Anda di halaman 1dari 32

LAPORAN KASUS

PRIA 40 TAHUN COVID-19 KONFIRMASI


SIMPTOMATIK RINGAN DENGAN HIV
TERKONTROL

Disusun Oleh:

dr. Nadia Luthfiana Vashti

Pembimbing:

dr. Ammy Fahmy Myala

PROGRAM INTERNSHIP DOKTER INDONESIA

PUSKESMAS KECAMATAN PULOGADUNG

PERIODE 12 NOVEMBER 2020 - 11 FEBRUARI 2021

JAKARTA TIMUR

2020
DAFTAR ISI

hlm
Daftar Isi............................................................................................ 2
Bab I Pendahuluan........................................................................... 3
Bab II Laporan Kasus....................................................................... 4
2.1 Anamnesis.................................................................. 4
2.2 Pemeriksaan Fisik...................................................... 5
2.3 Pemeriksaan Penunjang............................................. 7
2.4 Diagnosis.................................................................... 8
2.5 Tatalaksana................................................................. 8
2.6 Follow up................................................................... 9
2.7 Prognosis.................................................................... 10
Bab 3 Tinjauan Pustaka.................................................................... 11
3.1 COVID-19..................................................................
11
a. Definisi........................................................... 11
b. Patogenesis..................................................... 12
c. Klasifikasi...................................................... 14
d. Derajat............................................................ 15
e. Pemeriksaan Penunjang................................. 16
f. Tatalaksana.................................................... 18
3.2 HIV............................................................................ 21
a. Definisi........................................................... 21
b. Patofisiologi................................................... 21
c. Manifestasi Klinis.......................................... 22
d. Pemeriksaan Penunjang................................. 24
e. Tatalaksana.................................................... 26
Bab IV Pembahasan................................................................
28

2
Daftar Pustaka................................................................................... 30
BAB I
PENDAHULUAN

Pada tanggal 31 Desember 2019, Tiongkok melaporkan kasus pneumonia


misterius yang tidak diketahui penyebabnya. Dalam 3 hari, pasien dengan kasus
tersebut berjumlah 44 pasien dan terus bertambah hingga saat ini berjumlah jutaan
kasus. Pada tanggal 11 Februari 2020, World Health Organization memberi nama
virus baru tersebut SARS-CoV-2 dan nama penyakitnya sebagai Coronavirus
Disease 2019 (COVID-19). Pada tanggal 11 Maret 2020, WHO mengumumkan
bahwa COVID-19 menjadi pandemi di dunia.1

Indonesia melaporkan kasus pertama pada tanggal 2 Maret 2020. Kasus


meningkat dan menyebar dengan cepat di seluruh wilayah Indonesia. Sampai
dengan tanggal 9 Juli 2020 Kementerian Kesehatan melaporkan 70.736 kasus
konfirmasi COVID-19 dengan 3.417 kasus meninggal (CFR 4,8%).2 Pada tanggal
31 Desember 2020 kasus terkonfirmasi 743.196 kasus, meninggal 22.138 kasus,
dan sembuh 611.097. Propinsi dengan kasus COVID-19 terbanyak adalah DKI
Jakarta, Jawa Tengah dan Jawa Barat.1

Komorbiditas penyakit kronis, terutama multimorbiditas, tampaknya


menjadi faktor pendorong kematian COVID-19. Peringatan untuk mengambil
tindakan pencegahan ekstra termasuk orang dengan asma, penyakit paru-paru
kronis, diabetes, kondisi kardiovaskular yang serius, penyakit ginjal kronis,
obesitas, penyakit hati kronis dan orang-orang yang defisiensi imun
(immunocompromised), seperti orang dengan HIV (ODHIV).3-5

Kekhawatiran atas peningkatan risiko penyakit COVID-19 yang parah


untuk ODHIV mungkin didasarkan pada asumsi bahwa ODHIV lebih mungkin
mengalami imunosupresi. Infeksi HIV dikaitkan dengan respon imun humoral
abnormal dan sel-T yang termediasi, menghasilkan peningkatan kerentanan untuk
berbagai infeksi oportunistik. Di bawah alasan ini, Perhatian khusus diperlukan

3
untuk ODHA dengan CD4 rendah jumlah sel, penyakit lanjut, viral load tinggi,
dan yang tidak memakai pengobatan antiretroviral (ART).6

BAB II

LAPORAN KASUS

2.1. ANAMNESIS
A. Identitas Pasien
Nama : Tn. JMT
Usia : 40 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Alamat : Jl. Taruna Dalam IV No. 14 RT.009/RW.010,
Kel.Pulogadung, Kec.Pulogadung
Pekerjaan : Karyawan Swasta
Status pernikahan : Belum menikah
Agama : Kristen
Tanggal Kunjungan : 19 Januari 2021

B. Data Dasar
Keluhan utama: Demam, penciuman berkurang, nyeri tenggorokan sejak 4 hari
yang lalu

Keluhan tambahan: Lemas, nyeri otot

Riwayat penyakit sekarang:


Pasien datang ke puskesmas dengan keluhan demam, penciuman
berkurang dan nyeri tenggorokan sejak 4 hari lalu. Demam dirasakan hilang
timbul. Setelah muncul keluhan, pasien berinisiatif untuk tes swab PCR di RS
Kartika 1 hari kemudian karena teman sekantornya baru saja terkonfirmasi positif
Covid-19. Pasien juga mengeluhkan nyeri otot dan lemas. Pasien pun
mengkonsumsi vitamin C 2x1, vitamin B 3x1, vitamin D3 1000mg 2x1,
parasetamol 3x1. Pasien mengaku sedang rutin pengobatan ARV untuk HIV
selama 4 tahun. Pasien datang ke puskesmas untuk segera dirujuk karena tidak ada

4
kamar terpisah dan tinggal bersama ibunya yang berusia lanjut sehingga pasien
tidak memungkinkan untuk isolasi dirumah.

Riwayat penyakit dahulu:


- Riwayat keluhan yang sama sebelumnya disangkal. Riwayat HIV
terkontrol sejak tahun 2017. Riwayat darah tinggi, kencing manis
disangkal. Riwayat asma disangkal. Riwayat alergi obat dan makanan
disangkal.

Riwayat penyakit keluarga:


- Riwayat keluhan yang sama di keluarga disangkal. Riwayat kontak dengan
teman sekantor yang terkonfirmasi Covid-19 sejak 1 minggu yang lalu.
Riwayat alergi, asma, darah tinggi dan kencing manis di keluarga
disangkal.

