Disusun Oleh:
Pembimbing:
JAKARTA TIMUR
2020
DAFTAR ISI
hlm
Daftar Isi............................................................................................ 2
Bab I Pendahuluan........................................................................... 3
Bab II Laporan Kasus....................................................................... 4
2.1 Anamnesis.................................................................. 4
2.2 Pemeriksaan Fisik...................................................... 5
2.3 Pemeriksaan Penunjang............................................. 7
2.4 Diagnosis.................................................................... 8
2.5 Tatalaksana................................................................. 8
2.6 Follow up................................................................... 9
2.7 Prognosis.................................................................... 10
Bab 3 Tinjauan Pustaka.................................................................... 11
3.1 COVID-19..................................................................
11
a. Definisi........................................................... 11
b. Patogenesis..................................................... 12
c. Klasifikasi...................................................... 14
d. Derajat............................................................ 15
e. Pemeriksaan Penunjang................................. 16
f. Tatalaksana.................................................... 18
3.2 HIV............................................................................ 21
a. Definisi........................................................... 21
b. Patofisiologi................................................... 21
c. Manifestasi Klinis.......................................... 22
d. Pemeriksaan Penunjang................................. 24
e. Tatalaksana.................................................... 26
Bab IV Pembahasan................................................................
28
2
Daftar Pustaka................................................................................... 30
BAB I
PENDAHULUAN
3
untuk ODHA dengan CD4 rendah jumlah sel, penyakit lanjut, viral load tinggi,
dan yang tidak memakai pengobatan antiretroviral (ART).6
BAB II
LAPORAN KASUS
2.1. ANAMNESIS
A. Identitas Pasien
Nama : Tn. JMT
Usia : 40 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Alamat : Jl. Taruna Dalam IV No. 14 RT.009/RW.010,
Kel.Pulogadung, Kec.Pulogadung
Pekerjaan : Karyawan Swasta
Status pernikahan : Belum menikah
Agama : Kristen
Tanggal Kunjungan : 19 Januari 2021
B. Data Dasar
Keluhan utama: Demam, penciuman berkurang, nyeri tenggorokan sejak 4 hari
yang lalu
4
kamar terpisah dan tinggal bersama ibunya yang berusia lanjut sehingga pasien
tidak memungkinkan untuk isolasi dirumah.
Riwayat psikososial:
- Pasien tinggal dengan ibu berusia 80 tahun dan kakaknya. Ibu pasien
sudah tidak bekerja namun masih dapat beraktifitas dengan pekerjaan
dirumah. Kakak pasien belum menikah dan sehari-hari bekerja sebagai
karyawan
- Aktivitas pasien sehari-hari bekerja sebagai karyawan di kantor.
- Pasien rutin mengkonsumsi obat ARV ke RSCM setiap bulannya dan tidak
ada gejala yang menyertai
- Pasien dan keluarga selalu memakai masker jika keluar rumah dan tidak
selalu dipakai jika berada dirumah. Kebersihan dirumah juga selalu dijaga.
- Pasien sekeluarga tinggal di lingkungan yang cukup padat penduduk.
Terdapat 2 kamar dan 1 kamar mandi sehingga ibu pasien bisa kontak erat
dengan pasien
5
Keadaan Umum : Tampak sakit ringan
Tanda-tanda Vital :
Nadi : 80 kali/menit,
Status Generalisata
Thorax :
Paru-paru
6
Jantung
Abdomen:
- - - -
Oedema Akral dingin
- - - -
7
b. RT-PCR SARS-CoV2 (16 Januari 2021) di RS Kartika Pulomas
2.4. DIAGNOSIS
Covid-19 Konfirmasi Simptomatik Ringan dengan HIV Terkontrol
2.5. TATALAKSANA
Tatalaksana Non-Medikamentosa:
Anjuran untuk tetap memakai masker ketika didalam rumah, menjaga
jarak dengan keluarga jika memungkinkan, mencuci tangan dan berjemur
10-15 menit sembari menunggu rujukan.
