A. Definisi
B. Epidemiologi
Kejadian striktur uretra telah ditemukan sejak 600 tahun sebelum masehi.
Menurut pendapat para ahli, pada abad ke-19 sekitar 15-20% pria dewasa pernah
mengalami striktur. Pada abad ke-21 ini diperkirakan di Inggris 16.000 pria dirawat di
rumah sakit karena striktur uretra dan lebih dari 12.000 dari mereka memerlukan operasi
dengan biaya 10 juta euro (Guido B, 2015). Estimasi prevalensi di inggris sendiri adalah
10/100.000 pada masa dewasa awal dan meningkat 20/100.000 pada umur 55 sedangkan
pada umur 65 tahun menjadi 40/100.000. Angka ini meningkat terus untuk pasien tua
sampai 100/100.000. Hal yang sama juga dilaporkan di Amerika Serikat (Brian S, dkk,
2016).
Penyakit striktur uretra pada pria menghasilkan lebih dari 5.000 kunjungan rawat
inap setiap tahun. Penyakit striktur uretra tampaknya lebih sering terjadi pada populasi
lanjut usia dan pada pasien kulit hitam. Pasien dengan penyakit striktur uretra tampaknya
memiliki tingkat infeksi saluran kemih (41%) dan inkontinensia (11%) yang tinggi
(Guido B, 2015). Striktur uretra didapat sering terjadi pada laki-laki, namun jarang terjadi
pada wanita, hal ini berhubungan dengan uertra pada wanita lebih pendek dibandingkan
dengan pria sehingga jarang terkena infeksi (F Mandrelli, dkk, 2016).
C. Etiologi
Ada 3 penyebab paling sering terjadinya striktur ureta yaitu, akibat adanya
trauma, infeksi dan iatrogenik. Penyebab striktur uretra akibat trauma berdampak
terjadinya trauma internal maupun eksternal. Pemakaian kateter dan instrumen yang
besar dapat menyebabkan iskemia dan trauma internal, sedangkan trauma eksternal
seperti fraktur pelvis dapat mengganggu uretra membranosa dan menyebabkan striktur
kompleks. Selain akibat dari adanya trauma, striktur uretra juga dapat disebabkan oleh
adanya infeksi. Striktur uretra mendorong kondisi stasis urin, yang mana infeksi saluran
kemih diketahui merupakan efek sekunder akibat volume sisa post-void yang meningkat.
Instrumentasi sering digunakan dalam diagnosis dan manajemen penyakit striktur uretra
menjadi potensi lain yang menyebabkan infeksi, akibat masuknya organisme secara
retrograd melalui uretra yang kemudian berkloni dalam saluran kemih bagian bawah
(Brian S, dkk, 2016).
Striktur traumatik terjadi pada 54% kasus. Sebagian ditangani dengan tunica
albuginea urethroplasty, sedangkan sisanya menggunakan U shaped prostatobulbar
anastomosis. Striktur traumatis memiliki hasil yang baik, sedangkan striktur pasca infeksi
memiliki hasil yang lebih buruk. Segala proses yang melukai lapisan epitelium uretra
atau di bagian korpus spongiosum pada proses penyembuhannnya akan menghasilkan
jaringan parut atau scar. Hal ini akan menyebabkan striktur uretra anterior. Sebagian
besar striktur uretra disebabkan oleh trauma, biasanya stradle trauma. Trauma ini
biasanya tidak dirasakan sampai pasien mengeluh kesulitan BAK yang merupakan tanda
dari obstruksi oleh karena striktur atau scar (Kotb A. Fouad B, 2015).
Karakteristik dari striktur adalah perubahan epitel uretra oleh jaringan fibrosa
padat karena tromboflebitis lokal di korpus spongiosum dalam. Epitel itu sendiri biasanya
utuh, meskipun yang abnormal. Patogenesis striktur belum dipelajari secara luas dan
studi yang ada menyebutkan infeksi sebagai penyebab, meskipun telah ada studi pada
model binatang yang mempelajari trauma elektro-koagulasi pada uretra kelinci sebagai
model cedera iatrogenic (Anger JT, dkk, 2016).