Riwayat psikososial:
- Pasien tinggal dengan ibu berusia 80 tahun dan kakaknya. Ibu pasien
sudah tidak bekerja namun masih dapat beraktifitas dengan pekerjaan
dirumah. Kakak pasien belum menikah dan sehari-hari bekerja sebagai
karyawan
- Aktivitas pasien sehari-hari bekerja sebagai karyawan di kantor.
- Pasien rutin mengkonsumsi obat ARV ke RSCM setiap bulannya dan tidak
ada gejala yang menyertai
- Pasien dan keluarga selalu memakai masker jika keluar rumah dan tidak
selalu dipakai jika berada dirumah. Kebersihan dirumah juga selalu dijaga.
- Pasien sekeluarga tinggal di lingkungan yang cukup padat penduduk.
Terdapat 2 kamar dan 1 kamar mandi sehingga ibu pasien bisa kontak erat
dengan pasien

2.2. PEMERIKSAAN FISIK


Pemeriksaan Umum

5
Keadaan Umum : Tampak sakit ringan

Kesadaran : Compos mentis

Tanda-tanda Vital :

Tekanan Darah : 100/70 mmHg

Nadi : 80 kali/menit,

Laju Pernapasan : 20 kali/menit

Suhu Axilla : 38⁰C

Status Generalisata

Kepala : Bentuk normocephal; rambut berwarna hitam,


distribusi merata, tidak mudah dicabut

Mata : Konjungtiva Anemis (-/-), Sklera Ikterik (-/-)


Refleks Cahaya (+/+), pupil isokor

Hidung : Normonasi, sekret (-/-), Epitaksis (-/-)

Telinga : Normotia, sekret (-/-), nyeri tekan (-/-)

Mulut : Mukosa bibir lembab , sianosis (-) lidah kotor (-)

Leher : Pembesaran KGB (-), Pembesaran Tiroid (-)

Thorax :

 Paru-paru

Inspeksi : tidak dilakukan pemeriksaan


Palpasi : tidak dilakukan pemeriksaan
Perkusi : tidak dilakukan pemeriksaan
Auskultasi : tidak dilakukan pemeriksaan

6
 Jantung

Inspeksi : tidak dilakukan pemeriksaan


Palpasi : tidak dilakukan pemeriksaan
Perkusi : tidak dilakukan pemeriksaan
Auskultasi : tidak dilakukan pemeriksaan

Abdomen:

Inspeksi : tidak dilakukan pemeriksaan


Palpasi : tidak dilakukan pemeriksaan
Perkusi : tidak dilakukan pemeriksaan
Auskultasi : tidak dilakukan pemeriksaan

Ekstremitas: CRT < 2 detik

- - - -
Oedema Akral dingin
- - - -

2.3. PEMERIKSAAN PENUNJANG

a. Laboratorium Darah (14 Januari 2021) di RSCM

Pemeriksaan Hasil Rujukan

Sel T (CD4+) persen 13 % (Low) 31 – 60

Sel T (CD4+) absolut


418 sel/μL 410 - 1590

7
b. RT-PCR SARS-CoV2 (16 Januari 2021) di RS Kartika Pulomas

Pemeriksaan Hasil Rujukan

RT-PCR SARS-CoV2 Positif Negatif

(CT Gen E: 14.452, CT


Gen RDRP: 24.363)

2.4. DIAGNOSIS
Covid-19 Konfirmasi Simptomatik Ringan dengan HIV Terkontrol

2.5. TATALAKSANA
Tatalaksana Non-Medikamentosa:
Anjuran untuk tetap memakai masker ketika didalam rumah, menjaga
jarak dengan keluarga jika memungkinkan, mencuci tangan dan berjemur
10-15 menit sembari menunggu rujukan.

Tatalaksana Medikamentosa:
- Parasetamol tab 500mg 3x1
- Vitamin C tab 2x1
- Vitamin B tab 3x1
- Vitamin D3 tab 1000mg 2x1
- Zidovudine tab 300mg
- Lamivudine tab 300mg
- Nevirapine tab 200mg

8
2.6. FOLLOW UP

Awal gejala Keluhan: KU : CM, baik o Suspek o Rencana Swab


Demam, nyeri Covid-19 PCR tgl
Jumat Febris
tenggorokan, o HIV 16/01/21
15/01/21 anosmia, terkontrol o Zidovudine 2 x
lemas, nyeri 300mg
otot o Lamivudine 1 x
150mg
o Nevirapine 2 x
200mg

Datang ke Keluhan: KU : CM, baik o Confirmed o Pro Rujuk RS


puskesmas Demam, nyeri Covid-19 o PCT 3 x 1
TD: 100/70 mmHg
tenggorokan, Simptomatik o Vitamin C 2 x 1
Rabu
anosmia, HR: 80 x/min Ringan o Vitamin B 3 x 1
19/01/21 lemas, nyeri o HIV o Vitamin D3 2 x
otot, swab PCR RR: 20 x/min terkontrol 1000mg
(+) tgl 17/01/21
Suhu: 38 OC o Zidovudine 2 x
300mg
SpO2 : 99%
o Lamivudine 1 x
150mg
o Nevirapine 2 x
200mg

Isoman H-1 Keluhan: KU : CM, lemah o Confirmed o PCT 3 x 1


Demam, nyeri Covid-19 o Vitamin C 2 x 1
20/01/21 TD: 90/60 mmHg
tenggorokan, Simptomatik o Vitamin B 3 x 1
anosmia, HR: 108 x/min Sedang o Vitamin D3 2 x
lemas, nyeri o HIV 1000mg
otot, sesak RR: 22 x/min terkontrol o Zidovudine 2 x
napas

9
Suhu: 38,5 OC 300mg
o Lamivudine 1 x
SpO2 : 97-98%
150mg
o Nevirapine 2 x
200mg

Isoman H-2 Keluhan: KU : CM, baik o Confirmed o Vitamin C 2 x 1


Nyeri Covid-19 o Vitamin B 3 x 1
Jumat Afebris
tenggorokan, Simptomatik o Vitamin D3 2 x
21/01/21 hidung Ringan 1000mg
tersumbat, o HIV o Zidovudine 2 x
anosmia, nyeri Terkontrol 300mg
otot o Lamivudine 1 x
150mg
o Nevirapine 2 x
200mg

Masuk RS Keluhan: KU : CM, baik o Confirmed o Vitamin


Anosmia Covid-19 o Curcuma
Sabtu Afebris
Simptomatik o Zidovudine 2 x
22/01/21 Ringan 300mg
o HIV o Lamivudine 1 x
Terkontrol 150mg
o Nevirapine 2 x
200mg

2.7. PROGNOSIS
Quo ad vitam = dubia et bonam
Quo ad fungtionam = dubia et bonam
Quo ad sanationam = dubia et bonam

10
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 COVID-19

a. Definisi

Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) adalah penyakit menular yang


disebabkan oleh Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus 2 (SARS-CoV-
2). SARS-CoV-2 merupakan coronavirus jenis baru yang belum pernah
diidentifikasi sebelumnya pada manusia.2 Virus ini pertama kali diidentifikasi di
kota Wuhan, Provinsi Hubei, RRC pada tanggal 31 Desember 2019. Pada
akhirnya WHO mengumumkan bahwa COVID-19 menjadi pandemi di dunia pada
tanggal 11 Maret 2020.1 Thailand merupakan negara pertama di luar China yang
melaporkan adanya kasus COVID-19. Setelah Thailand, negara berikutnya yang
melaporkan adalah Jepang dan Korea Selatan yang kemudian berkembang ke
negara-negara lain. Kasus meningkat dan menyebar dengan cepat di seluruh
wilayah Indonesia. Sampai dengan tanggal 9 Juli 2020 Kementerian Kesehatan
melaporkan 70.736 kasus konfirmasi COVID-19 dengan 3.417 kasus meninggal
(CFR 4,8%).2 Pada tanggal 31 Desember 2020 kasus terkonfirmasi 743.196 kasus,
meninggal 22.138 kasus, dan sembuh 611.097. Propinsi dengan kasus COVID-19
terbanyak adalah DKI Jakarta, Jawa Tengah dan Jawa Barat1
Virus corona ini menjadi patogen penyebab utama outbreak penyakit
pernapasan. Virus ini adalah virus RNA rantai tunggal (single-stranded RNA)
yang dapat diisolasi dari beberapa jenis hewan, terakhir disinyalir virus ini berasal
dari kelelawar kemudian berpindah ke manusia.1 Masa inkubasi rata-rata 5-6 hari
dengan masa inkubasi terpanjang 14 hari. Covid-19 utamanya ditularkan dari
orang yang bergejala (simptomatik) ke orang lain yang berada jarak dekat melalui
droplet. Droplet merupakan partikel berisi air dengan diameter >5-10 μm.