Tatalaksana Medikamentosa:
- Parasetamol tab 500mg 3x1
- Vitamin C tab 2x1
- Vitamin B tab 3x1
- Vitamin D3 tab 1000mg 2x1
- Zidovudine tab 300mg
- Lamivudine tab 300mg
- Nevirapine tab 200mg
8
2.6. FOLLOW UP
9
Suhu: 38,5 OC 300mg
o Lamivudine 1 x
SpO2 : 97-98%
150mg
o Nevirapine 2 x
200mg
2.7. PROGNOSIS
Quo ad vitam = dubia et bonam
Quo ad fungtionam = dubia et bonam
Quo ad sanationam = dubia et bonam
10
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 COVID-19
a. Definisi
11
Penularan droplet terjadi ketika seseorang berada pada jarak dekat (dalam 1
meter) dengan seseorang yang memiliki gejala pernapasan (misalnya, batuk atau
bersin) sehingga droplet berisiko mengenai mukosa (mulut dan hidung) atau
konjungtiva (mata).2
b. Patogenesis
12
Gambar 1. Reseptor ACE2 pada Tubuh Manusia9
13
Ligan 10 (CXCL10), interleukin (IL-1, IL-6, IL-8) dengan interferon-gamma
(IFN-γ), dan mengubah transforming growth factor-beta (TGF- β) terjadi pada
stadium akut infeksi SARS-CoV yang memicu badai sitokin.11 Respon imun yang
tidak adekuat menyebabkan replikasi virus dan kerusakan jaringan. Di sisi lain,
respons imun yang berlebihan dapat menyebabkan kerusakan jaringan.7,10
c. Klasifikasi
1) Kasus Suspek
Seseorang yang memiliki salah satu dari kriteria berikut1,2:
a) Seseorang yang memenuhi salah satu kriteria klinis dan salah satu kriteria
epidemiologis
Kriteria Klinis
Demam akut (≥ 380C)/riwayat demam dan batuk
Terdapat 3 atau lebih gejala/tanda akut berikut: demam/riwayat demam,
batuk, kelelahan (fatigue), sakit kepala, myalgia, nyeri tenggorokan,
coryza/ pilek/ hidung tersumbat, sesak nafas, anoreksia/mual/muntah,
diare, penurunan kesadaran
Kriteria Epidemiologis
Pada 14 hari terakhir sebelum timbul gejala memiliki riwayat tinggal atau
bekerja di tempat berisiko tinggi penularan
Pada 14 hari terakhir sebelum timbul gejala memiliki riwayat tinggal atau
bepergian di negara/wilayah Indonesia yang melaporkan transmisi lokal
Pada 14 hari terakhir sebelum timbul gejala bekerja di fasilitas pelayanan
kesehatan, baik melakukan pelayanan medis, dan non-medis, serta petugas
yang melaksanakan kegiatan investigasi, pemantauan kasus dan kontak
b) Seseorang dengan ISPA Berat
c) Seseorang dengan gejala akut anosmia atau ageusia dengan tidak ada
penyebab lain yang dapat diidentifikasi
2) Kasus Probable
14
Kasus suspek yang meninggal dengan gambaran klinis yang meyakinkan
COVID-19; DAN memiliki salah satu kriteria sebagai berikut:
a) Tidak dilakukan pemeriksaan laboratorium RT-PCR
b) Hasil pemeriksaan laboratorium RT-PCR satu kali negatif dan tidak
dilakukan pemeriksaan laboratorium RT-PCR yang kedua.
3) Kasus Konfirmasi
Seseorang yang dinyatakan positif terinfeksi virus COVID-19 yang
dibuktikan dengan pemeriksaan laboratorium RT-PCR
4) Kontak Erat
Orang yang memiliki riwayat kontak dengan kasus probable atau konfirmasi
COVID-19. Riwayat kontak yang dimaksud antara lain:
a) Kontak tatap muka/berdekatan dengan kasus probable atau kasus
konfirmasi dalam radius 1 meter dan dalam jangka waktu 15 menit atau
lebih.
b) Sentuhan fisik langsung dengan kasus probable atau konfirmasi (seperti
bersalaman, berpegangan tangan, dan lain-lain).
c) Orang yang memberikan perawatan langsung terhadap kasus probable atau
konfirmasi tanpa menggunakan APD yang sesuai standar.
d) Situasi lainnya yang mengindikasikan adanya kontak berdasarkan
penilaian risiko lokal yang ditetapkan oleh tim penyelidikan epidemiologi
setempat
d. Derajat
Berdasarkan beratnya kasus, COVID-19 dibedakan menjadi tanpa gejala,
ringan, sedang, berat dan kritis.1,2
1) Tanpa Gejala
Kondisi ini merupakan kondisi paling ringan. Pasien tidak ditemukan
gejala.
