Anda di halaman 1dari 27

CASE PRESENTATION 1

“OD Blefarokonjungtivitis Herpes Zoster Oftalmika”

Oleh:

Lale Sirin Rifdah Salsabila

Pembimbing:

dr. Ni Gusti Ayu Ari Raiasih, Sp.M

DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA


BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN MATA
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH PROVINSI NTB
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MATARAM
2024
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI............................................................................................................2
KATA PENGANTAR..............................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................4
BAB II LAPORAN KASUS...................................................................................6
BAB III PEMBAHASAN KASUS DAN CLINICAL REASONING..................15
BAB IV REFLEKSI KASUS................................................................................20
BAB IV KESIMPULAN.......................................................................................21
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................22

2
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat
karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan laporan kasus dengan judul
“OD Blefarokonjungtivitis Herpes Zoster Oftalmika”. Laporan kasus ini disusun
dalam rangka mengikuti Kepaniteraan Klinik Madya di Bagian/SMF Ilmu
Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran Universitas Mataram dan Rumah Sakit
Umum Daerah Provinsi Tenggara Barat. Pada kesempatan ini, penulis ingin
mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada dr. Ni Gusti Ayu Ari
Raiasih, Sp.M selaku supervisor dan pembimbing, dan semua pihak yang telah
memberikan bimbingan kepada penulis.
Penulis menyadari bahwa laporan kasus ini masih jauh dari sempurna. Oleh
karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran demi penyempurnaan laporan
kasus ini selanjutnya dapat menjadi lebih baik.
Dengan terselesaikannya laporan kasus ini, maka seluruh isi laporan kasus ini
sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Semoga laporan kasus ini dapat
memberikan manfaat dan tambahan pengetahuan khususnya kepada penulis dan
kepada pembaca dalam menjalankan praktek sehari-hari sebagai tenaga kesehatan.

Mataram, Maret 2024

Penulis

3
BAB I
PENDAHULUAN

Herpes zoster adalah penyakit infeksi akibat reaktivasi virus varisela zoster
yang laten berdiam terutama dalam sel neuronal dan didalam sel satelit ganglion
radiks dorsalis dan ganglion sensorik saraf kranial menyebar ke dermatom atau
jaringan saraf yang sesuai dengan segmen yang dipersarafinya. 1 Sebagian besar
herpes zoster berada di dermatom trunkus; dan sekitar 10% dapat terjadi di area
saraf trigeminal yang dikenal sebagai herpes zoster oftalmika (HZO).2
Berdasarkan Centre for Disease Control and Prevention (CDC) diperkirakan
terdapat 1 juta kasus herpes zoster tiap tahunnya di Amerika Serikat dan 1 dari 3
orang menderita herpes zoster selama kehidupannya. Resiko menderita herpes
zoster meningkat seiring meningkatnya usia.3 Insiden herpes zoster di Amerika
Serikat dan Eropa adalah 2,5/1000 orang antara usia 20-50 tahun, 5/1000 antara
usia 51-79 tahun, dan 10/1000 pada usia >80 tahun.4 Sebuah studi systemic review
di Eropa oleh Helena Bricout, dkk menyebutkan angka mortalitas herpes zoster
rendah, namun meningkat seiring usia, yaitu 0,6% pada usia 45-65 tahun di UK
dan 7,1% pada usia
≥ 80 tahun di Spanyol.5
Herpes zoster oftalmikus terjadi pada 10-20% dari kasus herpes zoster.
Herpes zoster oftalmikus terjadi ketika human herpes virus tipe 3 mengalami
reaktivasi pada divisi pertama dari saraf trigeminalis, yang disebut juga divisi
oftalmik.6,7 Reaktivasi dapat bermanifestasi sebagai nyeri dan ruam kulit
periokular yang terbatas pada regio periorbital, namun 50-70% pasien
menunjukkan keterlibatan okular. Adanya lesi herpes zoster pada ujung hidung
yang disebut juga tanda Hutchinson merupakan faktor prediktor penting dalam
penentuan ada tidaknya komplikasi okular dimana didapatkan peningkatan risiko
sebesar 3-4 kali dibanding pasien HZO tanpa tanda Hutchinson.6
Manifestasi okular pada Herpes zoster oftalmika sangat banyak bisa dari
invasi virus langsung, maupun secara sekunder terjadi peradangan dan vaskulitis,
kerusakan saraf dan atau jaringan parut. Komplikasi yang dilaporkan dari Herpes
zoster oftalmika termasuk vesikel pada kelopak mata dan jaringan parut, beberapa
bentuk konjungtivitis, keratitis, episkleritis, skleritis, uveitis, glaukoma sekunder,