11
Penularan droplet terjadi ketika seseorang berada pada jarak dekat (dalam 1
meter) dengan seseorang yang memiliki gejala pernapasan (misalnya, batuk atau
bersin) sehingga droplet berisiko mengenai mukosa (mulut dan hidung) atau
konjungtiva (mata).2

b. Patogenesis

Terdapat 4 struktur protein utama pada Coronavirus yaitu: protein N


(nukleokapsid), glikoprotein M (membran), glikoprotein spike S (spike), protein E
(selubung).2 SARS-CoV-2 akan berikatan dengan reseptor-reseptor dan membuat
jalan masuk ke dalam sel. Glikoprotein yang terdapat pada envelope spike virus
akan berikatan dengan reseptor selular berupa ACE2 pada SARS-CoV-2. 7,8
Reseptor ACE2 juga diekspresikan pada tingkat epitel sistem pernapasan (sel
epitel trakea dan bronkial, sel epitel alveolar, pneumosit tipe 2), sistem
kardiovaskular (endotelium arteri koroner, miosit, adiposit epikardial, vaskular
endotel, dan sel halus), saluran gastrointestinal (esofagus keratinosit, sel epitel
gastrointestinal, epitel usus sel, duodenum, usus kecil, rektum), sistem urogenital
(tubulus proksimal ginjal, sel urothelial kandung kemih, luminal permukaan sel
epitel tubular, testis, vesikula seminalis), serta di hati dan kantong empedu dan di
sistem saraf.9

12
Gambar 1. Reseptor ACE2 pada Tubuh Manusia9

Di dalam sel, SARS-CoV-2 melakukan duplikasi materi genetik dan


mensintesis protein-protein yang dibutuhkan, kemudian membentuk virion baru
yang muncul di permukaan sel. SARS-CoV-2 diduga setelah virus masuk ke
dalam sel, genom RNA virus akan dikeluarkan ke sitoplasma sel dan
ditranslasikan menjadi dua poliprotein dan protein struktural. Selanjutnya, genom
virus akan mulai untuk bereplikasi. Glikoprotein pada selubung virus yang baru
terbentuk masuk ke dalam membran retikulum endoplasma atau Golgi sel. Terjadi
pembentukan nukleokapsid yang tersusun dari genom RNA dan protein
nukleokapsid. Partikel virus akan tumbuh ke dalam retikulum endoplasma dan
Golgi sel. Pada tahap akhir, vesikel yang mengandung partikel virus akan
bergabung dengan membran plasma untuk melepaskan komponen virus yang
baru.7
Ketika virus masuk ke dalam sel, antigen virus akan dipresentasikan ke
antigen presentation cells (APC). Presentasi antigen virus terutama bergantung
pada molekul major histocompatibility complex (MHC) kelas I. Namun, MHC
kelas II juga turut berkontribusi. Presentasi antigen selanjutnya menstimulasi
respons imunitas humoral dan selular tubuh yang dimediasi oleh sel T dan sel B
yang spesifik terhadap virus. Pada respons imun humoral terbentuk IgM dan IgG
terhadap SARS-CoV. IgM terhadap SAR-CoV hilang pada akhir minggu ke-12
dan IgG dapat bertahan jangka panjang. Hasil penelitian terhadap pasien yang
telah sembuh dari SARS menujukkan setelah 4 tahun dapat ditemukan sel T
CD4+ dan CD8+ memori yang spesifik terhadap SARS-CoV, tetapi jumlahnya
menurun secara bertahap tanpa adanya antigen.7,10
Faktor virus dan pejamu memiliki peran dalam infeksi SARS-CoV. Efek
sitopatik virus dan kemampuannya mengalahkan respons imun menentukan
keparahan infeksi. Disregulasi sistem imun kemudian berperan dalam kerusakan
jaringan pada infeksi SARS-CoV-2. Respon imun berlebihan juga dilaporkan
selama perjalanan klinis yang bertanggung jawab atas infeksi SARS-CoV yang
tinggi morbiditas SARS-CoV. Produksi tinggi dari C-C Motif Kemokin Ligan 2
(CCL2), C-X-C Motif Chemokine Ligan 9 (CXCL9), Motif C-X-C Kemokin

13
Ligan 10 (CXCL10), interleukin (IL-1, IL-6, IL-8) dengan interferon-gamma
(IFN-γ), dan mengubah transforming growth factor-beta (TGF- β) terjadi pada
stadium akut infeksi SARS-CoV yang memicu badai sitokin.11 Respon imun yang
tidak adekuat menyebabkan replikasi virus dan kerusakan jaringan. Di sisi lain,
respons imun yang berlebihan dapat menyebabkan kerusakan jaringan.7,10

c. Klasifikasi

1) Kasus Suspek
Seseorang yang memiliki salah satu dari kriteria berikut1,2:

a) Seseorang yang memenuhi salah satu kriteria klinis dan salah satu kriteria
epidemiologis
Kriteria Klinis
 Demam akut (≥ 380C)/riwayat demam dan batuk
 Terdapat 3 atau lebih gejala/tanda akut berikut: demam/riwayat demam,
batuk, kelelahan (fatigue), sakit kepala, myalgia, nyeri tenggorokan,
coryza/ pilek/ hidung tersumbat, sesak nafas, anoreksia/mual/muntah,
diare, penurunan kesadaran
Kriteria Epidemiologis
 Pada 14 hari terakhir sebelum timbul gejala memiliki riwayat tinggal atau
bekerja di tempat berisiko tinggi penularan
 Pada 14 hari terakhir sebelum timbul gejala memiliki riwayat tinggal atau
bepergian di negara/wilayah Indonesia yang melaporkan transmisi lokal
 Pada 14 hari terakhir sebelum timbul gejala bekerja di fasilitas pelayanan
kesehatan, baik melakukan pelayanan medis, dan non-medis, serta petugas
yang melaksanakan kegiatan investigasi, pemantauan kasus dan kontak
b) Seseorang dengan ISPA Berat
c) Seseorang dengan gejala akut anosmia atau ageusia dengan tidak ada
penyebab lain yang dapat diidentifikasi

2) Kasus Probable

14
Kasus suspek yang meninggal dengan gambaran klinis yang meyakinkan
COVID-19; DAN memiliki salah satu kriteria sebagai berikut:
a) Tidak dilakukan pemeriksaan laboratorium RT-PCR
b) Hasil pemeriksaan laboratorium RT-PCR satu kali negatif dan tidak
dilakukan pemeriksaan laboratorium RT-PCR yang kedua.

3) Kasus Konfirmasi
Seseorang yang dinyatakan positif terinfeksi virus COVID-19 yang
dibuktikan dengan pemeriksaan laboratorium RT-PCR

4) Kontak Erat
Orang yang memiliki riwayat kontak dengan kasus probable atau konfirmasi
COVID-19. Riwayat kontak yang dimaksud antara lain:
a) Kontak tatap muka/berdekatan dengan kasus probable atau kasus
konfirmasi dalam radius 1 meter dan dalam jangka waktu 15 menit atau
lebih.
b) Sentuhan fisik langsung dengan kasus probable atau konfirmasi (seperti
bersalaman, berpegangan tangan, dan lain-lain).
c) Orang yang memberikan perawatan langsung terhadap kasus probable atau
konfirmasi tanpa menggunakan APD yang sesuai standar.
d) Situasi lainnya yang mengindikasikan adanya kontak berdasarkan
penilaian risiko lokal yang ditetapkan oleh tim penyelidikan epidemiologi
setempat

d. Derajat
Berdasarkan beratnya kasus, COVID-19 dibedakan menjadi tanpa gejala,
ringan, sedang, berat dan kritis.1,2

1) Tanpa Gejala
Kondisi ini merupakan kondisi paling ringan. Pasien tidak ditemukan
gejala.