Lokasi dari kelenjar uretra berhubungan dengan tempat kejadian infeksi yang
berhubungan dengan striktur yang mengimplikasikannya sebagai penyebab. Namun, satu-
satunya studi tentang patogenesis penyakit striktur menunjukkan bahwa perubahan yang
utama adalah metaplasia epitel uretra dari normal jenisnya pseudo-kolumnar bertingkat
pada epitel skuamosa berlapis. Ini adalah epitel yang rapuh, dan ini cenderung untuk
robek saat terjadi distensi selama berkemih. Robekan tersebut akan membuat lubang di
epitel menyebabkan ekstravasasi urine saat berkemih yang memicu untuk terbentuknya
fibrosis subepitel (Wessel H, dkk, 2015) dan (Peterson A, dkk, 2017).
a. Kongenital : Hal ini jarang terjadi. Misalnya: Meatus kecil pada meatus ektopik pada
pasien hipospodia. Divertikula kongenital -> penyebab proses striktura uretra.
b. Trauma : Merupakan penyebab terbesar striktura (fraktur pelvis, trauma uretra anterior,
tindakan sistoskopi, prostatektomi,katerisasi).
1. Trauma uretra anterior, misalnya karena straddle injury. Pada straddle injury,
perineal terkena benda keras, misalnya plantangan sepeda sehingga menimbulkan
trauma uretra pars bulbaris.
2. Fraktur/trauma pada pelvis dapat menyebabkan cedera pada uretra posterior. Jadi
seperti kita ketahui, antara prostat dan os pubis dihubungkan oleh ligamentum
puboprostaticum. Sehingga kalau ada trauma disini, ligamentum tertarik, uretra
posterior bisa sobek. Jadi memang sebagian besar striktura uretra terjadi dibagian-
bagian yang ter ksir seperti bulbus dan prostat. Di pars pendulan jarang terjadi cedera
karena sifatnya yang mobile.3. Kateterisasi juga bisa menyebabkan striktura uretra
bila diameter kateter dan diameter lumen uretra tidak proporsional.
c. Infeksi : Seperti uretritis, baik spesi k maupun non spesi k (GO,TBC). Pada uretritis
akut, setelah sembuh jaringan penggantinya sama dengan jaringan asal. Jadi kalau
asalnya epitel squamous, jaringan penggantinya juga epitel squamous. Kalau pada
uretritis kronik, setelah penyembuhan, jaringan penggantinya adalah jaringan brous.
Akibatnya lumen uretra menjadi sempit, dan elastisitas ureter menghilang.
d. TumorTumor bisa menyebabkan striktura melalui dua cara, yaitu proses penyembuhan
tumor yang menyebabkan striktura uretra, ataupun tumornya itu sendiri yang
mengakibatkan sumbatan uretra.
Sesuai dengan derajat penyempitan lumennya, striktur uretra dibagi menjadi tiga
tingkatan:
1. Ringan : jika oklusi yang terjadi kurang dari 1/3 diameter lumen uretra
2. Sedang: jika terdapat oklusi 1/3 sampai dengan 1⁄2 diameter lumen uretra
3. Berat : jika terdapat oklusi lebih besar dari 1⁄2 diameter lumen uretra
Pada penyempitan derajat berat kadang kala teraba jaringan keras di korpus spongiosum
yang dikenal dengan spongiofibrosis (Lumen N, 2009).
GAMBAR 5 : DERAJAT PENYEMPITAN URETRA 2.9 PENATALAKSANAAN
e. Patofisiologi
Struktur uretra terdiri dari lapisan mukosa dan lapisan submukosa. Lapisan
mukosa pada uretra merupakan lanjutan dari mukosa buli-buli, ureter dan ginjal.
Mukosanya terdiri dari epitel kolumnar, kecuali pada daerah dekat orifisium eksterna
epitelnya skuamosa dan berlapis. Submukosanya terdiri dari lapisan erektil vaskular.
Apabila terjadi perlukaan pada uretra, maka akan terjadi penyembuhan cara
epimorfosis, artinya jaringan yang rusak diganti oleh jaringan lain (jaringan ikat) yang
tidak sama dengan semula. Jaringan ikat ini menyebabkan hilangnya elastisitas dan
memperkecil lumen uretra, sehingga terjadi striktur uretra (Purnomo BB, 2007).