4
kelainan papiler, nekrosis retina akut, neuritis optik, palsi saraf kranial (N III, IV
dan VI), sindrom apeks orbital, arteritis lokal dan post herpetik neuralgia. 8 Pasien
HZO yang dicurigai mengalami komplikasi okular harus segera dirujuk kepada
dokter spesialis mata untuk dapat mencegah kecacatan akibat HZO.5
Laporan ini akan membahas kasus herpes zoster oftalmika yang disertai
komplikasi okular berupa blefarokonjungtivitis OD pada seorang pasien laki-laki
usia 84 tahun.

5
BAB II
LAPORAN KASUS

I. Identitas Pasien
Nama : Tn. R
Umur : 84 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Bawak Gunung, Praya Barat, Lombok Tengah
Pekerjaan :-
Agama : Islam
Suku : Sasak
Status Pernikahan : Menikah
Pendidikan Terakhir : SD
No. RM : 249770
Tanggal MRS : 27 Februari 2024
Tanggal Pemeriksaan : 29 Februari 2024

II. Anamnesis
a. Keluhan Utama: Bengkak dan luka pada dahi kanan dan area sekitar
mata kanan.
b. Riwayat Penyakit Sekarang:
Pasien datang ke Unit Gawat Darurat (UGD) RSUD Provinsi NTB
pada tanggal 27 Februari 2024 dengan keluhan utama bengkak dan luka
pada dahi kanan dan area sekitar mata kanan. Pada anamnesis
didapatkan pasien mengeluhkan bengkak dan luka pada dahi dan mata
kanan sejak 5 hari SMRS. Pada awalnya berupa bengkak kemerahan
disertai nyeri. Kemudian timbul gelembung bewarna putih dan berisi
cairan. Gelembung pertama kali muncul di kelopak mata kanan, terus
menyebar hingga dahi dan hidung kanan pasien. Selama timbul
gelembung, pasien tidak pernah menggaruk dan memecahkannya.
Gelembung yang muncul kemudian pecah mengeluarkan cairan dan
timbul seperti koreng dengan dasar bewarna merah yang kemudian
mengering. Gelembung yang muncul menimbulkan rasa panas disertai
dengan rasa nyeri. Nyeri dirasakan seperti ditusuk-tusuk, panas
6
seperti terbakar, dan mata terasa seperti tertarik. Nyeri dirasakan semakin
hebat, berlangsung terus menerus sepanjang hari hingga mengganggu
aktivitas dan istirahat. Bengkak dikatakan bertambah luas sampai pasien
sulit membuka kedua mata. Pasien juga mengalami demam yang tidak
terlalu tinggi dan nyeri kepala 2 hari sebelum timbul gelembung-
gelembung.
Keluhan mata merah pada mata kanan timbul 3 hari SMRS. Mata
merah muncul secara gradual yang lama kelamaan semakin merah dengan
timbul kotoran pada mata. Kotoran bersifat lengket, berwarna putih dan
muncul tidak mengenal waktu serta dirasa semakin lama semakin berat.
Sebelum timbul kotoran, terdapat keluhan berair. Keluhan mata merah ini
tidak disertai dengan pandangan kabur.
c. Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien belum pernah menderita penyakit seperti ini sebelumnya.
Pasien pernah menderita cacar air sebelumnya saat usia 17 tahun. Pasien
menyangkal adanya riwayat trauma, riwayat alergi, riwayat penggunaan
kacamata, riwayat sakit mata. Keluhan gatal disangkal. Riwayat penyakit
sistemik seperti DM, tuberkulosis, penyakit jantung, penyakit ginjal, hepar
dan keganasan disangkal. Pasien belum pernah mendapat vaksinasi cacar
sebelumnya.
d. Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat keluarga yang pernah mengalami hal serupa disangkal.
Riwayat penyakit di keluarga seperti hipertensi, diabetes melitus,
gangguan jantung, ginjal, hematologi, dan keganasan disangkal. Tidak
didapatkan adanya riwayat penyakit mata pada keluarga pasien.
e. Riwayat Pengobatan
Sebelum MRS, pasien belum pernah memeriksakan kondisinya ke
dokter umum maupun spesialis. Riwayat penggunaaan obat-obatan jangka
panjang disangkal.
f. Riwayat Sosial
Pasien sehari-hari tidak bekerja. Tingkat pendidikan terakhir pasien
yaitu Sekolah Dasar. Pasien sudah menikah dan