2) Ringan
15
Pasien dengan gejala tanpa ada bukti pneumonia virus atau tanpa hipoksia.
Gejala yang muncul seperti demam, batuk, fatigue, anoreksia, napas pendek,
mialgia. Gejala tidak spesifik lainnya seperti sakit tenggorokan, kongesti
hidung, sakit kepala, diare, mual dan muntah, hilang pembau (anosmia) atau
hilang perasa (ageusia) yang muncul sebelum onset gejala pernapasan juga
sering dilaporkan. Pasien usia tua dan immunocompromised gejala atipikal
seperti fatigue, penurunan kesadaran, mobilitas menurun, diare, hilang nafsu
makan, delirium, dan tidak ada demam.
3) Sedang
Pada pasien remaja atau dewasa : pasien dengan tanda klinis pneumonia
(demam, batuk, sesak, napas cepat) tetapi tidak ada tanda pneumonia berat
termasuk SpO2 > 93% dengan udara ruangan ATAU Anak-anak : pasien
dengan tanda klinis pneumonia tidak berat (batuk atau sulit bernapas + napas
cepat dan/atau tarikan dinding dada) dan tidak ada tanda pneumonia berat).
Kriteria napas cepat : usia 5 tahun, ≥30x/menit.
4) Berat
Pada pasien remaja atau dewasa : pasien dengan tanda klinis pneumonia
(demam, batuk, sesak, napas cepat) ditambah satu dari: frekuensi napas > 30
x/menit, distres pernapasan berat, atau SpO2 < 93% pada udara ruangan.
ATAU Pada pasien anak : pasien dengan tanda klinis pneumonia (batuk atau
kesulitan bernapas), ditambah setidaknya satu dari berikut ini:
Sianosis sentral atau SpO2 <93%
Distres pernapasan berat (seperti napas cepat, grunting, tarikan dinding
dada yang sangat berat);
Tanda bahaya umum : ketidakmampuan menyusui atau minum, letargi
atau penurunan kesadaran, atau kejang.
Napas cepat/tarikan dinding dada/takipnea
e. Pemeriksaan Penunjang
16
Pengambilan dan pemeriksaan spesimen dari pasien yang memenuhi
definisi kasus suspek COVID-19 merupakan prioritas untuk manajemen
klinis/pengendalian wabah, harus dilakukan secara cepat. Spesimen tersebut
dilakukan pemeriksaan dengan metode deteksi molekuler/NAAT (Nucleic Acid
Amplification Test) seperti RT-PCR (termasuk Tes Cepat Molekuler/TCM yang
digunakan untuk pemeriksaan TB dan mesin PCR Program HIV AIDS dan PIMS
yang digunakan untuk memeriksa Viral Load HIV).2
17
pada kelompok-kelompok rentan. WHO merekomendasikan penggunaan Rapid
Test untuk tujuan penelitian epidemiologi atau penelitian lain. Penggunaan Rapid
Test selanjutnya dapat mengikuti perkembangan teknologi terkini dan
rekomendasi WHO.2
Pemeriksaan laboratorium lain seperti hematologi rutin, hitung jenis,
fungsi ginjal, elektrolit, analisis gas darah, hemostasis, laktat, dan prokalsitonin
dapat dikerjakan sesuai dengan indikasi. Trombositopenia juga kadang dijumpai,
sehingga kadang diduga sebagai pasien dengue.7 Modalitas pencitraan utama yang
menjadi pilihan adalah foto toraks dan Computed Tomography Scan (CT-scan)
toraks. Pada foto toraks dapat ditemukan gambaran seperti opasifikasi ground-
glass, infiltrat, penebalan peribronkial, konsolidasi fokal, efusi pleura, dan
atelektasis.7
f. Tatalaksana
18
Segera berinformasi ke petugas pemantau/FKTP atau keluarga jika
terjadi peningkatan suhu tubuh > 38oC
Sedangkan untuk terapi farmakologi, pada tanpa gejala dan gejala ringan-
sedang dapat diberikan multivitamin yaitu vitamin C, D dan zink.1
Vitamin C dengan pilihan:
- Vitamin C non acidic 500mg/6-8 jam oral (14 hari)
- Tablet isap vitamin C 500mg/12 jam oral (30 hari)
