Anda di halaman 1dari 11

Pendahuluan

RUPTUR URETRA
Epidemiologi
Fraktur pelvis merupakan penyebab utama terjadinya ruptur uretra posterior
dengan angka kejadian 20 per 100.000 populasi dan penyebab utama terjadinya
fraktur pelvis adalah kecelakaan bermotor (15,5%), diikuti oleh cedera pejalan kaki
(13,8%), jatuh dari ketinggian lebih dari 15 kaki (13%), kecelakaan pada penumpang
mobil (10,2%) dan kecelakaan kerja (6%). Fraktur pelvis merupakan salah satu tanda
bahwa telah terjadi cedera intraabdominal ataupun cedera urogenitalia yang kira-kira
terjadi pada 15-20% pasien. Cedera organ terbanyak pada fraktur pelvis adalah pada
uretra posterior (5,8%-14,6%), diikuti oleh cedera hati (6,1%-10,2%) dan cedera
limpa (5,2%-5,8%) (Schreiter. 2006).
Di Amerika Serikat angka kejadian fraktur pelvis pada laki-laki yang
menyebabkan cedera uretra bervariasi antara 1-25% dengan nilai rata-rata 10%.
Cedera uretra pada wanita dengan fraktur pelvis sebenarnya jarang terjadi, tetapi
beberapa kepustakaan melaporkan insiden kejadiannya sekitar 4-6% (Smith. 2009)
Angka kejadian cedera uretra yang dihubungkan dengan fraktur pelvis
kebanyakan ditemukan pada awal dekade keempat, dengan umur rata-rata 33
tahun.Pada anak (<12 tahun) angka kejadiannya sekitar 8%.Terdapat perbedaan
persentasi angka kejadian fraktur pelvis yang menyebabkan cedera uretra pada anak
dan dewasa. Fraktur pelvis pada anak sekitar 56% kasus yang merupakan resiko tinggi
untuk terjadinya cedera uretra (Smith. 2009)
Trauma uretra lebih sering terjadi pada laki-laki dibanding wanita, perbedaan
ini disebabkan karena uretra wanita pendek, lebih mobilitas dan mempunyai
ligamentum pubis yang tidak kaku (Schreiter. 2006)

Etiologi
Trauma uretra terjadi akibat cedera yang berasal dari luar (eksternal) dan cedera
iatrogenik akibat instrumentasi pada uretra. Trauma tumpul yang menimbulkan
fraktur tulang pelvis menyebabkan ruptur uretra pars membranasea, sedangkan trauma
tumpul pada selangkangan atau straddle injury dapat menyebabkan ruptur uretra pars
bulbosa. Pemasangan kateter atau businasi pada uretra yang kurang hati-hati dapat
menimbulkan robekan uretra karena false route atau salah jalan, demikian pula
tindakan operasi trans uretra dapat menimbulkan cedera uretra iatrogenik (Purnomo,
Basuki. 2012).
Ketika uretra mengalami trauma kemungkinan juga berkaitan dengan
perkembangan penyakit obstruksi atau striktur uretra. Striktur uretra ketika uretra
mengalami trauma atau luka karena infeksi dalam jangka panjang, mengakibatkan
terganggunya saluran berkemih dan semen (Purnomo, Basuki. 2012)
Manifestasi klinis
Kecurigaan adanya trauma uretra adalah jika didapatkan perdarahan peruretram,
yaitu terdapat darah yang keluar dari meatus uretra eksternum setelah mengalami
trauma.Perdarahan peruretram ini harus dibedakan dengan hematuria yaitu urine yang
bercampur dengan darah.Pada trauma uretra yang berat, pasien seringkali mengalami
retensio urin (Sjamjuhidajat, Wim De Jong. 2004).
Ruptur uretra posterior terdapat tanda patah tulang pelvis, pada daerah
suprapubik dan abdomen bagian bawah, dijumpai jejas hematom dan nyeri tekan.Bila
disertai ruptur kandung kemih, bisa ditemukan tanda rangsangan peritoneum
(Purnomo, Basuki. 2012).
Ruptur uretra anterior terdapat daerah memar atau hematom pada penis dan
skrotum. Beberapa tetes darah segar di meatus uretra merupakan tanda klasik cedera
uretra. Bila terjadi ruptur uretra total, penderita mengeluh tidak bisa buang air kecil
sejak terjadi trauma dan nyeri perut bagian bawah dan daerah suprapubik.Pada
perabaan mungkin ditemukan kandung kemih yang penuh (Smith. 2009).
Cedera uretra karena kateterisasi dapat menyebabkan obstruksi karena udem
atau bekuan darah.Abses periuretral atau sepsis mengakibatkan demam.Ekstravasasi
urin dengan atau tanpa darah dapat meluas jauh, tergantung fasia yang turut
rusak.Pada ekstravasasi ini mudah timbul infiltrat yang disebut infiltrat urin yang
mengakibatkan selulitis dan septisemia bila terjadi infeksi (Smith. 2009).

Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada pasien dengan curiga trauma
uretra adalah: USG, akan tetapi tidak sesuai karena kondisi yang akut dan posisi organ
retroperitoneal. Penelitian yang dilakukan di Amerika menunjukkan hasil yang
signifikan untuk pemeriksaan dengan menggunakan IVP (Intra Venous
Pyelogram).Untuk pasien dengan kondisi stabil dapat menggunakan pemeriksaan ct-
scan (Pereira et al. 2010).
Uretrografi retrograde telah menjadi pilihan pemeriksaan untuk mendiagnosis
cedera uretra karena akurat, sederhana dan cepat dilakukan pada keadaan trauma.
Sementara CT Scan merupakan pemeriksaan yang ideal untuk saluran kemih bagian
atas dan cedera vesika urinaria dan terbatas dalam mendiagnosis cedera
uretra.Sementara MRI berguna untuk pemeriksaan pelvis setelah trauma sebelum
dilakukan rekonstuksi, pemeriksaan ini tidak berperan dalam pemeriksaan cadera
uretra.Sama halnya dengan USG uretra yang memiliki keterbatasan dalam pelvis dan
vesika urinaria untuk menempatkan kateter suprapubik (Rosentain. 2006).

Gambar 5. Uretrografi retrograde

Terapi farmako dan non farmako
Pada kontusio buli-buli, cukup dilakukan pemasangan kateter dengan tujuan untuk memberikan
instirahat pada buli-buli. Dengan cara ini diharapkan buli-buli sembuh setelah 7-10 hari.
Pada cedera intraperitoneal harus dilakukan eksplorasi laparatomi untuk mencari robekan
pada buli-buli serta kemungkinan cedera pada organ lain. Jika tidak dioperasi ekstravasasi urin ke
rongga intraperitoneum dapat menyebabkan peritonitis. Rongga intraperitoneum dicuci, robekan
pada buli-buli dijahit 2 lapis, kemudian dipasang kateter sistostomi yang dilewatkan di luar sayatan
laparatomi.
Pada cedera ekstraperitoneal, robekan yang sederhana (ekstravasasi minimal) dianjurkan
untuk memasang kateter selama 7-10 hari, tetapi sebagian ahli lain menganjurkan untuk melakukan
penjahitan buli-buli denagn pemasangan kateter sistostomi. Namun tanpa tindakan pembedahan
kejadian kegagalan penyembuhan luka 15%, dan kemungkinan untuk terjadinya infeksi pada
rongga perivesika sebesar 12%. Oleh karena itu jika bersamaan dengan rupture buli-buli terdapat
cedera organ lain yang membutuhkan operasi, sebaiknya dilakukan penjahitan buli-buli dan
pemasangan kateter sistostomi.
Untuk memastikan bahwa buli-buli telah sembuh, sebelum melepas kateter uretra atau
kateter sistostomi, terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan sistografi guna melihat kemungkinan
masih adanya ekstravasasi urin. Sistografi dibuat pada hari ke 10-14 pasca trauma. Jika masih ada
ekstravasasi kateter sistostomi dipertahankan sampai 3 minggu.

Prognosis
Prognosis pada pasien dengan ruptur uretra ketika penanganan awal baik dan tepat akan lebih
baik. Ruptur uretra anterior mempunyai prognosis yang lebih baik ketika diketahui tidak
menimbulkan striktur uretra karena apabila terjadi infeksi dapat membaik dengan terapi yang
tepat. Sedangkan pada ruptur uretra posterior ketika disertai dengan komplikasi yang berat
maka prognosis akan lebih buruk (Palinrungi. 2009).