7
mempunyai lima anak. Tidak ada riwayat digigit serangga. Riwayat
mengoleskan minyak atau obat tradisional disangkal. Terdapat riwayat
merokok selama 20 tahun namun sudah berhenti sejak 15 tahun yang lalu,
konsumsi alkohol disangkal.

III. Pemeriksaan Fisik


1. Status Generalis
 Keadaan Umum : Sedang
 Kesadaran : Compos mentis (GCS E4V5M6)
 Vital Sign
- Tekanan darah : 119/80 mmHg
- Nadi : 89 x/menit
- Frekuensi napas : 20 x/menit
- Suhu : 36.6 0C
- SpO2 : 99% UR
2. Status Gizi
Berat badan : 57 kg
Tinggi badan : 163 cm
IMT : 21,5 kg/m2 (normal)
3. Status Lokalis
 Kepala ~ Status Dermatologis
Di regio frontalis, parietalis, palpebra superior, dan sebagian nasal
sinistra tampak erosi patch eritema multipel, batas tegas, bentuk
geografika, ukuran lentikular dan sebagian tertutup krusta kehitaman
secara konfluen dan diskret. Tampak lesi terdistribusi secara unilateral
sesuai dermatom nervus kranial trigeminus cabang oftalmikus sinistra.
 Status Oftalmologis
No Pemeriksaan OD OS
1. Visus
Naturalis 6/60 (bedsite) 6/60 (bedsite)

8
2. Pergerakan Bola Mata

BSA, Nyeri (-), BSA, Nyeri (-),


Nistagmus (-), Nistagmus (-),
Diplopia (-) Diplopia (-)

3. Alis
- Warna Hitam Hitam
- Distribusi Merata Merata
- Kerontokan
(-) (-)
- Uban
(+) (+)
- Tanda inflamasi
(+) (-)
- Krusta
(+) (-)
4. Palpebra Edema (+) (+)
Superior Hiperemi (+) (+)

Spasme (-) (-)

Vesikel disertai (+) (-)


krusta

Entropion (-) (-)

Ektropion (-) (-)

Pseudoptosis (+) (+)

Lagoftalmus (-) (-)

Xanthelasma (-) (-)

Sikatrik (-) (-)

9
5. Palpebra Edema (+) (+)
Inferior Hiperemi (-) (-)

Spasme (-) (-)

Massa (-) (-)

Sikatrik (-) (-)

Entropion (-) (-)

Ektropion (-) (-)

Nyeri tekan (-) (-)

6. Konjungtiva Tarsal superior Hiperemia (+) Hiperemia (+)

Tarsal inferior Hiperemia (+) Hiperemia (+)

Bulbi Hipermia (-) Injeksi konjungtiva


(+)

Sekret (+) Sekret (-)

Kemosis (+) Kemosis (+)

Perdarahan (-) Perdarahan (-)

Keadaan umum Epifora (+) Epifora (+)

Punctum Edema (-) Edema (-)


lakrimalis Obstruksi (-) Obstruksi (-)

Saccus Edema (-) Edema (-)


Sistem
7. Lakrimal lakrimalis Hiperemi, nyeri Hiperemi, nyeri tekan
tekan (-) (-)
Glandula Palpasi: tidak Tidak dievaluasi
Lakrimalis keluar sekret
abnormal Edema (-)
Nyeri tekan (-)

Warna hitam Arah Warna hitam Arah


Bulu mata
8.
pertumbuhan pertumbuhan keluar,

10
keluar, tidak kotor, ada sekret, tidak ada
tidak ada kerontokan.
kerontokan.

