan
meningkatkan risiko kekambuhan tukak peptik (Beyer, 2004).
Kebiasaan merokok menambah sekresi asam lambung, yang
mengakibatkan bagi perokok menderita penyakit lambung (gastritis)
sampai tukak lambung. Penyembuhan berbagai penyakit di saluran
cerna juga lebih sulit selama orang tersebut tidak berhenti merokok
(Departemen Kesehatan RI, 2001).

d. AINS ( Anti Inflamasi Non Steroid)


Obat-obatan yang sering dihubungkan dengan gastritis erosif
adalah aspirin dan sebagian besar obat anti inflamasi non steroid
(Suyono, 2001).
Asam asetil salisilat lebih dikenal sebagai asetosal atau aspirin.
Asam asetil salisilat merupakan obat anti inflamasi nonsteroid

14
(OAINS) turunan asam karboksilat derivat asam salisilat yang dapat
dipakai secara sistemik.
Obat AINS adalah salah satu golongan obat besar yang secara
kimia heterogen menghambat aktivitas siklooksigenase, menyebabkan
penurunan sintesis prostaglandin dan prekursor tromboksan dari asam
arakhidonat. Siklooksigenasemerupakan enzim yang penting untuk
pembentukkan prostaglandin dari asam arakhidonat. Prostaglandin
mukosa merupakan salah satu faktor defensive mukosa lambung yang
amat penting, selain menghambat produksi prostaglandin mukosa,
aspirin dan obat antiinflamasi nonsteriod tertentu dapat merusak
mukosa secara topikal, kerusakan topikal terjadi karena kandungan
asam dalam obat tersebut bersifat korosif sehingga dapat merusak sel-
sel epitel mukosa. Pemberian aspirin dan obat antiinflamasi nonsteroid
juga dapat menurunkan sekresi bikarbonat dan mukus oleh
lambung, sehingga kemampuan faktor defensif terganggu. Jika
pemakaian obat-obat tersebut hanya sesekali maka kemungkinan
terjadinya masalah lambung akan kecil. Tapi jika pemakaiannya
dilakukan secara terus menerus atau berlebihan dapat
mengakibatkan gastritis dan ulkus peptikum. Pemakaian setiap hari
selama minimal 3 bulan dapat menyebabkan gastritis (Rosniyanti,
2010).

e. Alkohol
Organ tubuh yang berperan besar dalam metabolisme alkohol
adalah lambung dan hati, oleh karena itu efek dari kebiasaan
mengkonsumsi alkohol dalam jangka panjang tidak hanya berupa
kerusakan hati atau sirosis, tetapi juga kerusakan lambung. Dalam
jumlah sedikit, alkohol merangsang produksi asam lambung berlebih,
nafsu makan berkurang, dan mual, sedangkan dalam jumlah banyak,
alkohol dapat mengiritasi mukosa lambung dan duodenum. Konsumsi
alkohol berlebihan dapat merusak mukosa lambung, memperburuk
gejala tukak peptik, dan mengganggu penyembuhan tukak peptik.
15
Alkohol mengakibatkan menurunnya kesanggupan mencerna dan
menyerap makanan karena ketidakcukupan enzim pankreas dan
perubahan morfologi serta fisiologi mukosa gastrointestinal (Beyer
2004).

f. Helicobacter pylori
Helicobacter pylori adalah kuman Gram negatif, basil yang
berbentuk kurva dan batang. Helicobacter pylori adalah suatu bakteri
yang menyebabkan peradangan lapisan lambung yang kronis
(gastritis) pada manusia. Sebagian besar populasi di dunia terinfeksi
oleh bakteri Helicobacter pylori yang hidup di bagian dalam lapisan
mukosa yang melapisi dinding lambung. Walaupun tidak sepenuhnya
dimengerti bagaimana bakteri tersebut dapat ditularkan, namun
diperkirakan penularan tersebut terjadi melalui jalur oral atau akibat
memakan makanan atau minuman yang terkontaminasi oleh bakteri
ini. Infeksi Helicobacter pylori sering terjadi pada masa kanak-kanak
dan dapat bertahan seumur hidup jika tidak dilakukan perawatan.
Infeksi Helicobacter pylori ini sekarang diketahui sebagai penyebab
utama terjadinyaulkus peptikum dan penyebab tersering
terjadinya gastritis (Prince, 2005).

g. Usia
Usia tua memiliki resiko yang lebih tinggi untuk menderita
gastritis dibandingkan dengan usia muda. Hal ini menunjukkan bahwa
seiring dengan bertambahnya usia mukosa gaster cenderung menjadi
tipis sehingga lebih cenderung memiliki infeksi Helicobacter
Pylory atau gangguan autoimun daripada orang yang lebih muda.
Sebaliknya,jika mengenai usia muda biasanya lebih berhubungan
dengan pola hidup yang tidak sehat.
Kejadian gastritis kronik, terutama gastritis kronik antrum
meningkat sesuai dengan peningkatan usia. Di negara Barat, populasi
yang usianya pada dekade ke-6 hampir 80% menderita gastritis kronik

16
dan menjadi 100% pada saat usia mencapai dekade ke-7. Selain
mikroba dan proses imunologis, faktor lain juga berpengaruh terhadap
patogenesis Gastritis adalah refluks kronik cairan penereatotilien,
empedu dan lisolesitin (Suyono, 2001).

4. Klasifikasi
a. Gastritis Akut
Gastritis akut merupakan penyakit yang sering ditemukan,
biasanya bersifat jinak dan sembuh sempurna (Prince, 2005: 422).
Gastritis akut terjadi akibat respons mukosa lambung terhadap
berbagai iritan lokal. Inflamasi akut mukosa lambung pada sebagian
besar kasus merupakan penyakit yang ringan.
Bentuk terberat dari gastritis akut disebabkan oleh mencerna
asam atau alkali kuat, yang dapat menyebabkan mukosa menjadi
ganggren atau perforasi. Pembentukan jaringan parut dapat terjadi
yang mengakibatkan obstruksi pylorus (Brunner, 2000).
Salah satu bentuk gastritis akut yang manifestasi klinisnya
dapat berbentuk penyakit yang berat adalah gastritis erosif atau
gastritis hemoragik. Disebut gastritis hemoragik karena pada
penyakit ini akan dijumpai perdarahan mukosa lambung dalam
berbagai derajat dan terjadi erosi yang berarti hilangnya kontinuitas
mukosa lambung pada beberapa tempat, menyertai inflamasi pada
mukosa lambung tersebut(Suyono, 2001: 127).

b. Gastritis Akut Erosif


Menurut Hirlan dalam  Suyono (2001: 127), gastritis akut
erosif adalah suatu peradangan permukaan mukosa lambung yang
akut dengan kerusakan-kerusakan erosi. Disebut erosi apabila
kerusakan yang terjadi tidak lebih dalam dari pada mukosa
muskularis. Penyakit ini dijumpai di klinik, sebagai akibat efek
samping dari pemakaian obat, sebagai penyulit penyakit-penyakit
lain atau karena sebab yang tidak diketahui.

