Anda di halaman 1dari 21

SKENARIO 3

TIDAK DAPAT BUANG AIR KECIL


Seorang laki-laki usia 26 tahun datang ke UGD dengan keluhan tidak dapat buang air
kecil sejak 5 jam yang lalu setelah terjatuh di jalan saat bersepeda. Pasien juga
mengeluh nyeri pada perut bawahnya dan terdapat darah dari kemaluannya.
Pemeriksaan fisik
Airway

: bebas

Breathing

: frekuensi nafas 20x/menit

Circulation

: tekanan darah 120/80 mmHg, frekuensi nadi 100x/menit

Keadaan umum : tampak sakit sedang, kesadaran : compos mentis

Status urologikus
Costo vertebra angle
(-).

: jejas (-), nyeri tekan (-), nyeri ketok (-), ballottement

Suprasimfisis

: jejas (-), nyeri tekan (+), buli-buli terasa penuh

Genital eksterna

: meatal bleeding (+), butterfly hematom (+)

Pemeriksaan Rectal Toucher : Tonus Sfingterani baik, ampula recti tidak kolaps,
mukosa licin, tidak terba massa, prostat : tidak ada nodul, konsistensi kenyal,
permukaan rata. Sarung tangan : feses (-), darah (-), lender (-).

Dilakukan pemeriksaan penunjang Uretrografi retrograde dan hasilnya didapatkan


disrupsi komplit

KATA-KATA SULIT

1. Butterfly Hematom : Gambaran seperti kupu-kupu karena robekan fascia


buck yang terlihat didaerah skrotum & perineum.
2. Disrupsi komplit
: Hasil pemeriksaan uretrografi retrograde yang
menunjukan kontras yang tidak mengisi uretra posterior dan buli-buli.
3. Uretrografi Retrograde : Pemeriksaan radiologi yang menggunakan kontras
yang diinjeksikan ke uretra secara retrograde. Untuk melihat fungsi, anatomi,
dan kelainan pada uretra.
4. Meatal Bleeding
: Keluarnya darah melalui OUE
5. Rectal toucher
: Pemeriksaan untuk mengetahui ada atau tidaknya
massa dan mengetahui adanya pembesaran prostat

Pertanyaan
1. Mengapa terdapat darah yang keluar dari kemaluan dan terdapat
butterfly hematom?
2. Penanganan apa yang pertamakali harus dilakukan pada kasus ini?
3. Mengapa pasien mengeluh tidak bisa buang air kecil? Apa diagnosis
bandingnya?
4. Mengapa dilakukan pemeriksaan uretrografi retrograde?
Jawaban
1. Trauma pada uretra posterior robeknya fasicia buck darah keluar
trauma robeknya fasciabuck darah mengumpul di skrotum dan
perineum butterfly hematom.
2. Airway, Breathing, Circulation
3. Trauma rupture uretra urin tidak bisa keluar melalui OUE
DD trauma uretra posterior
Trauma medulla spinalis
4. Untuk melihat anatomi, fungsi. Untuk menegakan diagnosis dan untuk
menghilangkan diagnosis banding.

HIPOTESIS

Laki laki 26 tahun

Anamnesis :
-

tidak bisa buang air kecil sejak 5 menit yang lalu


- nyeri perut bawah
- keluarnya darah dari kemaluan
Pemeriksaan fisik :

- nyeri tekan suprasimfiis


- buli buli terasa penuh
maetal bleeding & butterfly hematom (+)
- CVA : Normal
- RT : Normal

Trauma uretra Anterior


Dd : trauma uretra posterior / trauma medula spinalis

Pemeriksaan penunjang : uretrografi retrograde & darah lengkap

Tatalaksana

SASARAN BELAJAR

LI.1 Memahami dan Menjelaskan Trauma Uretra


LO.1.1. Memahami dan Menjelaskan Definisi Trauma Uretra
LO.1.2. Memahami dan Menjelaskan Etiologi Trauma Uretra
LO.1.3. Memahami dan Menjelaskan Klasifikasi Trauma Uretra

LI.2 Memahami dan Menjelaskan Ruptur Uretra Anterior dan Posterior


LO.2.1. Memahami dan Menjelaskan Definisi Ruptur Uretra Anterior dan Posterior
LO.2.2. Memahami dan Menjelaskan Etiologi Ruptur Uretra Anterior dan Posterior
LO.2.3. Memahami dan Menjelaskan Patofisiologi Ruptur Uretra Anterior dan
Posterior
LO.2.4. Memahami dan Menjelaskan Manifestasi klinis Ruptur Uretra Anterior dan
Posterior
LO.2.5. Memahami dan Menjelaskan Diagnosis dan Diagnosis Banding Ruptur Uretra
Anterior dan Posterior
LO.2.6. Memahami dan Menjelaskan Tatalaksana Ruptur Uretra Anterior dan
Posterior
LO.2.7. Memahami dan Menjelaskan Komplikasi Ruptur Uretra Anterior dan
Posterior
LO.2.8. Memahami dan Menjelaskan Prognosis Ruptur Uretra Anterior dan Posterior