- Multivitamin mengandung vitamin C 1-2 tablet24 jam (30 hari)
Vitamin D
- Suplemen: 400-1000 IU/hari (dalam bentuk tablet, kapsul, tablet
effervescent, tablet kunyah, tablet hisap, kapsul lunak, serbuk,
sirup)
- Obat: 1000-5000 IU/hari (dalam bentuk tablet 1000IU dan tablet
kunyah 5000 IU)
Pada gejala ringan-sedang dapat disertai dengan terapi Azitromisin 500mg setiap
24 jam selama 5 hari dan antiviral berupa oseltamivir 75 mg setiap 12 jam selama
5-7 hari atau kombinasi lopinavir dan ritonavir atau pemberian avigan.
19
c. Pada kasus konfimasi gejala sedang dengan komorbid dan/atau yang
kemungkinan berpotensi terjadi perburukan dapat dilakukan evaluasi ulang
dengan RT-PCR.
20
3.2 HIV (Human Immunodeficiency Virus)
a. Definisi
b. Patofisiologi
Prinsip target antibodi dalam menetralisasi HIV adalah protein gp41 dan
gp120 pada selubung (envelope) virus HIV. Replikasi ini akan berlanjut sepanjang
periode latensi klinis, bahkan saat hanya terjadi aktivitas virus yang minimal
dalam darah.12 Glikoprotein-41 (gp41) dan glikoprotein permukaan, yaitu gp120,
berikatan dengan reseptor CD4 di permukaan CD4+ sel. Pengikatan gp120 ke
reseptor CD4 menyebabkan perubahan dalam struktur amplop virus, yang
21
memungkinkan ko-reseptor mengikat ke domain tertentu di gp120. Setelah
pengikatan, peptida fusi terminal-N (gp41) menembus membran sel inang, diikuti
dengan masuknya kapsid virus ke dalam sitosol sel T. Setelah penetrasi, virus
mengeluarkan dan mengekspos kapsidnya, yang mengandung genom RNA dan
enzim terkaitnya (reverse transcriptase dan integrase) ke dalam sel inang.
Namun, DNA virus lengkap bermigrasi ke nukleus dan berintegrasi dengan DNA
di dalam sel inang dan sayangnya memengaruhi aktivitas seluler. DNA
terintegrasi digunakan untuk menghasilkan mRNA, sehingga mensintesis protein
virus dan memungkinkan salinan virus baru untuk berkembang.
Telah diamati bahwa virus menyabotase imun sel-T CD4+ untuk replikasi,
yang menyebabkan peningkatan virus load dalam darah dan penurunan sel-T
CD4+ yang signifikan. Namun, telah diamati bahwa efek tidak langsung dari
infeksi HIV menyebabkan sebagian besar kematian sel-T CD4+, yang
menyebabkan defisiensi imun. Efek langsung HIV terhadap sel-T CD4+ memicu
ekspresi interferon-gamma induced protein-16 (IFI-16), diikuti dengan aktivasi
kaskade inflamasi di dalam sel yang terinfeksi, yang berakhir dengan
penghancuran diri sel yang disebut piroptosis. Caspase-1 yang diaktivasi oleh
ekspresi IFI-16 yang tinggi memicu produksi sitokin, terutama interleukin-1 beta
(IL-1β) di dalam sel yang terinfeksi. Produksi IL1-β yang tinggi mengarah pada
penciptaan inflamasi di dalam sel, yang mengakibatkan inisiasi apoptosis.11
Masa inkubasi terdiri dari beberapa tahap, yaitu tahap jendela, tahap
asimptomatik, dan tahap pembesaran kelenjar limfe. Tahap jendela (Window
Period), terjadi setelah infeksi HIV, tenggang waktu 1-6 bulan, tes HIV negatif
karena belum ada antbodi HIV, tetapi penderita dapat menularkan HIV kepada
orang lain. Tahap asimptomatik, antara 5-10 tahun, tidak ada gejala spesifik, tetapi
bisa menularkan HIV pada orang lain. Tahap berikutnya terjadi pembesaran
kelenjar limfe yang menetap dibanyak bagian tubuh. Selanjutnya terjadi
penurunan sel T– 4 dibawah 200/microliter sehingga muncul berbagai macam
penyakit, terutama penyakit-penyakit yang disebabkan infeksi oportunistik.
