Anda di halaman 1dari 37

SMF & Laboratorium Ilmu Kesehatan Anak REFLEKSI

KASUS
RSUD Abdul Wahab Sjahranie Samarinda

Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman

STATUS ASMATIKUS

Disusun sebagai Salah Satu Tugas Kepaniteraan Klinik

di Bagian Ilmu Kesehatan Anak

Tendri Ayu Ampi Persada Putri NIM. 1810029004

Pembimbing:

dr. Ahmad Wisnu Wardhana, M.Sc., Sp.A

PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MULAWARMAN

2019

1
LEMBAR PENGESAHAN

REFLEKSI KASUS

STATUS ASMATIKUS

Diajukan dalam Rangka Tugas Ilmiah Kepaniteraan Klinik di Bagian Ilmu


Kesehatan Anak

Oleh:

Tendri Ayu Ampi Persada Putri NIM. 1810029004

Pembimbing:

dr. Ahmad Wisnu Wardhana, M.Sc., Sp.A

SMF/LABORATORIUM ILMU KESEHATAN ANAK

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI DOKTER

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MULAWARMAN

2019

2
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT karena atas limpahan rahmat dan kasih
sayang-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tutorial kasus
dengan judul “Status Asmatikus”. Tulisan ini disusun sebagai tugas kepaniteraan
klinik bagian Ilmu Kesehatan Anak di RSUD Abdul Wahab Sjahranie Samarinda.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-


besarnya kepada dr. Ahmad Wisnu Wardhana, M.Sc., Sp.A atas ilmu dan
bimbingan yang diberikan selama menjalani kepaniteraan klinik di bagian Ilmu
Kesehatan Anak. Penulis menyadari masih terdapat banyak kekurangan dalam
penulisan ini. Namun, penulis berharap semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi
proses pembelajaran Ilmu Kesehatan Anak.

Samarinda, April 2019

Penulis

3
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Status asmatikus adalah kegawatdaruratan medis dimana gejala asma tidak
membaik pada pemberian bronkodilator inisial di unit gawat darurat. Biasanya,
gejala muncul beberapa hari setelah infeksi virus di saluran napas, diikuti pajanan
terhadap allergen atau iritan, atau setelah beraktivitas saat udara dingin.
Seringnya, pasien telah menggunakan obat-obat anti inflamasi. Pasien biasanya
mengeluh rasa berat di dada, sesak napas yang semakin bertambah, batuk kering
dan mengi juga penggunaan beta-agonis yang meningkat (baik inhalasi maupun
nebulisasi) sampai hitungan menit.

Dalam tiga puluh tahun terakhir terjadi peningkatan prevalensi asma


terutama di Negara-negara maju. kenaikan prevalensi asma di Asia seperti
Singapura, Taiwan, Jepang atau Korea Selatan juga mencolok. Kasus asma
meningkat insidennya secara dramatis selama lebih dari lima belas tahun, baik di
Negara berkembang maupun di Negara maju. Beban global untuk penyakit ini
semakin meningkat. Dampak buruk asma meliputi penurunan kualitas hidup,
produktivitas yang menurun, ketidakhadiran di sekolah, peningkatan biasa
kesehatan, resiko perawatan di rumah sakit bahkan kematian.

Prevalensi dan severity kasus asma semakin meningkat, sejalan dengan


peningkatan kasus asma yang membutuhkan perawatan rumah sakit dan kematian
akibat status asmatikus. Status asmatikus biasanya lebih sering terjadi pada
kelompok dengan sosioekonomi yang rendah, karena kurangnya pengetahuan dan
tidak pernah memeriksakan diri ke rumah sakit sehingga meningkatkan resiko
status status asmatikus. Pasien yang terlambat mendapatkan perawatan medis,
khususnya perawatan dengan steroid sistemik memiliki resiko kematian yang
besar.

4
1.2 Tujuan Penulisan

1. Refleksi kasus ini bertujuan untuk menambah wawasan ilmu pengetahuan


mengenai Status Asmatikus, serta perbandingan antara teori dan kasus.
Menambah ilmu dan pengetahuan mengenai penyakit yang dilaporkan.

2. Membandingkan informasi yang terdapat pada literatur dengan kenyataan


yang terdapat langsung pada kasus.

3. Mendiagnosa dengan tepat dan menyusun rencana tatalaksana yang tepat


kepada pasien.

5
BAB 2

LAPORAN KASUS

2.1 Identitas pasien


Nama : An. DR
D.O.B./ Usia : 06 November 2014/4 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Anak ke :2
Alamat : Jalan Damanhuri Samarinda

Identitas Orang Tua


Nama Ayah : Tn. P
Usia : 38 tahun
Pekerjaan : PNS
Alamat : Samarinda
Pendidikan terakhir : S1

Nama Ibu : Ny. A


Usia : 35 tahun
Pekerjaan : IRT
Alamat : Samarinda
Pendidikan terakhir : SMA

MRS tanggal 21 April 2019 Pukul 03.45 WITA.

2.2 Anamnesis
Anamnesis dilakukan pada tanggal 22 April 2019, di ruang Melati.
Heteroanamnesis oleh ibu kandung pasien.
2.2.1 Keluhan Utama
Sesak

6
2.2.2 Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD RSUD AWS Samarinda dengan keluhan sesak sejak
pukul 24.00 malam, sesak muncul mendadak dan dirasakan semakin memberat.
Saat di IGD pasien telah di nebu sebanyak 3 kali namun sesak belum berkurang.
Sebelumnya pasien batuk pilek 2 hari SMRS dan demam satu hari setelah batuk
pilek. Batuk yang dirasakan berdahak namun dahak tidak dapat keluar. Ibu pasien
sudah membawa pasien ke dokter umum dan diberikan obat batuk puyer dan
antibiotik sirup, namun batuk belum berkurang dan muncul keluhan sesak. Sesak
baru pertama kali dirasakan oleh pasien. Keluarga pasien yaitu ayah kandung
mempunyai riwayat asma, kambuh terutama jika terpapar udara dingin. Tidak ada
keluhan seperti kejang, penurunan kesadaran, mual ataupun muntah. BAK dalam
batas normal, berwarna kuning muda. BAB juga dalam batas normal, tidak ada
BAB cair, berwarna kehitaman, disertai lender ataupun darah.

2.2.3 Riwayat Penyakit Dahulu


Tidak ada riwayat penyakit alergi (-), penyakit jantung bawaan (-),
hipertensi (-), diabetes melitus (-).

2.2.4 Riwayat Penyakit Keluarga


Riwayat asma (+) pada ayah kandung pasien. Riwayat DM (-) HT (-).