11
9. Kornea Bentuk Cembung Cembung

Kejernihan Jernih Jernih

Permukaan Licin Licin

Sikatrik (-) (-)

Benda Asing (-) (-)

10. Bilik Mata Kedalaman Kesan dalam Kesan dalam


Depan Kejernihan Jernih Jernih

Hifema (-) (-)

Hipopion (-) (-)

11. Iris Warna Coklat Tua Coklat Tua

Bentuk Bulat, regular Bulat, regular

Corakan Kripta jelas Kripta jelas

Sinekia (-) (-)

12. Pupil Bentuk, ukuran Bulat, 3 mm Bulat, 3 mm

Simetrisitas Isokor Isokor

RCL (+) (+)

RCTL (+) (+)

13. Lensa Kejernihan Jernih Jernih

Subluksasi (-) (-)

Luksasi (-) (-)

14. TIO Palpasi Normal/palpasi Normal/palpasi

15. Funduskopi Tidak dievalasi Tidak dievalasi

12
IV. Foto Pasien

13
V. Assesment
- Diagnosis Kerja: OD Blefarokonjungtivitis Herpes Zoster Oftalmica
- Diagnosis Banding:
 OS Blefarokonjungtivitis ec dermatitis venenata
 Herpetic Keratitis

VI. Planning
a. Terapi
- Acyclovir 5x800 mg PO
- Hervis eye ointment 3x1 gtt OD
- Cendo lyteers eye drop 8x1 gtt ODS
- Levocin (Levofloxacin Hemihydrate) eye drops 6 dd gtt 1 ODS
- Kompres NaCl 0.9% 3xsehari
b. Monitoring
- Monitoring keadaan umum dan keluhan pasien
- Monitoring lesi kulit dan kondisi mata
VII. KIE
- Edukasi mengenai kondisi pasien saat ini. Memberikan penjelasan
mengenai kondisi terkini pasien terkait penyakitnya.
- Edukasi mengenai penyebab dan faktor risiko. Memberikan
penjelasan adanya penyebab dan faktor risiko penyakit pada pasien.
- Edukasi tatalaksana. Memberikan penjelasan pengobatan/tindakan
terapi yang sudah diberikan, dilanjutkan dengan anjuran rutin kontrol
apabila telah diperbolehkan pulang untuk memonitoring keadaan pasien,
serta menjelaskan tentang cara pemakaian obat yang benar.
- Edukasi ke pasien untuk tidak menggaruk ataupun mengucek mata ketika
gatal.
- Edukasi ke pasien terkait komplikasi yang mungkin terjadi dan prognosis
penyakitnya.
VIII. Prognosis
- Ad vitam (prognosis hidup): bonam
- Ad functionam (prognosis penglihatan): dubia ad bonam
- Ad sanationam (prognosis sembuh): dubia ad bonam

14
BAB III
PEMBAHASAN KASUS DAN CLINICAL REASONING

I. Identifikasi Masalah
Berdasarkan data di atas, permasalahan klinis yang terdapat pada pasien
adalah sebagai berikut:
a) Subjektif
- Bengkak pada area sekitar kedua mata
- Luka pada dahi kanan dan area sekitar mata kanan
- Sulit membuka kedua mata
- Timbul gelembung bewarna putih dan berisi cairan
- Gelembung pecah mengeluarkan cairan dan timbul seperti koreng dengan
dasar bewarna merah yang kemudian mengering
- Gelembung yang muncul menimbulkan rasa panas disertai dengan rasa
nyeri
- Nyeri dirasakan seperti ditusuk-tusuk, panas seperti terbakar, dan mata
terasa seperti tertarik
- Mata merah muncul secara gradual yang lama kelamaan semakin merah
dengan timbul kotoran pada mata.
- Keluhan mata merah ini tidak disertai dengan pandangan kabur.
b) Objektif