Sebenarnya infeksi oportunistik ini juga sudah sering muncul sebelum seseorang
mencapai masa AIDS, tetapi dia belum akan dikatakan dalam kondisi AIDS
apabila sel T–4 didalam darahnya masih diatas 200/microliter.15
22
c. Manifestasi Klinis
23
Gingivitis/ Periodontitis ulseratif nekrotikan akut
Anemia (HB < 8 g%), netropenia (< 5000/ml), trombositopeni kronis
(<50.000/ml)
Stadium 4: Sakit berat (AIDS)
Sindroma wasting HIV
Pneumonia pnemosistis, pnemoni bacterial yang berat berulang
Herpes simpleks ulseratif lebih dari satu bulan
Kandidosis esophageal
TB Extraparu
Sarcoma Kaposi
Retinitis CMV (Cytomegalovirus)
Abses otak Toksoplasmosis
Encefalopati HIV
Meningitis Kriptokokus
Infeksi mikobakteria non-TB meluas
Lekoensefalopati multifocal progresif (PML)
Peniciliosis, kriptosporidosis kronis, isosporiasis kronis, mikosis
meluas, histoplasmosis ekstra paru, cocidiodomikosis)
Limfoma serebral atau B-cell, non-Hodgkin (gangguan fungsi neurologis dan
tidak sebab lain seringkali membaik dengan terapi ARV)
Kanker serviks invasive
Leismaniasis atipik meluas
Gejala neuropati atau kardiomiopati terkait HIV
d. Pemeriksaan Penunjang
24
tanggal berikutnya. Hasil negatif palsu dapat terjadi pada orang-orang yang
terinfeksi HIV-1 tetapi belum mengeluarkan antibodi melawan HIV-1 (yaitu,
dalam 6 (enam) minggu pertama dari infeksi, termasuk semua tanda-tanda klinik
dan gejala dari sindrom retroviral yang akut.16 Prosedur pemeriksaan laboratorium
untuk HIV sesuai dengan panduan nasional yang berlaku pada saat ini, yaitu
dengan menggunakan strategi 3 dan selalu didahului dengan konseling pra tes atau
informasi singkat.17
Rapid test merupakan tes serologik yang cepat untuk mendeteksi IgG
antibodi terhadap HIV-1. Prinsip pengujian berdasarkan aglutinasi partikel,
imunodot (dipstik), imunofiltrasi atau imunokromatografi. ELISA tidak dapat
digunakan untuk mengkonfirmasi hasil rapid test dan semua hasil rapid tes reaktif
harus dikonfirmasi dengan Western blot atau IFA. Western blot digunakan untuk
konfirmasi hasil reaktif ELISA atau hasil serologi rapid test sebagai hasil yang
benar-benar positif. Uji Western blot menemukan keberadaan antibodi yang
melawan protein HIV-1 spesifik (struktural dan enzimatik). Western blot
dilakukan hanya sebagai konfirmasi pada hasil skrining berulang (ELISA atau
rapid tes). Hasil negative Western blot menunjukkan bahwa hasil positif ELISA
atau rapid tes dinyatakan sebagai hasil positif palsu dan pasien tidak mempunyai
25
antibodi HIV-1. Hasil Western blot positif menunjukkan keberadaan antibodi
HIV-1 pada individu dengan usia lebih dari 18 bulan.