2.2.5 Pertumbuhan dan Perkembangan Anak

Berat badan lahir : 3700 gram

Panjang badan lahir : 51 cm

Berat badan sekarang : 16 kg

Tinggi badan sekarang : 104 cm

Gigi keluar : 8 bulan

Tengkurap : 4 bulan

Duduk : 7 bulan

7
Berdiri : 1 tahun 2 bulan

Berjalan : 1 tahun 4 bulan

Berbicara : 1 tahun

2.2.6 Makan dan Minum Anak


ASI : sejak lahir hingga usia 2 tahun
Susu formula : sejak usia 1 tahun hingga sekarang
Makanan lunak : mulai 6 bulan
Makanan padat : mulai usia 1 tahun

2.2.7 Pemeriksaan Prenatal


Periksa di : Bidan
Penyakit kehamilan : Tidak ada
Obat-obat yang sering diminum : Tidak ada

2.2.8 Riwayat Kelahiran


Lahir di : Rumah Sakit
Ditolong oleh : Bidan
Usia dalam kandungan : Aterm
Jenis partus : Spontan pervaginam

2.2.9 Imunisasi
Status imunisasi (BCG, polio, campak, DPT, dan hepatitis B) lengkap.

2.3 Pemeriksaan Fisik


Keadaan umum : Baik
Kesadaran : Composmentis, GCS E4M6V5
Berat Badan : 16 kg
Tinggi Badan : 104 cm
Tanda Vital : Tekanan Darah 100/60 mmHg
Nadi 128x/menit, regular, kuat angkat
Pernafasan 34x/menit , SpO2 99%

8
Temperatur 36,8o C
Kepala/leher
Rambut : Warna hitam
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sclera ikterik (-/-), pupil isokor,
diameter 3mm/3mm, reflex cahaya (+/+)
Hidung : Sekret hidung (-), pernafasan cuping hidung (-)
Mulut : Lidah kotor (-), faring hiperemis(-), mukosa bibir basah
(+), pembesaran tonsil (-/-), perdarahan mukosa gusi (-),
mimisan (-)
Leher : Pembesaran KGB (-/-)
Thorax
Paru: Inspeksi : Tampak simetris, pergerakan simetris,
retraksi supra sternum (-), retraksi
supraclavicula (-),
Palpasi : Pelebaran ICS (-), fremitus raba D=S
Perkusi : Sonor
Auskultasi :Vesikuler (+/+), rhonki (-/-),
wheezing(+/+), stridor (-)
Jantung: Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis teraba di ICS 5
Perkusi : Normal pada batas jantung
Auskultasi : S1S2 kesan normal, murmur (-)

Abdomen
Inspeksi : datar, scar (-)
Palpasi : nyeri tekan epigastrium (-), organomegali (-)
Perkusi : Timpani, shifting dullness(-), asites (-)
Auskultasi: Bising usus (+) kesan normal.

Ekstremitas
Ekstremitas superior : Akral hangat, lembap (-/-), edema (-/-), CRT <2”
Ekstremitas inferior : Akral hangat, lembap (-/-), edema (-/-), CRT <2”

9
2.4 Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan darah lengkap

Hematologi 21/04/19 Nilai Rujukan


Leukosit 9.16 4.50-14.50/uL

Hemoglobin 12.2 12.0-16.0g/dL

Hematokrit 35.4 35.0-45.0%

Trombosit 246 150-450/uL

GDS 90

Natrium 143 135-155 mmol/L

Kalium 4.1 3.6-5.5 mmol/L

Chloride 108 98-108 mmol/L

10
b. Pemeriksaan Foto Thorax AP (21/04/19)

Gambaran bronchovascular pattern meningkat dengan air bronchogram (+)

Kesan: asma bronkial


infeksi sekunder/bronchitis

2.5 Diagnosis Kerja (IGD)


Obs. Dispnea Susp. Asma dd BP

2.6 Tatalaksana (IGD)


 IVFD D5 ½ NS 1.000 cc/24 jam
 Nebu ventolin 1 resp + pulmicort ½ resp per 4-6 jam
 O2 nasal kanul 2 lpm
 Dexamethasone 5 mg (ekstra)
 PCT IV 160 mg k/p

11
Hasil Follow Up

Tanggal Pemeriksaan Terapi

22/04/2019 S: Batuk (+) berdahak tapi dahak P :


tidak bisa keluar, sesak (-),
- IVFD D5 ½ NS 1000
demam (-)
cc/24 jam
O: KU baik, kesadaran CM,
Nadi 130x/i, RR 32x/i, Suhu 36,7oC, IV:
TD 100/60 mmHg, SpO2 97% - Dexa 5 mg (extra)
- PCT 160 mg k/p
Thoraks : simetris, retraksi (-),
wheezing (+/+)
- Nebu ventolin 1 resp +
pulmicort ½ resp (3 kali
Lab DL (21/04/19)
sehari)
 Leukosit : 9.160
 Hb : 12.2
 Ht : 35.4
 Plt : 246.000
 GDS : 90
 Na : 143
 K : 4.1
 Cl : 108

A: Obs. Dispnea Susp. Asma dd BP


23/04/2019 S: Batuk berkurang, sesak (-), P :
demam (-)
- IVFD Kaen 1B 1.300
O: KU baik, kesadaran CM, cc/24 jam
Nadi 128x/i, RR 30x/i, Suhu 36,7oC,
TD 90/60 mmHg, SpO2 98% PO:
- Erythromicin 3 x 1 cth
Thoraks : simetris, retraksi (-), - CTM 1,6 mg +
wheezing (+/+) minimal salbutamol 1,6 mg +

12
NAC 160 mg (3 x 1

A: Asma bronkial pulv)


- Cetirizine 1 x ¾ cth
- PCT 3 x 1 cth

- Nebu ventolin 1 resp +


pulmicort ½ resp (3 kali
sehari)
24/04/2019 S: Batuk berkurang, sesak (-), P :
demam (-)
- KRS
O: KU baik, kesadaran CM,
Nadi 112x/i, RR 28x/i, Suhu 36,4oC,
TD 100/60 mmHg, SpO2 98%

Thoraks : simetris, retraksi (-),


wheezing (-/-)

Foto thoraks AP (21/04/19):


Gambaran bronchovascular pattern
meningkat dengan air bronchogram
(+)

Kesan: asma bronkial


infeksi sekunder/bronchitis

A: Asma bronkial

13
BAB 3
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Definisi
Status asmatikus adalah suatu serangan eksaserbasi akut asma yang tidak
responsif dengan pengobatan asma pada umumnya yaitu dengan pemberian
nebulasi B agonis (bronkodilator) sebanyak 3 kali tetapi tidak memberikan respon
yang baik. Serangan pada status asmatikus dapat terjadi dari yang ringan sampai
yang berat tergantung dari tingkat obstruksi pada bronkus yang disebabkan oleh
bronkokonstriksi, sekresi mukus dan inflamasi pada saluran pernapasan.
Semuanya itu dapat menyebabkan gejala berupa sesak napas, retensi dari
karbondioksida, hipoksemia dan kegagalan pernapasan.2