LI.1 Memahami dan Menjelaskan Trauma Uretra


LO.1.1. Memahami dan Menjelaskan Definisi Trauma Uretra
Trauma uretra merupakan trauma uretra yang terjadi karena jejas yang
mengakibatkan memar dinding dengan atau tanpa robekan mukosa baik parsial
ataupun total (Sjamsuhidajat R & Jong WM, 2005).
LO.1.2. Memahami dan Menjelaskan Etiologi Trauma Uretra
Trauma uretra dapat terjadi akibat cedera dari luar (eksternal) dan cedera
iatrogenik akibat instrumentasi pada uretra.
a. Cedera Eksternal, misalnya : Trauma tumpul yang menimbulkan fraktur
tulang pelvis menyebabkan ruptura uretra pars membranasea, sedangkan
trauma tumpul pada selangkangan atau sering disebut straddle injury dapat
menyebabkan ruptur uretra pars bulbosa.
b. Cedera iatrogenik, misalnya : pemasangan kateter yang kurang hati-hati
atau tindakan operasi trans uretra (Purnomo, 2010).
Cedera uretra anterior, selain oleh cedera kangkang (straddle injury),
dapat juga disebabkan oleh instrumentasi urologik (iatrogenik), seperti
pemasangan kateter, businasi, dan bedah endoskopi.
Cedera uretra bulbaris dapat terjadi karena jatuh terduduk atau
terkangkang sehingga uretra terjepit antara objek yang keras (seperti batu,
kayu, atau palang sepeda) dengan tulang simfisis.
Straddle injury dapat menyebabkan laserasi atau kontusio dari uretra.
Pada kontusio, biasanya hanya terjadi memar dan tidak terdapat robekan.
Hematoma perineal biasanya menghilang tanpa komplikasi. Adapun pada
straddle injury yang berat dapat terjadi laserasi yang menyebabkan robeknya
uretra dan terjadinya ekstravasasi urin yang bisa meluas ke skrotum, sepanjang
penis dan ke dinding abdomen yang bila tidak ditangani dengan baik dapat
menyebabkan terjadinya infeksi dan sepsis.
Trauma uretra posterior biasanya disebabkan oleh karena trauma tumpul
dan fraktur pelvis. Uretra pars membranasea adalah bagian uretra yang
melewati diafragma urogenital dan merupakan bagian yang paling mudah
terkena trauma bila terjadi fraktur pelvis.
Pada fraktur tulang pelvis, dapat terjadi robekan pars membranasea
karena prostat dengan uretra prostatika tertarik ke kranial bersama fragmen
fraktur, sedangkan uretra membranasea terikat di diafragma urogenital. Ruptur
uretra posterior dapat terjadi total atau inkomplet. Pada ruptur total, uretra
terpisah seluruhnya dan ligamentum puboprostatikum robek sehingga vesika
urinaria dan prostat terlepas ke kranial.
Fraktur pelvis yang menyebabkan ruptur uretra biasanya akibat sekunder
dari kecelakaan sepeda motor (68%-84%) atau jatuh dari ketinggian dan
adanya trauma tumpul pelvis (6%-25%). Fraktur pelvis banyak ditemukan
pada tiga dekade pertama kehidupan, dengan rasio laki-laki:perempuan
sebesar 2:1 pada dewasa muda.

Trauma uretra yang berhubungan dengan fraktur pelvis lebih jarang ditemukan
pada perempuan karena ukuran uretra perempuan yang lebih pendek dan
mobilitasnya yang lebih besar terhadap arkus pubis. Cedera uretra lebih sering
berhubungan dengan cedera/laserasi vagina (75%) dan cedera rektal (33%).

LO.1.3. Memahami dan Menjelaskan Klasifikasi Trauma Uretra


Berdasarkan anatomi, diklasifikasikan menjadi

1. Ruptur uretra anterior


Uretra anterior adalah bagian distal dari diafragma urogenitalia. Straddle injury dapat
menyebabkan laserasi atau contusion dari uretra. Instrumentasi atau iatrogenik dapat
menyebabkan disrupsi parsial.
2. Ruptur uretra posterior
uretra posterior terdiri atas pars prostatika dan pars membranasea. Terletak di
proksimal diafragma urogenital.
Klasifikasi rupture uretra menurut Collapinto & Mc Collum :
Tipe I : Uretra teregang (stretched) akibat ruptur ligamentum puboprostatikum
dan hematom periuretra. Uretra masih intack
Tipe II : Uretra pars membranacea ruptur diatas diafragma urogenital yang
masih intack. Ekstravasasi kontras ke ekstraperitoneal pelvic space
Tipe III : Uretra pars membranacea ruptur. diafragma urogenital ruptur.
uretra pars bulbosa proksimal rusak, ekstravasasi kontras ke peritoneum
Klasifikasi trauma uretra menurut Pediatric Radiologi
1. Tipe I : Uretra posterior intak tetapi teregang (retrograde urethrogram)
2. Tipe II : Trauma uretra posterior murni parsial atau komplit dengan robekan
uretra pars membranosa diatas diafragma urogenital.
3. Tipe III : Trauma uretra parsial atau komplit kombinasi anterior/ posterior
dengan disrupsi diafragma urogenital.
4. Type IV : Trauma leher vesika urinaria dengan ekstensi di dalam uretra.
5. Type IVA : Trauma dasar vesika urinaria dengan extravasasi periuretra
seperti pada trauma uretra Tipe IV
6. Type V : Trauma uretra anterior parsial atau total.
LI.2 Memahami dan Menjelaskan Ruptur Uretra Anterior dan Posterior
LO.2.1. Memahami dan Menjelaskan Definisi Ruptur Uretra Anterior dan Posterior
Anterior
Uretra anterior adalah bagian distal dari diafragma urogenitalia. Straddle
injury dapat menyebabkan laserasi atau contusion dari uretra. Instrumentasi atau
iatrogenik dapat menyebabkan disrupsi parsial 10