Pemeriksaan OS

Palpebra Superior Edema (+), Hiperemia (+),Vesikel


disertai krusta (+)
Palpebra Inferior Edema (+)
Konjungtiva Tarsal Hiperemia (+)
Superior
Konjungtiva Tarsal Hiperemia (+)
Inferior
Konjungtiva Bulbi Injeksi Konjungtiva (+), Kemosis (+), Sekret (+)

Sistem Lakrimal Epifora (+)


Kornea Jernih (+)
Bilik Mata Depan Dalam (+)

Iris Radier (+)

Pupil Bulat, 3 mm, RC (+)

Lensa Jernih (+)

II. Analisis Kasus

Herpes zoster terjadi akibat reaktivasi virus varisela zoster (VVZ) laten yang
bersembunyi pada sel ganglion dorsalis sistem saraf sensoris setelah infeksi
primer berupa varisela yang umumnya terjadi pada masa kanak-kanak. 9,10,11 Tidak
semua orang yang pernah menderita varisela akan mengalami herpes zoster. 9
Reaktivasi terjadi ketika imunitas penjamu gagal menekan virus. Reaktivasi
mengakibatkan ruam dermatomal klasik dan nyeri neuropatik pada dermatom
yang terkena. Inflamasi pada ganglion itu sendiri juga menyebabkan nekrosis
neuronal.

Pada kasus, pasien merupakan seorang laki-laki berusia 84 tahun. Pasien


menyangkal pernah menderita varisela saat kanak-kanak, namun ini tidak
menutup kemungkinan penyakit herpes zoster pada pasien merupakan reaktivasi
dari varisela yang pernah diderita pasien sebelumnya. Pada anamnesis dan
pemeriksaan fisik, tidak didapatkan penyakit penyerta lainnya maupun kondisi
imunokompromais. Faktor risiko utama terjadinya herpes zoster pada pasien
adalah usia tua, banyaknya aktivitas yang menyebabkan kelelahan fisik dan stress
emosional seperti kesibukan dalam pekerjaan. Usia merupakan faktor risiko
herpes zoster yang signifikan.5 Pada usia tua sel perlawanan infeksi yang
dihasilkan kurang cepat bereaksi dan kurang efektif daripada sel yang ditemukan
pada kelompok dewasa muda. Ketika antibodi dihasilkan, durasi respon kelompok
lansia lebih singkat dan lebih sedikit sel yang dihasilkan. Penuaan juga
mempengaruhi aktivitas leukosit termasuk makrofag, monosit, neutrofil, dan
eosinofil. Terjadinya perubahan fungsional sel T dan monosit yang berfungsi
sebagai pertahanan terhadap virus menyebabkan reaktivasi VVZ sehingga
menimbulkan penyakit herpes zoster.13,14 Faktor risiko herpes zoster oftalmika

16
selain usia, yaitu perubahan imunitas, penyakit neoplastik, pengobatan

17
imunosupresif, pasien HIV, dan penerima transplantasi organ.12 Namun pada pada
pasien tidak ditemukan adanya faktor risiko imunokomprimise.

Diagnosis pada pasien ini ditegakkan melalui anamnesis dan pemeriksaan


fisik. Pasien mengalami beberapa gejala seperti: nyeri, rasa panas dan timbul
gelembung cair yang berubah menjadi keropeng pada daerah sekitar dahi, kelopak
mata, mata dan hidung bagian kanan. Pada herpes zoster sebelum timbul gejala
kulit terdapat gejala prodormal baik sistemik maupun lokal. Gejala prodormal
sistemik yaitu demam, pusing dan malaise, sementara gejala lokal dapat berupa
nyeri, gatal, pegal dan sebagainya. Setelah itu timbul eritema yang dalam waktu
singkat menjadi vesikel yang berkelompok. Vesikel ini berisi cairan jernih
kemudian menjadi keruh dan dapat menjadi krusta.1 Hampir 90% kasus herpes
zoster akan mengalami nyeri. Nyeri dapat berupa nyeri akut maupun nyeri kronis
yang dapat mengurangi kualitas hidup, biasanya timbul sebelum adanya kelaianan
pada kulit.1 Nyeri adalah keluhan sensorik yang merupakan reaksi dari
neurokutaneus pada dermatom melalui nukleus neurosensori tertentu sehingga
dapat terjadi nyeri yang berkepanjangan.9