2) Ringan

15
Pasien dengan gejala tanpa ada bukti pneumonia virus atau tanpa hipoksia.
Gejala yang muncul seperti demam, batuk, fatigue, anoreksia, napas pendek,
mialgia. Gejala tidak spesifik lainnya seperti sakit tenggorokan, kongesti
hidung, sakit kepala, diare, mual dan muntah, hilang pembau (anosmia) atau
hilang perasa (ageusia) yang muncul sebelum onset gejala pernapasan juga
sering dilaporkan. Pasien usia tua dan immunocompromised gejala atipikal
seperti fatigue, penurunan kesadaran, mobilitas menurun, diare, hilang nafsu
makan, delirium, dan tidak ada demam.

3) Sedang
Pada pasien remaja atau dewasa : pasien dengan tanda klinis pneumonia
(demam, batuk, sesak, napas cepat) tetapi tidak ada tanda pneumonia berat
termasuk SpO2 > 93% dengan udara ruangan ATAU Anak-anak : pasien
dengan tanda klinis pneumonia tidak berat (batuk atau sulit bernapas + napas
cepat dan/atau tarikan dinding dada) dan tidak ada tanda pneumonia berat).
Kriteria napas cepat : usia 5 tahun, ≥30x/menit.

4) Berat
Pada pasien remaja atau dewasa : pasien dengan tanda klinis pneumonia
(demam, batuk, sesak, napas cepat) ditambah satu dari: frekuensi napas > 30
x/menit, distres pernapasan berat, atau SpO2 < 93% pada udara ruangan.
ATAU Pada pasien anak : pasien dengan tanda klinis pneumonia (batuk atau
kesulitan bernapas), ditambah setidaknya satu dari berikut ini:
 Sianosis sentral atau SpO2 <93%
 Distres pernapasan berat (seperti napas cepat, grunting, tarikan dinding
dada yang sangat berat);
 Tanda bahaya umum : ketidakmampuan menyusui atau minum, letargi
atau penurunan kesadaran, atau kejang.
 Napas cepat/tarikan dinding dada/takipnea

e. Pemeriksaan Penunjang

16
Pengambilan dan pemeriksaan spesimen dari pasien yang memenuhi
definisi kasus suspek COVID-19 merupakan prioritas untuk manajemen
klinis/pengendalian wabah, harus dilakukan secara cepat. Spesimen tersebut
dilakukan pemeriksaan dengan metode deteksi molekuler/NAAT (Nucleic Acid
Amplification Test) seperti RT-PCR (termasuk Tes Cepat Molekuler/TCM yang
digunakan untuk pemeriksaan TB dan mesin PCR Program HIV AIDS dan PIMS
yang digunakan untuk memeriksa Viral Load HIV).2

Pengambilan swab di hari ke-1 dan 2 untuk penegakan diagnosis. Bila


pemeriksaan di hari pertama sudah positif, tidak perlu lagi pemeriksaan di hari
kedua, Apabila pemeriksaan di hari pertama negatif, maka diperlukan
pemeriksaan di hari berikutnya (hari kedua). Pada pasien yang dirawat inap,
pemeriksaan PCR dilakukan sebanyak tiga kali selama perawatan. Untuk kasus
tanpa gejala, ringan, dan sedang tidak perlu dilakukan pemeriksaan PCR untuk
follow-up. Pemeriksaan follow-up hanya dilakukan pada pasien yang berat dan
kritis.Untuk PCR follow-up pada kasus berat dan kritis, dapat dilakukan setelah
sepuluh hari dari pengambilan swab yang positif.1
Hasil tes pemeriksaan negatif pada spesimen tunggal, terutama jika
spesimen berasal dari saluran pernapasan atas, tidak menyingkirkan kemungkinan
tidak adanya infeksi. Beberapa faktor yang dapat menyebabkan hasil negatif pada
pasien yang terinfeksi meliputi2:
1) kualitas spesimen yang tidak baik, mengandung sedikit material virus
2) spesimen yang diambil pada masa akhir infeksi atau masih sangat awal
3) spesimen tidak dikelola dan tidak dikirim dengan transportasi yang tepat
4) kendala teknis yang dapat menghambat pemeriksaan RT-PCR (seperti
mutasi pada virus)

Penggunaan Rapid Test tidak digunakan untuk diagnostik. Pada kondisi


dengan keterbatasan kapasitas pemeriksaan RT-PCR, Rapid Test dapat digunakan
untuk skrining pada populasi spesifik dan situasi khusus, seperti pada pelaku
perjalanan (termasuk kedatangan Pekerja Migran Indonesia, terutama di wilayah
Pos Lintas Batas Darat Negara (PLBDN), serta untuk penguatan pelacakan kontak
seperti di lapas, panti jompo, panti rehabilitasi, asrama, pondok pesantren, dan

17
pada kelompok-kelompok rentan. WHO merekomendasikan penggunaan Rapid
Test untuk tujuan penelitian epidemiologi atau penelitian lain. Penggunaan Rapid
Test selanjutnya dapat mengikuti perkembangan teknologi terkini dan
rekomendasi WHO.2
Pemeriksaan laboratorium lain seperti hematologi rutin, hitung jenis,
fungsi ginjal, elektrolit, analisis gas darah, hemostasis, laktat, dan prokalsitonin
dapat dikerjakan sesuai dengan indikasi. Trombositopenia juga kadang dijumpai,
sehingga kadang diduga sebagai pasien dengue.7 Modalitas pencitraan utama yang
menjadi pilihan adalah foto toraks dan Computed Tomography Scan (CT-scan)
toraks. Pada foto toraks dapat ditemukan gambaran seperti opasifikasi ground-
glass, infiltrat, penebalan peribronkial, konsolidasi fokal, efusi pleura, dan
atelektasis.7

f. Tatalaksana

Tatalaksana untuk pasien dibedakan berdasarkan derajat ringan, sedang,


berat atau tanpa gejala. Edukasi non farmakologi yang dapat diberikan antara
lain1,2:
 Selalu menggunakan masker jika keluar kamar dan saat berinteraksi
dengan anggota keluarga
 Cuci tangan dengan air mengalir dan sabun atau hand sanitizer
sesering mungkin.
 Jaga jarak dengan keluarga (physical distancing)
 Upayakan kamar tidur sendiri / terpisah
 Menerapkan etika batuk
 Alat makan-minum segera dicuci dengan air/sabun
 Berjemur matahari minimal sekitar 10-15 menit setiap harinya
(sebelum jam 9 pagi dan setelah jam 3 sore)
 Pakaian yg telah dipakai sebaiknya dimasukkan dalam kantong plastik
/ wadah tertutup yang terpisah dengan pakaian kotor keluarga yang
lainnya sebelum dicuci dan segera dimasukkan mesin cuci
 Ukur dan catat suhu tubuh 2 kali sehari (pagi dan malam hari) 24