Uji Indirect Immunofluorescence Assays (IFA) ini sederhana untuk
dilakukan dan waktu yang dibutuhkan lebih sedikit dan sedikit lebih mahal dari
uji Western blot. Antibodi Ig dilabel dengan penambahan fluorokrom dan akan
berikatan pada antibodi HIV jika berada pada sampel. Jika slide menunjukkan
fluoresen sitoplasma dianggap hasil positif (reaktif), yang menunjukkan
keberadaan antibodi HIV-1. Progresi infeksi HIV ditandai dengan penurunan
CD4+ T limfosit, sebagian besar sel target HIV pada manusia. Kecepatan
penurunan CD4 telah terbukti dapat dipakai sebagai petunjuk perkembangan
penyakit AIDS. Jumlah CD4 menurun secara bertahap selama perjalanan
penyakit. Kecepatan penurunannya dari waktu ke waktu rata-rata 100 sel/tahun.16
e. Tatalaksana
Antiretroviral (ARV) adalah obat yang menghambat replikasi Human
Immunodeficiency Virus (HIV). Pengobatan infeksi HIV dengan antiretroviral
digunakan untuk memelihara fungsi kekebalan tubuh mendekati keadaan normal,
mencegah perkembangan penyakit, memperpanjang harapan hidup dan
memelihara kualitas hidup dengan cara menghambat replikasi virus HIV. Mulai
terapi ARV pada semua pasien dengan jumlah CD4 <350 sel/mm3 tanpa
memandang stadium klinisnya. Terapi ARV dianjurkan pada semua pasien
dengan TB aktif, ibu hamil dan koinfeksi Hepatitis B tanpa memandang jumlah
CD4.17
Pemilihan obat ARV lini pertama adalah 2 NRTI ditambah 1 NNRTI.
Nucleoside/ nucleotide reverse transcriptase inhibitors (NRTI), bekerja dengan
cara menghambat kompetitif reverse transcriptase HIV-1 dan dapat bergabung
dengan rantai DNA virus yang sedang aktif dan menyebabkan terminasi. Obat
golongan ini memerlukan aktivasi intrasitoplasma, difosforilasi oleh enzim
menjadi bentuk trifosfat. Golongan ini terdiri dari analog deoksitimidin
(Zidovudin), analog timidin (Stavudin), analog deoksiadenosin (Didanosin),
analog adenosisn (Tenovir disoproxil fumarat/TDF), analog sitosin (Lamivudin
dan Zalcitabin) dan analog guanosin (Abacavir).
26
Non-nucleoside reverse transcriptase inhibitors (NNRTIs), bekerja
dengan cara membentuk ikatan langsung pada situs aktif enzim reverse
transcriptase yang menyebabkan aktivitas polimerase DNA terhambat. Golongan
ini tidak bersaing dengan trifosfat nukleosida dan tidak memerlukan fosforilasi
untuk menjadi aktif. Golongan ini terdiri dari Nevirapin, Efavirenz, Delavirdine.16
Nevirapine dimulai dengan dosis awal 200 mg setiap 24 jam selama 14 hari
pertama dalam paduan ARV lini pertama bersama AZT atau TDF + 3TC. Bila
tidak ditemukan tanda toksisitas hati, dosis dinaikkan menjadi 200 mg setiap 12
jam pada hari ke-15 dan selanjutnya. Mengawali terapi dengan dosis rendah
tersebut diperlukan karena selama 2 minggu pertama terapi NVP menginduksi
metabolismenya sendiri. Dosis awal tersebut juga mengurangi risiko terjadinya
ruam dan hepatitis oleh karena NVP yang muncul dini.