Berbagai gejala yang mempengaruhi mata dapat terjadi pada setiap fase
herpes zoster optalmik. Palpebra paling sering terkena pada kasus herpes zoster
oftalmika. Sebagian besar pasien akan mengalami lesi vesikular pada kelopak
mata yang sembuh dengan jaringan parut minimal. Palpebra bisa mengalami
blefaritis, sehingga dapat menyebabkan infeksi bakteri sekunder, bekas luka parut,
rontok bulu mata, trkiasis dan entropion sikatrikal. Jaringan parut dan obstruksi
pada punktum lakrimal dan nasal akrimal dapat terjadi.15 Pada kasus pasien ini
palpebra superior dan inferior terjadi edema, hiperemis dan adanya sekret. Gejala
tersebut merupakan gejala dari blefaritis.

Konjungtivitis adalah salah satu komplikasi terbanyak pada herpes zoster


oftalmika. Pada konjungtiva sering terdapat injeksi konjungtiva dan edema, dan
kadang disertai timbulnya ptekie. Ini biasanya terjadi 1 minggu. Infeksi sekunder
akibat Staphylococcus aureus bisa berkembang di kemudian hari. 15 Pada kasus ini
pasien mengalami blefarokonjungtivitis varisela-zoster dengan ciri khas herpes
zoster adalah hiperemia, konjungtivitis dan erupsi vesikuler sepanjang dermatom
nervus trigeminus cabang oftalmika. Konjungtivitis biasanya berbentuk papiler,

18
namun dapat ditemukan folikel, pseudomembran dan vesikel temporer yang
kemudian mengalami ulserasi. Terdapat limfonodus preaurikuler yang nyeri tekan
pada awal penyakit. Sekuele berupa jaringan parut di palpebra, entropion dan bulu
mata tumbuh salah arah.16 Berdasarkan pemeriksaan klinis saat ini tidak
ditemukan adanya kelainan pada segmen anterior mata seperti kornea, iris, dan
lensa. Namun diperlukan pemeriksaan lanjutan untuk mengetahui secara pasti
apakah ada keterlibatan pada segmen anterior tersebut.

Diagnosis herpes zoster oftalmikus pada umumnya ditegakkan secara klinis.


Pemeriksaan penunjang yang dapat membantu menegakkan diagnosis herpes
zoster adalah tes Tzanck. Pemeriksaan ini dilakukan dengan pengecatan Giemsa
untuk melihat adanya multinucleated giant cell. Sensitivitas pemeriksaan Tzanck
pada kasus herpes zoster sebesar 67%, 55% dan 17% berturut turut pada lesi
vesikel baru, pustul dan erosi. Pengecatan Gram dapat dilakukan sebagai
pemeriksaan tambahan bila dicurigai terdapat infeksi sekunder pada lesi kulit.
Pemeriksaan penunjang lainnya yang dapat dilakukan adalah polymerase chain
reaction (PCR), kultur, dan pemeriksaan immunofluorescence.17
Terapi yang diberikan kepada pasien bertujuan untuk mengeradikasi virus
varisela zoster, mencegah infeksi sekunder, mempercepat proses inflamasi dan
mengurasi neuropati sensorik. Obat antivirus diindikasikan dalam pengobatan
herpes zoster yang akut yang termasuk antivirus adalah famsiklovir dan asiklovir.
Obat tersebut signifikan untuk menurunkan nyeri akut, menghentikan progresi
virus dan pembentukan vesikel, mengurangi insiden episkleritis rekuren, keratitis,
iritis dan mengurangi neuralgia paska herpetik jika dimulai dalam 72 jam onset
ruam. Bentuk regimen yang sering digunakan adalah asiklovir 5x800 mg perhari
selama 7-10 hari.19 Pada kasus, pasien dirawat inap dan diterapi dengan asiklovir
800 mg setiap 4,5 jam intraoral selama 10 hari dengan pertimbangan pasien usia
tua dengan kondisi immunosenescence, dan terjadi komplikasi okular. Pemberian
asiklovir secara topikal juga dapat dilakukan untuk mengurangi resiko terjadinya
komplikasi dari herpes zoster opthalmikus19,21.
Pencegahan terhadap infeksi sekunder dapat digunakan antibiotik tetes
atau salep. Pada kasus ini pasien diberikan antibiotik tetes mata Levocin
(Levofloxacin Hemihydrate) salep yang memiliki spektrum terhadap Gram-positif
seperti Streptococcus spp., Staphylococcus spp. Diharapkan kejadian infeksi
19
sekunder pada kasus dapat dihindari.15 Pada erosi, dilakukan kompres terbuka
dengan NaCl 0,9% setiap 8 jam selama 10-15 menit. Cendo Lyteers ED
mengandung sodium chloride dan potassium chloride melumasi dan
menenangkan mata kering yang disebabkan oleh kurangnya produksi air mata
atau iritasi karena kondisi lingkungan, penggunaan lensa kontak, atau lendir yang
berlebihan. Kompres berguna untuk membersihkan kulit dari debris (eksudat dan
krusta), bersifat mengeringkan, membantu mengurangi pruritus dan membuat
permukaan kulit menjadi lebih dingin sehingga dapat membuat vasokontriksi dan
membantu mengurangi eritema.