Cedera uretra anterior secara khas disebabkan oleh cedera langsung pada
pelvis dan uretra. Secara klasik, cedera uretra anterior disebabkan oleh straddle
injury atau tendangan atau pukulan pada daerah perineum, dimana uretra pars bulbosa
terjepit diantara tulang pubis dan benda tumpul. Cedera tembus uretra (luka tembak
atau luka tusuk) dapat juga menyebabkan cedera uretra anterior. Penyebab lain dari
cedera uretra anterior adalah trauma penis yang berat, trauma iatrogenic dari
kateterisasi, atau masuk benda asing
Posterior
Trauma tumpul merupakan penyebab dari sebagian besar cedera pada uretra
pars posterior. Menurut sejarahnya, banyak cedera semacam ini yang berhubungan
dengan kecelakaan di pabrik atau pertambangan. Akan tetapi, karena perbaikan dalam
hal keselamatan pekerja pabrik telah menggeser penyebab cedera ini dan
menyebabkan peningkatan pada cedera yang berhubungan kecelakaan lalu lintas.
Gangguan pada uretra terjadi sekitar 10% dari fraktur pelvis tetapi hampir semua
gangguan pada uretra membranasea yang berhubungan dengan trauma tumpul terjadi
bersamaan fraktur pelvis. Fraktur yang mengenai ramus atau simfisis pubis dan
menimbulkan kerusakan pada cincin pelvis, menyebabkan robekan uretra pars
prostato-membranasea. Fraktur pelvis dan robekan pembuluh darah yang berada di
dalam kavum pelvis menyebabkan hematoma yang luas di kavum retzius sehingga
jika ligamentum pubo-prostatikum ikut terobek, prostat berada buli-buli akan
terangkat ke kranial
Fraktur pelvis yang menyebabkan gangguan uretra biasanya penyebab
sekunder karena kecelakaan kendaraan bermotor (68%-84%) atau jauh dari ketinggian
dan tulang pelvis hancur (6%-25%). Pejalan kaki lebih beresiko, mengalami cedera
uretra karena fraktur pelvis pada kecelakaan bermotor dari pada pengendara.

LO.2.2. Memahami dan Menjelaskan Etiologi Ruptur Uretra Anterior dan Posterior
Ruptur Uretra Anterior
Uretra anterior adalah bagian distal dari diafragma urogenitalia. Straddle
injury dapat menyebabkan laserasi atau contusion dari uretra. Instrumentasi atau
iatrogenik dapat menyebabkan disrupsi parsial.Cedera uretra anterior secara khas
disebabkan oleh cedera langsung pada pelvis dan uretra. Secara klasik, cedera uretra
anterior disebabkan oleh straddle injury atau tendangan atau pukulan pada daerah
perineum, dimana uretra pars bulbosa terjepit diantara tulang pubis dan benda tumpul.
Cedera tembus uretra (luka tembak atau luka tusuk) dapat juga menyebabkan cedera
uretra anterior. Penyebab lain dari cedera uretra anterior adalah trauma penis yang
berat, trauma iatrogenic dari kateterisasi, atau masuk benda asing.
Ruptur Uretra Posterior
Trauma tumpul merupakan penyebab dari sebagian besar cedera pada uretra
pars posterior. Menurut sejarahnya, banyak cedera semacam ini yang berhubungan
dengan kecelakaan di pabrik atau pertambangan. Akan tetapi, karena perbaikan dalam
hal keselamatan pekerja pabrik telah menggeser penyebab cedera ini dan
menyebabkan peningkatan pada cedera yang berhubungan kecelakaan lalu lintas.
Gangguan pada uretra terjadi sekitar 10% dari fraktur pelvis tetapi hampir semua
gangguan pada uretra membranasea yang berhubungan dengan trauma tumpul terjadi

bersamaan fraktur pelvis. Fraktur yang mengenai ramus atau simfisis pubis dan
menimbulkan kerusakan pada cincin pelvis, menyebabkan robekan uretra pars
prostato-membranasea. Fraktur pelvis dan robekan pembuluh darah yang berada di
dalam kavum pelvis menyebabkan hematoma yang luas di kavum retzius sehingga
jika ligamentum pubo-prostatikum ikut terobek, prostat berada buli-buli akan
terangkat ke kranial.
Fraktur pelvis yang menyebabkan gangguan uretra biasanya penyebab
sekunder karena kecelakaan kendaraan bermotor (68%-84%) atau jauh dari ketinggian
dan tulang pelvis hancur (6%-25%). Pejalan kaki lebih beresiko, mengalami cedera
uretra karena fraktur pelvis pada kecelakaan bermotor dari pada pengendara.

LO.2.3. Memahami dan Menjelaskan Patofisiologi Ruptur Uretra Anterior dan


Posterior
Ruptur Uretra Anterior
Uretra anterior terbungkus dalam corpus spongiosum penis. Sedangkan
corpus spongiosum bersamaan dengan corpora cavernosum dibungkus oleh fascia
buck dan fascia colles. Apabila terjadi ruptur uretra beserta corpus spongiosum, darah
dan urine keluar dari uretra tetapi masih terbatas pada fasia buck, dan secara klinis
terlihat hematoma yang terbatas pada penis. Namun apabila robek terjadi hingga ke
fascia buck, ekstravasasi darah dan urin dapat menjalar hingga ke scrotum atau ke
dinding abdomen dengan gambaran seperti kupu-kupu sehingga sering disebut
butterfly hematoma (Rosesntein et al, 2006).
Trauma uretra pars bulbosa terjadi akibat jatuh terduduk atau terkangkang
sehingga uretra terjepit antara objek yang keras, seperti batu, kayu atau palang sepeda
dengan tulang simfisis (Rosesntein et al, 2006).

Mekanisme trauma tumpul pada uretra anterior. A) Ilustrasi Straddle injury dimana
uretra terjepit diantara tulang pelvis dengan benda tumpul. B.) trauma uretra anterior
hingga terjadi robekan pada fascia buck, menyebabkan perdarahan meluas ke fascia
colles (Rosesntein et al, 2006)
Ruptur Uretra Posterior
Cedera uretra terjadi sebagai akibat dari adanya gaya geser pada
prostatomembranosa junction sehingga prostat terlepas dari fiksasi pada diafragma