Asma adalah suatu inflamasi kronik pada saluran pernapasan pada paru
yang menyebabkan terjadinya obstruksi pada bronkus secara episodik, bersifat
reversible, umumnya berlangsung selama beberapa menit sampai beberapa jam
dan secara klinis dapat pulih secara normal.7

3.2 Etiologi
Menurut Somantri (2008), berdasarkan etiologinya, asma bronkial dapat
diklasifikasikan menjadi 3 tipe, yaitu:

1. Ekstrinsik (alergik)
Tipe asma ini merupakan jenis asma yang ditandai dengan reaksi alergi
oleh karena faktor-faktor pencetus yang spesifik, seperti debu, serbuk bunga,
bulu binatang, obat-obatan (antibiotik dan aspirin) dan spora jamur. Asma
ekstrinsik sering dihubungkan dengan adanya suatu predisposisi genetik
terhadap alergi. Paparan terhadap alergi akan mencetuskan serangan asma.
Gejala asma umumnya dimulai saat kanak-kanak.
2. Intrinsik (idiopatik atau non alergik)

Tipe asma ini merupakan jenis asma yang ditandai dengan adanya reaksi
non alergi yang bereaksi terhadap pencetus yang tidak spesifik atau tidak
diketahui, seperti udara dingin atau bisa juga disebabkan oleh adanya infeksi
saluran pernapasan, emosi dan aktivitas. Serangan asma ini menjadi lebih

14
berat dan sering sejalan dengan berlalunya waktu dan dapat berkembang
menjadi bronkitis kronik dan emfisema. Pada beberapa pasien, asma jenis ini
dapat berkembang menjadi asma gabungan. Bentuk asma ini biasanya dimulai
pada saat dewasa (usia > 35 tahun).

3. Asma gabungan

Jenis asma ini merupakan bentuk asma yang paling umum dan sering
ditemukan. Asma ini mempunyai karakteristik dari bentuk alergi maupun
bentuk idiopatik atau nonalergik.

Asma terjadi akibat sejumlah faktor, termasuklah faktor predisposisi genetik,


dan faktor lingkungan. 1,2.9

 Alergen inhalasi (biasanya pada pasien dengan riwayat atopi)

 Infeksi virus (terutama pada bayi dan anak kecil)

 Infeksi saluran pernapasan bagian atas

 Polusi udara (debu, asap rokok, sisa industry)

 Medikasi (beta-blocker, aspirin, NSAID)

 Gastroesophageal reflux disease (dari suatu penelitian refluks dari isi


lambung, teraspirasi atau tidak, bisa menginduksi asma pada anak-anak
dan dewasa yang beresiko)

 Suhu dingin

 Latihan atau olahraga

 Iritan (Hairspray, minyak wangi, asap rokok, cerutu dan pipa, bau tajam
dari cat, SO2, dan polutan udara yang berbahaya lainnya, juga udara
dingin dan air dingin.Iritasi hidung dan batuk dapat menimbulkan refleks
bronkokonstriksi)

15
3.3 Epidemiologi
Di seluruh dunia, insidensi terjadinya asma diperkirakan ada kurang lebih
20 juta kasus, di mana 15% dari angka tersebut terjadi pada anak-anak.
Peningkatan insidens kasus asma di seluruh dunia adalah akibat dari polusi dan
industrialisasi. Dari hipotesis higienis, perbaikan dalam imunisasi dan kesehatan
masyarakat akan berkontribusi dalam peningkatan insidens kasus asma. Pada
bayi, asma pada laki-laki lebih parah dari perempuan. Pada anak-anak yang lebih
tua, keparahan dan insidensi asma kurang lebih sama banyak pada laki-laki dan
perempuan. Tapi pada dewasa, insidens asma lebih banyak pada wanita.2

Asma merupakan penyakit kronik yang paling umum di dunia, dimana


terdapat 300 juta penduduk dunia yang menderita penyakit ini. Asma dapat terjadi
pada anak-anak maupun dewasa, dengan prevalensi yang lebih besar terjadi pada
anak-anak (GINA, 2003).
Dalam dua puluh tahun terakhir ini angka kejadian asma cenderung
meningkat baik Menurut data studi Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) di
berbagai propinsi di Indonesia, pada tahun 1986 asma menduduki urutan kelima
dari sepuluh penyebab kesakitan (morbiditas) bersama-sama dengan bronkitis
kronik dan emfisema. Pada SKRT 1992, asma, bronkitis kronik, dan emfisema
sebagai penyebab kematian (mortalitas) keempat di Indonesia atau sebesar 5,6%.
Lalu pada SKRT 1995, dilaporkan prevalensi asma di seluruh Indonesia sebesar
13 per 1.000 penduduk (PDPI, 2006). dinegara maju maupun negara
berkembang. Prevalensi asma di dunia diperkirakan 7,2% (6% pada dewasa dan
10% pada anak). Prevalensi tersebut sangat bervariasi, baik antar negara, bahkan
antar daerah disuatu negara.4Dari hasil penelitian Riskesdas, prevalensi penderita
asma di Indonesia adalah sekitar 4%. Menurut Sastrawan, dkk (2008), angka ini
konsisten dan prevalensi asma bronkial sebesar 5–15%. 7

3.4 Patogenesis

Early bronchospastic response

Salah satu yang memegang peranan penting pada patogenesis asma adalah
sel mast. Sel mast dapat terangsang oleh berbagai pencetus misalnya alergen,

16
infeksi, excercise, dsb. Bila alergen sebagai pencetus masuknya alergen ke dalam
tubuh akan direspon oleh makrofag yang berkerja sebagai Antigen Presenting Cell
(APC) yang kemudian akan diproses didalam sel APC dan selanjutnya alergen
tersebut akan dipresentasikan ke sel limfosit T dengan bantuan molekul-molekul
Major Histocompatibility Complex ( MHC class II), maka limfosit T akan
membawa ciri antigen tertentu (spesifik), kemudian teraktivasi, berdiferensiasi
dan berploriferasi. Limfosit T spesifik (Th2) dan produknya akan mempengaruhi
dan mengontrol limfosit B atau sel plasma atau sel pembentuk antibodi lainnya
untuk menghasilkan antibodi reagenik yang disebut Imunoglobulin E (IgE).
Selanjutnya IgE akan beredar dan menempel pada reseptor yang sesuai pada
dinding sel mast. Sel mast yang demikian disebut sel mat yang tersensitisasi.
Apabila alergen serupa masuk kedalam tubuh , alergen itu akan menempel pada
sel mast yang tersensitisasi dan kemudian akan terjadi degradasi dinding dan
degranulasi sel mast. terjadinya pelepasan mediator inflamasi, termasuk histamin,
prostaglandin D2, leukotriene C4. Semua bahan ini akan menyebabkan kontraksi
dari otot salur pernafasan, peningkatan permeabilitas kapiler, sekresi mukus, dan
aktivasi refleks neuronal. Fase ini ditandai dengan terjadinya bronkokonstriksi
yang biasanya bisa diobati dengan bronkodilator, seperti agen beta-2-agonis.1,2