17
Perjalanan penyakitnya biasanya ringan, walaupun demikian
kadang-kadang dapat menyebabkan kedaruratan medis, yakni
perdarahan saluran cerna bagian atas. Penderita gastritis akut erosif
yang tidak mengalami pendarahan sering diagnosisnya tidak tercapai
(Suyono, 2001).
Untuk menegakkan diagnosis tersebut diperlukan pemerisaan
khusus yang sering dirasakan tidak sesuai dengan keluhan penderita
yang ringan saja. Diagnosis gastritis akut erosif, ditegakkan dengan
pemeriksaan endoskopi dan dilanjutkan dengan pemeriksaan
histopatologi biopsi mukosa lambung (Suyono, 2001).

c. Gastritis Akut Hemoragik


Ada dua penyebab utama gastritis akut hemoragik; Pertama
diperkirakan karena minum alkohol atau obat lain yang menimbulkan
iritasi pada mukosa gastrik secara berlebihan (aspirin atau NSAID
lainnya). Meskipun pendarahan mungkin cukup berat, tapi
pendarahan pada kebanyakan pasien akan berhenti sendiri secara
spontan dan mortalitas cukup rendah. Kedua adalah stress gastritis
yang dialami pasien di Rumah Sakit, stress gastritis dialami pasien
yang mengalami trauma berat berkepanjangan, sepsis terus menerus
atau penyakit berat lainnya(Suyono, 2001).
Erosi stress merupakan lesi hemoragika pungtata majemuk
pada lambung proksimal yang timbul dalam keadaan stress fisiologi
parah dan tak berkurang. Berbeda dengan ulserasi menahun yang
lebih biasa pada traktus gastrointestinalis atas, ia jarang menembus
profunda ke dalam mukosa dan tak disertai dengan infiltrasi sel
radang menahun. Tanpa profilaksis efektif, erosi stress akan berlanjut
dan bersatu dalam 20% kasus untuk membentuk beberapa ulserasi
yang menyebabkan perdarahan gastrointestinalis atas dari keparahan
yang mengancam nyawa. Keadaan ini dikenal sebagai gastritis
hemoragika akuta (Sabiston, 1995: 525).