27
BAB IV
PEMBAHASAN
28
yang merugikan tidak ditemukan.18 Didapatkan morbiditas atau mortalitas yang
lebih rendah di antara orang yang memakai ART dibandingkan dengan mereka
yang tidak memakai ART juga patut dipertimbangkan karena jumlah CD4 yang
lebih tinggi dan status kekebalan yang lebih baik.6
Pasien dengan HIV yang menerima obat terapi anti-HIV mungkin berada
pada resiko yang lebih rendah untuk COVID-19 dibandingkan dengan populasi
umum.11 Penelitian Vizcarra et al., menemukan dalam kasus mereka bahwa
individu yang menjadi sakit kritis cenderung memiliki jumlah sel CD4 rendah
(<200 sel / μL).19 Akan tetapi bukti klinis antara ODHA-COVID-19 dan penderita
COVID-19 tanpa HIV masih belum jelas karena penelitian mereka tidak memiliki
kelompok kontrol dan memiliki ukuran sampel yang kecil sehingga masih rancu
untuk hasil klinis yang lebih baik atau lebih buruk di antara ODHA dengan
COVID-19 dibandingkan dengan seseorang yang negatif HIV-1. Maka dari itu
perlu penelitian lebih lanjut dibutuhkan untuk memperjelas masalah ini dengan
lebih baik.20 Dari penelitian-penelitian tersebut dapat disarankan bahwa penyedia
layanan kesehatan perlu menangani multimorbiditas di antara ODHA, memastikan
pasokan ART mereka aman, dan tetap menganggap ODHA sebagai populasi yang
harus diwaspadai diperlukan untuk mencegah COVID-19.6
29
DAFTAR PUSTAKA
30
11. Saleemi M, Ahmad B, Benchoula K, Vohra M, Mea H, Chong P et al.
Emergence and molecular mechanisms of SARS-CoV-2 and HIV to target
host cells and potential therapeutics. Infection, Genetics and Evolution.
2020;85:104583.
12. Dewita G, Bachtera Barus A, Imron Yusuf A, Tjiptaningrum A. Pendekatan
Diagnostik dan Penatalaksanaan pada Pasien HIV-AIDS secara Umum. J
Medula Unila. 2016;6(1). Diakses pada 26 Januari 2021. Tersedia di:
https://juke.kedokteran.unila.ac.id/index.php/medula/article/view/848
13. Global Health Sector Strategy On HIV 2016–2021 Towards Ending AIDS.
Geneva: World Health Organization; 2016. Diakses pada 27 Januari 2021.
Tersedia di: https://apps.who.int/iris/bitstream/handle/10665/246178/WHO-
HIV-2016.05-eng.pdf
%253Bjsessionid=AA9223172C786025B9C3CE6274434C7A?sequence=1
14. Riono P, Challacombe S. HIV in Indonesia and in neighbouring countries and
its social impact. Oral Diseases. 2020;26(S1):28-33.
15. Waspada Epidemi HIV-AIDS di Indonesia. Medical and Health Science
Journal. Fakultas Kedokteran, Universitas Nahdlatul Ulama Surabaya.
2017;1(1)
16. Maryam S. Perbandingan Respon Imunologi Empat Kombinasi Antiretroviral
Berdasarkan Kenaikan Jumlah CD4 di Rumah Sakit Dr. H. Marzoeki Mahdi
Bogor Periode Maret 2006-Maret 2010. Universitas Indonesia Library. 2010
Diakses pada 27 Januari 2021. Tersedia di: http://lib.ui.ac.id/file?
file=digital/132877-T%2027751-Perbandingan%20respon-Literatur.pdf
17. Pedoman Nasional Tatalaksana Klinis Infeksi HIV dan Terapi Antiretroviral
pada Orang Dewasa. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI; 2011
18. Mondi A, Cimini E, Colavita F, Cicalini S, Pinnetti C, Matusali G et al.
COVID‐19 in people living with HIV: Clinical implications of dynamics of
the immune response to SARS‐CoV‐2. Journal of Medical Virology.
2020;93(3):1796-1804.
19. Vizcarra P, P_erez-Elías MJ, Quereda C, et al. Description of COVID-19 in
HIV-infected Individuals: A Single-Centre, Prospective Kohort. Lancet HIV.
31
2020. Diakses pada: 27 Januari 2021. Tersedia di:
https://doi.org/10.1016/S2352-3018(20)30164-8
20. Prabhu S, Poongulali S, Kumarasamy N. Impact of COVID-19 on people
living with HIV: A review. Journal of Virus Eradication. 2020;6(4):100019.
Diakses pada 27 Januari 2021. Tersedia di:
https://doi.org/10.1016/j.jve.2020.100019
32