Segala proses yang melukai lapisan epitelium uretra atau di bagian korpus
spongiosum pada proses penyembuhannya akan menghasilkan jaringan parut atau scar.
Hal ini akan menyebabkan striktur uretra anterior. Sebagian besar striktur uretra
disebabkan oleh trauma, biasanya stradle trauma. Trauma ini biasanya tidak dirasakan
sampai pasien mengeluh kesulitan BAK yang merupakan tanda dari obstruksi oleh karena
striktur atau scar. Trauma iatrogenik juga dapat menyebabkan striktur uretra. Namun
dengan berkembangnya endoskopi yang kecil dan pembatasan indikasi sistoskopi pada
pria membuat kejadian striktur uretra lebih sedikit. Jejas pada urethra posterior yang
berakibat terjadinya striktur berhubungan dengan fibrosis periurethral yang luas (dr.
Besyt daryanto. 2010).
Karakteristik dari striktur adalah perubahan epitel uretra oleh jaringan fibrosa
padat karena tromboflebitis lokal di korpus spongiosum dalam. Epitel itu sendiri biasanya
utuh, meskipun yang abnormal. Patogenesis striktur belum dipelajari secara luas dan
studi yang ada menyebutkan infeksi sebagai penyebab, meskipun telah ada studi pada
model binatang yang mempelajari trauma elektro- koagulasi pada uretra kelinci sebagai
model cedera iatrogenik. Lokasi dari kelenjar uretra berhubungan dengan tempat kejadian
infeksi yang berhubungan dengan striktur yang mengimplikasikannya sebagai penyebab.
Namun, satu- satunya studi tentang patogenesis penyakit striktur menunjukkan bahwa
perubahan yang utama adalah metaplasia epitel uretra dari normal jenisnya pseudo-
kolumnar bertingkat pada epitel skuamosa berlapis. Ini adalah epitel yang rapuh, dan ini
cenderung untuk robek saat terjadi distensi selama berkemih. Robekan tersebut akan
membuat lubang di epitel menyebabkan ekstravasasi urine saat berkemih yang memicu
untuk terbentuknya fibrosis subepitel. Pada penampakan mikroskopis, tempat terjadinya
robekan terbentuk fibrosis dan menyatu selama periode tahun untuk membentuk plak
makroskopik, yang kemudian dapat menyempitkan uretra jika mereka menyatu di sekitar
lingkar uretra untuk membentuk sebuah cincin yang lengkap. Dalam model pembentukan
striktur, infeksi bakteri dapat menginduksi metaplasia skuamosa, dan faktor lainnya dapat
berupa bahan kimia, fisik atau biologis (dr. Besyt daryanto. 2010).
GAMBAR : PATOFISIOLOGI
GAMBAR : Anatomi striktur uretra anterior meliputi, dalam banyak kasus, yang
mendasari spongiofibrosis. A, Sebuah lipat, mukosa. B, Iris penyempitan. C, Full-
ketebalan keterlibatan dengan fibrosis minimal dalam jaringan spons. D, Full-
ketebalan spongiofibrosis. E, Peradangan dan fibrosis yang melibatkan jaringan
luar korpus spongiosum. F, striktur kompleks rumit dengan fistula
f. Manifestasi Klinis
1. Voiding symptom; yaitu gejala yang muncul sebagai akibat kegagalan buli untuk
mengeluarkan sebagian atau seluruh isi kandung kemih, antara lain: weakness of stream
(pancaran kencing melemah), abdominal straining (mengejan), hesitancy (menunggu saat
akan kencing), intermittency (kencing terputus-putus), disuria (nyeri saat kencing),
incomplete emptying (kencing tidak tuntas), terminal dribble ( kencing menetes).
2. Storage symptom; yaitu gejala yang muncul sebagai akibat gangguan pengisian
kandung kemih, bias karena iritasi atau karena perubahan kapasitas kandung kemih,
antara lain : frekuensi, urgensi, nocturia, incontinensia (paradoxal), nyeri suprasimfisis.