18
d. Gastritis Kronik
Gastritis Kronis adalah suatu peradangan bagian permukaan
mukosa lambung yang menahun, hal tersebut bisa di akibatkan baik
oleh ulkus lambung jinak maupun ganas oleh bakteri helicobacter
pylori.
Disebut gastritis kronik apabila infiltrasi sel-sel radang yang
terjadi pada lamina propria dan daerah intra epitelial terutama terdiri
atas sel-sel radang kronik, yaitu limfosit dan sel plasma. Gastritis
kronis didefenisikan secara histologis sebagai peningkatan jumlah
limfosit dan sel plasma pada mukosa lambung. Derajat paling ringan
gastritis kronis adalah gastritis superfisial kronis, yang mengenai
bagian sub epitel di sekitar cekungan lambung. Kasus yang lebih
parah juga mengenai kelenjar-kelenjar pada mukosa yang lebih
dalam, hal ini biasanya berhubungan dengan atrofi kelenjar (gastritis
atrofi kronis) dan metaplasia intestinal (Chandrasoma, 2005 : 522).
Sebagian besar kasus gastritis kronis merupakan salah satu
dari dua tipe, yaitu tipe A yang merupakan gastritis autoimun yang
terutama mengenai tubuh dan berkaitan dengan anemia pernisiosa;
dan tipe B yang terutama meliputi antrum dan berkaitan dengan
infeksi Helicobacter pylori. Terdapat beberapa kasus gastritis kronis
yang tidak tergolong dalam kedua tipe tersebut dan penyebabnya
tidak diketahui (Chandrasoma, 2005 : 522).
Gastritis kronik dapat dibagi dalam berbagai bentuk
tergantung pada kelainan histologi, topografi, dan etiologi yang
menjadi dasar pikiran pembagian tersebut(Suyono, 2001).
Menurut Hirlan dalam Suyono (2001: 128), klasifikasi
histologi yang sering digunakan membagi gastritis kronik menjadi :
1) Gastritis kronik superficial
Apabila dijumpai sebukan sel-sel radang kronik terbatas
pada lamina propria mukosa superfisialis dan edema yang
memisahkan kelenjar-kelenjar mukosa, sedangkan sel-sel
19
kelenjar tetap utuh. Sering dikatakan gastritis kronik
superfisialis merupakan permulaan gastritis kronik.
2) Gastritis kronik atrofik
Sebukan sel-sel radang kronik menyebar lebih dalam
disertai dengan distorsi dan destruksi sel kelenjar mukosa lebih
nyata. Gastritis atrofik dianggap sebagai kelanjutan gastritis
kronik superfisialis.
3) Atrofi lambung
Atrofi lambung dianggap merupakan stadium akhir
gastritis kronik. Pada saat itu struktur kelenjar menghilang dan
terpisah satu sama lain secara nyata dengan jaringan ikat,
sedangkan sebukan sel-sel radang  juga menurun. Mukosa
menjadi sangat tipis sehingga dapat menerangkan mengapa
pembuluh darah menjadi terlihat saat pemeriksaan endoskopi.
4) Metaplasia intestinal
Suatu perubahan histologis kelenjar-kelenjar mukosa
lambung menjadi kelenjar-kelenjar mukosa usus halus yang
mengandung sel goblet. Perubahan-perubahan tersebut dapat
terjadi secara menyeluruh pada hampir seluruh segmen
lambung, tetapi dapat pula hanya merupakan bercak-bercak
pada beberapa bagian lambung.
Menurut Hirlan dalam  Suyono  (2001: 129), distribusi
anatomis pada gastritis kronik dapat dibagi menjadi tiga bagian,
yaitu :
1) Gastritis Kronis Tipe A
Gastritis kronis tipe A merupakan suatu penyakit
autoimun yang disebabkan oleh adanya autoantibodi terhadap
sel parietal kelenjar lambung dan faktor intrinsik, dan berkaitan
dengan tidak adanya sel parietal dan chief cell, yang
menurunkan sekresi asam dan menyebabkan tingginya kadar
gastrin. Dalam keadaan sangat berat, tidak terjadi produksi
20
faktor intrinsik. Anemia pernisiosa seringkali dijumpai pada
pasien karena tidak tersedianya faktor intrinsik untuk
mempermudah absorpsi vitamin B12 dalam ileum (Prince,2005:
423).
Jadi, anemia pernisiosa itu disebabkan oleh kegagalan
absorpsi vitamin B12 karena kekurangan faktor intrinsik akibat
gastritis kronis autoimun. Autoimunitas secara langsung
menyerang sel parietal pada korpus dan fundus lambung yang
menyekresikan faktor intrinsik dan asam (Chandrasoma, 2005 :
522).
Reaksi autoimun bermanifestasi sebagai sebukan limfo-
plasmasitik pada mukosa sekitar sel parietal, yang secara
progresif berkurang jumlahnya. Netrofil jarang dijumpai dan
tidak didapati Helicobacter pylori. Mukosa fundus dan korpus
menipis dan kelenjar-kelenjar dikelilingi oleh sel mukus yang
mendominasi. Mukosa sering memperlihatkan metaplasia
intestinal yang ditandai dengan adanya sel goblet dan sel paneth.
Pada stadium akhir, mukosa menjadi atrofi  dan sel parietal
menghilang (gastritis kronis tipe A)(Chandrasoma, 2005 : 522).
2) Gastritis Kronis Tipe B
Gastritis kronis tipe B disebut juga sebagai gastritis
antral karena umumnya mengenai daerah antrum lambung dan
lebih sering terjadi dibandingkan dengan gastritis kronis tipe A.
Gastritis kronis tipe B lebih sering terjadi pada penderita yang
berusia tua. Bentuk gastritis ini memiliki sekresi asam yang
normal dan tidak berkaitan dengan anemia pernisiosa. Kadar
gastrin yang rendah sering terjadi. Penyebab utama gastritis
kronis tipe B adalah infeksi kronis oleh Helicobacter pylori.
Faktor etiologi gastritis kronis lainnya adalah asupan alkohol
yang berlebihan, merokok, dan refluks empedu kronis dengan
kofaktor Helicobacter pylori (Prince, 2005: 423).
21
Gastritis kronis tipe B secara maksimal melibatkan
bagian antrum, yang merupakan tempat predileksi Helicobacter
pylori. Kasus-kasus dini memperlihatkan sebukan
limfoplasmasitik pada mukosa lambung superfisial. Infeksi
aktif Helicobacter pylori hampir selalu berhubungan dengan
munculnya nertrofil, baik pada lamina propria ataupun pada
kelenjar mukus antrum. Pada saat lesi berkembang, peradangan
meluas yang meliputi mukosa dalam dan korpus lambung.
Keterlibatan mukosa bagian dalam menyebabkan destruksi
kelenjar mukus antrum dan metaplasia intestinal (gastritis
atrofik kronis tipe B)(Chandrasoma, 2005 : 523).
Pada 60-70% pasien, didapatkan Helicobacter
pylori pada pemeriksaan histologis atau kultur biopsi. Pada
banyak pasien yang tidak didapati organisme ini, pemeriksaan
serologisnya memperlihatkan antibodi terhadapHelicobacter
pylori, yang menunjukkan sudah ada infeksi Helicobacter
pylorisebelumnya (Suyono, 2001).
Helicobacter pylori adalah organisme yang kecil dan
melengkung, seperti vibrio, yang muncul pada lapisan mukus
permukaan yang menutupi permukaan epitel dan lumen
kelenjar. Bakteri ini merupakan bakteri gram negatif yang
menyerang sel permukaan, menyebabkan deskuamasi sel yang
dipercepat dan menimbulkan respon sel radang kronis pada
mukosa lambung.Helicobacter pylori ditemukan lebih dari 90%
dari hasil biopsi yangmenunjukkan gastritis kronis.  Organisme
ini dapat dilihat pada irisan rutin, tetapi lebih jelas dengan
pewarnaan perak Steiner atau Giemsa. KeberadaanHelicobacter
pylori berkaitan erat dengan peradangan aktif dengan netrofil.
Organisme dapat tidak ditemukan pada pasien gastritis akut
inaktif, terutama bila terjadi metaplasia intestinal (Chandrasoma,
2005 : 524).
22
3) Gastritis kronis tipe AB
Gastritis kronis tipe AB merupakan gastritis kronik yang
distribusi anatominya menyebar keseluruh gaster. Penyebaran ke
arah korpus tersebut cendrung meningkat dengan bertambahnya
usia (Suyono, 2001: 130).

5. Patofisiologi
a. Gastritis Akut
Gastritis akut dapat disebbakan oleh karena strees, zat kimia
misalnya obat-obatan dan alcohol, makanan yang pedas, panas
maupun asam. Pada para yang mengalami strees akan terjadi
perangsangan saraf simpatis NV ( Nervus Vagus ) yang akan
meningkatkan produksi asam klorida ( HCl ) di dalam lambung.
Adanya HCl yang berada di dalam lambung akan menimbulkan rasa
mual, muntah dan anoreksia.
Zat kimia maupun makanan yang merangsang akan
menyebabkan sel epitel kolumnar, yang berfungsi menghasilkan
mucus, mengurangi produksinya. Sedangkan mucus berfungsi untuk
memproteksi mukosa lambung agar tidak ikut tercerna. Respon
mukosa lambung karena penurunan sekresi mucus bervariasi di
antaranya vasodilatasi sel mukosa gaster. Lapisan mukosa gaster
terdapat sel yang memproduksi HCl ( terutama derah fundus ) dan
pembuluh darah.
Vasodilatasi mukosa gasterakan menyebabkan produksi HCl
meningkat. Anoreksia juga dapat menyebabkan rasa nyeri. Rasa nyeri
ini ditimbulkan oleh karena kontak HCl dengan mukosa gaster.
Respon mukosa lambung akibat penurunan sekresi mucus dapat
berupa eksfeliasi ( pengelupasan ). Eksfeliasi sel mukosa gaster akan
mengakibatkan erosi pada sel mukosa. Hilangnya sel mukosa akibat
erosi memicu timbulnya perdarahan.