urogenitalia. Dengan adanya pergeseran prostat, maka uretra pars membranasea


teregang dengan cepat dan kuat. Uretra posterior difiksasi pada dua tempat yaitu
fiksasi uretra pars membranasea pada ramus ischiopubis oleh diafragma urogenitalia
dan uretra pars prostatika ke simphisis oleh ligamentum puboprostatikum (Brandes S,
2006).
Trauma uretra posterior biasanya disebabkan oleh karena trauma tumpul dan
fraktur pelvis. Uretra biasanya terkena pada bagian proksimal dari diafragma
urogenital dan terjadi perubahan posisi prostat kearah superior (prostat terapung =
floating prostat) dengan terbentuknya hematoma periprostat dan perivesika (Wein AJ
et al, 2007).
LO.2.4. Memahami dan Menjelaskan Manifestasi klinis Ruptur Uretra Anterior dan
Posterior
Ruptur Urethra Anterior
Kecurigaan ruptur uretra anterior timbul bila ada riwayat cedera kangkang atau
instrumentasi dan darah yang menetes dari meatus uretra.
Pada ruptur uretra anterior terdapat daerah memar atau hematom pada penis
dan skrotum. Beberapa tetes darah segar di meatus uretra merupakan tanda klasik
cedera uretra. Bila terjadi ruptur uretra total, penderita mengeluh tidak bisa buang air
kecil sejak terjadi trauma, dan nyeri perut bagian bawah dan suprapubik. Pada
perabaan mungkin ditemukan kandung kemih yang penuh.
Cedera uretra karena kateterisasi dapat menyebabkan obstruksi karena udem
atau bekuan darah. Abses periuretral atau sepsis mengakibatkan demam. Ekstravasasi
urin dengan atau tanpa darah dapat meluas jauh, tergantung pada fasia yang turut
rusak. Pada ekstravasasi ini mudah timbul infiltrat urin yang menyebabkan selulitis
dan septisemia bila terjadi infeksi.
Jika terjadi rupture uretra beserta korpus spongiosum, darah dan urin keluar
dari uretra tetapi masih terbatas pada fasia Buck, dan secara klinis terlihat hematoma
yang terbatas pada penis. Namun jika fasia Buck ikut robek, ekstravasai urin dan
darah hanya dibatasi oleh fasia Colles sehingga darah dapat menjalar hingga skrotum
atau dinding abdomen. Oleh karena itu robekan ini memberikan gambaran seperti
kupu-kupu sehingga disebut butterfly hematoma atau hematoma kupu-kupu.
Pada pemeriksaan radiologis, hasil pemeriksaan uretrogram retrogad dapat
menunjukkan gambaran ekstravasasi bila terdapat laserasi uretra, sedangkan pada
kontusio uretra tidak akan didapatkan gambaran ekstravasasi. Bila tidak tampak
adanya ekstravasasi, maka pemasangan kateter uretra diperbolehkan.

Ruptur Urethra Posterior


Pada ruptur uretra posterior, terdapat tanda patah tulang pelvis. Pada daerah
suprapubik dan abdomen bagian bawah, dijumpai jejas, hematom, dan nyeri tekan.
Bila disertai ruptur kandung kemih, bisa ditemukan tanda rangsangan peritoneum.

Pasien biasanya juga mengeluh tidak bisa kencing dan sakit pada daerah perut bagian
bawah.
Ruptur uretra posterior harus dicurigai bila terdapat darah sedikit di meatus
uretra. Gejala ini merupakan gejala yang paling penting dari ruptur uretra dan sering
menjadi satu-satunya gejala yang merupakan indikasi untuk dilakukannya uretrogram
retrogade sebagai alat penegak diagnosis pasti.
Selain tanda setempat, pada pemeriksaan colok dubur ditemukan prostat
seperti mengapung karena tidak terfiksasi lagi pada diafragma urogenital. Kadang
sama sekali tidak teraba prostat lagi karen pindah ke kranial. Pemeriksaan colok
dubur harus dilakukan dengan hati-hati karena fragmen tulang dapat mencederai
organ lain, seperti rektum.
Kateterisasi merupakan kontraindikasi pada ruptur uretra sebelum dilakukan
uretrogram retrograd karena apat menyebabkan infeksi periprostatika dan perivesika
hematoma serta dapat menyebabkan laserasi yang parsial menjadi laserasi total.
Pada pemeriksaan laboratorium dapat menunjukkan adanya anemia.
Pemeriksaan urin kadang tidak dapat dilakukan bila terjadi retensi.
Pemeriksaan radiologis dapat dilakukan dengan uretrogram retrograd dan foto
polos pelvis. Pada hasil pemeriksaan dapat ditemukan adanya fraktur pelvis, adapun
pada uretrogram retrogade akan menunjukkan ekstravasasi.

LO.2.5. Memahami dan Menjelaskan Diagnosis dan Diagnosis Banding Ruptur Uretra
Anterior dan Posterior
Ruptur Urethra Anterior
a) Riwayat jatuh dari tempat yang tinggi dan terkena daerah perineum atau
riwayat instrumentasi disertai adanya darah menetes dari uretra yang
merupakan gejala penting.
b) Nyeri daerah perineum dan kadang-kadang ada hematom perineal.
c) Retensio urin bisa terjadi dan dapat diatasi dengan sistostomi suprapubik
untuk sementara, sambil menunggu diagnose pasti. Pemasangan kateter
uretra merupakan kontraindikasi.
d) Jika terjadi rupture uretra beserta korpus spongiosum darah dan urin
keluar dari uretra tetapi masih terbatas pada fasia Buck, dan secara klinis
terlihat hematoma yang terbatas pada penis. Namun jika fasia Buck ikut
robek, ekstravasasi urin dan darah hanya dibatasi oleh fasia Colles
sehingga darah dapat menjalar hingga skrotum atau ke dinding abdomen.
Oleh karena itu robekan ini memberikan gambaran seperti kupu-kupu
sehingga disebut butterfly hematoma atau hematoma kupu-kupu.

e) Dengan pemeriksaan uretrografi retrograd, gambaran ruptur uretra berupa


adanya ekstravasasi kontras di pars bulbosa. Namun pada keadaan
kontusio uretra, biasanya tidak menunjukan adanya ekstravasasi kontras
(Purnomo, 2010).