18
 Segera berinformasi ke petugas pemantau/FKTP atau keluarga jika
terjadi peningkatan suhu tubuh > 38oC

Sedangkan untuk terapi farmakologi, pada tanpa gejala dan gejala ringan-
sedang dapat diberikan multivitamin yaitu vitamin C, D dan zink.1
 Vitamin C dengan pilihan:
- Vitamin C non acidic 500mg/6-8 jam oral (14 hari)
- Tablet isap vitamin C 500mg/12 jam oral (30 hari)
- Multivitamin mengandung vitamin C 1-2 tablet24 jam (30 hari)
 Vitamin D
- Suplemen: 400-1000 IU/hari (dalam bentuk tablet, kapsul, tablet
effervescent, tablet kunyah, tablet hisap, kapsul lunak, serbuk,
sirup)
- Obat: 1000-5000 IU/hari (dalam bentuk tablet 1000IU dan tablet
kunyah 5000 IU)

Pada gejala ringan-sedang dapat disertai dengan terapi Azitromisin 500mg setiap
24 jam selama 5 hari dan antiviral berupa oseltamivir 75 mg setiap 12 jam selama
5-7 hari atau kombinasi lopinavir dan ritonavir atau pemberian avigan.

Kriteria pasien konfirmasi yang dinyatakan selesai isolasi, sebagai berikut:


a. Kasus konfirmasi tanpa gejala (asimtomatik)
Pasien konfirmasi asimtomatik tidak dilakukan pemeriksaan follow
up RT-PCR. Dinyatakan selesai isolasi apabila sudah menjalani isolasi
mandiri selama 10 hari sejak pengambilan spesimen diagnosis konfirmasi.

b. Kasus konfirmasi dengan gejala ringan dan gejala sedang


Pasien konfirmasi dengan gejala ringan dan gejala sedang tidak
dilakukan pemeriksaan follow up RT-PCR. Dinyatakan selesai isolasi
harus dihitung 10 hari sejak tanggal onset dengan ditambah minimal 3 hari
setelah tidak lagi menunjukkan gejala demam dan gangguan pernapasan.

19
c. Pada kasus konfimasi gejala sedang dengan komorbid dan/atau yang
kemungkinan berpotensi terjadi perburukan dapat dilakukan evaluasi ulang
dengan RT-PCR.

d. Kasus konfirmasi dengan gejala berat/kritis yang dirawat di rumah sakit:


1. Kasus konfirmasi dengan gejala berat/kritis yang dirawat di rumah
sakit dinyatakan selesai isolasi apabila telah mendapatkan hasil
pemeriksaan follow up RT-PCR 1 kali negatif ditambah minimal 3 hari
tidak lagi menunjukkan gejala demam dan gangguan pernapasan.

2. Dalam hal pemeriksaan follow up RT-PCR tidak dapat dilakukan,


maka pasien kasus konfirmasi dengan gejala berat/kritis yang dirawat di
rumah sakit yang sudah menjalani isolasi selama 10 hari sejak onset
dengan ditambah minimal 3 hari tidak lagi menunjukkan gejala demam
dan gangguan pernapasan, dinyatakan selesai isolasi, dan dapat dialih
rawat non isolasi atau dipulangkan.

Pasien dapat dipulangkan dari perawatan di rumah sakit, bila memenuhi


kriteria selesai isolasi dan memenuhi kriteria klinis sebagai berikut:
1. Hasil kajian klinis menyeluruh termasuk diantaranya gambaran
radiologis menunjukkan perbaikan, pemeriksaan darah menunjukan
perbaikan, yang dilakukan oleh DPJP menyatakan pasien diperbolehkan
untuk pulang.

2. Tidak ada tindakan/perawatan yang dibutuhkan oleh pasien, baik terkait


sakit COVID-19 ataupun masalah kesehatan lain yang dialami pasien.

DPJP perlu mempertimbangkan waktu kunjungan kembali pasien dalam


rangka masa pemulihan. Khusus pasien konfirmasi dengan gejala berat/kritis yang
sudah dipulangkan tetap melakukan isolasi mandiri minimal 7 hari dalam rangka
pemulihan dan kewaspadaan terhadap munculnya gejala COVID-19, dan secara
konsisten menerapkan protokol kesehatan.1

20
3.2 HIV (Human Immunodeficiency Virus)

a. Definisi

Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan satu dari dua human T-


cell lymphotropic retrovirus yang utama. Human T-cell leukemia virus (HTCLV)
adalah retrovirus utama lainnya. Virus tersebut akan menginfeksi dan
menghancurkan limfosit T-helper (CD4), sehingga menyebabkan host kehilangan
imunitas seluler. Hal ini menyebabkan pasien mudah terkena infeksi oportunistik.
Infeksi HIV ini dapat menyebar melalui kontak seksual, pajanan parenteral ke
dalam darah, dan transmisi maternal. Kecepatan progresi dari penyakit ini
bervariasi antara individu yang satu dengan individu yang lain, tergantung pada
faktor virus dan faktor host.12
Infeksi HIV merupakan kejadian epidemik. Infeksi tersebut menjadi
penyebab utama kematian menggantikan infeksi Tuberkulosis (TB). Sekitar tahun
2006, sebanyak 2,9 juta orang meninggal akibat AIDS di seluruh dunia. Pada
akhir 2015, jumlah ODHIV diperkirakan telah mencapai 33,3 juta (kisaran 30,9
juta–36,1 juta) di seluruh dunia.13 Pada akhirnya prevalensi ODHIV di Indonesia
mencapai 640.000 kasus yang terdiri dari 400.000 pria dan 220.000 wanita di
tahun 2019.14

b. Patofisiologi

Prinsip target antibodi dalam menetralisasi HIV adalah protein gp41 dan
gp120 pada selubung (envelope) virus HIV. Replikasi ini akan berlanjut sepanjang
periode latensi klinis, bahkan saat hanya terjadi aktivitas virus yang minimal
dalam darah.12 Glikoprotein-41 (gp41) dan glikoprotein permukaan, yaitu gp120,
berikatan dengan reseptor CD4 di permukaan CD4+ sel. Pengikatan gp120 ke
reseptor CD4 menyebabkan perubahan dalam struktur amplop virus, yang