20
BAB IV
REFLEKSI KASUS

Laporan kasus ini membahas pasien laki-laki berusia 84 tahun dengan


diagnosis OD Blefarokonjungtivitis Herpes Zoster Oftalmica. Hal-hal yang dapat
dipelajari untuk penulis secara personal selama penyusunan laporan kasus ini
adalah penulis dapat belajar dalam dalam mengidentifikasi kelainan mata
khsusunya kelainan pada infeksi virus Herpes Zoster yang mengakibatkan kondisi
Blefarokonjuntivitis. Selain itu, penulis juga dapat berlatih melakukan anamnesis
dan pemeriksaan yang baik, relevan, dan terarah. Penulis juga dapat mempelajari
terkait Blefarokonjuntivitis yang disebabkan Herpes Zoster Oftalmica baik dari
tanda dan gejala, patofisiologi serta tatalaksana yang dapat dilakukan pada pasien.
Laporan kasus ini juga membuat penulis belajar menghubungkan antara keluhan
dengan teori yang ada.
Sehingga laporan kasus ini diharapkan dapat meningkatkan kemampuan
mengidentifikasi kasus dalam praktik sehari-hari terutama kasus yang terkait
penyakit mata. Penulisan laporan ini juga diharapkan mampu mengasah dan
memberikan wawasan dalam melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, usulan
pemeriksaan penunjang yang dapat mengarahkan pada diagnosis kerja maupun
diferensial diagnosis. Kemampuan dalam mendiagnosis dan mengidentifikasikan
masalah yang cepat dan tepat diharapkan mampu memberikan pengobatan atau
terapi yang sesuai dan meningkatkan efektivitas kolaborasi ketika melakukan
perawatan bersama dengan divisi keilmuan lain khususnya pada kasus ini dengan
divisi kulit.

21
BAB IV
KESIMPULAN

Pada Laporan Kasus ini telah dilaporkan sebuah kasus herpes zoster
oftalmikus pada pasien usia 57 tahun dengan komplikasi ocular berupa
blefarokonjuntivitis, yang diterapi dengan Asiklovir, Hervis ointment, Cendo
lyteers eye drops dan Levocin eye drops. Pada lesi erosi diberikan kompres
terbuka dengan NaCl. Perlu evaluasi dan monitoring lebih lanjut untuk melihat
bagaimana respon terapi yang diberikan pada pasien. Herpes zoster oftalmikus
dengan komplikasi okular penting untuk dikenali dengan segera, sehingga
intervensi awal dapat diberikan dan dapat mencegah kecacatan mata yang dapat
timbul apabila intervensi penanganan tidak segera diberikan.

22
DAFTAR PUSTAKA

1. Pusponegoro E, Nilasari H, Lumintang H, Niode NJ, Daili SF, Djauzi S, et


al., editor. Buku panduan herpes zoster. Jakarta: Badan Penerbit FKUI;
2014.