23
Perdarahan yang terjadi dapat mengancam hidup penderita,
namun dapat juga berhenti sendiri karena proses regenerasi, sehingga
erosi menghilang dalam waktu 24-48 jam setelah perdarahan.

b. Gastritis Kronis
Helicobacter Pylori merupakan bakteri gram negative.
Organisme ini menyerang sel permukaan gaster, memperberat
timbulnya desquamasi sel dan munculnya respon radang kronis pada
gaster yaitu : destruksi kelenjar dan metaplasia.
Metaplasia adalah salah satu mekanisme pertahanan tubuh
terhadap iritasi yaitu dengan mengganti sel mukosa gaster, misalnya
sel desquamosa yang lebih kuat. Karena sel desquamosa lebih kuat
maka elastisitasnya juga berkurang. Pada saat mencerna makanan,
lambung melakukkan gerakan peristaltic tetapi karena sel
penggantinya tidak elastis maka akan timbul kekakuan yang pada
kahirnya menimbulkan rasa nyeri. Metaplasia ini juga menyebabkan
hilangnya sel mukosa pada lapisan lambung, sehingga akan
menyebabkan kerusakan pembuluh darah lapisan mukosa. Kerusakan
pembuluh darah ini akan menimmbukan perdarahan.

6. Manifestasi Klinis
a. Gastritis akut
Sindrom dispepsia berupa nyeri epigastrium, mual, kembung
dan muntah merupakan salah satu keluhan yang sering muncul.
Ditemukan pula pedarahan saluran cerna berupa hematemesis dan
melena, kemudian disesuaikan dengan tanda-tanda anemia pasca
perdarahan. Ulserasi superfisial yang dapat terjadi dan dapat
menimbulkan perdarahan, ketidaknyamanan abdomen (dengan sakit
kepala, mual dan anoreksia) dan dapat terjadi muntah, serta cegukan
beberapa pasien adalah asimtomatik, kolik dan diare dapat terjadi jika

24
makanan pengiritasi tidak dimuntahkan, tetapi mencapai usus besar,
pasien biasanya sembuh kira-kira dalam sehari meskipun nafsu makan
kurang atau menurun selama 2 sampai 3 hari. Keluhannya bervariasi,
mulai dari yang sangat ringan sampai asimtomatik sampai sangat berat
yang dapat membawa kematian.

b. Gastritis kronis
Tipe A biasanya meliputi asimtomatik kecuali untuk gejala
defisiensi B 12 dan pada Gastritis Tipe B pasien mengeluh anoreksia,
sakit ulu hati setelah makan, bersendawa, rasa pahit atau mual dan
muntah. Sebagian besar pasien tidak mempunyai keluhan. Hanya
sebagian kecil mengeluh nyeri hati, anoreksia, nusea dan pada
pemeriksaan fisik tidak dijumpai kelainan .

7. Diagnosa Gastritis
a. Gastritis Akut
Tiga cara menegakkan diagnosis, yaitu gambaran klinis,
gambaran lesi, mukosa akut di mukosa lambung berupa erosi atau
ulkus dangkal dengan rata pada endoskopi dan gambaran radiologi.
Dengan kontras tunggal sukar untuk melihat lesi permukaan yang
superfisial karena itu sebaiknya digunakan kontras ganda. Secara
umum peranan endoskopi saluran cerna bagian atas lebih sensitif dan
spesifik untuk diagnosis kelainan akut lambung.
Gastritis akut harus selalu diwaspadai pada saat pasien pada
keadaan kronis yang berat atau penggunaan aspirin dan anti inflamasi
nonsteroid. Diagnosis ditegakkan dengan pemeriksaan gastroskopi.
Pada pemeriksaan gastroskopi akan tampak mukosa yang sembab,
merah, mudah berdarah atau terdapat perdarahan spontan, erosi
mukosa yang bervariasi dari penyembuhan sampai tertutup oleh
tekanan darah dan kladang-kadang ulserasi. Lesi-lesi tersebut biasanya
terdapat pada fundus dan korpus lambung secara endoskopik.

b. Gastritis kronis

25
Diagnosa ditegakkan berdasarkan pemeriksaan endoskopi
dan dilanjutkan dengan pemeriksaan histopatologi biopsi mukosa
lambung, perlu pula dilakukan kultur untuk membuktikan adanya
infeksi Helicobacter pylori apalagi jika ditemukan ulkus baik pada
lambung ataupun pada duodenum.
Sebagian besar gastritis kronik tanpa gejala. Mereka yang
mempunyai keluhan biasanya keluhannya tidak jelas. Keluhan yang
sering dihubungkan dengan gastritis kronik adanya nyeri tumpul di
epigastrium, disertai dengan mual/kadang muntah-muntah, cepat
kenyang. Keluhan-keluhan ini tidak dapat digunakan untuk evaluasi
keberhasilan pengobatan, pemeriksaan fisik tidak memberikan
informasi apapun juga.
Diagnosa ditegakkan berdasarkan endoskopi dan
histopatologi untuk pemeriksaan histopatologi sebaiknya dilakukan
biopsi dan semua segmen lambung.

8. Pemeriksaan Diagnostik
a. EGD (Esofagogastriduodenoskopi)
Tes diagnostik kunci untukperdarahan GI atas, dilakukan untuk
melihat sisi perdarahan /derajat ulkus jaringan / cedera.
b. Minum barium dengan foto rontgen
Dilakukan untuk membedakan diganosa penyebab/sisi lesi.
c. Analisa gaster
Dapat dilakukan untuk menentukan adanya darah, mengkaji
aktivitas sekretori mukosa gaster.
d. Angiografi
Vaskularisasi GI dapat dilihat bila endoskopi tidakdapat disimpulkan
atau tidak dapat dilakukan. Menunjukkan sirkulasi kolateral dan
kemungkinan isi perdarahan.
e. Amilase serum
Meningkat dengan ulkus duodenal, kadar rendah diduga gastritis

26
9. Penatalaksanaan
Pengobatan gastritis akibat infeksi kuman Helicobacter pylori
bertujuan untuk melakukan eradikasi kuman tersebut. Pada saat ini
indikasi yang disetujui secara universal untuk melakukan eradikasi adalah
infeksi kuman Helicobacter pylori yang ada hubungannya dengan tukak
peptik dan yang berhubungan dengan low grade B cell lymphoma.
Sedangkan pasien yang menderita dyspepsia non tukak. Eradikasi
dilakukan dengan kombinasi antara berbagai antibiotik dan proton pump
inhibitor (PPI), Antibiotika yang dianjurkan adalah klaritomisin,
amoksisilin, metronidazol dan tetrasiklin. Bila PPI dan kombinasi 2
antibiotika gagal dianjurkan menambahkan bismuth subsalisilat/subsitral.
Regimen untuk Eradikasi Infeksi Helicobacter pylori (diberikan selama 1
minggu)

Obat 1 Obat 2 Obat 3 Obat 4

PPI dosis Klarithomisin Amoksisilin


ganda (2 x 500 mg) (2 x 500 mg)

PPI dosis Klarithomisin Metronidazol


ganda (2 x 500 mg) (2 x 500 mg)

PPI dosis Tetrasiklin Metronidazol Subsalisilat/subsitral


ganda (4 x 500 mg) (2 x 500 mg)

a. Gastritis akut
Faktor utama adalah dengan menghilangkan etiologinya, diet
lambung dengan posisi kecil dan sering. Obat-obatan ditujukan untuk
mengatur sekresi asam lambung berupa antagonis reseptor H2,
Proton Pump Inhibitor (PPI), antikolinergik dan antasid juga
ditujukan sebagai sito protektor berupa sukralfat dan prostaglandin.
Pencegahan ini terutama bagi pasien yang menderita penyakit
dengan keadaan klinis yang berat. Untuk pengguna aspirin atau anti
inflamasi nonsteroid pencegahan yang terbaik adalah dengan
Misaprostol, atau Devivat Prostaglandin Mukosa.