21
memungkinkan ko-reseptor mengikat ke domain tertentu di gp120. Setelah
pengikatan, peptida fusi terminal-N (gp41) menembus membran sel inang, diikuti
dengan masuknya kapsid virus ke dalam sitosol sel T. Setelah penetrasi, virus
mengeluarkan dan mengekspos kapsidnya, yang mengandung genom RNA dan
enzim terkaitnya (reverse transcriptase dan integrase) ke dalam sel inang.
Namun, DNA virus lengkap bermigrasi ke nukleus dan berintegrasi dengan DNA
di dalam sel inang dan sayangnya memengaruhi aktivitas seluler. DNA
terintegrasi digunakan untuk menghasilkan mRNA, sehingga mensintesis protein
virus dan memungkinkan salinan virus baru untuk berkembang.
Telah diamati bahwa virus menyabotase imun sel-T CD4+ untuk replikasi,
yang menyebabkan peningkatan virus load dalam darah dan penurunan sel-T
CD4+ yang signifikan. Namun, telah diamati bahwa efek tidak langsung dari
infeksi HIV menyebabkan sebagian besar kematian sel-T CD4+, yang
menyebabkan defisiensi imun. Efek langsung HIV terhadap sel-T CD4+ memicu
ekspresi interferon-gamma induced protein-16 (IFI-16), diikuti dengan aktivasi
kaskade inflamasi di dalam sel yang terinfeksi, yang berakhir dengan
penghancuran diri sel yang disebut piroptosis. Caspase-1 yang diaktivasi oleh
ekspresi IFI-16 yang tinggi memicu produksi sitokin, terutama interleukin-1 beta
(IL-1β) di dalam sel yang terinfeksi. Produksi IL1-β yang tinggi mengarah pada
penciptaan inflamasi di dalam sel, yang mengakibatkan inisiasi apoptosis.11
Masa inkubasi terdiri dari beberapa tahap, yaitu tahap jendela, tahap
asimptomatik, dan tahap pembesaran kelenjar limfe. Tahap jendela (Window
Period), terjadi setelah infeksi HIV, tenggang waktu 1-6 bulan, tes HIV negatif
karena belum ada antbodi HIV, tetapi penderita dapat menularkan HIV kepada
orang lain. Tahap asimptomatik, antara 5-10 tahun, tidak ada gejala spesifik, tetapi
bisa menularkan HIV pada orang lain. Tahap berikutnya terjadi pembesaran
kelenjar limfe yang menetap dibanyak bagian tubuh. Selanjutnya terjadi
penurunan sel T– 4 dibawah 200/microliter sehingga muncul berbagai macam
penyakit, terutama penyakit-penyakit yang disebabkan infeksi oportunistik.
Sebenarnya infeksi oportunistik ini juga sudah sering muncul sebelum seseorang
mencapai masa AIDS, tetapi dia belum akan dikatakan dalam kondisi AIDS
apabila sel T–4 didalam darahnya masih diatas 200/microliter.15

22
c. Manifestasi Klinis

Gejala-gejala dari infeksi akut HIV tidak spesifik, meliputi kelelahan,


ruam kulit, nyeri kepala, mual dan berkeringat di malam hari. AIDS ditandai
dengan supresi yang nyata pada sitem imun dan perkembangan infeksi
oportunistik berat yang sangat bervariasi atau neoplasma yang tidak umum
(terutama sarcoma Kaposi). Gejala yang lebih serius pada orang dewasa seringkali
didahului oleh gejala prodormal (diare dan penurunan berat badan) meliputi
kelelahan, malaise, demam, napas pendek, diare kronis, bercak putih pada lidah
(kandidiasis oral) dan limfadenopati. Gejala-gejala penyakit pada saluran
pencernaan dari esophagus sampai kolon merupakan penyebab utama kelemahan.
Tanpa pengobatan interval antara infeksi primer oleh HIV dan timbulnya penyakit
klinis pertama kali pada orang dewasa biasanya panjang, rata-rata sekitar 10
tahun.
WHO menetapkan empat stadium klinik pada pasien yang terinfeksi
HIV/AIDS, sebagai berikut :

Tabel 1. Stadium Klinik HIV/AIDS


Stadium 1: Asimptomatik
Tidak ada penurunan berat badan
Tidak ada gejala atau hanya Limfadenopati Generalisata Persisten
Stadium 2: Sakit ringan
Penurunan berat badan 5-10%
ISPA berulang, misalnya sinusitis atau otitis
Herpes zoster dalam 5 tahun terakhir
Luka disekitar bibir (keilitis angularis)
Ulkus mulut berulang
Ruam kulit yang gatal (seboroik atau prurigo-PPE (Pruritic papular eruption)
Dermatitis seboroik
Infeksi jamur kuku
Stadium 3: Sakit sedang
Penurunan berat badan > 10%
Diare, demam yang tidak diketahui penyebabnya, lebih dari 1 bulan
Kandidosis oral atau vaginal
Oral hairy leukoplakia
TB Paru dalam 1 tahun terakhir
Infeksi bakterial yang berat (pneumoni, piomiositis, dll)
TB limfadenopati

23
Gingivitis/ Periodontitis ulseratif nekrotikan akut
Anemia (HB < 8 g%), netropenia (< 5000/ml), trombositopeni kronis
(<50.000/ml)
Stadium 4: Sakit berat (AIDS)
Sindroma wasting HIV
Pneumonia pnemosistis, pnemoni bacterial yang berat berulang
Herpes simpleks ulseratif lebih dari satu bulan
Kandidosis esophageal
TB Extraparu
Sarcoma Kaposi
Retinitis CMV (Cytomegalovirus)
Abses otak Toksoplasmosis
Encefalopati HIV
Meningitis Kriptokokus
Infeksi mikobakteria non-TB meluas
Lekoensefalopati multifocal progresif (PML)
Peniciliosis, kriptosporidosis kronis, isosporiasis kronis, mikosis
meluas, histoplasmosis ekstra paru, cocidiodomikosis)
Limfoma serebral atau B-cell, non-Hodgkin (gangguan fungsi neurologis dan
tidak sebab lain seringkali membaik dengan terapi ARV)
Kanker serviks invasive
Leismaniasis atipik meluas
Gejala neuropati atau kardiomiopati terkait HIV

d. Pemeriksaan Penunjang

Uji imunologi untuk menemukan respon antibodi terhadap HIV-1 dan


digunakan sebagai test skrining, meliputi enzyme immunoassays atau enzyme–
linked immunosorbent assay (ELISAs) sebaik tes serologi cepat (rapid test). Uji
Western blot atau indirect immunofluorescence assay (IFA) digunakan untuk
memperkuat hasil reaktif dari test krining. Uji yang menentukan perkiraan
abnormalitas sistem imun meliputi jumlah dan persentase CD4+ dan CD8+ T
limfosit absolut. Uji ini sekarang tidak digunakan untuk mendiagnosis HIV tetapi
digunakan untuk evaluasi.
Pemeriksaan ini dilakukan pada pasien yang diduga telah terinfeksi HIV.
ELISA dengan hasil reaktif (positif) harus diulang dengan sampel darah yang
sama, dan hasilnya dikonfirmasikan dengan Western Blot atau IFA (Indirect
Immunofluorescence Assays). Sedangkan hasil yang negatif tidak memerlukan tes
konfirmasi lanjutan, walaupun pada pasien yang terinfeksi pada masa jendela
(window period), tetapi harus ditindak lanjuti dengan dilakukan uji virologi pada

24
tanggal berikutnya. Hasil negatif palsu dapat terjadi pada orang-orang yang
terinfeksi HIV-1 tetapi belum mengeluarkan antibodi melawan HIV-1 (yaitu,
dalam 6 (enam) minggu pertama dari infeksi, termasuk semua tanda-tanda klinik
dan gejala dari sindrom retroviral yang akut.16 Prosedur pemeriksaan laboratorium
untuk HIV sesuai dengan panduan nasional yang berlaku pada saat ini, yaitu
dengan menggunakan strategi 3 dan selalu didahului dengan konseling pra tes atau
informasi singkat.17

Tabel. 2 Interpretasi dan Tindak Lanjut Hasil Tes


Hasil Interpretasi Tindak Lanjut
A1 (-) Non-reaktif - Bila yakin tidak ada faktor risiko
atau dan atau perilaku berisiko dilakukan
A1 (-) A2 (-) A3 (-) LEBIH DARI tiga bulan
sebelumnya maka pasien diberi
konseling cara menjaga tetap negatif
- Bila belum yakin ada tidaknya
faktor risiko dan atau perilaku
berisiko dilakukan DALAM tiga
bulan terakhir maka dianjurkan
untuk TES ULANG dalam 1 bulan