Ruptur Urethra Posterior


a) Perdarahan peruretram adalah gejala yang paling penting dari ruptur
uretra dan sering merupakan satusatunya gejala, yang merupakan indikasi
untuk membuat urethrogram retrograde. Kateterisasi merupakan
kontraindikasi karena dapat menyebabkan infeksi prostatika dan
perivesika hematom serta dapat menyebabkan laserasi yang parsial
menjadi total.
b) Retensi urin
c) Pada pemeriksaan rectal touch didapatkan prostat mengapung (floating
prostate) akibat rupture total dari urethra pars membranacea oleh karena
terputusnya ligament puboprostatika (Purnomo, 2010).

Tipe Ruptur Uretra Posterior


Derajat Ruptura uretra posterior berdasarkan Colapinto dan McCollum (1976)
adalah sebagai berikut (Rosesntein et al, 2006):
a) Colapinto I
Uretra posterior masih utuh dan hanya mengalami peregangan
(stretching).
Gambaran uretrogram : Tidak ada ekstravasasi, uretra tampak
memanjang.

Gambaran urethra normal pada urethrogram retrograde (Ramchandani,


2009)

Gambaran urethra posterior yang teregang tetapi masih intak tanpa adanya
ekstravasasi kontras pada uretrogram ascending (Ramchandani, 2009).

b) Colapinto II
Uretra posterior terputus pada perbatasan prostato membranasea,
sedagkan diafragma urogenitalia masih utuh.
Gambaran uretrogram : menunjukkan ekstravasasi kontras yang
masih terbatas pada diafragma urogenital.

Tampak ekstravasasi kontras (panah putih) dengan gambaran diafragma


urogenital yang masih intak (panah hitam). Menunjukan trauma urethra
posterior (Ramchandani, 2009).
c) Colapinto III
Uretra posterior, diafragma urogenital dan uretra pars bulbosa
proksimal ikut rusak.
Gambaran uretrogram : menunjukkan ekstravasasi kontras meluas
sampai bawah diafragma urogenital hingga ke perineum.

Gambaran ekstravasasi kontras meluas sampai bawah diafragma


urogenital hingga ke perineum (Ramchandani, 2009).

LO.2.6. Memahami dan Menjelaskan Tatalaksana Ruptur Uretra Anterior dan


Posterior

Ruptur Uretra Anterior


Penanganan Awal
Kehilangan darah yang banyak biasanya tidak ditemukan pada straddle injury.
Jika terdapat pendarahan yang berat dilakukan bebat tekan dan resusitasi. Armenakas
dan McAninch (1996) merencanakan skema klasifikasi praktis yang sederhana yang
membagi cedera uretra anterior berdasarkan penemuan radiografi menjadi kontusio,
ruptur inkomplit, dan ruptur komplit. Kontusio dan cedera inkomplit dapat
ditatalaksana hanya dengan diversi kateter uretra. Tindakan awal sistotomi suprapubik
adalah pilihan penanganan pada cedera staddle mayor yang melibatkan uretra (Wein
AJ et al, 2007 & Tanagho EA et al, 2013).
Suprapubik Cystostomy
Cystostomy suprapubik awal adalah pengobatan pilihan untuk cedera straddle
atau cedera tumpul yang menghantam uretra. Sebagian robekan dapat dikelola dengan
kateter suprapubik atau kateterisasi uretra dengan. Cystostomy suprapubik memiliki
keuntungan tidak hanya mengalihkan urin jauh dari lokasi cedera, tetapi juga
menghindari manipulasi uretra. Selain itu, memungkinkan untuk studi simultan
dilaksanakan di kemudian hari. Jika kandung kemih tidak mudah teraba
suprapubically, sonografi transabdominal harus digunakan untuk memandu
penempatan kateter. Tabung cystostomy dipertahankan selama kurang lebih 4 minggu
untuk memungkinkan penyembuhan uretra. Dalam kasus direncanakan penundaan
perbaikan cedera uretra, kateter suprapubik ditempatkan, dan perbaikan sekunder
direncanakan selama 6 minggu sampai 3 bulan pasca cedera (Pineiro LM, 2007 &
Wein AJ et al, 2007).
Komplikasi awal potensi cedera uretra akut antara lain striktur dan infeksi.
Ekstravasasi darah atau urin dari robekan uretra menghasilkan reaksi peradangan yang
dapat berkembang menjadi pembentukan abses. Perluasan dari infeksi tergantung
pada bidang fasia telah dirusak Potensi gejala sisa dari infeksi ini termasuk fistula
urethrocutaneous, divertikula periuretra, dan yang jarang terjadi yaitu necrotizing
fasciitis. Diversi urin yang cepat ditambah dengan pemberian antibiotik yang tepat
menurun kejadian komplikasi ini (Wein AJ et al, 2007).
Delayed rekontruksi
Pasien dengan cedera straddle dengan obliterasi uretra total membutuhkan
diversi suprapubik. Sebelum prosedur yang direncanakan, sebuah urethrogram
retrograde dan cystourethrogram harus diperoleh untuk menentukan lokasi dan
panjang uretra dilenyapkan jelas. Hal ini biasanya di bagian bulbar. Pada daerah
cedera yang tidak jelas, sebaiknya sonourethrogram dapat diperoleh saat pasien
berada di bawah anestesi, sebelum prosedur rekonstruksi. Injeksi retrograde larutan
saline dikombinasikan dengan antegrade pengisian kandung kemih akan mengisi
uretra proksimal dan distal, dan sonogram 10-MHz jelas akan menentukan sejauh
mana bekas luka yang akan dipotong. Penyempitan parsial uretra awalnya dapat
diobati dengan sayatan endoskopik dengan keberhasilan yang lebih tinggi.
Urethroplasty anastomotic adalah prosedur pilihan dalam obliterasi uretra setelah
cedera straddle. Bekas luka khas adalah panjang 1,5 hingga 2 cm dan harus benarbenar dipotong. Proksimal dan distal uretra dapat dimobilisasi untuk bebas dari