17
Later inflammatory response

Setelah antigen dipresentasikan ke limfosit T, maka limfosit yang


mempunyai berbagai kemampuan antara lain menyebabkan akumulasi dan
aktivasi leukosit terutama eosinofil yang merupakan sel inflamasi khusus pada
asma. Limfokin-limfokin tersebut adalah Interleukin yaitu : IL-3, Il-4, IL-5, IL-9,
Il-13, Granulocytemacrophagecolony stimulating factor (GM-CSF). 11

Terjadi pelepasan mediator inflamasi akibat menempelnya adhesion


molecules di epitelium saluran pernafasan dan endotel kapiler. Sel-sel inflamasi
seperti eosinofil, netrofil, dan basofil akan berhubungan dengan epitelium dan
endothelium dan akhirnya akan bermigrasi ke jaringan salur pernafasan. Eosinofil
akan melepaskan eosinophilic cationic protein (ECP) dan major basic protein
(MBP). Kedua ECP dan MBP akan menginduksi deskuamasi dari epitelium
saluran pernafasan yang menyebabkan kerusakan epitel jalan napas dan akan
menyebabkan terpaparnya ujung-ujung saraf. Proses ini akan menginduksi lebih
banyak terjadinya hiperrespons pada asma.1,2

Kay membagi obstruksi bronkus atas 3 fase utama yaitu :1,8

1. Fase cepat (spasmogenik)


Fase cepat identik denganrespon awal yang terlihat pada uji
provokasibronkus. Ciri utamanya adalah pelepasan histamin sebagai

18
mediator utama yangmengakibatkan spasme otot polos bronkus,reaksi ini
terjadi sangat cepat dan berakhir setelah 1-2 jam. Reaksi dapat
menghilangdengan sendirinya atau kemudian diikuti faselambat menetap.

2. Fase lambat menetap (late,sustained),


Fase lambat menetap ditandaiakumulasi sel-selneutrofil 4 – 8 jam setelah
rangsangan, dengan mediator utamanya adalah leukotrin, prostaglandin
dan tromboksan yang menyebabkan kontraksi otot polos bronkus yang
lama dan edema submukosa. Serangan dapat berlangsung 6-8 jam atau
lebih. Reaksi lambat dapat dihambat dengan pemberian kromoglikat,
kortikosteroid, dan ketotifen sebelumnya.

3. Fase subakut/kronik.
Asma yang berlanjut yang tidak diobati atau kurang terkontrol
berhubungan dengan inflamasi didalam dan disekitar bronkus. Pada fase
subakut, reaksi inflamasi merupakan ciri utamanya dan terdapat infiltrasi
eosinofil dan sel mononuklear. Akhir-akhir ini ditemukan mediator PAF (
Platelet Activating Factor) yang dihasilkan sel mast, basofil dan makrofag
yang dapat menyebabkan hipertrofi otot polos dan kerusakan mukosa
bronkus. PAF juga menyebabkan bronkokonstriksi yang lebih kuat.
Kortikosteroid biasanya memberikan hasil yang baik. Fase lambat
menetap dan fase subakut sangatmempengaruhi terjadinya asma kronis.

3.5 Manifestasi Klinis


Studi epidemiologi menunjukkan bahwa asma tidak terdiagnosis di seluruh
dunia, disebabkan berbagai hal antara lain gambaran klinis yang tidak khas dan
beratnya penyakit yang sangat bervariasi, serta gejala yang bersifat episodik
sehingga penderita tidak merasa perlu berobat ke dokter. Diagnosis asma didasari
oleh gejala yang bersifat episodik, gejala berupa batuk, sesak napas, mengi, rasa
berat di dada dan variabilitas yang berkaitan dengan cuaca. Anamnesis yang baik
cukup untuk menegakkan diagnosis, ditambah dengan pemeriksaan jasmani dan
pengukuran faal paru terutama reversibiltas kelainan faal paru akan lebih
meningkatkan nilai diagnostik. 10

19
Riwayat penyakit atau gejala : 9

1. Bersifat episodik, seringkali reversibel dengan atau tanpa pengobatan.


2. Gejala berupa batuk berdahak, sesak napas, rasa berat di dada.
3. Gejala timbul/memburuk terutama malam/dini hari.
4. Diawali oleh factor pencetus yang bersifat individu.
5. Responsif terhadap pemberian bronkodilator.

Serangan batuk dan mengi yang berulang lebih nyata pada malam hari
atau bila ada beban fisik sangat karakteristik untuk asma. Walaupun demikian
cukup banyak asma anak dengan batuk kronik berulang, terutama terjadi pada
malam hari ketika hendak tidur, disertai sesak, tetapi tidak jelas mengi dan sering
didiagnosis bronkitis kronik. Pada anak yang demikian, yang sudah dapat
dilakukan uji faal paru (provokasi bronkus) sebagian besar akan terbukti adanya
sifat-sifat asma. 5
Batuk malam yang menetap dan yang tidak tidak berhasil diobati dengan
obat batuk biasa dan kemudian cepat menghilang setelah mendapat bronkodilator,
sangat mungkin merupakan bentuk asma. 9
3.6 Diagnosis
Anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan darah lengkap dapat
dipakai untuk menegakkan diagnosis leukemia. Anamnesis penting dilakukan
secara rinci dan lengkap mulai dari keluhan, onset, dan faktor resiko yang
dimiliki. Pemeriksaan awal dilakukan untuk menentukan kondisi pasien dan
mencari resiko untuk terjadinya gagal nafas. Episode akut asma bisa bermula
dengan simptom yang ringan seperti dyspnea. Dengan obstruksi saluran
pernafasan yang semakin memburuk, respiratory distress, termasuk retraksi,
penggunaan otot abdomen sewaktu ekspirasi, dan tidak bisa berbicara satu atau
dua kata bisa ditemukan. Terjadi gangguan ventilasi dan perfusi mengakibatkan
penurunan saturasi oksigen dan hipoksia. Tanda vital bisa menunjukkan takikardia
dan hipertensi. Peak flow rate haruslah diperiksa sebagai tanda vital pada anak-
anak yang kooperatif. Jika tidak diberi pengobatan, obstruksi saluran nafas yang
lama dan usaha untuk bernafas yang meningkat bisa menyebabkan bradikardia,
hipoventilasi, dan cardiorespiratory arrest.