A1 (+) A2 (+) A3 (-) Indeterminate Ulang tes dalam 1 bulan


Atau Konseling cara menjaga agar tetap
A1 (+) A2 (-) A3 (-)
negatif ke depannya
A1 (+) A2 (+) A3 (+) Reaktif atau Positif Lakukan konseling hasil tes positif dan
rujuk untuk mendapatkan paket layanan
PDP

Rapid test merupakan tes serologik yang cepat untuk mendeteksi IgG
antibodi terhadap HIV-1. Prinsip pengujian berdasarkan aglutinasi partikel,
imunodot (dipstik), imunofiltrasi atau imunokromatografi. ELISA tidak dapat
digunakan untuk mengkonfirmasi hasil rapid test dan semua hasil rapid tes reaktif
harus dikonfirmasi dengan Western blot atau IFA. Western blot digunakan untuk
konfirmasi hasil reaktif ELISA atau hasil serologi rapid test sebagai hasil yang
benar-benar positif. Uji Western blot menemukan keberadaan antibodi yang
melawan protein HIV-1 spesifik (struktural dan enzimatik). Western blot
dilakukan hanya sebagai konfirmasi pada hasil skrining berulang (ELISA atau
rapid tes). Hasil negative Western blot menunjukkan bahwa hasil positif ELISA
atau rapid tes dinyatakan sebagai hasil positif palsu dan pasien tidak mempunyai

25
antibodi HIV-1. Hasil Western blot positif menunjukkan keberadaan antibodi
HIV-1 pada individu dengan usia lebih dari 18 bulan.
Uji Indirect Immunofluorescence Assays (IFA) ini sederhana untuk
dilakukan dan waktu yang dibutuhkan lebih sedikit dan sedikit lebih mahal dari
uji Western blot. Antibodi Ig dilabel dengan penambahan fluorokrom dan akan
berikatan pada antibodi HIV jika berada pada sampel. Jika slide menunjukkan
fluoresen sitoplasma dianggap hasil positif (reaktif), yang menunjukkan
keberadaan antibodi HIV-1. Progresi infeksi HIV ditandai dengan penurunan
CD4+ T limfosit, sebagian besar sel target HIV pada manusia. Kecepatan
penurunan CD4 telah terbukti dapat dipakai sebagai petunjuk perkembangan
penyakit AIDS. Jumlah CD4 menurun secara bertahap selama perjalanan
penyakit. Kecepatan penurunannya dari waktu ke waktu rata-rata 100 sel/tahun.16

e. Tatalaksana
Antiretroviral (ARV) adalah obat yang menghambat replikasi Human
Immunodeficiency Virus (HIV). Pengobatan infeksi HIV dengan antiretroviral
digunakan untuk memelihara fungsi kekebalan tubuh mendekati keadaan normal,
mencegah perkembangan penyakit, memperpanjang harapan hidup dan
memelihara kualitas hidup dengan cara menghambat replikasi virus HIV. Mulai
terapi ARV pada semua pasien dengan jumlah CD4 <350 sel/mm3 tanpa
memandang stadium klinisnya. Terapi ARV dianjurkan pada semua pasien
dengan TB aktif, ibu hamil dan koinfeksi Hepatitis B tanpa memandang jumlah
CD4.17
Pemilihan obat ARV lini pertama adalah 2 NRTI ditambah 1 NNRTI.
Nucleoside/ nucleotide reverse transcriptase inhibitors (NRTI), bekerja dengan
cara menghambat kompetitif reverse transcriptase HIV-1 dan dapat bergabung
dengan rantai DNA virus yang sedang aktif dan menyebabkan terminasi. Obat
golongan ini memerlukan aktivasi intrasitoplasma, difosforilasi oleh enzim
menjadi bentuk trifosfat. Golongan ini terdiri dari analog deoksitimidin
(Zidovudin), analog timidin (Stavudin), analog deoksiadenosin (Didanosin),
analog adenosisn (Tenovir disoproxil fumarat/TDF), analog sitosin (Lamivudin
dan Zalcitabin) dan analog guanosin (Abacavir).

26
Non-nucleoside reverse transcriptase inhibitors (NNRTIs), bekerja
dengan cara membentuk ikatan langsung pada situs aktif enzim reverse
transcriptase yang menyebabkan aktivitas polimerase DNA terhambat. Golongan
ini tidak bersaing dengan trifosfat nukleosida dan tidak memerlukan fosforilasi
untuk menjadi aktif. Golongan ini terdiri dari Nevirapin, Efavirenz, Delavirdine.16

Tabel 3. Obat ARV Lini Pertama


AZT + 3TC + NVP (Zidovudine + Lamivudine + Nevirapine) atau
AZT + 3TC + EFV (Zidovudine + Lamivudine + Efavirenz) atau
TDF + 3TC (atau FTC) + (Tenofovir + Lamivudine (atau atau
NVP Emtricitabine) + Nevirapine)
TDF + 3TC (atau FTC) + (Tenofovir + Lamivudine (atau
EFV Emtricitabine) + Efavirenz)

Nevirapine dimulai dengan dosis awal 200 mg setiap 24 jam selama 14 hari
pertama dalam paduan ARV lini pertama bersama AZT atau TDF + 3TC. Bila
tidak ditemukan tanda toksisitas hati, dosis dinaikkan menjadi 200 mg setiap 12
jam pada hari ke-15 dan selanjutnya. Mengawali terapi dengan dosis rendah
tersebut diperlukan karena selama 2 minggu pertama terapi NVP menginduksi
metabolismenya sendiri. Dosis awal tersebut juga mengurangi risiko terjadinya
ruam dan hepatitis oleh karena NVP yang muncul dini.

27
BAB IV

PEMBAHASAN

Kekhawatiran atas peningkatan risiko penyakit COVID-19 yang parah


untuk ODHIV mungkin didasarkan pada asumsi bahwa ODHIV lebih mungkin
mengalami imunosupresi. Infeksi HIV dikaitkan dengan respon imun humoral
abnormal dan sel-T yang termediasi, menghasilkan peningkatan kerentanan untuk
berbagai infeksi oportunistik. Berdasarkan patofisiologinya, secara bersama-sama,
molekul pro-inflamasi dilepaskan dari sel kekebalan selama permulaan infeksi
COVID-19 membuat lingkungan peradangan akut serupa dengan yang tercatat
pada pajanan HIV, yang secara berurutan mengaktifkan kaskade piroptotik imun
sel. Khususnya, defisiensi imun lebih parah jika terjangkit Covid-19 karena terjadi
pada tahap awal infeksi beberapa hari, sedangkan HIV membutuhkan waktu lebih
lama setelah sepuluh tahun.
Dari penelitian didapatkan bahwa proporsi ODHA dengan COVID-19
yang memiliki multimorbiditas dilaporkan lebih banyak mengalami keparahan
penyakit yang lebih tinggi dan kematian yang berpotensi lebih tinggi.
Multimorbiditas dilaporkan pada hampir dua pertiga orang koinfeksi pasien.
Penyakit penyerta yang paling umum di antara pasien dengan HIV dan COVID-
19 adalah hipertensi, obesitas atau hiperlipidemia, penyakit paru obstruktif kronik,
dan diabetes. Adanya multimorbiditas dan usia yang lebih tua tampaknya menjadi
faktor penting untuk morbiditas parah dan kematian dengan koinfeksi COVID-19-
HIV.6
Pada kasus ini pasien berusia 40 tahun dan terdiagnostik COVID-19 yang
tidak memiliki riwayat penyakit lain selain HIV serta mengalami gejala ringan
yang ditimbulkan. Sel T CD4 absolut yang didapatkan ada kasus ini adalah 418
sel/μL. Suatu penelitian memaparkan bahwa hubungan antara parameter klasik
terkait HIV imunosupresi dan tingkat keparahan penyakit tampaknya masih
kurang jelas. Pada dua penelitian kohort besar tentang HIV-positif dengan infeksi
SARS-CoV-2, meskipun subjek dengan infeksi yang lebih parah memiliki jumlah
CD4 yang lebih rendah, korelasi yang signifikan antara status imunologi dan hasil