RUPTUR KANDUNG KEMIH
Etiologi
Kurang lebih 90% trauma tumpul buli-buli adalah akibat fraktur pelvis. Fiksasi buli-buli pada
tulang pelvis oleh fasia endopelvik dan diafragma pelvis sangat kuat sehingga cedera deselerasi
terutama jika titik fiksasi fasia bergerak pada arah berlawanan (seperti pada fraktur pelvis), dapat
merobek buli-buli. Robeknya buli-buli karena fraktur pelvis bisa pula terjadi akibat fragmen tulang
pelvis merobek dindingnya.
Dalam keadaan penuh terisi urin, buli-buli mudah sekali robek jiak mendapatkan tekanan
dari luar berupa benturan pada perut sebelah bawah. Buli-buli akan robek pada daerah fundus dan
menyebabkan ekstravasasi uri ke rongga intraperitoneum.
Tindakan endourologi dapat menyebabkan trauma buli-buli iatrogenic antara lain pada
reseksi buli-buli transurethral (TUR buli-buli) atau pada litotripsi. Demikian pula partus kasep atau
tindakan operasi di daerah pelvis dapat menyebabkan trauma iatrogenic pada buli-buli.
ETIOLOGI
1. 90% akibat fraktur pelvis yang menyebabkan robeknya buli-buli. Dalam keadaan
penuh terisi urine buli-buli mudah robek jika mendapatkan tekanan dari luar berupa
benturan pada perut sebelah bawah. Pada umumnya bagian yang mudah robek
adalah fundusnya yang nantinya akan menyebabkan ekstravasasi urine ke rongga
intraperitoneum.
2. Tindakan endourologi dapat menyebabkan trauma buli iatrogenic antara lain pada
reseksi buli transurethral.
3. Partus yang lama atau tindakan operasi di daerah pelvis dapat menyebabkan trauma
iatrogenic pada buli.
4. Dapat pula terjadi secara spontan, biasanya terjadi jika sebelumnya terdapat
kelainan pada dinding buli seperti tuberculosis, tumor buli, dll.
1



Gambar 6-3. Rupture buli-buli. A. intraperitoneal robeknya buli-buli pada daerah fundus,
menyebabkan ekstravasasi urin ke rongga peritoneum, B. ekstraperitoneal akibat fraktura
tulang pelvis

EPIDEMIOLOGI
Trauma eksternal 82%
Iatrogenic 14%
Spontaneous < 1%
Cedera buli-buli ekstraperitoneal 45-60% dari seluruh trauma buli-buli
Cedera buli-buli intraperitoneal 25-45% dari seluruh trauma buli-buli
dari seluruh trauma buli, 60 85% adalah karena trauma tumpul. 15 40% adalah karena
trauma penetrasi. Mekanisme paling sering dari trauma tumpul adalah kecelakaan
kendaraan bermotor 87%, terjatuh 7%.
Pada trauma penetrasi, frekuensi paling sering adalah luka tembak 85%, luka tusuk 15%.

DIAGNOSIS
Diagnosis ditentukan berdasarkan tanda dan gejala klinis serta hematuria. Pada foto pelvis
atau foto polos perut terlihat fraktur tulang pelvis. Pemeriksaan radiologic lain untuk
menunjang diagnosis adalah sistogram, yang dapt memberikan keterangan ada tidaknya
rupture kandung kemih, dan lokasi rupture apakah intraperitoneal atau ekstraperitoneal.
Pemeriksaan sistogram dilakukan dengan memasukkan medium kontras ke kandung kemih
sebanyak 300 400 ml, kemudian dibuat foto antero-posterior. Kandung kemih lalu
dikosongkan dan dibilas, dan dibuat foto sekali lagi. Bila tidak dijumpai ekstravasasi,
diagnosis nya adalah kontusio buli-buli. Pada rupture ekstraperitoneal, gambaran
ekstravasasi terlihat seperti nyala api pada daerah perivesikal, sedangkan pada rupture
intraperitoneal terlihat kontras masuk ke rongga abdomen. Pada rupture kecil, sistoskopi
dapat membantu diagnosis.
2


KLASIFIKASI
Kontusio buli-buli, hanya terdapay memar pada dindingnya, mungkin didapatkan
hematoma vesikel, tetapi tidak didapatkan ekstravasasi urin ke luar buli-buli.
Cedera buli-buli ekstraperitoneal, terjadi akibat trauma pada saat buli-buli kosong.
Dapat diakibatkan oleh fraktur pelvis.
Cedera buli-buli intraperitoneal, terjadi akibat trauma pada saat buli-buli sedang
terisi penuh.