20
Pemeriksaan umum1,2,3,4

o Takikardia dan takipnea, tekanan darah mungkin meningkat. Pasien


dengan eksaserbasi ringan terjadi hipoksia dan penurunan saturasi
oksigen. Fase ekspirasi memanjang dengan wheezing bisa ditemukan.

o Anak dengan status asmatikus bisa dehidrasi karena asupan makanan


atau minuman buruk, muntah, dan usaha untuk bernafas yang
meningkat.

o Retraksi interkostal, subkostal, penggunaan otot abdomen bisa dilihat

o Pasien dengan asma sedang sampai berat biasanya tidak bisa berbicara
dengan ayat penuh.

o Tingkat kesadaran bervariasi dari sadar penuh sampai koma. Jika


hipoksemia memburuk, pasien yang letargi menjadi agitasi. Dengan
meningkatnya obstruksi pada unit paru, hipoksemia memburuk lalu
hiperkarbia terjadi. Kedua hipoksemia dan hiperkarbia bisa
mengakibatkan kejang dan koma, dan merupakan tanda akhir dari
respiratory compromise.

Pemeriksaan sistem respiratorik2,3,4

o Pada auskultasi selalu ditemukan wheezing bilateral pada ekspirasi.


Wheezing, terjadi akibat udara melalui saluran pernafasan yang
menyempit akibat obstruksi. Terjadi sewaktu ekspirasi, karena
turbulensi udara.

o Suara nafas inspirasi bisa normal, berkurang atau tidak ada tergantung
keparahan penyakit. Silent chest (suara mengi yang lemah)bisa
ditemukan pada pasien yang sudah terjadi impending respiratory
failure, di mana sudah terjadi obstruksi yang berat atau terlalu lelah
untuk menghasilkan wheezing.

o Pada pasien status asmatikus sedang sampai berat, penggunaan otot


abdomen bisa mengakibatkan sakit abdomen.

21
Klasifikasi Derajat Berat Asma Berdasarkan gambaran klinis (sumber : PDPI,
2006)3,4

Derajat Asma Gejala Gejala malam Faal paru

Intermitten o Gejala < 1x/ o ≤2 kali sebulan o VEP1 ≥ 80 % nilai


minggu prediksi
(Bulanan) o APE ≥80 % nilai
o Tanpa gejala di luar
terbaik
serangan o Variabilitas APE <
o Serangan singkat 20 %

Persisten o Gejala > 1x / o > 2x sebulan o VEP1 ≥ 80 % nilai


ringan minggu, tetapi < 1x/ prediksi
hari o APE ≥80 % nilai
(mingguan) o Serangan dapat terbaik
o Mengganggu o Variabilitas APE
aktivitas dan tidur 20 -30%

Persisten o Gejala setiap hari o > 1x seminggu o VEP1 60 - 80 %


sedang o Serangan nilai prediksi
mengganggu o APE 60 - 80 % nilai
(harian) aktivitas dan tidur terbaik
o Membutuhkan o Variabilitas APE
bronkodilator setiap >30 %
hari
Persisten berat o Gejala terus o Sering o VEP1 ≤60 % nilai
menerus prediksi
(kontinyu) o Sering kambuh o APE ≤ 60 % nilai
o Aktivitas fisik terbaik
terbatas o Variabilitas APE
>30%

Pemeriksaan Penunjang

Pemilihan jenis pemeriksaan tergantung dari data riwayat penyakit dan


kondisi pasien.2

22
1. Pulse oximetry memberikan evaluasi saturasi oksigen, yang sangat penting
karena penyebab kematian utama pada status asmatikus adalah hipoksia.
Keuntungan penggunaan pulse oximetry adalah ia mudah didapatkan, tidak
invasive, menunjukkan monitoring yang berterusan, dan merupakan
indikator yang baik untuk hipoksemia akibat gangguan ventilasi/perfusi
mismatch.
2. Pengukuran elektrolit serum adalah sangat penting, terutama untuk
memonitor kadar kalium serum. Obatan yang digunakan untuk mengobati
status asmatikus bisa menyebabkan hipokalemia. Nilai pH yang rendah
bisa menyebabkan peningkatan transien dari kalium.
3. Kadar glukosa serum bisa meningkat akibat stress, penggunaan agen beta-
agonis, seperti epinefrin, dan penggunaan kortikosteroid. Namun, akibat
penyimpanan yang tidak baik, hipoglikemia bisa terjadi pada anak-anak
yang lebih muda.
4. Pemeriksaan analisa gas darah untuk mengukur kadar oksigen dan
karbondioksida didalam darah yang mengindikasikan terjadinya hipoksia
dan hipoksemia. Serta untuk mengetahui apakah telah terjadi asidosis atau
alkalosis dengan mengukur Ph dan HCO3-.
5. Pemeriksaan darah lengkap, urin kengkap dan feces, bisa mengindikasikan
ada infeksi bakteria; tapi dengan penggunaan beta-agonis dan
kortikosteroid bisa mengubah komposisi dari sel darah putih dengan
meningkatkan hitung sel darah putih perifer.
6. Uji faal paru dikerjakan untuk menentukan derajat obstruksi ,menilai hasil
provokasi bronkus, menilai hasil pengobatan, dan mengikuti perjalanan
penyakit. Pemeriksaan faal paru yang penting pada asma adalah aliran
puncak ekspirasi (APE), Volume kapasitas paksa (FVC), Volume ekspirasi
selama 1 detik (VEP1). Memonitor peak flow merupakan suatu
pengukuran objektif terhadap obstruksi saluran pernafasan pada anak yang
cukup berusia dan kooperatif, dan bisa mentolerir pemeriksaan ini tanpa
memperparah penyakit yang dideritainya.1
7. Uji provokasi bronkus dilakukan bila diagnosis masuk diragukan.
Tujuannya untuk menunjukkan adanya hipereaktivitas bronkus. Dapat

23
dilakukan dengan histamine, metakolin,beban lari, udara dingin, uap air,
allergen. Hipereaktivitas bronkus positip aliran puncak ekspirasi (APE),
Volume ekspirasi selama 1 detik (VEP1) menurun > 15% dari nilai uji
provokasi sebelumnya dan setelah diberi bronkodilator nilai normal akan
tercapai lagi. Bila APE dan VEP1 sudah rendah dan setelah diberi
bronkodilator naik >15% berarti hipereaktivitas positip dan uji provokasi
tidak perlu dilakukan.1

PEMERIKSAAN RADIOLOGI2

Pemeriksaan foto thoraks diindikasikan pada anak-anak dengan presentasi


yang atipikal atau yang tidak berespon terhadap terapi. Pada anak-anak yang
sudah diketahui menderita asma, pemeriksaan foto thoraks dilakukan jika curiga
menderita pneumonia, pneumothoraks, pseudomediastinum atau atelektasis yang
signifikan.