28
yang merugikan tidak ditemukan.18 Didapatkan morbiditas atau mortalitas yang
lebih rendah di antara orang yang memakai ART dibandingkan dengan mereka
yang tidak memakai ART juga patut dipertimbangkan karena jumlah CD4 yang
lebih tinggi dan status kekebalan yang lebih baik.6
Pasien dengan HIV yang menerima obat terapi anti-HIV mungkin berada
pada resiko yang lebih rendah untuk COVID-19 dibandingkan dengan populasi
umum.11 Penelitian Vizcarra et al., menemukan dalam kasus mereka bahwa
individu yang menjadi sakit kritis cenderung memiliki jumlah sel CD4 rendah
(<200 sel / μL).19 Akan tetapi bukti klinis antara ODHA-COVID-19 dan penderita
COVID-19 tanpa HIV masih belum jelas karena penelitian mereka tidak memiliki
kelompok kontrol dan memiliki ukuran sampel yang kecil sehingga masih rancu
untuk hasil klinis yang lebih baik atau lebih buruk di antara ODHA dengan
COVID-19 dibandingkan dengan seseorang yang negatif HIV-1. Maka dari itu
perlu penelitian lebih lanjut dibutuhkan untuk memperjelas masalah ini dengan
lebih baik.20 Dari penelitian-penelitian tersebut dapat disarankan bahwa penyedia
layanan kesehatan perlu menangani multimorbiditas di antara ODHA, memastikan
pasokan ART mereka aman, dan tetap menganggap ODHA sebagai populasi yang
harus diwaspadai diperlukan untuk mencegah COVID-19.6

29
DAFTAR PUSTAKA

1. Pedoman Tatalaksana Covid-19. 3rd ed. Jakarta: PDPI, PERKI, PAPDI,


PERDATIN, IDAI; Desember 2020.
2. Kementerian Kesehata RI. Pedoman Pencegahan dan Pengendalian
Coronavirus Disease (COVID-19). Revisi ke-5. Jakarta: Kementerian
Kesehatan RI; Juli 2020.
3. CDC. coronavirus disease 2019 (COVID-19). Diakses pada 25 Januari 2021.
Tersedia di: https://www.cdc.gov/coronavirus/2019-ncov/cases-updat
es/cases-in-us.html
4. WHO. Coronavirus disease (COVID-19) pandemic. Diakses pada 25 Januari
2021. Tersedia di: https://www.who.int/emergencies/diseases/novel-coron
avirus-2019
5. Khalili M, Karamouzian M, Nasiri N, Javadi S, Mirzazadeh A, Sharifi H.
Epidemiological characteristics of COVID-19: a systematic review and meta-
analysis. Epidemiol Infect.2020;148:e130.
6. Mirzaei H, McFarland W, Karamouzian M, Sharifi H. COVID-19 Among
People Living with HIV: A Systematic Review. AIDS and Behavior.
2020;25(1):85-92.
7. Susilo A, Rumende C, Pitoyo C, Santoso W, Yulianti M, Herikurniawan H et
al. Coronavirus Disease 2019: Tinjauan Literatur Terkini. Jurnal Penyakit
Dalam Indonesia. 2020;7(1).
8. Zhang H, Penninger JM, Li Y, Zhong N, Slutsky AS. Angiotensin-converting
enzyme 2 (ACE2) as a SARS-CoV-2 receptor: molecular mechanisms and
potential therapeutic target. Intensive Care Med. 2020; published online
March 3. DOI: 10.1007/s00134-020- 05985-9
9. Salamanna F, Maglio M, Landini M, Fini M. Body Localization of ACE-2:
On the Trail of the Keyhole of SARS-CoV-2. Frontiers in Medicine. 2020;7.
10. Li X, Geng M, Peng Y, Meng L, Lu S. Molecular immune pathogenesis and
diagnosis of COVID-19. J Pharm Anal. 2020; published online March 5. DOI:
10.1016/j.jpha.2020.03.001

30
11. Saleemi M, Ahmad B, Benchoula K, Vohra M, Mea H, Chong P et al.
Emergence and molecular mechanisms of SARS-CoV-2 and HIV to target
host cells and potential therapeutics. Infection, Genetics and Evolution.
2020;85:104583.
12. Dewita G, Bachtera Barus A, Imron Yusuf A, Tjiptaningrum A. Pendekatan
Diagnostik dan Penatalaksanaan pada Pasien HIV-AIDS secara Umum. J
Medula Unila. 2016;6(1). Diakses pada 26 Januari 2021. Tersedia di:
https://juke.kedokteran.unila.ac.id/index.php/medula/article/view/848
13. Global Health Sector Strategy On HIV 2016–2021 Towards Ending AIDS.
Geneva: World Health Organization; 2016. Diakses pada 27 Januari 2021.
Tersedia di: https://apps.who.int/iris/bitstream/handle/10665/246178/WHO-
HIV-2016.05-eng.pdf
%253Bjsessionid=AA9223172C786025B9C3CE6274434C7A?sequence=1
14. Riono P, Challacombe S. HIV in Indonesia and in neighbouring countries and
its social impact. Oral Diseases. 2020;26(S1):28-33.
15. Waspada Epidemi HIV-AIDS di Indonesia. Medical and Health Science
Journal. Fakultas Kedokteran, Universitas Nahdlatul Ulama Surabaya.
2017;1(1)
16. Maryam S. Perbandingan Respon Imunologi Empat Kombinasi Antiretroviral
Berdasarkan Kenaikan Jumlah CD4 di Rumah Sakit Dr. H. Marzoeki Mahdi
Bogor Periode Maret 2006-Maret 2010. Universitas Indonesia Library. 2010
Diakses pada 27 Januari 2021. Tersedia di: http://lib.ui.ac.id/file?
file=digital/132877-T%2027751-Perbandingan%20respon-Literatur.pdf
17. Pedoman Nasional Tatalaksana Klinis Infeksi HIV dan Terapi Antiretroviral
pada Orang Dewasa. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI; 2011
18. Mondi A, Cimini E, Colavita F, Cicalini S, Pinnetti C, Matusali G et al.
COVID‐19 in people living with HIV: Clinical implications of dynamics of
the immune response to SARS‐CoV‐2. Journal of Medical Virology.
2020;93(3):1796-1804.
19. Vizcarra P, P_erez-Elías MJ, Quereda C, et al. Description of COVID-19 in
HIV-infected Individuals: A Single-Centre, Prospective Kohort. Lancet HIV.

31
2020. Diakses pada: 27 Januari 2021. Tersedia di:
https://doi.org/10.1016/S2352-3018(20)30164-8
20. Prabhu S, Poongulali S, Kumarasamy N. Impact of COVID-19 on people
living with HIV: A review. Journal of Virus Eradication. 2020;6(4):100019.
Diakses pada 27 Januari 2021. Tersedia di:
https://doi.org/10.1016/j.jve.2020.100019

32

Anda mungkin juga menyukai