GEJALA KLINIS
Umumnya fraktur tulang pelvis disertai pendarahan hebat sehingga tidak jarang
penderita dating dalam keadaan anemik bahkan syok.
Pada abdomen bagian bawah tampak jejas atau hematom dan terdapat nyeri tekan
di daerah suprapubik di tempat hematom.
Pada kontusio buli-buli, nyeri terutama bila ditekan di daerah suprapubik dan dapat
ditemukan hematuria. Tidak terdapat rangsang peritoneum.
Pada ruptur buli-buli intraperitoneal, urine masuk ke rongga peritoneum sehingga
memberikan tanda cairan intraabdomen dan rangsang peritoneum.
Lesi ekstraperitoneal memberikan gejala dan tanda infiltrate urine di rongga
peritoneal yang sering menyebabkan septisemia. Penderita mengeduh tidak bisa
buang air kecil. Kadang keluar darah dari uretra.
Ruptur kandung kemih intraperitoneal dapat menimbulkan gejala dan tanda
rangsang peritoneum termasuk defans muskuler dan sindrom ileus paralitik.
KOMPLIKASI
Uropati obstruktif akut bilateral
Perdarahan, syok
Peritonitis
Scar formation, blockage of the urethra
Retensi urin
Pada cedera buli-buli ekstraperitoneal, ekstravasasi urine ke rongga pelvis yang dibiarkan
dalam waktu lama dapat menyebabkan infeksi dan abses pelvis. Yang lebih berat lagi adalah
robekan buli-buli intraperitoneal, jika tidak segera dilakukan operasi, dapat menimbulkan
peritonitis akibat dari ekstravasasi urine pada rongga intra-peritoneum. Kedua keadaan itu
dapat menyebabkan sepsis yang dapat mengancam jiwa.
Kadang-kadang dapat pula terjadi penyulit berupa keluhan miksi, yaitu frekuensi dan
urgensi yang biasanya akan sembuh sebelum 2 bulan.
3

TERAPI
Bila penderita datang dalam keadaan syok, harus diatasi dengan pemberian cairan intravena
atau transfuse darah. Bila sirkulasi telah stabil, baru dilakukan reparasi buli-buli.
Setelah sirkulasi stabil, lakukan reparasi buli dengan prinsip memulihkan ruptur buli, yaitu :
a. Penyaliran ruang perivesikal
b. Pemulihan dinding, penyaliran kandung kemih, dan perivesikal
c. Jaminan arus urin melalui kateter

Operasi dikerjakan dengan insisi mediana suprapubik. Pada ruptur ekstraperitoneal, setelah
buli-buli dibuka, dilakukan repair. Dilakukan juga inspeksi rongga peritoneum untuk
memastikan adakh cairan berdarah, yang merupakan indikasi untuk eksplorasi rongga
peritoneum lebih lanjut. Luka ditutup dengan meninggalkan sistosomi suprapubik dan juga
dipasang kateter uretra. Pada ruptur intraperitoneal operasi dilakukan dengan langsung
membuka peritoneum, dan repair buli-buli dilakukan dengan membuka buli-buli.