3.7 Diagnosis Banding


 Benda asing di saluran pernafasan

 Sindrom aspiraasi

 Bronkiektasis

 Cystic fibrosis

 Congestive Heart Failure

 Cedera inhalasi

 Limfadenopati

 Infeksi RSV

 Trakeomalasia
3.8 Penatalaksanaan

Menurut guidelines yang didapatkan dari National Asthma Education and


Prevention Program (NAEPP) of America Expert Panel, penanganan atau

24
perawatan terhadap seseorang anak dengan asma termasuklah rawat jalan yang
intensif dengan medikasi dan intervensi lingkungan. Rawat inap di rumah sakit
merupakan suatu kagagalan dalam penanganan pasien rawat jalan. Penanganan
pasien dengan status asmatikus adalah seperti berikut:2

 Oksigen

Oksigenasi digunakan untuk membantu mengkoreksi ventilasi dan perfusi.


Bisa diberikan menggunakan nasal kanul atau face mask. Jika terjadi
hipoksemia yang signifikan, nonbreathing mask bisa digunakan untuk
memberikan sebanyak-banyaknya 98% oksigen. Tujuan pemberian
oksigen adalah untuk mencapai saturasi oksigen di atas 90%.

 Beta-agonis inhalasi

Albuterol atau salbutamol, dan terbutalin merupakan terapi akut untuk


asma. Obat-obat ini menstimulasi cyclic adenosine monophosphate (AMP)
untuk memediasi terjadinya bronkodilatasi. Salur pernafasan mempunyai
banyak reseptor beta. Dengan menstimulasi reseptor ini, otot salur
pernafasan berelaksasi, pembersihan mukosiliar meningkat, dan produksi
mukus menurun. Administrasi obat ini melalui nebulisasi inhalasi biasanya
merupakan cara yang paling efektif.

 Kortikosteroid

Kortikosteroid seperti metilprednisolon, prednisolon atau prednisone,


merupakan terapi yang penting dalam pengobatan status asmatikus. Ia
digunakan untuk mengurangi inflamasi salur pernafasan yang berat dan
edema pada asma. Selain itu kortikosteroid dikatakan membantu
meningkat efek obat beta-agonis. Kortikosteroid bisa diberikan secara
intravena atau oral. Walaupun kebanyakan dokter memberikan
kortikosteroid secara intravena pada kasus status asmatikus , terdapat
penelitian yang mengatakan bahwa pemberian kortikosteroid secara oral
adalah sama efektif dengan pemberian kortikosteroid secara intravena.

25
 Antikolinergik

Agen antikolinergik menghalang terjadinya bronkokonstriksi dengan


menghambat cyclic guanosine monophosphate (GMP). Ia juga
mengakibatkan menurunnya produksi mukus dan meningkatkan
pembersihan mukosiliar.

Penanganan serangan asma berat

1. Bila dengan 3 kali nebulisasi berturut-turut pasien tidak menunjukkan respon


(poor renponse), yaitu gejala dan tanda serangan masih ada (penilaian ulang
sesuai pedoman) pasien harus dirawat inap.
2. Oksigen 2-4 lpm diberikan sejak awal termasuk saat nebulisasi.
3. Dipasang jalur parenteral dan dilakukan foto thoraks.
4. Bila pasien menunjukkan gejala dan tanda ancaman henti napas, pasien harus
langsung dirawt di ruang intensif. Pada pasien dengan serangan berat dan
ancaman henti napas, foto toraks harus langsung dibuat untuk mendeteksi
komplikasi pneumotoraks dan/atau pneumomediastinum.
5. Jika ada dehidrasi dan asidosis, diatasi dnegan pemberian cairan intravena dan
koreksi terhadap asidosis.
6. Steroid intravena diberikan secara bolus, tiap 6-8 jam.
7. Dosis steroid intrvena 0,5-1 mg/kgBB/hari.
8. Nebulisasi β- agonis + antikolinergik dengan oksigen dilanjutkan tiap 1-2 jam,
jika dengan 4-6 kali pemberian mulai terjadi perbaikan klinis, jarak pemberian
dapat diperlebar menjadi tiap 4-6 jam.
9. Aminofilin diberikan secara intravena dengan ketentuan sebagai berikut:
- Jika pasien belum mendapat aminofilin sebelumnya, diberikan aminofilin
dosis awal (inisial) sebesar 6-8 mg/kgBB dilarutkan dalam D5% atau NaCl
sebanyak 20 ml, diberikan dalam 20-30 menit.
- Jika pasien telah mendapat aminofilin sebelumnya (kurang dari 4 jam),
dosis yng diberikan adalah setengah dosis inisial.
- Sebaiknya kadar aminofilin dalam darah diukur dan dipertahankan sebesar
10-20 mcg/ml.

26
- Selanjutnya, aminofilin dosisi rumatan diberikan sebesar 0,5-1
mg/kgBB/jam.
- Jika telah terjadi perbaikan klinis, nebulisasi diteruskan setiap 6 jam,
sampai dengan 24 jam.
10. Steroid dan aminofilin diganti dengan pemberian per oral.
11. Jika dalam 24 jam pasien tetap stabil, pasien dapat dipulangkan dengan
dibekali obat β-agonis (hirupan atau oral) yang diberikan tiap 4-6 jam selama
24-48 jam. Selain itu, steroid oral dilanjutkan hingga pasien kontrol ke klinik
rawat jalan dalam 24-48 jam untuk evaluasi ulang tata laksana.
12. Ancaman henti napas, hipoksemia tetap terjadi walaupun sudah diberi oksigen
(kadar PaO2 < 60 mmHg dan.atau PaCO2 > 45 mmHg). Pada ancaman henti
napas diperlukan ventilasi mekanik.