ketegangan, end-to-end anastomosis. Ini adalah prosedur yang sangat sukses di lebih
dari 95% kasus (Pineiro LM, 2007).
Penanganan trauma iatrogenik
Pemasangan stent uretra sementara dengan kateter adalah pilihan terapi
konvensional baik untuk mengobati bagian kerusakan yang akut. Jika penempatan
kateter uretra tidak mungkin, bantuan endoskopi atau penempatan tabung suprapubik
mungkin diperlukan. Striktur anastomosis iatrogenik setelah prostatektomi radikal
dapat berhasil diobati oleh manajemen endoskopi, baik dengan sayatan atau reseksi.
Penempatan stent uretra pada leher kandung kemih bersama-sama dengan
penempatan sfingter buatan juga telah dilaporkan sebagai pilihan yang valid dalam
striktur yang berulang, tetapi harus dilakukan hanya pada pasien tertentu. Alternatif
dengan indewelling kateter yang permanen, dilatasi uretra, intermiten kateterisasi,
atau prosedur yang terbuka. Prosedur terbuka membentuk suatu anastomosis
vesicourethral baru memberikan peningkatan morbiditas dan juga terkait dengan
penempatan sfingter buatan. Hasil jangka panjang tentang hasil dari semua prosedur
ini sangat langka. Prosedur alternatif dalam kasus yang berulang dan pasca TUR-P
Lesi sphincteric ganda (inkontinensia dan striktur) adalah prosedur yang melepaskan
outlet uretra, seperti diversi urin, Continent vesicostomy atau kateter suprapubik
permanen (Pineiro LM et al, 2010).
Pilihan utama berupa surgical repair direkomendasikan pada luka tembak
dengan kecepatan rendah, Ukuran kateter disesuaikan dengan berat dari striktur
uretra. Debridement dari korpus spongiosum setelah trauma seharusnya dibatasi
karena aliran darah korpus dapat terganggu sehingga menghambat penyembuhan
spontan dari area yang mengalami kontusi. Diversi urin dengan suprapubik
direkomendasikan setelah luka tembak uretra dengan kecepatan tinggi, diikuti dengan
rekonstruksi lambat (Wein AJ et al, 2007 & Tanagho EA et al, 2013).
Penanganan Spesifik
a. Kontusio Uretra
Pasien dengan kontusio uretra tidak ditemukan bukti adanya ekstravasasi dan uretra
tetap utuh. Setelah uretrografi, pasien dibolehkan untuk buang air kecil; dan jika
buang air kecil normal, tanpa nyeri dan pendarahan, tidak dibutuhkan penanganan
tambahan. Jika pendarahan menetap, drainase uretra dapat dilakukan (Tanagho EA et
al, 2013)
b. Laserasi Uretra
Instrumentasi uretra setelah uretrografi harus dihindari. Insisi midline pada
suprapubik dapat membuka kubah dari buli-buli supaya pipa sistotomi suprapubik
dapat disisipkan dan dibolehkan pengalihan urin sampai laserasi uretra sembuh. Jika
pada uretrogram terlihat sedikit ekstravasasi, berkemih dapat dilakukan 7 hari setelah
drainase kateter suprapubik untuk menyelidiki ekstravasasi. Pada kerusakan yang
lebih parah, drainase kateter suprapubik harus menunggu 2 sampai 3 minggu sebelum
mencoba berkemih. Penyembuhan pada tempat yang rusak dapat menyebabkan
striktur. Kebanyakan striktur tidak berat dan tidak memerlukan rekonstuksi bedah.
Kateter suprapubik dapat dilepas jika tidak ada ekstravasasi. Tindakan lanjut dengan
melihat laju aliran urin akan memperlihatkan apakah terdapat obstuksi uretra oleh
striktur (Tanagho EA et al, 2013)

c. Laserasi Uretra dengan Ekstravasasi Urin yang Luas


Setelah laserasi yang luas, ekstravasasi urin dapat menyebar ke perineum, skrotum,
dan abdomen bagian bawah. Drainase pada area tersebut diindikasikan. Sistotomi
suprapubik untuk pengalihan urin diperlukan. Infeksi dan abses biasa terjadi dan
memerlukan terapi antibiotik (Tanagho EA et al, 2013).
d. Rekonstruksi segera
Perbaikan segera laserasi uretra dapat dilakukan, tetapi prosedurnya sulit dan
tingginya resiko timbulnya striktur (Tanagho EA et al, 2013).
e. Rekonstruksi lambat
Sebelum semua rencana dilakukan, retrograde uretrogram dan sistouretrogram
harus dilakukan untuk mengetahui tempat dan panjang dari uretra yang mengalami
cedera. Pemeriksaan ultrasound uretra dapat membantu menggambarkan panjang dan
derajat keparahan dari striktur. Injeksi retrograde saline kombinasi dengan antegrade
bladder filling akan mengisi uretra bagian proksimal dan distal, dan sonogram 10MHz akan mengambarkan dengan jelas bagian yang tidak bisa terdistensi untuk di
eksisi. Jaringan fibrosa padat yang terbentuk karena trauma sering menjadi significant
shadow (Tanagho EA et al, 2013).
Uretroplasty anastomosis adalah prosedur pilihan pada ruptur total uretra pars
bulbosa setelah straddle injury. Skar tipikal berukuran 1,5 sampai 2 cm dan harus
dieksisi komplit. Uretra proksimal dan distal dapat dimobilisasi untuk anastomosis
end-to-end. Tingkat keberhasilan dari prosedur ini lebih dari 95% dari kasus (Tanagho
EA et al, 2013).
Insisi endoskopik melalui jaringan skar dari uretra yang ruptur tidak
disarankan dan sering kali gagal. Penyempitan parsial uretra dapat diterapi awal
dengan insisi endoskopi dengan tingkat keberhasilan tinggi. Saat ini uretrotomi dan
dilatasi berulang telah terbukti tidak efektif baik secara klinis maupun biaya. Lebih
lanjut, pasien dengan prosedur endoskopik berulang juga sering diharuskan untuk
dilakukan tindakan rekonstruksi kompleks seperti graft. Open repair seharusnya
ditunda paling tidak beberapa minggu setelah instrumentasi untuk membiarkan uretra
stabil (Wein AJ et al, 2007 & Tanagho EA et al, 2013).
Ruptur Uretra Posterior
Emergency
Syok dan pendarahan harus diatasi, serta pemberian antibiotik dan obat-obat
analgesik. Pasien dengan kontusio atau laserasi dan masih dapat kencing, tidak perlu
menggunakan alat-alat atau manipulasi tapi jika tidak bisa kencing dan tidak ada
ekstravasasi pada uretrosistogram, pemasangan kateter harus dilakukan dengan
lubrikan yang adekuat. Bila ruptur uretra posterior tidak disertai cedera intraabdomen
dan organ lain, cukup dilakukan sistotomi. Reparasi uretra dilakukan 2-3 hari
kemudian dengan melakukan anastomosis ujung ke ujung, dan pemasangan kateter
silicon selama 3 minggu (Sjamsuhidajat R & Jong WM, 2005).
Ruptur uretra parsial
Ruptur uretra parisial, adanya robekan sebagian dari uretra posterior harus
dikelola dengan kateter suprapubik atau uretra. Urethrography harus dilakukan pada