27
b. Gastritis kronis
Faktor utama adalah ditandai oleh progesif epitel kelenjar
disertai sel parietal dan chief cell. Dinding lambung menjadi tipis dan
mukosa mempunyai permukaan yang rata, Gastritis kronis ini
digolongkan menjadi dua kategori Tipe A (Altrofik atau Fundal) dan
tipe B (Antral).
Gastritis kronis Tipe A disebut juga Gastritis altrofik atau
fundal, karena mempunyai fundus pada lambung Gastritis kronis Tipe
A merupakan suatu penyakit auto imun yang disebabkan oleh adanya
auto antibodi terhadap sel. Parietal kelenjar lambung dan faktor
intrinsik dan berkaitan dengan tidak adanya sel parietal dan Chief
Cell, yang menurunkan sekresi asam dan menyebabkan tingginya
kadar gastrin.
Gastritis kronis Tipe B disebut juga sebagai Gastritis antral
karena umunya mengenai daerah atrium lambung dan lebih sering
terjadi dibandingkan dengan Gastritis kronis Tipe A.
Jadi penyebab utama Gastritis Tipe B adalah infeksi kronis
oleh Helicobacter pylori. Faktor etiologi Gastritis kronis lainnya
adalah asupan alkohol yang berlebihan, merokok, dan refluks dapat
mencetuskan terjadinya ulkus peptikum dan karsinoma.
Pengobatan Gastritis kronis bervariasi, tergantung pada
penyakit yang dicurigai. Bila terdapat ulkus dedenum, dapat diberikan
antibiotik untuk membatasi Helicobacter pylori. Namun demikian lesi
tidak selalu muncul dengan Gastritis kronis. Alkohol dan obat yang
diketahui mengiritasi lambung harus dihindari. Bila terjadi anemia
defisiensi besi (yang disebabkan oleh perdarahan kronis), maka
penyakit ini harus diobati, pada anemia pernisiosa harus diberi
pengobatan vitamin B.12 dan terapi yang sesuai. Gastritis kronis
diatasi dengan memodifikasi diet pasien, meningkatkan istirahat
mengurangi dan memulai farmakoterapi. Helicobacter pylori dapat
diatasi dengan antibiotik (seperti Tetrasiklin atau Amoxicillin) dan
28
garam bismut (Pepto bismol). Pasien dengan Gastritis Tipe A
biasanya mengalami malabsorbsi vitamin B.12.

10. Komplikasi
a. Perdarahan saluran cerna atas, hingga anemia dan kematian.
b. Ulkus pada lambung.
c. Perfurasi lambung

11. Prognosis
Prognosis sesuai dengan penanganan yang diberikan Ketika telah
teridentifikasi penyebab gastritis dan pengobatan dimulai prospek untuk
pemulihan penuh sangat baik. Namun, jika gastritis berhubungan dengan
alkohol atau tembakau, harus siap untuk mengubah gaya hidup untuk
menghilangkan iritasi ini.

B. Anemia
1. Definisi
Anemia adalah suatu keadaan dimana jumlah sel darah merah tidak
bisa mencukupi kebutuhan fisiologis tubuh yang menyebabkan distribusi
oksigen ke jaringan tubuh berkurang. Kebutuhan fisiologis tubuh
seseorang bermacam-macam tergantung pada usia, jenis kelamin,
kebiasaan merokok, lokasi tempat tinggal, dan kehamilan (WHO, 2011).
Anemia juga dapat diartikan sebagai suatu kondisi dimana kadar
hemoglobin darah di bawah nilai normal (Hoffbrand & Moss, 2011).

2. Epidemiologi
Anemia masih menjadi masalah kesehatan yang utama di dunia dan
sebesar 1,62 juta penduduk di dunia telah menderita anemia. Angka
kejadian anemia di negara dengan berpendapatan tinggi sebesar 9% dan
negara berpendapatan rendah sebesar 43%. Anak-anak dan wanita usia
reproduktif merupakan faktor risiko terkena anemia. Angka kejadian
anemia pada anak-anak pada usia kurang dari lima tahun sebesar 47%,
wanita hamil sebesar 42%, dan pada wanita tidak hamil dengan usia 15-49

29
tahun sebesar 30%. Kematian yang disebabkan oleh anemia per tahunnya
adalah sebesar 115.000 jiwa pada ibu dan 591.000 jiwa pada perinatal
(Balarajan, et al., 2011).
Riset kesehatan dasar (RISKESDAS) menyatakan bahwa angka
kejadian anemia di Indonesia sebesar 21,7% pada tahun 2013. Angka
kejadian anemia pada perempuan sebesar 23,9% sedangkan angka
kejadian pada laki-laki sebesar 18,4%. Persentase anak-anak usia sekolah
yang mengalami anemia di Indonesia adalah sebesar 26,4% (Balitbang
Kemenkes RI, 2013).
Angka kejadian anemia di Jawa Tengah pada tahun 2007
berdasarkan acuan baku nilai rerata minimum hemoglobin yang ditetapkan
oleh RISKESDAS adalah sebesar 35,6% dari populasi penduduk Jawa
Tengah (Balitbang Kemenkes RI, 2008)

3. Kriteria Anemia
Pemeriksaan yang paling sering digunakan untuk mengetahui anemia
adalah dengan cara melakukan pemeriksaan darah yang meliputi
hemoglobin, hematokrit dan eritrosit. Harga normal untuk hemoglobin
sangat bervariasi secara fisiologik tergantung pada umur, jenis kelamin,
kehamilan dan ketinggian tempat tinggal (Bakta, 2014). WHO menetapkan
cut off point anemia berdasarkan pada kadar hemoglobin yang ditunjukkan
pada tabel 4.