3. Miction post symptom; yaitu gejala yang muncul pasca miksi, antara lain tidak lampias,
terminal dribbling, inkontinensia paradoks (ACS, ATLS, 2012).
Gejala dari striktur uretra yang khas adalah pancaran buang air seni kecil dan
bercabang. Gejala yang lain adalah iritasi dan infeksi seperti frekuensi, urgensi, disuria,
inkontinensia, urin yang menetes, kadang-kadang dengan penis yang membengkak,
infiltrat, abses dan fistel. Gejala lebih lanjutnya adalah retensi urine (Purnomo Basuki B,
2003).
g. Penegakan Diagnosis
Diagnosis striktur uretra dari hasil anamnesa dan pemeriksaan fisik. Diagnosis
pasti striktur uretra didapat dari pemeriksaan radiologi, tentukan lokasi dan panjang
striktur serta derajat penyempitan dari lumen uretra (Purnomo Basuki B, 2003)
Pemeriksaan Fisik
Anamnesa:
Untuk mencari gejala dan tanda adanya striktur uretra dan juga mencari penyebab
striktur uretra (Agung Wistara, dkk, 2010).
Untuk mengetahui keadaan penderita dan juga untuk meraba fibrosis di uretra,
infiltrat, abses atau fistula.
Pemeriksaan Penunjang
i. Laboratorium
iii. Radiologi
iv. Instrumentasi
v. Uretroskopi
Untuk melihat secara langsung adanya striktur di uretra. Jika diketemukan adanya
striktur langsung diikuti dengan uretrotomi interna (sachse) yaitu memotong jaringan
fibrotik dengan memakai pisau sachse (Lumen N, dkk, 2009).
h. Penatalaksanaan
1. Bougie (Dilatasi)
Tersedia beberapa jenis bougie. Bougie bengkok merupakan satu batang logam
yang ditekuk sesuai dengan kelengkungan uretra pria; bougie lurus, yang juga terbuat
dari logam, mempunyai ujung yang tumpul dan umumnya hanya sedikit melengkung;
bougie filiformis mempunyai diameter yang lebih kecil dan terbuat dari bahan yang lebih
lunak.
Apabila striktur sedikit tidak teratur, mulailah dengan bougie bengkok atau lurus
ukuran sedang dan secara bertahap dinaikkan ukurannya.
Dilatasi dengan bougie logam yang dilakukan secara hati-hati. Tindakan yang
kasar tambah akan merusak uretra sehingga menimbulkan luka baru yang pada akhirnya
menimbulkan striktur lagi yang lebih berat. Karena itu, setiap dokter yang bertugas di
pusat kesehatan yang terpencil harus dilatih dengan baik untuk memasukkan bougie.
Penyulit dapat mencakup trauma dengan perdarahan dan bahkan dengan pembentukan
jalan yang salah (false passage). Perkecil kemungkinan terjadinya bakteremi, septikemi,
dan syok septic dengan tindakan asepsis dan dengan penggunaan antibiotik.
GAMBAR 7 : Dilatasi uretra pada pasien pria (lanjutan). Bougie lurus dan bougie
bengkok (F); dilatasi strikur anterior dengan sebuah bougie lurus (G) dilatasi
dengan sebuah bougie bengkok (H-J)
2. Uretrotomi interna
Otis uretrotomi dikerjakan pada striktur uretra anterior terutama bagian distal dari
pendulans uretra dan fossa navicularis, otis uretrotomi juga dilakukan pada wanita
dengan striktur uretra.
Indikasi untuk melakukan bedah endoskopi dengan alat Sachse adalah striktur
uretra anterior atau posterior masih ada lumen walaupun kecil dan panjang tidak lebih
dari 2 cm serta tidak ada fistel, kateter dipasang selama 2-3 hari pasca tindakan. Setelah
pasien dipulangkan, pasien harus kontrol tiap minggu selama 1 bulan kemudian 2 minggu
sekali selama 6 bulan dan tiap 6 bulan sekali seumur hidup. Pada waktu kontrol
dilakukan pemeriksaan uroflowmetri, bila pancaran urinnya < 10 ml/det dilakukan
bouginasi.