interval 2 minggu sampai terjadinya penyembuhan. Sebagian robekan dapat sembuh


sendiri tanpa jaringan parut atau obstruksi yang bermakna. Sisa ruptur atau striktur
selanjutnya harus dikelola dengan dilatasi uretra atau urethrotomy optik jika pendek
dan tipis, dan dengan urethroplasty anastomotic jika padat atau panjang (Pineiro LM
et al, 2010).
Ruptur uretra komplit
Ruptur uretra posterior yang komplit harus dikelola dengan kateter
suprapubik. Masih ada kontroversi antara yang mendukung intervensi awal untuk
mereposisi uretra dan menguras hematoma pelvis dan yang mendukung cystostomy
suprapubik awal saja dengan penundaan perbaikan dari defek uretra (Pineiro LM et al,
2010).
Pengobatan akut meliputi:
a.
Primery Endoscopy Realigment ; biasanya dilakukan selama pertama
10 hari setelah cedera. Dilakukan repair yang membutuhkan penempatan
b.
tabung suprapubik pada saat cedera awal, repair dilakukan saat pasien
stabil. Biasanya terjadi dalam waktu 7 hari ketika pasien stabil dan sebagian
besar perdarahan pelvis telah diselesaikan. Mereposisi internal bertujuan untuk
memperbaiki cedera yang berat dan mencegah striktur.
c.
Immediate Open Urethroplasty (<48 jam setelah cedera); Namun, ini
adalah eksperimental dan karena itu tidak diindikasikan karena visualisasi
yang buruk dan ketidakmampuan untuk menilai gangguan uretra selama fase
akut karena pembengkakan luas dan ekimosis. Inkontinensia (21%) dan
impotensi (56%) tingkatnya lebih tinggi dibandingkan dengan teknik lain.
Namun, cedera uretra posterior yang berhubungan dengan leher kandung
kemih bersamaan dengan cedera rectal, harus segera dilakukan eksplorasi
terbuka, perbaikan dan mereposisi uretra dengan kateter.
Pembedahan
Ekstravasasi pada uretrosistogram mengindikasikan pembedahan. Kateter uretra harus
dihindari.
1. Immediate management
Penanganan awal terdiri dari sistostomi suprapubik untuk drainase urin. Insisi
midline pada abdomen bagian bawah dibuat untuk menghindari pendarahan yang
banyak pada pelvis. Buli-buli dan prostat biasanya elevasi kearah superior oleh
pendarahan yang luas pada periprostatik dan perivesikal. Buli-buli sering distensi oleh
akumulasi volume urin yang banyak selama periode resusitasi dan persiapan operasi.
Urin sering bersih dan bebas dari darah, tetapi mungkin terdapat gross hematuria.
Buli-buli harus dibuka pada garis midline dan diinspeksi untuk laserasi dan jika ada,
laserasi harus ditutup dengan benang yang dapat diabsorpsi dan pemasangan tube
sistotomi untuk drainase urin. Sistotomi suprapubik dipertahankan selama 3 bulan.
Pemasangan ini membolehkan resolusi dari hematoma pada pelvis, dan prostat &
buli-buli akan kembali secara perlahan ke posisi anatominya (Tanagho EA et al,
2013).

Bila disertai cedera organ lain sehingga tidak mungkin dilakukan reparasi 2- 3 hari
kemudian, sebaiknya dipasang kateter secara langsir (railroading) (Sjamsuhidajat R &
Jong WM, 2005).
1. Selang karet atau plastik diikat ketat pada ujung sonde dari meatus
uretra
2. Sonde uretra pertama dari meatus eksternus dan sonde kedua melalui
sistotomi yang dibuat lebih dahulu saling bertemu, ditandai bunyi
denting yang dirasa di tempat ruptur
3. Selanjutnya sonde dari uretra masuk ke kandung dengan bimbingan
sonde dari buli-buli
4. Sonde dicabut dari uretra
5. Sonde dicabut dari kateter Nelaton dan diganti dengan ujung kateter
Foley yang dijahit pada kateter Nelaton
6. Ujung kateter ditarik kearah buli-buli
7. Selanjutnya dipasang kantong penampung urin dan traksi ringan
sehingga balon kateter Foley tertarik dan menyebabkan luka ruptur
merapat. Insisi di buli-buli ditutup
2. Delayed urethral reconstruction
Rekonstruksi uretra setelah disposisi prostat dapat dikerjakan dalam 3 bulan,
diduga pada saat ini tidak ada abses pelvis atau bukti lain dari infeksi pelvis. Sebelum
rekonstuksi, dilakukan kombinasi sistogram dan uretrogram untuk menentukan
panjang sebenarnya dari striktur uretra. Panjang striktur biasanya 1-2 cm dan
lokasinya dibelakang dari tulang pubis. Metode yang dipilih adalah single-stage
reconstruction pada ruptur uretra dengan eksisi langsung pada daerah striktur dan
anastomosis uretra pars bulbosa ke apeks prostat lalu dipasang kateter uretra ukuran
16 F melalui sistotomi suprapubik. Kira-kira 1 bulan setelah rekonstuksi, kateter
uretra dapat dilepas. Sebelumnya dilakukan sistogram, jika sistogram memperlihatkan
uretra utuh dan tidak ada ekstravasasi, kateter suprapubik dapat dilepas. Jika masih
ada ekstravasasi atau striktur, kateter suprapubik harus dipertahankan. Uretrogram
dilakukan kembali dalam 2 bulan untuk melihat perkembangan striktur (Tanagho EA
et al, 2013).
3. Immediate urethral realignment
Beberapa ahli bedah lebih suka untuk langsung memperbaiki uretra.
Perdarahan dan hematoma sekitar ruptur merupakan masalah teknis. Timbulnya
striktur, impotensi, dan inkotinensia lebih tinggi dari immediate cystotomy dan
delayed reconstruction. Walaupun demikian beberapa penulis melaporkan
keberhasilan dengan immediate urethral realignment (Tanagho EA et al, 2013).
Manajemen optimal pasien dengan gangguan prostatomembranous tidak boleh
dianggap sebagai delayed repair vs modalitas pengobatan tipe lain. Setiap pasien
harus dinilai dan dikelola sesuai dengan keadaan klinis awal. Hal ini tidak praktis
untuk menunjukkan bahwa semua pasien dikelola oleh salah satu metode tunggal,
karena variabilitas kasus dan keparahan terkait cedera. Intervensi harus dipandu oleh