Tindak lanjut bila terjadi kegagalan terapi

a. Asidosis respiratorik

 Ventilasi diperbaiki
 Pemberian Na Bikarbonat

b. Hipoksia berat ( PaO2 < 50 mmHg )

 Pemberian O2 4- 6 L/m dengan ventilasi mask


c. Gagal napas akut

 alat bantu napas ( ventilator mekanik )


syarat :
 apneu
 kenaikan PaCO2 > 5 mmHg / jam disertai asidosis . respiratorik
akut
 Nilai absolut PaCO2 > 50 mmHg disertai asidosis . respiratorik
akut
 Hipoksia refrakter walau sudah diberi O2

PENANGANAN LANJUT

27
Pasien yang dirawat di rumah sakit2

 Indikasi dirawat di ICU

o Kesadaran dan sensoris terganggu

o Penggunaan terapi beta-agonis inhalasi

o Pasien kelelahan

o Kemasukan udara atau inspirasi yang menurun mendadak

o Peningkatan PCO2 walaupun dengan pengobatan

o Adanya faktor resiko

o Kondisi pasien tidak membaik walaupun terapi mencukupi

 Indikasi untuk intubasi dan ventilasi mekanis

o Apnea atau respiratory arrest

o Kesadaran menurun

o Impending respiratory failure, ditandai dengan peningkatan PCO2


dan kelelahan/capek, penurunan pergerakan udara, dan penurunan
kesadaran

o Hipoksemia signifikan, yang berespon buruk atau tidak berespon


kepada terapi oksigen tambahan

 Kateter arteri yang menetap (indwelling arterial catheters): tindakan


memasang kateter arteri bisa digunakan untuk memonitor tekanan darah
yang berterusan, dan untuk mengambil sampel untuk analisa gas darah
arteri pada pasien dengan ventilasi mekanis. Gas darah dimonitor untuk
menilai respon pasien terhadap ventilasi mekanis.

Pasien yang dirawat jalan1,2

28
 Follow-up pasien yang dirawat jalan dan perawatan yang berterusan
terhadap pasien yang pernah dirawat di ICU pediatrik karena status
asmatikus yang parah adalah sangat penting untuk mengoptimalkan hasil
jangka panjang dan kualitas hidup dan meminimalkan episode eksaserbasi
asma parah.

 Antara yang penting dan harus diperhatikan adalan obat-obatan untuk


diambil di rumah, seperti anti-inflamasi. Kortikosteroid sekarang dianggap
sebagai salah satu terapi utama untuk pengobatan maintenance terhadap
asma. Ada studi mengatakan bahwa penggunaan anti-inflamasi yang
kurang berhubungan dengan asma yang lebih parah. Ini karena terjadinya
remodeling dari salur pernafasan, dan perubahan dari proses inflamasi
pada tubuh yang persisten.

 Untuk eksaserbasi akut disarankan untuk menggunakan bronkodilator.

 Perubahan atau kontrol terhadap lingkungan juga perlu pada anak dengan
asma yang berhubungan dengan alergi yang berkaitan dengan lingkungan.

Pindah ruangan2

Anak yang dirawat di ICU karena status asmatikus yang parah bisa dipindah ke
ruangan yang biasa jika pasien telah memenuhi kriteria berikut:

 Pasien telah diekstubasi.

 Pasien telah tidak bergantung kepada terapi beta-agonis berterusan secara


intravena (seperti terbutalin, aminofilin) dan kondisinya stabil dengan
penggunaan terapi beta-agonis inhalasi/aerosol secara intermiten.

 Pasien bisa mentoleransi pengurangan penggunaan albuterol berterusan;


dengan menggunakan nebulisasi albuterol secara intermiten pada frekuensi
yang bisa dilakukan di ruangan biasa.

 Status hemodinamiknya telah stabil.

29
3.9 Komplikasi

Komplikasi yang bisa terjadi termasuk:2,3,4

1. Cardiac arrest

2. Gagal nafas atau respiratory arrest

3. Hipoksemia dengan cedera susunan saraf pusat yang hipoksik dan iskemik

4. Pneumothoraks atau pneumomediastinum

5. Toksisitas dari obat-obatan

3.10 Prognosis
Mortalitas akibat asma jumlahnya kecil. Gambaran yang paling akhir
menunjukkan kurang dari 5000 kematian setiap tahun dari populasi berisiko yang
jumlahnya kira-kira 10 juta penduduk. Angka kematian cenderung meningkat di
pinggiran kota dengan fasilitas kesehatan terbatas. 9
Informasi mengenai perjalanan klinis asma menyatakan bahwa prognosis
baik ditemukan pada 50–80% pasien, khususnya pasien yang penyakitnya ringan
dan timbul pada masa kanak-kanak. Jumlah anak yang masih menderita asma 7–
10 tahun setelah diagnosis pertama bervariasi dari 26–78% dengan nilai rata-rata
46%, akan tetapi persentase anak yang menderita ringan dan timbul pada masa
kanak-kanak. Jumlah anak yang menderita asma penyakit yang berat relatif berat
(6 –19%). Secara keseluruhan dapat dikatakan 70–80% asma anak bila diikuti
sampai dengan umur 21 tahun asmanya sudah menghilang. 9
Prognosis pada pasien dengan status asmatikus pada umumnya baik apabila
dilakukan penanganan yang tepat dan cepat. 2

30
BAB 4

PEMBAHASAN

Anamnesis

Teori Kasus

Asma memiliki gambaran klinis yang tidak Pasien datang dengan keluhan:
khas dan beratnya penyakit yang sangat
 Sesak muncul mendadak dan
bervariasi, dari anamnesis dapat ditemukan :
dirasakan semakin memberat.

 Bersifat episodik, seringkali  Sesak muncul pada dini hari


reversibel dengan atau tanpa yaitu pukul 24.00 malam.
pengobatan.  Sesak didahului batuk
 Gejala berupa batuk berdahak, sesak berdahak dan pilek 2 hari
napas, rasa berat di dada. SMRS.

 Gejala timbul/memburuk terutama  Keluarga pasien yaitu ayah


malam/dini hari. kandung mempunyai riwayat

 Diawali oleh factor pencetus yang asma, kambuh terutama jika

bersifat individu. terpapar udara dingin.

 Riwayat keluarga dengan asma atau  Saat di IGD pasien telah di

alergi. nebu sebanyak 3 kali namun

 Responsif terhadap pemberian sesak belum berkurang.

bronkodilator.

Status asmatikus adalah suatu serangan


eksaserbasi akut asma yang tidak responsif
dengan pengobatan asma pada umumnya
yaitu dengan pemberian nebulasi B agonis
(bronkodilator) sebanyak 3 kali tetapi tidak
memberikan respon yang baik.