3. Uretrotomi eksterna
Stadium II, beberapa bulan kemudian bila daerah striktur telah melunak,
dilakukan pembuatan uretra baru.
4. Uretroplasty dilakukan pada penderita dengan panjang striktur uretra lebih dari 2 cm
atau dengan fistel uretro-kutan atau penderita residif striktur pasca Uretrotomi Sachse.
Operasi uretroplasty ini bermacam-macam, pada umumnya setelah daerah striktur di
eksisi, uretra diganti dengan kulit preputium atau kulit penis dan dengan free graft atau
pedikel graft yaitu dibuat tabung uretra baru dari kulit preputium/kulit penis dengan
menyertakan pembuluh darahnya (Purnomo BB, 2007).
i. Komplikasi
Pada striktur uretra kandung kencing harus berkontraksi lebih kuat, maka otot
kalau diberi beban akan berkontraksi lebih kuat sampai pada suatu saat kemudian akan
melemah. Jadi pada striktur uretra otot buli-buli mula-mula akan menebal terjadi
trabekulasi pada fase kompensasi, setelah itu pada fase dekompensasi timbul sakulasi dan
divertikel. Perbedaan antara sakulasi dan divertikel adalah penonjolan mukosa buli pada
sakulasi masih di dalam otot buli sedangkan divertikel menonjol di luar buli-buli, jadi
divertikel buli-buli adalah tonjolan mukosa keluar buli-buli tanpa dinding otot (Purnomo
BB, 2007).
2. Residu urine
Pada fase kompensasi dimana otot buli-buli berkontraksi makin kuat tidak timbul
residu. Pada fase dekompensasi maka akan timbul residu. Residu adalah keadaan dimana
setelah kencing masih ada urine dalam kandung kencing. Dalam keadaan normal residu
ini tidak ada.
Dalam keadaan normal pada waktu buang air kecil urine dikeluarkan buli-buli
melalui uretra. Pada striktur uretra dimana terdapat tekanan intravesika yang meninggi
maka akan terjadi refluks, yaitu keadaan dimana urine dari buli-buli akan masuk kembali
ke ureter bahkan sampai ginjal.
Dalam keadaan normal, buli-buli dalam keadaan steril. Salah satu cara tubuh
mempertahankan buli-buli dalam keadaan steril adalah dengan jalan setiap saat
mengosongkan buli-buli waktu buang air kecil. Dalam keadaan dekompensasi maka akan
timbul residu, akibatnya maka buli-buli mudah terkena infeksi. Adanya kuman yang
berkembang biak di buli-buli dan timbul refluks, maka akan timbul pyelonefritis akut
maupun kronik yang akhirnya timbul gagal ginjal dengan segala akibatnya.
Adanya sumbatan pada uretra, tekanan intravesika yang meninggi maka bisa
timbul inhibisi urine keluar buli-buli atau uretra proksimal dari striktur. Urine yang
terinfeksi keluar dari buli-buli atau uretra menyebabkan timbulnya infiltrat urine, kalau
tidak diobati infiltrat urine akan timbul abses, abses pecah timbul fistula di supra pubis
atau uretra proksimal dari striktur (ACS, ATLS, 2012).
i. Pencegahan
- Pengobatan dini striktur uretra dapat menghindari komplikasi seperti infeksi dan gagal
ginjal
j. Prognosis
Striktur uretra kerap kali kambuh, sehingga pasien harus sering menjalani
pemeriksaan yang teratur oleh dokter. Penyakit ini dikatakan sembuh jika setelah
dilakukan observasi selama satu tahun tidak menunjukkan tanda-tanda kekambuhan.
Setiap kontrol dilakukan pemeriksaan pancaran urine yang langsung dilihat oleh
dokter atau menggunakan rekaman uroflowmetri. Beberapa tindakan yang dapat
dilakukan tiap control adalah sebagai berikut.
2. CIC (clean intermitten catheterization) atau kateterisasi bersih mandiri berkala yaitu
pasien dianjurkan untuk melakukan kateterisasi secara periodik pada waktu tertentu
dengan kateter yang bersih( tidak perlu steril) guna mencegah kekambuhan striktura
(Price, 2000)