keadaan klinis. Algoritma berikut ini diambil dari Pedoman Asosiasi Urologi Eropa
(Pineiro LM et al, 2010):

LO.2.7. Memahami dan Menjelaskan Komplikasi Ruptur Uretra Anterior dan


Posterior
Ruptur Uretra Anterior
Komplikasi dini setelah rekontruksi uretra adalah infeksi, hematoma, abses
periuretral, fistel uretrokutan, dan epididimitis. Komplikasi lanjut yang paling sering
terjadi adalah striktur uretra (Sjamsuhidajat R & Jong WM, 2005)
1. Impotensi

Impotensi dikarenakan transeksi saraf parasimpatis penis atau arteri corporal


dalam bilateral ditemukan pada 6% pasien dengan penis / uretra akibat luka
tembakan kecepatan rendah. Cedera straddle dari trauma tumpul menyebabkan
disfungsi ereksi lebih sering dikarenakan crush injury pada arteri penis dan saraf
(Wein AJ et al, 2007).
2. Striktur uretra
Striktur setelah perbaikan primer gangguan uretra parsial setelah luka tembakan
biasanya jarang terjadi (12%). Striktur yang terjadi setelah urethroplasty
anastomotic persentase kejadiannya kurang dari 5% (Wein AJ et al, 2007).
Ruptur Uretra Posterior
Komplikasi yang berawal dari cedera panggul sulit dibedakan dari komplikasi
upaya untuk memperbaiki cedera uretra dan kandung kemih. Striktur, impotensi, dan
inkotinensia urin merupakan komplikasi rupture prostatomembranosa paling berat
yang disebabkan trauma pada sistem urinaria. Striktur yang mengikuti perbaikan
primer dan anastomosis terjadi sekitar 50% dari kasus. Jika dilakukan sistotomi
suprapubik, dengan pendekatan delayed repair maka insidens striktur dapat
dikurangi sampai sekitar 5%. Insidens impotensi setelah primary repair, sekitar 3080% (rata-rata sekitar 50%). Hal ini dapat dikurangi hingga 30-35% dengan drainase
suprapubik pada rekontruksi uretra tertunda. Kebanyakan pasien dengan gangguan
cedera uretra yang signifikan juga memiliki cedera pada eksternal (striated) sfingter.
Secara keseluruhan tingkat inkontinensia rendah (2% sampai 4%), yang mana
merupakan masalah yang sulit untuk diobati (Wein AJ et al, 2007).
LO.2.8. Memahami dan Menjelaskan Prognosis Ruptur Uretra Anterior dan Posterior
Prognosis pada pasien dengan ruptur uretra ketika penanganan awal baik dan
tepat akan lebih baik. Ruptur uretra anterior mempunyai prognosis yang lebih baik
ketika diketahui tidak menimbulkan striktur uretra karena apabila terjadi infeksi dapat
membaik dengan terapi yang tepat. Sedangkan pada ruptur uretra posterior ketika
disertai dengan komplikasi yang berat maka prognosis akan lebih buruk (Palinrungi.
2009).

Daftar Pustaka
Brandes S. 2006. Initial management of anterior and posterior urethral injuries . In
: McAninch JW, Resinck MI, editors. Urologic clinics of north america.
Philadelpia : Elseivers Sanders.
http://www.urologyhealth.org/urologic-conditions/urethral-trauma
Purnomo, Basuki. 2012. Trauma Urogenitalia dalam Dasar-Dasar Urologi.
Jakarta: Sagung Seto..
Rosentein DI, Alsikafi NF. 2006. Diagnosis and classification of urethral injuries.
In : McAninch JW, Resinck MI, editors. Urologic clinics of north america.
Philadelpia : Elseivers Sanders.
Schreiter F, et al. 2006. Reconstruction of the bulbar and membranous urethra. In:
Schreiter F, et al, editors. Urethral reconstructive surgery. Germany: Springer
Medizin Verlag Heidelberg; 2006. p.107-20
Sjamsuhidajat R, Jong WM. 2005. Buku ajar ilmu bedah. Edisi 2. Jakarta : EGC.
Smith JK, Kenney P. Urethra trauma. 2009. Available from:URL :
www.emedicine.com
Wein AJ, Kavoussi LR, Novick AC, Partin AW, Peters CA. 2007. Campbell-walsh
urology. 9th Edition. Philadelphia : Saunders elsevier.

Anda mungkin juga menyukai