Tabel 4. Kadar hemoglobin untuk mendiagnosis anemia (g/l) (WHO, 2011)

Populasi Non-Anemia Anemia


Ringan Sedang Berat
Anak-anak:
1. 6-59 bulan ≥ 110 100-109 70-99 < 70
2. 5-11 tahun ≥ 115 110-114 80-109 < 80
3. 12-14 tahun ≥ 120 110-119 80-109 < 80
Wanita:
1. Hamil ≥ 110 100-119 70-99 < 70
2. Tidak Hamil (≥15 ≥ 120 110-119 80-109 < 80
tahun) ≥ 130 110-129 80-109 < 80
Laki-laki (≥15 tahun)

30
4. Etiologi
Anemia dapat disebabkan oleh:
a. Perdarahan yang berat akibat trauma, operasi, perdarahan
gastrointestinal, dan menstruasi (WHO, 2008).
b. Infeksi parasit
Infeksi parasit hookworms, ascariasis dan schistosomiasis dapat
menyebabkan konsentrasi hemoglobin dalam darah menurun
(WHO, 2008).
c. Infeksi akut dan kronis
Malaria, kanker, tuberculosis, dan HIV dapat menyebabkan
konsentrasi hemoglobin dalam darah menurun (WHO, 2008).
d. Defisiensi mikronutrien
Defisiensi vitamin A dan B12, asam folat, riboflavin, besi dan
tembaga dapat meningkatkan risiko terkena anemia (WHO, 2008).
e. Defisiensi eritropoetin
Defisiensi eritropoetin akan menyebabkan produksi sel darah
merah berkurang. Defisiensi eritropoetin disebabkan karena adanya
gangguan di ginjal sebagain organ yang menghasilkan eritropoetin
(Baldy, 2015).
f. Hemolisis
Hemolisis adalah penghancuran eritrosit sebelum pada waktunya
yang disebabkan oleh respon autoimun, respon isoimun yang
disebabkan oleh transfusi darah yang tidak cocok, dan
hipersplesnisme yang menyebabkan sel darah merah terperangkap
di dalam limfa dan kemudian dihancurkan (Baldy, 2015).
g. Gangguan pembentukan eritrosit
Penyakit-penyakit kronis yang mengenai hati dan ginjal dapat
menyebabkan gangguan pada proses pembentukan eritrosit. Selain
itu, kurangnya mengonsumsi vitamin-vitamin penting seperti B 12,
asam folat, vitamin C, dan zat besi dapat mengakibatkan

31
pembentukan sel darah merah tidak efektif dan menimbulkan
anemia (Baldy, 2015).
h. Inflamasi dan penyakit kronis
Anemia pada inflamasi dan penyakit kronis terjadi karena
ketidakmampuan tubuh untuk menggunakan dan melepaskan
cadangan besi sehingga menyebabkan eritropoesis terbatas. Selain
itu, pelepasan sitokin dapat menyebabkan produksi eritropoetin
oleh ginjal menurun dan terjadi penghancuran sel darah merah oleh
makrofag (McEvoy & Shander, 2013).

5. Klasifikasi
Berdasarkan morfologinya, anemia diklasifikasikan menjadi tiga
kategori besar, yaitu:
a. Anemia normokromik normositik
Pada anemia ini, sel darah merah memiliki ukuran dan bentuk
normal sedangkan untuk mean corpuscular volume (MCV) dan
mean corpuscular hemoglobin concentration (MCHC) dalam batas
normal atau normal rendah. Anemia jenis ini disebabkan karena
kehilangan darah akut, hemolisis dan penyakit kronis yang
meliputi infeksi, gangguan endokrin, gangguan ginjal, kegagalan
sumsum tulang dan penyakit-penyakti infiltratif metastatik pada
sumsum tulang (Baldy, 2015). Dikatakan anemia normokromik
normositik apabila MCV 80-95 fl dan MCH 27-34 pg. Anemia
noromokromi normositik diisebabkan oleh (Bakta, 2014):
1) Anemia pasca perdarahan akut
2) Anemia aplastik
3) Anemia hemolitik didapat
4) Anemia akibat penyakit kronik
5) Anemia pada gagal ginjal kronik
6) Anemia pada sindrom mielodisplastik
7) Anemia pada keganasan hematologik

32
b. Anemia normokromik makrositik
Sel darah merah pada anemia ini memiliki ukuran yang lebih
besar dari pada sel darah merah yang normal. Normokromik
disebabkan karena konsentrasi hemoglobin normal (Baldy, 2015).
Anemia makrositik paling sering disebabkan karena adanya
defisiensi vitamin B12 dan asam folat (Galloway & Hamilton,
2007). Dikatakan anemia normokromik makrositik apabila MCV >
95 fl. Anemia normokromik makrositik disebabkan oleh (Bakta,
2014):
1) Bentuk megaloblastik
Anemia megaloblastik terjadi karena adanya gangguan
dari sintesis DNA sehingga menyebabkan pengembangan
eritroblast dan mempengaruhi granulosit, megakariosit,
lapisan saluran pencernaan, dan replikasi sel di seluruh tubuh.
Penyebab yang paling umum adalah defisiensi B12
(kobalamin) dan asam folat (Kiswari, 2014).
2) Bentuk non-megaloblastik
Anemia makrositik non megaloblastik paling sering
disebabkan oleh penyakit hati, mielodisplasia, retikulositosis,
hipotiroidisme, alkoholisme, dan penyakit paru obstruktif
kronis (PPOK) (Kiswari, 2014).

c. Anemia hipokromik mikrositik


Anemia jenis ini ditandai dengan eritrosit yang berukuran
kecil dan pucat dan cadangan besi dalam tubuh kurang. Eritrosit
mikorsitik hipokromik disebabkan karena adanya gangguan pada
sintesis heme atau globin (Kiswari, 2014). Dikatakan anemia
hipokromik mikrositik apabila MCV < 80 fl dan MCH < 27 pg
anemia hipolormik mikrositik disebabkan oleh (Bakta, 2014):
1) Anemia defisiensi besi