31
Pemeriksaan Fisik

Teori Kasus

Pemeriksaan fisik ditemukan tanda klinis : Pada pasien ditemukan :

 Takikardia dan takipnea, tekanan darah  KU baik, kesadaran


mungkin meningkat. composmentis.
 Takipnea dengan RR 32 kali
 Hipoksia dan penurunan saturasi
/menit
oksigen.
 Saturasi oksigen 97% setelah 4
 Fase ekspirasi memanjang dengan kali nebulasi
wheezing bisa ditemukan.  Wheezing (+/+)
 Makan dan minum dalam batas
 Anak dengan status asmatikus bisa
normal
dehidrasi karena asupan makanan atau
 Retraksi intercostal (-)
minuman buruk, muntah, dan usaha
untuk bernafas yang meningkat.

 Retraksi interkostal, subkostal,


penggunaan otot abdomen bisa dilihat

 Pasien dengan asma sedang sampai


berat biasanya tidak bisa berbicara
dengan ayat penuh.

 Tingkat kesadaran bervariasi dari sadar


penuh sampai koma

Pemeriksaan Penunjang

Teori Kasus

Pemeriksaan Penunjang didapatkan Lab DL (21/04/19)


o Pengukuran elektrolit serum adalah  Leukosit : 9.160
 Hb : 12.2

32
sangat penting, terutama untuk  Ht : 35.4
memonitor kadar kalium serum. Nilai  Plt : 246.000
 GDS : 90
pH yang rendah bisa menyebabkan
 Na : 143
peningkatan transien dari kalium.  K : 4.1
o Kadar glukosa serum bisa meningkat  Cl : 108
akibat stress, penggunaan agen beta-
agonis, seperti epinefrin, dan
Foto thoraks AP (21/04/19):
penggunaan kortikosteroid. Namun,
Gambaran bronchovascular pattern
akibat penyimpanan yang tidak baik,
meningkat dengan air bronchogram
hipoglikemia bisa terjadi pada anak-
(+)
anak yang lebih muda.
Kesan: asma bronkial
o Pemeriksaan analisa gas darah untuk
infeksi sekunder/bronchitis
mengukur kadar oksigen dan
karbondioksida didalam darah yang
mengindikasikan terjadinya hipoksia
dan hipoksemia. Serta untuk
mengetahui apakah telah terjadi
asidosis atau alkalosis dengan
mengukur Ph dan HCO3-.
o Pemeriksaan foto thoraks diindikasikan
pada anak-anak dengan presentasi yang
atipikal atau yang tidak berespon
terhadap terapi. Pada anak-anak yang
sudah diketahui menderita asma,
pemeriksaan foto thoraks dilakukan
jika curiga menderita pneumonia,
pneumothoraks, pseudomediastinum
atau atelektasis yang signifikan.

33
Penatalaksanaan

Teori Kasus
 Oksigen  Nebu ventolin 1 resp +
pulmicort ½ resp per 4-6 jam
Oksigenasi digunakan untuk
 O2 nasal kanul 2 lpm
membantu mengkoreksi ventilasi dan
 Dexamethasone 5 mg (ekstra)
perfusi. Bisa diberikan menggunakan
 PCT IV 160 mg k/p
nasal kanul atau face mask. Jika
terjadi hipoksemia yang signifikan,
nonbreathing mask bisa digunakan
untuk memberikan sebanyak-
banyaknya 98% oksigen.

 Beta-agonis inhalasi

Albuterol atau salbutamol, dan


terbutalin merupakan terapi akut
untuk asma. Obat-obat ini
menstimulasi cyclic adenosine
monophosphate (AMP) untuk
memediasi terjadinya bronkodilatasi.
Administrasi obat ini melalui
nebulisasi inhalasi biasanya
merupakan cara yang paling efektif.

 Kortikosteroid

Kortikosteroid seperti
metilprednisolon, prednisolon atau
prednisone, merupakan terapi yang
penting dalam pengobatan status
asmatikus. Digunakan untuk
mengurangi inflamasi salur

34
pernafasan yang berat dan edema
pada asma. Selain itu kortikosteroid
dikatakan membantu meningkat efek
obat beta-agonis.

 Antikolinergik

Agen antikolinergik menghalang


terjadinya bronkokonstriksi dengan
menghambat cyclic guanosine
monophosphate (GMP). Ia juga
mengakibatkan menurunnya
produksi mukus dan meningkatkan
pembersihan mukosiliar.

35
BAB 5
KESIMPULAN

Telah dilakukan perbandingan antara teori dan kasus pada pasien


perempuan An. DR usia 4 tahun, dengan diagnosis Asma Bronkial. Dari
anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang didapatkan penegakkan
diagnosis dan penatalaksanaan yang telah sesuai dengan literatur yang
mendukung pada kasus tersebut.

36
DAFTAR PUSTAKA

1. Rogayah R. Penatalaksanaan asma bronkial prabedah. J Respir


Indo1995;15:177-81
2. Surjanto E, Hambali S, Subroto H. Pengobatan jalan untuk asma. J Respir
Indo 1988;8:30-5.
3. Alpers JH. The Changing approach to the pharmacotherapy of asthma.
4. dr. Latief A, dr. Napitupulu, dkk. 2007. Ilmu Kesehatan Anak Volume 3.
Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, hal.1203-
28.
5. Status Asthmaticus. Author : Constantine K Saadeh, MD; Chief editor : Zab
Mosenifar, MD. Available at :
http://emedicine.medscape.com/article/2129484-overview. Accessed on 9
Mei 2013
6. UniversitasSumateraUtara.http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/23
341/4/Chapter%20II.pdf. Accessed on 9 Mei 2013
7. UniversitasSumateraUtara.http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/23
277/4/Chapter%20II.pdf. Accessed on 10 Mei 2013
8. Asthma UK; Key facts & statistics.
9. Allergy and asthma proceedings : the official journal of regional and state
allergy societies 33Suppl 1: pg S47-50
10. Ariz Pribadi, Darmawan BS. Serangan Asma Berat pada Asma Episodik
sering. Sari Pediatri Vol. 5, No. 4. Maret 2004: 171 - 177
11. Kay AB. Asthma and inflammation. J Allergy Clin Immunol 1991;5:893-910.
12. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Asma : Pedoman Diagnosis dan
Penatalaksaan di Indonesia. Balai Penerbit FKUI : Jakarta, 2004.
13. Robbins dkk. Buku Ajar Patologi II. Edisi 4. Alih Bahasa : Staf pengajar
Laboratorium Patologi Anatomik Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga.
Penerbit Buku Kedokteran EGC : Jakarta, 1995.
14. Zahorik KJ, Busse WW. Chronic asthma. Hall JB, Corbridge TC, Rodrigo
C, Rodrigo GJ, Acute Asthma. Singapore: McGraw-Hill, 2000 : 232-45

37

Anda mungkin juga menyukai