Untuk luka yang lebih berat, biasanya dilakukan pembedahan untuk menentukan luasnya
cedera dan untuk memperbaiki setiap robekan. Selanjutnya air kemih dibuang dari kandung
kemih dengan menggunakan 2 kateter, 1 terpasang melalui uretra (kateter trans-uretra) dan
yang lainnya terpasang langsung ke dalam kandung kemih melalui perut bagian bawah
(kateters suprapubik). Kateter tersebut dipasang selama 7-10 hari atau diangkat setelah
kandung kemih mengalami penyembuhan yang sempurna.
Kasus
Seorang wanita 55 tahun dirawat di Inha University Hospital dengan sakit perut, distensi, dan
oliguria. Dia telah menjalani histerektomi radikal untuk kanker serviks uterus dan menerima terapi
kemoradiasi bersamaan pasca operasi 13 tahun sebelumnya. Setelah masa tindak lanjut 5 tahun,
tidak ada bukti dari keadaan penyakit dan pasien yang tanpa gejala, dan dengan demikian, teratur
tindak lanjut dihentikan. Pada saat masuk, dia memiliki riwayat merokok 20 paket-tahun dan
dikonsumsi 1-2 botol alkohol per hari, 3-4 kali per minggu. Empat hari sebelum masuk, ia
mengunjungi rumah sakit lain dengan mual, muntah, sakit perut, dan distensi abdomen 7 hari durasi
yang dimulai setelah minum. Dokter yang direkomendasikan masuk karena kehadiran fitur dari
cedera ginjal akut (blood urea nitrogen (BUN): 78mg / dL, kreatinin: 4.9mg / dL), tapi dia menolak.
Empat hari setelah pulang, ia mengakui di departemen darurat rumah sakit kami karena kejengkelan
gejala. Dia memiliki penampilan akut sakit tampak, dan tekanan darahnya, denyut jantung, laju
respirasi, dan suhu tubuh yang 153 / 112mmHg, 109 pulsa per menit, 20 per menit, dan 36,6 ,
masing-masing. Dia mengeluhkan kelemahan umum, anoreksia, penurunan berat badan (6 kg per 1
bulan), sakit perut dan distensi, oliguria, dan edema umum. Pada pemeriksaan fisik didapatkan lidah
kering dan kulit. Dada auskultasi menunjukkan detak jantung teratur tanpa murmur dan napas yang
jelas suara tanpa kresek. Dia punya distensi abdomen moderat dengan suara hypoactive usus, dan
ringan langsung dan nyeri lepas dari seluruh perut tanpa organomegali atau massa teraba. Dia
memiliki kaki edema yang lebih rendah tetapi tidak ada yang pasti pre-tibialis pitting edema. Temuan
Laboratorium adalah sebagai berikut: BUN 162,9 mg / dL (rentang referensi, 7,8-26), kreatinin 7.74
mg / dL (0,3-1,2), pH 7.24, HCO3- 11.6mmol / L, pCO2 28 mmHg, natrium 119mEq / L, kalium 6.1mEq
/ L, osmolalitas serum 313mOsm / Kg. Hasil penghitungan sel darah lengkap menunjukkan
leukositosis ringan (13.600 / mm3 dengan 90% neutrofil), hemoglobin tinggi (16,5 g / dL), dan jumlah
trombosit normal. Fungsi hati dan tes baterai koagulasi normal. Computed tomography (CT) tanpa
media kontras menunjukkan hydroureteronephrosis bilateral dan sejumlah besar asites tetapi tidak
ada bukti sirosis hati (Gbr. 1). Selama rawat inap, urin nya kurang dari 500ml per hari dan fungsi
ginjal nya, termasuk hiperkalemia dan asidosis metabolik, tidak membaik dengan perawatan
konservatif. Hemodialisis dilakukan selama 2 hari setelah masuk, tapi oliguria tidak membaik.
Paracentesis tidak menunjukkan bukti keganasan atau infeksi. Jumlah sel dan kimia dari ascites
adalah sebagai berikut: RBC 2 / mm3, WBC 42 / mm3, jumlah leukosit polimorfonuklear 11%,
glukosa 152mg / dL, protein <1,0 g / dL, LDH 25U / L, BUN dan kadar kreatinin tidak dievaluasi . Pada
hari ketiga rumah sakit, bilateral kateter nefrostomi perkutan dimasukkan, sejumlah besar urin
terkuras, tingkat kreatinin nya menurun drastis (2 dan 4 hari setelah insersi kateter kadar kreatinin
adalah 1.45 dan 0.73mg / dL, masing-masing), dan asites menurun secara bersamaan tanpa
paracentesis tambahan. Kontras ditingkatkan CT menunjukkan peningkatan hidronefrosis dan ascites
tanpa bukti keganasan atau batu yang menghalangi. Untuk menentukan penyebab obstruksi dan
mengatasi obstruksi oleh DJ stent penyisipan, pyelography retrograde dilakukan. Selama prosedur,
striktur uretra yang parah ditemukan, dan setelah pelebaran uretra, kebocoran kontras
mengungkapkan kandung kemih dinding cacat terbuka ke rongga peritoneal di dinding posterior
kandung kemih (Gbr. 2). Beberapa dinding kandung kemih menipis dan peradangan parah
divisualisasikan selama cystoscopy tapi tidak ada massa atau ureter striktur. Pasien dipindahkan ke
departemen urologi dan bedah perut terbuka dilakukan untuk memperbaiki dinding kandung kemih
pecah. Setelah operasi, dia baik dan fungsi ginjal nya tetap normal
Analisis
Kesimpulan
Daftar Pustaka
1. Basuki B. Purnomo. Dasar dasar Urologi. Edisi II. Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Brawijaya. Malang. 2003. Hal 23-25.
2. R. Sjamsuhidajat & Wim de Jong. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi II. Penerbit buku
kedokteran EGC. Jakarta. 2005. Hal 769-70.
3. Raymond Rackley, MD. Bladder Trauma. Available on
http://emedicine.medscape.com/article/441124-overview#a0199. Access on
December, 2013.
4. Traumatic Injury of The Bladder and Urethra. Available on
http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/001063.htm. access on
December, 2013.

Anda mungkin juga menyukai