33
Anemia ini disebabkan oleh penyediaan besi yang
kurang untuk eritropoesis karena cadangan besi di dalam
tubuh kosong sehingga pembentukan hemoglobin berkurang
(Bakta , et al., 2014). Berkurangnya zat besi di dalam tubuh
dapat terjadi karena asupan besi yang kurang, gangguan
penyerapan besi, kehilangan besi lebih banyak dibandingkan
dengan penyerapannya (Kiswari, 2014).
2) Anemia penyakit kronis
Anemia ini bisa disebabkan melalui dua cara. Pertama,
produksi eritrophoetin di ginjal ditekan oleh sitokin sehingga
produksi sel darah merah berkurang. Kedua, kurangnya
ketersediaan zat besi sehingga perkembangan sel darah merah
terganggu dan menyebabkan mikrositosis. Kekurangan zat
besi pada kondisi ini sebagian besar disebabkan oleh protein
hepsidin. Protein hepsidin ini menyebabkan absorbsi dan
pelepasan zat besi dari cadangan tubuh berkurang (Campion,
2014).
3) Talasemia
Talasemia disebabkan karena adanya sintesis rantai
globin yang berkurang atau penurunan jumlah rantai globin.
Mutasi genetik yang terjadi pada talasemia berupa ketiadaan
produksi mRNA dari gen yang terlibat, produksi mRNA
nonfungsional, atau produksi mRNA yang tidak stabil yang
terdegradasi prematur sehingga menyebabkan penurunan
sintesis pada rantai globin yang terlibat. Sebagian besar kasus
talasemia melibatkan rantai α atau β globin (Kiswari, 2014).
4) Anemia sideroblastik
Anemia siderobastik merupakan kelompok penyakit
heterogen yang ditandai oleh adanya gangguan pada sintesis
molekul heme yang menyebabkan akumulasi besi di
mitokondria dalam perkembangan eritroblas (Kiswari, 2014).
34
Anemia ini dipastikan dengan adanya banyak cincin
sideroblas di dalam sumsum tulang belakang. Cincin
sideroblas merupakan eritroblas abnormal yang mengandung
banyak granula besi (Hoffbrand & P. A. H. Moss, 2011).
Anemia sideroblastik bawaan pada umumnya
disebabkan oleh mutasi pada gen untuk sintetase enzim asam
amino levulinat (sintetase ALA) yang berfungsi untuk
mengkatalis reaksi pertama sintesis protoporfirin. Pada
anemia jenis ini eritrosit berbentuk butiran kecil menyerupai
bola bersusun yang terwarnai oleh pewarnaan biru prusia
(Kiswari, 2014).
Anemia sideroblastik dapat dibagi menjadi reversible
dan ireversibel. Pada kasus reversibel pada umumnya
disebabkan oleh bahan kimia yang beracun dan obat-obatan
seperti alkohol, isoniazid (INH), kloramphenikol yang
diberikan dengan dosis yang cukup tinggi >2 g/hari,
defisiensi tembaga Cu yang berperan penting pada beberapa
enzim dalam jalur protoporfirin dan Kelebihan Zn karena
konsumsi Zn yang berlebihan dapat menyebabkan jumlah Cu
di dalam tubuh berkurang. Anemia sideroblastik irreversible
diduga disebabkan oleh karena adanya mutasi genetik dalam
sel induk hematopoietik atau prekursor hematopoietik dini
(Kiswari, 2014).

6. Patofisiologi
Anemia adalah berkurangnya massa sel darah merah yang signifikan
dan disertai penurunan kapasitas darah untuk membawa oksigen. Anemia
diperlihatkan paling jelas lewat estimasi volume packed red sel namun
dapat pula dicerminkan lewat kadar hemoglobin dan jumlah sel darah
merah (Kumar, 2013).
Berkurangnya kadar hemoglobin dalam darah kapiler kulit dan
membran mukosa akan membuat kulit menjadi tampak pucat (Kumar,
35
2013). Selain kadar hemoglobin rendah, volume darah yang berkurang dan
vasokonstriksi akan membuat kulit tampak pucat. Vasokonstriksi
berfungsi untuk memaksimalkan pengiriman oksigen ke organ-organ vital
(Baldy, 2015).
Berkurangnya jumlah sel darah merah akan mengakibatkan
pengiriman oksigen ke jaringan menurun. Pada kondisi kehilangan darah
yang mendadak akan menimbulkan gejala-gejala hipovolemia dan
hipoksemia, keringat dingin, takikardia, nafas pendek, dan berkembang
cepat menjadi kolaps sirkulasi atau syok. Pada kasus yang menyebabkan
berkurangnya jumlah sel darah merah secara perlahan, tubuh akan
beradaptasi melalui mekanisme kompensasi dan pasien biasanya
asimptomatik. Tubuh akan beradaptasi dengan:
a. Meningkatkan curah jantung dan pernapasan yang berfungsi untuk
meningkatkan pengiriman oksigen ke jaringan-jaringan oleh sel darah
merah.
b. Meningkatkan pelepasan oksigen oleh hemoglobin.
c. Mengembangkan volume plasma dengan menarik cairan dari sela-sela
jaringan.
d. Redistribusi aliran darah ke organ-organ vital (Baldy, 2015).

7. Tanda dan Gejala


a. Tanda
Salah satu tanda khas yang muncul pada anemia adalah pucat.
Bagian tubuh yang paling baik untuk menilai kondisi pucat adalah
dasar kuku, membran mukosa mulut serta konjungtiva (Kumar, 2013).
Tanda lain yang muncul pada anemia adalah takikardia, bising jantung
yang disebabkan karena peningkatan kecepatan aliran darah yang
menyebabkan beban kerja dan curah jantung meningkat. (Baldy,
2015).
Tanda spesifik untuk kondisi anemia tertentu adalah koilonikia
atau kuku sendok dengan anemia defisiensi besi, ikterus dengan
anemia hemolitik atau megaloblastik, ulkus kaki dengan sel sabit dan
36
anemia hemoilitik lainnya, deformitas tulang dengan talasemia mayor
(Hoffbrand & Moss, 2011).
b. Gejala
Gejala pada anemia dibagi menjadi tiga yaitu gejala umum,
gejala khas masing-masing anemia dan gejala penyakit dasar. Gejala
umum akan muncul ketika tubuh mengalami iskemia dan tubuh akan
terasa lemah, lesu, cepat lelah, tinnitus, mata berkunang-kunang, kaki
terasa dingin, sesak napas serta pasien akan tampak pucat pada bagian
konjungtiva, mukosa mulut, jaringan dibawah kuku, dan telapak
tangan. Gejala-gejala ini akan muncul ketika hemoglobin < 7 g/dl
(Bakta, 2014).
Gejala spesifik yang muncul pada masing-masing anemia
adalah (Bakta, 2014):
1) Anemia defisiensi besi: disfagia, atrofi papil lidah, stomatitis
angularis, dan kuku sendok.
2) Anemia megaloblastik: glossitis, gangguan neurologis pada
defisiensi B12.
3) Anemia hemolitik: ikterus, splenomegali, dan hepatomegali.
4) Anemia aplastik: perdarahan dan tanda-tanda infeksi.
Gejala penyakit dasar merupakan gejala yang timbul akibat
penyakit dasar yang menjadi penyebab timbulnya anemia. Misalnya
infeksi cacing tambang akan memberikan gejala seperti sakit perut,
pembengkakan parotitis, dan warna kuning pada telapak tangan
(Bakta, 2014).

8. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium untuk mendiagnosis anemia meliputi
pemeriksaan penyaring, pemeriksaan darah seri anemia, pemeriksaan
sumsum tulang dan pemeriksaan khusus.
a. Pemeriksaan penyaring terdiri atas pengukuran kadar hemoglobin,
indeks eritrosit, dan hapusan darah tepi.

37
b. Pemeriksaan darah seri anemia meliputi hitung leukosit, trombosit,
retikulosit, dan laju endap darah.
c. Pemeriksaan sumsum tulang memberikan informasi keadaan
sistem hematopoiesis.
d. Pemeriksaan khusus:
1) Anemia defisiensi besi: serum iron, TIBC, saturasi
transferrin, protoporfirin, eritrosit, ferritin serum, reseptor
transferrin dan pengecatan besi pada sumsum tulang
2) Anemia megaloblastik: folat serum, vitamin B12 serum, tes
supresi deosiuridin dan tes Schilling.
3) Anemia hemolitik: bilirubin serum, tes Coomb, dan
elektroforesis.
4) Anemia aplastik: biopsi sumsum tulang (Bakta, 2014).

9. Penatalaksanaan
Tujuan dari penatalaksanaan anemia adalah meningkatan jumlah
sel darah merah dan mengatasi penyebab utama terjadinya anemia.
Penatalaksanaan anemia meliputi (NHLBI, 2012):
a. Diet tinggi zat besi, asam folat, vitamin B12 dan vitamin C.
b. Transfusi darah.
c. Tindakan pembedahan dilakukan jika terjadi perdarahan serius
yang mengancam jiwa.
d. Obat-obatan yang berfungsi untuk meningkatkan produksi sel
darah merah dan mengatasi penyebab utama terjadinya anemia.
Beberapa obat-obatan yang bisa digunakan untuk mengatasi
anemia adalah (Maakaron, 2016):
1) Preparat besi: ferrous sulfate, carbonyl iron, dan ferric
carboxymaltose
2) Antibiotik untuk mengatasi infeksi.
3) Glucocorticoids untuk mengatasi anemia yang disebabkan
karena proses autoimun.

38
39
BAB IV
PEMBAHASAN

Pasien datang ke RSUD Sukoharjo dengan keluhan dengan keluhan buang


air besar berwarna hitam sejak 5 hari yang lalu. Pasien mengeluhkan nyeri perut
di regio epigastrium. Nyeri perut yang dirasakan pasien seperti tertusuk-tusuk.
Pasien juga mengeluhkan adanya mual dan muntah. Pasien mengaku merasa
lemas dan pusing. Pasien mengatakan bahwa tidak keluhan pada saat buang air
kecil. Pasien mengaku bahwa sebelumnya sering mengonsumsi obat herbal untuk
mengatasi nyeri-nyeri pada otot. Pasien sudah mengonsumsi obat herbal ini
selama 1 tahun. Pasien juga pernah mondok di RSUD Sukoharjo dengan keluhan
yang sama pada 3 bulan yang lalu.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum pasien tampak lemah,
kesadaran compos mentis, gizi kesan cukup. TD: 100/70 mmHg, HR: 80
kali/menit, RR : 20 kali/ menit, T: 36,5oC . Pada pemeriksaan kepala didapatkan
conjungtiva anemis (+). Pada pemeriksaan palpasi abdomen didapatkan nyeri
tekan (+) di daerah epigastrium. Pemeriksaan laboratorium didapatkan hasil kadar
hemoglobin: 5,3 g/dL, MCV: 77,4 fL, MCH: 24,4 pg, MCHC: 31,5 g/dL.
Pemeriksaan EGD diperoleh hasil bahwa gastritis antrum.
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang
pasien didiagnosis mengalami gastritis dengan anemia mikrositik hipokromik.
Gejala gastritis meliputi sindrom dispepsia berupa nyeri epigastrium, mual,
kembung dan muntah. Ditemukan pula pedarahan saluran cerna berupa melena,
kemudian disesuaikan dengan tanda-tanda anemia pasca perdarahan.
Berdasarkan diagnosis pasien diberikan terapi berupa medikamentosa
dan non medikamentosa, yaitu sebagai berikut:

Medikamentosa

 Infus NaCl 20 tpm


 Inj Omeprazole/12jam

40
Merupakan obat golongan PPI yang berfungsi untuk mengatur sekresi
asam lambung.
 Inj Ondancetron/8jam
Diberikan untuk mengatasi keluhan mual dan muntah
 Inj Asam Tranexamat 500mg/8jam
Diberikan untuk menghentikan perdarahan yang sedang terjadi.
 Inj Vitamin K/8jam
Diberikan untuk menghentikan perdarahan yang sedang terjadi.
 Sucralfat syrup 3x1
Melindungi permukaan lambung dari asam lambung.
 Transfusi PRC 3 kolf
Diberikan untuk meningkatkan kadar hemoglobin pasien karena kadar
hemoglobin pasien kurang dari 7 g/dL

41
BAB V
KESIMPULAN

Pasien datang ke RSUD Sukoharjo dengan keluhan dengan keluhan buang


air besar berwarna hitam sejak 5 hari yang lalu. Pasien mengeluhkan nyeri perut
di regio epigastrium. Nyeri perut yang dirasakan pasien seperti tertusuk-tusuk.
Pasien juga mengeluhkan adanya mual dan muntah. Pasien mengaku merasa
lemas dan pusing. Pasien mengatakan bahwa tidak keluhan pada saat buang air
kecil. Pasien mengaku bahwa sebelumnya sering mengonsumsi obat herbal untuk
mengatasi nyeri-nyeri pada otot. Pasien sudah mengonsumsi obat herbal ini
selama 1 tahun. Pasien juga pernah mondok di RSUD Sukoharjo dengan keluhan
yang sama pada 3 bulan yang lalu.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum pasien tampak lemah,
kesadaran compos mentis, gizi kesan cukup. TD: 100/70 mmHg, HR: 80
kali/menit, RR : 20 kali/ menit, T: 36,5oC . Pada pemeriksaan kepala didapatkan
conjungtiva anemis (+). Pada pemeriksaan palpasi abdomen didapatkan nyeri
tekan (+) di daerah epigastrium. Pemeriksaan laboratorium didapatkan hasil kadar
hemoglobin: 5,3 g/dL, MCV: 77,4 fL, MCH: 24,4 pg, MCHC: 31,5 g/dL.
Pemeriksaan EGD diperoleh hasil bahwa gastritis antrum.

42
DAFTAR PUSTAKA

43

Anda mungkin juga menyukai