2. Ting DSJ, Ghosh N, Ghosh S. Herpes zoster ophthalmicus. BMJ. 2019;364

3. Anonim. Shingles (Herpes Zoster). Centers for Disease Control and


Prevention. Accessed on September 15th 2023: Available at: https://www.
cdc.gov/shingles/surveillance.html

4. Downing C,Mendoza N, Sra K, et al. Human Herpervirus. In: Bolognia J,


Schaffer J, Cerroni L., editors. Dermatology. 4th editions. New York:
Elsevier; 2018.p.1400-1424.

5. Bricout H, Perinetti E, Marchettini P, Ragni P, Zotti CM, gabutti G, dkk.


Burden of herpes zoster-associated chronic pain in Italian patient aged 50
years and over (2009-2010): a GP-based prospective cohort study. BMC
Infect Dis. 2014;14:637.

6. Kong CL, Thompson RR, Porco TC, Kim E, Acharya NR. Incidence rate of
herpes zoster opthalmicus: a retrospective cohort study from 1994 through
2018. Ophthalmology. 2020;127(3):324-330.

7. Fan S, Stojanovic D, Malvankar-Mehta MS, Hutnik C. Treatment of herpes


zoster opthalmicus: a systemic review and canadian cost-comparison. Can J
Ophthalmol. 2018;53(2):117-123.

8. Maiya AS, Shenoy S. A Clinical study of herpes zoster ophthalmicus.


JDMS. 2013;12 (6):9-13.

9. Vrcek I, Choudhury E, Durairaj V. Herpes zoster ophthalmicus: a review


for the internist. AMJMED.2017;170(1):21-6.

10. Levin MJ, Schmader KE, Oxman MN. Varicella and Herpes Zoster. In:
Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, editors.
Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. 9th ed. New York: Mc
Graw-Hills; 2019.p.3035- 3058.
23
11. Valiathan R, Ashman M, Asthana D. Effects of ageing on the immune
system: infant to elderly. Scandinavian Journal of Immunologi.
2016;83:255-266.

12. Lee WB. Ch. 78 Herpes zoster keratitis [Internet]. Cornea vol. 01, 4th ed.
Elsevier Inc.; 2017. pp. 942–55. http://dx.doi.org/10.1016/B978-0-323-
35757-9.00078-9

13. Fatmah. Respon imunitas yang rendah pada tubuh manusia usia lanjut.
Makara: Kesehatan. 2006;10(1):47-53.

14. Salmon JF. Cornea: Filamentary keratitis. Kanski’s clinical ophthamology.


2019;01:204–73.

15. Wiafe B. Herpes zoster ophtalmicus in HIV/ AIDS. J Comm Eye Health.
2003;16(47):35-6.

16. Garcia FFJ, Schwab IR, Shetlar DJ. Konjungtiva. Dalam: Vaughan,
Asbury, editor. Oftalmologi umum. Edisi ke-17. Jakarta: EGC; 2010.

17. Lusiana, Paramitha L, Rihatmadja R, Menaldi SL, Yusharyahya SN. Tes


tzanck di bidang dermatologi dan venereologi. MDVI. 2019;46(1):57-63.

18. Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas


Udayana Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar. Buku Panduan
Belajar Koas Ilmu Kesehatan Mata. 2017

19. Sayhan MB, Sezenler E, Nalbur IH, Yagci G, Gezer E. Herpes zoster
ophtalmicus. JAEMCR. 2012;3:74-6.

20. Wilson JF. In the clinic. Herpes zoster. Ann Intern Med.
2011;154(5):ITC31- 15.

21. Gross GE, Eisert L, Doerr HW, Fickenscher H, Knuf M, Maier P, et al. S2k
guidelines for the diagnosis and treatment of herpes zoster and postherpetic
neuralgia. JDDG - J Ger Soc Dermatology. 2020;18(1):55–78.

24
25
1. Gross GE, Eisert L, Doerr HW, Fickenscher H, Knuf M, Maier P, et al. S2k guidelines for
the diagnosis and treatment of herpes zoster and postherpetic neuralgia. JDDG - J Ger Soc
Dermatology. 2020;18(1):55–78.

26
27

Anda mungkin juga menyukai